Anda di halaman 1dari 23

Menceritakan kembali alur film Laskar

pelangi

Laskar pelangi

Pagi itu hari pertama masuk SD. Aku duduk di depan


sebuah kelas. Ayahku duduk di sampingku. Dibangku
panjang itu ada anak dan orang tua yang mendaftar
ke sekolah SD Muhammadiyah.Diujung kursi ada
pintu yang terbuka. Mereka adalah K.A.Harfan
Efendy Noer, kepala sekolah. Dan ibu N.A.Muslimah
Hafsari atau Bu Mus seorang guru muda berjilbab.

Namun, Bu Mus terlihat gelisah dan cemas. Ia


menghitung banyak siswa berulang-ulang, tetapi
masih sembilan anak. Pada saat itu aku cemas dan
semangatku untuk sekolah menurun. Ayahku pun
begitu cemas.

Setelah menunggu sampai pukul sebelas lewat lima


menit. Namun, ketika Pak Harfan mengucapkan
Assalamu'alaikum, Trapani berteriak memanggil
nama Harun. Harun pria jenaka yang sudah berusia
lima belas tahun dan terbelakang mentalnya. Harun
telah menyelamatkan kami dan kami bersorak
gembira, karena SD Muhammadiyah tidak jadi di
tutup.
Bu Mus mendekati setiap orang tua murid di bangku
panjang, berdialog ramah, dan mengabsen murid.
Semua telah mendapatkan teman sebangku masing-
masing. Aku duduk bersama Lintang, yang sekolah
disini dan pulang pulang pergi setiap hari naik sepeda
empat puluh kilo meter dari rumahnya.

Trapani bersama Mahar karena mereka paling


tanpan. Trapani memandangi jendela,melirik kepada
ibunya yang sekali-kali muncul di antara kepala
orang tua lainnya. Borek dan Kucai di dudukkan
bersama karena mereka sama-sama sudah diatur.
Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng
muka Kucai dengan penghapus papan tulis.

Tingkah Borek diikuti oleh Sahara yang sengaja


menumpahkan air minum A Kiong sehingga ia
menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan
dengan setan. Sahara gadis kecil yang berkerudung
memang keras kepala sekali. Tangisan A Kiong
merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi
itu.

Bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan


sampai puluhan tahun mendatang karena aku
melihat Lintang dengan canggung menggenggam
sebuah pensil yang besar belum disurut. Salah
satunya ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya
biru. Sepertinya ayahnya keliru membelikan pensil
itu.

Begitu juga dengan bukunya, juga keliru. Buku


bersampul biru tua bergaris tiga. Hal yang tak akan
pernah ku lupakan, bahwa pagi itu aku menyaksikan
anak pesisir melarat teman sebangku memegang
pensil dan buku.

Sekolah kami memiliki enam kelas yang kecil. Pagi


untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP
Muhammadiyah. Sekolah kami kekurangan guru,
bahkan siswa yang datang ke SD Muhammadiyah
menggunakan sandal dan juga tidak punya seragam,
serta kotak P3K pun tidak punya. Ketika salah satu
dari kami sakit, guru kami akan memberikan obat
yang bertuliskan APC.

Sekolah kami tidak ada yang menjaga karena tidak


ada benda berharga yang layak untuk dicuri. Ketika
malam tiba sekolah kami dipakai untuk menyimpan
hewan ternak, atapnya bocor, berdinding papan dan
juga berlantai tanah. Jika dilihat dari kejauhan
sekolah kami akan roboh karena tiang-tiang kayu
yang sudah tua.

Pak Harfan bercerita tentang Nabi Nuh serta


pasangan-pasangan binatang yang selamat dari
banjir, Perang Badar dan juga Zubair bin Awam.
Tetapi Pak Harfan harus mohon diri, satu jam
dengannya terasa satu menit. Kami mengikuti setiap
inci langkahnya ketika meninggalkan kelas.

Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya yaitu


perkenalan dan pada akhirnya tiba pada giliran A
Kiong. Tangisannya telah reda tapi masih terisak.
Ketika diminta kedepan ia senangnya bukan
main.Ketika Bu Mus mempersilakan perkenalan
nama dan alamat rumahnya, A Kiong menatap Bu
Mus dengan ragu dan kemudian tersenyum.

A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali


tidak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang
sipit menghilang. Maka berakhirlah perkenalan di
bulan Februari yang mengesankan itu.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid,


atau biasa di panggil Bu Mus, hanya memiliki
selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri),
namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya
K.A. Abdul Hamid,pelopor sekolah Muhammadiyah di
Belitong untuk mengobarkan pendidikan Islam.
Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan
bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk
mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-
adiknya.

Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik,


dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau
menyusun sendiri pelajaran Budi Pekerti dan
pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
dan hak-hak asasi. Karena masih kecil, kami sering
mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-
sekolah lain. Terutama atap sekolah bocor saat musim
hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu. Bagi kami
Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda
jasa yang sesungguhnya.

Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel,


metafora tangga menuju surga yang di tegakkan
bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran
5.600 tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong
tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan
karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami
cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra
yang kemilau dari riak-riak gelombang laut.
Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop
diterangi ribuan lampu.

Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah


adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN
Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang
termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN
merupakan penghasil timah nasional terbesar yang
mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia
menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong
dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan
eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara
ketat dimonopoli.
Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan
diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana
mengalir kebudayaan Melayu yang tua. PN
melimpahi orang staf dengan penghasilan dan
fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi,
hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif
dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka
yang bukan orang staf. Mereka, kaum berjuis,
bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut
Gedong. Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang
dijaga ketat oleh para Polsus Timah. Kawasan warisan
Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak.
Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria,
setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah
yang disambungkan oleh selasar-selasar.

Sore itu terdengar lamat-lamat denting piano dari


salah satu kastil yang tertutup rapat berpilar-pilar dia
adalah Floriana atau Flo. Dia seorang anak yang
tomboi, salah satu siswa dari sekolah PN, yang sedang
les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo
terkantuk-kantuk tanpa minat.

Bapaknya seorang Mollen Bas, kepala semua kapal


keruk. Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang
amat terpelajar. Ia geram pada tingkah anaknya dan
malu pada sang guru, beliau tak henti-henti
memohon pada wanita Jawa yang sangat santun itu
atas kelakuan anaknya. Karena beliau telah memiliki
beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, anak
perempuan satu-satunya. Namun anak
perempuannya bersikeras ingin menjadi laki-laki,
mungkin pengaruh dari saudara laki-lakinya.

Tidak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami


adalah kampung terkaya di Indonesia. Namun jika di
zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia
tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi
Gedong. Di antara rumah panggung berdesak-
desakan kantor polisi, gudang logistik PN, kantor
polisi, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA,
masjid, kantor pos, bangunan pemerintah yang
dibuat sehingga menjadi kosong, tandon air, warung
kopi, rumah gadai, dan rumah suku Sawang.

Keseharian orang pinggiran amat monoton. Pagi yang


sunyi menjadi berantakan ketika kantor pusat PN
Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.
Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing. Tepat
pukul 7 sirine dibunyikan kembali tanda jam resmi
masuk kerja. Pukul 12 sirine kembali berbunyi
sebagai tanda istirahat. Pukul 2 siang sirine
berdengung lagi memanggil mereka bekerja, dan
pada pukul 5 sore para kuli kembali pulang ke
peraduan, berlangsung selama puluhan tahun
lamanya.
Di sepanjang jalur perdesaan rumah penduduk
berserakan, berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan
raya. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang
staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan
setiap konsesi eksploitasi timah. Sisanya berada di
lapisan terendah, jumlahnya banyak dan
perbedaannya sangat mencolok dibanding kelas di
atasnya. Sekolah PN merupakan center of excellence
atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Gedung-
gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur
dengan rumah bergaya Victoria. Di setiap kelas ada
kotak P3K berisi obat-obat pertama. Mereka memiliki
petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru bergaji
mahal, dan penjaga sekolah.

Murid PN pada umumnya anak-anak orang luar


Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN.
Mereka semua bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar.
Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam
lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional.
Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas
sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan
benchmarking, yang seharusnya ilmu pengetahuan
ditransfer dan anak kecil dididik secara ilmiah.

Pendaftaran hari pertama di sekolah PN sebagai


sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil
mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak
orang kaya mendaftar. Ketika mendaftar, badan
mereka langsung diukur untuk seragam dan dua
macam pakaian olahraga dan juga langsung
mendapat kartu perpustakaan.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting,


Ibu Frischa. Kalau sempat berbicara dengan beliau,
pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN,
anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang
muridnya yang telah menjadi dokter, insinyur, ahli
ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota
atau bahkan di luar negeri. Sekolah kampung tentu
saja perguruan Muhammadiyah dan beberapa
sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.

Pagi itu Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami


dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan
dan harus membeli kertas kajang di pasar. Dengan
polos dan tahu diri bahwa sandal dan bajunya buruk,
sambil melipat karung kecampang yang dipakainya
sebagai tas sekolah. Mengesankan dirinya kenal
dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu
menaikkan martabatnya di mata kami. Kucai sok
gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya
itu.

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola kupinjamkan


padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan
baju Syahdan. Seperti Lintang, Syahdan yang miskin
juga anak orang nelayan. Ayahku, contohnya, hanya
pegawai rendahan di PN Timah. Seperti halnya A
Kiong, tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya,
yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu
mendaftarkan anak laki-lakinya itu ke sekolah Islam
puritan dan miskin ini. Mungkin karena kelurga
Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang
kebun sawi, juga amat miskin. Meskipun wajahnya
horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan
ramah, kecuali pada Sahara. Namun, pria beraut
manis manja yang duduk di depannya dan
berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu
mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran,
ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Ia
kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin
menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh.
Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng
sekitar 20 derajat. Kucai juga bertahun-tahun menjadi
ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah
jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu
menyebalkan karena harus mengingatkan anggota
kelas agar jangan berisik. Berulang kali Kucai
menolak diangkat kembali menduduki jabatan,
namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa
mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun
luluh dengan terpaksa bersedia menjabat lagi.
Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia
gamang pada pertanggung jawaban setelah mati
nanti, ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut
karena ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.
Kucai tampak emosional, tangannya menunjuk-
nunjuk ke atas dan napasnya tesengal setelah
menghamburkan unek-unek yang mungkin telah
dipendamnya bertahun-tahun. Bu Mus juga terkejut,
beliau ingin bersikap seimbang maka beliau
menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru
yang kami inginkan. Kucai senang sekali. Suasana
menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan
suara. Kucai terkulai lemas, karena ia masih menjadi
ketua kelas kami.

Trapani atau si rapi jali adalah maskot kelas kami,


berwajah seindah rembulan. Ia tak bicara jika tak
perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan
kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia seorang
pemuda santun harapan bangsa, cita-citanya ingin
jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk
memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman,
sungguh mulia. Ia sangat berbakti kepada kedua
orang tuanya, khususnya ibunya. Trapani agak
pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki
peringkat tiga. Sahara satu-satunya hawa di kelas
kami, ia ramping dan berjilbab. Bapaknya seorang
Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang
lapangan di PN. Sifatnya penuh perhatian, kepala
batu, dan pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan
Trapani. Sifat lain dari Sahara adalah kejujurannya
yang luar biasa dan benar-benar menghargai
kebenaran. Musuh abadi Sahara ialah A Kiong.
Sepertinya mereka dipertemukan nasib untuk selalu
berselisih. Sebaliknya, Sahara sangat lembut kepada
Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam,
dan murah senyum. Harun selalu menceritakan
kucingnya yang berbelang tiga melahirkan tiga ekor
yang berbelang tiga dan tanggal tiga kemarin. Sahara
selalu sabar walaupun Harun menceritakannya setiap
hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun,
dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Jika kami
naik kelas Harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak
punya rapor. Aku sering memandangi wajahnya
lama-lama untuk menebak apa yang ada didalam
pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi
tingkahku, Harun adalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa.

Pria kedelapan adalah Borek, aku tak mengerti dari


mana ia mendapat pengetahuan membesarkan otot
dada. Ia menarik tanganku berlari menuju belakang
sekolah. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan bola
tenis yang dibelah dua. Namun belum sempat aku
berfikir jauh, tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku
dan dengan keras menekankan bola tenis ke dadaku.
Bola tenis itu alat bekam yang akan menarik otot
sehingga menonjol dan bidang. Di dadaku melingkar
bulat merah kehitaman. Ketika ibuku bertanya
tentang dada itu, maka dengan amat sangat terpaksa
kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan
ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah aku
mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila.
Gila yang no.1 ialah jika orang-orang yang sudah
tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan. Dan gila
no.5 adalah gila yang aku buat dengan bola tenis itu.

Pagi itu Lintang terlambat masuk kelas. Dia tidak bisa


melintas, karena seekor buaya sebesar pohon kelapa
tak mau beranjak, menghalanginya di tengah jalan.
Tak ada siapa-siapa yang bisa dimintai bantuan. Dia
hanya berdiri mematung, dan berbicara dengan
dirinya sendiri. Buaya sebesar itu takkan mampu
menyerangnya dalam jarak lima belas meter, buaya
itu lamban pasti kalah langkah. Lintang maju sedikit,
membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan,
berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar
buaya merayap pergi. Tapi buaya itu bergeming,
ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya
memperlihatkan dia penguasa rawa itu. Walaupun
lebih dari setengah perjalanan Lintang tak kan
kembali pulang gara-gara buaya bodoh itu, tak ada
kata bolos dalam kamusnya.

Dalam jarak dua belas meter, Lintang hanya


sendirian. Jika ada orang lain ia berani lebih frontal.
Lintang tidak berani lebih dekat, buaya itu menganga
dan bersuara rendah, suara dari perut yang
menggetarkan. Ia diam menunggu, tak ada jalur
alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Lintang
mulai frustasi, suasana sunyi senyap, yang ada hanya
ia dan buaya ganas yang egois, dan intaian maut.

Tiba-tiba dari arah samping ia mendengar riak air,


Lintang terkejut dan takut. Menyeruak diantara
lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada,
seorang laki-laki seram naik dari rawa. Laki-laki itu
menghampiri Lintang, kakinya bengkok seperti huruf
O. Laki-laki itu adalah Bodenga. Lintang lebih takut
padanya daripada buaya mana pun. Pria itu tak mau
dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur,
siapa yang tak kenal dia. Dia melewati Lintang seperti
Lintang tidak ada dan dia melangkah tanpa ragu
mendekati binatang buas itu. Dia menyentuh buaya
itu, menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil
mengumamkan sesuatu. Buaya itu seperti takluk,
mengibas-ngibaskan ekornya.

Dari permukaan air yang bening jelas ia lihat


binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk
mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang
hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air.
Bodenga berbalik ke arah Lintang, ekspresinya dingin
dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih.
Kenyataannya Lintang tak berani menatap dia,
nyalinya runtuh. Tapi Lintang merasa beruntung
karena ia telah menyaksikan langsung kehebatan
ilmu buaya Bodenga. Bodenga kini sebatang kara,
satu-satunya keluarga adalah ayahnya yang buntung
kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu
buaya, ayahnya seorang dukun buaya terkenal.
Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri
kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar
jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang.
Ayahnya sengaja menggumpan tubuhnya pada
buaya-buaya ganas itu.

Di siang hari sekolah kampung tentu saja perguruan


Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin
lainnya di Belitong panas menggelegak, ketika
pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh
perguruan miskin Muhammadiyah, kami menjadi
saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar.
Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan
kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti
diduga dan sudah delapan belas kali terjadi ia akan
membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah
Benderaku karya Ibu Sud. A Kiong membawakan lagu
itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju
pada labu siam yang merambati dahan-dahan rendah
filicium serta buah-buahnya yang gendut-gendut
bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun
memandang ke arah kami, ia mengkhianati penonton.
Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu
Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit
kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka
karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damodoro
IS. Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf
secara drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak
ada keselarasan nada dan tempo. 

Aku telah mengkhianati keindahan. Bu Mus


menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku
berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai,
dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataanya
semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang
berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga karya C.
Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia
menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil
menunduk dalam dan menghentak-hentakkan
kakinya dengan keras.

Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi.


Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah
lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar.
Lagu tentang topi ini adalah lagu super ringkas
dengan bait yang dibalik-balik. Lintang
menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga
seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai. 

Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh


keingintahuan, dan kami semakin takjub ketika ia
membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat
musik ukulele. Suasana jadi hening dan kemudian
perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan
memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu,
ukulele dipeluknya dengan sendu, matanya terpejam,
dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang
mengharu biru, pias menahankan rasa. Lalu dengan
interlude yang halus meluncurlah syair-syair lagu
menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka
yang dinyanyikan dengan keindahan andante
maestoso yang tak tertuliskan kata-kata. Seketika
kami tersentak dalam pesona, lagu yang berjudul
Tennesse Waltz dan sangat terkenal karya Anne
Muray. Intonasinya lembut membelai-belai kalbu dan
Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau
menyaksikannya menyanyi sambil menitikkan air
mata. Pada kesempatan lain Mahar bergabung
dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah dan
mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya.
Mahar pula yang membentuk sekaligus Sore itu,
setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang
pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh, terang
benderang dengan enam lapis warna. Ujung
kanannya berangkat dari Muara Genting seperti
pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya
tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng
Gunung Selumar. Dahan filicium menjadi gaduh
karena kami bertengkar bertentangan pendapat
tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi
Belitong Timur. Ketika kami mendesank Mahar, ia
sempat ragu-rag. Dia diam membuat pertimbangan
serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada
kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri
yang tak terkekang untuk membual. Lintang
menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai
ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum
simpul dan berpura-pura batuk untuk menyamarkan
tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi
tapi kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai
matahari membenamkan diri. Sampai akhirnya, azan
Magrib menggema.

Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun


jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia
pontang-panting menuju tenda untuk
memberitahukan apa yang dilihatnya, tetapi yang
kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong.
Maka, seperti biasa, mengalirkan ejekan untuk
Mahar. Sayangnya upaya Mahar untuk meyakinkan
kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang
membual.

Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul


"Kawanan Burung Pelintang Pulau", sebuah tema
yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burungg
yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat
menembus celah-celah pucuk pohon meranti.
Tak terasa sudah beberapa bulan kemudian
mendekati ujian caturwulan. Sekarang hari Kamis,
sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku
melamun memandangi tempat duduk di sebelahku
yang kosong. Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya
kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Bu Mus berusaha ke sana
sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang
yang mungkin melalui kampung pesisir tempat
tinggal Lintang.

Ketika kami sedang berunding untuk


mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki
masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu
Mus. Banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus
selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP
Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku
melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas
surat itu. Ibunda guru, ayahku telah meninggal, besok
aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang. Di bawah
pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan.
Aku hanya terdiam, hatiku kosong. Trapani sudah
menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk
bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson,
Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil
wudu menghapus air mata. A Kiong melamun
sendirian tak mau diganggu. Flo menunduk diam,
matanya berkaca-kaca. Kami melepas seorang
sahabat genius, salah seorang pejuang Laskar Pelangi.

Tak terasa kamu semua telah lulus dari sekolah. Kami


pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di
dalam lingkaran bayang kobaran api. Aku rindu pada
dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia
kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan
hati yang tak tertepi. Suasana sepi membisu. Aku tak
sanggup menatap wajahnya yang pilu dan
kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan
habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras
apa pun aku berusaha. Saat itu aku menyadari bahwa
kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan
cahaya dan api. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi
terindah yang pernah diciptakan Tuhan.

Kami menerima kejutan luar biasa, mengagetkan, dan


amat mengharukan, Flo datang ke sekolah
mengenakan jilbab. Mahar dan Flo berhasil lulus
ujian caturwulan terakhir. Sekarang Flo menempuh
perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan di Universitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia
menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita
membangun gerakan wanita Muhammadiyah.
Mahar hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti
Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang
kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh
tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Ia pernah
menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha,
menunggu takdir menyapanya. Ia mulai berusaha
menulis artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya
menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya
membuat dokumentasi permainan anak tradisional.
Sekarang Mahar sibuk mengajar dan mengorganisasi
berbagai kegiatan budaya.

Syahdan yang kecila, santun, dan lemah lembut


agaknya memang ditakdirkan menjadi pecundang
yang selalu menerima perintah. Cita-citanya untuk
menjadi aktor sangat tidak realistis. Setelah tamat
SMA ia berangkat ke Jakarta. Setelah lebih dari
setahun akhirnya ia benar menjadi aktor. Sampai tiga
tahun berkutnya ia masih menjadi aktor figuran. Ia
juga bosan menjadi pesuruh di sebuah grup
sandiwara tradisional kecil. Syahdan baru tahu kalau
ia berbakat mengutak-atik program komputer ketika
sudah dewasa. Ia mendapat beasiswa short course di
bidang computer network di Kyoto University, Jepang.
Ia berhasil mencapai kualifikasi keahliannya menjadi
segelintir orang Indonesia memiliki sertifikat Sisco
Expert Network. Dari sudut pandang material
Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling
sukses. Namun Syahdan tak pernah menyerah pada
cita-citanya menjadi aktor sungguhan. Syahdan tak
pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah
seorang pejuang.

Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen


kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang
selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi
Belitong. Ekonomi Belitong yang sempat pelan-pelan
menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para
pendulang.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup.


Namun perintis jalan terang yang gagah berani
meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak
pernah mati. Tak dapat dikatakan bahwa seluruh
alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah
menjadi orang yang sukses. Perasaan beruntungku
karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan
tahun lalu. Fondasi budi pekerti Islam dan
kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku
menggema hingga kini sehingga aku tak pernah
berbelok jauh dari tuntunan Islam. Tak ada mantan
warga Muhammadiyah yang menjadi para kriminal
atau koruptor. Mereka adalah orang yang sederhana
namun bahagia dalam kesederhanaan.
Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan
Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti
mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga
memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus
sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6
Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34
tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan
murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan
Mahar.

Anda mungkin juga menyukai