Anda di halaman 1dari 12

SYNOPSIS FOR WRITERS

1. The Title (Judul cerita) + Penname : Iman dan Cinta By Belenggu Senja

2. The Genre and readers age (Genre dan rating konten cerita 12+, 14+, 16+ atau

18+) : 16+

3. The Setting (Seting cerita) : Setting waktu kontemporer, Setting tempat pondok

pesantren, rumah dan fasilitas umum, Setting suasana sedih penasaran dan

gembira.

4. The Main Characters

Noor Zara Ikram : Gadis cantik, berhijab panjang berusia 24 tahun.


Bermata bulat, bulu mata lentik, hidung mancung
dengan bibir mungil berwarna merah muda alami.
Putri dari seorang pemilik pondok pesantren yang
cukup besar. Anak ke empat dari empat bersaudara
dari keluarga Karim.
Jian Hong : Pria tampan yang berusia 27 thn, keturunan China
berkulit putih bersih, hidung mancung bibir tipis.
Tinggi 180 cm dengan BB 67kg, memiliki rahang
yang tegas mata bulat dan bertubuh atletis.
Seorang CEO perusahaan IT ternama, anak ke ke
dua dari dua bersaudara dari keluarga Hong.
Afnan Juhair Bakri : Anak ke dua dari tiga bersaudara, berwajah tampan
hidung mancung memiliki alis yang tebal dan
jambang yang rapi di rahang tegasnya. Memiliki
sorot mata yang tajam, Afnan seorang Ustadz yang
juga mengajar di pondok pesantren milik Tn.
Ikram.
5. The Plot (as detailed as possible, and shall include the start, the development,

the climax, the end, and main conflicts) minimal 800 kata

Berawal dari rasa simpati Noor yang menolong seorang pria paruh baya
terkena serangan jantung di sebuah restoran, mempertemukan Noor pada
sosok Jian Hong yang merupakan anak dari pria tersebut.
Noor yang merupakan seorang Dokter Jantung adalah anak dari seorang
pemilik pesantren yang cukup terkenal di Indonesia, sementara Jian Hong
warga negara cina yang tentu saja memiliki keyakinan yang berbeda dengan
Noor.
Keduanya menjalin pertemanan
6. What makes the story special and attractive? (Apa yang membuat cerita ini

special dan menarik? Terangkan!)

Cerita seorang gadis SMA yang introvet namun memiliki segudang kelebihan
tanpa banyak yang tau, namun sayangnya seorang pria pembuat onar di
sekolahnya tau semua rahasia Zia hingga membuat gadis itu sering
berhubungan dengan pria tersebut dan berakhir dengan kisah yang rumit.
7. Apa kelebihan dan kekurangan cerita ini menurutmu? (Kelebihan +

Kekurangan )

Kelebihan : Alur yang mudah di ikuti dan selalu di penuhi dengan dengan
konflik yang membuat penasaran dari episode ke episode yang lainnya hingga
tidak membosankan untuk di baca dan di kemas dengan ending yang
sempurna. Kisah cinta yang sangat manis dan menyenangkan untuk di baca
yang mengisahkan seorang gadis introvet dengan seorang pria pembuat
masalah di sekolah.
Kekurangan : Karena per episode nya selalu membuat penasaran jadi bagi
pembaca yang kurang sabar akan merasa bosan. Untuk penulisan cerita masih
banyak typo serta beberapa ejaan yang masih tidak sesuai dengan EYD harap
dimaklumi. Di setiap episode yang selalu menegangkan mungkin akan
membuat para pembaca merasa terbawa emosi.

8. Sample chapter(s)(at least 3000 words)

Aku masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih basah dan di taburi
bunga - bunga, dengan air mata yang masih mengalir. Sesekali terasa nafas
ku seperti tersengal karena terisak sejak tadi, rasanya masih tak percaya. Ya
aku berada di pemakanan sekarang, wanita yang biasa ku panggil Mama kini
sudah pergi untuk selamanya. Mama tak pernah mengeluh sakit sebelumnya,
tiba - tiba saja saat di sekolah aku mendapat kabar jika Mama di larikan ke
rumah sakit terkena serangan jantung dan saat aku dalam perjalanan ke
rumah sakit, Kak Azam menyuruh ku untuk langsung menuju rumah saja.

Hati ku mulai tak tenang selama di perjalanan takut sesuatu terjadi pada
Mama, ternyata begitu sampai di rumah aku melihat secarik kain putih di
gantung di depan pagar rumah ku dan sudah ada beberapa papan bunga
yang terpasang dan bertuliskan "TURUT BERDUKA CITA ATAS
MENINGGALNYA NY. ALISHA RAHARDJA ISTRI DARI TUAN SUTOMO
RAHARDJA" air mata ku luruh, duniaku terasa runtuh seketika.

Satu persatu orang - orang sudah meninggalkan tempat pemakanan,


"Zia...ayo nak kita pulang" ucap pria dewasa yang biasa ku panggil Papa. Aku
hanya bergeming, sesekali tangan ku mengusap pipi yang masih basah. Papa
pun ikut meninggalkan pemakaman diantarkan oleh para pengawalnya.

Kak Azam ikut berjongkok di sampingku, aku sudah tak bertenaga rasanya.
Aku mendudukkan bokongku di atas tanah, tak ku pedulikan lagi kotornya.
Kak Azam pun ikut duduk di sebelah ku, sambil merangkul pundak ku. Aku
kembali terisak di bahu Kak Azam, "Kenapa Mama pergi gak bawa Zia Kak,
hiks...hiks..." racau ku dengan air mata.

"Nanti aku sama siapa Kak, gak ada lagi yang nemenin Zia di rumah kalau
pulang sekolah, nanti gak ada yang buatin sarapan omlet mie kesukaan Zia"
sambung ku, mengingat hampir setiap pagi aku minta buatkan omlet untuk
sarapan meski Papa sering melarang ku makan itu katanya kurang sehat, tapi
Mama tetap membuatkannya untuk ku.

"Masih ada Kakak sayang, kamu jangan seperti ini. Kakak jadi ikutan sedih,
kita saling menguatkan ya" ucap Kak Azam sambil mengusap pelan
punggungku. Aku tau Kak Azam juga menangis, karena ku rasakan nafasnya
naik turun saat memeluk tubuh ku yang ringkih.

"Ayo kita pulang ya" ajak pria muda yang biasa ku sapa Kakak tersebut, aku
masih bergeming menatap gundukan tanah.

"Zia...." panggilnya lagi karena melihat ku diam saja.

"Zia masih mau di sini Kak, nemani Mama. Mama pasti kesepian kalau aku ikut
pulang, Kakak pulang aja duluan" ucap Ku tanpa melihat ke arah nya.

"Gak, Kakak gak mungkin ninggalin kamu sendiri disini. Sudah lah, Mama
sudah tenang jangan seperti ini. Nanti Mama ikutan sedih lihat putrinya
seperti ini" pujuk Kak Azam, aku kembali menangis kemudian ku rasa tangan
kokoh Kak Azam memegang ke dua bahu ku agar berdiri, tanpa bantahan aku
pun menurut. Kak Azam memapah ku hingga ke mobil. karena untuk berjalan
saja rasanya aku sudah tidak sanggup.

Akhirnya kami meninggalkan tempat pemakaman dan kembali menuju rumah


besar, di dalam mobil aku dan Kak Azam masih sama - sama diam. Kami larut
dalam kesedihan masing - masing dan tak ada yang berniat memulai
pembicaraan. Lebih kurang tiga puluh menit kami sudah sampai di rumah, aku
melangkah gontai masuk ke dalam dan langsung menuju kamar ku tanpa
berniat untuk bergabung dengan Papa dan beberapa keluarga yang masih
ada.

Di kamar aku langsung menuju kamar mandi, dan duduk di bawah guyuran
air showel tanpa melepas pakaian. Air mata ku kembali turun bersamaan air
shower yang membasahi tubuh ku. Hampir tiga puluh menit aku berada di
posisi ini, hingga ku rasa tubuh ku mulai menggigil. Aku bangkit dengan
tertatih membilas mandi hingga bersih, setelah selesai aku memakai jubah
mandi ku dan keluar dari kamar mandi.

Saat membuka pintu, ternyata Papa sudah duduk di tepi ranjang.

"Papa sudah lama? tanya ku berbasa basi, ku lihat pria dewasa tersebut
memaksakan senyum karena dari raut wajahnya aku masih menangkap
kesedihan di sana.

"Gak kok" aku duduk di sebalah Papa, dan menyandarkan kepala ku di bahu
nya. Kini hanya Papa dan Kak Azam tempat ku bersandar tapi apa mungkin
sama, karena jujur aku tidak terlalu dekat dengan Papa. Papa selalu sibuk
dengan urusan bisnis nya, sedangkan minggu saja Papa jarang di rumah.
Sementara Kak Azam dia tidak tinggal di rumah ini, dia lebih suka tinggal di
apartemennya dengan alasan lebih dekat kantor, tapi sebenarnya itu hanya
alasan aku tau Kak Azam tidak terlalu akur dengan Papa makanya dia tidak
betah di rumah.

Papa orang yang tegas dan sedikit otoriter, dia ingin Kak Azam melanjutkan
bisnis nya tapi Kak Azam menolak dan memilih merintis usaha properti nya
sendiri karena Kak Azam tak mau orang meremehkannya dan mengatakan
bahwa dia hanya bergantung pada harta orang tuanya. Awalnya Papa sangat
marah dan sering merendahkan usaha Kak Azam, tapi lambat laun dia bisa
menerima apalagi sekarang bisnis properti Kak Azam sudah cukup besar dan
terkenal di kalangan pengusaha termasuk semua kolega Papa.

"Pa...Kak Azam akan tinggal di sini kan?" ku rasa Papa menghela nafas ringan.

"Papa gak tau sayang, kamu tau sendirikan Kakak mu itu keras kepala"

"Papa bujuk Kak Azam ya, biar tinggal disini lagi sama kita" rengek ku.

"Kamu pasti tau kan, jika Papa dan Azam tidak terlalu akur. Papa tak bisa
memaksanya, tapi nanti Papa akan bicara dengan Kakak mu agar dia di sini
dulu untuk sementara" ucap Papa, aku hanya diam bergeming.

"Istirahatlah dulu, kamu pasti masih lelah. Nanti Pap minta Ambu
membawakan makanan untuk mu" ucap Papa lagi kemudian bangkit dari
duduknya meninggalkan kamar ku.

Papa benar aku memang sangat lelah, tapi aku tak ingin tidur aku hanya ingin
bertemu Mama dan hanya Mama yang mampu membuat ku kembali
bersemangat lagi tapi apa itu mungkin. Aku meringkuk di atas kasur sambil
memeluk bantal guling, aku masih menggunakan handuk kimono ku. Ku tarik
selimut hingga sebatas dada, sesekali air mata ku masih meleleh membasahi
bantal yang ku gunakan.

Ceklek
Ku dengar seseorang membuka pintu kamar, aku enggan berbalik untuk
melihat siapa yang datang. Aku pura - pura memejamkan mata, agar tak
banyak pertanyaan yang mucul. Saat ini aku sedang tak ingin di ajak bicara,
aku ingin sendiri.

"Zia...apa kamu sudah tidur" ku dengar suara seorang pria memanggilku, dan
ku rasa ranjang ku bergerak pasti dia sedang duduk di tepi ranjang sekarang.
Ku rasakan tangan mengelus rambutku dengan lembut.

"Kakak tau kamu belum tidur, bentar lagi Ambu akan mengantar makanan.
Kamu makan ya" ternyata Kak Azam yang datang, aku masih diam tanpa
berniat untuk menjawab ucapan nya.

Pagi ini aku merasa ada yang aneh, kenapa tidak ada suara bising Mama yang
membangunkan batin ku dalam hati. Ah..iya aku lupa, bukannya semalam
Mama baru saja meninggal. Tiba - tiba saja air mata ku kembali mengalir, aku
masih belum siap menghadapi kenyataan jika saat ini Mama benar - benar
sudah meninggalkan ku.

Aku duduk di tepi ranjang dengan mata sembab dan wajah yang ku rasa
sangat kacau, karena semalaman ini aku tidak dapat tidur. Aku menatap
nampan yang masih berisi makanan lengkap dengan lauknya, karena
memang belum ku sentuh sedikit pun. Itu adalah makanan yang di bawakan
oleh Ambu untuk makan malam tadi, tapi aku tak menyentuhnya karena
benar - benar sedang tidak ada selera bahkan bergerak dari posisi ku yang
meringkuk saja sangat enggan.

Ceklek

Ambu kembali datang membawakan segelas susu dan roti, ada juga sepiring
nasi goreng yang lengkap dengan terlor ceplok di atasnya.

"Neng...makan ya, ini Ambu bawa kan sarapan" ucap wanita dewasa tersebut
sambil meletakkan di atas meja.

Kemudian dia datang menghampiri ku dan mengusap rambutku yang


berantakan, "Ambu tau Eneng masih sedih, Ambu juga sedih tapi Neng
jangan sampai berlarut - larut nanti Neng malah sakit. Ambu jadi tambah
sedih kalau lihat Neng Zia kaya gini" ucap wanita dewasa tersebut sambil
mengusap rambutku, aku menatap matanya yang sudah ber air. Aku memeluk
pinggang Ambu yang sedang berdiri di hadapan ku sembari kembali terisak.

"Ambu...hiks...hiks...., Zia belum siap kehilangan Mama. Kenapa Mama gak


bawa Zia pergi" ucap ku sambil menangis, wanita dewasa tersebut mengusap
punggung ku lembut.

"Sssstttt...jangan bilang seperti itu Neng, Nyonya Alisha pasti sedih


mendengarnya. Neng harus kuat ya, Neng harus belajar yang rajin biar Mama
bangga sama Eneng, kan Nyonya pengen lihat Neng Zia ikut olimpiade" ucap
Ambu memberiku semangat, aku ingat dulu Mama pernah bilang dia sangat
bangga pada ku karena nilai ku tak pernah jelek. Kata Mama jika ada
olimpiade sains Mama ingin aku ikut karena dia dulu waktu remaja sangat
ingin tapi tak kesampaian karena Mama gugur di seleksi sekolah.

Aku mengurai pelukan ku, kemudian mengusap pipi ku yang basah.

"Terima kasim Mbu" ucap ku lirih, wanita dewasa tersebut mengangguk


sambil tersenyum.

Kemudian dia menarik tangan ku untuk duduk di sofa, "Ambu suapin ya, biar
makannya habis" ucapnya, kemudian langsung menyendokkan makanan
tersebut ke mulut ku.

Aku mengunyah makanan tersebut dengan  malas, bukan karena tidak enak
tapi karena perasaan ku yang masih sedih. "Eneng harus bangkit, gak boleh
sedih terus. Nyonya pasti sudah tenang di sana, dan dia juga ingin Neng Zia
hidup bahagia di sini" ucap nya lagi, aku pun hanya tersenyum hambar.

Setelah makanan ku habis, Ambu pamit keluar membawa nampan yang sudah
kosong dan nampan yang masih berisi makanan tadi malam. Aku pun
melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kali ini aku benar -
benar mandi hingga bersih.

Hanya butuh waktu sepuluh menit aku sudah selesai, dan langsung menuju
walk in closet untuk mencari pakaian. Setelah berpakaian dan rapi, aku
kembali duduk di sofa dan menatap kosong ke depan.

Tok..tok...tok

Ku dengar pintu kamar ku di ketuk, aku berjalan menuju pintu. Ternyata Kak
Azam, "Kakak mau ke makam, apa kamu mau ikut?" aku mengangguk.

"Ya sudah siap - siap ya, Kakak tunggu di bawah" Kak Azam langsung
meninggal kan kamar ku setelah menyuruh ku untuk bersiap. 

Aku pun bersiap, setelah siap aku turun ke bawah menemui Kak Azam, ku
lihat Kak Azam sedang duduk di ruangan keluarga bersama Papa.

"Sudah siap?" tanya Kak Azam begitu melihat ku

"Sudah Kak"

"Kalian mau kemana?" tanya Papa, aku mengerutkan kening 'apa Papa tidak
ikut' gumam ku dalam hati.

"Aku mau ajak Zia ke Makam Mama Pa, Papa Ikut?" tawar Kak Azam.

"Kalian berdua saja, Papa nanti sore saja minta antar sama supir" ucap nya.
Kemudian aku dan Kak Azam pun berpamitan dan meninggalkan rumah
dengan menggunakan motor sport milik Kak Azam yang memang ada di
rumah ini.

Tak butuh waktu lama, motor sport biru metalik dengan list putih milik Kak
Azam sudah sampai di kawasan TPU Keluarga tempat peristirahatan terakhir
Mama.

Begitu sampai di depan makam Mama, aku berjongkok dan diikuti oleh Kak
Azam. Aku mengusap batu nisan yang ada di bagian ujung makam, "Ma....Zia
datang, Mama baik - baik aja kan?" ucap ku lirih.

"Mama pasti baik - baik aja" ucap Kak Azam yang menjawab pertanyaan ku
seraya mengusap punggung ku pelan. Aku pun kembali menangis, Kak Azam
merangkul pundak ku sambil di usap pelan.

"Ma...Zia rindu Mama, hiks...hiks..."

"Sudah... tidak baik bersedih terus, bagaimanapun kita harus ikhlas. Karena
cuma itu yang bisa kita lakukan sekarang" ucap Kak Azam menguatkan.

Hampir tiga puluh menit kami berada di makam setelah selesai kami pun
kembali menunggangi motor sport milik Kak Azam, tapi sepertinya jalan yang
di tempuh bukan menuju ke rumah. Tapi bibirku tetap enggan untuk bertanya
alhasil aku hanya diam saja di belakang Kak Azam. Hampir sekitar tiga puluh
menit berkendara motor Kak Azam berhenti di sebuah taman.

"Kita ngapain ke sini Kak?" tanya ku akhirnya.

"Gak apa - apa, Kakak cuma pengen ngajak kamu kesini aja" ucap nya sambil
melepas helm full face nya.

Kak Azam menarik tangan ku agar mengikuti langkahnya, aku pun hanya
menurut. Kami duduk di sebuah kursi yang ada di sini, sambil menghadap ke
sebuah danau. Di taman ini biasanya ramai orang yang berdatangan untuk
berolah raga atau sekedar menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi
karena ini masih siang jadi tidak terlalu ramai orang hanya ada beberapa saja.

"Kamu mau ice cream?" Tanya Kak Azam.

"Boleh" ucap ku, terlihat Kak Azam menyunggingkan bibir nya tersenyum
kemudian bangkit menuju gerobak ice cream di pinggir taman.

Tak lama Kak Azam kembali dengan membawa dua buah ice cream di
tangannya, yang satu di berikan pada ku dan yang satu nya untuk dia, aku
pun mulai menikmati ice cream tersebut.

"Kamu masih ingat gak dulu kamu sering sekali minta di ajak main ke sini
setiap pulang sekolah" ucap Kak Azam, mengingat dulu setiap menjemput ku
pulang dari sekolah pasti aku merengek minta di bawa main ke taman ini
karena jika sudah sampai di rumah pasti Papa tidak mengizinkan ku untuk
keluar rumah lagi.

"Iya dan dulu Kak Azam pernah di hukum Papa, karena terlambat bawa aku
pulang ke rumah" ucap ku yang mulai mengingat dulu Papa pernah memukul
Kak Azam pakai kikat pinggang karena terlambat membawa ku pulang,
pasalnya aku sampai tidak jadi les bahasa inggris karena itu.

"Dan Mama yang membela Kakak hingga akhirnya Papa berhenti memukul"
sambung ku lagi, dan kembali meneteskan air mata mengingat Mama yang
selalu melindungi kami dari amukan Papa.

"Sudah jangan menangis lagi, ingat apa yang Kakak bilang kita harus ikhlas
biar Mama tenang di sana" ucap Kak Azam sembari mengusap punggung ku,
aku pun hanya mengangguk.

Kak Azam benar, aku harus ikhlas karena menangis terus juga tidak akan
mengembalikan Mama lagi. Kami pun menikmati ice cream sampai habis,
setelah itu kami kembali pulang menuju rumah.

Sampai di rumah, aku memilih duduk di taman belakang menatap bunga -


bunga yang selalu dirawat oleh Mama dengan kasih sayang. Mama sangat
suka bunga,  dulu Mama setiap sore menyiramnya dan itu akan menjadi
tugasku sepertinya mulai hari ini.

'Ma...aku akan merawat bunga Mama dengan baik' gumam ku.

"Ngapain di sini" Kak Azam datang dan duduk di kursi yang kosong

"Gak apa - apa Kak, lagi pengen di sini aja"

"Kamu izin sekolah berapa hari?" tanya Kak Azam

"Aku belum tau Kak, rasanya masih pengen di rumah saja"

"Kakak hari senin sudah mulai masuk kantor, mungkin minggu Kakak akan
kembali ke apartemen" aku menatap ke arah Kak Azam.

"Apa Kakak tak mau tinggal di rumah ini saja?"

"Kakak gak bisa Zia, kamu tau sendirikan Kakak sama Papa gak pernah akur"

"Apa Kakak tak bisa tinggal lebih lama lagi?" ku dengar Kak Azam menghela
nafasnya ringan.

Aku tau sekali bagaimana hubungan Kak Azam dengan Papa, tapi apa dia tak
bisa tinggal beberapa hari saja lagi. Bagaimana dengan ku nanti jika Kak
Azam sudah tidak di rumah, siapa yang akan menemani ku lagi.

"Nanti Kakak akan sering menjenguk mu ya" ucap Kak Azam, dan itu sudah
menjawab pertanyaan ku tadi.
***

Ini hari minggu, itu artinya Kak Azam akan kembali ke apartemennya. Aku
turun ke bawah dengan langkah gontai, sudah lima hari Mama meninggalkan
kami tapi aku masih merasa Mama masih ada disini.

"Ma...aku mau sarapan omlet ya" ucap ku tanpa sadar begitu duduk di kursi
makan, Papa dan Kak Azam serentak menatap ke arah ku. Awal nya aku heran,
tapi kemudian aku baru sadar. Ku tundukkan kepala ku dengan air mata yang
mulai menggenang.

"Maaf" ucap ku lirih

"Tidak apa - apa" ucap Kak Azam sambil mengusap punggung ku yang mulai
bergetar.

"Sudah berapa kali Papa bilang sarapan seperti itu tidak sehat Zia, makan
yang lain saja" ucap Papa dengan nada dingin, pria dewasa ini memang selalu
seperti ini jika aku meminta omlet.

"Apa mau Ambu buatkan Neng" ucap Ambu yang sudah berdiri di ruangan
makan.

"Tidak perlu Mbu, biar Zia terbiasa makan yang lain jangan omlet terus. Itu
tidak sehat!" jawab Papa sebelum aku menjawab pertanyaan Ambu.

"Buatkan saja Mbu" ucap Kak Azam membantah ucapan Papa, ku lirik Papa
dari ujung mata ku. Terlihat pria dewasa tersebut menatap tajam ke arah Kak
Azam.

Sementara Ambu langsung ke dapur untuk menyiapkan bahan membuat


omlet yang ku minta.

"Jangan terlalu membela adik mu, makanan seperti itu tidak baik untuk nya.
Zia itu masih dalam masa pertumbuhan jadi harus makan yang sehat supaya
otaknya bisa pintar" tegas Papa.

"Pintar apa? pintar seperti keinginan Papa, sudahlah Pa...jangan selalu


memaksa Zia dan kali ini biarkan dia makan apa yang dia mau" bantah Kak
Azam lagi, aku mulai merasakan aura permusuhan antara dua pria tersebut.

"Terserah saja kalau begitu, Papa mau pergi keluar dulu. Papa ada janji sama
kolega untuk main golf mungkin sore baru pulang" ucap pria dewasa tersebut
sambil mengelap bibirnya dengan serbet kemudian bangkit dan
meninggalkan kami.

"Maafin Zia, Kak" ucap ku lirih.

"Sudah jangan sedih - sedih"


Tak lama Ambu datang membawa piring yang berisikan omlet mie kesukaan
ku, bau nya harum sekali.

"Ini omlet nya Neng" ucap Ambu sambil tersenyum meletakkan piring yang
berisi omlet tersebut.

"Terima kasih, Mbu" ucap ku sopan.

"Makan yang banyak ya, habiskan" ucap Kak Azam sambil mengambilkan
sendok dan garfu untuk ku.

Aku pun mengangguk kemudian mulai menikmati omlet tersebut, enak tapi
tetap saja tidak se enak buatan Mama. Tapi aku tetap mengunyahnya hingga
habis, aku harus terbiasa dengan rasa buatan Ambu mulai hari ini.

Setelah selesai sarapan, aku membereskan piring kotor dan membawanya ke


tempat cucian piring untuk di cuci.

"Aduh Neng...biar Ambu aja atuh yang cuci" ucap wanita dewasa tersebut.

"Gak apa - apa Mbu, cuma sedikit kok" ucap ku masih melanjutkan aktivaitas
mencuci piring hingga selesai.

"Ambu mau masak apa?" tanya ku ikut duduk di hadapan Ambu yang sedang
mengupas wortel.

"Mau masak sop ayam campur sayur aja Neng. Apa Neng mau minta masakin
sesuatu?" tanya wanita dewasa tersebut.

"Tidak Mbu, aku akan makan apa pun yang Ambu masak" ucap ku sambil
tersenyum, aku memang tidak memilih dalam makanan. Selama ini semua
yang dimasak oleh Mama dan Ambu aku tak pernah protes, hanya saja kalau
sarapan aku memang sering meminta omlet.

"Mbu..., kapan - kapan ajarin aku buat omlet ya" ucap ku, terlihat wanita
dewasa tersebut menatap ke arah ku.

"Kenapa Neng, apa omlet buatan Ambu kurang enak?" tanya nya, aku
menggelengkan kepala ku dengan cepat.

"Bukan...bukan itu maksud ku Mbu, aku mau belajar buat sendiri biar nanti
kapan pengen tidak perlu merepotkan Ambu" ucap ku lagi.

"Oh...begitu, ya udah nanti siap masak Ambu ajarkan ya" aku pun
mengangguk tersenyum, kemudian membantu Ambu untuk mengupas
kentang untuk campuran sop.

Lebih kurang satu jam kami sudah selesai memasak sop ayam dan goreng
tahu tempe, Ambu juga membuat sambal terasi seperti request Kak Azam. 
Kata Kak Azam mumpung Papa tidak di rumah jadi dia minta dibuatkan
sambal terasi, karena jika ada Papa pasti dia akan protes. Papa tidak suka
sambal terasi katanya baunya tidak enak, dia pasti akan menyuruh
membuangnya jika tercium di meja makan. Ah...jika mengingat pria dewasa
itu, rasanya aku lelah. Di rumah ini tak ada yang berani membantah Papa,
semua ucapannya seperti undang - undang negara yang wajib di patuhi.

"Hmmm...enak Neng, yang ini lebih enak dari yang tadi" ucap Ambu sambil
mengunyah omlet buatan ku yang ke tiga kali. Ambu menepati janji nya untuk
mengajarkan ku membuat omlet setelah memasak.

"Beneran Mbu?" tanya ku berbinar, terlihat wanita dewasa tersebut


mengangguk antusias.

"Iya benar, ini enak. Coba aja Neng kalau gak percaya" ucapnya lagi.

"Biar aku yang coba Mbu" ucap Kak Azam yang baru saja nongol dan
langsung merebut garfu yang ada potongan omlet di tangan Ambu.

Ku lihat Kak Azam mulai mengunyah pelan dan kemudian dia tersenyum
sambil mengacungkan jempolnya ke arah ku.

"Ambu benar, ini enak sudah seperti buatan Mama" ucap Kak Azam, senyum
ku langsung memudar ketika mengingat Mama.

"Ops.." ucap Kak Azam.

"Udah gak apa - apa, kan malah bagus atuh Neng jika sama dengan buatan
almarhum Nyonya. Berarti Neng pinter masak kaya almarhum juga" ucap
Ambu menghilangkan suasana sedih, aku pun tersenyum mendengarnya.

"Iya Ambu benar, kapan - kapan Kakak minta di buatkan kalau kamu ke
apartemen ya" ucap Kak Azam lagi.

"Gak...kalau Kak Azam mau makan omlet buatan aku, Kakak harus datang ke
rumah. Aku gak mau ke apartemen Kakak, nanti Kakak gak mau jenguk aku di
rumah lagi" ucap ku protes sambil memanyunkan bibir ku.

"Iya...iya...mana mungkin Kakak gak ke sini lagi, nantikan Kakak kangen sama
adik Kakak yang manja ini" ucap Kak Azam sambil mengacak rambut ku, aku
dan Ambu tersenyum mendengarnya.

9. Sumarry

Kehidupannya Zia berubah seratus delapan puluh derajat saat Ibu nya
meninggal dunia, Zia berubah menjadi anak yang lebih suka berdiam diri di
kamar, semua semakin memburuk ketika sang Ayah membawa calon istri
barunya ke rumah yang berusia jauh lebih muda dari Ayah nya. Zia menjadi
sering berdebat dengan Ayahnya karena tidak suka dengan keputusan sang
Ayah yang akan menikah lagi. Karena hal ini Zia memilih mencari kesibukan
lain yaitu dengan bermain drum, Zia sangat suka sekali bermain drum.
Menurutnya drum menjadi tempat pelampiasannya saat sedang kesal.
Sementara di sekolah Zia di kenal sebagai anak yang sangat pintar dan
introvet karena dia lebih suka menyendiri, Zia bertemu dengan Jazel saat pria
tersebut sedang merokok di belakang sekolah. Saat itu Zia tak sengaja
memergoki pria yang kerap di sapa Azel tersebut ketika dirinya sedang kesal
pada salah satu geng siswi yang terkenal cukup centil di sekolahnya. Niat
hatinya ingin menghindari geng siswi tersebut malah menjadi petaka baginya
karena harus berurusan dengan Azel seorang siswa yang terkenal pembuat
masalah di sekolahnya.

Anda mungkin juga menyukai