Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pembiayaan Mudharabah

“Pembiayaan mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua

pihak, dimana pihak pertama berperan sebagai pemilik modal dan

mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua,

yaitu pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung.”

Karim (2010:204).

“Pembiayaan mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua

pihak, dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh

modal sedangkan pihak kedua (mudharib) menjadi pengelola.”

Sudarsono (2008:76).

Beberapa segi penting dari al-mudharabah adalah pembagian

keuntungan di antara dua pihak harus secara proporsional dan tidak

dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada

shahibul maal/rabb al-mal atau pemilik modal. Rabb al-mal tidak

bertanggung jawab atas kerugian di luar modal yang telah

diberikannya. Dalam transaksi dengan prinsip mudharabah harus

dipenuhi rukun mudharabah, yaitu: shahibul maal; mudharib; amal

(usaha/pekerjaan), dan ijab qabul. Landasan hukum Al-qur’an: dan

jika dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian

karunia Allah SWT (QS. Al- Muzzamil (73): 20).

8
9

2. Manajemen Risiko

a. Definisi

Manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur

yang lengkap, yang dipunyai organisasi, untuk mengelola,

memonitor, dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko

(SBC Warburg, The Practice of Risk Management, Euromoney

Book, 2004).

Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan

prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,

memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh

kegiatan usaha Bank. (Kententuan BI Nomor 13/23/PBI/2011).

Kegiatan usaha bank syariah senantiasa dihadapkan pada

risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga

intermediasi keuangan. Perkembangan lingkungan eksternal dan

internal perbankan syariah yang semakin pesat mengakibatkan

risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks. Oleh

karena itu, bank syariah dituntut untuk mampu beradaptasi dengan

lingkungan melalui penerapan manajemen risiko yang sesuai

dengan Prinsip syariah. Bambang Rianto Rustam (2013:35).

Prinsip-prinsip manajemen risiko yang diterapkan pada

perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan

baku yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board

(IFSB).
10

Menurut PBI No. 13/23/PBI/2011 tentang penerapan

manajemen risiko bagi BUS dan UUS. Risiko adalah potensi

kerugian akibat terjadinya sesuatu peristiwa tertentu. Sementara

itu, risiko kerugian adalah kerugian yang terjadi sebagai

konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko.

Kerugian itu bisa berbentuk finansial atau nonfinansial.

b. Jenis – Jenis Risiko

Penerapan manajemen risiko di bank syariah wajib

disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan

kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Kompleksitas adalah

keragaman dalam jenis transaksi produk/jasa dan jaringan usaha.

Sementara itu, kemampuan bank meliputi kemampuan keuangan,

infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya insani.

Bambang Rianto Rustam (2013:36).

Supervisor mewajibkan perbankan syariah untuk

menerapkan manajemen risiko untuk program-program sebagai

berikut.

Tabel 1
Jenis-Jenis Risiko
Jenis Risiko Uraian
Risiko Kredit Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan
nasabah atau pihak lain dalam memenuhi
kewajiban kepada bank sesuai dengan
perjanjian yang disepakati.
Risiko Pasar Risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca
11

dan rekening administratif akibat perubahan


harga pasar, antara lain risiko berupa
perubahan nilai dari asset yang dapat
diperdagangkan atau disewakan.
Risiko Likuiditas Risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari
sumber pendanaan arus kas dan/atau aset
likuid berkualitas tinggi yang dapat
diangunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan
kondisi keuangan bank.
Risiko Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses
Operasional internal, kesalahan manusia, kegagalan
system, dan/atau adanya kejadian-kejadian
eksternal yang memengaruhi operasional
bank.
Risiko Hukum Risiko akibat tuntunan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul
antara lain karena ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan, seperti tidak
terpenuhinya syarat sahnya kontrak atau
pengikatan angunan yang tidak sempurna.
Risiko Reputasi Risiko reputasi adalah risiko akibat
menurunnya tingkat kepercayaan para
pemangku kepentingan yang bersumber dari
persepsi negatif terhadap bank.
Risiko Strategis Risiko strategis adalah risiko akibat
ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan strategi serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
12

lingkungan bisnis.
Risiko Kepatuhan Risiko kepatuhan adalah risik akibat bank
tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku serta Prinsip Syariah.
Risiko Imbal Risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah
Hasil risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil
yang dibayarkan bank kepada nasabah karena
terjadinya perubahan tingkat imbal hasil yang
diterima bank dari penyaluran dana, yang
dapat memengaruhi perilaku nasabah dana
pihak ketiga.
Risiko Investasi Risiko investasi (equity investment risk)
adalah risiko akibat bank ikut menanggung
kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam
pembiayaan bagi hasil berbasih bagi hasil.
Sumber: PBI No. 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi BUS dan UUS

3. Manajemen Risiko Kredit

a. Definisi

Menurut Bambang Rianto Rustam (2013:55) Kredit atau

risiko rekanan adalah kemungkinan bahwa debitur atau peneribit

dari instrumen keuangan baik individu, perusahaan, atau Negara

tidak membayar pokok utangnya dan arus kas lain terkait investasi

sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam perjanjian kredit.

Melekat pada perbankan, hal ini berarti pembayaran tertunda atau

tidak dilakukan sama sekali, yang menyebabkan permasalahan arus

kas dan mempengaruhi likuiditas bank. Meskipun dengan adanya


13

inovasi di sektor jasa keuangan, lebih dari 70 persen neraca Bank

umumnya terkait dengan aspek manajemen risiko. Untuk alasan

ini, risiko kredit adalah penyebab utama kegagalan bank.

Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau

pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan

perjanjian yang disepakati. Bank syariah membedakan antara dua

jenis gagal bayar, yaitu sebagai berikut.

1) Yang mampu membayar (gagal bayar sengaja).

2) Gagal bayar karena bangkrut, yaitu tidak mampu membayar

kembali utangnya karena alasan-alasan yang diakui syariah.

Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas bisnis

bank. Pada sebagian besar bank, pemberian pembiayaan

merupakan sumber risiko kredit yang terbesar.

Risiko kredit dapat meningkat karena terkonsentrasinya

penyediaan dana, antara lain pada debitur, wilayah geografis,

produk, jenis pembiayaan, atau lapangan usaha tertentu. Untuk itu,

tujuan manajemen risiko kredit adalah untuk memastikan bahwa

aktivitas penyediaan dana bank tidak terekspos pada risiko kredit

yang dapat menimbulkan kerugian pada bank.

Secara umum, eksposur risiko kredit merupakan salah satu

eksposur risiko utama dalam perbankan syariah di Indonesia

sehingga kemampuan bank untuk mengidentifikasi, mengukur,


14

memantau, dan mengendalikan risiko kredit serta menyediakan

modal yang cukup bagi risiko tersebut sangat penting.

Dari sisi nasabah, moral hazard biasa terjadi pada

pembiayaan bagi hasil karena ketidak sempurnaan informasi

petugas melihat level usaha nasabah dan terbatasnya informasi

produkvitas usaha. Kesimpulan tersebut sesuai dengan hasil

penelitian Edwin dan Wiliasih (2007) yang menemukan beberapa

penyebab terjadinya pembiayaan macet di perbankan syariah.

Tabel 2
Pembiayaan dan Penyebab Macet
Pembiayaan Penyebab Macet
Mudharabah Informasi tidak lengkap dari debitur.
Ketidaktransparannya kondisi debitur.
Sulitnya melihat level usaha dan terbatasnya
informasi tentang produktivitas usaha.

Moral hazard, ketidakhati-hati petugas dalam


menyalurkan pembiayaan.
Sumber: Mustafa Edwin, Ranti Wiliasih, “Profit Sharing dan
Moral Hazard Dalam Penyaluran Dana Pihak Ketiga di
Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. VIII
2007.

Menurut Edwin dan Wiliasih, Muhammad (2008) juga

menyarankan agar bank syariah memliki alat screening untuk

mengurangi asymmetric information (nasabah menyembunyikan

informasi yang berkaitan dengan kemampuan dan latar sebelum

kontrak) dalam pembiayaan mudharabah agar kontrak


15

mudharabah dapat diminimalkan risikonya dan terwujudnya hasil

maksimal. Moral hazard (ancaman moral) dapat dicegah melalui

monitoring biaya dan proyek. Hal ini sangat penting diperhatikan

mengingat bahwa hampir semua banker melihat unsur kemampuan

bisnis, jaminan, reputasi debitur, asal-usul debitur dan komitmen

usaha dalam pengambilan keputusan pemberian pembiayaannya.

Terhadap proyek yang akan dibiayai dengan pembiayaan

mudharabah biasanya bankir akan melihat tingkat kesehatan

proyek, jaminan kesepakatan pembayaran, prospek yang baik,

laporan keuangan proyek, kejelasan persyaratan kontrak, dan

ketegasan waktu kontrak.

b. Risiko Pembiayaan Mudharabah

1) Risiko Pembiayaan Mudharabah

“Risiko-risiko yang terdapat dalam mudharabah,


terutama pada penerapannya pada pembiayaan, relatif tinggi.
Di antaranya:
a) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan
seperti yang disebut dalam kontrak
b) Lalai dan kesalahan yang disengaja
c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya
tidak jujur.” Antonio (2001: 98).

2) Pembiayaan Bermasalah atau Non Performing Financing

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia

No.17/19/DPUM tanggal 8 Juli 2015 tentang Perubahan atas

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29

Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh


16

Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Menjelaskan Non

Performing Financing merupakan penjumlahan pembiayaan

dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet.

Perhitungan rasio NPF dilakukan dengan cara membandingkan

total NPF (pembiayaan bermasalah) dengan total pembiayaan

dikali 100%.

Total Pembiayaan Bermasalah


𝑁𝑃𝐹 = 𝑥 100%
Total Pembiayaan

NPF secara luas dapat didefinisikan sebagai suatu

kredit dimana pembayaran yang dilakukan tersendat-sendat dan

tidak mencukupi kewajiban minimal yang ditetapkan sampai

dengan kredit yang sulit untuk dilunasi atau bahkan tidak dapat

ditagih.

“Pembiayaan bermasalah adalah pinjaman yang

mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor

kesengajaan yang bersifat internal dan atau karena faktor

eksternal diluar kemampuan kendali nasabah peminjam.“

Siamat (2005:174).

“Non performing financing pada dasarnya disebabkan


oleh faktor intern dan ekstern. Faktor internal dapat berupa
ketidakmampuan dalam mengelola usaha (mismanagement)
dan terjadi pemanfaatan dana yang tidak sesuai dengan tujuan
pemberian pembiayaan (side streaming). Sedangkan faktor
eksternal lebih disebabkan oleh kondisi makro seperti inflasi,
fluktuasi harga dan nilai tukar mata uang asing, serta kondisi
yang tidak berkembang saat ini (sunset industry). Kedua faktor
industri tersebut tidak dapat dihindari mengingat adanya
17

kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi


kegiatan usaha bank.” Mahmoedin (2004:52).

3) Cara Menekan Tingkat Non Perfoming Financing

Melakukan analisis pembiayaan merupakan langkah

penting untuk realisasi pembiayaan. Proses ini digunakan untuk

menilai kelayakan usaha calon peminjam, menekan risiko

akibat tidak terbayarnya pembiayaan, dan menghitung

kebutuhan pembiayaan yang layak (Rivai, 2008: 347)

Berdasarkan UU No.21 tahun 2008 pasal 35 ayat 1 yang

menetapkan bahwa bank syariah dan UUS dalam melakukan

kegiataan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian,

dan menurut pasal 36 dalam menyalurkan pembiayaan dan

melakukan kegiatan usaha lainnya, bank syariah dan UUS

wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan

kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.

UU No.21 tahun 2008 pasal 23 secara khusus

menetapkan pedoman analisis kelayakan penyaluran dana

kepada nasabah penerima fasilitas. Pedoman analisis kelayakan

penyaluran dana perbankan syariah didasarkan kepada

penilaian yang seksama terhadap faktor-faktor di bawah ini

(Rachmadi, 2012: 143) :

a) Penilaian watak (character)

b) Penilaian kemampuan (capacity)

c) Penilaian modal (capital)


18

d) Penilaian agunan (colateral)

e) Penilaian prospek usaha (condition of ekonomi)

4. Penerapan Manajemen Risiko Kredit Berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia

a. PBI Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen

Risiko

Manajemen risiko untuk risiko kredit, termasuk

pengelolaan risiko konsentrasi pembiayaan bagi bank, baik secara

individual maupun bagi bank secara konsolidasi dengan

perusahaan anak setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut.

1) Pegawasan aktif dewan komisaris, direksi, dan DPS

Semua bank syariah wajib menerapkan manajemen risiko

melalui pegawasan aktif dewan komisaris, direksi, dan DPS

untuk risiko kredit, selain itu, bank syariah perlu juga

menerapkan beberapa hal dalam tiga aspek pegawasan aktif

dewan komisaris, direksi dan DPS, sebagai berikut:

a) Kewenangan dan tanggung jawab komisaris, direksi dan

DPS.

(1) Dewan komisaris memantau penyedian dana termasuk

mengkaji ulang penyedian dana dengan jumlah besar

atau yang diberikan kepada pihak terkait.

(2) Direksi bertanggung jawab agar seluruh aktivitas

penyediaan dana dilakukan sesuai dengan strategi dan


19

kebijakan risiko kredit yang disetujui oleh dewan

komisaris.

(3) Direksi harus memastikan bahwa penerapan manajemen

risiko dilakukan secara efektif pada pelaksanaan

aktivitas penyedia dana, dengan antara lain memantau

perkembangan dan permasalahan dalam aktivitas bank

terkait risiko kredit, termasuk penyelesaian pembiayaan

bermasalah.

(4) Dewan pengawas syariah harus melakukan evaluasi

atas kebijakan manajemen risiko khususnya aspek

risiko kredit yang terkait dengan pemenuhan prinsip

syariah.

(5) Dewan pengawas syariah harus mengevaluasi

pertanggungjawaban direksi atas pelaksanaan kebijakan

manajemen risiko khususnya aspek risiko kredit yang

terkait dengan pemenuhan prinsip syariah.

b) Sumber daya insani.

Kecukupan sumber daya insani untuk risiko kredit harus

diperhatikan untuk memastikan bahwa aktivitas penyediaan

dana bank tidak terekspos pada risiko kredit yang dapat

menimbulkan kerugian pada bank.


20

c) Organisasi Manajemen Risiko Kredit.

Terdapat berapa poin terkait dalam rangka menerapkan

manajemen risiko untuk risiko kredit, yang meliputi: (i)

unit bisnis yang melaksanakan aktivitas pemberian

pembiayaan atau penyediaan dana; (ii) unit pemulihan

pembiayaan yang melakukan penanganan pembiayaan

bermasalah; (iii) unit manajemen risiko, khususnya yang

menilai dan memantau risiko kredit. Di samping itu, juga

dibentuk komite pembiayaan yang bertanggung jawab

khususnya untuk memutuskan pemberian pembiayaan

dalam jumlah tertentu sesuai kebijakan masing-masing

bank. Keanggotaan komite pembiayaan tidak hanya

terbatas dari unit bisnis, tetapi juga dari unit-unit lain yang

terkait dengan pengelolaan risiko kredit, seperti unit

pemulihan pembiayaan.

2) Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit

Bank syariah melaksanakan kebijakan, prosedur, dan

penetapan limit untuk risiko kredit, maka selain melaksanakan

kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, bank perlu juga

menambahkan penerapan beberapa hal dalam tiap aspek

kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, sebagai berikut.


21

a) Strategi manajemen risiko.

(1) Strategi manajemen risko untuk risiko kredit harus

mencakup strategi untuk seluruh aktivitas yang

memiliki eksposur risiko kredit yang signifikan.

Strategi tersebut harus memuat secara jelas arah

penyediaan dana yang akan dilakukan, antara lain

berdasarkan jenis pembiayaan, lapangan usaha, wilayah

geografis, mata uang, jangka waktu, dan sasaran pasar.

(2) Strategi manajemen risiko untuk risiko kredit harus

sejalan dengan tujuan bank untuk menjaga kualitas

pembiayaan, laba, dan pertumbuhan usaha.

b) Tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko.

Penetapan tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi

risiko untuk risiko kredit mengacu pada cukupan penerapan

secara umum.

c) Kebijakan dan prosedur.

(1) Di dalam kebijakan risiko kredit yang mencakup

penerapan manajemen risiko untuk risiko kredit untuk

seluruh aktivitas bisnis bank, perlu ditetapkan kerangka

penyediaan dana dan kebijakan penyediaan dana yang

sehat termasuk kebijakan dan prosedur dalam rangka

pengendalian RKP. Bank harus memiliki prosedur yang

ditetapkan secara jelas untuk persetujuan penyediaan


22

dana, termasuk perubahan, pembaruan, dan pembiayaan

kembali.

(2) Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk

memastikan bahwa seluruh penyediaan dana dilakukan

secara terkendali (arm’s length basis). Apabila bank

mempunyai kebijakan yang memungkinkan dalam

kondisi tertentu untuk melakukan penyediaan dana di

luar kebijakan normal, kebijakan tersebut harus memuat

secara jelas kriteria, persyaratan, dan prosedur termasuk

langkah-langkah untuk mengendalikan atau memitigasi

risiko dari penyediaan dana dimaksud.

(3) Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk

mengidentifikasi adanya RKP.

(4) Bank harus mengembangkan dan

mengimplementasikan kebijakan dan prosedur secara

tepat sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan

sebagai berikut.

(a) Mendukung penyediaan dana yang sehat.

(b) Memantau dan mengendalikan risiko kredit,

termasuk RKP.

(c) Melakukan evaluasi secara benar dalam

memanfaatkan peluang usaha yang baru.


23

(d) Mengidentifikasi dan menagani pembiayaan

bermasalah.

(e) Kebijakan bank harus memuat informasi yang

dibutuhkan dalam pemberian pembiayaan yang

sehat, yang meliputi: tujuan pembiayaan dan

sumber pembayaran, profil risiko debitur, dan

mitigasinya serta tingkat sensitivitas terhadap

perkembangan kondisi ekonomi dan pasar,

kemampuan untuk membayar kembali, kemampuan

bisnis, dan kondisi lapangan usaha debitur serta

posisi debitur dalam industri tertentu, persyaratan

pembiayaan yang diajukan termasuk perjanjian

yang dirancang untuk mengantisipasi perubahan

eksposur risiko debitur pada waktu yang akan

datang.

(f) Kebijakan bank memuat pula faktor yang perlu

diperhatikan dalam proses persetujuan pembiyaan,

antara lain:

 Tingkat profitabilitas, antara lain dengan

melakukan analisis perkiraan biaya dan

pendapatan secara komprehensif, termasuk

biaya estimasi apabila terjadi gagal bayar, serta

perhitungan kebutuhan modal.


24

 Konsistensi pendapatan harga, yang dilakukan

dengan memperhitungkan tingkat risiko,

khususnya kondisi debitur secara keseluruhan

serta kualitas dan tingkat kemudahan pencairan

angunan yang dijadikan jaminan.

(g) Bank harus memiliki prosedur untuk melakukan

analisis, persetujuan, dan administrasi pembiayaan,

yang antara lain memuat:

 Pendelegasian wewenang dalam prosedur

pengambilan keputusan penyediaan dana yang

harus diinformalkan secara jelas.

 Pemisahan fungsi antara yang melakukan

analisis, persetujuan, dan administrasi

pembiayaan dalam kerangka kerja atau

mekanisme prosedur pendelegasian

pengambilan keputusan penyediaan dana.

 Satuan kerja yang melakukan kaji ulang secara

berkala guna menetapkan atau memuktahirkan

kualitas penyediaan dana yang terekspos risiko

kredit.
25

(h) Pengembangan sistem administrasi pembiayaan,

yang meliputi:

 Efesiensi dan efektivitas operasional

administrasi pembiayaan, termasuk pemantauan

dokumentasi, persyaratan kontrak, perjanjian

pembiayaan, dan pengikat anguan.

 Akurasi dan ketepatan waktu informasi yang

diberikan untuk sistem informasi manajemen.

 Pemisahan fungsi/tugas secara memadai.

 Kelayakan pengendalian seluruh prosedur back

office, dan

 Kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur

internal tertulis serta ketentuan yang berlaku.

(i) Bank harus menatausahakan, mendokumentasi, dan

memutakhirkan seluruh informasi kuantitatif dan

kualitatif serta bukti-bukti material dalam arsip

pembiayaan yang digunakan dalam melakukan

penilaian dan kaji ulang.

d) Limit.

(1) Bank harus menetapkan limit penyediaan dana secara

keseluruhan untuk seluruh aktivitas bisnis bank yang

mengandung risiko kredit, baik untuk pihak terkait


26

maupun tidak terkait, serta untuk individual maupun

kelompok debitur.

(2) Bank perlu menerapkan toleransi risiko untuk risiko

kredit.

(3) Limit untuk risiko kredit digunakan untuk mengurangi

risiko yang ditimbulkan, termasuk karena adanya

konsentransi penyaluran pembiayaan.

(4) Penetapan limit risiko kredit harus didokumentasikan

secara tertulis dan lengkap yang memudahkan

penetapan jejak audit, baik untuk kepentingan auditor

internal maupun eksternal.

3) Proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian

risiko, serta sistem informasi manajemen (SIM) risiko kredit.

Bank syariah menerapkan manajemen risiko melalui

proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian

risiko, serta SIM risiko untuk risiko kredit, maka selain itu

bank perlu juga menambahkan penerapan bebereapa hal dalam

tiap proses dimaksud, sebagai berikut.

a) Identifikasi risiko kredit.

(1) Sistem untuk melakukan identifikasi risiko kredit,

termasuk identifikasi terhadap RKP, harus mampu

menyediakan informasi yang memadai, antara lain

mengenai komposisi portofolio pembiayaan.


27

(2) Bank perlu mempertimbangkan faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat risiko kredit dalam melakukan

identifikasi risiko kredit, baik secara individual maupun

portofolio pada waktu yang akan, datang seperti

kemungkinan perubahan kondisi ekonomi serta

penilaian eksposur risiko kredit dalam kondisi tertekan.

(3) Bank perlu mempertimbangkan hasil penilaian kualitas

pembiayaan dalam mengidentifikasi risiko kredit

berdasarkan pada analisis terhadap prospek usaha,

kinerja keuangan, dan kemampuan membayar debitur.

(4) Ketika bank mengidentifikasi risiko kredit untuk

kegiatan tresuri dan investasi, penilaian terhadap risiko

kredit juga harus diperhatikan jenis karekteristik

instrumen, dan likuiditas pasar serta faktor-faktor lain

yang dapat memengaruhi risiko kredit.

(5) Penanganan khusus untuk RKP ialah bank harus

mengidentifikasi penyebab RKP akibat faktor

idiosinkratik (faktor yang secara spesifik terkait pada

masing-masing debitur) dan faktor sistematik (faktor-

faktor ekonomi makro dan faktor keuangan yang dapat

mempengaruhi kinerja dan/atau kondisi pasar).


28

b) Pengukuran risiko kredit.

(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur tertulis untuk

melakukan pengukuran risiko yang memungkinkan

untuk:

(a) Sentralisasi eksposur neraca (dikenal juga sebagai

laporan posisi keuangan) dan rekening adminstratif

yang mengandung risiko kredit dari setiap debitur

atau per kelompok debitur dan/atau pihak lawan

transaksi (counterparty) tertentu mengacu pada

konsep single obligor.

(b) Penilaian perbedaan kategori tingkat risiko kredit

antar debitur/pihak lawan transaksi dengan

mengunakan kombinasi aspek kualitatif dan

kuantitatif serta pemilihan kriteria tertentu.

(c) Distribusi informasi hasil pengukuran risiko secara

lengkap untuk tujuan pemantauan oleh satuan kerja

terkait.

(2) Sistem pengukuran risiko kredit setidaknya

mempertimbangkan:

(a) Karekteristik setiap jenis transaksi yang terekspos

risiko kredit.

(b) Kondisi keuangan debitur/pihak lawan transaksi

serta persyaratan dalam perjanjian pembiayaan


29

seperti tingkat margin atau nisbah bagi hasil

pembiayaan.

(c) Jangka waktu pembiayaan dikaitkan dengan

perubahan potensial yang terjadi di pasar.

(d) Aspek jaminan, agunan, dan/atau garansi.

(e) Potensi terjadinya gagal bayar, baik berdasarkan

pada hasil penilaian pendekatan standar maupun

hasil penilaian pendekatan yang menggunakan

proses pemeringkatan yang dilakukan secara

internal.

(f) Kemampuan bank untuk menyerap potensi

kegagalan.

(3) Bank yang menggunakan teknik pengukuran risiko

dengan pendekatan pemeringkat internal (internal

rating) harus melakukan pemutakhiran data secara

berkala.

(4) Alat pengukuran harus dapat mengukur eksposur risiko

inheren yang dapat dikuantifikasikan, antara lain

komposisi portofolio aset yang meliputi jenis dan fitur

eksposur dan tingkat konsentrasi, dan kualitas

penyediaan dana yang meliputi tingkat aset bermasalah

dan aset yang diambil alih.


30

(5) Bank yang mengembangkan dan menggunakan sistem

pemeringkatan internal dalam pengelolaan risiko

kreditnya, harus menyesuaikan sistem tersebut dengan

karekteristik portofolio, besaran, dan kompleksitas dari

aktivitas bisnis bank.

(6) Prinsip pokok dalam penggunaan pemeringkatan

internal adalah sebagai berikut:

(a) Prosedur penggunaan sistem pemeringkatan internal

harus diformalkan dan didokumentasikan.

(b) Sistem pemeringkatan internal harus dapat

mengidentifikasi secara dini perubahan profil risiko

yang disebabkan oleh penurunan potensial atau

actual dari risiko kredit.

(c) Sistem pemeringkatan internal harus dievaluasi

secara berkala oleh satuan kerja yang independen

terhadap satuan kerja yang mengaplikasikan

pemeringkatan internal tersebut.

(d) Apabila bank menggunakan pemeringkatan internal

untuk menentukan kualitas aset dan besarnya

cadangan, harus terdapat prosedur formal yang

memastikan bahwa penetapan kualitas aset dan

cadangan dengan pemeringkatan internal adalah


31

lebih pruden atau sama dengan ketentuan terkait

yang berlaku.

(e) Laporan yang dihasilkan oleh pemeringkatan

internal, seperti laporan kondisi portofolio

pembiayaan harus disampaikan secara berkala

kepada direksi.

(7) Salah satu model yang dapat digunakan bank adalah

metedologi statistik/probabilistik untuk mengukur

risiko berkaitan dengan jenis tertentu dari transaksi

risiko kredit, sepeti scoring tools.

(8) Dalam penggunaan sistem tersebut, bank harus:

(a) Melakukan kaji ulang secara berkala terhadap

akurasi model dan asumsi yang digunakan untuk

meproyeksikan kegagalan.

(b) Menyesuaikan asumsi dengan perubahan yang

terjadi pada kondisi internal dan eksternal.

(9) Apabila terdapat eksposur risiko yang besar atau

transaksi yang relative kompleks, maka proses

pengambilan keputusan transaksi risiko kredit tidak

hanya didasarkan pada sistem tersebut, tetapi juga harus

didukung sarana pengukuran risiko kredit lainnya.

(10) Bank harus mendokumentasikan asumsi, data, dan

informasi lainnya yang digunakan pada sistem tersebut,


32

termasuk perubahannya, serta dokumentasi tersebut

selanjutnya dimutakhirkan secara berkala.

(11) Penerapan sistem ini harus:

(a) Mendukung proses pengambilan keputusan dan

memastikan kepatuhan terhadap ketentuan

pendelegasian wewenang.

(b) Independen terhadap kemungkinan rekayasa yang

akan memengaruhi hasil melalui prosedur

pengamanan yang layak dan efektif.

(c) Dikaji ulang oleh satuan kerja atau pihak yang

independen terhadap satuan kerja yang

mengaplikasikan sistem tersebut.

c) Pemantauan risiko kredit.

(1) Bank harus mengembangkan dan menerapkan sistem

informasi dan prosedur yang komprehensif untuk

memantau komposisi dan kondisi setiap debitur atau

pihak lawan transaksi terhadap seluruh portofolio

pembiayaan bank syariah. Sistem tersebut harus sejalan

dengan karekteristik, ukuran, dan kompleksitas

portofolio bank.

(2) Prosedur pemantauan harus mampu untuk

mengidentifikasi aset bermasalah ataupun transaksi

lainnya untuk menjamin bahwa aset bermasalah


33

tersebut mendapat perhatian yang lebih, termasuk

tindakan penyelamatan serta pembentukan cadangan

yang cukup.

(3) Sistem pemantauan pembiayaan yang efektif akan

memungkinkan bank untuk melakukan tindakan-

tindakan sebagai berikut.

(a) Memahami eksposur risiko kredit secara total

maupun per aspek tertentu untuk mengantisipasi

terjadinya RKP, antara lain per jenis pihak lawan

transaksi, lapangan usaha, sektor industrial, atau per

wilayah geografis.

(b) Memahami kondisi keuangan terkini dari debitur

atau pihak lawan termasuk memperoleh informasi

mengenai komposisi aset debitu dan tren

pertumbuhan.

(c) Memantau kepatuhan terhadap persyaratan yang

ditetapkan dalam perjanjian pembiayaan atau

kontrak transaksi lainnya.

(d) Menilai kecakupan agunan secara berkala

dibandingkan dengan kewajiban debitur atau pihak

lawan transaksi.

(e) Mengidentifikasi permasalahan secara tepat

termasuk ketidaktepatan pembayaran dan


34

mengklasifikasikan potensi pembiayaan bermasalah

secara tepat waktu untuk tindakan perbaikan.

(f) Menangani dengan cepat pembiayaan bermasalah.

(g) Mengidentifikasi tingkat risiko kredit, baik secara

keseluruhan maupun per jenis aset tertentu.

(h) Kepatuhan terhadap limit dan ketentuan lainnya

terkait penyediaan dana, termasuk limit RKP.

(i) Pengecualian yang diambil terhadap penyediaan

dana tertentu.

(4) Dalam pelaksanaan pemantauan eksposur risiko kredit,

Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) harus

menyusun laporan mengenai perkembangan risiko

kredit secara berkala, termasuk faktor-faktor

penyebabnya, dan menyampaikannya kepada KMR dan

direksi.

d) Pengendalian risiko kredit.

(1) Dalam rangka pengendalian risiko kredit, bank harus

memastikan bahwa satuan kerja yang melakukan

transaksi yang terekspos risiko kredit telah berfungsi

secara memadai dan eksposur risiko kredit dijaga tetap

konsisten dengan limit yang ditetapkan serta memenuhi

standar kehati-hatian.
35

(2) Pengendalian risiko kredit dapat dilakukan melalui

beberapa cara, antara lain mitigasi risiko, pengelolaan

posisi, dan risiko portofolio secara aktif, penetapan

target batasan risiko konsentrasi dalam rencana tahunan

bank, penetapan tingkat kewenangan dalam proses

persetujuaan pemyediaan dana, dan analisis konsentrasi

secara berkala setidaknya satu kali dalam setahun.

(3) Bank harus memiliki sistem yang efektif untuk

mendeteksi pembiayaan bermasalah. Selain itu, bank

harus memisahkan fungsi penyelesaian pembiayaan

bermasalah tersebut dengan fungsi yang memutuskan

penyaluran pembiayaan. Setiap strategi dan hasil

penanganan pembiayaan bermasalah ditatausahakan

yang selanjutnya digunakan sebagai input untuk

kepentingan satuan kerja yang berfungsi menyalurkan

atau merestrukturisasi pembiayaan.

e) Sistem informasi manajemen risiko kredit.

(1) Sistem informasi manajemen risiko untuk risiko kredit

harus mampu menyediakan data secara akurat, lengkap,

informatif, tepat waktu, dan dapat diandalkan mengenai

jumlah seluruh eksposur pembiayaan peminjam

individual dan pihak lawan transaksi, portofolio

pembiayaan serta laporan pengecualian limit risiko


36

kredit agar dapat digunakan direksi untuk

mengidentifikasi adanya RKP.

(2) Sistem informasi yang dimiliki harus mampu

mengakomodasi strategi mitigasi risiko kredit melalui

berbagai macam metode atau kebijakan, misalnya

penetapan limit, asuransi, aguanan, dan lain-lain.

4) Sistem Pengendalian Intern Manajemen Risiko Kredit

Disamping bank syariah melakukan penerapan

manajemen risiko melalui pelaksanaan sistem pengendalian

internal untuk risiko kredit, instansi tersebut juga perlu

menerapkan hal-hal sebagai berikut.

a) Sistem kaji ulang yang independen dan berkelanjutan

terhadap efektivitas penerapan proses manajemen risiko

untuk risiko kredit yang setidaknya memuat evuluasi proses

administrasi pembiayaan, penilaian akurasi penerapan

pemeringkatan internal, atau penggunaan alat pemantauan

lainnya, dan efektivitas pelaksanaan satuan kerja atau

petugas yang melakukan pemantauan kualitas pembiayaan.

b) Sistem kaji ulang internal oleh individu yang independen

dari satu unit bisnis untuk membantu evaluasi proses

pembiayaan secara keseluruhan, menentukan akurasi

peringkat internal, dan menilai apakah account officer

memonitori pembiayaan secara individual dengan tepat.


37

c) Sistem pelaporan yang efesien dan efektif untuk

menyediakan informasi yang memadai kepada dewan

komisaris, direksi dan komite audit.

d) Audit internal atas proses risiko kredit dilakukan secara

periodik, yang meliputi apakah:

(1) Aktivitas penyedian dana telah sejalan dengan

kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.

(2) Seluruh otorisasi dilakukan dalam batas panduan yang

diberikan.

(3) Kualitas individual pembiayaan dan komposisi

portofolio telah dilaporkan secara akurat kepada direksi.

(4) Terdapat kelemahan dalam proses manajemen risiko

untuk risiko kredit, kebijakan, prosedur, dan limit.

5. Penyelamatan atau Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah

Secara umum penanganan terhadap pembiayaan masalah dapat

dilakukan dengan cara penyelamatan dan penyelesaian.

a. Penyelamatan pembiayaan bermasalah

Penyelamatan pembiayaan adalah istilah teknis yang biasa

dipergunakan di kalangan perbankan terhadap upaya dan langkah-

langkah yang dilakukan bank dalam usaha mengatasi permasalahan

pembiayaan yang dihadapi debitur yang masih memiliki prospek

usaha yang baik, namun mengalami kesulitan pembayaran pokok

dan atau kewajibannya, agar debitur dapat memenuhi kembali


38

kewajibannya. Penyalamatan pembiayaan bermasalah dapat

dilakukan dengan cara restrukturisasi pembiayaan (Faturrahman,

2012: 82).

b. Penyelesaian pembiayaan bermasalah

Untuk pembiayaan yang tidak bisa diseleikan melalui tahap

penyelamatan lebih lanjut dilakukan melalui tahap penyelesaian

pembiayaan baik penyelesaian secara damai atau penyelesaian

secara paksa (Faturrahman, 2012: 101).

1) Penyelesaian secara damai merupakan penyelesaian yang

dilakukan oleh bank itu sendiri, yang dimana penyelesaian

dilakukan secara bertahap, yang dimana nasabah masih

diberikan kesempatan untuk mengangsur kewajiban

pembiayaannya atau mengalihkan hutangnya, atau memberikan

kesempatan nasabah melakukan penjualan jaminan dibawah

tangan demi mendapatkan harga

tertinggi.

2) Penyelesaian secara paksa yaitu penyelesaian yang dilakukan

melalui saluran hukum atau lembaga lain (kantor lelang, debt

collector, peradilan, badan arbitrase, dan Direktorat Jenderal

Piutang dan Lelang Negara).


39

B. Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam penulisan ini penulis menemukan penelitian terdahulu dan

membandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan, yang dipaparkan

pada tabel berikut :

Tabel 3
Perbandingan Penelitian

Identitas Penelitian Refaat Zharfan Nadia Maya Sari Dewi

A311 07 698 C2C008094

Universitas Universitas
Hasanuddin Diponegoro
Aspek
Makassar Semarang

Judul Optimalisasi Skema Analisis Penerapan


Bagi Hasil Sebagai Struktur Pengendalian
Solusi Permasalahan Intern Terhadap
Principal-Agent Prosedur Pemberian
Dalam Pembiayaan Pembiayaan Untuk
Mudharabah Pada PT. Meningkatkan
Bank BNI Syariah Pencegahan
Cabang Makassar Pengembalian Macet
Yang Diberikan Oleh
Bank BNI Syariah
Cabang Semarang

Instansi Perusahaan PT. Bank BNI Syariah PT. Bank BNI Syariah
yang diteliti Cabang Makassar Cabang Semarang

Permasalahan Bagaimana Bagaimana pemberian


mengoptimalkan pembiayaan dana
skema bagi hasil kepada calon debitur
sehingga dapat serta melakukan
menjadi solusi analisis calon debitur
permasalahan agar putusan
principal-agent dalam pembiayaan diambil
pembiayaan
40

mudharabah pada PT. dengan tepat.


Bank BNI Syariah
Cabang Makassar.

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Untuk mengetahui


bagaimana bagaimana pemberian
mengoptimalkan pembiayaan dana
skema bagi hasil kepada calon debitur
sehingga dapat serta melakukan
menjadi solusi analisis calon debitur
permasalahan agar putusan
Principal-Agent, yaitu pembiayaan diambil
adverse selection dan dengan tepat.
moral hazard yang
ada dalam
pembiayaan
mudharabah pada PT.
Bank BNI Syariah
Cabang Makassar.

Metode Peneltian Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data
yang digunakan yang digunakan
merupakan data merupakan data primer
primer dan sekunder. dan sekunder. Teknik
Teknik pengumpulan pengumpulan data
data penelitian penelitian lapangan dan
lapangan dan kepustakaan.
kepustakaan.

Menurut Refaat Zharfan (2012) dalam skripsinya bahwa ada dua

permasalahan Principal Agent yang terjadi dalam pembiayaan dengan

akad mudharabah yaitu adverse selection dan moral hazard. Penetapan

skema bagi hasil yang optimal yaitu yang memenuhi utilitas bank syariah

dan nasabah maka masalah adverse selection dan moral hazard yang

terjadi dalam pembiayaan mudharabah dapat ditekan seminimal mungkin.


41

Meskipun pembiayaan mudharabah memiliki risiko yang tinggi, dengan

mengoptimalkan skema bagi hasil pada pembiayaan mudharabah maka

risiko-risiko yang ada dapat ditekan dan nantinya dapat meningkatnya

jumlah pembiayaan mudharabah pada bank syariah.

Menurut Nadia Maya Sari Dewi (2012) dalam skripsinya bahwa

pembiayaan yang mengalami pengembalian macet pada Bank BNI Syariah

cabang Semarang selama periode tahun 2011 hal ini tidak disebabkan

kurang efektifnya sistem pengendalian intern yang diterapkan dalam

pemberian pembiayaan melainkan karena faktor-faktor lain seperti hal

yang tidak dapat diduga sebelumnya baik pihak manajemen maupun

nasabah yaitu faktor lingkungan dan faktor keadaan nasabah.

Anda mungkin juga menyukai