0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
14 tayangan2 halaman
1. Orde Lama terbagi atas dua fase, yaitu fase konstitusional dan fase Demokrasi Terpimpin.
2. Fase konstitusional menganut sistem parlementer yang diwarnai fluktuasi kabinet dan konflik ideologi.
3. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan sentralisasi kekuasaan.
1. Orde Lama terbagi atas dua fase, yaitu fase konstitusional dan fase Demokrasi Terpimpin.
2. Fase konstitusional menganut sistem parlementer yang diwarnai fluktuasi kabinet dan konflik ideologi.
3. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan sentralisasi kekuasaan.
1. Orde Lama terbagi atas dua fase, yaitu fase konstitusional dan fase Demokrasi Terpimpin.
2. Fase konstitusional menganut sistem parlementer yang diwarnai fluktuasi kabinet dan konflik ideologi.
3. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan sentralisasi kekuasaan.
NPM : 2206017033 Mata Kuliah : Politik Indonesia Dosen : Dr. Phil. Aditya Perdana, M.Si.
ORDE LAMA DAN SOEKARNO
Pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia dihadapkan dengan situasi baru dalam membentuk sebuah negara sesuai cita-cita dari para founding fathers dan pejuang yang telah mengusir para kolonial untuk merebut kemerdekaan. Awal mula terbentuknya sebuah negara tentu bukan hanya berdasarkan perjuangan secara fisik dan materiil, tetapi ada aspek penting yaitu ideologis yang menjadi dasar dari para pejuang, proklamator, dan stake-holder yang mendukung sebuah kemerdekaan. Pertarungan lintas ideologis dan kelompok menjadi tantangan bagi Indonesia dalam membangun kebangsaan dan kenegaraan. Dalam pertemuan kali ini, ada pembahasan yang menjadi topik utama yaitu tesis dari Daniel Lev melihat Orde Lama atau Periode Soekarno terbagi atas dua fase yaitu pertama; fase konstitusional dan kedua; fase Demokrasi Terpimpin. Terdapat fase awal yaitu revolusi kemerdekaan dari tahun 1945 sampai tahun 1949 yang terdiri dari beberapa proklamasi dan penentuan Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden, Perjanjian Linggarjati tahun 1946 sampai tahun 1947, Agresi Militer I Belanda pada tahun 1947 yang diredam dengan Perjanjian Renville, Agresi Militer II Belanda pada tahun 1948 yang berakhir dengan Perjanjian Roem-Royen tahun 1949, pemberontakan Komunis (PKI) pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII tahun 1949, dan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949 yang kesepakatannya berisi Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Indonesia. Pada fase konstitusional, Indonesia yang kala itu masih terdapat Perdana Menteri dalam tubuh pemerintahan sehingga berlaku struktur kabinet dalam menjalankan roda kekuasaan. Total sepanjang dari tahun 1945 sampai tahun 1957 telah terdapat tiga belas pergantian kabinet. Dinamika tersebut tidak lepas dari perebutan pengaruh dari para elite ideologis dan kelompok untuk mewarnai percaturan politik nasional. Selain itu, terdapat fase liberal yang dimana bisa dibuktikan dengan terjadinya Pemilu tahun 1955 yang dimenangkan oleh empat partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI yang menjadi representasi dari dominasi ideologis. Pemilu 1955 yang dijalankan dengan sistem perwakilan proporsional untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Konstituante. Akan tetapi, Soekarno melihat bahwa elite yang berkuasa pasca Pemilu 1955 tidak dengan segera memutuskan konstitusi yang substantif dan banyaknya pergolakan di beberapa daerah. Sehingga membuat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Dewan Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Sebelum Dekrit Presiden, pada tahun 1957 Soekarno telah membuat konsepsi tentang Indonesia untuk kembali ke UUD 1945 yang berisikan sistem Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus digantikan dengan Demokrasi Terpimpin, pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk kabinet Gotong Royong yang terdiri atas perwakilan semua partai dan organisasi yang ada di masyarakat, pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat dengan tugas untuk memberikan nasihat kepada kabinet. Konsepsi tersebut lantas ditolak oleh beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Secara etimologis, Demokrasi Terpimpin berarti sentralisasi kekuasaan pada satu tangan yakni Presiden sebagai kekuasaan eksekutif. Hal itu menjadi anti- tesa dari Soekarno dalam melihat bergulirnya Demokrasi Parlementer dengan fluktuasi kabinet dan konflik ideologis yang diakomodasi melalui golongan-kelompok yang tidak pernah selesai. Merujuk pandangan dari Herbert Feith dan Lance Cantles saat itu Indonesia memiliki aliran politik yang terdiri atas Nasionalisme Radikal, Islam, Komunis, Sosialis Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa. Menurut Clifford Geertz dengan tesisnya tentang corak politik di Indonesia yang terdiri atas santri mewakili golongan NU dan Masyumi, abangan mewakili PNI dan PKI, priyayi mewakili kalangan bangsawan dan birokrasi. Selain itu, juga terdapat beberapa pergolakan politik atau konflik seperti pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan tahun 1949-1962, Pemberontakan APRA di Bandung tahun 1950, pemberontakan Andi Azis tahun 1950, pemberontakan RMS tahun 1950, pemberontakan Merapi Merbabu Complex tahun 1947, pemberontakan PRRI dan PERMESTA tahun 1950, pemberontakan AUI tahun 1950, pemberontakan Ibnu Hajar tahun 1954, dan pemberontakan Batalyon 426 tahun 1950. Mencari arah baru secara visioner bagi Indonesia ketika di masa awal kemerdekaan tidaklah mudah. Apalagi ketika itu Soekarno yang memiliki gagasan gemilang tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme (NASAKOM) menjadi sinkretisme dan kekuatan dalam menggalang dukungan saat berkuasa. Beberapa konflik yang bersumber atas aliran dan kesepakatan politik ketika itu telah mewarnai pengorbanan dan perpecahan ‘disintegrasi’ nasional. Dengan kegigihannya dari idealisme dan semangat nasionalisme Soekarno berhasil menjadi kings dari percaturan politik yang selalu berubah-ubah. Walaupun jika melihat aspek diluar politik, masih terdapat banyak sekali permasalahan sosial dan ekonomi khususnya tentang kesejahteraan dan kemakmuran di masyarakat yang terabaikan.