Anda di halaman 1dari 2

REVIEW I

Nama : Muhammad Mahfud Syaifullah


NPM : 2206017033
Mata Kuliah : Politik Indonesia
Dosen : Dr. Phil. Aditya Perdana, M.Si.

ORDE LAMA DAN SOEKARNO


Pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia dihadapkan dengan situasi baru dalam
membentuk sebuah negara sesuai cita-cita dari para founding fathers dan pejuang yang telah
mengusir para kolonial untuk merebut kemerdekaan. Awal mula terbentuknya sebuah negara
tentu bukan hanya berdasarkan perjuangan secara fisik dan materiil, tetapi ada aspek penting
yaitu ideologis yang menjadi dasar dari para pejuang, proklamator, dan stake-holder yang
mendukung sebuah kemerdekaan. Pertarungan lintas ideologis dan kelompok menjadi
tantangan bagi Indonesia dalam membangun kebangsaan dan kenegaraan. Dalam pertemuan
kali ini, ada pembahasan yang menjadi topik utama yaitu tesis dari Daniel Lev melihat Orde
Lama atau Periode Soekarno terbagi atas dua fase yaitu pertama; fase konstitusional dan kedua;
fase Demokrasi Terpimpin.
Terdapat fase awal yaitu revolusi kemerdekaan dari tahun 1945 sampai tahun 1949
yang terdiri dari beberapa proklamasi dan penentuan Soekarno sebagai Presiden dan Moh.
Hatta sebagai Wakil Presiden, Perjanjian Linggarjati tahun 1946 sampai tahun 1947, Agresi
Militer I Belanda pada tahun 1947 yang diredam dengan Perjanjian Renville, Agresi Militer II
Belanda pada tahun 1948 yang berakhir dengan Perjanjian Roem-Royen tahun 1949,
pemberontakan Komunis (PKI) pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII tahun 1949, dan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949 yang kesepakatannya berisi Belanda
menyerahkan kedaulatan penuh kepada Indonesia.
Pada fase konstitusional, Indonesia yang kala itu masih terdapat Perdana Menteri dalam
tubuh pemerintahan sehingga berlaku struktur kabinet dalam menjalankan roda kekuasaan.
Total sepanjang dari tahun 1945 sampai tahun 1957 telah terdapat tiga belas pergantian
kabinet. Dinamika tersebut tidak lepas dari perebutan pengaruh dari para elite ideologis dan
kelompok untuk mewarnai percaturan politik nasional. Selain itu, terdapat fase liberal yang
dimana bisa dibuktikan dengan terjadinya Pemilu tahun 1955 yang dimenangkan oleh empat
partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI yang menjadi representasi dari dominasi
ideologis. Pemilu 1955 yang dijalankan dengan sistem perwakilan proporsional untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Konstituante. Akan tetapi, Soekarno
melihat bahwa elite yang berkuasa pasca Pemilu 1955 tidak dengan segera memutuskan
konstitusi yang substantif dan banyaknya pergolakan di beberapa daerah. Sehingga membuat
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Dewan
Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, dan
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS). Sebelum Dekrit Presiden, pada tahun 1957 Soekarno telah
membuat konsepsi tentang Indonesia untuk kembali ke UUD 1945 yang berisikan sistem
Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus digantikan
dengan Demokrasi Terpimpin, pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk kabinet
Gotong Royong yang terdiri atas perwakilan semua partai dan organisasi yang ada di
masyarakat, pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional
dalam masyarakat dengan tugas untuk memberikan nasihat kepada kabinet. Konsepsi tersebut
lantas ditolak oleh beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan Partai
Rakyat Indonesia (PRI). Secara etimologis, Demokrasi Terpimpin berarti sentralisasi
kekuasaan pada satu tangan yakni Presiden sebagai kekuasaan eksekutif. Hal itu menjadi anti-
tesa dari Soekarno dalam melihat bergulirnya Demokrasi Parlementer dengan fluktuasi kabinet
dan konflik ideologis yang diakomodasi melalui golongan-kelompok yang tidak pernah selesai.
Merujuk pandangan dari Herbert Feith dan Lance Cantles saat itu Indonesia memiliki
aliran politik yang terdiri atas Nasionalisme Radikal, Islam, Komunis, Sosialis Demokrat, dan
Tradisionalisme Jawa. Menurut Clifford Geertz dengan tesisnya tentang corak politik di
Indonesia yang terdiri atas santri mewakili golongan NU dan Masyumi, abangan mewakili
PNI dan PKI, priyayi mewakili kalangan bangsawan dan birokrasi. Selain itu, juga terdapat
beberapa pergolakan politik atau konflik seperti pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Selatan tahun 1949-1962, Pemberontakan APRA di Bandung tahun 1950, pemberontakan Andi
Azis tahun 1950, pemberontakan RMS tahun 1950, pemberontakan Merapi Merbabu Complex
tahun 1947, pemberontakan PRRI dan PERMESTA tahun 1950, pemberontakan AUI tahun
1950, pemberontakan Ibnu Hajar tahun 1954, dan pemberontakan Batalyon 426 tahun 1950.
Mencari arah baru secara visioner bagi Indonesia ketika di masa awal kemerdekaan
tidaklah mudah. Apalagi ketika itu Soekarno yang memiliki gagasan gemilang tentang
Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme (NASAKOM) menjadi sinkretisme dan kekuatan
dalam menggalang dukungan saat berkuasa. Beberapa konflik yang bersumber atas aliran dan
kesepakatan politik ketika itu telah mewarnai pengorbanan dan perpecahan ‘disintegrasi’
nasional. Dengan kegigihannya dari idealisme dan semangat nasionalisme Soekarno berhasil
menjadi kings dari percaturan politik yang selalu berubah-ubah. Walaupun jika melihat aspek
diluar politik, masih terdapat banyak sekali permasalahan sosial dan ekonomi khususnya
tentang kesejahteraan dan kemakmuran di masyarakat yang terabaikan.

Anda mungkin juga menyukai