Anda di halaman 1dari 9

Nama : Mohamad Fajarudin Islam

NIM : 2020003054
Prodi : PSR

INSTRUKSI
1. BACALAH CERPEN “SUMI BICARA” KARYA JOKO GESANG SANTOSO DI
BAWAH INI.
2. IDENTIFIKASI SEMUA TOKOH YANG ADA DALAM CERPEN, JIKA ADA
TOKOH YANG TIDAK PUNYA NAMA DAN JUMLAHNYA BANYAK, BERI
NAMA MISALNYA: IBU 1, IBU 2, DLL.
3. BUATLAH PETA KARAKTER TOKOH/PENOKOHAN, KARAKTER
SUARA, KARAKTER PERAWAKAN DALAM TABEL YANG DISEDIAKAN.
4. BUATLAH SKETSA PANGGUNG SEDERHANA DENGAN PERALATAN
YANG TERSEDIA DI OFFICE WORD MINIMAL (SHAPES, DLL).
GAMBARKAN PANGGUNGNYA DAN LETAKKAN TOKOH-TOKOH
SENTRAL DI GAMBAR PANGGUNG ANDA ITU.

1. Tabel Peta Karakter


PETA KARAKTER PENOKOHAN
No. Nama Tokoh Karakter Tokoh Karakter Suara Perawakan
1 Ibu rumpi 1 Tua, sinis Serak seperti Pendek,
nenek-nenek bungkuk
2 Ibu rumpi 2 Dewasa, tenang Ringan, santai Badan sedang,
awet muda
3 Ibu rumpi 3 Menor, ekspresif cempreng Pendek, kulit
sawo matang
4 Sumi Cantik, bisu, tenang Lembut, Tubuh sedang,
banyak diam, tatapan namun tajam sawo matang,
sayu, dalam dirinya Ketika marah berjilbab, ada
menyimpan sebuah bekas luka
kenangan pahit dan cairan air
gejolak keberanian. panas di
kepalanya
yang botak dan
di
punggungnya
5 Ibu sumi Cantik seperti sumi, Lembut seperti Tubuh sedang,
tenang tidak banyak sumi Ketika sawo matang
bicara sedang seperti sumi,
menawarkan berjilbab
jasa jahit
anaknya
6 kedasih Anak kecil yang pintar, Lembut anak- Tubuh mungil,
semangat belajar, teguh anak kulit putih,
pendirian rambut kuncir
2
7 Ibu kedasih Galak dan kolot Agak Gemuk, tidak
cempreng terlalu pendek,
kulit putih
seperti kedasih,
muka kelihatan
lebih tua dari
usia
8 Ibu penanya Lembut dan tenang Lembut, Tubuh sedang,
tenang, kulit putih,
keibuan berjilbab

2. Sketsa Panggung
Ket:
1. Teras tempat rumpi
2. Rumah sumi
3. Meja mesin jahit/ tempat menjuahit
4. Kursi
5. Rumah kedasih
6. kursi

6 1
6
4
4

5 2 3
3
cerita-pendek

Sumi Bicara
Oleh Joko Gesang Santoso

halaman 32
i antara bahan pembicaraan ibu-ibu penggunjing di sebuah
arisan, Sumi menjadi salah sebuah topik yang paling santer
dibicarakan. Para ibu itu jadi sering membicarakan Sumi lantaran
kepulangannya dari Arab Saudi membawa keanehan. Sumi menjadi
bisu.
Dari para penggunjing itu, muncullah banyak versi cerita mengenai
Sumi.
“Eh, dengar baik-baik,” kata seorang ibu sambil menyumpalkan
selembar daun sirih ke mulutnya yang kemerahan. “Sumi itu pasti
sudah habis-habisan diperkosa majikannya di Arab Saudi sana. Jadi,
sekarang ia sudah mati rasa.” Lalu, ibu yang seusia nenek-nenek itu
meludah ke tanah. Cuih!
“Apa hubungannya dengan bisu?” Tanya ibu yang lain, yang
merasa kurang yakin dengan cerita ibu pengunyah sirih itu.
“Goblok kamu! Orang mana pun tidak akan mau bicara sepatah
kata pun dalam keadaan begitu. Itu aib! Aib! Menjadi bisu pikirnya
pasti lebih baik.”
“Menurutku kok tidak,” sangkal seorang ibu lainnya lagi.
“Buktinya, Mirah yang katanya diperkosa majikannya di Malaysia
tidak jadi bisu? Malah sekarang anak dari hasil perkosaan itu
dibesarkannya di desa kita. Dirawat ibunya Mirah sendiri. Anaknya
tampan macam penyanyi India. Hidungnya mancung, kulitnya agak
gelap. Dan, Mirah bolakbalik Indonesia – Malaysia tiap tahunnya.
Sepertinya ia senang-senang saja. Kalau tidak salah, malah sudah
hamil lagi akhir-akhir ini.”
Ibu pengunyah sirih angkat bicara. “Namanya saja Mirah, alias
murah, alias murahan. Jangan-jangan ia tidak diperkosa, tapi
menyediakan diri untuk birahi majikannya di Malaysia sana? Itu soal
beda. Sumi tidak murahan macam Mirah. Kau tahu ia taat mengaji
sejak dulu.”
Lalu, pembicaraan seterusnya akan berkembang sesuai dengan
versi mulut masing-masing dengan tidak memperdulikan sisi
kebenarannya. Ibu-ibu itu selalu mendapat topik anyar seputar
kepulangan warga desanya dari bekerja di luar negeri. Yang semuanya
adalah perempuan.
Sebenarnya hal demikian lumrah terjadi. Desa tempat Sumi tinggal
boleh dibilang menjadi desa pemasok perempuan terbanyak untuk
bekerja ke luar negeri. Secara sendirinya, perempuan jadi lebih mahal
harganya dibanding laki-laki sebab laki-laki kebanyakan di desa itu
hanya bertani dan momong anak di rumah.

halaman 33
Hampir tidak ada rumah bambu atau kayu di desa Sumi. Rumah
mereka bertembok kokoh lengkap dengan fasilitasnya. Hasil bekerja
dari luar negeri digunakan untuk mematut-matut rumah sebaik
mungkin. Makmur dan kayanya seseorang di desa Sumi masih diukur
dari seberapa megah rumah tinggalnya. Dari yang demikian itulah
maka tiap anak gadis di desa Sumi diiming-imingi oleh ibunya untuk
bekerja ke luar negeri. Di luar negeri uangnya melimpah ruah, begitu
pikir mereka. Selalu begitu.
***
Mesin jahit Sumi berdecit-decit. Sepulang dari Arab Saudi ia
membeli sebuah mesin jahit dan membuka jasa jahit di rumahnya.
Ibunya sendiri yang menawar-nawarkan keahliannya ke beberapa
tetangga.
Sumi hanya tinggal bersama ibunya. Malangnya baru setahun ia
bekerja di Arab Saudi, pulang dalam keadaan bisu. Semenjak itu, tak
pernah seorang pun, termasuk ibunya mendengar ia bicara lagi.
Melayani pelanggan jahit pun hanya dengan seringai, anggukkan,
gelengan, atau isyarat tangan.
“Sumi benar-benar sudah bisu”, kata mereka yang sudah ketemu
langsung dengan perempuan cantik berjilbab itu.
Suatu kali datanglah seorang gadis bernama Kedasih beserta
ibunya ke rumahnya dengan membawa kain bakal seragam SMA.
Rupanya gadis itu habis menangis. Bola matanya merah serupa getah
pohon jati. Sangat mungkin nangisnya meraung-raung. Dari
hidungnya, masih terdengar kebasahan ingus dihirup-hirupnya.
“Berhentilah kau nangis!” Bentak ibunya keras-keras pada
Kedasih. Dan, gadis itu mengupayakan dirinya supaya tidak terlihat
tersengal lagi sehingga ibunya tidak memarahinya.
“Mbak, Sumi,” kata ibu gadis itu kepada Sumi. “Tolong ukur anak
saya, bikinkan baju seragam untuknya supaya ia tidak meraung-
raung lagi. Sungguh memalukan!”
Sumi mengangguk sambil mengawasi wajah ibu gadis itu dengan
teliti. Terdapat kemarahan besar di wajah ibu gadis itu. Lalu,
dilihatnya Kedasih dengan welas. Gadis itu ketakutan, tetapi matanya
menunjukkan rasa ingin berontak yang tertahan. Apa yang terjadi?
Batin Sumi.
Dengan sebuah meteran, Sumi mulai mengukur Kedasih sambil
menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas, dalam batin
Sumi, gadis itu ngotot pengen dibuatkan seragam karena ibunya
bilang bahwa ia minta dibuatkan seragam supaya tidak menangis lagi.
Sumi kemudian melirik ibu gadis itu. Ibu paruh baya itu duduk di
kursi plastik sambil memijat-mijat kepalanya.

halaman 32
“Apa waktu seusia anak saya, Mbak Sumi juga pemberontak sama
orangtua?” Tanya ibu gadis itu kepada Sumi.
Sumi mengamati Kedasih. Wajah gadis itu kian murung. Lalu,
Sumi berbalik melihat ke arah ibu gadis itu, dan kemudian
menggeleng lemah.
“Dengar! Mbak Sumi ini penurut sama orangtua! Dengar
baikbaik!” Teriak ibu gadis itu kemudian—merasa mendapat
dukungan dari Sumi.
Dalam suasana itu, Sumi kembali melihat ke arah wajah Kedasih.
Dan, gadis itu menatap tajam ke arah matanya. Sebentar kemudian
Sumi tahu bahwa meski tidak diucapkannya, Kedasih ingin membela
diri: apa benar dalam keadaan yang seperti dialaminya itu, Sumi
tidak akan memberontak? Hanya saja, Sumi belumlah tahu apa yang
dialami Kedasih dengan ibunya itu.
Setelah selesai mengukur, Sumi menuliskan semua ukurannya di sebuah
kertas. Lalu, ia mengacungkan dua jarinya kepada ibu gadis itu. “Dua hari?”
Tebak ibu gadis itu.
Sumi menggeleng, dan mengacungkan lagi dua jarinya dengan
lebih bersemangat.
“Oh, dua minggu lagi?”
Sumi mengangguk. Ia senang ibu itu paham isyaratnya bahwa baju
akan jadi kira-kira dua minggu lagi.
Setelah berpamitan, Sumi menyempatkan mengamati Kedasih.
Gadis itu pun membalas tatapannya masih dengan tajam, tetapi
bukan tatapan memusuhi. Mata itu seperti mengisyaratkan butuh
pembelaan atas sesuatu yang sangat-sangat ia yakini kebenarannya
dalam dirinya.
Seminggu kemudian, Sumi sudah hampir menyelesaikan baju
seragam itu. Dalam mengerjakannya, pikirannya terus tertuju pada
pandangan mata Kedasih. Kenapa dengan gadis itu sehingga ibunya
sendiri ia lawan? Sangatlah tidak pantas seorang anak melawan
orangtua. Terlebih lagi itu ibunya. Apa yang ada dalam pikirannya?
Batinnya berulang-ulang menggerumutinya.
Terdorong pikiran-pikiran itu, Sumi menjadi lebih bersemangat
menyelesaikan seragam Kedasih. Dan, belum dua minggu, seragam itu
pun jadi. Lalu, ia segera bergegas pergi ke rumah Kedasih. Ia ingin
melihat wajah dan tatapan berani gadis itu segera. Ia mendadak
menjadi peduli dengan gadis yang bukan keluarganya itu. Ia merasa
sudah memilikinya hanya dalam waktu sesingkat itu.
Berjalanlah ia dengan cepat menyusuri jalan desanya. Ia sangat
sadar bahwa pembicaraan tentang dirinya yang menjadi bisu
belumlah usai. Terbukti saat ia melewati gerombolan ibu-ibu di teras
rumah, mendadak saja gerombolan itu menjadi riuh macam ayam

halaman 33
dilempari setampah bekatul. Tetapi, ia terus berjalan dan berjalan.
Arah ditujunya adalah Kedasih, Kedasih, Kedasih.
Kira-kira dua rumah lagi ia sampai di rumah Kedasih. Namun, dari
kejauhan ia bisa tahu bahwa rumah Kedasih sedang dikerumuni
banyak orang.
Sumi berhenti. Ia ragu hendak menggeser sesenti saja kakinya
untuk maju. Niatnya hendak memberikan seragam untuk Kedasih,
tetapi orang sebanyak itu tentu hanya akan memandanginya sebagai
orang aneh nantinya, batinnya memberat.
Aneh betul rumah Kedasih dikerumuni banyak orang? Batinnya
kemudian.
Antara reribut angin menggoyang pohon jati, bisa didengarnya
ribut-ribut pula di sana.
Jangan-jangan ribut-ribut itu adalah pertengkaran Kedasih dengan
ibunya, lalu disaksikan banyak orang? Batinnya menyimpulkan. Maka
tanpa ragu lagi ia melangkah ke arah kerumunan itu. Dibelahnya
kerumunan itu. Dan, tahulah sekarang ia apa yang mereka semua
tonton.
“Dengar! Biar semua orang tahu sekalian. Ini anak durhaka. Tidak
mau menurut kata orangtua. Berani melawan. Disekolahkan malah
pintar beralasan. Biar semua yang di sini tahu. Ini anakku yang tak
tahu terima kasih!”
Semua orang keheranan. Gerangan apa yang membuat ibu Kedasih
menjadi berang sehebat itu.
“Kenapa Kedasih kau murkai macam itu?” Tanya seorang ibu di
deretan paling depan.
“Hari ini, anakku ini sudah berani menggurui ibunya. Katanya
tidak semua perempuan di desa ini harus bekerja ke luar negeri.
Katanya lagi, dengan nilainya yang bagus di sekolah, anakku yang
sekencur ini yakin bisa mencukupi hidupnya kelak. Nah, omong
kosong, bukan? Mana bisa nilai sekolah mendatangkan uang
berlimpah-limpah? Di luar negeri sana uang tidak bisa didapat
dengan nilai sekolah, tetapi kerja keras! Kerja keras!”
Si ibu penanya bengong. Lalu, ia berpaling ke arah Kedasih yang
meringkuk di kursi peyot di samping ibunya yang murka-murka.
“Benar kau berkata seperti itu, Kedasih?” Tanya ibu penanya itu.
Kedasih diam saja. Mendongak pun tidak. Tangisnya makin hebat
meski tak bersuara.
“Kalau tidak salah, Kedasih baru mau masuk SMA. Apa tidak
sebaiknya dibiarkan lulus SMA dulu?” Kata ibu yang lain di antara
kerumunan bagian depan pula.

halaman 32
“Darimana janda macam aku ini punya biaya? Kusuruh ia bekerja,
juga agar tahu bahwa uanglah yang dibutuhkan, bukan sekolah dan
nilai. Selain itu, supaya ia juga tahu bagaimana membalas budi sama
orangtua.”
Sumi meremas-remas bajunya sendiri. Ia sungguh geram
mendengar dan melihat tingkah ibu Kedasih yang menurutnya sangat
kelewatan. Ia tahu sekarang kenapa saat itu Kedasih menangis minta
dibuatkan seragam. Tak lain hanyalah karena keinginannya
melanjutkan sekolah, sekolah, dan sekolah. Ia tidak ingin disamakan
seperti semua perempuan di desanya yang harus bekerja ke luar
negeri.
Dengan berani Sumi maju tepat di hadapan ibu Kedasih dan juga
di tengah-tengah kerumunan. Ia pandangi semua mata yang
keheranan dengan sikapnya. Matanya berkeliling, lalu berhenti tajam
di mata ibu Kedasih.
Sumi membuka jilbabnya. Tak ada rambut sama sekali. Kulit
kepalanya seperti lilin yang leleh. Lalu, tanpa ragu ia buka bajunya,
dan hanya kutang saja yang menempel di dadanya. Semua orang bisa
melihat kulit punggung Sumi yang seperti bekas lelehan lilin, tak jauh
beda dengan yang di kepalanya. Luka itu tak lain adalah bekas
guyuran cairan mendidih, entah minyak atau air. Beruntung muka
Sumi yang cantik itu masih utuh.
Semua orang melihat Sumi tak berkedip. Berkali-kali mereka susah
menelan ludah mereka sendiri.
“Lihat!” Kata Sumi dengan keras di muka ibu Kedasih. “Kau mau
anakmu jadi seperti ini karena bekerja di luar negeri? Kau mau?!”.
Sambar petir—ibu Kedasih dan semua orang sangat kaget.
Kerumunan mendadak seperti sarang lebah jatuh ke tanah. Di
antaranya ada yang berbisik-bisik, “Sumi bicara. Sumi bicara. Sumi
bicara ….”

Joko Gesang Santoso.


Lahir pada 7 Mei 1984, di Gunungkidul, Yogyakarta. Lulusan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa karya cerpen
dan puisinya pernah dipublikasikan media massa seperti; Kedaulatan Rakyat,
Minggu Pagi, Seputar Indonesia, Bali Post, Bangka Pos, dan Tabloid Nyata, juga
dalam antologi bersama; Memoar Perjalanan (Antologi Puisi 2006), Negeri
Tanpa Kekasih (Antologi Puisi 2007), Stasiun Perjamuan (Antologi Puisi 2007)
Hari Ini Tak Ada Hujan Turun (Antologi Puisi 2007), Kampung Dalam Diri
(antologi Puisi Penyair Muda Lima Kota, 2008), Tiga Peluru (Antologi Cerpen
Minggu Pagi) 2010. Pernah mendapat beasiswa menulis novelet 2007 dari
Yayasan Umar Kayam Yogyakarta dengan menulis satu novelet yang berjudul

halaman 33
“Kepundung”. Puisinya pernah menjadi Karya Terpuji dalam sayembara puisi
Cinta Nyata, Tabloid Nyata 2008. Pada 27 – 29 April 2008 mendapat undangan
dari Dewan Kesenian Payakumbuh untuk menjadi peserta dalam acara Temu
Penyair 5 Kota yang diselengarakan di Taeh, Payakumbuh. Pada 29 Juni – 2 Juli
2008 mendapat undangan untuk menjadi salah satu peserta penyair dalam Pesta
Penyair Nusantara 2008 Sempena The 2nd Kediri Jatim Internasional Poetry
Gathering. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana sastra angkatan
2010 Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu, ia juga bekerja sebagai
pekerja buku di Yogyakarta.

halaman 32

Anda mungkin juga menyukai