Anda di halaman 1dari 26

PEMIKIRAN QOSIM AMIN TENTANG POLIGAMI

Muhammad Saifuddin Umar

Ahmad Hasan Al Banna

Muhammad Bashori

A. Pendahuluan

Menikah: Menikah adalah salah satu Sunnah Rasulullah SAW yang tergolong penting.

Bahkan Rasulullah pernah berkata akan mengeluarkan seseorang dari barisan umatnya

jika membenci atau tidak mau untuk menikah. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada yang

namanya pemisahan diri dengan kelompok tertentu yang memiliki jenis kelamin yang

berbeda. Dengan demikian, Islam sangat melarang adanya sesorang yang menghindar

untuk menikah, baik itu laki atau perempuan yang dengan sengaja menghindar untuk

dinikahi karena sebab-sebab tertentu. Misalnya, seorang wanita ingin tetap dalam

kesucian.1

Poligami: Persoalan yang paling banyak dibicarakan dalam lingkup pernikahan adalah

poligami. Poligami ini memang sangat kontroversial, ada satu sisi menolak poligami

dengan sandaran berbagai macam, baik itu yang bersifat normatif, psikologis bahkan

banyak pula yang mengaitkan dengan munculnya ketidakadilan gender.2

Qosim Amin: Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami

adalah boleh secara mutlak. Sebagian pemikir kontemporer dan perundang- undangan

1
Andi Intan Cahyani, “Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum
Keluarga Islam 5, no. 2 (2018): 271, https://doi.org/10.24252/al-qadau.v5i2.7108. hal 272
2
Cahyani.
muslim modern membolehkan poligami dengan syarat- syarat dan dalam kondisi tertentu

yang sangat terbatas.3 Sebagian ilmuan yang lain seperti Qasim Amin mempunyai pola

pikir yang kontemporer.4

Qasim Amin (1 Desember 1863 - 23 April 1908), adalah salah satu tokoh pemikir

kontemporer, beliau adalah tokoh reformis dari Mesir yang menggelorakan semangat

pembebasan wanita. Kehadiran Qasim mendongkrak tradisi masyarakat Mesir, dimana

wanita dijadikan sebagai budak dan pemuas nafsu kaum pria serta selalu dipingit di dalam

rumah, (Musyafa’ah, 2013).5

B. BIOGRAFI QOSIM AMIN

Qosim Amin lahir pada awal Desember tahun 1863 di Mesir. Ayahnya bernama

Muhammad Amin keturunan Kurdi Turki dan ibunya bernama Karimah Ahad Khitob

keturunan Mesir. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah "Ra's al-Tin"

Iskandariyah dan melanjutkan sekolah menengah di Kairo. Ia berhasil meraih gelar

S1-nya dari fakultas hukum pada tahun 1881 M. Kemampuannya untuk

menyelesaikan kuliah pada usia 22 tahun menandakan jika Qosim Amin memang

3
Haris Hidayatulloh, “Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm,” Religi Jurnal Studi Islam 6 (2015): 207–36.
4
Muhammad Haramain, “Dakwah Pemberdayaan Perempuan: Telaah Pemikiran Qasim Amin Tentang
Kesetaraan Gender,” Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam: Jurnal Pemikiran Islam 5, no. 2 (2019): 218–35,
http://ejournal.iainkendari.ac.id/zawiyah/article/view/1403; Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk
Kekerasan Terhadap Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi Gender 7, no. 2 (2012): 1,
https://doi.org/10.21580/sa.v7i2.646.
5
Eliana Siregar, “Pemikiran Qasim Amin Tentang Emansipasi Wanita,” Kafa`ah: Journal of Gender Studies 6,
no. 2 (2017): 251, https://doi.org/10.15548/jk.v6i2.143; Hasri Hasri, “Emansipasi Wanita Di Negara Islam
(Pemikiran Qasim Amin Di Mesir),” Al-Khwarizmi: Jurnal Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam 2, no. 2 (2018): 107–14, https://doi.org/10.24256/jpmipa.v2i2.117.
seorang yang cerdas dan pintar. Tidak heran jika kemudian ia mendapatkan beasiswa

untuk memperdalam ilmu hukumnya di Perguruan Tinggi di Perancis.6

Ketika di Perancis itulah Qosim berusaha aktif berinteraksi dengan masyarakat

sekitar. Ia sempat bertemu dengan dua tokoh modernis yang paling berpengaruh yaitu

Jamaluddin al Afghani dan Imam Muhammad Abduh. Ketika itu ia juga akrab dengan

buku karangan Natzi (1844-1990M), Darwin (1809-1882) dan Karl Marx (1818-

1883M) dan sebagainya. Setelah berhasil menamatkan kuliahnya selama empat tahun

ia pun kembali ke Kairo pada 1885. Pada tahun 1894 ia menikah dengan gadis Mesir

bernama Zainab. Dari Pernikahannya tersebut dikaruniai dua putri yaitu Zainab dan

Gelsen.7

Qosim mengawai karirnya dengan bekerja di kantor pengacara Mustofa Fahmi sejak

lulus dari kuliah hukum di Mesir, namun karena harus melanjutkan studi ke Perancis

ia keluar dari kantor tersebut.8

Sepulang dari Perancis tahun 1885, ia bekerja di Pengadilan Mesir. Semenjak itu

karirnya sebagai hakim semakin menanjak, ia pernah menjadi kepala cabang di

beberapa pengadilan daerah yaitu Bani Suif pada tahun 1889 dan Thonto pada 1891.

Pada 1892 menjadi wakil hakim pada pengadilan isti'naf dan dua tahun kemudian

menjadi penasehat hakim. Ia meninggal pada tahun 1908 dalam usia 55 tahun.9

6
Nur Lailatul Musyafa’ah, “Hijab Wanita Dalam Pandangan Qasim Amin,” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga
Islam 1, no. 1 (2010): 27–44.
7
Musyafa’ah., hal 29.
8
Musyafa’ah., hal 29.
9
Musyafa’ah., hal 30.
Semasa hidupnya ia aktif menulis artikel dan buku. Di antara karyanya adalah al-

Misriyyun (Bangsa Mesir) diterbitkan taun 1894 dalam bahasa Perancis, Tahrir al

Mar'ah (Emansipasi Wanita) diterbitkan tahun 1899, dan al Mar'ah al Jadidah (Wanita

Modern) diterbitkan tahun 1890. Sedangkan artikelnya telah dikumpulkan dan

diterbitkan setelah ia wafat dalam kumpulan tulisan berjudul Asbab wa Nataij (Sebab

dan Akibat) dan Kalimat li Qasim Amin (Ide-ide Qasim Amin).10

Qasim Amin seorang politikus, pengacara, jurnalis Mesir pro Barat, didikan Perancis

abad ke-19 mencurahkan perhatiannya terhadap masalah perempuan dengan menulis

kitab tentang emansipasi wanita dalam bukunya Tahrir al Mar'ah. Namun sebelum

menulis Tahrir al Mar'ah, Qasim menulis buku berbahasa Perancis berjudul Les

EGYPTIENS diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan al-Misriyyun (Bangsa Mesir)

pada 1894. Kitab ini ditulis untuk merespon karya penulis orientalis dari Perancis Duc

d'harcourt yang berjudul Misr wa al Misriyyun (Mesir dan warganya). Dalam

bukunya tersebut Duc d'harcourt mengkritik budaya Mesir yang terbelakang dan

dalam satu bab khusus menulis tentang tradisi hijab wanita di Mesir yang

membelenggu kebebasan wanita sehingga mereka tidak bisa maju sebagaimana

wanita Barat.11

Sebagai warga Mesir yang memiliki jiwa nasionalisme Qasim tidak bisa tenang

membaca karya Duc d'harcourt tersebut hingga ia jatuh sakit selama dua minggu.

10
Musyafa’ah., hal 30
11
Musyafa’ah.
Karena itu ia tergerak menjawab kritikan Duc d'harcourt dengan menulis kitab Al-

Misriyyun (Bangsa Mesir). Dalam kitab tersebut Qasim berusaha menjawab kritikan

DUc d'harcourt dengan membela agama dan bangsanya, tidak lupa dalam satu bab

khusus Qasim membela budaya wanita arab khususnya Mesir tentang budaya yang

berlaku bagi mereka ketika itu seperti hijab dan poligami bahkan ia mengkritik

kebebasan di Barat yang menurutnya malah merendahkan derajat wanita. Menurut

Qasim Amin dengan adanya hijab dan Poligami dipraktekkan wanita Mesir akan

melindungi mereka dari gangguan dan akan menjaga wibawa seorang wanita.12

Namun lima tahun kemudian, pada 1899 Qasim menulis buku yang berjudul Tahrir

al-Mar'ah (Emansipasi Wanita). Dalam buku tersebut Qasim berbalik membela

kebebasan Wanita Eropa dan mengkritik budaya Mesir yang mendiskriminasikan

wanita, dalam bukunya tersebut ia membicarakan tentang bagaimana membawa

bangsa Mesir dari kemundurannya menuju "peradaban" dan "modernitas". Dalam

buku Tahrir al-Mar'ah Qasim Amin mengupas empat hal, yaitau: Hijab, Poligami,

Pendidikan dan Masalah Perceraian. Dalam semua masalah ini ia mengemukakan

pendapat yang sesuai dengan aliran barat, dengan pengakuan bahwa pendapatnya

tersebut adalah sesuai dengan Islam.13

Perhatian Qasim Amin terhadap emansipasi wanita terdapat pengaruh dari pemikiran

Muhammad Abduh. Menurut Muhammad Abduh, wanita dalam Islam sebenarnya

12
Musyafa’ah.
13
Musyafa’ah.
mempunyai kedudukan yang tinggi, tetapi adat istiadat yang dari luar Islam merobah

hal itu sehingga wanita Islam akhirnya mempunyai kedudukan rendah dalam

masyarakat. Ide inilah yang dikupas Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar'ah

(Emansipasi Wanita) yang terbit pada tahun 1899 M. Menurut pendapatnya umat

Islam mundur karena kaum wanita, yang di Mesir merupakan setengah dari

penduduk, tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Pendidikan wanita perlu

bukan hanya agar mereka dapat mengatur rumah tangga dengan baik, tetapi lebih dari

itu untuk dapat memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak.14

C. PEMIKIRAN QOSIM AMIN TENTANG POLIGAMI

o MAKNA POLIGAMI

Kata Poligami, secara etimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu polus yang berarti

banyak dan gamos yang berarti perkawinan.15 Sedangkan dalam bahasa Arab poligami

sering diistilahkan dengan ta‟addud az-zaujat.16

Dalam pengertian ini tidak dicantumkan jumlah istri dalam berpoligami tetapi islam

membatasinya sampai empat orang kalau ada keinginan suami menambah lagi maka

salah satu dari yang empat ituharus diceraikan, sehingga jumlahnya tetap sebanyak

empat orang istri.17

14
Musyafa’ah.
15
W.J.S Poerdarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.693
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h.1089 122
17
Perpustakaan Nasional RI, Loc., Cit.
Poligami dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan ta‘addud az-zaujah. Poligami

menurut istilah adalah ikatan perkawinan dimana salah satu pihak mengawini

beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian

di atas ditemukan kalimat‚ salah satu pihak‛, akan tetapi karena istilah perempuan

yang mempunyai banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud

dengan poligami adalah ikatan perkawinan dengan seorang suami mempunyai

beberapa orang isteri (poligini) dalam waktu yang bersamaan. Kebalikan dari

poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami

mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Istilah lainnya adalah monogini,

yaitu prinsip bahwa suami hanya mempunyai satu isteri.18

Poligami telah ada sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Dan telah

dilaksanakan di dunia Arab dan selain Arab. Kemudian datanglah Islam untuk

menegaskan syariat tersebut, meluruskan, membatasi, dan menetapkan syarat-syarat

kebolehannya.

Setelah Islam datang, segala bentuk perkawinan di atas dihapus kecuali poligami,

hanya saja perkawinan poligami ini kemudian dibatasi sampai pada batas maksimal 4

orang isteri. Terdapat sejumlah riwayat yang memaparkan pembatasan poligami

18
K Ulum, “POLIGAMI DALAM PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR: Pembacaan Ulang Terhadap
Makna Dan Ketentuan Poligami,” Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman 5, no. 36 (2015): 1–13,
https://www.academia.edu/download/48744970/515-1535-1-PB.pdf.
tersebut, diantaranya riwayat dari Al-H}âriś ibn Qays. Ia berkata‚ Ketika masuk

Islam, aku memiliki delapan orang isteri, maka aku melaporkannya kepada Nabi‛.

Kemudian Rasulullah berkata ‚Pilihlah dari mereka empat orang isteri.19

Dalam pandangan Muhammad Syahrur, Allah tidak hanya membolehkan

poligami, bahkan menganjurkannya dengan syarat isteri kedua, ketiga dan keempat

adalah janda yang memiliki anak yatim dan adanya rasa khawatir atas tidak adanya

sikap adil terhadap anak- anak yatim. Menurutnya, dalam poligami terdapat sisi

kemanusiaan dan sosial yang akan terurai (terselesaikan), yaitu manakala keadilan

terhadap anak-anak yatim tidak dapat terlaksanakan dengan baik, dengan cara

menikahi perempuan janda yang memiliki anak yatim.20

o POLIGAMI MENURUT QOSIM AMIN

Pandangan negatif Qasim Amin terhadap praktik poligami, dilatarbelakangi realita

akan banyaknya pratik poligami yang menimbulkan mudharat bagi keharmonisan

rumah tangga. Akan tetapi terlihat bahwa dalam beberapa kondisi ia membolehkan

poligami dilakukan. Seperti yang dikatakan ulama pada umumnya, bahwa poligami

diperbolehkan dalam keadaan darurat dengan syarat dapat dipercaya menegakkan

keadilan dan aman dari perbuatan melewati batas.21


19
Ulum.
20
Ulum.
21
Age Surya Dwipa Chandra, “Pemikiran Qasim Amin Tentang Pembaharuan Hukum Perkawinan Dalam Islam
( Studi Kitab Tahrir Al- Mar ’ Ah ),” 2018, 1–139, https://repository.radenintan.ac.id/3833/.
D METODE PENELITIAN :

Penelitian ini menggunakan metoda studi Pustaka,menurut Sudiono, (2012 ) adalah

merupakan kajian teoritis, referensi serta literatur ilmiah lainnya yang berkaitan

dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti

Dalam penelitian yang memakai studi Pustaka akan di spesifikan dalam Jenis studi

kepustakaan yang pertama adalah kajian pemikiran tokoh, sesuai namanya. Studi

kepustakaan ini menjadikan pemikiran atau pola pikir seorang tokoh menjadi topik

tulisan maupun penelitian.Daam hal ii pada penelitian ini akan mengkaji tokoh

emansipasi Mesir, Amin Qosim

Lewat jenis studi kepustakaan ini, penulis kemudian mencari referensi berbentuk

karya tulis yang membahas hasil pemikiran tokoh yang diangkat. Bisa dari buku

biografi tokoh tersebut, buku yang merangkum karya dari tokoh tersebut, dan lain

sebagainya.

PENELITIAN TERDAHULU

Terdapat penelitian terdahulu tentang Poligami prespektif Qosim amin diantaranya :

1 Jurnal dengan judul “Kontriusi Pemikiran Qosim amin Dalam Pembaharuan

HukumKeluarga Islam “Tulisan ini menerangkan duahal .pertama Sejarah

pembaharuan hukum keluarga didunia Muslim.Kedua, kontribusi

o RESPON ULAMA TERHADAP PEMIKIRAN QOSIM AMIN


Muhammad Abduh mengatakan dalam Tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Rasyid

Ridha, “Meskipun agama islam membuka jalan bagi poligami, tetapi jalan itu sangat

disempitkan, sehingga poligami hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan dalam keadaan

darurat. Oleh karena itu, poligami hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang terpaksa serta

meyakini bahwa dia sanggup berlaku adil22

Pandangan Qasim Amin Tentang Wanita

Menurut Qasim Amin kemunduran umat Islam terletak pada lemahnya pember-dayaan kaum

perempuan. Dalam Islam seakan-akan ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum

perempuan sehingga derajat kaum laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum

perempuan. Menurut Qasim, pendapat itu tidaklah benar, karena kaum perempuan-lah yang

berperan penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diber-dayakan, paling tidak

disejajarkan dengan kaum laki-laki.

Bagi qosim Amin kebangkitan suatu bangsa adalah dengan ilmu pengetahuan, oleh karena

itu Eropa terus bergerak maju menuju masyarakat yang sempurna. Sebagaimana Bagi Qasim

Amin, selalu meng idolakan Eropa dalam semua hal. Qasim Amin menulis, “Jika ada orang

yang berkata bahwa Eropa maju secara material sedangkan kita secara moral lebih baik,

pernyataan ini sama sekali tidak benar. Secara moral orang-orang Eropa lebih maju dan

dalam semua aspek kehidupannya lebih unggul, termasuk di dalamnya tentang kebebasan

wanitanya.”

22
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung: Pustaka
Setia, 2013), h. 31.
Pokok-pokok pikiran tersebut telah memberikan inspirasi pada Qasim Amin, sehingga pada

tahun 1899 ia menulis buku terkenal yang diberi judul ”Tahrir al Mar’ah“ atau “Pembebasan

Wanita”. Ada sedikit perbedaan pandangan antara Qasim Amin dengan gurunya (Muhammad

Abduh) mengenai penyebab kemajuan kaum wanita. Qasim Amin mengidolakan kehidupan

Eropa dalam segala hal, termasuk kebebasan kaum wanitanya harus ditiru kalau kita ingin

maju. Sedangkan Muhammad Abduh meman-dang bahwa wanita Islam sebenarnya memiliki

kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam-lah yang mengubah hal itu,

sehingga akhirnya wanita Islam mempunyai kedudukan yang rendah dalam masyarakat.

Adapun pandangan Qasim Amin mengenai peran wanita, ia berpendapat bahwa umat Islam

mundur karena kaum wanitanya yang merupakan setengah dari penduduk-nya tidak pernah

memperoleh pendidikan sekolah. Padahal dalam Islam tidak ada perbedaan antara laki-laki

dan perempuan dalam hak mendapatkan ilmu pengetahuan. Dari sini Qasim Amin melihat

pentingnya kaum wanita belajar di sekolah-sekolah sampai jenjang perguruan tinggi dan

menangani urusan-urusan sosial-ekonomi sebagaimana kaum laki-laki. Qasim Amin juga

menentang pilihan sepihak dalam soal rumah tangga seperti dalam hal poligami dan

perceraian. Menurut pendapatnya wanita harus diberi hak yang sama dengan pria dalam hal

memilih pasangan hidupnya. Sesungguhnya al-Qur’an, pada hakekatnya mengajarkan

monogami. Menurutnya, sistem perkawinan pada saat ini yang bagi pria dapat memiliki

wanita dengan pilihan sepihak dan hanya dihadiri oleh dua orang saksi saja adalah pendapat

yang keliru dan merendahkan kedudukan wanita. Begitupun poligami, ia adalah wujud
penghinaan terhadap wanita, karena tidak ada wanita yang ingin dimadu, sebagaimananya

tidak adanya laki-laki senang bila istrinya diganggu. Hal ini merupakan tabiat bagi pria dan

wanita. Firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa’: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat

berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena

itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan

yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari

kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. an-

Nisaa'; 129), sebenarnya menunjukkan adanya larangan berpoligami, karena tidak ada

kemungkinan bagi pria untuk bisa berlaku adil, meskipun dilakukan dengan susah payah.

Oleh karena itu, poligami bisa dilakukan apabila ada persetujuan dari pihak istri. Tanpa

alasan ini tidak dibenarkan secara mutlak.

Disisi lain talak (perceraian) adalah suatu yang dihalalkan, tetapi sangat dibenci oleh Allah.

Oleh karena itu Qasim Amin mensyaratkan hendaknya prosedur tentang talak dipersulit agar

si suami tidak sekehendak hatinya menjatuhkan talak, serta menganjur-kan agar adanya saksi

dapat dijadikan sebagai rukun talak.

Ide Qasim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya adalah bahwa hijab bagi

muslimah dan pemisahan antara wanita dan pria dalam pergaulan bukan dari ajaran Islam.

Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist yang mengajarkan demikian. Menurutnya,

berhijab bagi wanita dan pemisahan membaur telah membawa wanita kepada kedudukan
yang rendah dan menghambat pengembangan potensi mereka. Demikianlah beberapa

pemikiran Qasim Amin yang cukup nyeleneh.

Dari berbagai pihak datang kritik dan protes terhadap ide-ide yang dikemukakan oleh Qasim

Amin. Demikian dahsyatnya reaksi dari masyarakat Mesir ketika itu hingga Qasim pun

merasa pesimis bahwa idenya akan dapat diterima. Ia pun mengurung diri selama berhari-hari

di rumahnya dan bertekad untuk tidak membahas lagi tema ini. Akan tetapi Sa'ad Zaghlul,

salah seorang petinggi Mesir ketika itu, memberikan support-nya kepada Qasim Amin seraya

berkata, "Teruslah engkau melaju, aku akan senantiasa berdiri di sampingmu." Dukungan ini

mengembalikan lagi rasa percaya diri Qasim dan tak lama setelah itu ia pun menuliskan

kembali ide-idenya yang kemudian muncul menjadi al-Mar’ah al-Jadidah atau Wanita

Modern, terbit pada tahun 1901 isinya menyerang hijab dan gambaran tentang potret

kehidupan rumah tangga muslim pada masa kegelapan. Qasim Amin menulis :

“Lelaki adalah penguasa mutlak, sedangkan wanita jadi budak. Ia adalah obyek kepuasan

hawa nafsu, barang mainan yang dipakai kapan saja menurut kemauannya. Ilmu untuk pria,

wanita tak berhak apapun. Cakrawala dan caha-ya untuk lelaki, kegelapan dan kamar terkunci

untuk wanita. Lelaki adalah komandan, sedangkan wanita harus tunduk tanpa syarat. Lelaki

memiliki segalanya, sementara wanita menjadi barang yang tidak berarti.“

Dalam hal ini pandangan Qosim Amin , bahwa pembaruan rumah tangga muslim haruslah

meniru pola hidup Eropa , Sebab itu adalah penyeleseian untuk mengentaskan problematika

sosial di Dunia Islam. Qasim Amin menulis:“Lihatlah negara-negara Timur, engkau akan
menemukan wanita-wanita di sana menjadi budak lelaki, lelaki adalah penguasa, lelaki

adalah penindas di rumahnya, wanita dibelenggu bila tinggal di luar rumah. Kemudian

lihatlah negara-negara Barat, pemerintahan berjalan di atas dasar kebebasan dan meng-

hormati hak-hak individu serta status wanita dijunjung tinggi dan mendapat-kan kebebasan

berfikir dan bergerak”

Pada intinya dalam buku tersebut, Qasim Amin mempertahankan ide-idenya serta

memperjuangkan kebebasan wanita agar bergaya hidup sebagaimana wanita-wanita di Barat

yang telah memperoleh kebebasan dan hak-haknya secara penuh.

o BERPOLIGAMI SEBUAH ANALISA

o Praktik poligami yang makin marak dilakukan oleh laki-laki berangkat dengan berbagai

alasan yang secara logika tidak dapat diterima. Misalnya karena istri dianggap lalai

23
mengurus rumah disamping istri juga harus pergi bekerja Alasan lain, perempuan

dianggap tidak memberikan pelayanan dan perhatian yang besar terhadap suami, bahkan

alasan karena laki-laki sudah mampu memenuhi kebutuhan lebih dari satu istri. Padahal,

sisi lain keadilan tidak hanya kepada istri tetapi juga adil kepada anak yang mencakup

materi dan non-materi seperti mental dan psikologisnya..

Alquran, dalam pandangan Amina Wadud, memperbolehkan poligami karena pada saat

itu sedang terjadi perang di seluruh penjuru yang menyebabkan laki-laki (ayah) mati

23
dalam medan perang. Perang tersebut membuat banyak istri dan anak-anaknya kehilangan

suami dan ayah mereka yang gugur di medan perang.

Adapun anggapan yang menjadi penyebab maraknya poligami yaitu itu poligami

dianggap sebagai sunnah nabi sehingga melaksanakannya pun dianggap sebagai kebaikan

Namun pada prakteknya poligami di masa sekarang cenderung dilakukan dengan alasan

takut berzina dan birahi yang kuat. Hal ini merupakan suatu alasan yang melenceng dari

adanya praktek poligami. Sehingga hal tersebut perlu dikaji lebih mendalam dalam masail

fiqhiyah yaitu relevansi antara kebebasan suami berpoligami dengan aturan berpoligami

yang ada dalam fiqih.

Fakta praktek poligami yang marak terjadi suami cenderung menjadi penentu dari

keputusan poligami. Hal ini didasarkan pada " Suami adalah Imam" sehingga perempuan

dianggap tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan berpoligami. Namun, hal ini

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 3 ayat 2 yang

berbunyi : "pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan" .

Hal ini Tentunya merupakan sebuah pendapat yang saling bersinggungan sehingga perlu

dikaji lebih rinci antara pendapat agama dengan hukum positif. Poligami saat ini sedang

ramai diperbincangkan, terutama dengan alasan nafsu pria yang mungkin tidak bisa

ditahan namun ia takut untuk berbuat zina.


Bahkan poligami pada saat ini bukan merupakan suatu hal yang rahasia namun menjadi

suatu hal yang patut untuk dibanggakan. Namun persoalannya bagaimana seorang suami

menghalalkan segala cara untuk bisa berpoligami bukan dengan alasan seorang istri tidak

memenuhi kewajibannya namun karena alasan nafsu, sedangkan dirinya sendiri belum

tentu dapat berperilaku adil?. Hal ini merupakan suatu kasus yang ramai dibicarakan,

sehingga perlu kajian lebih

Dari dimensi psikologi Berikut adalah dampak psikologis akibat praktik poligami:

Psikologis pada isteri: perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri atas tindakan

suaminya melakukan poligami, yang dikarenakan ketidak mampuan dan kegagalannya

dalam menjalankan kewajibannya sebagai isteri memenuhi segala kebutuhan suami

Psikologis pada anak: Merasa kurangnya kasih sayang, perhatian dan pegangan hidup dari

orang tuanya sehingga mereka tidak memiliki sandaran hidup mereka. Hal itu dapat

menyebabkan kerenggangan hubungan antara anak dengan orang tua terutama ayah.

Selain itu juga dapat mengakibatkan kemerosotan moral pada anak, akibat kurangnya

perhatian dan kasih sanyang pada mereka. Adanya rasa benci anak terhadap ayahnya,

karena merasa ibu yang disayanginya telah dikhianati dan disakiti. Serta perasaan

dikucilkan karena adanya keluarga baru yang menyebabkan berkurangnya kasih ayah

padanya. Bahkan juga bisa menyebabkan tumbuhnya perasaan ketidakadilan terhadapnya,

sehingga menyebabkan tumbuhnya rasa bencei kepada orang tua. Timbulnya

ketidakpercayaan anak terhadap keluarganya, orang tua dan juga saudara-saudaranya.


Terjadinya keluarga yang tidak harmonis dan tidak bahagia. Hal itu dapat menyebabkan

suatu keluarga menjadi berantakan. Meskipun keluarga tersebut tidak mengalami

perceraian, namun pasti adanya konflik dan menimbulkan efek negative.

Poligami bukan dimulai oleh adanya islam yang datang ke bumi. Sebelum islam datang,

poligami telah dilakukan oleh manusia. Jauh sebelum islam lahir, poligami telah

dilakukan oleh semua bangsa, seperti bangsa Asia, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Jazirah

Arab, terkenal tidak suka melihat anak perempuan yang masih kecil sehingga berusaha

membunuhnya, mereka berlomba-lomba mendapatkan perempuan dewasa dengan

berbagai cara, melalui harta atau kekuasaan. Menurut Rahmat Hakim, poligami telah

dijalankan oleh bangsa-bangsa semenjak zaman primitif, bahkan hingga sekarang. Bangsa

Romawi menerapkan peraturan ketat kepada rakyatnya untuk tidak beristri lebih dari

seoang, kaum raja dan bangsawan banyak memelihara gundik yang tidak terbatas

jumlahnya.[4]

Bangsa Romawi adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan kemuliaan

setelah bangsa Yunani. Diantara ungkapan mereka yang berkaitan tentang wanita adalah:

“sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya belum lepas”. Yakni didalam

masyarakat mereka, suami mempunyai hak yang penuh terhadap istrinya, sebagaimana

hak-hak raja atas rakyatnya. Sehingga ia mengatur istrinya sesuai hawa nafsunya. Bahkan
disebabkan kekuasaan yang teramat besar ini, ia dibolehkan melakukan apa saja sampai

dibolehkan melakukan pembunuhan terhadap istrinya pada sebagian keadaan.[5]

Menurut Khazin Nasuha, yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah “adil

dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil membagi nafkah yang berkaitan

dengan nafkah sandang, pangan, dan papn, dan adil dalam memperlakukan kebutuhan

batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batiniah, menurut Khazin Nasuha tidak dituntut

oleh syariat islam, karena masalahnya berada diluar kemampuan manusia. Rasulullah

sangat cenderung cintanya kepada Aisyah dibandingkan kepada istri lainnya.”

Suami harus dapat berlaku adil dalam hal makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan

dalam hal giliran. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena

sesungguhnya Allah melarang yang demikian. Adil bukan berarti semuanya harus sama,

sebab tidak mungkin ada manusia yang mampu adildalam masalah cinta dan bersetubuh.

Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa memiliki dua istri, kemudian ia lebih condong

kepada salah satu dari keduanya. Maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan

pundaknya miring sebelah.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, an-Nasa-i)[6]

Menurut Sayyid Sabiq poligami adalah ”salah satu ajaran islam yang sesuai dengan fitrah

kaum laki-laki, laki-laki adalah makhluk Allah yang memiliki kecenderungan seksual

lebih besar dibandingkan dengan kaum perempuan. Secara genetik, laki-laki dapat

memberikan benih kepada setiap wanita karena kodrat wanita adalah hamil dan

melahirkan setelah masa pembuahan. Jika perempuan melakukan poliandri, tidak hanya
bertentangan dengan kodratnya, tetapi sangat naif dan irrasional. Dari sisi genetik akan

kesulitan mencari dari benih siapa yang dibuahkan oleh perempuan yang hamil tersebut.

Dengan demikian, syariat islam tentang poligami tidak bertentangan dengan hukum alam

dan kemanusiaan, bahkan relevan dengan fitrah dan kodratkaum laki-laki. ”

Untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita, Allah mewajibkan kepada semua

kaum laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil, terutama dalam hal melakukan

pembagian nafkah lahir dan batin. Tidak dibenarkan menzalimi istri lain dengan hanya

cenderung kepada salah satu istrinya. Hal demikian oleh Sayyid Sabiq dikatakan karena

hak perempuan yang sesungguhnya adalah tidak dimadu. Akan tetapi, poligami adalah

untuk menghindarkan kaum laki-laki melakukan perzinaan. Selain itu, melatih menjadi

pemimpin yang adil dalam kehidupan dan pengelolaan keluarga dan rumah tangganya.

Keadilan terhadap istri-istri adalah barometer pertama pemimpin yang akan berlaku adil

atas rakyat yang dipimpinnya.[7]

HIKMAH POLIGAMI

Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku

adil) antara lain adalah sebagai berikut:

1 Guna melahirkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
2 Demi menjaga eksistensi keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat

menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak

dapat disembuhkan.

3 Menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak

lainnya.

4 Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di

negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya

akibat peperangan yang cukup lama.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi SAW beristri lebih dai seorang, bahkan melebihi

jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut:

1 Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu

bisa menjadi sumber informasi bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi

dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah

kewanitaan/kerumahtanggaan.

2 Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik

mereka masuk agama islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-

Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah

(seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).

Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa

janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suami
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di

Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah

(suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan

agamanya, serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[12]

IMPLEMENTASI POLIGAMI DALAM HUKUM POSITIF

Mengenai Implementasi atau tata cara berpoligami yang resmi diatur oleh islam memang

tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Komilasi Hukum Islamnya

telah mengatur hal tersebut sebagai berikut:

Pasal 56

Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan

Agama.

Pengajuan pemohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara

sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari

pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih

dari seorang apabila:

1 Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.


2 Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

I3 stri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin

pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5

Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu:

1 Adanya persetujuan istri.

2 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-

anak mereka.

Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun

1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,

tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan

persetujuan lisan istri pada sidang pengadilan agama.

Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila

istri aatu istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi

pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-

kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri

lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat
(2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah

memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,

dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[13]

ALASAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG POSITIF

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berkaitan langsung

dengan poligami adalah dalam pasal 4 dan pasal 5. Dalam pasal 4 terdiri atas 2 ayat

berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam

pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada

pengadilan daerah tempat tinggalnya;

Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami

yang akan beristri lebih dari seorang apabila;

Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

Istri tidak dapat melahirkan ketuunan24.[14]

Dalam pasal 5 dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan,

sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat

berikut:

1 Adanya persetujuan dari isteri-isteri;

24
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Op Cit, hal 41
2 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-

isteri dan anak-anak mereka;

3 Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak

mereka.

Dengan penjelasan pasal 5 ayat (1) dapat dipahami bahwa suami harus meminta izin dari

isteri, maka istri yang mandul pun memiliki hak prerogatif untuk memberi atau tidak

memberi izin kepada suaminya yang bermaksud poligami. Akan tetapi, karena kondisi

istri yang demikian, sangant tidak rasional atau tidak mungkin apabila istri tidak memberi

izin kepada suaminya. Tentu keadaan tersebut sangat memprihatinkan bagi istri dan

beralasan sangat kuat bagi suami untuk melakukan poligami.

Dengan pemahaman terhadap pasal 4 ayat (2) (a) yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, posisi perempuan atau istri yang tidak dapat

melahirkan keturunan ada dalam posisi dilematis, artinya terjebak dalam dua pilihan yang

merugikan dan terpojok pada pelaksanaan undang-undang yang keadilannya

dipertanyakan atau lebih menguntungkan pihak laki-laki atau suami.

Berdasarkan kondisi diatas, menurut Rahmat Hakim, alternatif yang dipilih oleh istri

adalah sebagai berikut.

1 Bercerai secara baik-baik, walaupun praktiknya sangat dilematis. Suami atau istri tidak

bertengkar, tidak bermusuhan, dan tidak bertentangan, bahkan mempunyai tujuan

membina keluarga serta sama-sama mendambakan keluarga yang sakinah, mawaddah,


warahmah. Disamping itu, jika perceraian alternatif yang dilakukan, akan terjadi

kemudaratan baru. Kaidah hukum tidak membenarkan melakukannya, yakni mencari

kemaslahatan, namun meninggalkan kemudaratan dibelakangnya. Mudaratnya bagi

wanita adalah sulit mengganti suaminya karena ketidakmampuannya bertindak sebagai

istri. Akan tetapi, di sisi lain jika kondisinya yang mengakibatkan istri tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai istri, hal itu menjadi alasan bolehnya perceraian

dilakukan atas inisiatif suaminya.

Merelakan suaminya untuk menikah lagi, sebagai kemungkinan terakhir dan hanya satu-

satunya. Tindakan ini pun dirasakan berat, terutama bagi wanita. Sulit bagi istri menerima

kenyataan pahit ini, bahkan kemungkinan ini merupakan keadaan terburuk sepanjang

hidupnya. Betapa tidak, suaminya akan bercumbu dengan orang lain, perbuatan yang

selama ini dilakukan suami kepada dirinya. Kini hal yang sama dilakukan kepada orang

lain walaupun hal itu terjadi atas izinnya25.

25
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Op Cit,hal 43
(KERANGKA PEMIKIRAN)

PEMIKIRAN QOSIM AMIN TENTANG POLIGAMI

A. PENDAHULUAN

1. Poligami

o Pernikahan dalam Islam

o Pernikahan dan Poligami

o Poligami menurut para ulama

o Poligami menurut Qosim Amin

B. BIOGRAFI QOSIM AMIN DAN LATAR BELAKANG

o BIOGRAFI QOSIM AMIN

C. PEMIKIRAN QOSIM AMIN TENTANG POLIGAMI

o MAKNA POLIGAMI

o POLIGAMI MENURUT QOSIM AMIN

o RESPON ULAMA TERHADAP PEMIKIRAN QOSIM AMIN

o ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN QOSIM AMIN

D. KESIMPULAN

E. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai