Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGERINGAN

DAN PENEPUNGAN RUMPUT LAUT

SATRIJO SALWOKO, CAHYAWAN CATUR EDI MARGANA & M. JUNAIDI

Program Studi Teknologi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Proses pengolahan rumput laut pada pengusaha mitra hanya dilakukan dalam bentuk
pengolahan utuh kering dan masih mengandalkan sinar matahari, semcntara
pengolahannya menjadi tepung selama ini tidak dilakukan karena kendala teknologi.
Tujuan dan program kegiatan Vucer ini adalah memperkenalkan teknologi pengeringan
dan pcnepungan rumput laut untuk menghasilkan kualitas tepung yang sesuai dengan
standar perdagangan. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah kaji tindak
(action research), dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: pemahaman kegiatan
penanganan pasca panen rumput laut. pcngambilan data laboratorium tentang
karakteristik pengeringan (drying characteristic) untuk menentukan suhu dan lama
pengeringan yang rnemenuhi syarat kualitas, serta untuk rekayasa alat. Pcngkonstruksian
alat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek teknis, ergonomis dan ekonomi bahan.
Hasil uji oven desain menunjukkan bahwa penggunaan atat pada tingkat pemanasan 50°C
setama 6 jam memberikan produk tepung dengan kadar air, warna., ukuran butiran dan
pH yang memenuhi standar perdagangan.

Kata kunci: rumput laut, pengeringan. penepungan.

PENDAHULUAN

Wilayah kelautan Indonesia yang Iuasnya 5,8 juta km2 memiliki sumber daya yang sangat
besar dan beragam jenis maupun potensinya. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dengan luas laut 154,378 km2 juga memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar.
Salah satu komoditas kelautan yang penting di propinsi NTB dan berpotensi untuk
dikembangan secara komersial adalah rumput laut (BAPPEDA NTh, 1998).

Data produksi rumput laut di NTB pada tahun 1999 menunjukkan jumlah yang cukup
besar, yakni 43.862,4 ton (BPS NTB, 1999 dan Kanto dkk., 2000). Menurut data
lapangan, harga rumput laut kering di tingkat petani berkisar Rp. 3.500-4.000/kg,
sehingga dapat diprediksi bahwa dengan umur panen 45 hari, nilai produksi rumput laut
mencapai Rp. 70.179.840-. Apabila petani dapat mengusahakan sistem pemanenan setiap
minggu, maka pendapatan petani setiap bulan akan mencapai Rp. 350.897.700,-.

Tingkat pendapatan petani tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi dengan


mengintroduksikan suatu paket teknologi pengeringan dan penepungan rumput laut.
Menurut Winarno (1996), untuk mendapatkan 1 kg tepung rumput laut dibutuhkan 10 kg
rumput laut basah. Dengan asumsi data produksi seperti di atas, maka tepung rumput laut
akan memberikan nilai tambah sebesar Rp. 771.979.750.-, karena berdasarkan laporan
para pengepul harga rumput laut di tingkat eksportir adalah Rp. 256.000/kg. ini
mengindikasikan bahwa usaha pengolahan rumput laut sangat memberikan harapan untuk
peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya petani rumput laut, dan sekaligus
menunjang pendapatan daerah di sekor perikanan.

Proses pengolahan rumput laut pada pengusaha mitra selama ini hanya dilakukan dengan
pengeringan utuh kering (kering kawat) yang masih mengandalkan pada sinar matahari.
Proses ini dirasakan memberikan keterbatasan dari sisi waktu pengeringan dan kualitas
pengeringan, terutama dan segi kadar airnya, sehingga harga jual produk ini senng kali di
bawah harga normal. Proses pengolahan rumput laut untuk dijadikan tepung se

lama ini tidak dilakukan, karena kendala tcknologi. Pada kenyataannya pengusaha mitra
sangat berharap untuk dikenalkan pada paket teknologi yang dapat menaikkan nilai
tambah dari usaha rumput laut yang selama ini digeluti nya.

Dalam proses pengolahan menjadi tepung, rumput taut tidak perlu dikeringkan hingga
menjadi bentuk kering kawat. Setelah dipanen rumput taut mengalami proses pencucian,
pemasakan, penghancuran (bubur), penyaringan, pengendapan, penyaringan lagi dan
pengeringan. Setelah itu digiling untuk menjadi tepung rumput taut, Penerapan
pengeringan oven cabinet dryer pada tahap tersebut sangat membantu dari segi waktu,
kontrol suhu dan kualitas produk tepung yang dihasilkan, teutama kadar aimya. Secara
umum karakteristik tepung rumput laut yang diperdagangkan dapat dijelaskan sepcrti
pada Tabel 1.

Pengkonstruksian alat pengering untuk pembuatan tepung didasarkan pada karakteristik


pengeringan (drying characteristic) rumput taut. Perhitungan tersebut didasarkan pada
watak pengeringan rumput taut, yaitu dari kadar air kering angin lebih kurang 45%
(setengah basah) menjadi lebih kurang 13%, sesuai standar mutu tepung rumput laut.
Untuk menurunkan sampai kadar air tersebut, karakteristik pengeringannya melewati 2
tahap, yaitu tahap laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Formula
untuk menentukan waktu laju pengeringan konstan adalah sebagai benkut

Sedangkan untuk menentukan waktu laju pengeringan menurun yaitu:

Keperluan daya listrik dihitung berdasarkan perhitungan keseimbangan energi antara


bahan, pengering dan sumber daya.

Proses penggilingan merupakan salah satu tahap proses pengolahan rumput taut menjadi
produk tepung. Dalam kegiatan ini dilakukan metode penggilingan dengan menggunakan
tenaga manual, sctctah itu dilakukan proses pengayakan untuk mendapatkan ukuran yang
dikehendaki, dengan rnenggunakan ayakan (siever) ukunan 100 mesh.

Untuk mengetahui keragaan dan produk tepung, maka perlu dilakukan pengukuran rata-
rata tepung hasil penggilingan dan pengayakan melalui pendekatan volume dan ukuran
permukaan spesifik rata-rata, yaitu (Syanfdan Nugroho, 1992):

(berdasarkan berat)

(berdasarkan jumlah partikel)

Secara ekonomi, cabinet dryer dapat memperlancar dan meningkatkan multi pengeringan
tepung rumput laut sesuai dengan standar perdagangan, khususnya dalam hal kadar air,
dan alat penepung dapat menghasilkan ukuran butiran tepung yang seragam. Penggunaan
alat pengcring dan penepungan dapat memperbaiki proses pengolahan rumput taut,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan mitra industri kecil.
Mclalui penerapan teknologi cabinet dryer dan teknik penepungan, dipcroleh manfaat
sebagal berikut:

 Dengan digunakannya oven, suhu dan waktu pengeringan dapat dikendalikan.


Selain itu kebersihan rumput taut dan sanitasi pengolahan dapat terjamin.
 Dengan pengenalan teknik penepungan, nilai tambah proses pengolahan rumput
laut dapat neningkat.
 Peralatan yang dirancangbangun memiliki tingkat kinerja yang relative tinggi.
 Alat yang diciptakan relatif murah dan mudah dioperasikan.

BAHAN DAN METODE

Metode

Metode yang digunakan adalah kaji tindak, meliputi: demonstrasi di lokasi industri kecil
mitra, dilanjutkan dengan pelatihan singkat mengenai penanganan pascapanen dan
pengolahan rumput laut, penggunaan alat dan ujicoba untuk membuktikan bahwa proses
pengeringan dan penepungan yang dilakukan memberikan hasil yang lebih baik dan
memenuhi standar perdagangan.

Pengujian tepung rumput laut dilakukan di lab. THP FP UNRAM, meliputi warna
tepung, ukuran butiran, pH dan kadar air. Sedangkan unjuk kerja alat hasil rancangan
dilakukan di Lab. Mekanisasi Pertanian FP UNRAM, dengan memperlajari sifat
pengeringan sistem lapis tipis.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk ujicoba adalah rumput laut dari petani di Desa
Pemongkang, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur yang merupakan sentra
budidaya rumput laut. Kemudian dilakukan tahapan penanganan pascapanen dan
pengolahan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Matararn. Penanganan pascapanen dan pengolahan hingga mendapatkan produk tepung
dilakukan sesuai dengan prosedur seperti pada Gambar 1. Dari hasil penanganan
pascapanen diperoleh rumput Laut kering bersih tanpa sisa kotoran, berkadar air 25%
dengan warna putih sedikit agak coklat muda.
Prosedur

Adapun prosedur action research adalah sebagai berikut:


1. Pengambilan Data di Laboratorium:

Data laboratorium tentang karakteristik tepung rumput laut yang diperoleh melalui
teknik pengeringan cabinet dryer dan penepungan (menggunakan alat penggiling dan
pengayakan), meliputi: kadar air, uji organoleptik (warna, bau dan kenampakan) dan
ukuran butiran (mesh). Data tersebut digunakan untuk menentukan optimasi suhu dan
lama pengeringan untuk memenuhi standar mutu dan proses teknis. Karakteristik dan
alat pengering dicari menggunakan persarnaan pengeringan, dengan metode logaritmic
dan modyfied logaritmic.

2. Rancang Bangun:

Rancang bangun dilakukan dengan mempertimbangkan aspek teknis, ergonomis dan


ekonomi bahan, menggunakan pcrsamaan keseimbangan massa dan energi,
perpindahan panas dan massa, mekanika fluida, terutama persamaan-persamaan yang
disarankan oleh Argo (1978) dan Margana (1999). Setelah hasil perhitungan diperoleh,
kemudian dibuat gambar teknik, dan akhimya alat dikonstruksikan di Workshop
Universitas Mataram. Rencana rancangbangun pengering oven disajikan pada Gambar
2.

3. Pembuatan Oven Cabinet Dryer:

Konstruksi pengering menggunakan model cabinet dryer listrik yang dapat dilepas-
lepas komponennya. Setelab selesai, alat tersebut dirakit kembali di lokasi industri
kecil. Untuk pengendalian suhu dilakukan dengan menggunakan thermocontrol.
4. Uji Coba Alat di Laboratorium:

Sebelum alat dibawa ke lokasi, dilakukan uji coba di laboratorium untuk mengetahui
sifat sifat fungsional dan peralatan yang dirancang. Modifikasi dilakukan di mana
diperlukan.

5. Kinerja Peralatan di Lokasi:

Pengamatan kinerja peralatan dilakukan di lokasi industri mitra, untuk memantau suhu
dan lama pengering, penurunan kadar air, warna, bau dan kenampakan tepung yang
dihasilkan serta efisiensi termal. Untuk transfer teknologi kepada pemilik industri
pengolah rumput taut, diberikan pctunjuk pengoperasian dan pemeliharaan alat
(operation and maintenance manual).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rancang Bangun Oven cabinet Dryer.

Dari hasil penelitian di laboratorium, diperoleh data karakteristik pengeringan yang


diperlukan untuk keperluan rancang bangun alat. Penelitian laboratorium ini dilakukan
dengan percobaan sampel rumput laut kering (berkadar air 25%) sebanyak 3 ulangan dan
dimasukkan pada ruang pengering yang terkontrol pada 4 tingkat suhu yang berbeda
yaitu 40°C, 50°C, 60°C dan 70°C.

Untuk masing-masing suhu pengeringan, diperoleh kadar air terbaik (dan sisi efisiensi
energi dan penurunan kadar air) pada tingkat pcngeringan 50°C sclama 6 jam, dengan
hasil berupa tepung karagenan berkadar air 11,8%, berwarnaa putih khas tepung dan
mempunyai ukuran butiran 100 mesh. Pada tingkat pengeringan ini telah diperoleh laju
penurunan kadar air yang konstan selama 6 jam. Pengeringan pada suhu 40°C
memberikan kadar air keseimbangan 13%, artinya kadar air yang sesuai standar tidak
pernah akan tercapai meskipun diberikan waktu pengeringan yang lama. Pengeringan
pada suhu 60°C membenkan kadar air keseimbangan 2,89%, artinya terjadi penurunan
kadar air yang sangat cepat hingga mencapai di bawah kadar air standar. Hal ini
berpenganuh pada kenampakan karena warna tepung menjadi kurang putih, akibat laju
penurunan kadar yang cepat. Hal yang sama terjadi pula pada pengeringan dengan suhu
70°C.

Setelah data karakteristik pengeringan rumput laut dianalisis, maka diperoleh persamaan
pengeringan rumput laut. Melalui kalkulasi dan memperhitungkan kehilangan energi
pada ruang pengering, maka dipcroleh persarnaan yang dapat dipergunakan untuk
memprediksi penurunan kadar air produk melalui 2 tahap, yaitu tahap laju pengeringan
konstan dan tahap laju pengenngan menurun. Laju penurunan kadar air pada berbagai
tingkatan suhu pengeringan menggunakan oven terkendal i (Lab) disajikan pada Gambar
3.
Dimensi alat pengering ditentukan berdasarkan parameter rancangan secara keseluruhan
yang diambil dan data eksperimen. Dimensi badan alat pengering basil rancangan
berukuran panjang, tinggi dan lebar 0,8 x 0,75 x 1,7 m, dimensi ruang pengering 0,65 x
0,6 x 1,3 m, dengan jumlah rak pengening sebanyak 5 tingkat.

Alat yang dirancang memiliki kapasitas untuk menampung 40 kg serat karagenan.

Keperluan daya tarik listrik dihitung berdasarkan perhitungan keseimbangan energi


antara bahan, pengering dan sumber daya. Dan hasil penclitian dapat ditetapkan total
daya sebesar 1.000 watt dengan voltage sebesar 220 volt, sedangkan kemampuan alat
pendukung seperti termokontrol berkisar 0 - 400 OC dengan system kendali suhu otomatis
(automatic temperature control), kecepatan kipas (blower) 2.400 rpm dengan daya 100
watt.

Uji Coba Alat

Setelah perancangan dan perakitan alat cabinet dryer selesai, maka dilakukan uji
performansi secara langsung di lokasi mitra untuk mengetahui efisiensi suhu dan waktu
pengeringan. Parameter yang diamati dalam ujicoba ini meliputi kadar air, warna, pH dan
ukuran butiran.

Pemantauan Kinerja Pcralatan

Pengoperasian alat cabinet dryer di lokasi berjalan dengan baik. Sistem kendali suhu
dapat berfungsi dengan baik. Ruang pengering telah dapat mencapai tingkatan suhu
sesuai dengan setting yang dilakukan. Begitu juga sistem konveksi pada ruang pengering
berjalan sangat baik. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap laju penurunan kadar
air dan keseragaman kenampakan, khususnya warna tepung.

Pengambilan data kinerja alat dilakukan pada berbagai tingkat suhu sesuai hasil
pengarnatan menggunakan oven terkendali, yaitu 40°C, 50°C, 60°C dan 70°C. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa laju penurunan kadar air tergantung pada larna
pengeringan, dan kualitas tepung sesuai standar diperoleh pada tingkat pengeringan suhu
50°C sclama 6 jam dengan kisaran kadar air 1 1,48%, nilai pH 7,27 dan warna putih khas
tepung. Perolehan hasil terbaik ini mendekati perolehan hasil alat pengering di
laboratorium untuk produk tepung yang terbaik. Perbandingan antara penurunan kadar air
pada tingkat suhu 50°C dan alat laboratonium dan alat yang dirancangbangun dapat
dilihat pada Gambar 4.

Penurunan kadar air pada oven hasil rancangbangun pada suhu 50°C menunjukkan
adanya sistem konveksi yang lebih baik dalarn ruang pengering, dibandingkan dengan
oven terkendali (Lab.). Hal ini dimungkinkan karena kecepatan kipas (blower) yang
digunakan untuk

oven hasil rancangbangun mempunyai kinerja yang lebih baik dengan kemampuan 2.400
rpm. Laju penurunan kadar air konstan dicapai pada kondisi kadar air di atas penggunaan
oven terkendali, meskipun waktu pencapaian laju pengeringan konstan sama (setelah 6
jam).

Hasil pengukuran efisiensi termal sistem pada suhu 50°C mcnunjukkan kisaran 29,77 -
50,66% dengan rata-rata 38,68%. Hal ini berarti pada saat loading 20 kg, dibutuhkan
biaya beban Iistnk maksimum sebesar Rp. 10.500,- /sekali proses (6 jam) dengan asumsi
harga daya listrik Rp. 175/kwh.

Evaluasi Hasil
Proses pengeringan produk tepung rumput laut pada suhu 40°C, 50°C, 60°C dan 70°C
relatif memberikan hasil yang sama untuk penampilan wama (putih khas tepung) dan
nilai pH (antara 7,25 - 7,90), sedangkan ukuran butiran yang dihasilkan sebesar 100
mesh. Akan tetapi penggunaan suhu pada berbagai tingkat tersebut memberikan
perbedaan waktu pengeringan dan kadar air bahan. Dan hasil analisis laboratorium
diperoleh kadar air sesuai standar (11,48%) pada pcrlakuan suhu 50°C selama
pengeringan 6 jam. Hasil ini memberikan efisiensi dari sisi penggunaari energi maupun
kualitas tepung yang dihasilkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan evaluasi hasil kegiatan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

 Penerapan teknologi pengeringan dan penepungan dapat diterima dengan baik


oleh industri kecil mitra.
 Penggunaan oven cabinet dryer dan penerapan teknik penepungan untuk
pembuatan tepung rumput laut sangat membantu mempersingkat proses dan
rnemberikan hasil scsuai standar perdagangan.
 Oven basil rancangbangun memiliki kinerja yang lebih baik dari oven terkendali
(lab.).
 Waktu pengeringan terbaik untuk mendapatkan tepung sesuai standar mutu
diperoleh pada suhu 50°C selama 6 jam, dengan ukuran butiran tepung 100 mesh.

Saran

 Perlu dilakukan scale up peralatan untuk operasi pengolahan yang lebih besar.
 Perlu dilakukan sosialisasi penerapan teknologi kepada industri kecil mitra
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Argo, B. (1978). Thermodinamika. Malang: Program Studi Mekanisasi Pertanian Jurusan


Teknologi Pertanian Universitas Brawij aya.

Bappeda NTB. (1998). Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Laut. Mataram. BPS
NTB. (1999).

Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Jakarta: BPS.

Kanto, S., Arifudin, S.. Abdullah, U. & Margana. C.C.E. (2000). Laporan Akhir Program
Pengembangan Ekonomi Lokal. Surabaya: Bapeda Bima & Knida Pratama Adhicipta.

Syarif, A.M. & Nugroho, E.A. (1992). Teknik Reduksi Ukuran Bahan. Bogor: PAU IPE3.
Winarno, F.G. (1986). Tekno!ogi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Anda mungkin juga menyukai