Anda di halaman 1dari 1

Pertempuran Ambarawa

Menang tapi Banyak Korban Isdiman terbunuh pada 26 November 1945, “Ketika tank-tank Sekutu menyerbu kedudukan
pasukan TKR yang dipimpinnya. Pasukan TKR dan Laskar-laskar rakyat yang juga memiliki meriam-meriam, memberikan
perlawanan yang hebat. Tetapi di tengah-tengah api pertempuran Sekutu mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu
(cocor merah),” catat Radik Utoyo Sudirjo dalam Panglima Besar Sudirman: Sebuah Kenangan Perjuangan(1985: 57).
Betapa tidak main-mainnya pasukan sekutu di hari-hari pengepungan kota Ambarawa. Kematian Isdiman disusul dengan
turun langsungnya Sudirman memimpin pasukan Republik untuk memukul mundur Sekutu. Pertempuran di sekitar
Ambarawa itu seolah menjadi ujian bagi Sudirman sebagai komandan. Di front utara Ambarawa, sekutu berusaha
mempertahankan jalur Ambarawa-Semarang. Kapal penjelajah Inggris HMS Sussex bahkan ikut menembakkan meriam
artilerinya ke pegunungan Ungaran. Namun, hal itu tidak membuat militer mereka nyaman di Ambarawa. Dalam Ignatius
Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2008:35), Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull
dari tim RAPWI. “Pertempuran Ambarawa sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh
kedua belah pihak. Ini benar-benar Total War,” aku Tull (hlm. 35). Sampai-sampai, 75 orang bekas tawanan perang pun
harus ikut bertempur melawan tentara Republik.

Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel Sudirman merencanakan akan
melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh komandan-komandan yang lain,” tulis Amrin Imran dalam
Panglima Besar Sudirman (2001: 30). TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur. Kepungan itu
berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang. Kehadiran Sekutu di Jawa
Tengah pun terpaksa hanya sebatas di Semarang. Di pihak Republik, Sudirman tentu jadi pahlawan. Tak ada lagi alasan
untuk tidak menjadikannya sebagai Panglima. Ben mencatat, “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap
bahwa pengundurun terpaksa dari pihak sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer.” Meskipun, menurut Tull,
Indonesia kehilangan 2.000 orang, baik dari laskar maupun TKR. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan 100 orang prajurit.
Banyaknya korban di pihak Indonesia termaklumi karena terampilnya militer Inggris. Apalagi terdapat orang-orang Gurkha
yang dikenal jago perang. Sudah pasti dengan senjata modernnya, Inggris juga lebih unggul. TKR dan laskar-laskar
Indonesia tentu sebaliknya. Baik dalam kelengkapan senjata maupun keterampilan militer. Pertempuran tersebut dikenang
orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa. Lalu, oleh Angkatan Darat, diperingati sebagai Hari Infantri, dan belakangan
menjadi Hari Juang Kartika TNI-AD.

Apa yang terjadi di Ambarawa pada 15 Desember 1945 itu terulang lagi di Dien Bien Phu, Vietnam, pada 7 Mei 1954.
Begitu menurut Radik Utoyo Sudirjo (1985), yang menyebut Ambarawa adalah Dien Bien Phu-nya Indonesia (hlm. 51).
Setelah dua bulan lebih bertempur mengepung kota Dien Bien Phu, pasukan Vietnam berhasil memukul mundur Prancis.
Sama seperti Indonesia, persenjataan Vietnam juga minim dan banyak jatuh korban jiwa. Sementara Prancis mirip Inggris
yang punya persenjataan lengkap. Para pemimpin militer yang sukses mengusir tentara asing itu juga bernasib hampir mirip:
masing-masing jadi panglima tertinggi dan sempat menghadapi invasi militer asing lagi. Vo Nguyen Giap memimpin
pengusiran tentara Amerika pada 1975, Sudirman memimpin perang melawan tentara Belanda pada 1948; dua-duanya lewat
gerilya. Belakangan, keduanya juga jadi Jenderal Bintang Lima di negaranya masing-masing. Kemiripan lain: Sudirman dan
Vo Nguyen Giap sama-sama pernah jadi guru sebelum memasuki dunia militer

Anda mungkin juga menyukai