Anda di halaman 1dari 230

SKRIPSI

PEMAHAMAN DIRI WARIA

MELALUI PENGALAMAN DISKRIMINASI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

L. Patria Rani Dwi Sanja

059114020

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Love What You Do,

Do What You Love”

Dedicated for you…,

My mom and dad.

Love you all

iv
PEMAHAMAN DIRI MELALUI
PENGALAMAN DISKRIMINASI WARIA

L. Patria Rani Dwi Sanja

ABSTRAK

Waria masih sering mendapatkan perlakuan diskriminasi. Bahkan perlakuan diskriminasi


tersebut telah terjadi sejak waria masih kecil karena mereka (waria kecil) sudah terlihat berbeda
sejak kecil. Tentunya pengalaman diskriminasi yang dialami oleh waria sejak kecil tersebut
mempengaruhi pemahaman waria mengenai dirinya dan orang lain. Penelitian ini ingin melihat
bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasinya
tersebut. Penelitian ini menggunakan 5 waria sebagai subjek penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan metode studi deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan
wawancara naratif. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan panduan teknik analisis tema
Carl Ratner dan I Poems menurut Debold. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada 3 bentuk tipe
pemahaman waria terhadap dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi, yaitu
waria adalah sosok yang tidak dikenal masyarakat dan waria adalah korban dalam masyarakat.

Kata kunci : Waria, Diskriminasi, Narasi

vi
SELF UNDERSTANDING BY
DISCRIMINATION OF TRANSEXUAL

L. Patria Rani Dwi Sanja

ABSRTACT

Transexual often treated discriminatively. Moreover, they are treated discriminatively


since they are children as they are looked different. Those treatments have influenced their
comprehending toward themselves and others. This research aims to knew how transsexual
comprehend themselves and others relate to those discriminative experience. They are 5
respondents used in this research. It was a qualitative supported by descriptive study method. The
data were collected through narrative interviews. Data analysis was a combination of Debold’s
Carl Ratner an I Poems technique. Based on the analysis, there were three types of comprehension
toward themselves and others relate to the discriminative experiences they got : transsexual is
unknown profile on a society, transsexual has to show their values to be accepted in a society an
transsexual is a victim in a society.

Keywords : Transexual, Discrimination, Narrative.

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus untuk berkat dan

limpahan ide serta semangat yang telah diberikan. Akhirnya, setelah satu setengah

semester, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala semangat dan

kemalasan yang hadir dalam kehidupan peneliti.

Skripsi ini dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam

program kuliah Psikologi dengan judul PEMAHAMAN DIRI MELALUI

PENGALAMAN DISKRIMINASI WARIA.

Akhirnya, peneliti ingin mengucapkan kepada berbagai pihak yang telah

membantu peneliti dalam pengerjaan skripsi ini.

1. Jesus Christ, untuk semangat, ide, harapan, kesehatan dan segalanya…

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma dan sebagai dosen penguji.

3. Bu Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Si selaku Kaprodi Psikologi Universitas

Sanata Dharma. Makasih ya buk atas dispensasinya.

4. Pak V. Didik Suryo H., S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi.

Makasih ya pak atas kesabarannya dalam membimbing saya sampai skripsi ini

selesai. Maaf, kalau saya banyak rewel. Intinya saya ngefans sama kepinteran

bapak. Hehehe…

5. Ibu Kristiana Dewayani., S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik.

Terima kasih bimbingannya buk.

ix
6. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., M.Si selaku dosen penguji. Terima

kasih buk. Maaf kalau kedatangan saya di rumah, mengganggu cutinya.

7. Mas Gandung, Mbak Nanik, Pak Gie, Mas Mudji, Mas Doni yang sudah

membantu segalanya. Semoga sehat selalu.

8. Mami Vinolia, Mbak Arum, Mbak Rully, Mbak Tika, Mbak Angel, Mbak

Bella, Mbak YS, teman-teman waria lain yang aku kenal. Terima kasih untuk

semuanya. You’re my inspiration…

9. Archadius Eddyatmoko dan Indarti RetnoW. Pah, mah, akhirnya selesai juga.

Thanks for all. Love you all…

10. My first sista, Mbak Rety akhirnya aku menyusul dirimu. Makasih ya udah

dibuatin abstraknya yang Bahasa Inggris. Hehehe…

11. My little sista, Ica icul makasih ya udah minjemin alfalink nya. Rajin belajar

ya…

12. Bule Tatik, tanteku yang merasa muda terus, yang paling rajin telpon

memberikan semangat, nasehat, mantra. Hehehe…

13. Eddy’s family… Kompak selalu !!

14. My beibh who fill my day with laughter and happiness, thanks for all. Je

t’aime.

15. Agung Susanto, cintroooonggg aku lulus. Thanks for all cint, for 6 years.

16. Ling, Bink, Sawi. Walaupun kita jarang ketemu. You’re the best. Friends

forever. Saranghaeo.

17. Bars gals, persahabatan tak selalu dihiasi dengan tawa. Thanks for all. Sukses

selalu.

x
18. Mbak Ony, yang selalu begadang ngerjain skripsi bareng walaupun ujung-

ujungnya kita ngerumpi tentang dia, dia dan dia. Hehehe… Thanks sist.

19. Teman-teman Mitra Perpustakaan USD. Mbak Dima, Mbak Prima, Mbak

Dwi, Maya, Putu, Putri, Nino, Iray, Matilda. Mari kita shelving… Hehehe…

20. Ivo, Jowien, Ashar, Faris (geng gemblung nya Togamas Affandi), aku senang

bisa kenal ama kalian. Walaupun kadang kita beda pendapat, kadang heho

sana sini, kadang beda shift. But its permanent here, I love you…

21. Arif, Ruri, Nenis, Mas Apri, Mas Dofvi, Mbak Tia, Mbak Ika, Mak Etty,

Mbak Pony, Mas Afif, Pampam, Mbak Kurnia, Mas Taufik, Mbak Yanti,

Mbak Rista, Mbak Kurnia dan teman-teman Togamas yang lain. Terimakasih

telah memberi warna dalam hidupku. Salam dahsyat !!

22. Adel, Ance, Ary, Mas Yandu, Jenny yang sama-sama bimbingan bareng Pak

Didik. Mari kita buat Pak Didik fans club ! Semangat teman, perjalanan masih

panjang.

23. Friends Community, akhirnya aku lulus. Kompak & sukses selalu !

24. Teman-teman Calista Arteri, terutama Keke, Mbak Nendra, Mbak Febi, Mbak

Naely, Nia, Mas Dediot, Koko Bagus. Kompak selalu !!

25. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk

segala bantuannya. Tuhan memberkati.

Kesempurnaan hanya milik Tuhan, ketidaksempurnaan sangat dekat

dengan manusia. Maka, peneliti mohon segala bentuk kritik dan saran untuk

xi
segala kekurangan dalam skripsi ini agar lebih bermanfaat. Tuhan memberkati

kita semua.

Yogyakarta, 10 Juli 2010

L. Patria Rani Dwi Sanja

xii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………………..i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ………………………………………..ii

Halaman Pengesahan Penguji ……………………………………………………iii

Halaman Motto dan Persembahan ……………………………………………….iv

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ……………………………………………..v

Abstrak …………………………………………………………………………...vi

Abstract …………………………………………………………………………vii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ………………………………….viii

Kata Pengantar …………………………………………………………………...ix

Daftar Isi ………………………………………………………………………..xiii

Daftar Tabel …………………………………………………………………….xvi

Daftar Lampiran …………………………………………………………...…...xvii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ……………………………………………………………1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………...8

C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………….8

D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………...8

BAB II. DASAR TEORI ....................................................................................... 9

A. Diskriminasi Pada Waria ………………………………………………….9

xiii
1. Pengertian diskriminasi dan waria ……………………………………9

2. Ambiguitas keberadaan waria ……………………………………….10

3. Bentuk-bentuk diskriminasi …………………………………………12

4. Cara mengatasi diskriminasi ………………………………………...15

B. Pemahaman Diri (Self Understanding)…………………………………..18

1. Pengertian dan pentingnya pemahaman diri ………………………...18

2. Memahami diri sendiri dan orang lain dengan bernarasi ……………18

C. Kerangka Penelitian ……………………………………………………..21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 23

A. Jenis Penelitian …………………………………………………………..23

B. Subjek Penelitian ………………………………………………………...24

C. Fokus Penelitian …………………………………………………………24

D. Metode Pengambilan Data ………………………………………………25

E. Proses Pengambilan Data ………………………………………………..28

F. Metode Analisis Data ……………………………………………………33

G. Keabsahan Data ………………………………………………………….34

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN .......................................... 39

A. Deskripsi Subjek ………………………………………………………...39

B. Hasil Analisis Data ………………………………………………………41

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya …………………...41

2. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain ……………………...61

xiv
3. Ringkasan umum …………………………………………………….67

C. Pembahasan ……………………………………………………………...78

1. Pengalaman diskriminasi …………………………………………….78

2. Cara mengatasi diskriminasi dan figur support ……………………...80

3. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain ……………………...85

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN .... 88

A. Kesimpulan ………………………………………………………………88

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya …………………...88

2. Cara waria memahami dirinya dan orang lain ………………………89

B. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………….89

C. Saran ……………………………………………………………………..90

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Proses Rapport dan Wawancara ………………………..………………31

Tabel 2. Cross Check Data ………………………………………………………36

Tabel 3. Ringkasan Central Theme dan General Theme Pengalaman Diskriminasi

dan Coping ……………………………………………………………………....73

Tabel 4. Ringkasan General Structure Cara Subjek Memahami Dirinya dan Orang

Lain ………………………………………………………………………………76

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN WAWANCARA

Subek 1 …………………………………………………………………..93

Subjek 2 ………………………………………………………………...108

Subjek 3 ………………………………………………………………...121

Subjek 4 ………………………………………………………………...136

Subjek 5 ………………………………………………………………...146

LAMPIRAN ANALISIS DATA

A. Bentuk dan Cara Mengatasi Diskriminasi

Subjek 1 ……………………………………………………………..….156

Subjek 2 ………………………………………………………………...163

Subjek 3 ………………………………………………………………...171

Subjek 4 ……………………………………...…………………………179

Subjek 5 ………………………………………………………………...188

B. Cara Mema hami Diri Sendiri dan Orang Lain

Subjek 1 ………………………………………………………………...195

Subjek 2 ………………………………………………………………...198

Subjek 3 ………………………………………………………………...202

Subjek 4 ………………………………………………………………...205

Subjek 5 ………………………………………………………………...209

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“Karena menolak memakai pakaian laki-laki dan menyimpan sikap

kemayu, dua pekan kemudian saya dipecat, kata Keke” (Tempo, 15 Desember

2007). Contoh ini hanyalah contoh kecil dari diskriminasi terhadap waria oleh

masyarakat. Diskriminasi terhadap orang seperti Keke, yang biasa disebut

sebagai waria, belakangan kian luas dan formal. Setidaknya kini terdapat 37

Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi waria.

Salah satunya, di Kota Palembang, Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun

2004 mengkategorikan lesbian, gay, biseksual dan transgender sebagai bagian

dari pelacuran. Pemerintah memasukkan mereka ke kategori sakit mental dan

penyandang cacat. Ketika ada penertiban, para waria digabung dengan

gelandangan, pengemis, dan penggilingan (orang tidak waras) (Realita, 19

Febuari 2007).

Diskriminasi bagi kaum waria bukan hanya di bidang sosial, budaya,

agama maupun pekerjaan saja, tetapi juga ketika mereka membutuhkan

layanan hukum di kantor polisi. Apa yang mereka keluhkan seringkali hanya

merupakan sebatas laporan dan jarang ada tindak lanjut akan laporan tersebut.

Di bidang sosial, mereka dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai

bentuk pelecehan. Belum semua anggota masyarakat, termasuk keluarga

mereka sendiri dapat menerima keberadaan seorang waria. Kehadiran seorang

1
2

waria di dalam sebuah keluarga senantiasa mengalami tekanan-tekanan sosial.

Di dalam pergaualan, mereka juga menghadapi konflik-konflik dalam

berbagai bentuk, dari cemoohan, pelecehan hingga pengucilan. Secara

kebudayaan, dibagi dengan jelas mengenai peranan antara laki- laki dan

peremupuan. Sehingga, kaum waria yang tidak berada di antara dua kategori

tersebut, dikatakan menyimpang (Koeswinarno, 2004 : 25). Sementara itu,

diskriminasi di bidang agama yang dapat dilihat adalah dari peraturan Gereja

yang tidak memperbolehkan pernikahan seorang waria. Selain itu, saat kaum

waria membutuhkan layanan kesehatan baik di puskesmas maupun di rumah

sakit, mereka seringkali dipersulit, baik saat mendaftar atau ketika mereka

mengajukan keringanan biaya berobat (Dora dalam Perkumpulan Keluarga

Berencana Indonesia [PKBI] DIY, 2007 : 49).

Beberapa kasus menunjukkan bahwa mereka (baca : waria) juga

mengalami diskriminasi saat masih kecil, khusunya saat menginjak usia

sekolah. Hal tersebut dikarenakan tanda-tanda kalau mereka ”berbeda” dalam

beberapa kasus sudah tampak saat mereka masih kecil. Mereka lebih senang

bermain dengan perempuan dan menyenangi permainan perempuan, seperti

boneka. Perilaku ataupun gelagat mereka juga sudah terlihat kemayu dari

kecil. Sebut saja Shara alias YS, salah satu aktivis waria di Yogyakarta yang

juga mengalami diskriminasi saat masih kecil. Saat kelas 3 SD, YS diejek dan

disebut wandu ( istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut waria) oleh teman-

temannya karena perilakunya yang seperti perempuan.


3

Adanya diskriminasi terhadap waria juga dikuatkan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono yang

berjudul ”Waria dan Tekanan Sosial” (2005) yang dituangkan juga dalam

bentuk buku. Penelitian tersebut mencoba menggambarkan tekanan – tekanan

sosial yang dihadapi waria di Jombang baik di dalam keluarga maupun

masyarakat. Hasil temuan menunjukkan bahwa stigma yang dibangun

masyarakat saat ini menunjukkan waria identik dengan dunia prostitusi.

Stigma itulah yang menimbulkan tekanan – tekanan sosial bagi waria.

Penelitian lainnya tentang diskriminasi waria juga sudah dilakukan

oleh Arus Pelangi, sebuah lembaga yang berkecimpung di dalam dunia

LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual. Transeksual dan Interseks). Penelitian

tersebut kemudian dicetak dalam sebuah buku dengan judul “Jadi Kau Tak

Merasa Bersalah ?” (2008). Penelitian ini merupakan studi kasus tentang

diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBTI. Oleh sebab itu, kata KAU dalam

judul tersebut dapat ditujukan atau dimaksudkan kepada masyarakat yang

sering melakukan diskriminasi kepada kaum LGBTI. Buku karangan Ariyanto

dan Rido Triawan tersebut mendokumentasikan berbagai kasus-kasus

diskriminasi dan kekerasaan terhadap orang LGBTI dan menggunakan

kerangka hak asasi manusia untuk menggali akar permasalahan dan mencari

solusi mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LGBTI. Hasil dari

penelitian tersebut dapat dilihat beberapa akar permasalahannya, yaitu

ketidakkonsistenan negara, hilangnya nalar publik media dan pengatas namaan

agama. Dari berbagai macam kasus diskriminasi yang dialami waria,


4

menunjukkan bahwa negara tidak konsisten atas norma-norma untuk

menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang serta tidak

konsisten dalam melaksanakan kewajiban sesuai janjinya. Bahkan, negara

yang seharusnya melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat pembukaan UUD 1945 alinea

4 justru berbuat sebaliknya. Negara melakukan kekerasan terhadap warga

negaranya sendir, baik kekerasan oleh aparatur negara maupun melalui

seperangkat perundang- undangan yang tidak konsisten di dalam memenuhi

hak-hak manusia. Sementara itu, media merupakan “sarapan pagi” bagi

hampir setiap orang. Secara umum, media besar di Indonesia, mempunyai pola

pikir yang seragam mengenai LGBTI, yaitu menerapkan stigma bahwa waria

adalah sebuah perilaku seks yang menyimpang. Pengatas namaan agama juga

turut menjadi penyumbang bagi kekerasan maupun diskriminasi kaum LGBTI.

Ormas keagamaan melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap waria

dengan alasan keagamaan, yaitu LGBT tidak sesuai dengan ajaran agama.

Kemudian, solusi-solusi yang dihasilkan dalam penelitian tersebut antara lain

mengakui LGBTI sebagai kelompok sosial dan memaksimalkan fungsi

institusi negara / pemerintahan.

Banyaknya kasus diskriminasi waria yang terungkap seperti telah

disebutkan di atas, memperlihatkan bahwa pengalaman yang paling menonjol

yang dimiliki oleh kebanyakan waria adalah pengalaman diskriminasi. Karena

banyaknya pengalaman diskriminasi yang dialami oleh waria, kemungkinan

pengalaman diskriminasi itu sendiri sangat berpengaruh dalam kehidupan


5

waria. Dari paparan tersebut, kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana

pengalaman diskriminasi waria ?

Ada berbagai cara untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah

pengalaman-pengalaman diskriminasi pada waria. Salah satunya adalah

dengan metode fenomenologi naratif. Penelitian ini berfokus pada pengalaman

yang diceritakan oleh subjek, khususnya pengalaman diskriminasi. Dengan

mendiskripsikan pengalaman diskriminasi waria, akan dapat dilihat tema-tema

yang muncul, yaitu bagaimana diskriminasi tersebut dialami dan diatasi oleh

waria. Tema tersebut merupakan tema yang akan menjadi pelengkap dalam

penelitian ini. Dari tema pelengkap tersebut, akan dapat disimpulkan suatu

tema besar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu bagaiamana

cara subjek memahami dirinya dan orang lain dalam kaitannya dengan

pengalaman diksriminasinya tersebut.

Cara pengambilan data yang dirasa paling tepat adalah wawancara

naratif. Wawancara tersebut fokus pada pembentukan suatu cerita. Melalui

cerita yang dihasilkan oleh subjek, dapat dilihat tentang cara pandang waria

dan cara waria dalam memahami dirinya sendiri maupun orang lain. Melalui

cerita yang dibuat, orang lain bisa memahami seseorang melalui kisah

hidupnya (Takwin, 2007 : 2). Diperkuat oleh pendapat Murray (dalam Smith,

2009 : 229) bahwa melalui narasi, orang lain dapat memahami narrator dan

dunianya.

Biasanya, narasi berisi mengenai riwayat atau pengalaman hidup

seseorang atau bisa dikatakan bahwa naratif dapat digunakan untuk


6

memahami bagaimana seseorang memaknai dunia dan dirinya sendiri (Murray

dalam Smith, 2009 : 230). Narasi memuat kisah kehidupan seseorang, kisah

untuk dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan individu yang

bersangkutan. Menurut Bruner (dalam Takwin, 2007 : 40), cerita merupakan

dasar dari proses penciptaan makna dan satu-satunya cara untuk menjelaskan

waktu yang dihayati seseorang dalam hidupnya adalah dengan menggunakan

bentuk naratif. Polkighorne (dalam Takwin, 2007 : 40) juga memperkuat

pendapat Bruner dengan menyatakan bahwa cerita merupakan pembentuk diri.

Cerita – cerita tentang diri menyediakan jawaban bagi pertanyaan “Siapakah

aku ?” Aku terbentuk dari cerita dan dapat dipahami melaui cerita, melalui

naratif. Naratif juga merupakan media untuk berbagi pengalaman dan

penghayatan dengan orang lain.

Keuntungan lain yang bisa didapat menggunakan kajian naratif adalah

cara yang digunakan untuk memperoleh data adalah meminta individu

bersangkutan untuk bercerita. Hal tersebut tentunya tidaklah begitu sulit

karena dalam sehari – hari biasanya kita mengobrol ataupun bercerita dengan

orang lain.

Dalam proses wawancara, peneliti juga akan bertanya mengenai

pengalaman masa kecil subjek. Orang bisa mengenali diri sendiri melalui

kisah hidupnya. Sama halnya jika kita melihat pengalaman masa kecil

seseorang. Dari pengalaman masa kecil tersebut kita bisa mengetahui

bagaimana orang tersebut memaknai pengalamannya dahulu dan apakah

pengalamannya saat itu mempengaruhi perilaku seseorang selanjutnya. Hal itu


7

sejalan dengan yang diungkapkan oleh Donald E. Polkinghorne (dalam

Takwin, 2007), bahwa pengalaman manusia sangat berarti dan perilaku

manusia secara umum pada masa sekarang dibentuk ataupun dipengaruhi oleh

makna atau arti dari pengalaman sebelumnya.

Penelitian ini memiliki beberapa relevansi, yaitu metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode naratif, dimana yang

saya ketahui bahwa penelitian sebelumnya mengenai waria, belum ada yang

menggunakan metode naratif. Selain itu, saat ini fenomena waria mulai

terangkat kembali dengan munculnya pemberitaan-pemberitaan mengenai

waria di media. Dalam dunia entertainment, banyak artis laki- laki yang

berperan menjadi wanita untuk menarik perhatian penonton. Selain itu, kasus

mengenai waria ini sebenarnya tidak hanya pada saat ini, melainkan sudah ada

sejak dahulu. Bukti-bukti keberadaan fenomena transeksualisme dapat

ditemukan tercatat selama berabad-abad dalam berbagai kebudayaan dunia.

Salah satunya, dalam kekaisaran Romawi dan Eropa. Di Indonesia, budaya

waria dapat ditemukan pada pertunjukkan seni tradisional seperti kesenian

Warok Ponorogo.

Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat bagaimana pengalaman

diskriminasi pada waria. Secara lebih spesifik, fokus penelitian ini adalah

bagaiamana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan

pengalaman diskriminasi. Untuk mendukung tercapainya fokus penelitian

tersebut, sebelumnya juga akan dilihat beberapa tema yang merupakan

pelengkap dari penelitian ini, yaitu bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami


8

oleh waria dan bagaimana cara waria mengatasi pengalaman diskriminasinya

tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian kali ini adalah

bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman

diskriminasi.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang bagaimana

waria memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman

diskriminasi yang akan disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis

Memberikan suatu wacana tambahan bagi dunia Psikologi,

khusnya mengenai pengungkapan diri.

2. Manfaat praktis

Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah dengan

bercerita, waria bisa mengungkapan tentang dirinya.


BAB II

DASAR TEORI

A. DISKRIMINASI PADA WARIA

1. Pengertian diskriminasi dan waria

Diskriminasi merupakan komponen perilaku dari antagonisme

kelompok. Diskriminasi terdiri dari perilaku negatif terhadap individu

karena individu itu adalah anggota dari kelompok tertentu (Taylor, Replau

dan Sears, 2000 : 178). Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak

adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan

karakteristik yang diwakili oleh ind ividu tersebut. Seseorang diperlakukan

secara tidak adil karena karakteristik kelamin, ras, agama dan

kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain

(“Diskriminasi”,2010). Menurut Soelistyowati (2000), diskriminasi

merupakan tindakan yang melakukan pembedaan berdasarkan rasial,

agama, status sosial ekonomi, gender, kondisi fisik tubuh, pandangan

politik dan orientasi seksual. Tindakan ini termasuk pelanggaran HAM

dengan meletakkan manusia sebagai subjek yang dibeda-bedakan.

Persamaan harkat dan martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak

diperhitungkan dan diingkari.

Dalam pengertian umum, waria adalah seorang laki- laki yang

berdandan dan berlaku sebagai wanita (Kemala Atmojo, 1986). Pengertian

yang sering digunakan untuk menjelaskan “waria” adalah transeksual

9
10

dimana seseorang mempunyai perasaan tidak suka pada alat kelaminnya

dan merasa bahwa alat kelaminnya tersebut tidak pada tempatnya.

Transeksual adalah orang yang identitas jendernya berlawanan dengan

jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh

yang salah. Perasaan itu terus menerus mengganggunya hingga ia ingin

menghilangkan ciri – ciri kelakiannya itu (”Transeksual”, 2008)). Marcel

Latuihamallo, Ketua Mitra Indonesia memaparkan bahwa pada dasarnya,

secara fisiologis, waria itu adalah pria. Namun, pria ini

mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang wanita, baik dalam tingkah

dan lakunya. Misalnya, dalam penampilan atau dandanannya, ia

mengenakan busana atau aksesori seperti halnya wanita. Begitupun dalam

perilaku sehari- hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang wanita yang

memiliki sifat lemah lembut (Fahmi, 2007). Dalam DSM-IV TR,

transeksual digolongkan ke dalam Gangguan Identitas Gender (GIG).

2. Ambiguitas Keberadaan Waria

Waria menduduki posisi yang sangat kompleks dalam kebudayaan.

Hal ini terlebih menjadi masalah ketika sebagian masyarakat masih

menolak akan keberadaan mereka atau mengucilkannya sebagai sosok

individu dan mengacuhkannya sebagai sebuah komunitas. Teman-teman

waria mengalami proses kehidupan yang sulit, bahkan dialami sejak masa

kecilnya. Pengabaian dan bahkan juga pelecehan terhadap identitasnya

menjadikan waria mengalami pengucilan dan pada akhirnya menjadikan


11

mereka sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum yang ada, misalnya

pendidikan secara lebih memadai. Menurut Rihana (dalam PKBI, 2007 :

19), masih banyak masyarakat yang mendiskriminasikan kaum waria.

Mereka menganggap kaum waria adalah penyakit masyarakat, bahkan dari

kalangan agama pun, kaum waria dianggap menyalahi kodrat. Padahal

menjadi waria adalah bukan pilihan hidup tetapi datang dari jiwa atau

perasaan waria itu sendiri. Oleh karena itu, menjadi waria itu bukan karena

keterpaksaan. Karena masyarakat masih banyak yang memandang waria

adalah hal yang negatif, perusahaan ataupun kantor pemerintah tidak mau

mencantumkan waria sebagai bagian dari perusahaan atau kantor

pemerintah itu sendiri. Kalaupun ada, itupun sedikit dan tetap saja masih

ada diskriminasi. Kehadiran waria hanya menjadi pelengkap atau

dikatakan hanya dipandang sebelah mata di dalam berinteraksi sosial di

masyarakat.

Di lain pihak, sejarah membuktikan bahwa ”budaya waria”

sebenarnya telah lahir sejak lama. Di jaman Yunani Kuno, Hipocrates

telah melihat adanya gejala waria yang terdapat di lingkungan kelas elite.

Tercatat seperti Raja Henry III dari Perancis, Duta besar Perancis di Silam,

Abbe de Choisy serta Gubernur New York pada tahun 1702, Lord

Cornbury. Di Indonesia, dikenal dengan baik fenomena Warok yang

senantiasa memelihara Gemblak, yakni pemuda usia belasan tahun yang

berfungsi sebagai pelepas hasrat seksualnya. Kemudian, di dalam kesenian

tradisional Ludruk dimana setiap tokoh perempuan senantiasa diperankan


12

oleh laki- laki. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa dunia

waria menjadi ekspoitasi media massa besar-besaran karena kelucuan

perilaku yang ditampilkan. Secara kultural, berbagai fenomena di atas

menunjukkan bahwa ada pengakuan atas keberadaan kaum waria,

sehingga mereka mendapat tempat di berbagai ruang sosial. Akan tetapi,

dalam kehidupan sehari- hari, tidak semua ruang sosial memberikan tempat

bagi kaum waria.

3. Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Dalam (“Diskriminasi”, 2010), secara umum, diskriminasi dapat

dibagi menjadi dua jenis, yaitu diskriminasi langsung, yaitu diskriminasi

yang terjadi pada saat hukum, peraturan atau kebijakan-kebijakan jelas-

jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, orientasi

seksual, ras dan sebagainya dan menghambat adanya peluang yang sama

bagi individu- individu yang mempunyai karakteristik yang disebutkan di

dalam hukum, peraturan ataupun kebijakan tersebut. Bentuk diskriminasi

yang kedua adalah diskriminasi tidak langsung, yaitu diskriminasi yang

terjadi pada saat peraturan bersifat netral menjadi diskriminatif saat

diterapkan di lapangan.

Menurut Jones (dalam Whitley, 2006 : 8 – 10), diskriminasi dapat

dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu :


13

a. Interpersonal discrimination

Diskriminasi ini terjadi ketika seseorang memperlakukan orang

lain secara tidak adil karena keanggotaan orang tersebut. Diskriminasi

ini terjadi dalam level person to person. Contohnya adalah

stigmatisasi, cemoohan, pelecehan dan kekerasan fisik.

b. Institutional discrimination

Terjadi ketika sebuah institusi atau badan pemerintahan lebih

mempercayai atau memihak terhadap kesuperioritasan suatu

kelompok. Diskriminasi tipe ini dapat terjadi secara halus dan sering di

bawah tingkat kesadaran masyarakat. Institutional discrimination bisa

juga merupakan hasil dari praktek nyata yang memberikan keuntungan

suatu kelompok dengan membatasi pilihan, hak, mobilitas atau akses

informasi, sumber dan orang lain. Beberapa contoh diskriminasi yang

termasuk di dalamnya adalah :

i. Diskriminasi sosial, meliputi tidak adanya kesempatan yang sama

untuk mengenyam pendidikan formal dan pengucilan.

ii. Diskriminasi hukum, contohnya adalah kebijakan negara yang

melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda.

iii. Diskriminasi politik, contohnya adalah kesempatan berbeda dalam

wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya

keterwakilan politik dari kelompok LGBTI


14

iv. Diskriminasi ekonomi, meliputi adalah pelanggaran hak atas

pekerjaan.

c. Cultural discrimination

Terjadi jika dalam sebuah budaya, suatu kelompok menahan

kekuatan untuk menegaskan nilai- nilai kebudayaan. Kekuatan

kelompok tersebut terbangun dan terpelihara dengan adanya reward

bagi yang merespon / melaksanakan nilai- nilai tersebut dan

memberikan hukuman bagi yang tidak menjalankannya. Misalnya

adalah upaya penghapusan dan penghilangan nilai- nilai budaya yang

ramah terhadap kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-

80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh

kelompok Islam garis keras, DI-TII.

Ketiga bentuk diskriminasi di atas tentunya saling memiliki

keterkaitan. Interpersonal discrimination dan institutional discrimination

berakar dari cultural discrimination. Kedua bentuk diskriminasi tersebut

dapat terjadi karena adanya budaya, gaya atau pola pikir yang ada di

tengah masyarakat. Misalnya dalam kasus waria, masyarakat sudah pola

pikir bahwa hanya ada wanita dan laki- laki. Oleh sebab itu, yang tidak

termasuk dalam kelompok itu dianggap sebagai suatu penyimpangan,

misalnya waria. Masyarakat menganggap waria sebagai suatu bentuk

penyimpangan. Dari pola pikir masyarakat tersebut, kemudian akan


15

muncul kelompok-kelompok tertentu yang juga memiliki pemikiran yang

sama dengan masyarakat mayoritas, tak terkecuali individu. Misalnya,

institusi tertentu yang tidak mau memperkerjakan seorang waria.

4. Cara mengatasi diskriminasi

Dalam buku “The Psychology of Prejudice and Discrimination”

karangan Whitley (2006), disebutkan bahwa terdapat 2 jenis cara

mengatasi diskriminasi, yaitu :

a. Psychological Disengagement and Disidentification

Psychological disengagement merupakan sikap menarik diri

dari bagian yang gagal, sehingga harga dirinya tidak tergantung pada

bagian yang gagal baik dengan dirinya dan orang lain (Major dalam

Whitley, 2006 : 486). Saat individu memisahkan diri, mereka

membangun / menghasilkan pemisahan secara psikologis dari dirinya

sendiri dan daerah / arena yang mungkin mereka bisa gagal. Dengan

cara itulah, mereka melindungi self esteem mereka.

b. Behavioral Compensation

Terkadang seseorang mengganti kerugian / meminimalkan

untuk terjadinya perlakuan diskriminasi dengan mengganti perilaku

mereka untuk melemahkan stereotip. Misalnya, orang dengan berat

badan lebih biasanya akan terkena diskriminasi karena masalah

berat badannya. Untuk meminimalkan terjadinya diskriminasi,


16

mereka melakukan kompensasi dengan menunjukkan kemampuan

mereka yang lain, misalnya dengan selera humor yang tinggi saat

berinteraksi dengan orang lain agar mereka disukai (Miller &

Myers dalam Whitley, 2006 : 488).

Di samping kedua jenis tersebut, ada juga bentuk cara

mengatasi diskriminasi lainnya, yaitu :

a. Acceptance

Menurut Carver (dalam Bishop, 1994 : 156), bentuk ini

merupakan salah satu bentuk dari coping yang berpusat pada emosi

(emotion-focused coping). Acceptance yang dimaksud adalah

menerima stressor, dalam arti mengakomodasikannya karena

mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah.

b. Menilai atau meninjau kembali situasinya (reappraisal)

Reappraisal merupakan proses yang dilakukan seseorang

untuk memilih untuk memikirkan suatu masalah secara berbeda

(Tavris, 2007 : 304). Reappraisal dapat mengubah kemarahan

menjadi simpati, kecemasan menjadi determinasi dan perasaan

kehilangan menjadi perasaan memiliki kesempatan (Folkman

dalam Tavris, 2007 : 304).


17

c. Mencari figur support

Mencari figur support tentunya berkaitan dalam rangka

mencadi dukungan sosial (social support). Menurut Sarason

(dalam Byrne, 2004 : 244), dukungan sosial merupakan

kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang

lain. House (dalam Smet, 1994 : 136-137) membedakan 4 jenis

atau dimensi dukungan sosial, yaitu sebagai berikut :

i. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian

dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

ii. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat

(penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju tau

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan

perbandingan positif orang itu dengan orang lain, seperti

misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk

keadaannya (menambah penghargaan diri).

iii. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti

member pinjaman uang.

iv. Dukungan informatif, mencakup member nasehat, petunjuk-

petunjuk, saran atau umpan balik.


18

B. PEMAHAMAN DIRI (SELF-UNDERSTANDING)

1. Pengertian dan pentingnya pemahaman diri

Menurut Santrock (dalam Tizar, 2010), pemahamn diri (self

understanding) adalah gambaran kognitif seseorang mengenai diri, dasar

dan isi dari konsep diri. Memahami diri sendiri berarti memperoleh

pengetahuan tentang totalitas diri yang tepat, yaitu menyadari

kelebihan/keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan/ kelemahan yang

ada pada diri sendiri.

Self-understanding membantu seseorang dalam mengetahui

tingkah laku seseorang yang bersangkutan. Pemahaman terhadap diri

sendiri juga membantu dalam menghargai kekuatan-kekuatan serta

menyadari kelemahan-kelemahan yang ada. Self understanding akan

memudahkan seseorang dalam memosisikan diri (self positioning) dalam

tatanan dan sistem yang ada di lingkungan (Bradford dalam Indari, 2005).

Dengan memahami diri sendiri secara tepat akan diketahui konsep diri

yang tepat pula, dengan berupaya mengembangkan yang positif dan

mengatasi/ menghilangkan yang negatif. Setelah seseorang mengetahui

dirinya, maka terbentuklah sikap dan perilaku dalam menentukan arah dan

prinsip hidup yang diinginkan.

2. Memahami diri sendiri dan orang lain dengan bernarasi

Dalam istilah naratif (narrative), tercakup pengertian menyimak,

menyampaikan ulang cerita-cerita tentang orang-orang serta masalah-


19

masalah kehidupannya. Naratif sebagai kata sifat juga dapat dipahami

sebagai hal yang mengandung atau berhubungan dengan proses

penceritaan (Takwin, 2007 : 34).

Sementara itu, pengertian bercerita dalam pengertian orang

Indonesia umumnya sepadan dengan storytelling dalam Bahasa Inggris.

Sebagai kata benda, storytelling dapat dipadankan dengan kata penceritaan

yang merupakan proses penyampain cerita (Takwin, 2007 : 19).

Penceritaan bisa mengungkapkan tema-tema tentang “bagaimana kita bisa

bersama-sama”, “bagaimana kita mengerjakan pelbagai hal”, “siapa kita”

dan “apa yang penting bagi kita” (makna) (Takwin, 2007 : 60).

Melaui cerita yang dibuat, orang lain bisa memahami seseorang

melalui kisah hid upnya (Takwin, 2007 : 2). Sementara itu, menurut

Murray (dalam Smith, 2009 : 229) bahwa melalui narasi, orang lain dapat

memahami narrator dan dunianya. Maka, dapat dikatakan bahwa naratif

dapat digunakan untuk memahami bagaimana seseorang memaknai dunia

dan dirinya sendiri.

Menurut Bruner (dalam Takwin, 2007 : 40), cerita merupakan

dasar dari proses penciptaan makna dan satu-satunya cara untuk

menjelaskan waktu yang dihayati seseorang dalam hidupnya adalah

dengan menggunakan bentuk naratif. Polkighorne (dalam Takwin, 2007 :

40) juga memperkuat pendapat Bruner dengan menyatakan bahwa cerita

merupakan pembentuk diri. Cerita – cerita tentang diri menyediakan

jawaban bagi pertanyaan “Siapakah aku ?” Aku terbentuk dari cerita dan
20

dapat dipahami melaui cerita, me lalui naratif. Naratif juga merupakan

media untuk berbagi pengalaman dan penghayatan dengan orang lain.

Narasi tidak hanya memberikan tatanan dan makna pada kehidupan

sehari- hari, tetapi secara reflektif, juga memberikan struktur pada rasa

kedirian seseorang. Seseorang menceritakan kisah tentang kehidupannya

kepada dirinya sendiri dan pada orang lain. Dengan demikian, seseorang

tersebut menciptakan suatu identitas naratif (Murray dalam Smith, 2009 :

228). Hal itu juga sejalan dengan pendapat Ricoeur (dalam Smith, 2009 :

228) yang mengatakan bahwa “subjek mengenali dirinya dalam kisah

tentang dirinya yang diceritakannya”. Melalui narasilah seseorang mulai

mendefinisikan dirinya, untuk mengklarifikasikan kontinuitas dalam

hidupnya dan untuk disampaikan pada orang lain. Narasi memungkinkan

seseorang untuk mendeskripsikan pengalaman dan mendefinisikan diri.

Dalam membangun suatu narasi personal, seseorang memilih beberapa

aspek dari kehidupannya dan mengkaitkannya dengan yang lain. Proses

demikian memungkinkan seseorang untuk menegaskan bahwa kehidupan

bukanlah suatu sekuensi peritiwa yang tidak berkaitan, melainkan

memiliki suatu tatanan tertentu (Murray dalam Smith, 2009 : 228).

Salah satu cara untuk memahami diri si narator adalah dengan

memamahi narasi yang dihasilkannya. Salah satunya adalah dengan I

Poems. Menurut Debold (dalam Gilligan, 162) terdapat 2 tujuan dari I

Poems, yaitu menangkap irama tersendiri dari suara orang pertama dan
21

untuk mendengarkan bagaimana seseorang berbicara mengenai dirinya dan

orang lain.

C. KERANGKA PENELITIAN

Di dalam masyarakat, waria termasuk dalam kaum minoritas yang

masih sering mengalami diskriminasi karena belum semua masyarakat bisa

menerima keberadaan waria. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh

gambaran tentang waria, khususnya bagaimana waria memahami dirinya dan

orang lain terkait dengan pengalaman diskriminasi yang akan disajikan dalam

bentuk penelitian deskriptif. Untuk mengetahui pengalaman diskriminasi yang

dialami oleh waria, tentunya waria harus menceritakan pengalaman yang

dialaminya tersebut. Hasil cerita tersebut dapat digunakan untuk melihat

bagaimana waria memahami dirinya dan orang lain terkait pengalaman

diskriminasi. Seperti yang telah diungkapkan dalam dasar teori bahwa melalui

cerita, orang lain bisa memahami seseorang dari cerita yang dibuat. Sementara

itu, si pembuat cerita juga dapat memahami dirinya dalam kisah yang

diceritakan.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa pertanyaan yang ingin dijawab

oleh peneliti, yaitu :

1. Bagaimana pengalaman diskriminasi dilami dan diatasi oleh waria ?

2. Bagaimana cara waria memahami dirinya dan orang lain dalam kaitannya

dengan pengalaman diskriminasi ?


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Di bidang

psikologi dan pendidikan, penelitian kualitatif seringkali disebut naturalistik

karena masalah atau peristiwa yang diteliti terjadi secara natural (Alsa, 2004 :

30). Sejalan dengan Williams (dalam Moleong, 2008 : 5) yang menulis bahwa

penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan

menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008 :

4), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga dimaksudkan untuk menafsirkan

fenomena yang terjadi (Denzin dan Lincoln dalam Moleong, 2007 : 5).

Terakhir, penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, motivasi,

tindakan, persepsi, dll (Moleong, 2008 : 6).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi

naratif. Tujuan dari pendekatan fenomenologi adalah hendak mengungkap

secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya.

Sasaran utamanya adalah makna dari pengalaman, peristiwa, status yang

dimiliki oleh partisipan. Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman

23
24

personal serta menekankan pada persepsi atau pendapat personal seseorang

individu tentang objek atau peristiwa (Smith, 2009 : 97). Sementara itu,

penelitian naratif berfokus pada pengalaman yang diceritakan oleh seseorang

(Pokinghorne dalam Creswell, 2007 : 54). Dalam penelitian ini, peneliti

memahami dan menganalisis kisah nyata yang diceritakan oleh seseorang

(Creswell, 2007 : 54).

B. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah waria, berjumlah 5 orang. Adapun

yang dimaksud dengan waria adalah seseorang yang secara fisik laki- laki

tetapi merasa dirinya adalah perempuan dan dalam kesehariannya,

berpenampilan dan bertingkah laku sebagai perempuan. Kelima subjek dalam

penelitian ini adalah waria yang merupakan anggota dari sebuah LSM waria di

Yogyakarta.

C. FOKUS PENELITIAN

Di dalam penelitian ini, ada 2 hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu :

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya

Pengalaman mengenai pelayanan dan atau tindakan perlakuan yang

tidak adil terhadap individu tertentu (waria), dimana pelayanan atau

perlakuan berbeda ini dibuat berdasarkan karakteristik tertentu yang

diwakili oleh individu tersebut, yaitu orientasi seksual yang berbeda,

termasuk juga pelaku tindak diskriminasi tersebut.


25

Cara subjek dalam mengatasi pengalaman diskriminasi baik saat

kecil dan saat dewasa, termasuk juga figur- figur positif (figur support)

yang berperan terkait dengan cara subjek mengatasi pengalaman

diskriminasinya itu.

2. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain

Bagaimana subjek memahami dirinya dan orang lain dalam

kaitannya dengan pengalaman diskriminasi. Hal ini mungkin bisa

dirumuskan dalam pertanyaan “mengapa orang lain mendiskriminasikan

aku (waria) ?”

D. METODE PENGAMBILAN DATA

Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah menggunakan

metode wawancara. Menurut Moleong (2008 : 186), wawancara adalah

percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara

dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan maksud untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna- makna subjektif yang dipahami inidividu

berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi

terhadap suatu isu (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2005 : 127).

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan

variasi dari wawancara naratif, dimana wawancara tersebut fokus pada


26

pembentukan suatu cerita (Wengraf, 2001). Wawancara tersebut juga

menggunakan desain pertanyaan khusus, yaitu single initial narrative

question, dimana pertanyaan tersebut berfokus pada hal tertentu. Misalnya,

pertanyaan mengenai semua cerita kehidupan seseorang atau hanya sebagian

topik dari kehidupan seseorang. Dalam wawancara ini, campur tangan

interviewer juga terbatas. Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan

dalam wawancara dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu :

a. Tahap 1

Dalam tahap ini, interviewer bertanya dengan single initial

narrative question, yaitu “coba ceritakan pengalamanmu dari kecil sampai

sekarang”. Selama interviewee bercerita, maka interviewer menulis topik-

topik yang muncul.

b. Tahap 2

Dalam tahap ini, terdapat pembatasan topik dari topik-topik yang

muncul dalam tahap 1. Topik yang diangkat adalah mengenai pengalaman

diskriminasi.

Jika dalam tahap 1 telah muncul topik mengenai diskriminasi

dalam cerita, maka peneliti menggali lebih dalam lagi mengenai topik

tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Namun, jika

dalam tahap 1 belum muncul topik mengenai diskriminasi, maka peneliti

akan memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan kepada subjek Contoh


27

pertanyaan pancingan tersebut adalah : apakah subjek pernah diejek oleh

orang lain karena status kewariannya ?

c. Tahap 3

Untuk mempersiapkan subsesi ini, perlu disiapkan terlebih dahulu

analisis awal terhadap hasil wawancara pada subsesi 1 dan 2. Dalam

subsesi ini, tidak lagi dipergunakan single initial narrative question. Pada

tahap 3 ini, peneliti melakukan cross check analisis hasil wawancara

kepada subjek penelitian. Selain itu, peneliti juga memberikan hasil

verbatim wawancara kepada subjek penelitian agar dapat dilihat jika masih

ada yang kurang ataupun salah penulisan.

Wawancara yang dilaksanakan melewati beberapa tahap. Berikut ini

adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam wawancara :

1. Mencari informasi mengenai keberadaan subjek

2. Membuat panduan wawancara. Panduan wawancara dibuat berdasarkan

tujuan dari penelitian dan metode wawancara yang digunakan. Berikut ini

ada 3 panduan wawancara :

a. Ceritakan pengalaman subjek dari kecil hingga sekarang.

b. Ceritakan pengalaman subjek saat masih anak-anak secara lebih detail.

c. Ceritakan pengalaman diskriminasi yang pernah dialami oleh subjek.

3. Melakukan rapport dengan berkenalan dan menceritakan maksud dan

tujuan peneliti
28

4. Membuat jadwal untuk proses wawancara sesuai jadwal yang telah

disepakati

5. Melakukan proses wawancara

E. PROSES PENGAMBILAN DATA

Pengambilan subjek dilakukan dengan model pengambilan sample

bola salju / snowball sampling. Hal ini dilakukan karena keterbatasan peneliti

dalam mencari subjek. Pada awalnya, peneliti hanya mengenal satu subjek

saja. Kemudian, peneliti bertanya dan meminta bantuan kepada subjek

pertama untuk mencarikan teman waria yang lain yang bersedia menjadi

subjek penelitian. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu

melakukan rapport dengan subjek. Rapport dilakukan dalam waktu yang

berbeda bagi masing- masing subjek. Namun, rapport hanya dilakukan

seperlunya saja oleh peneliti. Hal ini disebabkan karena ketiga subjek sangat

kooperatif dalam berbagi cerita. Bagi mereka, penelitian ini dapat

mengungkap diskriminasi yang sering dialami oleh kaum waria.

Pada awalnya peneliti mengalami kesulitan dalam mencari subjek

waria karena waria kenalan peneliti tidak bisa dihubungi. Kemudian, peneliti

mendapat saran dari salah seorang teman untuk mendatangi LSM Kebaya di

Gowongan Lor. Akhirnya, pada tanggal 12 Juni 2009, peneliti mendatangi

LSM Kebaya tersebut dan bertemu dengan Mami Vinolia selaku ketua LSM

Kebaya tersebut. Kemudian, peneliti mengutarakan maksud dan tujuan

peneliti datang ke LSM tersebut dan dengan senang hati Mami Vinolia
29

bersedia membantu. Pada tanggal 15 Juni 2009, peneliti bertemu dengan

subjek I untuk melakukan rapport. Rapport dilakukan di tempat kerja subjek,

yaitu di LSM Kebaya. Rapport dilakukan sangat cepat karena subjek sangat

mudah akrab dengan peneliti. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan subjek II

dan subjek III. Akhirnya, pada tanggal 16 Juni 2009 dilakukan proses

wawancara untuk subjek I. Untuk subjek II, rapport dilakukan pada tanggal 9

September 2009 dan melakukan wawancara pada tanggal 10 September 2009

di tempat kerja subjek, yaitu LSM Kebaya sekaligus peneliti melakukan

rapport untuk subjek III. Proses wawancara subjek III dilakukan pada tanggal

18 September 2009 di kos subjek.

Pada mulanya peneliti hanya ingin menggunakan 3 subjek saja.

Namun, untuk mendapat hasil yang lebih maksimal, maka peneliti menambah

jumlah subjek penelitian menjadi 5 subjek. Rapport untuk subjek IV dilakukan

pada tanggal 15 Oktober 2009 di kos subjek dan dilakukan proses wawancara

pada tanggal 21 Oktober 2009 yang juga dilaksanakan di kos subjek.

Kemudian, peneliti melakukan rapport untuk subjek V pada tanggal 30

Oktober 2009 dan wawancara pada tanggal 2 November 2009 yang semuanya

dilaksanakan di tempat kerja subjek. Selama proses wawancara, peneliti

menggunakan MP3 player bagi kelima subjek untuk merekam proses

wawancara tersebut.

Kelima subjek merupakan anggota dari sebuah LSM yang peduli

terhadap waria, yaitu LSM Kebaya. Saat pertama kali datang, peneliti memang

disarankan oleh ketua LSM tersebut untuk menggunakan subjek dari LSM
30

saja dan subjek yang sudah terbiasa berbagi cerita kepada orang lain. Hal ini

disarankan oleh ketua LSM tersebut agar peneliti dapat lebih mudah dalam

mendapatkan data penelitian. Menurut Mami Vinolia, selaku Ketua LSM

Kebaya tersebut, waria yang berada di LSM akan lebih mudah untuk diajak

kerja sama daripada waria yang berada di luar LSM. Hal ini disebabkan

karena mereka cenderung sudah terbiasa untuk bersosialisasi dan berbagi

pengalaman dengan orang lain.

Selama proses wawancara, kelima subjek cukup kooperatif. Hal ini

memudahkan peneliti dalam mendapatkan data untuk penelitian. Setelah

proses wawancara, bahkan setelah proses penelitian berkahir, peneliti tetap

menjalin relasi dengan para subjek. Berikut ini adala h tabel proses rapport dan

wawancara :
31

Tabel 1

Proses Rapport dan Wawancara

RAPPORT WAWANCARA
NO SUBJEK
TANGGAL TEMPAT WAKTU TANGGAL TEMPAT WAKTU

15 16
Tempat 10.00 Tempat 09.30
1 Subjek I Juni Juni
Kerja WIB kerja WIB
2009 2009

9 10
Tempat 10.00 Tempat 14.30
2 Subjek II September September
Kerja WIB kerja WIB
2009 2009

10 18
Tempat 16.00 Kost 18.30
3 Subjek III September September
Kerja WIB subjek WIB
2009 2009
32

15 Kost 21 Kost
17.00 16.30
4 Subjek IV Oktober subjek Oktober subjek
WIB WIB
2009 III 2009 III

30 2
Tempat 15.00 Tempat 15.00
5 Subjek V Oktober November
kerja WIB kerja WIB
2009 2009
33

F. METODE ANALISIS DATA

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengorganisasian data serta mencari dan menemukan pola dari data tersebut.

Cara menemukan pola pada data subjek dibuat berdasarkan kepentingan

peneliti dan menggunakan sedikit panduan teknik analisis tema Carl Ratner.

Menurut Carl Ratner (2001), salah satu analisis naratif adalah

mengidentifikasi tema-tema yang muncul dalam data verbal. Tema-tema yang

diambil tentunya adalah tema yang relevan dengan tujuan penelitian, yaitu

mengenai pengalaman diskriminasi. Berikut ini adalah rincian langkah-

langkah yang dilakukan dalam analisis data :

1. Mencari kalimat pernyataan subjek (meaning units) yang berhubungan

dengan pengalaman diskriminasi.

2. Memparafrasekan meaning units tersebut ke dalam central themes.

3. Mengelompokkan beberapa central themes menjadi general theme. Dalam

tahap ini, ditemukan bahwa terdapat 3 general themes, yaitu bentuk

diskriminasi, cara mengatasi diskriminasi dan figur support.

4. Setelah menemukan tema yang muncul dari data verbal tersebut, maka

langkah selanjutnya adalah menentukan general structure. Jadi, setiap

general theme dijelaskan atau dijabarkan dalam general structure.

Keempat langkah tersebut dilakukan untuk masing- masing subjek.

setelah didapatkan general structure untuk tiap-tiap subjek, maka semua

general structures tersebut digabung menjadi satu menjadi general summary.


34

Untuk melihat cara subjek memahami dirinya dan orang lain, peneliti

menggunakan panduan analisis I Poems yang menurut Debold (dalam Gilligan

: 162) salah satu tujuannya adalah untuk mendengarkan bagaimana orang

tersebut berbicara mengenai dirinya dan orang lain. Dalam tahap ini, peneliti

membatasi meaning units yang digunakan, yaitu dengan mengambil

pernyataan-pernyataan subjek yang diawali dengan kata “saya”, “aku”,

“waria”. Kemudian, meaning units tersebut dikelompokkan menjadi beberapa

tema.

G. KEABSAHAN DATA

Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan

dengan uji kredibilitas (tingkat kepercayaan) atau sering disebut validitas

dalam penelitian kuantitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud eksplorasi masalah atau mendeskripsikan

setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks

(Poerwandari, 2005 : 181).

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2005 : 182) teknik yang

sering digunakan adalah validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas

argumentatif dan validitas ekologis. Dalam penelitian ini digunakan 2 teknik,

yaitu :
35

1. Validitas komunikatif

Validitas komunikatif dilakukan melalui dikonfirmasikannya

kembali data dan analisisnya pada responden penelitian.

Berikut ini akan disajikan tabel penjelasan mengenai tanggal dan

apa saja yang diberikan peneliti kepada subjek penelitian untuk dikoreksi

ulang oleh subjek penelitian.


36

Tabel 2

Cross Check Data

SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III SUBJEK IV SUBJEK V

6 13 13 17 17

TANGGAL November November November November November

2009 2009 2009 2009 2009

Mr. Burger Tempat kerja Kamar kos Kamar kos Kamar kos
TEMPAT
Yogyakarta subjek subjek Subjek subjek

17.00 – 19.00 16.30 – 17.45 13.30 – 16.00 18.30 – 21.15 16.00 – 17.30
WAKTU
WIB WIB WIB WIB WIB

KEGIATAN Verbatim

Ada beberapa Ada beberapa Tidak ada Tidak ada Ada beberapa

bagian yang salah bagian yang salah bagian yang salah


37

dalam penulisan. dalam penulisan. dalam penulisan.

Analisis Data

Subjek mengoreksi Subjek mengoreksi Subjek mengoreksi Subjek mengoreksi Subjek mengoreksi

beberapa analisis beberapa analisis beberapa analisis beberapa analisis beberapa analisis

yang kurang sesuai. yang kurang sesuai. yang kurang sesuai. yang kurang sesuai. yang kurang sesuai.
38

1. Validitas argumentatif

Validitas tercapai jika presentasi temuan dan kesimpulan dapat

diikuti dengan baik rasionalnya serta dapat dibuktikan dengan melihat

kembali ke data mentah.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencapai validitas

argumentatif ini dengan menunjukkan alur analisis data, mulai dari

verbatim hingga menjadi sebuah hasil penelitian. Peneliti menyajikannya


BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK

1. Mbak Arum

Terlahir dengan nama Aris 31 tahun yang lalu di Yogyakarta.

Selama menjadi waria, dia lebih dikenal dengan nama Arum Mariska. Dia

adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Perawakannya sedikit gemuk

dengan kulit yang cukup gelap. Rambutnya lurus panjang terurai dengan

warna kemerahan. Dia sering tampil dengan kaos yang cuk up ketat dan

celana jeans yang juga ketat.

Saat pertama kali bertemu dengannya, dia sudah terlihat sebagai

orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Dia ramah dan

sangat mudah akrab dengan orang lain. Nada berbicarnya cenderung cepat,

sehingga membuat subjek terkesan seperti seseorang yang banyak bicara.

2. Mbak Rully

Mbak Rully lahir di Surabaya, 24 Maret 1963. Dia terlahir dengan

nama Rio. Namun, sekarang lebih dikenal dengan nama Rully Malay.

Badannya cukup tinggi dengan rambut yang selalu dibelah tengah. Dia

lebih sering mengenakan rok panjang dengan motif renda-renda.

39
40

Dia terlihat paling pendiam di antara waria-waria yang lain.

Sikapnya yang lemah lembut dalam berbicara membuatnya tampak santun

dan keibuan.

3. Mbak Tika

Lahir di Yogyakarta dengan nama Rido Budi Lastiko 28 tahun

yang lalu. Setelah menjadi waria, dia lebih dikenal dengan nama Tika

Aurora. Sekilas, dia tidak tampak seperti waria. Perawakannya yang

langsing dan tinggi membuat dirinya terlihat seperti perempuan. Kulitnya

cukup gelap dengan rambut panjang hitam dan lurus.

Awalnya Mbak Tika terlihat pendiam. Namun, setelah

mengenalnya lebih jauh, ternyata dia sangat ramah dan terbuka untuk

berbagi cerita tentang pengalaman-pengalamannya.

4. Mbak Bella

Terlahir dengan nama Anton 32 tahun yang lalu di Yogyakarta.

Saat ini lebih dikenal dengan nama Bella. Rambut hasil hair extansion nya

terurai panjang dengan warna hitam. Karena bekerja di salon yang cukup

ternama di Yogyakarta, Mbak Bella terlalu tampil modis dengan breket di

giginya. Badannya yang tinggi dan lansing membuatnya terlihat sangat

anggun.

Dia sangat mudah akrab dengan orang lain, misalnya dengan

pelanggan-pelanggannya di salon. Mbak Bella selalu berusaha


41

memberikan saran mengenai model rambut yang cocok untuk

pelanggannya. Pembawaannya yang senang ngobrol juga membuat dia

mudah akrab dengan pelanggannya.

5. Mbak Angel

Anak ketiga dari 4 bersaudara ini terla hir di Kendal 29 tahun yang

lalu. Badannya cukup mungil dengan kulit kecoklatan. Rambutnya

panjang, hasil dari hair extantion. Matanya terlihat cukup sipit untuk

ukuran orang pribumi. Dia sering terlihat memakai pakaian yang cukup

seksi.

Kegemarannya menyanyikan lagu-lagu India merupakan cirri khas

dari dirinya. Hal itu merupakan daya tarik tersendiri dari Mbak Angel,

sehingga orang lain selalu dibuatnya tertawa saat dia menyanyi. Mbak

Angel juga sangat senang mengobrol, sehingga dia juga mudah akrab

dengan orang lain.

B. HASIL ANALISIS DATA

1. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasinya

a. Mbak Arum

Subjek I mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil maupun

saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami oleh

subjek I. Ketika kecil dan dewasa, subjek I hanya mengalami


42

diskriminasi dalam bentuk diskriminasi verbal saja yang dilakukan

oleh peer group, yaitu oleh teman-temannya.

“Ya paling cuma diteriakin banci aja sih sama temen-temen.”

Coping yang dilakukan oleh subjek I untuk mengatasi

diskriminasi tersebut adalah menerima (acceptance) dengan bersikap

cuek terhadap ejekan teman-temannya itu. Sikapnya tersebut

merupakan bentuk dari pengakuannya terhadap statusnya sebagai

waria.

“… cuma waktu itu aku memang pada dasarnya masa bodoh


gitu ya. Orang mau anggep aku banci atau apa ya ini aku. Udah
tahu aku banci, ngapain teriak-teriak.”

Sementara itu, bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek I

saat dewasa adalah diskriminasi verbal dan kekerasan fisik.

Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek dilakukan oleh peer

goup, yaitu pemuda di sekitar perkampungannya yang suka mengejek

subjek “banci banci”.

“Kalau aku lewat di situ, aku sering diteriakin banci-banci.”

Selain itu, kekerasan fisik, dimana subjek I dilempar dau kelor

dan batu yang juga dilakukan oleh peer group.

“…banyak pemabuk-pemabuk yang kadang nongkrong di


perkampunganku. Pernah sih aku mendapatkan apa ya sampai
dilembar batu.”
“…daun kelor disebarin ke mukaku.”
43

Coping yang dilakukan oleh subjek saat dewasa sedikit berbeda

dengan yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil. Subjek I

menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang dialamatkan

kepadanya sebatas diskriminasi verbal. Penerimaannya tersebut

merupakan bentuk dari pengakuan subjek terhadap status

kewariaannya.

“Aku tak diemin aja karena aku merasa nggak dirugikan. Aku
memang banci kok terus mau apa….”

Namun, jika diskriminasi yang dialamatkan kepadanya adalah

kekerasan fisik, maka subjek I akan membalas atau melapor kepada

polisi sebagai bentuk kepercayaannya kepada hukum yang berlaku.

“Aku sampai yang marah-marah sampai tak laporin polisi.”


“Aku bilang bahwa jangan dikira saya nggak berani sama
seseorang. Di sini hukum pun berlaku dan masih banyak lembaga-
lembaga LBH yang mau bantu kita kok.”
“Motor langsung tak berhentiin terus tak tempeleng.”

Dalam dunia pekerjaan, subjek I juga melakukan beberapa

coping untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi. Subjek I selalu

percaya diri untuk berani melamar sebuah pekerjaan.

“Aku bilang PD itu nomer satu. Walaupun di situ yang


dibutuhkan laki-laki dan perempuan, kalau kita sudah waria, dandan
waria, kita coba masuk gitu ya.”
“…ke satu PD…”

Saat wawancara pekerjaan, subjek I selalu terbuka dan

membuat pengakuan tentang statusnya sebagai waria.


44

“Waktu itu aku pengakuan “sebenarnya gini buk, saya


sebenarnya waria buk. Rambut saya aja panjang. Saya sebenarnya
waria buk. Eee… mungkin itu adalah pilihan ibu. Kalau ibu masih
mau pakai saya, saya memintanya ya apa adanya seperti ini. Seperti
diri saya sendiri karena saya akan sangat nyaman dengan apa yang
ada di diri saya. Kalau saya paksakan, kerja itu nggak akan tenang.”
“…Saya sebenarnya waria pak…”
“Aku memang sudah menerima kalau aku waria.”

Kemudian, setelah diberi kepercayaan dalam pekerjaan

tersebut, subjek I selalu berusaha untuk balas budi dengan memberikan

timbal balik dan berusaha untuk selalu membawa diri.

“Dari kepercayaan itu, kemudian saya timbul eee timbal balik


yang harus saya berikan ke yang empunya ini.”
“...Bawa diri itu yang kedua…”

Saat dewasa, subjek I mendapatkan dukungan dari beberapa

figur, yaitu ayah dan orang lain yang selalu low profile dalam

menghadapi masalah. Dukungan yang diberikan oleh ayah subjek

adalah berupa penerimaan tentang statusnya sebagai waria sejauh

subjek tidak berhubungan dengan kriminalisme. Selain itu, dukungan

yang diperolah subjek dari orang lain adalah kesabaran orang-orang

tersebut dalam menghadapi masalah dan hal itu dijadikan contoh oleh

subjek dalam menghadapi diskriminasi yang menimpanya.

“Bapakku bilang “kamu dandan nggak papa, kamu ngapa-


ngapain boleh. Itu hak kamu. Sifat dan karakter seseorang itu
memang tidak bisa dirubah kecuali dari diri kamu sendiri. Kamu
boleh kayak gitu tapi satu hal, kamu tidak boleh berhubungan
dengan polisi. Dalam arti kata tidak terlibat dengan yang namanya
apa ya, kriminalisme. Ya entah itu menggunakan narkoba, entah itu
perkelahian, entah perjudian, entah itu miras.”
45

“Mungkin aku bercermin dari orang-orang yang aku nggak bisa


nyebutin siapa gitu ya. Yang pasti kadang-kadang ketemu orang
yang low profile, sabar menghadapi masalah. Jadi aku pengen
seperti itu.”

b. Mbak Rully

Subjek II mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil

maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami

oleh subjek II. Saat masih kecil, subjek II hanya mengalami

diskriminasi verbal dan kekerasan fisik. Diskriminasi verbal yang

dialami oleh subjek II berupa ejekan dan cemoohan dari peer group,

yaitu dari teman-temannya. Selain itu, subjek II juga mengalami

diskriminasi verbal dari figur otoritas, yaitu dari guru PMP saat masih

SMP.

“Sejak kecil memang saya sudah menjalani hidup sebagai waria


dimana pada saat itu banyak sekali teman-teman seusia saya yang
sering mengejek kalau banci-banci atau bencong.”
“…ada teman di masa-masa kuliah yang kebetulan aktif di apa
namanya itu resimen mahasiswa yang selalu saja dia harus menegur
saya. Sepertinya dia tidak apa, tidak merasa puas kalau belum
memberikan teguran kepada saya.”
“Banyak tekanan-tekanan yang dialamatkan kepada saya oleh
guru-guru, terutama guru PMP…Saya pernah dibilang “mayat
hidup kamu keluar dari sini.”

Selain diskriminasi verbal, subjek II juga mengalami kekerasan

fisik, yaitu hampir dipukul dan ditampar oleh figur otoritas, yaitu oleh

guru PMP saat masih SMP.

“…dia mau menempeleng saya, mau ditampar tapi tidak jadi.”


46

Ada figur support yang berperan dalam kaitannya dengan

pengalaman diskriminasi, yaitu ibu subjek. Ibu beperan sebagai

pelindung bagi subjek dengan memberikan pemahaman tentang

keadaan subjek kepada pelaku diskriminasi dan menyelesaikan dengan

jalur hukum.

“…tapi ibu saya selalu memberikan pengertian. Biasanya ibu


saya memanggil teman-teman saya bari dikasi pemahaman.”
“... di lingkungan keluarga saya di masa saya tidak berdaya di
masa kecil ketika orang-orang mungkin belum ya memperhitungkan
saya dalam kapasitas saya sebagai Rully masa kecil. Namun di situ
yang paling berperan sepertinya adalah ibu saya.”
“Sampai saya sempat berurusan dengan Pak Amrula Azrul di
kantor polisi Surabaya”.

Tidak jauh berbeda dengan masa kecilnya, subjek II juga

mengamalami diskriminasi saat dewasa. Diskriminasi yang dialami

subjek meliputi diskiminasi verbal, kekerasan fisik dan pengucilan dari

keluarga. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek II adalah

diremehkan oleh murid- muridnya saat menjadi guru dan saat subjek II

hidup di jalanan sebagai pengamen.

“Saya merasa sekali betapa apa namanya banyak sekali orang


seperti yang meremehkan dan terasa ada sampai murid-murid saya
seperti mengejek jadi eee dan saya begitu tidak betah.”
“Kalau pengalaman-pengalaman kekerasan secara verbal saya
kira cukup banya saya alami terutama sekali di masa-masa ketika
saya hidup di jalan.”

Sementara itu, kekerasan fisik yang dialami oleh subjek II

adalah pemukulan di Stasiun Lempuyangan dan terlibat perkelahian

massal dengan kelompok agamis di Surabaya.


47

“Saya pernah dipukul sampai berdarah di Stasiun


Lempuyangan.”
“Waktu di Surabaya, kita ada perkelahian massal dengan
kelompok agamis.”

Sedikit berbeda dengan pengalaman diskriminasi yang dialami

oleh subjek saat masih kecil, saat dewasa, selain diskriminasi verbal

dan kekerasa fisik, subjek II juga mengalami pengucilan dari keluarga.

Keluarga subjek merasa enggan jika subjek datang berkunjung.

“Belum lagi dari keluarga saya sendiri… hingga saat ini boleh
dikatakan hubungan tidak baik dengan saya. Karena mereka enggan
didatangi oleh saya.”

Coping yang dilakukan oleh subjek II saat dewasa pun juga

sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil.

Subjek II tidak pernah menggunakan emosi dalam melakukan coping

terhadap diskriminasi yang didapatkannya. Subjek II selalu berusaha

menerima (acceptance) dengan berusaha menyesuaikan diri dengan

lingkungannya.

“Saya memang tidak menggunakan kekerasan atau emosi dalam


menanggapi diskriminasi.”
“…membutuhkan penyesuaian secara khusus sekali. Jadi butuh
kemampuan kita secara integral untuk bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi dimana kita eee berada pada saat itu.”

Selain adanya penyesuaian diri, subjek II juga berdoa meminta

pertolongan kepada Tuhan dan berharap agar masyarakat bisa

menerima keberadaan waria.


48

“Saya berdoa mudah-mudahan suatu ketika mereka bisa


menyadari bahwa apa yang ada pada diri saya itu bukan sesuatu
yang saya buat-buat.”
“Saya berharap agar masyarakat mau menerima keberadaan
waria, saya juga melakukan sesuatu agar pengharapan saya itu
terwujud ya dengan memberikan pemahaman tentag dunia waria.”

Active coping yang dilakukan oleh subjek II adalah berusaha

memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria.

Misalnya dengan melakukan kampanye, diskusi publik, talk show dan

seminar. Pemahaman yang diberikan oleh subjek kepada masyakarat

mengenai dunia waria, secara tidak langsung merupakan wujud dari

pengharapan subjek II agar masyarakat bisa mengenal lebih mengenai

dunia waria, sehingga masyarakat bisa menerima keberadaan waria

dan diskriminasi terhdap kaum waria bisa berkurang.

“Saya selalu memberikan pemahaman dan saya tidak pernah


mengucapkan sesuatu yang membuat orang-orang itu menjadi
membalas atau malah tersakiti kembali.”
“Yang saya lakukan dengan kampanye-kampanye, dengan
berperan aktif mengikuti kegiatan diskusi public, talk show, seminar-
seminar. Itu dalam rangka memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang dunia waria.”
“Jadi, pemahamannya pun saya melakukan sesuatu, dengan
terlibat aktif seperti itu kan secara tidak langsung memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria yang mungkin
bisa mengurangi diskriminasi.”

Beberapa coping yang telah dilakukan oleh subjek II tersebut

mendapatkan pengaruh dari figur support, yaitu dari ibu subjek. Saat

subjek sudah dewasa ini, peran ibu tidak lagi sebagai pelindung, tetapi

sebagai pemberi nasehat yang mencoba mengarahkan apa yang harus


49

dilakukan oleh subjek. Ibu subjek yang selalu berpesan agar subjek

jangan menggunakan emosi dalam menghadapi masalah, memb uat

subjek lebih bisa melihat segala sesuatu dengan sabar dan tidak

menggunakan emosi.

“Saya selalu diajarkan oleh ibu saya untuk selalu apa namanya
ya low profile. selalu melihat sesuatu dengan proporsional dan tidak
perlu melibatkan emosi.”

c. Mbak Tika

Subjek III mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil

maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami

oleh subjek III. Saat masih kecil, subjek III mengalami diskriminasi

verbal, pengucilan dan perlakuan yang berbeda dari ayahnya.

Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek berupa ejekan dari teman

dan saudara kandungnya (kakak).

“Kadang saya diejek sama mereka “Banci, Tiko ki banci, Tiko ki


banci.”
“Bahkan diejek “sentul sari rupane koyo gendul.”
“Jadi 4 orang itu (kakak) ngejek saya karena saya dari kecil
genit sekali..”
“…teman-teman sejak kecil ngejek saya “banci banci banci”

Pengucilan yang dirasakan oleh subjek III adalah berasal dari

keluarganya sendiri. Pengucilan dari keluarganya tersebut dirasakan

oleh subjek karena saat masih kecil, subjek tidak tinggal bersama

kedua orang tuanya, tetapi bersama tantenya.

“Saya merasa di lingkungan keluarga saya sendiri, saya merasa


terkucilkan.”
50

Diskriminasi lain yang dialami oleh subjek adalah perlakuan

yang berbeda dari ayah subjek dimana ayah subjek sering mengambil

uang tabungan milik subjek dan menyuruh subjek untuk membantu

ibunya di dapur.

“Tanpa sepengetahuan saya, bapak saya tuh kadang ngambil


uang tabungan saya.”
“Kalau ibu saya kerepotan, yang dipanggil cuma saya sama
bapak saya.”

Salah satu coping yang dilakukan oleh subjek III dalam

menghadapi diskriminasi di masa kecilnya, terutama perlakuan yang

berbeda dari ayahnya adalah mencoba mengambil sisi positif dari

pengalaman diskriminasi tersebut.

“…salah satu kelebihan yang saya bisa saya ambil. Saya jadi
bisa masak, jadi seneng di dapur.”

Selain coping yang dilakukan oleh subjek III tersebut, ada figur

support yang berperan dengan kaitannya dalam pengalaman

diskriminasi subjek, yaitu tante dan nenek subjek. Tante dan nenek

subjek tersebut berperan sebagai figur pelindung bagi subjek, dimana

mereka senantiasa membela subjek saat subjek mengalami perlakuan

diskriminasi, terutama diskriminasi verbal dari peer group.

“Kadang saya nangis terus pulang. Nanti embah saya yang


marahin, seperti itu. Saya masih ada perlindungan walaupun bukan
dengan ibu saya.”
“Aku diejek gitu, nanti aku nangis. Nanti bulikku datang ngasi
tahu ke mereka.”
51

Sementara itu, pengalaman diskriminasi yang dialami oleh

subjek III saat dewasa sedikit berbeda dengan masa kecilnya. Saat

dewasa, subjek III mengalami diskriminasi verbal dan diskriminasi

pekerjaan. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek adalah berupa

ejekan dari masyarakat jika subjek sedang berada di jalan dan ancaman

dari kakak subjek yang awalnya belum bisa menerima keadaan subjek

sebagai waria.

“Pertama kali kakak saya yang paling besar yang tidak bisa
menerima keberadaan saya yang seperti ini dan sempat mengancam
“awas kalau kamu pulang lagi dengan keadaan dandan, kamu tak
pukulin.”
“Ya “banci banci”. Dengan kata -kata “mut mut, sedot sedot
seperti itu”. Kata -kata melecehkan.”

Bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh subjek adalah

diskriminasi pekerjaan, dimana subjek sering ditolak saat melamar

pekerjaan karena statusnya sebagai waria.

“Eee kalau diskriminasi yang dulu sering saya rasakan itu


diskriminasi pekerjaan… maaf kita nggak nerima tenaga kerja
waria.”

Figur support yang berperan saat dewasa berbeda dengan saat

subjek masih kecil. Figur support yang berperan adalah ibu subjek,

dimana ibu subjek berperan sebagai pelindung dan pemberi nasehat.

Ibu subjek melindungi subjek dengan memberi pemahaman kepada

keluarga tentang jalan hidup yang dipilih oleh subjek. Selain itu, ibu

subjek juga memberikan nasehat kepada subjek agar lebih sabar dan

bertanggung jawab / konsekuen dengan jalan hidup yang telah dipilih.


52

“Tapi Alhamdulilah dengan kejujuran ibu saya “ya sudah itu


sudah menjai pilihan hidup dia, ya sudah mau gimana lagi”
“Ibu saya pernah bilang “kamu jangan marah kalau dikatain
banci karena kamu memang banci. Itu kan yang kamu pilih, jalan ini
kan yang kamu pilih. Ya mungkin mereka ketawain kamu karena
maklumlah laki-laki dandan mungkin bagi mereka lucu. Kamu
jangan marah. Kalau kamu memang banci dikatain banci banci,
jangan marah. Kalau kamu banci, diketawain jangan marah juga.
Biarkan saja.”

Setidaknya terdapat 4 bentuk coping yang dilakukan oleh

subjek dalam menghadapi diskriminasi yang dialami oleh subjek.

Pertama, subjek III merasa harus memiliki kelebihan dan harus

menunjukkan kemampuannya kepada masyarakat agar dapat

menunjukkan bahwa dirinya mempunyai sisi yang lebih. Sisi yang

lebih tersebut ditunjukkan oleh subjek dengan keterampilan-

keterampilan yang dimiliki oleh subjek, misalnya keterampilan di

dalam dunia kecantikan dan fashion.

“Ya sudah, meskipun saya waria, initnya harus berprestasi.”


“Saya harus bisa kemampuan-kemampuan saya meskipun saya
waria, akan saya perlihatkan kepada mereka.”
“Meskipun saya waria, saya bisa menjahit. Saya bekerja di
modiste dan hasilnya saya berikan pada ibu saya. Akhirnya mereka
mau menerima keberadaan saya.”
“Oke meskipun saya seorang waria ya saya harus memiliki sisi
yang lain, sesuatu yang lebih, yang belum tentu orang-orang
heteroseksual memilikinya, salah satunya keterampilan.”

Relasi yang baik dengan tetangga juga dapat terjalin dengan

sifat subjek yang ringan tangan kepada tetangga, sehingga pada

akhirnya mereka bisa menerima subjek.


53

“….saya kebetulan kalau dengan tetangga-tetangga enteng


tenagane.”
“Jadi, eee tetangga-tetangga saya pun akhirnya bisa menerima.”

Coping yang lain adalah subjek berusaha selalu berpegang pada

norma yang ada, dimana subjek tidak ingin terpengaruh dengan hal- hal

yang negatif.

“…saya waria, jangan sampai saya terus kepengaruh teman-


teman yang negatif.”

Karena seringnya mendapat perlakuan diskriminasi, saat ini

subjek sudah bisa menerima (acceptante) perlakuan diskriminasi dan

sudah tidak menganggap itu sebaga i bentuk diskriminasi lagi. Sikap

menerima yang ditunjukkan oleh subjek tersebut juga merupakan

bentuk pengakuan subjek terhadap statusnya sebagai waria.

“Saking seringnya, itu bukan saya anggap diskriminasi karena


seringnya lho. Itu menjadi makanan tiap hari. Udah kebal.”
“Nggak pernah marah saya dikatain banci banci karena
memang saya banci.”

d. Mbak Bella

Subjek IV mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil

maupun saat dewasa. Ada perbedaan bentuk diskriminasi yang dialami

oleh subjek IV saat masih kecil dan saat subjek IV dewasa. Saat masih

kecil, subjek IV mengalami diskriminasi verbal dan kekerasan fisik.

Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek IV berupa ejekan dan

makian dari peer group.

“Aku sering diejekin banci sama temen-temenku.”


54

“Pas kecil itu aku sering diejek-ejek banci banci sama teman-
temanku di sekolah ya di rumah”
“Aku dimarahi habis-habisan sama kakakku…”
“Banyak teman-temanku yang suka ngejek aku banci banci
gitu.”

Sementara itu, kekerasan fisik yang dialami oleh subjek adalah

hampir dipukul oleh kakaknya karena tidak bisa menerima keadaannya

sebagai waria.

“…sama kakakku, hampir dipukul juga.”

Ada 2 bentuk coping yang dilakukan oleh subjek IV. Pertama

adalah katarsis, yaitu dengan menangis saat diejek oleh teman-

temannya.

“Tapi aku pas itu cuma bisa nangis terus pulang ke rumah.”
“Tapi aku cuma diem aja. Paling aku pulang terus nangis.”

Kedua adalah menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi

yang ditujukan kepadanya dengan mencoba lebih sabar.

“Dari situ aku belajar untuk lebih sabar.”

Figur support yang berperan dalam kaitannya dengan

pengalaman diskriminasi pada subjek IV saat masih kecil adalah ibu,

dimana ibu subjek berperan sebagai penghibur dan pemberi nasehat.

Ibu subjek senantiasa menghibur subjek saat subjek mengadu

mendapat perlakuan diskriminasi.

“Nanti ibuku yang ngibur gitu.”


55

“Aku sering ngadu sama ibuku gitu. Ibuku selalu berusaha


menghiburku dan meyakinkan akau kalau aku harus bisa
membiarkan mereka.”

Ibu subjek juga memberi nasehat kepada subjek agar tidak

menanggapi dan menganggap bahwa orang-orang yang

mendiskriminasikan subjek hanya bercanda.

“Ibuku selalu bilang “diemin aja mereka. Jangan dibales yo.


Mereka ki ming guyon”.

Sedikit berbeda dengan pengalaman diskriminasi saat subjek

masih kecil, bentuk diskriminasi yang dialami subjek IV pada saat

dewasa adalah diskriminasi verbal dan diskriminasi pekerjaan.

Diskriminasi verbal yang dialami subjek berupa ejekan dari

masyarakat dan makian oleh kakak.

“.Aku dimarahin terus sama kakak ku.”


“Pas ngamen itu ya kadang diejek banci banci.”
“Misalnya kalau pas di jalan gitu, ntar ada orang terus dia
teriak banci banci.”

Diskriminasi lain yang dialami oleh subjek IV adalah

diskriminasi pekerjaan dimana subjek IV pernah tidak diterima bekerja

karena statusnya sebagai waria.

“Aku pernah nggak diterima kerja di sebuah salon karena


statusku yang waria ini.”

Figur support yang berperan dalam kaitannya pengalaman

diskriminasi saat subjek dewasa adalah ibu dan adik subjek. Ibu subjek

berperan sebagai pemberi nasehat dimana ibu subjek memberikan


56

nasehat kepada subjek agar subjek tetap berpegang pada norma dan

agar subjek bersabar dalam menghadapi para pelaku diskriminasi.

“Kalau ibuku sih nggak masalah asalkan aku tidak berbuat


aneh-aneh, tetap di jalan yang benar. Maksudnya ya tetap punya
sopan santun, jangan nyuri dan lain-lain lah.”
“…yang diajarkan sama ibuku selama ini tidak lain adalah aku
harus belajar sabar menghadapi teman-temanku.”

Adik subjek juga memiliki peran dalam kaitannya dengan

pengalaman diskriminasi, yaitu berperan sebagai pemberi dukungan

dan penerimaan. Adik subjek memberikan dukungan kepada subjek

dalam bentuk penerimaan terhadap status subjek sebagai waria.

“Adikku yang selalu memberikan aku support walaupun dengan


hal-hal yang sepele. Dia tidak pernah protes dengan jalan yang aku
pilih.”

Coping yang dilakukan oleh subjek untuk mengatasi

pengalaman diskriminasi pada masa dewasa pun berbeda dengan

coping yang dilakukan oleh subjek saat masih kecil. Pertama, subjek

berusaha menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang

ditujukan kepadanya dengan bersikap acuh dan berusaha lebih sabar.

Hal ini mungkin disebabkan adanya pengaruh dari figur support,

dimana subjek selalu diajarkan untuk selalu bersabar dalam

menghadapi diskriminasi.

“…aku diemin aja perilaku-perilaku orang-orang yang tidak


mengenakkan itu.”
“Jadi sekarang aku sih kalau diejek atau diapa-apain ya
membiarkan aja.”
“Aku hanya berusaha untuk lebih sabar dan tidak aku balas.”
57

Subjek selalu berusaha tetap berpegang pada norma yang ada,

dengan tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal.

“Aku memang waria tapi yang penting aku tetap di jalan yang
benar. Aku tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal.”

Coping lain yang dilakukan subjek adalah berusaha agar

mempunyai dan menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sebagai

waria, subjek ingin melakukan sesuatu agar bisa memberikan yang

terbaik bagi masyarakat, khususnya keluarga, yaitu ibu. Subjek ingin

membuktikannya dengan menjalani hidupnya dengan sebaik-baiknya

dan menunjukkan kelebihannya, ya itu dengan memiliki keterampilan

yang lain agar masyarakat dapat mengakuinya.

“Aku harus melakukan sesuatu, aku nggak boleh diam saja, aku
harus membuktikan sama keluargaku kalau aku bisa.”
“Aku menjalani hidupku dengan sebaik -baiknya.”
“Aku harus memberikan yang terbaik untuk orang khususnya
untuk keluargaku.”
“Aku harus membuat ibuku bangga.”
“Aku pun harus menunjukkan bahwa aku pun bisa.”
“Walaupun aku waria, aku ya harus bisa mempunyai
keterampilan yang lebih.”
“Aku mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat
bahwa waria pun punya sisi yang lebih”
“Makanya aku pun juga harus menunjukkan kemampuanku.”
“Aku punya kemampuan yang harus kau tunjukkan dan
masyarakat pun hendaknya bisa mengakuinya.”
“Aku berusaha menjalani kehidupanku sebaik-baiknya, menjadi
orang yang berguna, khususnya untuk keluargaku.”
“Aku berusaha menjalani kehidupanku dengan sebaik mungkin
dan sebenar mungkin agar masyarakat sadar, tahu sendiri dan sadar
sendiri bahwa waria tidak layak untuk didiskriminasi karena waria
juga punya sisi yang lebih.”
58

e. Mbak Angel

Subjek V mengalami diskriminasi, baik saat masih kecil

maupun saat dewasa. Subjek V memiliki kesamaan bentuk

diskriminasi saat masih kecil maupun dewasa, yaitu hanya mengalami

diskriminasi verbal saja. Diskriminasi verbal yang dialami oleh subjek

saat masih kecil berupa ejekan dari peer group, yaitu dari teman-

temannya.

“Kadang teman-temanku di sekolah sama di rumah itu suka


nriakin aku banci banci gitu.”
“Nanti teman yang laki tuh pada ngatain aku banci bencong
gitu.”

Coping yang dilakukan oleh subjek adalah menerima

(acceptance) dengan bersikap acuh dan berusaha untuk bersabar

menghadapi pengalaman diskriminasi yang dialami.

“Tapi aku masih cuek karena aku masih belum bisa mikir jauh
gitu.”
“Aku cuma diam aja dan berusaha nggak marah kalau dikatain
sama teman-temanku.”
“Aku harus sabar juga.”

Mencari support juga dilakukan oleh subjek, yaitu dengan

mengadu / bercerita kepada ibu subjek.

“Nanti kalau di rumah aku certain ke ibuku…”

Figur support yang berperan adalah ibu, yaitu berperan sebagai

pemberi nasehat dimana ibu subjek memberikan nasehat kepada subjek

untuk tidak boleh marah saat mengalami perlakuan diskriminasi.


59

“Ibuku cuma bilang kalau aku nggak boleh marah gitu. ntar
kalau marah, Allah nggak suka.”

Sama halnya dengan saat subjek masih kecil, subjek juga

mengalami pengalaman diskriminasi verbal saat dewasa, yaitu berupa

ejekan dari peer group.

“Aku ya diejekin gitu waktu di jalan. Aku dipanggil banci


bencong gitu.”
“Aku waktu itu jalan kaki pas itu aku lewat di depan
segerombolan anak -anak muda terus mereka manggil aku banci
banci.”

Figur support yang berperan adalah ibu, yaitu sebagai pemberi

nasehat dimana ibu subjek memberikan nasehat kepada subjek agar

subjek bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil dan sabar

dalam menghadapi diskriminasi.

“Ibuku hanya memberi pesan bahwa aku harus tetap


bertanggung jawab dengan keputusan yang aku ambil ini, dengan
jalan yang aku pilih sebagai waria ini.”
“Ibuku selalu memberi nasehat agar aku sabar jika ada yang
mengejek keadaannku seperti ini.”

Terdapat 2 bentuk coping yang dilakukan oleh subjek, yaitu

acceptance dan konsekuen. Sikap menerima (acceptance) dalam

menghadapi diskriminasi ditunjukkan oleh subjek dengan berusaha

diam saja dan acuh saat mendapat perlakuan diskriminasi. Di samping

itu, subjek berusaha untuk bersabar dan beradaptasi / membiasakan diri

dengna lingkungan yang belum semua bisa menerima keberadaan

waria.
60

“Aku berusaha diam saja.”


“Aku kan belajar untuk sabar seperti nasehat dari ibu sejak
kecil.”
“…aku anggap lalu saja sih. Masuk telinga kanan, keluar telinga
kiri.”
“Aku aja yang harus beradaptasi, membiasakan diri dengan
lingkungan yang memang pada kenyataannya belum semua orang
bisa menerima keberadaan waria.”
“Aku memang hanya diam saja dan tidak mau meladeni mereka
apalagi kalau membalas perbuatan mereka.”
“Aku bisa bersikap lebih sabar karena ibu.”
“Aku juga harus bisa beradaptasi, membiasakan diri dengan
lingkungan.”
“Aku juga harus bisa beradaptasi dengan cemoohan orang-
orang yang bisa datang kapan saja, dimana saja dan tanpa aku
duga.”

Selain acceptance, subjek juga berusaha konsekuen dengan

bertanggung jawab dengan jalan hidup yang diambil, yaitu sebagai

waria. Tanggung jawab subjek tersebut dimaksudkan agar kepercayaan

dari keluarga subjek tidak hilang. Konsekuensi subjek terhadap

tanggung jawabnya tersebut mungkin disebabkan karena adanya

pengaruh dari figur dupport, yaitu ibu yang memberikan nasehat

kepada subjek agar bertanggung jawab denga n jalan hidup yang

diambil, yaitu sebagai waria.

“Dari kepercayaan itu aku harus membuktikan bahwa aku akan


bertanggung jawab dengan keputusan, dengan jalan sebagai waria
yang aku ambil ini.”
“Aku selalu berpegang teguh sama pesan ibuku bahwa aku
harus bertanggung jawab.”
“Aku juga nggak mau aneh-aneh dan membuat kepercayaan
keluargaku jadi ilang.”
“Aku bisa membuktikan kepada orang tua dan masyarakat
bahwa aku bisa dan aku bisa menjaga kepercayaan orang tuaku.”
61

2. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain

a. Mbak Arum

Aku adalah waria yang berprestasi dari kecil.

“Aku main boneka-bonekaan, main pasaran.”


“Aku sudah seneng lihat sosok laki-laki kok deg-degan gitu ya,
ser-seran gitu ya.”
“Aku memang sudah menerima kalau aku waria.”
“Aku sangat menonjol ketika SMP, karena eee waktu itu aku
juga ikut eee kursus tari di tempatnya Yati Pesek.”
“Aku memang sangat menonjol karena setiap ada lomba itu aku
pasti ikut dan lomba antar sekolah itu aku yang diajuin.”

Aku selalu percaya diri dalam mencari pekerjaan kemudian

memberikan timbal balik dan membawa diri setelah diberi

kepercayaan.

“Aku memberanikan diri, PD, memberanikan diri untuk masuk ke


situ (lowongan Delicia Bakery).”
“Aku timbul eee timbal balik yang harus saya berikan ke yang
empunya (orang yang telah memberikan pekerjaan).”
“Aku bilang bahwa PD itu nomer satu.”
“Aku bawa diri.”

Aku diterima di dalam keluarga, maka aku harus bisa

memberikan timbal balik dengan membahagiakan orang tuaku.

“Aku harus memberikan yang terbaik buat mereka (keluarga)


juga, buat orang tuaku juga.”
“Aku sih memberi timbal balik (pada keluarga).”
“Aku diterima di keluarga.”
“Aku tidak pernah mendapat kekerasan dari keluarga bahkan
aku setiap mempunyai keinginan sela lu didukung.”
“Aku bisa membantu orang tua.”
“Aku bisa membahagiakan orang tua.”
62

Aku berusaha memiliki relasi yang baik dengan masyarakat

sekitar, sehingga mereka juga bisa menerimaku sebagai waria karena

aku mempercayai bahwa hukum karma masih berlaku. Mereka

(masyarakat) mendiskriminasikan waria karena mereka tidak mengenal

dunia waria. Aku harus menunjukkan bahwa aku bisa seperti yang lain.

“Aku lebih sering dimintain bantuan di masyarakat.”


“Aku selalu memberikan yang terbaik juga buat kampung.”
“Aku tuh sabar, nggak pernah nyakitin kalian.”
“Aku memang pada dasarnya masa bodoh.”
“Aku memang orangnya cuek.”
“Aku juga bisa seperti yang lain.”
“Aku harus menunjukkan kalau aku mampu dan bertanggung
jawab.”
“Aku percaya pada hukum karma pasti berlaku.”
“Mereka itu belum tahu tentang waria .”

b. Mbak Rully

Saya adalah waria yang harus mempunyai prestasi, sehingga

teman-teman sekolah saya bisa menghormati saya.

“Aku memang sudah menjalani hidup sebagai waria sejak kecil.”


“Saya terpilih menjadi ketua OSIS Negeri 1 Perak Surabaya dan
teman-teman mulai menghormati, menaruh rasa hormat dan segan
terhadap saya.”

Saya menjadi korban dalam masyarakat dimana saya merasa

tidak mempunyai kekuatan dan perlindungan karena saya dianggap

sebagai figur yang aneh dan tidak wajar di mata masyarakat.

“Saya merasakan terisolasi sekali dengan kehidupan.”


“Saya merasa sekali betapa apa namanya banyak sekali orang
seperti yang meremehkan dan terasa ada sampai murid-murid saya
seperti mengejek, saya begitu tidak betah.”
“Saya mengalami pengalaman pahit yang cukup panjang.”
63

“Saya berjuang untuk bisa diterima sebagai waria.”


“Saya tidak mempunyai kekuatan.”
“Saya tidak mempunyai perlindungan hukum pada saat saya
dandan.”
“Saya itu dilihat sebagai apa namanya figur yang eee apa ya
aneh mungkin buat dia (teman kuliah).”
“Saya tidak dipandang wajar.”

Mereka juga memiliki pemahaman yang kurang tentang dunia

waria.

“Pemahaman mereka terhadap dunia waria itu sangat


terbatas.”

Mereka mengganggap bahwa waria merupakan suatu

penyimpangan.

“Pola pikir mereka, menurut mereka yang benar itu menjadi


laki-laki atau perempuan saja. Jadi, kalau tidak menjadi seperti itu,
waria ya bagi mereka dianggap menyimpang.”

Saya hanya bisa berusaha untuk menyesuaiakan diri dengan

lingkungan dan memberikan pemahaman tentang dunia waria agar

masyakarat bisa menerima keberadaan waria.

“Saya selalu apa namanya memberikan pemahaman.”


“Saya berharap agar masyarakat mau menerima keberadaan
waria.”
“Saya juga melakukan sesuatu agar pengharapan saya itu
terwujud ya dengan memberikan pemahaman tentang dunia waria.”
“Saya membutuhkan penyesuaian secara khusus.”
“Saya butuh kemampuan secara integral untuk bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi dimana saya berada saat itu.”

\
64

c. Mbak Tika

Saya adalah seorang waria.

“Saya sudah merasakan hal yang berbeda sejak kecil.”


“Saya suka main kalau orang Jawa bilang main boneka, anak -
anakan.”
“Saya tuh merasa kalau lihat cowok -cowok yang ganteng-
ganteng tuh seneng.”
“Saya bisa membedakan mana cowok yang ganteng mana yang
nggak ganteng.”
“Saya dari kecil memang tertarik dengan laki-laki.”
“Saya tuh senang waktu ngliat laki-laki, ngintip seperti itu.”

Saya harus menunjukkan kemampuan saya terutama kepada

keluarga dan masyarakat agar mereka bisa menerima keberadaan saya

sebagai waria karena mungkin bagi mereka saya adalah lelucon.

“Saya harus berprestasi walaupun saya waria.”


“Saya harus bekerja.”
“Saya harus mempunyai kemampuan-kemampuan meskipun saya
waria.”
“Saya akan memperlihatkan kepada mereka (keluarga)
kemampuan saya.”
“Saya enteng tenagane (ringan tangan) kalau di tetangga-
tetangga.”
“Saya sekarang mungkin saya harus bisa benar-benar memilih
jalan yang benar.”
“Saya jangan sampai kepengaruh teman-teman yang negatif.”
“Saya harus bisa benar-benar menjaga, jangan sampai keliru
salah jalan.”
“Saya sadar dengan status saya (waria).”
“Saya tuh hanya sekedar batu loncatan, having fun aja gitu.”
“Mungkin saya lucu bagi mereka (masyarakat) karena laki-laki
tapi dandan.”
65

d. Mbak Bella

Aku adalah seorang waria.

“Aku dari kecil emang udah nggak kayak anak laki-laki


lainnya.”
“Aku lebih seneng dolanan pasaran, ibu-ibuan pakai boneka
gitu.”
“Aku dari kecil udah merasa ada yang beda dari anak laki-laki
lainnya.”
“Aku udah menjalani statusku sebagai waria.”

Aku harus berguna bagi masyarakat dan keluarga dengan

menunjukkan kemampuan-kemampuanku agar mereka bisa menerima

keberadaanku sebagai waria.

“Aku harus melakukan sesuatu, aku nggak boleh diam saja, aku
harus membuktikan sama keluargaku kalau aku bisa.”
“Aku harus memberikan yang terbaik untuk orang khususnya
keluargaku.”
“Aku harus membuat ibuku bangga.”
“Aku harus menunjukkan bahwa aku pun bisa.”
“Aku waria, aku ya harus bisa mempunyai keterampilan yang
lebih.”
“Aku pun juga harus menunjukkan kemampuanku.”
“Aku punya kemampuan yang harus aku tunjukkan dan
masyarakat pun hendaknya bisa mengakuinya gitu.”
“Aku memang waria tapi yang penting aku tetap di jalan yang
benar.”
“Aku tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal.”
“Aku bisa membuktikan bahwa aku mampu, memiliki sisi yang
lebih yang bisa aku banggakan.”
“Aku bisa punya kemampuan di dunia kecantikan yang belum
tentu orang lain punyai.”
“Aku berusaha menjalani kehidupanku dengan sebaik -baiknya,
menjadi orang yang berguna khususnya keluargaku.”

Mereka (masyarakat) mendiskriminasikan waria karena mereka

merasa terganggu dengan keberadaan waria karena mereka tidak tahu


66

dan bahkan tidak mau tahu tentang dunia waria. Waria hanya di

pandang negatif dan aneh oleh masyarakat

“Aku ini dianggap aneh oleh masyarakat karena aku berbeda


dari mereka.”
“Orang-orang merasa terganggu dengan kehadiran waria di
tengah-tengah mereka.”
“Mereka itu kebanyakan belum tahu dan bahkan tidak mau tahu
tentang dunia waria.”
“Image waria itu kebanyakan negatif di mata masyarakat.”

e. Mbak Angel

Aku adalah seorang waria.

“Aku udah beda sama anak laki-laki lainnya.”


“Aku tuh nggak doyan mainan laki.”
“Aku doyannya mainan perempuan gitu.”
“Aku malah sering main anak -anak cewek.”
“Aku sering main boneka-bonekaan.”
“Aku suka pakai daster ibuku.”

Aku adalah waria yang harus bisa membuktikan kepada

masyarakat dan keluarga bahwa aku harus bertanggung jawab dengan

jalan hidup sebagai waria yang aku ambil.

“Aku harus membuktikan bahwa aku akan bertanggung jawab


dengan keputusan, dengan jalan sebagai waria yang aku ambil ini.”
“Aku juga nggak mau aneh-aneh dan membuat kepercayaan
keluargaku jadi ilang.”
“Aku bisa membuktikan kepada orang tua dan masyarakat
bahwa aku bisa dan bisa menjaga kepercayaan orang tuaku.”

Aku juga harus menunjukkan bahwa aku memiliki sisi lebih,

yaitu bakat dan mempunyai kemampuan-kemampuan yang belum


67

tentu dimiliki oleh orang hetero agar masyarakat bisa menerima

keberadaan waria.

“Aku bisa buktiin kalau aku mampu di dunia kecantikan.”


“Aku hanya ingin menunjukkan kepada orang, khususnya kepada
keluarga bahwa aku juga bisa memiliki kemampuan, bahwa aku
memiliki sisi lebih, bahwa aku juga bisa berguna gitu.”
“Aku harus menunjukkan bakat-bakatku.”
“Aku harus mengembangkan kemampuan yang aku punyai biar
nggak cuma sia -sialah.”
“Aku punya keterampilan yang belum tentu orang lain bisa,
bahkan orang hetero sekalipun.”

Aku hanya bisa sabar dan berusaha beradaptasi dengan

lingkungan yang belum semuanya bisa menerima keberadaan waria.

“Aku kan belajar untuk sabar seperti nasehat dari ibuku sejak
kecil.”
“Aku hanya diam saja saat aku diejekin mereka sendiri.”
“Aku memang hanya diam saja dan tidak meladeni apalagi
kalau membalas perbuatan mereka.”
“Aku belajar untuk lebih sabar.”
“Aku juga harus bisa beradaptasi, membiasakan diri dengan
lingkungan.”
“Aku juga harus bisa beradaptasi dengan cemoohan orang-
orang yang bisa datang kapan saja, dimana saja dan tanpa aku
duga.”

3. Ringkasan umum

a. Pengalaman diskriminasi dan cara mengatasi

Bentuk diskriminasi yang dialami oleh waria saat masih kecil

adalah diskriminasi verbal yang sebagian besar dilakukan oleh peer

group yang biasanya adalah oleh teman-temannya sendiri. Sebagian

waria juga mengalami kekerasan fisik, pengucilan dan mendapat

perlakuan yang berbeda di dalam keluarga.


68

Sama halnya dengan masa kecilnya, waria juga memiliki

pengalaman diskriminasi saat dewasa. Biasanya, bentuk diskriminasi

yang dialami oleh waria saat dewasa adalah diskriminasi verbal.

Namun, ada juga yang mengalami kekerasan fisik, diskriminasi

pekerjaan dan pengucilan.

Coping yang dilakukan oleh waria saat masih kecil adalah

berusaha menerima (acceptance) perlakuan diskriminasi yang

dialaminya. Tentunya ada banyak bentuk dari sikap menerima tersebut.

Misalnya saja, menerima karena memang sudah mengakui statusnya

sebagai waria ataupun karena berusaha untuk lebih sabar. Coping lain

yang dilakukan adalah katarsis, yaitu dengan menangis saat mendapat

perlakuan diskriminasi dan mencari support, misalnya me ngadu

kepada ibu. Ada juga yang mencoba mengambil sisi positif dari

pengalaman diskriminasi yang dialami.

Coping yang dilakukan oleh waria saat dewasa cenderung lebih

bervariasi. Namun, yang paling utama adalah mencoba menerima

(acceptance) perlakuan diskriminasi tersebut. Sikap menerima tersebut

memiliki beberapa bentuk, misalnya menerima karena memang

sebagai bentuk pengakuan status kewariaan, menerima karena

mencoba bersabar dan tidak mau menggunakan emosi ataupun

menerima karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang

memang belum semua bisa menerima keberadaan waria. Namun, ada

juga yang menghadapi diskriminasi dengan menunjukkan kemampuan


69

yang dimiliki, tetap berpengang pada norma yang berlaku dan

mengenalkan dunia waria kepada masyarakat agar masyarakat bisa

mengetahui bahwa waria memiliki sisi yang lebih dan secara tidak

langsung agar diskriminasi terhadap kaum waria berkurang. Ada

beberapa coping lain yang digunakan oleh waria dalam menghadapi

pengalaman diskriminasi, yaitu berharap agar masyarakat bisa

menerima keberadaan waria, meminta pertolongan Tuhan, membawa

diri, konsekuen dengan bertanggung jawab atas jalan hidup sebagai

waria yang diambil dan percaya diri. Namun, ada juga yang membalas

dan melapor kepada yang berwajib jika mengalami kekerasan fisik.

Dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi, ada juga

figur support yang berperan. Biasanya, figur support yang berperan

adalah ibu yang berperan sebagai pelindung maupun sebagai pemberi

nasehat. Peran ibu sebagai pelindung ditunjukkan dengan pembelaan

yang dilakukan oleh ibu saat anak yang sebagai waria mendapat

perlakuan diskriminasi. Tak hanya itu, ibu juga memiliki peran lain,

yaitu sebagai pemberi nasehat dimana biasanya ibu memberikan

nasehat kepada anaknya agar anaknya sabar dan tidak membalas jika

mendapat perlakuan disrkiminasi.

Saat dewasa, waria juga tetap memiliki figur support. Figur

support yang paling dominan adalah ibu yang berperan sebagai

pemberi nasehat dan pelindung. Peran ibu sebagai pemberi nasehat

ditunjukkan dengan sikap ibu yang memberi nasehat kepada anaknya


70

yang bisanya mengajarkan anakknya untuk selalu sabar dalam

mengahadapi diskriminasi yang terjadi ataupun member nasehat agar

waria konsekuen dengan jalan hidup yang diambil dengan tetap

berpegang pada norma yang berlaku. Ada juga yang mendapat

dukungan dan penerimaan dari ayah dan adik.

b. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain

Dari hasil analisis mengenai diri waria dapat dilihat bahwa

setiap subjek memiliki kediriannya masing- masing. Dari 5 subjek

tersebut, mereka semua mengakui tentang statusnya sebagai waria

yang memang sudah dirasakan oleh mereka sejak kecil.

Waria menganggap bahwa kebanyakan dari masyarakat hanya

melihat waria dari hal negatif saja. Padalah mereka juga ingin diakui

bahwa mereka juga memiliki sisi lebih yang bisa dibanggakan dan

mungkin tidak dimiliki oleh orang hetero. Pandangan negatif tentang

waria tersebut mungkin disebabkan karena masyarakat tidak

mengetahui seluruhnya tentang dunia waria. Pengetahuan masyarakat

tentang dunia waria masih dinilai kurang oleh waria. Bagi mereka

(baca : waria), sebagian masyarakat juga menganggap bahwa waria

adalah figur yang aneh dan tidak wajar, sehingga mungkin terkadang

mereka sering dianggap sebagai lelucon karena berdandan. Di mata

masyarakat hanya diakui laki- laki dan perempuan, sehingga terkadang


71

waria juga dianggap sebagai penyimpangan. Oleh beberapa sebab

itulah masyarakat mendiskriminasikan waria.

Walaupun masyarakat memiliki pandangan yang cenderung

negatif tentang waria dan mendiskriminasikan waria, kebanyakan dari

waria berusaha untuk sabar dalam menghadapinya. Waria tidak

berusaha tidak marah dan menggunakan emosi. Bahkan ada yang

bersikap acuh dengan hal itu. Karena pandangan masyarakat yang

cenderung negatif itulah, maka waria ingin menunjukkan kemampuan-

kemampuan yang dimiliki kepada orang lain, khususnya kepada

keluarga karena sebagian dari mereka tidak diterima dalam keluraga

karena statusnya sebagai waria. Pembuktian kemampuan tersebut juga

dikarenakan mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bertanggung

jawab dengan jalan yang diambil, yaitu sebagai waria. Selain kepada

keluarga, waria juga ingin menunjukkan kepada masyarakat luas

bahwa waria juga memiliki sisi lebih, misalnya dalam bidang

kecantikan dan fashion yang belum tentu dimiliki oleh orang hetero.

Relasi yang baik dengan orang lain, khususnya dengan tetangga juga

selalu di jalin oleh waria. Mereka harus melakukan itu semua karena

sebagian dari mereka kemudian mendapat penerimaan dari masyarakat

dan keluarga dan secara tidak langsung diskriminasi terhadap waria

bisa berkurang. Namun, ada juga yang mencoba memberikan

pemahaman atau pengetahuan kepada masyarakat tentang dunia waria

dengan cara mengadakan talk show, diskusi public maupun kampanye-


72

kampanye. Waria juga melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan

yang memang belum semua bisa menerima keberadaan waria.


73

Tabel 3
Ringkasan Central Theme dan General Theme
Pengalaman Diskriminasi dan Coping

SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III SUBJEK IV SUBJEK V


(Mbak Arum) (Mbak Rully) (Mbak Tika) (Mbak Bella) (Mbak Angel)
MASA Bentuk • Diskriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi
KECIL diskriminasi verbal verbal verbal verbal verbal
• Kekerasan • Pengucilan • Kekerasan
fisik • Perlakuan fisik
berbeda
dari ayah

Coping • Acceptance • Mengambil • Acceptance • Acceptance


sisi positif • Katarsis • Mencari
support

Figur • Peran ibu • Nenek • Ibu berperan • Ibu berperan


Support sebagai berperan sebagai sebagai
pelindung sebagai pemberi pemberi
pelindung nasehat nasehat
• Tante • Ibu berperan
berperan sebagai
sebagai penghibur
pelindung

MASA Bentuk • Dsikriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi • Diskriminasi


74

DEWASA diskriminasi verbal verbal verbal verbal verbal


• Kekerasan • Kekerasan • Diskriminasi • Diskriminasi
fisik fisik pekerjaan pekerjaan
• Pengucilan

Coping • Acceptance • Acceptance • Acceptance • Acceptance • Acceptance


• Belajar sabar • mengenalkan • Harus • Harus • Konsuken
dari orang- dunia waria mempunyai mempunyai
orang yang kepada dan dan
selalu low masyarakat menunjuk menunjuk
profile saat • Meminta kan kan
menghadapi pertolongan kemampuan kemampuan
masalah Tuhan yang yang
• Pengakuan • Bersabar, dimiliki dimiliki
status tidak • Menjalin • Tetap
kewariannya. mengguna relasi sosial berpegang
• Balas budi kan emosi yang baik pada norma
• Kepercayaan • Pengharapan • Tetap
terhadap kepada berpegang
hukum yang masyarakat pada norma
berlaku
• Percaya diri
• Membawa diri
• Membalas

Figur • Dukungan dan • Ibu berperan • Ibu berperan • Ibu berperan • Ibu berperan
Support penerimaan sebagai sebagai sebagai sebagai
75

dari ayah pemberi pelindung pemberi pemberi


nasehat • Ibu berperan nasehat nasehat
sebagai • Dukungan
pemberi dan
nasehat penerimaan
dari adik
76

Tabel 4

Ringkasan General Structure

Cara Subjek Memahami Dirinya dan Orang Lain

SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III SUBJEK IV SUBJEK V


(Mbak Arum) (Mbak Rully) (Mbak Tika) (Mbak Bella) (Mbak Angel)
Aku adalah waria yang Saya adalah waria yang Saya adalah waria yang Aku adalah seorang Aku adalah waria ayng
berprestasi dari kecil, berprestasi, lalu teman- harus menunjukkan waria yang harus harus bisa membuktikan
sehingga aku terlihat teman sekolah saya kemampuan saya berguna bagi masyarakat kepada masyarakat dan
menonjol di antara yang mulai bisa menghormati dan keluarga dengan
terutama kepada keluarga bahwa aku
lain. Aku selalu percaya saya. Saya tidak pernah menunjukkan
diri dalam mencari menggunakan emosi dan keluarga dan masyarakat kemampuan- harus bertanggung
pekerjaan, memberikan kekerasan dalam agar mereka bisa kemampuanku agar jawab dengna jalan
timbal balik dan menghadapi menerima keberadaan mereka bisa menerima hidup sebagai waria
membawa diri setelah diskriminasi tetapi saya saya sebagai waria keberadaanku sebagai yang aku ambil. Aku
diberi kepercayaan. Aku berusaha menunjukkan karena mungkin bagi waria. Mereka juga harus menunjukkan
diterima di dalam sisi kehidupan waria mereka, waria adalah (masyarakat) bahwa aku memiliki sisi
keluarga, maka aku yang lain dengan mendiskriminasikan
figur yang lucu. lebih, yaitu bakat dan
harus bisa memberikan memberikan waria karena mereka
timbal balik dengan pemahaman kepada merasa terganggu mempunyai
membahagiakan orang masyarakat tentang dengan keberadaan keterampilan yang
tuaku. Aku berusaha waria dan berusaha waria karena mereka belum tentu dimiliki
memiliki relasi yang untuk menyesuaikan diri tidak tahu dan bahkan oleh orang hetero agar
baik dengan masyarakat dengan lingkungan. tidak mau tahu tentang
77

sekitar, sehingga mereka Waria adalah korban dunia waria. Waria masyarakat bisa
juga bisa menerimaku dalam masyarakat, belum dikenal dan menerima keberadaan
sebagai waria. Mereka dianggap menyimpang hanya dipandang negatif waria. Aku hanya bisa
(masyarakat) dan kurang dikenal oleh oleh masyarkat.
sabar dan berusaha
mendiskriminasi waria masyarakat.
karena mereka tidak beradaptasi dengan
mengenal dunia waria. lingkungan yang belum
semuanya bisa
menerima keberadaan
waria.
78

C. PEMBAHASAN

1. Pengalaman diskriminasi

Kelima subjek memiliki kesamaan, yaitu memiliki pengalaman

diskriminasi tak hanya saat dewasa, tetapi juga di masa kecilnya. Hal itu

disebabkan karena mereka (baca : waria) sudah terlihat berbeda sejak

kecil. Bentuk diskriminasi yang dialami waria saat masih kecil adalah

diskriminasi verbal. Waria sering mendapat cemoohan atapun ejekan

“banci…banci…”. Sebagian besar pelaku diskrimiansi tersebut adalah

peer group, yaitu temannya sendiri, baik teman di sekolah ataupun tema n

di lingkungan tempat tinggal. Namun, tak jarang juga dilakukan oleh

saudara kandung. Menurut Jones (dalam Whitley, 2006 : 8 – 10), jika

dilihat dari pelakunya, diskriminasi yang dialami oleh waria tersebut

merupakan interpersonal discrimination. Selain mendapat cemoohan,

ternyata ada juga bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh waria di masa

kecilnya, yaitu pengucilan dan mendapat perlakuan berbeda dari keluarga.

Bentuk diskriminasi tersebut bisa digolongkan dalam bentuk institutional

discrimination (Jones dalam Whitley, 2006 : 8 – 10). Keluarga membatasi

hak si anak (waria kecil) karena sudah terlihat kewariaannya dari kecil.

Contoh yang dialami oleh salah satu waria adalah si anak (waria kecil)

lebih sering disuruh membantu ibunya di dapur oleh sang ayah dibanding

dengan saudara-saudaranya yang lain. Menurut sumber dari buku “Jadi

Kau Tak Merasa Bersalah” terbitan Arus Pelangi, kedua bentuk


79

diskriminasi yang dialami oleh waria sejak kecil tersebut tergolong dalam

diskriminasi sosial.

Tak jauh berbeda dengan masa kecilnya, waria juga menga lami

diskriminasi saat dewasa. Diskriminasi yang dialami oleh waria saat

dewasa cenderung lebih kompleks diband ing saat waria masih anak-anak.

Saat dewasa, interpersonal discrimination, yaitu diskriminasi verbal yang

dialami oleh waria sejak keicl ternyata masih juga dialami oleh waria saat

dewasa. Bentuk interpersonal discrimination lain yang juga dialami oleh

waria adalah kekerasan fisik. Sebagai contohnya adalah dilempar batu,

dipukul dan dilempar daun kelor. Kekerasan fisik yang dialami oleh waria

ini menurut sumber terbitan Arus Pelangi merupakan bentuk dari

diskriminasi sosial.

Selain interpersonal discrimination, waria juga mengalami

institutional discrimination saat dewasa. Hal itu Nampak ketika waria

mendapat diskriminasi pekerjaan yang juga dapat digolongkan dalam

bentuk diskriminasi ekonomi. Bentuk institutional discrimination lain

yang juga dialami oleh waria adalah pengucilan yang juga dialami oleh

waria saat masih kecil. Dalam kasus ini, terjadi pembatasan pilihan, hak

mobilitas atau akses informasi dan orang lain (Jones dalam Whitley, 2006

: 8 – 10).

Adanya diskriminasi terhadap waria, baik dalam bentuk

interpersonal discrimination maupun institutional discrimination

disebabkan karena budaya yang ada di tengah masyarakat. Jadi,


80

interpersonal discrimination dan institutional discrimination berakar dari

cultural discrimination. Kedua bentuk diskriminasi tersebut dapat terjadi

karena adanya budaya, gaya atau pola pikir yang ada di tengah

masyarakat. Di masyarakat, biasanya yang digunakan adalah gaya atau

pola pikir dari kaum mayoritas, yang kemudian dijadikan sebagai budaya

dalam suatu masyarakat. Selama ini, hanya ada dua kelamin yang secara

objektif diakui oleh masyarakat, yakni laki- laki dan perempuan.

Klasifikasi tersebut mengakibatkan hadirnya penilaian tentang perilaku

bahwa laki- lai harus sesuai laki- laki dan perempuan juga sebagaimana

layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku di luar klasifikasi

tersebut akan dianggap menyimpang oleh masyarakat.

2. Cara mengatasi diskriminasi dan figur support

Cara yang paling sering digunakan oleh waria saat masih kecil

untuk menghadapi perlakuan diskriminasi adalah dengan bersikap

menerima (acceptance). Kebanyakan dari mereka (baca : waria kecil)

berusaha menerima dengan bersabar dan juga menerima karena mereka

memang sudah mengakui statusnya sebagai waria sejak kecil. Menurut

Carver (dalam Bishop, 1994 : 156), sikap acceptance yang dilakukan oleh

waria merupakan sikap menerima stressor karena mungkin keadaan

permasalahan yang diala mi tersebut sulit untuk diubah.

Cara lain yang dilakukan oleh waria untuk mengatasi perlakuan

diskriminasi adalah dengan melakukan katarsis emosi, yaitu dengan


81

menangis. Menurut Carver (dalam Bishop, 1994 : 156), kedua bentuk

tersebut, yaitu acceptance dan katarsis emosi merupakan bentuk dari

coping yang berfkous pada emosi (emotion-focused coping). Coping ini

berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi, baik

marah, cemas atau duka cita (Lazarus dalam Travis, 2007 : 303). Individu

yang bersangkutan berusaha mengurangi respons-respons emotional

negatif yang muncul akibat dari suatu ancaman dan meningkatkan afek-

afek positif (Folkman dalam Byrne, 2005 : 242).

Bentuk lain yang dilakukan oleh waria saat masih kecil untuk

mengatasi perlakuan diskriminasi adalah mencoba mengambil sisi positif

dari pengalaman diskriminasi yang dialaminya tersebut. Suatu masalah

dapat dipikirkan dengan cara yang berbeda atau lebih sering disebtu

dengan reappraisal (menilai / meninjau kembali) (Travis, 2007 :304).

Suatu masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat

diubah menjadi keuntungan. Reappraisal meningkatkan kesejahteraan dan

mengurangi emosi-emosi negatif (Gross dalam Travis, 2007 : 304).

Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati, kecemasan

menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi perasaan memiliki

kesempatan (Folkman dalam Travis, 2007 : 304).

Tak jauh berbeda dengan cara yang dilakukan pada masa kecilnya,

waria juga mengatasi perlakuan diskriminasi yang menimpanya dengan

bersikap menerima (acceptance). Namun, bentuk dari sikap menerima

(acceptance) tersebut lebih bervariasi. Selain karena merupakan bentuk


82

pengakuan status kewariaannya, waria juga ingin berusaha sabar, tidak

ingin menggunakan emosi dan belajar untuk lebih beradaptasi dengan

lingkungan yang memang pada kenyataannya belum semuanya bisa

menerima keberadaan waria. Di balik sikap acceptance tersebut, tentunya

mereka juga meminta pertolongan Tuhan dan tetap memiliki pengharapan

kepada masyarakat agar suatu saat nanti masyarakat bisa menerima

keberadaan waria.

Selain sikap acceptance, cara lain yang dilakukan oleh waria dalam

mengatasi pengalaman diskriminasi saat dewasa adalah dengan melakukan

behavioral compensation, dimana waria mencoba untuk menunjukkan

kelebihan ataupun kemampuan yang dimilikinya dalam rangka

mengurangi stereotype tentang waria (Miller dalam Whitley, 2006 : 487).

Kebanyakan masyarakat hanya melihat waria dari sisi negatifnya saja.

Selama ini, masyarakat hanya mengekspos waria dengan berita-berita

negatifnya saja, misalnya dengan berita-berita tentang kriminalitas yang

menyangkut waria dan tindakan-tindakan lain yang selama ini mungkin

dipandang negatif oleh masyarakat umum. Waria ingin menunjukkan

bahwa seperti halnya pria maupun wanita, waria juga memiliki potensi dan

bakat serta kemampuan yang seringkali “lebih” dibandingkan dengan apa

yang dimiliki oleh orang kebanyakan (kaum hetero). Kaum waria sering

diidentikkan dengan hal- hal yang berbau feminin, seperti salon ataupun

tata rias wajah dan rambut, masak- memasak, desainer pakaian dan lain-

lain. Waria juga ingin menunjukkan kepada orang lain, terutama kepada
83

keluarga mereka bahwa mereka bertanggung jawab dengan jalan hidup

yang mereka pilih, yaitu sebagai waria.

Cara lain yang dilakukan oleh waria adalah psychological

disengagement, menarik diri dari bagian yang gagal, sehingga dirinya

tidak tergantung pada bagian yang gagal, baik dengan dirinya dan orang

lain (Major dalam Whitley, 2006 : 486). Waria tidak mempedulikan

masalah status kewariaannya, yang penting mereka berusaha memberikan

yang terbaik bagi keluarga dan masyarakat maupun untuk orang lain

dengan berbagai cara. Misalnya, dalam lingkungan pekerjaan, beberapa

dari mereka berusaha memberikan yang terbaik dengan cara berusaha

membalas atau menjaga kepercayaan yang diberikan kepada kaum waria,

yaitu dengan membawa diri. Bentuk lain yang dilakukan oleh waria adalah

dengan tetap berpegang kepada norma yang berlaku dan tetap menjalin

hubungan sosial yang baik dengan orang lain.

Dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi, ada juga figur

support yang berperan, baik di masa kecil maupun saat waria sudah

dewasa. Figur support tersebut secara garis besar berperan membantu

waria mengatasi diskriminasi yang dialami atau bisa juga dikatakan untuk

memberikan dukungan social (social support) bagi waria. Dukungan sosial

merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh

orang lain (Sarason dalam Byrne, 2005 : 244). Berdasarkan hasil yang

diperoleh, figur support yang paling berperan baik di masa kecil dan

dewasa adalah ibu. Ibu berperan sebagai pelindung dengan memberikan


84

pembelaan dan sebagai pemberi nasehat agar waria dapat bersabar dalam

mengatasi diskriminasi yang dialami. Tak hanya ibu, figur support lain

yang ditemukan adalah ayah, adik, tante, nenek. Menurut Frazier (dalam

Byrne, 2005 : 244), dukungan sosial sangat bermanfaat tatkala seseorang

mengalami stress dan merupakan sesuatu yang efektif terlepas dari strategi

mana yang digunakan untuk mengatasi stress. Sebagai alasannya adalah

karena berhubungan dengan orang lain adalah sumber dari rasa nyaman

ketika seseorang merasa tertekan (Morgan dalam Byrne, 2005 : 244).

Secara garis besar, selain mencari dukungan sosial, terdapat 3 jenis

cara yang dilakukan oleh waria untuk mengatasi diskriminasi, yaitu

acceptance, reappraisal, psychological disengagement dan behavioral

compensation. Keempat bentuk tersebut tampak memiliki kaitan dan

merupakan suatu rangkaian. Waria berusaha menerima perlakuan

diskriminasi dari masyarakat karena mungkin bagi mereka, hal itu tidak

bisa diubah. Dalam kenyataannya, masyarakat belum sepenuhnya dapat

menerima keberadaan waria dan begitu pula sebaliknya bahwa mungkin

waria tidak bisa memaksakan bahwa semua masyarakat harus bisa

menerima keberadaan waria sepenuhnya. Untuk itu, waria mencoba

meninjau kembali (reappraisal), berpikir kembali mengenai diskriminasi

yang tak bisa dihindarinya tersebut. Waria tidak peduli atau tidak

memikirkan mengenai masalah statusnya sebagai waria, melainkan waria

memikirkan hal lain yang lebih bisa dijangkau untuk dilakukan. Waria

mencoba melakukan hal- hal lain yang lebih mungkin untuk dilakukan
85

daripada mencoba untuk mengurusi masalah diskriminasi yang tidak

mungkin bisa dihindari. Waria mencoba untuk menunjukkan sisi waria

yang lain dengan menunjukkan kemampuan dan kelebihan-kelebihan yang

dimilikinya (behavioral compensation). Hal yang dilakukan oleh waria

tersebut paling tidak bertujuan agar masyarakat lebih bisa mengenal waria

dan diskriminasi terhadap waria bisa berkurang.

3. Cara subjek memahami dirinya dan orang lain

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat 3 bentuk tipe bagaimana

subjek memahami dirinya dan orang lain terkait dengan pengalaman

diskriminasi. Dapat dilihat bahwa hasil pemahaman tersebut dipengaruhi

oleh pengalaman-pengalaman diskriminasi saat masih kecil, maupun saat

dewasa. Ketiga bentuk tipe tersebut adalah sebagai berikut :

a. Waria hanya kurang dikenali masyarakat

Sebagian besar subjek memiliki pemahaman yang sama

mengenai dirinya dan orang lain dalam kaitannya dengan pengalaman

diskriminasi. Waria mendapat perlakuan diskriminasi dikarenakan

waria tidak dikenal oleh masyarakat. Waria menilai bahwa masyarakat

hanya melihat waria dari salah satu sisi, yaitu sisi negatifnya saja.

Waria dianggap figur yang aneh dan tidak wajar oleh masyarakat

karena masyarakat menanggap waria merupakan suatu bentuk

penyimpangan. Selain itu, waria juga dianggap sebagai lelucon oleh


86

masyarakat karena penampilan fisik waria yang seorang laki- laki tetapi

bernampilan seperti perempuan.

Pemahaman waria bahwa dirinya kurang dikenal di masyarakat

ini dipengaruhi oleh nasehat dari figur support yang kebanyakan dari

mereka memang memberi nasehat ataupun pemahaman kepada waria

bahwa sebaiknya waria harus bersabar dalam menghadapi diskriminasi

yang dialami. Secara tidak langsung, hal itu menunjukkan bahwa hal

wajar jika waria menerima perlakuan diskriminasi dari masyarakat

karena waria memang hanya melihat waria dari sisi negatifnya saja.

b. Waria harus menunjukkan sesuatu agar diterima oleh masyarakat

Sebagian besar dari waria juga memiliki pemahaman bahwa

waria harus menunjukkan sesuatu terlebih dahulu agar masyarakat bisa

menerima keberadaan waria di tengah-tengah mereka.

Pemahaman waria bahwa waria tidak dikenal oleh masyarakat

dapat dilihat dari beberapa cara yang dilakukan oleh waria dalam

mengatasi diskriminasi yang dialami. Waria cenderung ingin

memperlihatkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya untuk

mengimbangi statusnya sebagai waria agar masyarakat bisa menerima

keberadaan waria. Mereka (baca : waria) juga ingin membuktikan

bahwa waria mempunyai sisi lebih, bahwa waria juga memiliki

kemampuan yang belum tentu dimiliki oleh orang hetero, misalnya

dalam bidang kecantikan. Usaha waria agar bisa dikenal oleh


87

masyarakat tak hanya sebatas itu. Ada juga waria yang mencoba

memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria

dengan terlibat aktif dalam talkshow, diskusi maupun seminar-

seminar. Karena waria memiliki pemahaman bahwa waria tidak

dikenal oleh masyarkat, tentunya waria juga harus menyeseuiakan diri

dengan lingkungan yang memang pada dasarnya ada yang belum bisa

menerima keberadaan waria.

c. Waria adalah korban dalam masyarakat

Ada juga waria yang memiliki pemahaman bahwa waria adala h

atau merupakan korban dalam masyarakat. Pemahaman yang seperti

itu mungkin disebabkan karena waria memang memiliki pengalaman

yang pahit selama menjadi waria. Waria mengalami banyak

diskriminasi yang sudah dialami sejak kecil, sehingga waria merasa

bahwa dirinya adalah korban dari kaum mayoritas yang hanya

mengakui laki- laki dan perempuan.


BAB V

KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN

DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan

bahwa :

1. Pengalaman diskriminas dan cara mengatasinya

Kelima subjek mengalami diskriminasi tidak hanya saat dewasa,

tetapi juga sejak kecil. Diskriminasi yang dialami oleh subjek saat masih

kecil adalah interpersonal discrimination yang berupa diskriminasi verbal

dari peer group dan institutional discrimination yang berupa pengucilan

dari keluarga. Sementara itu, bentuk diskriminasi yang dialami oleh subjek

saat dewasa adalah interpersonal discrimination yang berupa diskriminasi

verbal dan kekerasan fisik. Selain itu, waria juga mengalami institutional

discrimination yang berupa pengucilan dan diskriminasi pekerjaan.

Cara yang dilakukan oleh waria untuk mengatasi diskriminasi saat

masa kecil tidak jauh berbeda dengan masa dewasanya. Saat masih kecil,

cara mengatasi diskriminasi yang dilakukan oleh waria adalah

acceptance, reappraisal dan mencari dukungan sosial dari figur support.

Sementara itu, cara mengatasi yang dilakukan oleh waria saat dewasa

adalah acceptance, behavioral compensation, psychological

disengagement dan mencari dukungan sosial dari figur support.

88
89

2. Cara waria memahami dirinya dan orang lain

Ada 3 bentuk tipe cara waria memahami dirinya dan orang lain

dalam kaitannya dengan pengalaman dsikriminasi, yaitu waria kurang

dikenal oleh masyarakat, waria harus menunjukkan sesuatu agar diterima

oleh masyarakat dan waria adalah korban dalam masyarakat.

B. KETERBATASAN PENELITIAN

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pengambilan subjek yang

terbatas. Kelima subjek yang digunakan dalam penelitian ini sudah bisa

menemukan bagaimana mereka harus mengatasi diskriminasi yang

ditujukan kepada mereka dan juga mereka sudah memiliki pemahaman

kepada dirinya dan orang lain dalam kaitannya pengalaman diskriminasi.

Hal itu disebabkan karena peneliti mengambil semua subjek yang

tergabung menjadi aktivis dalam sebuah LSM yang tentunya mereka sudah

terlatih atau sudah memiliki pengalaman dalam bersosialisasi dengan

masyarakat luas. Keterbatasan penelitian ini lebih disebabkan karena waria

di luar LSM, lebih sulit untuk didekati. Karena cara pengambilan data

yang mengharuskan subjek untuk bercerita, maka peneliti mencari subjek

peneliti yang sudah terbiasa berelasi dengan masyarakat luas ataupun

bercerita mengenai kewariannya.

Oleh sebab itu, keterbatasan penelitian ini tidak diulang lagi dalam

penelitian selanjutnya karena keterbatasan ini berpengaruh terhadap


90

informasi yang didapatkan. Untuk penelitian selanjutnya diharapakan

ketersediaan subjek lebih beragam.

C. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

dikemukan beberapa saran, yaitu :

1. Bagi waria lainnya, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi

motivasi untuk tetap berjuang untuk mendapatkan hak-hak waria di

masyarakat dengan menunjukkan kemampuan dan bakat – bakat yang

dimiliki. Selain itu, diharapakan agar waria lebih bisa memahami dan

bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang memang belum

semuanya dapat menerima keberadaan waria.

2. Bagi peneliti selanjutnya, menggunakan subjek yang tidak tergabung

dalam LSM agar data yang diperoleh lebih bervariasi.


DAFTAR PUSTAKA

Alsa, Asmadi. (2004). Pendekatan Kuantitatif Kualitatif Serta Kombinasinya


Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Arus Pelangi. (2008). Jadi Kau Tak Merasa Bersalah. Jakarta : Pengarang.

Atmojo, Kemala. (1986). Kami Bukan Lelaki. Jakarta : Pustaka Grafitipers.

Baron, Robert & Donn Bryne. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga.

Bishop, George. (1994). Health Psychology, Integrating Mind & Body : Allyn &
Bacon

Lexy J Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya.

Narbuko, Cholid & Abu Achmadi. (2007). Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi
Aksara.

Masih Banyak Peraturan Mendiskriminasikan Waria. (2007, Maret 4). Realita.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Yogyakarta. (2007). Waria Kami


Memang Ada. Yogyakarta : PKBI DIY.

Poerwandari, Kristi. (2005). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku


Manusia : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikolo gi ( LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Polkinghorne, Donald. (1988). Narrative Knowing and The Human Sciences. New
York : State University of New York Press.

Puspitosari, Hesti & Sugeng Pujileksono. (2005). Waria dan Tekanan Sosial.
Malang : UMM Press.

Ratner, Carl. (2001). Analyzing Cultural-Psychological Themes in Narrative


Statements. Forum Qualitative Social Research, vol.2 no.3.

91
92

Sevilla, Consuelo G, dkk. (2006). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta :


Universitas Indonesia.

Smith, Jonathan. (2009). Psikologi Kualitatif, Panduan Praktis Metode Riset.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Smet, Bart. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo

Soelistyowati & Soegondo. (2000). Diskriminasi Warga Negara & HAM. Jakarta :
Komnas HAM

Suryabrata, Sumadi. (2006). Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada.

Takwin, Bagus. (2007). Psikologi Naratif, Membaca Manusia Sebagai Kisah.


Yogyakarta : Jalasutra.

Taylor, Shelley & Letitia Replau & David O. Sears. (2006). Social Psychology.
New Jersey : Prentice Hall Int.

Wade, Carol & Carol Travis. (2007). Psikologi. Jakarta : Erlangga.

Waria Minta Perlakuan Diskriminatif Dihapus.(2007, Desember 15). Tempo.

Wengraf, Tom. (2001). Qualitative Research Interviewing. London : SAGE


Publications.

Whitley, Bernard & Mary Kite. (2006). The Psychology of Prejudice and
Discrimination. Canada : Thomson Wadsworth.

http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi/Januari2010

http://www.rileks.com/Waria, bagaimana kita harus mengenalnya/Juli 2006

http://vitasexualis.wordpress.com/Transeksual, transvestit dan transjender/Febuari


2008
LAMPIRAN

WAWANCARA
WAWANCARA TAHAP 1 & 2
Emm, aku minta Mbak Arum nyritain pengalamanmu dari masa kecil sampai sekarang. Terserah mau pengalaman yang apapun. Mau
yang nyenengin, mau yang nggak, terserah.

Oh gitu. Oke. Mungkin aku ya, dilahirkan memang sebagai fisikly laki-laki gitu ya. Eee… akan tetapi, perubahan perilaku itu terjadi mungkin
sekitar umur-umur 3 eh 4 sampai 5 tahun. Orang menganggapnya bahwa laki-laki itu eee memang lahir gitu ya dan misalnya bermain seorang
laki-laki itu layaknya bermain itu ya main kelereng atau main apa gitu ya. Tapi dulu aku nggak. Main boneka-bonekaan, main pasaran. Hehehe…
Nah, dengan berjalannya waktu seperti itu, orang-orang jadi tau. Masyarakat jadi tau kok ini perilakunya berbeda dengan teman-teman laki-laki
lainnya. Dia lebih sering main boneka-bonekaan gitu ya. Eee… Sering main sama cewek daripada sama cowok. Akhirnya, lama-kelamaan ya
ketahuan juga kalau waria gitu ya. Kalau dari tetangga sih mungkin sudah tahu, keluarga sudah tahu gitu ya, tapi eee dengan berjalannya waktu
saya SD, kemudian SMP, SMA itu banyak cerita yang sangat menarik. Salah satunya di SD. SD tuh aku sudah mengenal laki-laki. Hehehe…
Jadi, aku udah seneng lihat sosok laki-laki kok deg-degan gitu ya, ser-seran gitu ya. Aku juga nggak tahu waktu itu. Tapi aku jalanin aja waktu itu
ya. Mengalir gitu lho. Udahlah pengen sama ini ya sama ini. Pengen sama ini ya sama ini gitu. Kemudian SMP, SMP itu mungkin sangat
menonjol aku ya karena eee waktu itu aku juga ikut eee kursus tari di tempatnya Yati Pesek. Terus dari pihak sekolahan sendiri aku dijadikan eee
OSIS. Anggota OSIS itu eee sebagai seksi kesenian waktu itu. Jadi, dari situ aku sangat menonjol. Dari teman-teman kelas 1A sampai 1F.
Kemudian, 2A sampai 2C. Kemudian, 3A sampai 3E itu memonjol banget. Siapa sih yang nggak tahu Arum. Tapi waktu itu namaku bukan
Arum. Aku masih pakai nama cowok, Aris. Bukannya sombong atau apa, tapi memang menonjol karena setiap ada lomba itu pasti aku ikut.
Kemudian, lomba antar sekolah itu aku yang dimajuin juga. Nah, itu ikut. Walaupun nggak menang, tapi seenggak-enggaknya aku sudah ikut
berpartisipasi ya di sekolahan. Hehehe… Kemudian, aku lulus dari SMP, aku masik SMA itu di SMIP, Sekolah Menengah Industri Pariwisata.
Aku di situ ngambil jurusan perhotelan, khususnya di bidang food and baverage service, jadi waiter. Dari situ aku belajar banyak tentang
perhotelan. Sebenarnya kita nggak kalah sih dengan teman-teman dari D3 perhotelan karena waktu itu kita diadu kayak cerdas cermat gitu. justru

93
kita yang dari tingkat SMA yang menang ketimbang mereka yang D3 gitu ya. Kita lebih luas ininya, pengetahuannya. Sebelum aku lulus SMA
itu, sebelum lulus SMA kurang 3 bulan ujian nasional itu aku sempat ditawarin magang di sebuah hotel. Hotel Saphira namanya. Di situ aku
disuruh jadi house keeping, jadi yang nyusun kamar gitu ya. Bukan dari bidangku sendiri, tapi seenggak-enggaknya aku mendapatkan pelajaran
house keeping itu sendiri. Dari situ aku mulai balajar untuk apa ya, nyari duit sendiri. Tidak minta orang tua walaupun aku masih sekolah. Setiap
pulang itu kan dulu tuh ada yang namanya top ten untuk tempat main sepatu roda gitu ya. Di situ aku bisa mengekspresikan diri. Eee… Kemayu-
kemayuan, cantik-cantikan walaupun nggak dandan. Pokoknnya udah mentel (genit) gitu. Kita main sepatu-sepatu rodaan di situ. Nah, kita di situ
sambil nyari cowok-cowok gitu. Akhirnya, memang dapet sih, tapi ya ketemuannya selalu di situ. Kemudian, setiap malam dandan itu tidak dari
rumah. Jadi, udah muali nyebong eee keluar itu bawa tas gede gitu, bawa baju dan pokoknya make up dan segala macam gitu ya. Kahirnya kita
nyebong gitu ya. Tapi setelah lulus, eee orang tua sih lama-lama tahu ya. Lama-lama tahu ya bahwa kok kayaknya anakku dandan ya sekarang.
Tapi aku cuma diem aja. Waktu itu sih memang apa ya, masih tertutup banget. Untuk dandan dari rumah itu belum berani karena memang masih
baru lulus SMU gitu ya. Dari situ aku coba daftar, eh waktu itu aku diajak ke Jakarta sama kakakku. Sebenarnya bukan Jakarta sih, eee Jawa
Barat ke Serang Banten. Kakakku kan di sana kerja sebagai wakil apa ya di agrarian, surat tanah untuk kepengurusan tanah, akte tanah. Di sana
kakakku yang cewek masih kuliah. Kemudian, aku disuruh kursus Bahasa Inggris maupun kursus computer. Kemudian, aku bilang aku kerja aja
karena waktu itu aku kan magang di Hotel Saphira. Tapi di sana 3 bulan, aku nggak betah karena mungkin orang bilang kita masih ke embok -
embokan. Masih inget ibuku terus. Akhirnya, pengen pulang gitu ya. Pengen pulang. Akhirnya, aku pulang. Waktu aku pulang itu, ada lowongan
di Artha Photo dan dia punya yang namanya Delicia Bakery, toko roti. Aku di situ daftar. Eee… banyak banget yang daftar sih. Banyak banget
D3, S1, sedangkan aku cuma setaraf SMA. Tapi dari situ eee aku memberanikan diri. Ya itu tadi PD, memberanikan diri untuk masuk ke situ.
Ternyata dari sekian ratus dan yang diterima cuma 8 orang dan aku masuk di situ. Kemudian, di situ aku kerja sampai 2 tahun dan aku sudah bisa
beli-beli apa, beli motor, beli segala macem. Ya seperti biasa, setiap malam ngaprak gitu ya. Akhirnya dandan-dandan gitu. kemudian, dari 2
tahun itu aku ada lowongan di Dunkin Donuts. Waktu itu di Delicia aku cuma jadi pastry, di front liner juga sih, waiter. Di Dunkin ini aku coba

94
masuk dan diterima harus training ke Jakarta selama 6 bulan. Dan aku kerja di situ sampai kurang lebih 5 tahun. 5 tahun aku jadi kasir. Nah,
pengalaman itu sangat menarik karena waktu aku di Jakarta ternyata ada teman waria juga. Jadi, siang kerja di Dunkin, malamnya nyebong. Aku
diajak waktu itu. Dari situ aku belajar. Nah, dengan berjalannya waktu ya lama-lama aku pengennya dandan dari rumah. Setelah pulang ke Jogja
itu, dandan dari rumah. Akhirnya, orang tuaku tahu. Pertama sih cuma pakai sepatu tinggi high heels. Kemudian, pakai jeans, pakai kaos ketat
gini. Kemudian, pakai jaket. Dandan tipis bedak biasa. Tapi lama-kelamaan eee pakai tetek dari rumah. Kemudian, pakai wik dari rumah gitu
kan. Akhirnya, ibuku juga tahu. Waktu itu aku diajak ngobrol sama adik-adikku juga. Bapakku bilang “kamu dandan nggak papa, kamu ngapa-
ngapain nggak boleh. Itu hak kamu. Sifat dan karakter seseorang itu memang tidak bisa dirubah kecuali dari diri kamu sendiri. Kamu boleh kayak
gitu tapi satu hal, kamu tidak boleh berhubungan dengan polisi. Dalam arti kata tidak terlibat dengan yang namanya apa ya, kriminalisme. Ya
entah itu menggunakan narkoba, entah itu perkelahian, entah perjudian, entah itu miras”. Bapakku selalu mengingatkan itu dan aku yak arena dia
sudah mengijinkan seperti ini, aku harus memberikan yang terbaik buat mereka juga, buar orang tuaku juga. Waktu itu aku terus kerja di Dunkin
juga kadang-kadang bantu orang tua juga sih. Waktu itu pertama dapat gaji dari Delicia itu aku sempat ngobrol sama bapakku bahwa “Pak, mbok
lantainya ini diganti eee apa tege yang warnanya putih ?”

Keramik ?

“He’e keramik yang warnanya putih”. Dari situ bapakku bilang, “memang kamu punya duit berapa ?” “Ya ada sedikit”. “Ah besok aja kalau udah
ngumpul”. Nah, waktu itu aku jengkel. Cuma mau benahin rumah kok pakai di ini sih, entar malah duitnya habis lagi. Akhirnya, bener duitnya
habis tak buat foya-foya. Buat beli baju, beli sepatu segala macam. Akhirnya, bapakku bilang “jadi nggak ?” “Ah duitnya udah habis”, aku bilang
gitu. Tapi aku ngumpulin lagi dan akhirnya tercapai juga ikut bangun rumah. Akhirnya bapakku bikin rumah ini juga nyaman. Biar aku juga
seneng tinggal di rumah. Selama di Dunkin, teman-teman juga tahu kalau aku waria. Bahkan mereka seneng kalau 1 shift sama aku, 1 counter
sama aku karena waktu di Dunkin itu aku jadi orang yang paling nomer 1 untuk apa ya, menarik tamu dalam arti kata mencari pelanggan dengan

95
senyum. Jadi, setiap ada masalah apapun aku tuh nggak pernah yang namanya marah. Kalau dibilang apa, ya senyum aja. Ya senyum aja. Waktu
itu memang jadi the best smiling gitu ya. Ada yang the best employee 1,2,3.

Oh dikasi penghargaan ?

He’e dikasi penghargaan. Waktu itu aku the best smiling. Orang yang paling banyak senyum. Di Dunkin itu aku selama 5 tahun. Kemudian, aku
berhenti karena capek. Selama 1 tahun belajar salon. Belajar salon, belajar salon sama temenku. Kemudian, aku berpikir bagaimana supaya
caranya dapet alat-alat salon. Dan salah satu caranya harus bekerja lagi. Tapi waktu itu rambutku sudah panjang karena 1 tahun nggak tak potong
dan tak bonding lagi karena aku kan belajar salon sama temenku. Kemudian, aku lihat-lihat koran. Akhirnya, ada sebuah lowongan. Lowongan
pekerjaan, di situ membutuhkan pramuniaga untuk ATK, alat tulis kantor. Sebenarnya yang punya 3 serangkai tapi mendirikan baru namanya
toko buku alphabet. Waktu itu ada di Seturan depan STIE persis. Di sana mereka butuh 17 orang, pramuniaga laki-laki perempuan, kasir dan
entry data. Nah, pas di situ aku tuh daftar. Waktu itu rambutku kan udah panjang nih, cuma tak sisir ke belakang dan di situ aku wawancara.
Kemudian, yang wawancara kan yang punya. Dia melihat CV ku itu “kamu pengalaman jadi kasir banyak banget. Kenapa nggak nglamar jadi
kasir aja ?” Aku bilang, “di situ kasir kan cuma laki-laki dan perempuan”. Eh perempuan, waktu itu perempuan sedangkan saya laki-laki. Aku
pertama bilang gitu. “ “Tapi kalau kamu jadi kasir mau nggak ?” “Ya mau juga sih kalau memang harus”. Dia tanya, “kamu ada yang mau
ditanyain nggak ?” Waktu itu aku pengakuan. “Sebenarnya gini buk, saya sebenarnya waria buk”. Aku bilang gitu. “Rambut saya aja panjang”.
Waktu itu tak warna merah gini juga. “Saya sebenarnya waria buk. Eee… Mungkin itu adalah pilihan ibu. Kalau ibu masih mau pakai saya, saya
memintanya ya apa adanya seperti ini. Seperti diri saya sendiri seperti ini karena saya akan sangat nyaman dengan apa yang ada di diri saya.
Kalau saya paksakan, kerja itu nggak akan tenang”. Aku bilang gitu. Kebetulan waktu itu yang punyaitu bilang, “kamu mau waria, kamu laki-
laki, kamu perempuan, kamu mau lesbi, itu bukan menjadi masalah buat aku. Yang penting kinerja kamu bagus”. Dari kepercayaan itu kemudian
saya timbul eee timbal balik yang harus saya berikan ke yang empunya ini. Waktu itu aku memang jadi kasir. Kemudian, baru 2 hari jadi kasir,

96
kemungkinan aku tuh cepet. Kemudian, aku tuh banyak yang namanya mahasiswa-mahasiswa itu seneng gitu lho kalau tak layanin. Waktu itu
aku juga sebenarnya kalau malam itu kerja di Gudang Musik sebagai waiter. Dulu aku jadi waiter di situ plus marketing. Mereka banyak minta
invitation dari aku. Jadi, aku banyak banget teman-teman mahasiswa itu. Entah dari UPN, entah YKPN. Si bos ini heran, “kok kamu baru
beberapa minggu di sini kok temenmu banyak banget ?” “Iya buk, sebenarnya saya juga marketingnya Gudang Musik. Aku suka bagi-bagi ini
invitation undang-undangan untuk event-event tertentu. Aku juga jadi waiternya di sana kalau malam”. “Oh, bagus juga ya”. Dia bilang gitu.
Kemudian, si bos ini mengangkat aku untuk jadi staf kantor untuk input data. Tapi aku menolak karena aku baru beberapa hari di situ kok jadi
staf. Takutnya kalau ada kecemburuan sosial daintara teman-teman staf yang sudah lama. Itu nggak masalah. Akhirnya, bos ini juga bilang sama
aku, “sekarang gini aja, kamu tetep jadi kasir di depan. Kalau ada customer atau pelanggan yang beli di sini, kamu langsung diinput datanya”.
Jadi, diparalel. Diparalel komputernya. Aku hampir selama 2 tahun ya ngumpulin duit. Udah nyicil beli-beli alat-alat salon. Setelah 2 tahun, aku
keluar waktu itu. Nah, si bos ini merasa kehilangan banget karena memang system penjualanku bagus. Bukannya aku in sendiri ya, tapi memang
dia menilainya gitu. Sampai waktu itu aku disuruh keluar jadi kasir tapi jadi marketingnya. Cari duit sendiri gitu lho. Tapi aku nggak mau waktu
itu. Memang sih kalau jadi kayak marketing atau sales untuk menawarkan barang ke setiap counter atau toko memang duitnya buat aku sendiri.
Tapi aku berpikirnya di situ nanti kalau ujan deras dan segala macem gitu ya. Aku terus berpikir nggak usah aja lah. Akhirnya, 2 tahun itu aku
keluar dan buka salon waktu itu. Buka salon dari tahun 2001 kalau nggak salah sampai sekarang. Kemudian, waktu itu adekku tuh kerja di
restoran, kedai steak yang jual steak-steak gitu ya. Ada pizza nya juga sih. Nah, waktu itu adekku tuh bilang sama aku bahwa “kamu mau nggak
kerja gitu ya tapi back liner, jadi kamu di dapur”. “Emang boleh ? Rambutku udah panjang”. Panjang banget rambutku waktu itu ya. Udah
panjang. “Gini aja, kalau misalnya kamu diterima, nanti kamu tawar menawar masalah rambut gitu”. Akhirnya, waktu itu aku wawancara bener.
Dan yang punya ini kan, dia bilang gini eee lihat CV ku bagus juga. Waktu di Delicia aku kan jadi pastry. Nah, kebetulan dia sendiri butuh untuk
membuat croissant, untuk membuat burgerban gitu ya, untuk hamburgernya. Dari situ aku bilang “iya, dulu saya pernah kerja jadi pastry”. Aku
bilang gitu. “Wah bagus ini”, dia bilang gitu. “Kalau mau kerja nggak ? Mau kerja di sini ?” Dia nawarin gitu. Eee… “Saya sih mau-mau aja.

97
Tapi 1 hal pak”. “Kenapa ?” “Gimana dengan rambut saya yang panjang ?” Aku kan waktu itu bilang gitu. rambut saya yang panjang. Kemudian,
tak warna merah juga waktu itu. “Saya sebenarnya waria pak”. “Oh, bukan menjadi masalah. Kamu kan di back liner juga, di dapur nggak keluar.
Asalkan kerjamu bagus bukan masalah buat aku”. Akhirnya, aku masuk juga. Mungkin 1001 ya orang yang bisa menerima waria di sektor ini ya.
Eee… waktu itu aku terus kerja suma sampai 6 bulan karena waktu itu aku masih konsen di salon gitu ya. Dan akhirnya waktu itu aku keluar.
Eee… Ikut ke Kebaya ini sampai sekarang. Kebaya dulu aku pertama sih juga jadi relawannya PKBI ya waktu itu. Waktu itu aku ikut pelatihan-
pelatihan. Kemudian, Mbok Vin itu sama Mbak YS itu diajak untuk pelatihan capacity building dari UNA finding. Waktu itu aku diajak dari
komunitas youth ya untuk generasi penerus. Untuk yang muda, perwakilan yang muda. Waktu itu aku ikut dan setahun berjalan aku jadi petugas
lapangan. Kemudian, kita mengalami masa transisi selama… Selama hampir 8 bulan ya. Terus kemudian turun, kita turun finding eee dari hivors.
Waktu itu 6 bulan kemudian masa transisi sebenarnya ya. Nggak ada salary yang masuk atau uang kegiatan untuk teman-teman nggak ada karena
memang untuk funding kita belum turun dan masih eee seleksi untuk global fund sekarang. Kita tinggal nunggu sih. Dan sampai sekarang saya
masih di sini jadi relawan Kebaya. Kalau untuk masalah kehidupan sehari-hari. Untuk kehidupan sehari-hari ya sekarang sih aku kos walaupun
aku ada rumah sendiri di rumah. Tapi karena aku punya cowok dan pengen 1 rumah dengan aku dan nggak mau dengan jadi satu dengan
keluargaku karena nggak enak, aku kos sekarang. Aku pacaran terakhir ini udah hampir 2 tahun. Hampir 2 tahun. Walaupun kita mengalami
masa-masa yang sulit. Mengalami lika-liku yang susah dan segala macem. Karena sekarang pun aku juga nggak ada salary, nggak ada gaji dan
segala macem ibaratnya. Tapi ya alhamdulilah job make up, kemudian job-job yang lain kadang-kadang mengalir dengan sendirinya. Jadi,
memang untuk batu loncatanlah ibaratnya. Untuk pemasukan kita, untuk hidup kita. Dan aku pun sekarang kadan aku juga bantu bapakku jualan
di Malioboro untuk hidup. Dan alhamdulilah sekarang lakiku udah mau kerja. Tawaran dari adekku sendiri. Dia tahu kalau aku punya laki dan
lakiku nganggur. Walaupun kemarin sempat kerja tapi udah keluar. Adekku tau “lakimu kan nganggur ni, mau nggak kerja di hotel ?” Boleh tak
tawarin dan kebetulan lakiku mau. Gitu. kalau untuk kehidupan sehari-hari sih biasa. Aku balik ke rumah. Kadang nginep di rumah dan kadang di
kos-kosan dan itu berjalan terus. Dan untuk di Kebaya ini, untuk kegiatan keluar eee akses jaringan keluar. Aku Januari sih kemarin pernah ke

98
Bogor sama mami. Kemudian, kita melakukan kayak studi banding di Bandung walaupun cuma berdua sma mami. Kita melihat bagaimana
kinerja mereka di Yayasan Srikandi Pasundan. Besok Senin itu tanggal 22 aku berangkat ke Surabaya sampai 4 Juli. Itu ada pelatihan yang
namanya gender dan seksualitas. Sebenarnya kita kuliah mengetahui tentang gender dan seksualitas itu apa. Kita belajar. Kan pengetahuan
tentang gender itu kan macem-macem. Besok ini mudah-mudahan dapet. Kita sambil nunggu funding turun aja untuk global fund.

Nah itu tadi kan pe ngalaman secara global. Nah, kalau flash back ke pengalaman masa kecilnya sendiri, bisa lebih dijelaskan ?

Bisa. Aku dalam pengalaman masa kecil ini tidak begitu menyedihkan. Hehehe… Iya bener lho. Karena aku diterima di keluarga gitu ya.
Mungkin ya aku sih member timbal balik. Mungkin dalam hal di kampung. Kalau masa-masa kecil sih ya mungkin sepert waria -waria pada
umumnya. Cuma 1001 seperti aku gitu ya. Tidak harus lari dari rumah. Kan ada nih, teman-teman yang lari dari rumah. Itu masih SMP, entah
SMA. Ya paling teman-teman lari tuh SMP udah menunjukkan jati dirinya bahwa dia seorang waria dan harus lari dari rumah karena ditentang
oleh orang tua. Kalau aku nggak. Kalau aku dari kecil tuh apa ya. Tidak pernah mendapatkan kekerasan dari keluarga bahkan aku setiap
mempunyai keinginan selalu didukung. Salah satu contohnya misalnya aku pengen usaha. Waktu itu aku pengen usaha bikin eee masih SMA sih
sebenarnya bikin kaos gitu ya. Untuk dititipin ke Mirota, dititipin ke ini. Didukung sama orang tuaku. Kemudia n, kerja -kerja ya didukung. Misal
aku nggak punya uang saku ya masih dikasi sama orang tua. Jadi, pengalaman masa kecil itu sebenarnya pengalaman yang menyenangkan ya.
Aku sekolah ya seperti saudaraku semua. Tidak ada perbedaan sama sekali. Dia dibeliin ba ju, aku dibeliin baju. Dia dibeliin sepeda, aku juga
dibeliin. Justru, saat aku menginjak dewasa, aku bisa kerja sendiri, aku bisa membantu orang tua. Itu lebih apa ya kebanggaan sendiri buat aku,
bisa membahagiakan orang tua. Waktu itu kerja pertama kali aku beliin magic jar ibuku dengan harga waktu itu 120. Aku masih inget banget.
Waktu itu pertama kali magic jar keluar. Merknya Yongma, bukan lap top lho. Hehehe… Aku seneng banget. Kalau di masyarakat gitu ya, aku
lebih sering dimintain bantuan. Seperti kalau 17 Agustus. Selalu disuruh yang ngajarin pentas-pentas, dance atau sebagainya itu ya. Itu sering
banget dan mereka kalau mau apa ya mengejek atau mendiskriminasikan dalam bentuk apapun ya sungkan karena aku selalu member yang

99
terbaik juga buat kampung gitu kan. Oh, dia selalu terlibat di kampung. Oh, dia selalu terlibat di kegiatan ini dan itu aku tunjukkan juga. Mungkin
malah akhir-akhir ini yak arena aku jarang keluar dan banyak brondong-brondong, banyak pemabuk-pemabuk yang kadang nongkrong di
perkampunganku. Pernah sih aku mendapatkan apa ya sampai di lempar batu. Aku sampai yang mendapatkan apa ya sampai di lempar batu. Aku
sampai yang marah-marah tak laporin ke polisi.

Terus ditanganin nggak ?

Iya. Dia harus ngapel dalam arti kata dia absen apel gitu ya. Dia harus wajib lapor jadi tahanan luar karena aku pikir mereka meremehkan waria.
Aku bilang bahwa jangan dikira saya nggak berani sama seseorang. Di sini hukum pun berlaku dan masih banyak lembaga-lembaga LBH yang
mau bantu kita kok. Sekarang udah nggak ada lagi ya dan justru waktu aku pulang itu, aku disuruh ngajarin bagaimana sih caranya bikin
kelompok yang nantinya eee bisa mengajarkan sesuatu. Ya aku bilang bahwa harus punya visi misi dulu kalau mau bikin itu. Walaupun aku
sendiri baru belajar juga. Kita sekarang baru belajar tentang pengorganisasian. Kemarin udah dapet sih tapi sekarang buat pemantapan gitu.
sekarang lebih ke diskusi. Itu memang sangat penting banget. Memang sangat penting banget. Kemarin waktu di kampung disuruh ikut untuk
memberdayakan ibu-ibu yang ada di kampung. Pengen banget sebenarnya, cuma waktunya yang nggak bisa, kesedot di sini. Karena udah konsen
di sini.

Jadi, sebenarnya pengalaman diskriminasi kalau dari kecil sampai sekarang tidak berat-berat banget ya ?

He’em. Kalau dari media, media cetak ataupun mungkin media elektronik seperti TV, waria langsung ngomong sendiri mungkin bisa dipercaya.
Tapi kalau udah melalui media cetak, kadang-kadang eee apa ya dilebih-lebihkan lah. kadang-kadang dilebih-lebihkan. Aduh terlalu dibuat-buat.
Terlalu ini banget gitu ya dan memang harusnya yang bisa memberikan informasi waria atau informasi apapun tentang waria ya harusnya si

100
pelaku sendiri, waria sendiri. Waktu aku melihat debat di salah satu stasiun TV itu dan itu melibatkan ngobrolin antara MUI atau apa ya, aku
lupa. MUI dengan keberadaan waria, tayangan waria di TV. Waktu itu sebenarnya saya juga tidak setuju karena yang ditampilkan di situ bukan
warianya tapi gay-gay nya, wakil-wakilnya. Jadi, apa gunanya menampilkan debat seperti itu kalau nggak ada warianya sendiri. Harusnya
memang dari warianya sendiri aku pikir karena yang tahu permasalahan di waria itu ya warianya sendiri. Jadi, kalau misalnya melihat di media
cetak kadang-kadang kayaknya dilebih-lebihkan dan mungkin karena aku berbeda dari waria -waria yang lain.

Mungkin karena Mbak Arum kan bisa diterima ?

Iya, mungkin diterima. Jadi, aku jarang mendapatkan diskriminasi dan mungkin karena aku orangnya PD. Boleh dibilang malah over PD.
Hehehe… Tapi aku tahu batasan. Salah satu contohnya ya mungkin banyak waria yang bilang banyak diskriminasi waria di sektor formal. Tapi
saya dulu bisa masuk ke sana, bahkan waktu saya sudah jadi waria. Sekarang yang menjadikan pertanyaanku malah aku balik. Apakah ada
sekarang waria yang mencoba untuk melamar sektor formal dengan kondisinya yang memang dia waria ? Ya itu tadi, yang aku bilang bahwa PD
itu nomer satu. Walaupun di situ yang dibutuhkan laki-laki dan perempuan, kalau kita sudah waria, dandan waria, kita coba masuk gitu ya. Apa
tanggapan mereka. Kalau mereka bilangnya di sini cuma butuhnya laki-laki dan perempuan, itu baru namanya diskriminasi. Toh, kita bisa
memunculkan kalau kita mampu. Kita kerja bukan pakai jenis kelamin tapi kerja pakai otak, pakai tenaga, pikiran. Kalau kita sendiri memang apa
ya, diskriminasi nggak banget-banget gitu lho karena mungkin aku ya, seperti yang aku bilang 1001 kayak aku. Bisa diterima, kadang-kadang
pernah diterima di sektor formal juga dan mungkin memang kebanyakan nggak diterima. Teman-teman waria tidak diterima. Sebenarnya asalkan
kita bisa bawa diri. Bawa diri itu yang kedua. Ke satu PD, yang kedua bawa diri. Kalau kita sebagai waria sudah diterima ni di sektor formal tapi
kita membuat onar, membuat gaduh, menimbulkan hal-hal yang negatif, itu akan menimbulkan diskriminasi ke semua waria. Oh ternyata waria
kalau diterima di kerja seperti ini ternyata orangnya bertingkah seperti ini. Nah, istilahnya gebyah uyah, di sama ratakan. Padahal semua nggak
kayak gitu. Cuma mungkin sifatnya kayak gitu. Nah, itu kembali ke warianya juga. Cara bawa diri, tingkah laku atau apapun itu memang dari

101
warianya sendiri. Jadi, semuanya balik lagi ke kita.

Jadi, kalau boleh disimpulkan pengalaman diskriminasi selama ini nggak parah-parah banget ya ? Semuanya dibawa enak
gitu ya ?

Iya. Kalau aku lebih simple, yang enak. Cuma secara global, semua mengalami gitu. Tapi kalau untuk secara pribadi sih eee nggak
terlalu ini banget sih.

Tapi ada nggak kalau waktu kecil, temannya teriak-teriak ngatain gitu ?

Iya sih, paling cuma kayak gitu aja dan itu wajar ya dan aku bilang mungkin kalau kecil tidak bisa membedakan mana yang bagus,
mana yang baik, mana yang bener. Ya bisa sih, cuma waktu itu aku memang pada dasarnya masa bodoh gitu ya. Masa bodoh. Orang
mau anggep aku banci atau apa ya ini aku. Udah tahu banci, ngapain teriak-teriak. Ya kamu rugi sendiri. Aku waktu itu kayak gitu.
Kecuali kalau dia teriak sama mukul aku. Nggak usah mukul deh. Waktu itu aku mau masuk ke gang rumahku ada jalan besa dan di
situ bisa buat main bola. Banyak anak laki- laki, cowok gitu kan pada main bola di situ. Kalau aku lewat di situ, aku sering diteriakin
banci-banci. Aku tak diemin aja karena aku merasa nggak dirugikan. Aku memang banci kok terus mau apa. Kalau aku bukan banci,
ya aku marah. Waktu itu aku lewat, sore ya, naek motor. Eee kok ada yang bilang banci terus daun kelor disebarin ke mukaku. Aku
marah besar karena selama ini aku diteriakin apapun, aku nggak marah. Motor langsung tak berhentiin terus tak tempeleng. Aku tuh
orangnya sabar, nggak pernah nyakitin kalian. Tapi kalian sendiri yang memulai. Aku bilang gitu. Saya nggak bisa seperti ini. Kalau

102
kalian memang sudah menyakiti ragaku tetep tak bales. Sampai kalian lari kemanapun tetap tak bales. Sampai lari ke rumah pun tetap
tak kejar. Aku bilang gitu. udah tak pukul 2 kali sampai jatuh. Terus sekarang kalau aku lewat, mereka pada minggir. Setiap aku
lewat, mereka pada minggir. Jadi, secara umum kalau diskriminasi aku sih nggak terlalu. Apalagi sekarang sudah kerja di sini. Sudah
layak mengenal orang dan dikenal orang. Hehehe… Nggak sih, lebih banyak mengenal orang.

103
WAWANCARA TAHAP 3
Kan kemarin itu kalau bisa dilihat itu, kan aku bagi antara masa kecil dan masa dewasa tentang pengalaman diskriminasi.
Kan Mbak Arum bilang kalau pengalamannya cuma secara global aja. Nah, kalau masa kecil cuma diskriminasi secara
verbal doing, cuma diteriakin banci banci. Saat itu, kan Mbak Arum cuek karena Mbak Arum kan memang mengakui gitu
kan. Tapi kan waktu dewasa ada diskriminasi lain, yaitu kekerasan fisik. Yang mau ditanyain itu eee ada nggak figur-figur
yang membuat Mbak Arum itu cuek, menanggapinya masa bodoh. Kira-kira ada nggak figur yang berperan ?

Sebenarnya kalau aku nggak ya. Itu timbul dari dalam hati nuraniku sendiri karena aku memang udah menerima kalau aku waria. aku
bisa cuek karena memang dari dalam hatiku. Aku memang orangnya cuek. Mungkin karena aku bercerminnya dari orang-orang yang
aku nggak bisa nyebutin siapa gitu ya. Yang pasti kadang-kadang ketemu orang yang low profile, sabar menghadapi masalah. Jadi,
aku pengen seperti itu. Misalnya aku lihat orang di jalan atau di rumah atau dimanapun. Ini orang dimaki-maki tapi dia menerimanya
dengan sabar, tenang gitu. Jadi, aku mencontoh seperti itu karena akan percuma juga kalau ditanggapi dengan keras atau
semacamnya.

Oh… Terus Mbak Arum punya pandangan apa tentang orang-orang yang mendiskriminasikan waria ?

Jadi gini, kenapa mereka selalu mendiskriminasikan waria. Satu hal mungkin karena mereka itu belum tahu tentang waria. Jadi,
sebisa mungkin aku sebagai waria mensosialisasikan tentang siapa, mengapa ada waria kepada masyarakat yang sudah tahu maupun
yang belum, seperti itu. Ya kalau mereka memang mendiskriminasikan waria karena memang belum tahu ya itu wajar. Tapi kalau

104
mereka udah tahu tapi tetap aja mendiskriminasi ya itu menurutku harus ibaratnya perlu kita diperangi supaya mereka bisa menerima
waria.

Selama ini kan Mbak Arum itu kan orangnya pede dan bisa dikatakan berguna di masyarakat, di keluarga. Nah, apakah itu
merupakan suatu cara agar bisa diterima di masyarakat ?

Menurutku pede itu modal utama dalam hidup karena tanpa pede kita nggak bisa ngapa-ngapain. Gak usah waria, laki- laki sama
perempuan sama aja. Misalnya kalau kita melamar pekerjaan tapi nggak pede ya dengan ini, walaupun pinter tapi kok nggak pede.
Berarti pede itu sangat penting. Kemudian, kalau kita udah punya pede dan kita mampu menunjukkan berarti itu membuktikan kalau
kita mampu melakukan sesuatu hal yang bisa membuktikan bahwa waria juga berkarya, nggak cuma laki- laki dan perempuan saja.
Itu saja.

Kebanyakan kan waria yang punya prestasi, barulah masyarakat mengakui, menghargai.

Makanya kita setiap acara apapun kita selalu pede.

Mungkin secara langsung ya untuk menunjukkan ke masyarakat bahwa waria juga mampu gitu ?

Iya, kan kita bisa seperti yang lain. Justru kalau mereka ada acara, kita masuk. Dengan catatan kita juga melalui jalur, tidak

105
melenceng atau menyimpang dari jalur. Kalau mereka membuka untuk umum berarti kan waria masuk juga, tidak hanya laki- laki dan
perempuan.

Berarti bisa dikatakan aku harus menunjukkan sesuatu agar menunjukkan aku bisa dan secara langsung diskriminasi
berkurang gitu ?

Iya, dengan kita menunjukkan sisi baik tentang waria di masyarakat itu akan mengurangi stigma atau diskriminasi yang buruk
terhadap waria itu sendiri. Tergantung kita harus membawa diri. Misalnya, kita diterima di suatu pekerjaan, di sektor formal misalnya
ya makanya kita harus menunjukkan kalau kita memang mampu dan bertanggung jawab. Kalau nggak ya orang bisa punya pikiran oh
kok kayak gitu.

Oh, ya gini, kan dari kecil itu Mbak Arum udah mengalami diskriminasi. Nah, terus ada nggak sih pengalaman masa kecil
yang mempengaruhi Mbak Arum hingga saat ini dalam kaitannya dengan pengalaman masa kecil ?

Kalau aku nggak ada sih. Kalau sampai sekarang sih gini, kalau ada orang ngajak debat secara argument sih tak layani, tapi kalau
secara kekerasan fisik ya jelas nggak ya. Cuma kalau yang pernah terjadi itu ya aku terus nggak mau ikut kegiatan. Biasanya kan jadi
MC di tujuh belasan. Aku jadi nggak mau karena ada kasus diskriminasi gitu. Tapi aku nggak bilang karena itu, aku cuma bilang biar
ngasi kesempatan yang lain aja gitu.

106
Kalau kaitannya dengan cara mengatasi pengalaman diskriminasi ?

Jadi gini, sering ya orang bilang banci banci banci. Sebenarnya gini ya aku kayak hukum alam, apa namanya. Misalnya kamu
menjahati kau, kamu akan mendapatkan ini juga. Itu apa namanya, aku lupa. Aku cuma kepikiran itu terus. Hukum karma. jadi,
kalaupun ada seseorang yang mengatain aku, aku yakin suatu saat aku tetap tertolong oleh apapun. Hukum karma menurutku tetap
berlaku. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan pasti akan mendapat balasannya.

107
WAWANCARA TAHAP 1 & 2
Aku minta Mbak… Mbak Rully ya nyritain pengalamannya dari masa kecil sampai sekarang. Terserah mau pengalaman
yang nyenengin, nyedihin, pengalaman yang apa terserah.

Ya ehm, nama saya Rully Malay. Saya lahir pada tanggal 24 Maret tahun 1963 di kota Surabaya tepatnya di Tanjung Balai Perak dan
saya eee menjalani masa kecil saya di kota Surabaya hingga pada eee usia SLTP saya baru pindah ke Sulawesi. Saya tinggal dengan
eee seorang ibu tanpa bapak karena bapak saya meninggal di saat saya baru 9 bulan di kandungan ibu saya dan ketika saya lahir, saya
sudah tidak melihat bapak saya. Sejak kecil, memang saya sudah menjalani hidup sebagai waria di mana pada saat itu banyak sekali
teman-teman seusia saya yang sering mengejek kalau banci atau bencong. Bisanya mereka suka mengejek saya dan eee apa namanya
ya berakhir dengan keributan biasanya, tapi ibu saya selalu memberikan pengertian. Biasanya, ibu saya memanggil teman-teman saya
baru dikasihkan pemahaman. Biasanya seperti itu. Kemudian, sejak saya masuk sekolah dasar, eh sekolah taman kanak-kanak di TK
Barunawati. Itu pada sekitar tahun 69. Di TK Barunawati saya mulai mendapat eee tempat penerimaan di lingkungan sekolah,
khususnya dari guru-guru saya yang eee ya mungkin secara apa namanya psikologis, mereka sudah mulai memahami lewat ibu saya
yang senantiasa berusaha memberikan pemahaman kepada mereka agar bisa menerima keadaan saya dan mulai pada waktu itu tidak
banyak lagi teman-teman saya yang mengejek. Namun, satu dua tentunya yang terutama anak-anak di lingkungan kampung tetap saja
berperilaku seperti itu. Kemudian, di tahun apa ya, tamat SD sekitar tahun 75 apa ya, eh 76, saya masuk ke SMP Negeri 1 Perak di
Surabaya. Pada saat itulah saya semakin bisa bersosialisasi dengan lingkungan pendidikan saya walaupun kondisi saya sangat
berbeda dengan mereka dan waktu itu mayoritas teman-temanku adalah perempuan. Mereka lebih bisa menerima daripada teman-
teman laki- laki. Dan yang paling eee monumental adalah ketika saya naik kelas 2 dan saya terpilih menjadi ketua OSIS Negeri 1

108
Perak Surabaya. Waktu itu, melalui pemilihan yang cukup seru sekali dan sangat demokratis dan saya terpilih hampir mutlak,
menang mutlak dari voting itu. Di situlah teman-teman mulai menghormati, menaruh rasa hormat dan segan terhadap saya.
Kemudian, hingga tamat sekolah saya cukup aktif sekali dalam kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah sampai dengan saya tamat di
SMP Negeri 1 Perak. Habis itu saya pindah ke Sulawesi karena ibu saya pindah tugas mengajar. Beliau adalah Guru di SPG Negeri
Surabaya dan dipindahkan ke Sulawesi Selatan tepatnya di Majene. Di sana menjadi kepala sekolah di SPG Negeri di Majene sampai
dengan saya tamat eee sekolah guru sekitar tahun eee 81. Dan eee pengalaman yang menarik selama di apa namanya sekolah
menengah tingkat atas setingkat SLTA waktu itu SPG, sekolah guru, sekolah pendidikan guru. Jadi saya lagi- lagi di SPG itu menjadi
ketua OSIS. Begitu saya pindah itu ada pemilihan. Dan di kelas saya itu semuanya perempuan. Hanya ada 2 orang siswa laki- laki.
Salah satunya Andi Bajo, dia menjadi guru SD di salah satu SD di daerah Pinarang dan saya setamat dari situ diangkat di daerah luar
pulau di Sumba. Pada saat itulah saya pertama kali keluar menjalankan tugas sebagai guru di SD Negeri Legeo di Sumba Barat.
Waktu itu saya naik pesawat dari Ujung Pandang ke eee apa namanya Komodo. Dari Komodo saya baru pindah ke aduh betapa saya
merasakan apa terisolasi sekali dengan kehidupan. Ya karena di sana apalagi lingkungan baru yang sama sekali asing eee apa dengan
dunia waria. Aduh… Saya merasa sekali betapa apa namanya banyak sekali orang seperti yang meremehkan dan terasa ada sampai
murid- murid saya seperti mengejek jadi eee dan saya begitu tidak betah. Saya paksakan, saya mengabdikan diri sebagai guru sampai
2 tahun, sampai selesai pra jabatan dan setahun kemudian saya menjalani tugas tersebut. Hingga pada akhirnya saya meminta
permohonan pengunduran diri ke BKAKN 2 di Surabaya. Tetapi ternyata permohonan saya tersebut ditolak oleh BKAKN. Terpaksa
saya menghadap ke Kakanwil Depdikbud Nusa Tenggara Timur di Kupang. Dan pada saat yang sama saya juga ditolak untuk
mengundurkan diri. Karena saya sudah kehabisan jalan, lalu saya melakukan resign, mengundurkan diri secara sepihak lalu saya
memutuskan pulang ke Majene dan seterusnya saya pindah ke Jogjakarta. Di Jogjakarta saya mulai awal tahun 83.

109
Woo, lama banget..

Iya. Saya mencoba belajar di salah satu perguruan tinggi seni. Di Akademi Seni Tari Indonesia yang di Karang Malang yang
sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta. Pada saat itu, saya diterima di jurusan tari. Tari jawa klasik, gaya Surakarta, gaya
Jogjakarta. Saya menekuni bidang tari. Untuk memperdalam itu semua, saya sambil belajar di beberapa sanggar seni seperti di
tempatnya Pak Bagong Kusudiardjo dan Romo Wisnu Wardana di Mantrijeron. Kemudian, tahun 86 saya menyelesaikan studi di
ASTI dan saya memulai menjalani kehidupan saya di dunia volunteer yang sebetulnya sudah saya tekuni sejak 1983, yaitu saya
menjadi pengamen jalanan. Jadi di saat saya menjadi mahasiswa di ASTI, saya sudah mulai kehidupan menjadi seorang pengamen
dan disitulah saya menemukan finding dari luar. Jadi, ada finding dari luar yang memberikan support untuk melakukan apa namanya
ya untuk mengemban misi pendidikan untuk tetap bisa mengajar walaupun tidak lagi dalam di dinas depdiknas dan pada saat itu kami
mencapai kata kesepakatan untuk membuat sebuah perjanjian eee apa namanya anatara beliau dengan saya karena itu adalah finding
atas nama pribadi, yaitu seorang dokter dari Frankfurt. Dia dari Jerman tetapi dia sangat paham tentang Indonesia dan dia sangat
paham tentang dunia anak-anak jalanan. Boleh dicut sebentar?

Boleh…
(Mbak Rully keluar ruangan sejenak untuk menelepon)

Yo lanjutin, tadi sampai mana?

110
Sejak saya berkomitmen untuk menandatanga ni perjanjian kerjasama dengan salah seorang finding, saya betul-betul mencoba untuk
mengimplementasikan kemampuan saya sebagai pengajar dan bagaimana saya mentransformasikan pengetahuan yang saya miliki
kepada anak-anak seusia sekolah, yaitu kurang lebih usia 7 sampai 15 tahun karena awal-awal itu lingkup kerja saya adalah anak-
anak. Yang menjadi target saya adalah anak-anak yang hidup di jalan tetapi mereka eee udah putus sekolah dan diantaranya ada yang
sudah tidak memiliki orang tua lagi. Kebetulan saya eee berprofesi sebagai pengamen, jadi saya dengan mudah bisa menemukan
anak-anak jalanan. Dan saya bisa langsung untuk bisa memberikan pengajaran kepada mereka tentunya dengan apa namanya metode
pengajaran yang bebas, yang saya sesuaikan dengan minat, kemampuan dan tentu saja sikon, situasi dan kondisi di mana mereka
berada. Dan mereka eee saya kira tidak merasakan secara formal. Bahkan ada yang tidak tahu misi yang saya emban, tugas yang saya
emban, mereka tidak faham. Artinya, saya melakukan itu dengan eee terprogram dan tentu saja fokus dan titik berat karena saya
bertanggung jawab pada finding dan daya lakukan secara concern dan berkelanjutan. Sampai sekitar 10 tahun.

Waa… lama banget

Iya cukup lama. Tapi wilayahnya cukup luas dari ujung timur daratan Pulau Jawa, dari Banyuwangi sampai Jakarta. Di apa namanya
di pelabuhan penyeberangan ke Sumatra. Jadi, eee jangkauan saya cukup luas di situ karena tentunya saya tidak sendiri. Tanpa
dibantu oleh perangkat dan sistem, maka saya mengajak eee beberapa rekan-rekan diperguruan tinggi yang juga concern terhadap di
masalah pendidikan, terutama mereka sekali yang sedang PPL di semester akhir untuk Fakultas Ilmu Pendidikan. Dan banyak sekali
tema-teman dari IKIP Malang dari eee IKIP Jogjakarta dan IKIP Bandung. Pada saat itulah saya memiliki sebuah teamwork dan saya
sangat senang sekali karena bisa berjejaring dengan mereka, sehingga jangkauan saya bisa menjadi lebih banyak dan tugas-tugas

111
menjadi lebih ringan. Dan eee selama program itu berjalan, alhamdulilah saya tidak eee, maksudnya kuliah saya tidak terbengkalai.
Saya bisa menyelesaikan studi. Program itu tetap bisa berjalan dan saya tetap bisa mengamen dengan profesi saya. Dan mulai tahun
1987 ke atas eee karena saya mulai banyak mengerjakan program, tidak saja ada di situ tetapi juga dari salah satu lembaga
internasional yang concern di bidang pengembangan lingkungan hidup. Di situ saya mengenal ada JICA, ada OISKA internasional.
Dan saya baru memulai concern terhadap program-program OISKA 10 tahun kemudian ketika pekerjaan saya di apa namanya
dengan finding pribadi ini selesai sesuai dengan komitmen saya dan baru tahun 1993 itu terealisasi saya masuk di OISKA Indonesia.
Saya menjadi salah satu pemrakarsa program CFP Children Forest Program. Itu merupakan hasil riset saya dengan salah seorang
teman dari Jepang MR. Taichi Ono. Beliau adalah direktur apa namanya OISKA Indonesia yang juga merupakan eee apa namanya
pimpinan di pusat training OISKA itu. Di situ saya menjalankan program Children Forest Program eee dan program Children Forest
Program itu tidak jauh berbeda dengan program terdahulu sebetulnya. Kita muatannya ke pendidikan, cuma di situ bagaimana
mendidik anak-anak untuk mencintai tanaman dan lingkungan hidup sejak usia dini. Jadi, ke sekolah-sekolah dasar dan ada sekitar
113 sekolah dasar dari Sabang sampai Merauke yang menjalankan program itu. Kita memberikan support berupa ya beasiswa,
kemudian pemberian bantuan untuk pengadaan program eee ini tanaman pohon. Jadi, kita ada semacam proyek, di setiap sekolah kita
mewajibkan mereka menanam 1000 pohon satu sekolah. Jadi dengan targetnya 100 siswa maka sepuluh siswa dan guru memiliki
kewajiban untuk menanam 10 pohon. Kemudiaan iii sekitar sampai 5 tahun program itu berjalan. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998
saya eee mendapatkan tugas baru sebagai apa namanya ya aduit untuk keuangan OISKA dan di situ saya mulai mengenal lagi eee apa
jaringan baru di dunia kerja lembaga swadaya masyarakat di mana saya mendapatkan kesempatan untuk banyak belajar eee hal- hal
yang dengan masalah evaluasi dan monitoring kemudian audit dan sebagainya. Dan eee di penghujung tahun 2009 eh 2008, saya
menjadi ketua tim dan monitoring untuk program CFP OISKA Indonesia. Selama 2 tahun masa periode saya ya cukup sibuk sekali.

112
Namun, demikian saya selalu berkesempatan untuk bisa menemui teman-teman waria di seluruh Indonesia terutama sekali yang ada
di Pulau Sulawesi dan saya sempat ikut di kepengurusan waria di Sulawesi dan Surabaya dan sempat vakum cukup lama karena
waktu itu saya diminta oleh salah satu rekan saya dari Australia untuk masuk di Newmoon Nusa Tenggara. Kebetulan ada satu posisi,
yaitu konsultan lingkungan hidup. Kebetulan belaiau mengenal saya sudah cukup lama, sudah hampir 10 tahun dan kami sering
bertemu kalau ada konferensi internasional. Saya sering berangkat dari OISKA Indonesia. Di situ dia minta saya untuk menjadi
konsultan di Newmoon Nusa Tenggara. Beliau itu Mr. David. Dia adalah program manager untuk proyek-proyeknya Newmoon yang
dikawasan Nusa Tenggara Barat. Kebetulan di wilayah Nusa Tenggara Barat, saya kan cukup mengenal masyarakat di eee Sumbawa,
di Taliwang. Nah, dari situlah ada problem karena Newmoon pada saat itu eee bermasalah. Jadi ada semacam demo-demo anti
Amerika yang digalang oleh mahasiswa maupun tokoh masyarakat yang di Taliwang. Jadi, puncaknya itu terjadi semacam, jadi
pemanggilan kembali semua staffnya Newmont yang ada di lokasi untuk kembali dan cukup lama itu sampai 6 builan. Saya tidak
bisa menunggu hal tersebut dan saya memutuskan untuk pulang ke Jogjakarta. Akhirnya, saya membuka sebuah usaha kecil-kecilan,
rentalan computer di daerah Karangkajen. Di daerah Karangkajen tersebut saya memulai usaha kecil-kecilan rentalan yang
mempekerjakan 2 orang, juru ketik dan 1 managemen keuangan. Dan saya sempat meninggalkan mereka kurang lebih 1 tahun. Jadi,
1 tahun itu eee ya bagi saya sebetulnya waktu yang cukup panjang dan ternyata eee tidak terjadi eee apa namanya sinergisitas antara
karyawan saya yang mengelola itu, sehingga usaha itu failed di dalam setahun itu bahkan menyisahkan eee apa namanya kredit yang
membuat saya cukup terbeban. Dan akhirnya saya bisa menyelesaikan itu walaupun saya harus banting setir dengan bekerja apa
namanya partime. Dan sejak tahun eee 2006 saya total udah meninggalkan dunia bisnis dan saya keluar bebas mengamen dan saya
tinggal di jalan dari ya daerah Kediri, Surakarta, ke Jogja, terus Jakarta sampai tahun 2007. Dan di masa vakum itulah saya
membentuk sebuah organisasi komunitas anak jalanan yang bernama eben hezer. Komunitas eben hezer yang didirikannya pada

113
tanggal 27 Oktober tahun 2007 itu menurut akte notaries pendiriannya. Tetapi sebetulnya saya sudah membuat eee apa namanya
rancangan pendirian sejak tahun 2006 itu. Namun, komunikasi yang saya bangun dengan rekan-rekan ya ng ada di jalan terutama
komponen anak-anak yang ada di jalan terus remaja-remaja jalanan yang tersebar di sekitar 17 titik komunitas remaja jalanan kami
melakukan pertemuan yang intensif dan secara berkelanjutan selama kurang lebih 1 tahun itu dan akhirnya terbentuklah komunitas
eben hezer. Dan pada saat yang sama tahun 2007 eee di apa namanya komunitas eben hezer terjadi perkembangan yang cukup pesat,
sehingga saya memutuskan kembali untuk harus tinggal di masyarakat. Kita kembali membuat secretariat di masyarakat. Di situ kita
eee mencoba bergerak memperdayakan anak-anak jalanan, orang tua yang terlantar maupun eee perempuan-perempuan pekerja
seksual di jalan. Pada tahun 2008 itu di LSM kebaya kebetulan kan saya kenal baik dengan mami, beliau meminta kesediaan saya
untuk gabung ke sini. Ya pada prinsipnya saya kira tidak masalah. Karena ini adalah salah satu wadah perjuangan kaum waria dan
saya besedia untuk masuk ke LSM Kebaya. Awalnya bekerja dengan program Hivoz, posisi sebagai coordinator lay support.
Kemudian berkelanjutan dengan program.

Emm, itu tadi kan pengalaman secara global ya mbak. Kalau flash back ke pengalaman masa kecil, bisa lebih dijelaskan
lagi? Hehehe….

Ya. Ada banyak pengalaman pahit yang saya alami secara eee apa namanya ya cukup panjang. Bagaimana eee saya berjuang untuk
bisa diterima sebagai waria. Pertama tentu saja di lingkungan keluarga saya di masa saya tidak berdaya di masa saya kecil ketika
orang-orang mungkin ya belum memperhitungkan saya dalam kapasitas saya sebagai Rully masa kecil. Namun, di situ yang paling
berperan sepertinya adalah ibu saya. Ibu saya mempunyai peran yang cukup besar sekali dimana dia berusaha untuk meyakinkan

114
saudara-saudara saya yang lain bahwa saya bisa apa namanya saya bisa tumbuh dengan wajar di saatnya nanti.

Oh, jadi maksudnya dari ibunya Mbak Rully itu suatu saat Mbak Rully tuh bisa wajarnya tuh maksudnya gimana ?

Bukan, maksudnya dimana suatu saat itu waria akan bisa diterima wajar.

Owh… Aku pikir berubah lagi. Hehehe….

Gak. Hehehe…
Ibu saya sangat memahami tentang hal tersebut. Ya itulah yang terjadi. Kalau pengalaman-pengalaman kekerasan secara verbal saya
kira cukup banyak saya alami terutama sekali di masa- masa ketika saya hidup di jalan. Ada kekerasan fisik. Saya pernah di apa itu di
double stick sampai berdarah di Stasiun Lempuyangan. Waktu masih di Surabaya kita ada perkelahian massal dengan kelompok
agamis dan ya ada beberapa tekanan dari masyarakat tertentu yang tidak bisa menerima waria kayak kita. Kemudian, saya kira yang
paling berkesan adalah eee ketika eee apa namanya lingkungan anak-anak seusia saya itu sulit menerima eksistensi waria. Jadi,
ternyata itu membutuhkan penyesuaian secara khusus sekali. Jadi butuh kemampuan kita secara integral untuk bisa menyesuaikan
diri dengan kondisi dimana kita eee berada pada saat itu. Seperti halnya pada waktu itu kan saya masih usia sekolah dan otomatis
saya tidak mempunyai kekuatan. Ketika saya dandan pun, eee apa namanya tidak ada perlindungan hukum kepada saya. Banyak
tekanan-tekanan yang dialamatkan kepada saya oleh guru-guru terutama guru PMP, Pendidikan Moral Pancasila. Saya pernah
dibilang mayat hidup kamu keluar dari sini. Saya inget Pak Amrula Azrul. Sampai saya sempat berurusan dengan Pak Amrula Azrul

115
di kantor Polisi di Surabaya karena dipanggil di Polsek itu eee Perak Tanjung Balai. Kemudian, saya sempat datang dengan ibu saya
karena pada waktu itu dia mau menempeleng saya, mau ditampar tapi tidak jadi. Tapi ini kan sebuah kekerasan juga. Kekerasan
verbal sekaligus kekerasan fisik terhadap saya. Begitu juga ada teman di masa- masa kuliah yang kebetulan aktif di apa namanya itu
resimen mahasiswa yang selalu setiap hari selalu saja dia harus menegur saya. Sepertinya dia tidak apa, tidak merasa puas kalau
belum memberikan teguran kepada saya. Setiap hari ada saja. Jadi, saya itu dilihat sebagai apa namanya figure yang eee apa ya aneh
mungkin buat dia. Ya tidak dipandang wajar. Setiap hari ada aja kita perdebatan eee ya argumentasi. Pasti ada adu argumentasi baik
di acara yang formal dan non formal. Jadi, ini betul-betul buat saya kan sebuah apa namanya ada tekanan yang sangat khusus. Belum
lagi dari keluarga saya sendiri, misalnya dengan saudara-saudara dekat saya yang mayoritas mereka tertarik di bidang militer dan
hingga saat ini mereka bahkan ya boleh dikatakan hubungan tidak baik dengan saya. Karena mereka enggan didatangi oleh saya.
Ketika saya melakukan silaturahmi pada saat lebaran misalnya seperti itu ke Magelang. Kebetulan salah satu staf pengajar di AKMIL
Magelang dan ya seperti dingin-dingin gimana gitu. Tidak ada tanggapan sama sekali ya udah saya memilih untuk tidak datang.
Tetapi saya tetap menjaga eee apa namanya tidak putusnya komunikasi melalui surat. Biasanya saya mengirimkan mereka kartu
ucapan di saat Lebaran dan Tahun Baru. Ya untuk setiap lebaran saya biasanya selalu eee ya harus punya menyediakan dana khusus
untuk menyambung tali silaturahmi dengan beberapa figure keluarga saya yang sangat hitam putih melihat apa namanya ya waria itu.

Jadi, kalau disimpulin, cukup banyak juga ya pengalaman diskriminasi yang dialami ama Mbak Rully ?

Ya. Saya selalu diajarkan oleh ibu saya untuk selalu apa namanya ya low profile. Selalu ya melihat sesuatu dengan proporsional dan
tidak perlu melibatkan emosi. Dan itu yang saya lakukan selama ini. Saya selalu apa namanya memberikan pemahamanan. Dan saya

116
tidak pernah mengucapkan sesuatu yang membuat orang-orang itu menjadi membalas atau malah tersakiti kembali. Karena menurut
saya biarlah mereka mengucapkan kata-kata pelecehan buat saya yang penting itu ya saya adanya seperti ini. Ya saya berdoa mudah-
mudahan suatu ketika mereka bisa menyadari bahwa apa yang ada pada diri saya itu bukan sesuatu yang saya buat-buat.

117
WAWANCARA TAHAP 3
Kemarin itu aku bagi jadi dua, yaitu masa kecil dan masa dewasa tentang diskriminasi. Nah, untuk pengalaman masa
kecilnya itu diskriminasi verbal dan fisik. Diskriminasi verbalnya itu dari teman-teman dan dari guru. Itu teman-temannya?

Teman-teman bermain sekolah dan tempat tinggal.

Iya, kemudian saat dewasa itu diskriminasinya dari kelompok agamis, teman-teman kuliah, masyarakat dan keluarga yang
mayoritas berkecimpung di dunia militer kan ? Jadi, diskriminasinya tidak hanya diskriminasi verbal tetapi juga kekerasan
fisik dan semacam pengucilan dari keluarga gitu ya?

Yak.

Kemudian di sini ada figure yang berperan saat masih kecil, yaitu ibu yang selalu memberikan pemahaman kepada teman-
teman Mbak Rully agar bisa menerima Mbak Rully. Ibu Mbak juga mengajarkan untuk selalu low profile. Nah, sa,pai saat
ini kan Mbak Rully juga seperti itu kan. Berarti secara tidak langsung Mbak Rully mencontoh apa yang dilakukan oleh ibu
Mbak Rully, gitu? Kemudian, Mbak Rully memahami masyarakat sebagai orang yang belum mengenal dunia waria seperti
itu?

Belum paham, pemahaman mereka terhadap dunia waria itu sangat terbatas. Dan pola pikir mereka, menurut mereka yang benar itu

118
menjadi laki- laki atau perempuan saja. Jadi, kalau tidak menjadi seperti itu ya bagi mereka dianggap menyimpang. Oleh sebab itu
kebanyakan dari mereka belum menerima keberadaan waria dan mendiskriminasikan waria.

Kemudian selama ini Mbak Rully hanya bisa berharap agar mereka, maksudnya masyarakat itu berubah dan bisa
menerima waria kan? Doing nya tidak ada?

Sebenarnya apa yang saya lakukan dengan kampanye-kampanye, dengan berperan aktif mengikuti kegiatan diskusi publik, talk show,
seminar-seminar. Itu merupakan sebagai sesuatu dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria.

Owh, jadi bukan berarti pasrah ya.

Iya. Jadi, pemahamannya pun saya melakukan sesuatu hal. Dengan terlibat aktif seperti itu kan secara tidak langsung memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang dunia waria yang mungkin bisa mengurangi diskriminasi kepada waria.

Owh gitu toh.

Saya memang tidak menggunakan kekerasan atau emosi dalam menanggapi diskriminasi. Itu memang saya terapkan dalam diri saya
sesuai nasehat dan apa yang dicontohkan oleh ibu saya selama ini. Tetapi bukan berarti saya hanya diam saja. Eee…. apa namanya,
selain saya berharap agar masyarakat mau menerima keberadaan waria, saya juga melakukan sesuatu agar pengharapan saya itu

119
terwujud ya dengan memberikan pemahaman tentang dunia waria. Ya dengan yang telah saya sebutkan di atas tadi, dengan seminar
dan lain- lain.

120
WAWANCARA TAHAP 1 & 2
Jadi aku minta Mbak Tika nyritain pengalamannya dari masa kecil sampai sekarang.

Dari kecil sampai sekarang ?

He’em, terserah mau pengalaman apa wes.

Eee… sebelumnya, nama saya Tika. Nama lengkapnya, nama kerennya sekarang Tika Aurora gitu ya. Tapi nama asli saya Rido Budi
Lastiko. Rido Budi Lastiko, tetapi tetangga saya memanggil saya Tiko. Nama panggilan saya di rumah tuh Tiko. Kebetulan saya
kembar. Kembaran saya namanya Rido Budi Pramono. Belakangnya aja yang membedakan, depannya sama. Jadi, panggilan kita itu
panggilan nama belakang. Dari kecil saya tuh memang saya merasakan sendiri. Sejak dari kecil itu saya sudah merasakan hal yang
berbeda yang saya rasakan. Mulai dari hobi. Dari kecil, saya memang eee suka dengan hal- hal yang berbau perempuan. Yang jelas
sangat bertolak belakang sekali dengan kembaran saya. Eee, dari kecil saya suka maen kalau orang jawa bilang pasaran, maen
boneka, anak-anakan. Itu dari kecil tuh aku seneng. Kebetulan juga eee keluargaku memang keluarga besar. Jadi, orang tuaku itu gak
terlalu memperhatikan sekali tumbuh kembang anaknya gitu kan. Saya merasa gak pernah dekat dengan orang tua saya. Ditambah
lagi saya dibesarkan oleh bulik. Bulik saya yang kebetulan memang satu kampung tapi beda rumah. Bulik saya itu sangat
memanjakan saya. Maksdunya, apa sih yang saya inginkan. Saya pengen apa, bulik saya membelikan. Saya pengen boneka, bulik
saya membelikan. Saya pengen mainan- mainan anak cewek perempuan, bulik saya membelikan. Jadi, eee karena memang kesibukan
orang tua saya, orang tua kandung saya gak pernah memperhatikan saya. Ya udah, saya jalan aja. Saya lakukan apa yang memang

121
saya seneng tanpa ada batasan atau larangan- larangan. Ternyata setelah saya rasakan sekarang memang orang tua sangat berpengaruh
dalam tumbuh kembang anak khususnya eee masalah orientasi seks. Jadi, saya kecil SD itu sama bulik saya. Saya mau beli apa
dibelikan. Saya mau maenan cewek apa dibelikan supaya saya diam. Sebenarnya tujuan bulik saya tuh cuma gak susah-susah, cuma
biar saya diem sebagai anak, gak rewel, gak nakal. Dia mau apa sih, saya turutin. Tapi sebenarnya tuh salah juga bulik saya karena
itu kan tidak sewajarnya. Orang anak laki- laki beli maenan boneka. Kemudian, mulai tumbuh besar, beranjak SMP ya. Saya tuh
merasakan hal yang berbeda yang saya rasakan. Ternyata kenapa ? Dari kecil saya tuh merasa kalau liat cowok yang ganteng- ganteng
tuh seneng. Hehehe… Saya gak pernah tau apa sih yang saya rasakan gitu lho. Cuma dari awal mula seperti itu. Saya tuh kalau liat
cowok tuh seneng, ganteng. Jadi, saya bisa membedakan mana cowok yang ganteng mana yang gak ganteng. Dari kecil udah bisa
membedakan. Terus masa-masa puber itulah yang sangat berpengaruh bagi saya. Sekitar kelas 2 SMP ya. Pada umumnya seorang
laki- laki, masa- masa puber itu akan tertarik dengan perempuan. Tetapi saya justru kebalikannya. Kenapa saya kok tertarik dengan
laki- laki. Nah, itu saya diamkan saja dan di dalam hati saya. Nggak pernah ada keterbukaan dengan keluarga dengan orang tua itu
nggak pernah. Saya hanya diam sampai-sampai beranjak SMA. Itu masih saya rasakan dan semakin menggebu yang saya rasakan.
Ketertarikan dengan laki- laki itu semakin bsesar. Pada akhirnya, awal-awal SMA ya mungkin kalau bagi cewek dia mulai bersolek.
Udah mulai merawat dirinya, sudah mulai mulai dandan sepesrti itu. Dan laki- laki mungkin eee masa-masa pubernya dia akan mimpi
basah kalau tidur tapi membayangkan perempuan. Saya enggak, saya kebalikannya. Saya mimpi basah itu saya mimpi dengan laki-
laki gitu lho. Itu yang saya rasakan. Saya sendiri juga heran. Saya nggak tau karena saya juga nggak pernah cerita dengan siapa-siapa.
Masa puber-puber saya seperti perempuan pada umumnya. Udah mulai mengenal bedak, udah bisa mengenal lipgloss, seperti itu.
Kemudian, dari segi penampilan, misalkan waktu SMA sekolah. Seragam saya sudah beda dari cowok-cowok yang lain. Punyaku
selalu tak buat press body. Kebetulan aku dari SMP, memang aku sudah bisa menjahit. Seharusnya, saya juga tidak menyalahkan

122
orang tua ya. Seharusnya kalo orang tua melihat perkembangan anaknya laki- laki kok menyimpang, seharusnya kan bisa
mengarahkan. Tetapi karena itu tadi, kesibukan orang tua tadi ya khususnya ibu saya eee bapak saya itu gak ada sekitar saya dari SD
mau masuk SMP. Bapak saya meninggal, dari SD mau ke SMP bapak saya meninggal. Otomatis ibu saya lebih sibuk lagi dengan
kegiatan mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya sampai-sampai hal seperti ini nggak pernah diperhatikan. Saya dengan
hobinya menjahit, hobi memasak. Harusnya kan orang tua tau ya. Kok anak saya laki- laki tapi beda dengan anak laki- laki yang lain.
Saya 8 keluarga. Saya anak nomer 7. Kebetulan saat saya masih kecil, yang sebaya dengan saya itu ada 5. Dalam keluarga tuh satu
tahun satu tahun tuh 5. He’e 5 anak laki- laki semua. Yang besar-besar udah menikah waktu itu. Ibu saya tidak pernah memperhatikan
sampai-sampai setelah saya SMA, saya benar-benar tertarik dengan laki- laki. Ya udah seperti apa yang kita rasakan, seperti yang
perempuan rasakan. Supaya laki- laki tertarik dengan perempuan, apa sih yang kita dilakukan. Kita mulai berdandan, kita mulai
memoles diri seperti itu. Sejak SMA, kebetulan saya SMA sekolahnya di STM. Ya mungkin sejak SMP ya, ibu saya sudah
merasakan hal yang berbeda. Bulik saya juga sudah merasakan hal yang berbeda. Eee karena saya lebih feminin daripada anak-anak
laki- laki yang lain. Makanya, saya disekolahkan di STM dengan harapan orang tua saya supaya saya di STM itu kan laki- laki semua
ya. Supaya kembali normal menjadi laki- laki utuh gitu, nggak kemayu, nggak genit. Tetapi justru itu yang membuat saya merasa,
membuat saya semakin merasa bahwa diri saya tuh perempuan gitu lho.

Lha ya cowok semua.

Ya memang di situ cowok semua. Ya sampai akhirnya saya punya cowok pertama kali tuh kelas 2 SMA. Kebetulan cowok saya tuh
kelas 3 SMA, kakak kelas saya. Memang berawal mula dia tuh takut. Tapi trus lama- lama bisa ngobrol, trus bisa deket malah akrab

123
banget. Nggak tau lama-kelamaan malah jadi pacaran. Dimana ada dia pasti ada saya. Dimana ada saya pasti ada dia, seperti itu. Di
sekolahan itu samapi heboh karena emang sudah ada rumor, gossip bahwa saya pacaran dengan dia. Tapi saya setelah pacaran sama
dia selama 2 tahun, dia disenengi sama temen cewek saya. Disenengi sama teman cewek saya. Ya udah, akhirnya temen saya cewek
itu sering datang ke rumah saya. Pokokknya melakukan pendekatan dengan saya dulu karena memang target cewek itu adalah laki-
laki saya. Karena memang cewek itu udah terlanjur baik, ya sudah saya harus merelakan. Cowok itu pertama nggak mau pacaran
sama cewek itu. Tapi saya bujuk-bujuk. Ya udah nggak apa, dia itu baik. Akhirnya, jadi pacaranya. Saya menangis. Setelah saya
lulus SMA, saya mulai bener-bener dandan full menjadi seorang waria. Awal mula keluarga saya nggak bisa terima dengan
keberadaan saya. Tiba-tiba dandan komplit gitu lho, dengan make up komplit dengan high heel. Pertama kali kakak saya yang paling
besar yang tidak bisa menerima keberadaan saya yang seperti itu. Dan sempat mengancam “awas kalo kamu pulang lagi dengan
keadaan dandan, kamu tak pukulin”. Oke, saya nggak pulang. Saya pergi dari rumah ini karena saya eee karena saya akan terkekang
jika saya di rumah. Apalagi koe kudu nglanang. Saya nggak bisa. Trus ada lagi kakak saya yang satu lagi sampai ngomonga “Buk
saya nggak mau mengakui Tiko sebagai adik kalo dia dandan”. Ya udah, konsekuensinya saya keluar dari rumah agar saya bebas.
Bebas dalam arti bisa mengekspresikan diri gitu. Selama 2 tahun saya nggak pernah pulang. Ya paling pulang cuma dalam sebulan 2
kali cuma untuk membesuk ibu. Tapi itu sih tetep nggak dandan. Selama 2 tahun. Eee, kemudian saya karena akhir-akhir ini saya
sering pulang, ibu saya ngomong “udah kamu terserah kalo itu memang sudah menjadi pilihan hidup kamu”. Karena keluarga saya,
karena keluarga besar ya, sempat mengadakan rapat keluarga, ada bulik, ada budhe, ada semua family-family mengenai saya. Tapi
alhamdulilah dengan kejujuran ibu saya “ya sudah itu sudah menjadi pilihan hidup dia, ya sudah mau gimana lagi?. Yang jelas kita
sebagai orang tua. Pokoknya bilang gitu, saya kan ada di situ juga. Kita harus tetap memantau dia. Memang ibu saya dan keluarga
saya itu selalu eee terpancang oleh pemikiran bahwa waria identik dengan mangkal di jalan, dengan menjajakan seks di jalan. Itu

124
yang sebenarnya membuat keluarga saya itu takut dengan status saya menjadi waria. Keluarga saya itu takut seperti itu. Tapi ya itu
tadi. Itu menjadi suatu PR bagi saya karena saya harus meyakinkan kelaurga saya bahwa pemikiran keluarga saya itu adalah salah.
Memang ada waria yang memang mangkal dengna profesi seperti itu. Tetapi kan tidak semua waria seperti itu. Dengan cara apa ? Ya
sudah, meskipun saya waria, intinya harus berprestasi. Berprestasi nggak harus juara gitu. Maksudnya, saya harus bekerja. Saya harus
bisa kemampuan-kemampuan saya meskipun saya waria, akan saya perlihatkan kepada mereka. Meskipun saya waria, saya bisa
menjahit. Saya bekerja di modiste- modiste dan hasilnya saya berikan pada ibu saya. Justru kakak-kakak saya, apalagi mereka sudah
menikah menjadi gimana ya. Meskipun adik itu waria, dia yang paling tau dengan ibu. Saya sendiri yang istilahnya yang hidup
normal malah nggak bisa membantu seperti itu. Akhirnya, mereka bisa menerima keberadaan saya. Lebih- lebih eee saya kebetulan
kalo dengan tetanga-tetangga enteng tenagane. Maksud to ?

He’em…

Jadi Tik minta tolong, tolong dipotongke rambut. Oh iya. Tik tolong disemirke rambut. Oh iya. Tik tolong di make up, misa kalo ada
yang punya gawe. Oh iya. Saya seperti itu dan saya juga tidak pernah menuntut. Kalo yang memberi, ya saya terima. Nggak juga
nggak masalah. Jadi, eee tetangga-tetangga saya pun akhirnya bisa menerima. Nggak ada gunjingan eh “banci banci banci. Saiki
Tiko dadi banci”. Nggak pernah karena memang sosialisasi dan eee dan hidup saya bermasyarakat tuh sangat baik. Kemudian, ibu
saya akhirnya sampai sekarang bisa mendukung dengan keberadaan saya seperti ini. Kebetulan saya kan salah satu pengurus
komunitas waria yang ada di Bank Indonesia. Tiap bulan sekali tuh pasti ada pertemuan rutinnya. Pertemuan rutin tuh pasti di rumah
saya dan ibu saya tuh seneng sekali untuk memfasilitasi. Meskipun cuma dengan uang konsumsi lima puluh ribu tapi bisa untuk

125
makan, bisa unutk snack, bisa untuk anak 30 orang. Bayangkan saja lima puluh ribu tuh sampai mana sekarang ? Dengan snack
beberapa macem. Saya menjadi bangga akhirnya ibu saya bener-bener bisa menerima keberadaan saya seperti ini. Yang menjadi
beban saya sekarang mungkin saya harus bisa bener-bener memilih jalan yang bener. Jalan yang bener dalam arti saya waria, jangan
sampai saya trus kepengaruh temen-temen yang negatif. Ibu saya juga takutnya seperti itu. Ya udah itu menjadi beban dalam arti saya
harus bis a bener-bener menjaga, jangan sampai keliru salah jalan. Jangan sampai pemikiran keluarga saya berubah lagi karena
memang saya salah jalan. Ini sampai sekarang ? Sampai kehidupan saya sekarang.

Iya.

Eee, tapi jujur aja meskipun saya menjadi waria awal-awal tahun 2001. Pertama kali itu dandan tahun 2001. Sama temen saya,
namanya Mbak Kus waktu itu diajakin muter- muter. Saya ngrasa takut. Takutnya karena memang eee teman saya itu memang sangat
berani menggoda laki- laki seperti itu. Takut karena nggak biasa karena itu bukan profesi saya. Akhirnya saya kenal dengan laki- laki,
dengan cowok yang dulunya sih sebenarnya cinta, seneng gitu. Ya udah, saya akhirnya pacaran sama dia sampai 6 tahun.

Sampai sekarang ?

Eh kalo sekarang udah, saya mulai pacaran dengan dia itu sekitar tahun 2002. Awal-awal 2002. Kemarin udah putus tapi hubungan
kita itu masih bagus, seperi saudara. Dia masih suka datang ke sini, tengok aku, kabarku gimana. Jadi, udah nggak sedalam seperti
pacaran. Saya sangat susah menyukai laki- laki, cinta gitu. Tapi setelah saya cinta, saya akan sangat susah untuk melupakan itu.

126
Seperti itu saya. Jadi ya meskipun udah lama nggak punya pacar, saya belum punya pikiran punya pacar lagi. Daripada nanti pacaran
cuma asal-asalan. Saya sadar dengan status saya sendiri. Nanti akhirnya cuma sakit hati sendiri. Yang jelas saya bisa awet pacaran
sampai segitu lamanya karena saya bukan tipe waria yang posesif. Saya selalu sadar dengan status saya. Status saya waria. Pacar saya
laki- laki. Ya dalam benak dan pikiran saya tuh ya laki- laki itu jodohnya sama perempuan. Jadi, saya tuh hanya sekedar untuk batu
loncatan lah, atau untuk having fun aja gitu ya. Jadi, selama dia pacaran dengan saya, dia jalan sama cewek. Saya nggak pernah
cemburu. Terserah karena itu memang kodrat dia laki- laki dengan perempuan. Pada akhirnya saya bisa masuk di LSM Kebaya.
Walaupun sebelumnya saya kerja di modiste pernah ya. Waktu itu di daerah Condong Catur juga, di daerah Gebang, di daerah
perumahan Candi Gebang. Aku kerja di situ dengan teman-teman saya yang cewek semua dan berjilbab semua.

Hahaha…

Lebih- lebih eee bos saya itu eee kebetulan orang muslim dan memang untuk beribadah itu kuat sekali. Dia dosen UII. Tapi saya
bersyukur karena dengan keberadaan saya seprti ini, dia nggak mempersalahkan karena dia hanya membutuhkan kinerja yang baik,
tidak peduli apa orientsi seks kamu. Setelah kerja di situ, saya sempat kerja lagi di butik. Butik di Jalan Kaliurang. Eee, sempat
beberapa bulan trus akhirnya masuk di Kebaya. Kenapa aku kok bisa masuk Kebaya ? Eee, pertimbangan orang-orang Kebaya, saya
termasuk orang berpengaruh di komunitas Bank Indonesia. Saya orang yang sangat berpengaruh di sana. Saya direkrut untuk
dimasukkan ke Kebaya dengan pertimbangan seperti itu dan sampai sekarang.

Kalau misalnya, itu kan pengalaman secara global toh ? Kalau flash back ke pengalaman masa kecil, bisa dijelasin lagi gak ?

127
lebih detail lagi.

Lebih detail lagi ?

Iya.

Oke baiklah. Dari kecil memang saya tertarik dengan laki- laki. Apalagi dulu di tempat saya itu ada seperti pemandian.

Eh, ngintip ini. Hehehe…

Hehehe… Iya. Ini namanya candi. Kita bilang itu candi karena memang bentuknya memang dari batu seperti itu. Pemandaian untuk
laki- laki sendiri, untuk perempuan sendiri. Saya tuh kalau mandi itu di pemandaian yang laki- laki, di candi yang laki- laki. Saya tuh
seneng waktu ngliat laki- laki, ngintip seperti itu. Saya tuh seneng sekali dan eee itu ya mungkin ya. Seperti yang sudah saya jelaskan
saya sendiri nggak sadar dengan apa yang saya rasakan. Saya tertarik. Saya seneng aja nonton itu. Ya udah saya tonton aja.heran juga
kan. Apa yang saya rasakan suka nggak tau. Eee dari kecil kan memang sudah terpisah dengan keluarga ya tapi memang masih sering
ketemu karena memang jaraknya nggak begitu jauh. Saya maen dengan kelaurga, dengan kakak-kakak saya dengan adik saya.
Mereka suka maen gulat, saya senengnya maen boneka. Kadang saya diejek sama mereka. “Banci, Tiko ki banci, Tiko ki banci”. Aku
nanti nangis.

128
Hehehe…

Aku diejek-ejek gitu, aku nangis. Aku pulang ke rumahnya bulikku. Nanti bulikku datang ngasi tau ke mereka. Hal itu sering terjadi.
Misalkan berantem, yang lain pada pukul-pukulan, aku cuma nyakar. “Opo koe wong lanang kok gelute ming nyakar. Koe banci”
(kamu laki- laki berkelahi kok nyakar. Kamu banci) seperti itu. Ya saya nggak sadar gitu. Kalau berantem kok tiba-tiba refleks ya
cuma nyakar, njiwit (mencubit) seperti itu lho. Nggak njambak, nonjok seperti laki- laki itu nggak pernah. Saya sendiri juga nggak
sadar. Hal- hal seperti itu yang bisa saya lakukan. Sampai-sampai keluarga saya tuh kalo manggil saya sentul sari. Saya kalo jalan itu
dari kecil menthul-menthul, kemayu megal- megol gitu lho. Kalau manggil sentul sari gitu. Bahkan diejek ”sentul sari rupane koyo
gendul”. Jadi, kan anaknya yang kecil kan 5 orang ya. Kakak saya, trus masih ada satu lagi, saya, kembaran saya trus adik saya. Jadi
4 orang itu pada ngejek saya karena saya dari kecil genit sekali. Sentul sari rupane koo gendhul karena memang saya tuh dari kecil
nggak pernah lepas dari gendhul eee botol kampong. Karena dari kecil saya nggak campur dengan ibu ya jadi saya dari kecil
disambung dengan dot bayi itu. Makanya kadang diejek sentul sari ruapane koyo gendul. Aku terus nangis seperti itu. Gimana ya,
kadang kalo aku inget masa lalu itu jadi malu sendiri. Kok aku seperti itu. Saya nggak sadar dengan apa yang saya rasakan.

Terus kan itu tadi kan dari saudara yang ngejekin. Bisa dibilang itu pengalaman diskriminasi, walaupun nggak banget. Kalo
yang dari temen sendiri atau tetangga gitu ? atau sampai sekarang ?

Kalo diskriminasi ya lingkungan keluarga. Itu saya merasakan sendiri diskriminasi apalagi waktu bapak saya masih ada. Saya tuh
ngarasa di lingkungan keluarga saya sendiri, saya merasa terkucilkan. Apalagi ada salah satu kakak saya yang sangat dimanja sekali

129
sama bapak saya. Karena memang dari kecil saya tuh orang bilang lebih gemi. Dalam arti bisa eee manajemen lah. Jadi, saya dapet
uang dari bulik saya itu nanti saya tabung. Saya misalkan bantuin ibu saya dikasi duit itu saya tabung. Dari kecil saya sudah keliatan
bakat untuk wirausahanya. Ibu saya kan waktu itu kan jual, bikin makanan kayak martabak kayak lumpia gitu lho. SD itu saya udah
ider keliling bawa keranjang. Lumpia lumpia martabak martabak. Ya itu keliling kampung saya. Itu kalo anak laki- laki normal mana
mau seperti itu, akan malu. Dengan membantu ibu untuk keliling, na nti saya dapet duit dari ibu saya. Nanti saya masukkan ke
tabungan. Dulu kan kalo waktu SD nabung di tempatnya ibu guru ya. Tanpa sepengetahuan saya, bapak saya tuh kadang ngambil
uang tabungan saya. Nggak ngomong dulu sama saya. Nanti tau-tau guru saya ngomong kalo bapak ngambil duit. Hanya untuk,
misalnya kakak saya pengen mobil- mobilan. Misalnya, anak-anaknya lagi maen semua. Kalo ibu saya kerepotan, yang dipanggil
cuma saya sama bapak saya. Disuruh bantuin di dapur. Saya tuh merasa di anak tirikan oleh keluarga saya. Tapi eee ya salah satunya
membuat saya bisa masak karena sering membantu ibu saya. Ya sudah itu salah satu kelebihan yang bisa saya ambil. Saya jadi bisa
masak, jadi seneng di dapur. Tapi ya sudah. Kalo bapak saya melakukan ini sama saya ya udah mau apa lagi, saya lakukan. Tapi
semenjak bapak saya nggak ada, eee saya tambah jauh lagi dengan keluarga, dengan ibu saya khususnya. Bapak nggak ada saya
tambah jauh lagi dengan ibu saya karena ibu saya tadi sangat sibuk seperti yang udah saya bilang tadi. Makani anak pirang-pirang
(memberi makan banyak anak) sampai akhirnya anaknya bisa lulus semua sampai SMA. Membiayai hidup, membiayai sekolah.
Setelah bapak saya meninggal, saya menjadi lebih jauh dari ibu saya. Tujuan saya hanya saya nyenengin ibu saya. Kalo saya tinggal
di rumah situ, otomatis saya akan nambahin beban ibu saya. Waktu itu bulik saya dari Pathuk pindah ke Maguwoharjo. Saya ikut ke
Maguwoharjo aja. Otomatis lebih jauh apalagi eee waktu itu belum ada handphone seperti itu. Saya merasa jauh sekali dengan ibu
saya. Sampai akhirnya sampai lulus SMA itu saya tetep ikut sama bulik saya.

130
Jadi, kalo bisa disimpulin, pengalaman diskriminasi itu lebih dari keluarga ya ?

He’e. Kalo dari masyarakat sendiri itu, ya itu temen-temen sejak kecil ngejek saya “banci banci banci”. Itu hal yang biasa bagi saya.
Kadang saya nangis terus pulang. Nanti embah saya yang marahin,, seperti itu. Saya masih ada perlindungan walaupun bukan dengan
ibu saya. Terus kalo diskriminasi dengan tetangga sampai sekarang kebetelan udah nggak. Itu mungkin waktu kecil tapi maklum
ejek-ejekan. Tapi setelah besar dewasa itu nggak. Mereka bisa menerima keberadaan saya seperti itu, status ini. Asalkan nggak
ganggu seperti itu. Eee kalo cuma diskriminasi seperti kekerasan di jalan, secara fisik itu jarang saya dapatkan. Tapi dengan kata-
kata. Cacian dan makian itu udah hal yang biasa bagi saya. Saking seringnya itu bukan saya anggap diskriminasi karena seringnya
lho. Itu menjadi makanan tiap hari. Udah kebal. Ya banci banci banci. Dengan kata-kata mut mut, sedot sedot seperti itu. Kata-kata
melecehkan. Itu hal yang biasa karena seringnya saya dapakan. Kebetulan kalo untuk daerah kos sini nggak. Paling kalo cuma lewat
kos cowok ya diketawain. Saya nggak pernah marah kalo saya dikatain atau diketawain. Karena ibu saya pernah bilang “kamu
jangan marah kalo dikatain banci karena memang kamu banci. Itu kan yang kamu pilih, jalan ini kan yang kamu pilih. Ya mungkin
mereka ketawain kamu karena maklumlah laki-laki dandan mungkin bagi mereka lucu. Kamu jangan marah. Kalo kamu memang
banci dikatain banci banci, jangan marah. Kalo kamu banci, diketawain jangan marah juga. Biarkan saja”. Ya sampai sekarang
kata-kata itu saya inget sampai sekarang. Saya terapin pokoknya nasihat ibu saya. Nggak pernah marah saya dikatain banci banci
karena memang saya banci. Biarin, mungkin bagi mereka lucu. Eee kalo diskriminasi yang dulu sering saya rasakan itu diskriminasi
pekerjaan. Saya menjadi waria, saya nggak mau nganggur. Saya tetep mau nyari pekerjaan. Karena kemampuan saya di salon dan di
njahit di busana. Saya sering baca nyari- nyari lowongan. Misalkan, lowongan pekerjaan dibutuhkan tenaga kerja kerja penjahit
professional, rapi, terampil gitu kan. Hubungin modiste ini ini ini. Setelah saya hubungi, maaf kita nggak nerima tenaga kerja waria.

131
Itu sering sekali saya dapatkan. Terus kalo dipikir kan yang dibutuhkan kan hasil kerjanya. Yang penting kan hassil jahitannya rapi.
Tapi setelah saya hubungi, pasti maaf saya nggak nerima waria. Itu sering sekali saya dapatkan. Bahkan di salon pun juga. Misalnya
kapster gitu. Maaf kita nyari yang perempuan. Kalo dipikirkan duni busana dan dunia kecantikan itu waria selalu berkaitan dengan
hal itu. Tapi masih diskriminasi. Akhirnya saya sempat nglokro (menyerah). Temen saya ada yang nawarin tapi yang punya itu haji
laki perempuan. Mudah- mudahan mau ya nerima. Akhirnya saya masuk di Gebang. Meskipun mereka orangnya beragama taat, tapi
bisa menerima saya karena hasil kinerja saya yang dilihat. Kalo di salon udah nggak lagi. Ah males aku. Besok kalo punya modal
buka sendiri aja.

132
WAWANCARA TAHAP 3
Kan kemarin itu aku bagi jadi 2 ya, masa kecil sama dewasa. Terus kan kalau masa kecilnya itu hanya sebatas diskriminasi
verbal dari peer group, yaitu teman-teman dan saudara. Terus kalau yang pas gede itu ada diskriminasi verbal juga dan
diskriminasi pekerjaan yang dua-duanya dari masyarakat. Dan selama ini Mbak Tika menanggapi diskriminasi tersebut
dengan cuek gitu ya ?

Bukan cuek tetapi karena sudah seringnya jadi saya anggap sebagai hal yang biasa. Saya sudah bukan menganggap itu sebagai
diskriminasi lagi karena seringnya.

Owh… Kemudian, sikap Mbak Tika yang seperti itu kalau nggak salah juga dipengaruhi oleh nasehat juga kan ? Kalau
nggak salah ibu menasehati agar Mbak Tika jangan marah kalau diejek karena itu sudah menjadi pilhan Mbak Tika. Gitu
kan ?

He’em

Trus figur yang berperan saat masih kecil adalah bulik dan embah.

Iya bulik dan embah. Oh simbah ku, embah putri.

133
Kalau pas gede itu figurnya itu ibu. Nah itu ada perbedaan figur kan.

Kalau mungkin dulu sering nangis dan ada yang ngibur, yaitu bulik sama simbah. Itu istilahnya orang tua mengajarkan kepada kita
untuk lebih sabar menghadapi diskriminasi. Tapi kan mereka nggak bisa ngasi nasehat yang lebih karena saya masih kecil, jadi masih
sebatas ngibur biar nggak nangis. Setelah saya dewasa, saya bisa lebih berpikir dan dijelaskan lagi oleh ibu saya karena itu adalah
pilihan hidup saya.

Kemudian kemarin itu aku menangkap tentang pemahaman Mbak Tika kepada orang lain itu bahwa mereka menganggap
Mbak Tika, maksudnya waria itu lucu karena jarang lelaki dandan. Gitu ya ? Ada yang lain ?

Pada dasarnya seperti itu. Mungkin dipikiran mereka laki- laki yang dandan itu lucu. Itu aja sih pada dasarnya. Kalau aku ya oke
meskipun saya seorang waria ya saya harus memiliki sisi yang lain, sesuatu yang lebih. Yang belum tentu orang-orang heteroseksual
memilikinya, salah satu nya ketrampilan. Saya waria tetapi saya mempunyai ketrampilan di dunia busana, di dunia kecantikan. Itu
yang harus saya tunjukkan, tidak hanya di masyarakat tetapi di dalam keluarga juga yang pada awalnya tidak bisa menerima
keberadaan saya.

Jadi, bisa dibilang kalau Mbak Tika juga harus memiliki dan menunjukkan ke masyarakat dan keluarga kalau Mbak Tika
mempunyai sis yang lebih gitu kan ?

134
Iya. Jadi, agar mereka maksudnya keluarga dan masyarakat juga tahu kalau waria itu juga berguna, kalau waria itu juga mampu dan
bisa dan punya sisi lebih.

135
WAWANCARA TAHAP 1 & 2
Mbak Bella, eee aku minta Mbak Bella ceritain pengalaman Mbak Bella dari kecil sampai sekarang. Bisa toh mbak ?

Ya bisa. Tapi pengalaman yang apa ?

Terserah Mbak Bella, yang paling berkesan buat Mbak Bella. Semuanya juga boleh. Hehehe…

Oh gitu. Ya udah. Masa kecilku itu aku habiskan di kota kelahiranku ya di Jogja ini. Aku asli Jogja lho. Terus apa yo. Tapi aku pas
SMP itu aku pindah ke Jakarta. Jadi logatku sekarang udah nggak Jawa gitu. Udah logat Jakartaan gitu deh. Dulu waktu kecil itu aku
udah beda sama anak laki- laki lainnya. Aku tuh nggak doyan mainan laki. Aku doyannya mainan perempuan gitu. Aku malah sering
main anak-anak cewek. Aku sering main boneka-bonekaan. Malah kadang kalau malam itu aku suka pakai daster punya ibuku.
Hehehe… Aku itu 3 bersaudara. Aku anak ketiga. Jadi aku anak bontot. 2 kakak ku itu cewek, aku sendiri yang laki say. Habis itu
aku juga suka tidur sama kakak ku kalau mala m. Kadang teman-temanku di sekolah sama di rumah itu suka nriakin aku banci banci
gitu. Tapi aku masih cuek karena aku masih belum bisa mikir jauh gitu. Namanya juga anak kecil lah say. Kan biasa toh ejek-ejekan.
Kalau di sekolah pun aku juga nggak suka ma in gelut- gelutan sama teman laki- laki. Aku lebih senang mainan sama teman cewek di
sekolah. Terus pas SMP itu aku kan pindah ke Jakarta soalnya bapak dapat kerjaan yang lebih bagus di Jakarta giut. Kami tinggal di
rumah kontrakan. Tapi lumayan gede sih unt uk saat itu. Pas SMP itu aku mulai sekolah di Jakarta. Aku masuk sekolah negeri. Jadi
dulu itu aku lumayan pinter, jadi bisa masuk di sekolah negeri. Kan lumayan ngirit, apalagi tinggal di Jakarta. Terus pas SMP itu aku
kok ngrasa kalau aku senang kalau lihat cowok. Aku deg-degan lihat cowok ganteng gitu. Pas itu ada kakak kelasku yang ganteng,

136
cool lah pokoke. Macho gitu. Ya aku kok kayak cewek gitu. Punya pikiran gimana caranya biar kakak kelasku itu suka sama aku.
Tapi waktu itu aku belum berani banget, masih malu- malu lah. Ya aku pakai pakaian rapi gitu. Sisiran, pakai minyak wangi. Ya
pokoknya penampilan kudu okelah. Setelah SMP itu perasaanku itu semakin menjadi. Aku semakin tambah suka sama laki- laki. Itu
pas SMA. Kadang aku suka nongkrong di tempat cowok-cowok ngumpul. Ya cuci mata gitu lah say. Hehehe… Sebetulnya dari
pihak keluarga sih udah curiga kok aku beda sama anak laki- laki lainnya. Makanya pas SMA itu aku di sekolahin di sekolah yang
banyak cowoknya. Walaupun bukan sekolah khusus cowok tapi emang sekolah itu cowoknya lebih banyak gitu. Kalau di Jogja
ibaratnya kayak SMA 6 lah. Mungkin harapan orang tuaku, bapak ibu ku itu biar aku bisa jadi laki- laki beneran gitu ya. Eh, tapi aku
malah senang sekolah di situ karena kan banyak cowok tuh. Eee… Jadi aku bisa ngecengin cowok-cowok yang ganteng-ganteng.
Hehehe... Nah pas SMA itu aku kalau pakai pakaian paling rapi di kelas. Beneran lho. Seragamku selalu aku setrika rapi kok.
Biasanya kan kalau cowok-cowok itu pada pakai baju seragam kan pada amburadul. Nah kalau aku itu rapi. Pas SMA itu aku sudah
mulai suka searching cowok gitu. Ya gimana ya, caranya ya nongkrong di tempat nongkrong gitu lah. Jadi di sana itu kan banyak
temapat nongkrong gitu kan, ya sejenis kayak kafe gitulah. Aku suka main ke sana kalau malam, kalau punya duit juga. Hehehe…
Lama kelamaan aku punya pacar. Ya aku ketemunya juga di situ. Jadi, pertama kali aku punya pacar itu ya SMA. Awalnya aku kan
cuma kenalan. Terus suka ketemu, tukeran nomer hp, suka cerita-cerita gitu lah. Ya udah lama- lama ya jalanin aja. Kita udah hampir
jalan setahun tapi akhirnya ya dia punya pacar yang cewek gitu. Ya sudah mau diapain lagi. Hampir cukup lama aku sendiri, nggak
punya pacar. Soalnya aku orangnya susah jatuh cinta. Akhirnya setelah lulus SMA itu aku berani dikit-dikit dandan gitu. Ya mulane
ya cuma dandan tipis. Tapi lama kelamaan ya dandan semua. Mulai dari make up wajah, pakai bra, pakai baju cewek. Pokoknya
semuanya lah. Untung saja orang tuaku, keluargaku mau menerima keadaanku ini. Orang tua, khususnya ibuku hanya memberi pesan
bahwa aku harus tetap bertanggung jawab dengan keputusan yang aku ambil ini, dengan jalan yang aku pilih sebagai waria ini. Orang

137
tua tidak memberi tahu caranya seperti apa tapi mereka hanya berpesan seperti itu. Ya sudah, dari kepercayaan itu aku harus
membuktikan bahwa aku akan bertanggung jawab dengan keputusan, dengan jalan sebagai waria yang aku ambil ini. Akhirnya aku
setelah lulus SMA itu kan nggak kuliah. Aku lebih milih kursus. Aku kursus kecantikan, ya kursus make up, potong rambut,
pokoknya semuanya yang tentang dunia kecantikan lah. Karena aku dari SMA itu udah ada bakat buat dandan. Jadi aku mau
kembangin gitu. Dan buktinya aku bisa buktiin kalau aku mampu di dunia kecantikan. Aku punya keterampilan yang belum tentu
orang lain bisa, bahkan orang hetero sekalipun. Saat kursus itu ternyata ada teman waria juga. Jadi aku paling dekat sama dia. Aku
kadang juga suka main bareng sama dia. Aku suka mangkal tapi nggak sampai yang itu aku gunakan mata pencaharian. Ya hanya
untuk tambah teman aja. Aku selalu berpegang teguh sama pesan ibuku bahwa aku harus bertanggung jawab. Makanya aku juga
nggak mau aneh-aneh dan membuat kepercayaan keluargaku jadi ilang. Hampir 2 tahun aku kursus kecantikan itu karena aku juga
sambil magang juga di sebuah salon di Jakartan juga. Akhirnya setelah itu aku ada lowongan di Hotel Melia Purosani yang di Jogja
ya untuk di salonnya juga. Nah, dari situ aku coba daftar. Akhirnya aku keterima. Mau nggak mau aku harus pindah ke Jogja kan. Ya
sudah aku pindah ke Jogja. Kebetulan dulu aku kan pas kecil di Jogja dan banyak juga saudara-saudaraku di Jogja. Eee… Mulanya
aku nebeng di rumah tanteku. Di daerah Kota Baru itu tapi lama-lama aku lebih pilih kos aja. Aku ingin mandiri dan aku juga nggak
enak kalau aku nebeng terus. Ya kadang aku kan pulang malam, kadang nggak enak juga sama bulik ku, sama yang lain juga.
Akhirnya aku ngekos di sini barena sama teman waria yang lain. Setelah 1 tahunan aku kerja di Melia, aku agak nggak sreg karena
apa ya, aku ngerasa kurang nyaman aja. Aku kurang bisa mengembangkan kemampuannku. Akhirnya waktu itu ada lowongan di
Salon Lutuye yang di Ring Road itu. Jadi waktu itu salonnya lagi mau buka, jadi masih baru. Aku beraniin daftar dan alhamdullilah
keterima. Akhirnya aku keluar dari Melia terus ke Lutuye ini. Alhamdullilah juga banyak yang suka sama hasil kerjaanku dan
sekarang aku udah lumayan punya banyak pelanggan termasuk kamu. Hehehe… Dari hasil kerja di salon, aku bisa nabung. Aku juga

138
bisa membantu orang tuaku walaupun nggak banyak. Kadang aku ngirimin duit atau baju buat kakak ku. Nah sekarang kakak ku
yang pertama juga mau menikah. Aku bantuin dikit-dikit biayanya. Yang paling buat aku senang ya aku bisa membuktikan kepada
orang tua dan masyarakat bahwa aku bisa dan aku bisa menjada kepercayaan orang tuaku. Kalau di Kebaya itu kadang aku cuma
main- main aja kalau ada acara. Jadi, nggak termasuk dalam pengurus gitu. Ya masalahnya aku juga sibuk sama kerjaanku je. Kan
kerja dari pagi sampai sore, habis itu aku capek. Belum lagi kalau banyak customer. Kebanyakan dari mereka tuh request pengen aku
yang nanganin gitu lho. Kadang aku nggak enak sama capster yang lain. Nanti dikiranya aku gimana gitu. Tapi ya aku harus gimana,
mereka yang minta kok. Aku kan juga nggak bisa nolak toh. Kadang mereka sampai mau untuk nunggu, padahal aku lagi nyemir
rambut ya mereka tetap mau untuk antri. Gitu cint.

Oke. Baiklah. Eee… Tadi itu kan pengalaman dari kecil sampai besar ya, sampai sekarang gitu. Nah, bisa nggak kalau kita
balik lagi ke masa kecil. Bisa nggak diceritain lebih detail lagi tentang pengalaman masa kecil ?

Oke baiklah. Tapi apa ya ? Kayake itu tadi udah lengkap kok. Aku ki paling nggak bisa disuruh ngarang cerita. Hehehe… Oke. Aku
itu kan anak bontot, jadi aku paling manja. Otomatislah. Aku paling manja terutama sama ibu ku. Jadi, setiap aku minta apa mesti
aku dikasi. Aku suka minta dikelonin kalau tidur. Itu aku kayak gitu sampai aku SMP. Nah, kalau aku sama bapak ku itu kurang
dekat. Walaupun nggak ada konflik tapi aku kurang dekat gara-gara bapak kan sibuk kerja. Berangkat pagi bareng aku sekolah. Nanti
pulangnya malam, kadang aku udah tidur. Maklumlah kalau di Jakarta emang suka gitu. Suka kena macet si jalan. Jadi, aku kalau
katemu bapak ku pas pagi aja sama weekend kan bapak nggak kerja. Terus apa lagi ya. Aku itu suka main- mainan cewek. Dulu kan
pas kecil aku masih di Jogja kan. Kadang aku tuh malah mainan bola bekel sama teman-teman cewek. Nah, nanti teman yang laki tuh

139
pada ngatain aku banci bencong gitu. Aku cuma diam aja. Nanti kalau di rumah aku certain ke ibu ku kalau teman laki- laki pada
ngatain aku banci. Ya udah ibuku cuma bilang kalau aku nggak boleh marah gitu. Ntar kalau marah, Allah nggak suka. Aku harus
sabar juga. Tapi aku kan masih kecil, jadi kadang aku nggak maksud. Ya aku cuma bisa diem aja dan berusaha nggak marah kalau
dikatain sama teman-temanku. Aku kan pas SD itu sekolah di SD Negeri ya. Nah tiap Jumat itu kan pulang awal karena Shalat Jumat.
Aku selalu ikut sama bapak ku. Kan bisa ngliat cowok-cowok. Hehehe… Ya itu aja sih, masa kecilku di Jogja.

Oke. Itu tadi kan bisa dilihat ya mbak kalau ada pengalaman diskriminasi walaupun hanya kecil. Itu dari teman-teman kan
ya sebatas diskriminasi verbal. Itu teman di rumah apa di sekolah ?

Iya cuma itu aja sih. Itu teman rumah ya sekolah. Tapi paling sering itu teman sekolah. Aku sering diejek lah sama mereka itu karena
aku kadang nggak mau diajak maen perang-perangan atau mainan cowok yang lain. Aku lebih senang main cewek sih.
Kemudian, ada nggak pengalaman diskriminasi yang lain ?

Kalau sejauh ini nggak banget sih. Ya kalau kecil cuma sebatas itu aja, diejek aja. Tapi kalau pas gede ya nggak juga. Kalau pas di
Jakarta tuh nggak. Mereka bisa menerimaku. Tapi malah pas di Jogja malah ada pengalaman diskriminasinya, walaupun juga cuma
sebatas verbal aja. Jadi, aku ya diejekin gitu waktu di jalan. Aku dipanggil banci bencong gitu lah. Aku itu inget banget, itu waktu
aku mau pulang ke tempat bulik ku gitu. Aku waktu itu jalan kaki terus pas itu aku lewat di depan segerombolan anak-anak muda
terus mereka manggil aku banci banci. Tapi aku ya berusaha tetap diam aja. Aku kan belajar untuk sabar seperti nasehat dari ibu ku
sejak kecil. Kalau kayak gitu aku anggap lalu saja sih. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Hehehe… ya aku aja yang harus

140
beradaptasi, membiasakan diri dengan lingkungan yang memang pada kenyataannya belum semua orang bisa menerima keberadaan
waria. Mungkin mereka itu belum kenal tentang dunia waria. Mereka hanya bisa melihat waria dari satu sisi saja, yang biasanya
hanya dinilai negatif. Tapi kalau yang di Jakarta itu mereka nggak kayak gitu karena mungkin mereka sudah menganggap waria itu
hal yang biasa. Mungkin karena di Jakarta itu memang lebih berkembang juga pola pikir masyarakatnya. Gitu cint.

Jadi, kalau disimpulkan pelaku dari tindakan diskriminasi yang dialami sama Mbak Bella itu lebih ke masyarakat sendiri ya
? Bukan keluarga kan ?

Iya cint. Keluargaku alhamdulilah bisa menerimaku apa adanya, seperti keadaanku saat ini kok. Malah kadang mereka member aku
dukungan saat aku banyak masalah. Setiap hari salah satu dari keluargaku juga suka hubungin aku walaupun cuma sekadar lewat
sms. Jadi, kita tetap saling menjaga komunikasi walaupun kita berjauhan. Jauh di mata dekat di hati gitu deh. Hehehe…

141
WAWANCARA TAHAP 3
Kalau dari hasil wawancara kemarin itu bisa dilihat kalau, kan aku bagi dua ya mbak, pengalaman diskriminasi masa kecil
dan dewasa. Nah, kalau yang pengalaman diskriminasi saat masa kecil itu sebatas pengalaman diskriminasi secara verbal
yang dilakukan oleh teman-teman Mbak Bella sendiri kan ? Itu pelakunya adalah teman-teman Mbak Bella sendiri kan, baik
teman sekolah maupun teman rumah. Kemudian selama ini, maksudnya saat Mbak Bella masih kecil, Mbak Bella
menanggapi itu semua hanya dengan cuek gitu ?

Iya cint, ya aku hanya diam saja saat aku diejekin mereka sendiri. Kadang aku bingung juga kenapa aku nggak marah sama mereka.
Cuma mungkin ya selain aku belum bisa begitu mikir karena masih kecil, mungkin juga karena aku memang mengakui tentang diriku
yang sebagai waria ini. Ya emang kenyataannya aku seperti itu terus mau gimana lagi kan cint.

Terus kalau pengalaman diskriminasi saat besar itu adalah pengalaman secara verbal juga ya ? Hampir sama dengan saat
masa kecil, yaitu diejekin banci. Hanya bedanya itu pelakunya adalah orang-orang, bisa dikatakan itu masyarakat ya ?
Kemudian untuk menanggapi diskriminasi itu Mbak Bella hanya diam saja.

Eee… Iya. Aku memang hanya diam saja dan tidak mau meladeni mereka apalagi kalau membalas perbuatan mereka. Nggak ada
gunanya juga. Capek juga sih. Mending aku diemin, ntar mereka juga diem sendiri. Aku belajar untuk lebih sabar saja.

Oke, kalau dilihat itu di situ ada figur yang berperan, figur yang berperan positif, boleh dibilang figure support lah. Nah,

142
kalau Mbak Bella itu ibu ya ?

Iya. Jadi aku merasa figur yang paling berperan itu ibu aku. Aku jadi seperti ini karena turut campur ibu ku juga. Tapi bukan
maksudnya aku menjadi waria ini lho ya. Tapi aku lebih bisa mengontrol emosiku karena beliau. Aku bisa bersikap lebih sabar
karena ibu. Hal itu memang sudah ditanamkan ke aku dari kecil. Karena aku berbeda dalam tanda kutip ya, maksudnya waria, jadi
ibu ku selalu memberi nasehat agar aku sabar jika ada yang mengejek keadaanku seperti ini. Selain aku harus sabar, tentunya aku
juga harus bisa beradaptasi, membiasakan diri dengan lingkungan. Nggak bisa kalau aku cuma sabar aja. Aku juga harus bisa
beradaptasi dengan cemoohan orang-orang yang bisa datang kapan saja dimana saja dan tanpa aku duga.

Kira-kira ada nggak figur yang lain nggak ?

Nggak ada sih, ya ng aku rasa paling berperan ya cuma ibuku. Beliau yang selalu memberikan aku petuah-petuah yang bisa aku
jadikan pegangan dalam menjalani kehidupanku, terutama kehidupanku sebagai waria ini.

Okelah kalau begitu. Kemudian, Mbak Bella juga sempat bilang kalau Mbak Bella ingin menunjukkan kalau Mbak Bella
mampu seperti yang lain, maksudnya punya kemampuan seprti yang lain. Nah, itu apakah merupakan suatu cara agar
Mbak Bella diterima di masyarakat gitu ?

Ya gimana ya . Aku hanya ingin menunjukkan kepada orang, khususnya kepada keluarga bahwa aku juga bisa memiliki kemampuan,

143
bahwa aku memiliki sisi lebih, bahwa aku juga bisa berguna gitu. Makanya aku harus bisa menunjukkan bakat-bakatku. Aku harus
mengembangkan kemampuan yang aku punyai biar nggak cuma sia-sialah. Aku punya kemampuan di dunia kecantikan yang
buktinya sekarang aku bisa menghasilkan uang dari keterampilanku itu. Bukannya aku mau sombong sih. Tapi emang itulah
kenyataannya. Selama ini kan banyak masyarakat yang melihat waria hanya dari satu sisi saja. Mereka tidak melihat waria dari sisi
yang lain, sisi positifnya.

Owh, jadi yang utama itu Mbak Bella ingin menunjukkan bahwa Mbak Bella juga punya sesuatu yang bisa dibanggakan
gitu kan kepada orang -orang, khususnya kepada keluarga gitu kan ? Selain itu, Mbak Bella juga ingin menunjukkan agar
masyarakat juga tahu bahwa Mbak Bella atau waria itu juga punya sisi positif gitu kan ?

Ho’o… Agar mereka itu tahu kalau walaupun waria tapi waria juga punya kemampuan yang lebih yang bisa dibanggakan lah. Biar
mereka itu nggak aneh-aneh sama waria, biar bisa menerima waria di tengah-tengah masyarakat. Tak bisa dipungkiri kok kalau
banyak waria yang dekat dengan dunia kecantikan, dunia fashion gitu. Ya contohnya itu Ivan Gunawan yang artis itu.

Terus kalau dilihat itu bener nggak sih kalau Mbak Bella punya pikiran bahwa orang-orang itu melakukan diskriminasi
terhadap waria karena mereka belum tahu tentang dunia waria ?

Bener banget cint. Mereka atau masyarakat itu belum tahu kalau tentang dunia waria. Kebanyakan yang mereka tahu itu biasanya
waria identik dengan pelacuran dan dunia malam. Tapi tidak semua waria seperti itu. Ada juga kok waria yang punya profesi lain

144
selain seperti itu, walaupun hanya masih kecil sih. Mereka tidak melihat waria dari sisi positif seperti yang aku bialng tadi.

145
WAWANCARA TAHAP 1 & 2
Eh Mbak Angel, aku minta tolong dong certain pengalamannya Mbak Angel dari masa kecil sampai sekarang. Bisa toh ?

Sangat bisa. Pengalaman yang apa ?

Terserah Mbak Angel mau pengalaman yang mana. Semuanya aja biar lengkap. Hehehe…

Oke baiklah. Aku itu 4 bersaudara. Aku anak ketiga. Terus apa lagi ya. Aku dari kecil emang udah nggak kayak anak laki- laki
lainnya. Yang lain pada maen bola, maen gulat- gulatan. Tapi aku tuh nggak. Aku lebih seneng dolanan pasaran, ibu- ibuan pakai
boneka gitu. Jadi aku dari kecil udah merasa ada yang beda dari anak laki- laki lainnya. Aku udah menjalani statusku sebagai waria.
Harusnya kan kalau anak laki- laki dolanan ya maenan cowok, tapi aku malah nggak. Tapi aku nyaman sama yang aku jalanin sebagai
waria. Aku sering diejekin banci sama teman-temanku. Woe banci banci gitu. Tapi aku pas itu cuma bisa nangis terus pulang ke
rumah. Aku sekolah SD itu di negeri di tempat asalku di Kendal. Walaupun udah kabupaten tapi koyo ndeso (seperti desa). Pas SD
aku itu aku eee pertama kali seneng sama cowok. Dia kakak kelasku. Tapi masih sebatas ngefans aja gitu. Terus pas SMP itu aku
kadang ikut lomba. Aku paling seneng sama pelajaran masak. Aku ki jago masak. Jadi nek ada lomba masak walaupun cuma antar
kelas tapi aku ikut. Nanti kelasku pasti menang. Tenan lho. Pasti aku diikutin kalau ada lomba masak-masak. Paling pas tujuh
belasan apa hari- hari nasional gitu. Terus pas SMA itu aku juga masih sekolah di Kendal, di SMA 2 Kendal. Sekolahku itu di tengah
sawah. Aku inget banget. Waktu itu jalannya belum di aspal, masih jalan tanah gitu. Tapi sekarang udah jalan aspal. Dulu kalau
sekolah itu aku dandan rapi. Celana sama bajunya aku press body. Aku jahit sendiri seragamku. Kadang kalau pas musim hujan

146
kayak sekarang ini, aku berangkat sekolah nggak pakai sepatu dulu dari rumah, ntar sepatuku belepotan tanah. Sepatuku aku bawa di
tas, terus pas sampai sekolah baru aku pakai. Di SMA ini aku mulai menunjukkan kalau aku waria walaupun belum dandan. Aku
udah kemayu-kemayuan, nggaya kae lah. Akhirnya lama- lama orang tuaku juga tahu. Teman-teman ma tetanggaku juga pada ngerti
kalau aku waria. Habis lulus SMA itu aku mulai dandan pakai bedak, pakai lipstick. Aku kan nggak nglanjutin kuliah toh, nggak
punya duit. Pertamane kakak ku yang pertama nggak sejutu aku jadi waria. Kakak ku itu cowok, wataknya keras banget. Aku
dimarah- marah ama dia, aku disuruh jadi layaknya laki- laki. Aku paling dekat itu sama adik ku. Dia cewek, kadang kita suka curhat-
curhat gitu. Dai nggak masalah aku jadi waria yang penting jangan aneh-aneh. Maksudnya ya jangan jadi orang jahat gitu. Adik ku
itu sekarang barusan lulus SMA. Aku dimarahin terus sama kakakku. Orang tuaku juga nggak setuju aku jadi waria tapi mereka
nggak segalak kakakku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Bukan berarti kabur lho. Aku pamitan kok. Akhirnya aku
ke Jogja. Di sini aku punya banyak teman waria. Namun, sekarang keluargaku udah bisa menerimaku lagi. Mereka nggak masalah
dengna jalan hidup yang aku ambil. Pas pertama kali di Jogja aku kayak anak ilang gitu. Eee, aku kenal teman waria pertama kali di
Malioboro itu, di dekat kantor pos gede itu lho. Ya aku kenal sama Mbak Tika itu. Akhirnya aku ngekos bareng sama dia tapi aku
nyewa kamar sendiri, cuma satu kos-kosan gitu. Aku mulai belajar dandan, terus keluar kalau malam. Eee ya gimana ya, mau nggak
mau. Aku mulai kenal sama teman-teman waria di Jogja, sama yang lain- lain. Tapi aku udah punya tekat kalau aku harus melakukan
sesuatu, aku nggak boleh diam aja, aku harus membuktikan sama keluargaku kalau aku bisa. Akhirnya aku nglamar-nglamar kerjaan.
Aku kan dari SMA itu kan udah bisa jahit sama suka dandan, ya aku nyoba nglamar kerja ya nggak jauh-jauh dari dunia busana sama
dunia kecantikan. Tapi awalnya aku juga sempat ngamen. Pas ngamen itu ya kadang diejek banci-banci apa diusir gitu. Awalnya
sakit hati sih. Aku kan nyari duit juga, yang penting kan halal. Tapi lama-lama aku diemin aja perilaku-perilkau orang-orang yang
tidak mengenakkan itu. Kalau aku ladenin nggak bakal selesai-selesai toh. Dari uang ngamen aku bisa beli makan, bisa buat bayar

147
kos-kosan juga. Tapi ya cuma pas-pasan tok. Makanya tiap malam kadang ya masih mangkal juga. Agak susah juga nyari kerja.
Lama- lama aku kadang diajakin ngrian orang kalau ada yang nikahan gitu. Lumayan lah walaupun itu nggak setiap saat ada kerjaan
tapi paling nggak ada buat pemasukan. Buat biaya hidup selama di Jogja. Pertamanya aku nggak pulang ke Kendal sampai 1 tahun.
Aku juga belum bisa ngasi apa-apa dalam artian uang ataupun yang bisa bantuin keluargaku. Tapi sekarang udah lumayan. Aku buka
salon ini sama teman waria yang lain. Jadi, modalnya patungan terus buka bareng. Walaupun salaon kecil tapi ya lumayan lah. Tapi
tetep aja kalau malam masih sika mangkal. Selain itu, aku juga di Kebaya mulai setahu yang lalu karena diajak Mbak Tika itu. Ya
aku ikut bantu-bantu perjuangin hak- hak teman-teman waria juga, sekalian bisa nambah teman. Gitu. Kalau masalah pasangan sih
dulu aku pernah punya laki gitu ya. Aku kenal dia di tempat magkal gitu. Kebetulan dia juga lagi nongkrong gitu. Sering ketemu
terus lama- lama ya jalan aja gitu. Tapi sekarang aku lagi nggak punya pacar. Lagi pengen sendiri dulu, nyari uang yang banyak dulu.
Hahaha… Kalau dulu pas punya pacar ya udah kayak suami istri gitu. Kita hidup bareng lah. Nyari duit buat hidup bareng. Tapi ya
nggak bis dilanjutin lagi. Padahal aku sama dia udah lumayan lama lah, sekitar setahun. Laki ku dapat kerja di luar kota. Aku males
kalau jarak jauhan gitu. Ya mending udahan aja toh.

Mbak tadi kan itu pengalaman secara global ya. Kalau kita flash back ke pengalaman masa kecil lagi bisa lebih dijelaskan
lagi nggak ?

Bisa. Oke baiklah. Apa ya. Aku itu 4 bersaudara. Aku anak ketiga. Jadi yang pertama itu cowok, terus cewek, terus aku terus cewek.
Jadi selang-seling gitu. Dari kecil aku lebih akrab sama saudara-saudaraku yang cewek. Aku lebih sering main sama mereka. Ya
karena dari kecil kan aku nggak senang dolanan laki. Aku lebih senang main dolanan cewek gitu. Ya pasaran, ya bonekaan, ya apa

148
ajalah yang berbau cewek gitu. Kadang aku didandani jadi ibu nya gitu. Aku pun juga nggak tahu kok aku kayak gitu. Anak laki- laki
lainnya oada ngajakin aku main robot-robotan tapi aku emoh (nggak mau). Aku juga senang bantuin ibuku masak di dapur. Kayak
gitu terus aja mengalir sampai akhirnya aku gede dan akhirnya aku nyadar kalau aku itu ya kayak gini. Kalau aku ya waria. Pas kecil
itu aku sering diejek-ejekin banci banci sama teman-temanku di sekolah ya di rumah. Tapi aku ya cuma diam aja. Paling aku pulang
terus nangis. Nanti ibuku yang ngibur gitu. Ibuku selalu bilang “diemin aja mereka. Jangan dibales yo. Mereka ki ming guyon”. Dari
situ aku belajar untuk lebih sabar. Nek dipikir-pikir emang aku banci kok. Ya wes toh mereka mau terika-teriak ya rugi dewelah.
Kemudian pas besar tepatnya setelah SMA itu aku udah mulai nunjukin kalau aku waria. Akhirnya ya semua orang juga pada tahu
kalau aku waria termasuk keluargaku. Mulanya kakakku menentang, sangat menentang malahan. Eee… Aku dimarahi habis-habisan,
hampir dipukul juga. Tapi aku sangat nyaman dengan keadaan diriku yang sebagai waria ini. Kalau kedua orang tuaku khususnya
ibuku sih nggak masalah asalkan aku tidak berbuat aneh-aneh, tetap di jalan yang benar. Maksudnya ya tetap punya sopan santun,
jangan nyuri dan lain- lain lah. Aku selalu ingat pesan ibuku yang pas aku kecil tadi, yang udah aku sebutin di atas tadi. Jadi, sekarang
aku sih kalau diejek atau diapa-apain ya membiarkan aja. Inilah hidupku, yang penting aku menjalani hidupku dengan sebaik-
baik nya. Aku harus memberikan yang terbaik untuk orang khususnya untuk keluargaku. Aku harus membuat ibuku bangga. Makanya
setelah aku pergi dari rumah, aku berusaha agar aku bisa dapat pekerjaan yang lumayan layak agar bisa bantuin orang tuaku di
Kendal gitu.

Oke, tadi itu kan kalau dilihat itu kan pengalaman diskriminasi yang dialami itu kan sebatas diskriminasi verbal ya mbak.
Itu pun hanya dari teman-teman bermain di sekolah dan di rumah ya ?

149
Iya. Kalau yang pas kecil ya cuma kayak gitu aja. Aku cuma sebatas diejek-ejek aja. Nggak berat-berat bangetlah menurutku.

Eh tapi ada lagi, yang pas gede. Ini kan Mbak Angel ngamen toh. Ini juga diejekkin banci sama kadang diusir ya ? Ada
nggak diskriminasi yang lainnya ?

Eee… Kalau yang sering aku alamin ya cuma diskriminasi verbal aja, ya sering diterikan banci. Misalnya kalau pas di jalan gitu, ntar
ada orang terus dia teriak “banci banci”. Tapi pernah juga ding waktu aku nyoba nyari kerjaan pas pertama kali aku datang ke Jogja
ini. Aku pernah nggak diterima kerja di sebuah salon karena statusku yang waria ini. Waktu itu aku sempat down juga. Tapi lama-
lama ya sudahlah, mau gimana lagi toh. Jadi kalau pengalaman diskriminasi ya cuma dari teman-teman aja pas kecil sama dari orang-
orang yang suka ngejekin banci aja. Mungkin mereka itu belum tahu tentang dunia waria. mereka cuma melihat waria dari satu sisi,
yaitu sisi negatif nya aja. Mereka nggak mau melihat waria dari sisi yang lain. Padahal sekarang banyak kok waria yang sukses dan
berprestasi ya kayak Merlyn Sophian itu toh. Ya paling nggak kalau nggak harus kayak Merlyn, kan paling nggak ada juga kok waria
yang bisa berguna lah. Banyak waria yang punya kemampuan-kemampuan seperti di dunia kecantikan, make up, fashion. Makanya
aku pun harus seperti itu. Aku pun harus menunjukkan bahwa aku pun bisa. Walaupun aku waria, aku ya harus bisa mempunyai
keterampilan yang lebih. Aku buktinya bisa njahit, aku bisa make up. Malahan kadang ada tetangga kos atau teman waria yang suka
minta dipotongin rambutnya, atau disemir sama aku. Aku pun nggak pasang tarif kalau sama yang udah deket. Yang penting aku bisa
bantu ya aku bantuin. Mereka mau ngasi ya alhamdullilah, tapi kalau nggak ya nggak masalah. Banyak orang-orang yang belum tahu
tentang dunia waria. Makanya aku ikut di Kebaya ini. Aku mencoba memberikan pemahaman waria kepada waria bahwa waria pun
punya sisi yang lebih. Tapi ya dengan catatan aku pun harus membuktikan kalau waria memang punya sisi yang lebih. Makanya aku

150
pun juga harus menunjukkan kemampuanku. Jadi impas. Aku punya kemampuan yang harus kau tunjukkan dan masyarakat pun
hendaknya bisa mengakuinya gitu.

151
WAWANCARA TAHAP 3
Kalau dari hasil wawancara yang kemarin itu kan bisa disimpulkan. Jadi, gini mbak. Kan aku bagi jadi 2, pengalaman masa
kecil saat dewasa dan masa kecil toh. Jadi, kalau pengalaman yang diskriminasi yang masa kecil itu sebatas pengalaman
diskriminasi verbal kan. Itu oleh teman-temannya Mbak Angel aja kan ? Itu teman sekolah apa teman rumah ?

Ya dua-duanya lah. Ya teman rumah, ya teman sekolah.

Oke, terus pengalaman yang dewasa itu juga sebatas pengalaman diskriminasi verbal, diteriakin banci sama orang-orang,
boleh dibilang dari masyarakat kan. Kemudian, selain itu ada lagi pengalaman diskriminasi dalam hal pekerjaan. Pelakunya
juga dari masyarakat kan dimana Mbak Angel ditolak atau tidak diterima kerja karena statusnya sebagai waria. Ada juga
diusir saat Mbak Angel ngamen kan ?

Iya. Kalau diskriminasi sih itu yang aku alamin. Tapi paling sering itu ya diejekin banci-banci gitu. Atau dikatain dengan kata-kata
yang nggak enak lainnya, tapi nggak usah aku sebutin lah ya.

Siap ! Terus selama ini kan Mbak Angel menanggapi diskriminasinya de ngan cara membiarkan saja toh ? Kalau aku lihat
hal itu dipengaruhi sama figur ibu dan adik ya mbak ? Mereka kan memberikan nasehat agar Mbak Angel nggak aneh-aneh
dan tetap punya sopan santun gitu. Apa ada figur yang lain yang membuat Mbak Angel menjadi seperti itu ?

152
Jadi gini, sejak kecil itu aku kan udah mengalami diskriminasi seperti yang kamu bilang tadi kan. Walaupun hanya sebatas
diskriminasi verbal aja. Jadi, banyak teman-temanku yang suka ngejek-ejek aku banci banci gitu. terkadang aku biarkan tapi
terkadang aku juga nangis sih. Aku pulang ke rumah terus nangis gitu. Nah, aku sering ngadu sama ibu ku gitu. Biasanya ibu ku
selalu bilang gini “uis, nggak papa. Mereka ki cuma guyon, nggak usah dibales yo”. Ibuku selalu berusaha menghiburku dan
meyakinkan aku kalau aku harus bisa membiarkan mereka. Lama-lama setelah besar aku ya bisa mikir ternyata yang diajarkan sama
ibu ku selama ini tidak lain adalah aku harus belajar sabar menghadapi teman-temanku. Mungkin mereka menganggap aku ini aneh
dan menyimpang karena aku berbeda dari mereka. Aku laki- laki tapi aku suka main boneka, aku suka dandan. Ditambah lagi adikku
yang selalu memberikan aku support walaupun dengan hal- hal yang sepele. Dia tidak pernah protes dengan jalan yang aku pilih.
Akhirnya dari adik dan ibuku tadi aku bisa belajar lebih sabar dalam menjalani ini semua. Aku memang waria tapi yang penting aku
tetap di jalan yang benar. Aku tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal. Malahan sekarang aku bisa membuktikan bahwa aku
mampu, memiliki sisi yang lebih yang bisa aku banggakan. Aku punya salon walaupun kecil. Aku bisa punya kemampuan di dunia
kecantikan yang belum tentu orang lain punyai. Aku juga bisa masak walaupun tidak untuk aku jual. Belum ada kesempatan aja sih.
Kalau aku punya modal, InsaAllah aku akan kembangkan kemampuanku agar orang lain juga tahu kalau aku bisa. Terlebih lagi
kepada kakak ku yang mulanya belum bisa menerima keadaanku sebagai waria. Intinya, terserah orang lain mau bilang apa. Yang
penting aku berusaha menjalani kehidupanku dengan sebaik-baikanya, menjadi orang yang berguna khususnya untuk keluargaku.
Amin.

Amin. Hehehe… kemudian, apa sih cara pandang atau gimana sih cara pandang Mbak Angel dengan orang -orang yang
melakukan diskriminasi terhadap Mbak Angel ?

153
Gimana ya. Menurutku biasanya orang yang suka mengganggu orang lain adalah orang yang merasa terganggu dengan kehadiran
orang lain itu sendiri. Mungkin bisa jadi mereka merasa iri, merasa tersaingi atau lainnya lah. Jadi, menurutku orang-orang itu merasa
terganggu dengan kehadiran waria di tengah-tengah mereka. Alasannya, mereka bisa terganggu karena mereka itu kebanyakan belum
tahu dan bahkan tidak mau tahu tentang dunia waria. Menurutku image waria itu kebanyakan negatif di mata masyarakat. Mereka
hanya bisa melihat waria dari satu sisi saja. Mereka tidak melihat waria dari sudut pandang yang lain. Yang mereka lihat hanya lah
waria yang suka bikin keributan, waria yang suka bikin onar, waria yang menyimpang dari ajaran agama, dan lain- lain lah. Mereka
hanya melihat itu. Mereka tidak melihat oh ternyata waria juga jago di dunia kecantikan, oh ternyata waria juga ada yang bisa
menerbitkan buku, oh ternyata waria ada juga yang jago masak dan lain- lain lah. Gitu lah kira-kira. Hehehe…

Oke. kalau aku lihat tadi kan Mbak Angel juga bilang kalau Mbak Angel harus memberikan yang terbaiklah buat orang
lain, khususnya keluarga. Mbak Angel ingin menunjukkan kalau Mbak Angel bisa melakukan hal-hal yang berguna gitu kan
? Nah, apa itu merupakan cara agar diskriminasi bisa berkurang atau agar dapat diterima oleh masyarakat ?

Ya iya tapi secara tidak langsung lah. Tujuan utama ku agar aku bisa membahagiakan keluargaku dan aku bisa menunjukkan
kemampuanku. Tapi kalau dengan itu, dengan cara itu masyarakat bisa menjadi bisa menerimaku ya Alhamdulilah. Ya sebenarnya
ada juga sih kayak gitu. Agar masyarakat tahu bahwa aku atau waria juga memiliki sisi yang lebih, sisi yang positif. Ya secara
langsung semoga mereka bisa mengurangi tindak diskriminasi mereka kepada waria. Amin.

Dalam kaitannya mengatasi diskriminasi, ada nggak sih hal-hal yang dialami dari kecil terus mungkin berarti sampai

154
sekarang, sehingga membuat Mbak Angel menjadi sekarang ini ?

Kalau aku sih kalau dalam kaitannya dengan pengalaman diskriminasi ya hanya sebatas dari kecil aku sudah diajarkan untuk lebih
sabar sama ibu dan adik ku. Itu yang aku ingat sampai sekarang. Jadi, kalau aku mengalami diskriminasi dari siapapun dalam bentuk
apapun selama ini ya aku hanya mengelus dada, melapangkan dada. Aku hanya berusaha untuk lebih sabar dan tidak aku balas. Ya
caraku ya tadi itu, aku berusaha menjalani kehidupanku dengan sebaik mungkin dan sebenar mungkin agar masyarakat sadar tahu
sendiri dan sadar sendiri bahwa waria tidak layak untuk didiskriminasi karena waria juga punya sisi yang lebih. Itu aja sih kalau aku.

155
LAMPIRAN

ANALISIS

DATA
SUBJEK 1
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
MASA • Ya paling cuma • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi
KECIL diteriakin banci verbal yang dialami oleh
aja sih sama subjek I adalah
temen-temen diskriminasi verbal oleh
peer group, dimana
subjek I diteriakin banci
oleh teman-temannya.

• … cuma waktu • Acceptance Coping Coping yang dilakukan


itu aku memang oleh subjek I adalah
pada dasarnya acceptance, dimana
masa bodoh gitu subjek I membiarkan
ya. Orang mau dan bersikap cuek
anggep aku banci dengan ejekan yang
atau apa ya ini dialamatkan kepadanya
aku. Udah tahu sebagai bentuk
aku banci, pengakuan terhadap
ngapain teriak- status kewariaannya.
teriak.

MASA • Bapakku bilang • Dukungan dan Figur support Subjek mendapatkan


DEWASA “kamu dandan penerimaan dari fupport dari beberapa
nggak papa, ayah. figur, yaitu ayah dan
orang lain yang selalu

156
kamu ngapa- low profile dalam
ngapain boleh. menghadapi masalah.
Itu hak kamu. Dukungan yang
Sifat dan diberikan oleh ayah
karakter subjek adalah berupa
seseorang itu penerimaan tentang
memang tidak statusnya sebagai waria
bisa dirubah sejauh subjek tidak
kecuali dari diri berhubungan dengan
kamu sendiri. kriminalisme. Selain itu,
Kamu boleh dukungan yang
kayak gitu tapi diperolah subjek dari
satu hal, kamu orang lain adalah
tidak boleh kesabaran orang-orang
berhubungan tersebut dalam
dengan polisi. menghadapi masalah
Dalam arti kata dan hal itu dijadikan
tidak terlibat contoh oleh subjek
dengan yang dalam menghadapi
namanya apa ya, diskriminasi yang
kriminalisme. Ya menimpanya.
entah itu
menggunakan
narkoba, entah
itu perkelahian,
entah perjudian,
entah itu miras”.

157
158
• Waktu itu aku • Pengakuan status • Coping Subjek I menerima
pengakuan kewariaannya (acceptance) perlakuan
“sebenarnya gini diskriminasi yang
buk, saya dialamatkan kepadanya
sebenarnya waria sebatas diskriminasi
buk. Rambut verbal. Penerimaannya
saya aja panjang. tersebut merupakan
Saya sebenarnya bentuk dari pengakuan
waria buk. Eee… terhadap status
mungkin itu kewariaannya. Namun,
adalah pilihan jika diskriminasi yang
ibu. Kalau ibu dialamatkan kepadanya
masih mau pakai adalah kekerasan fisik,
saya, saya maka subjek I akan
memintanya ya membalas atau melapor
apa adanya kepada polisi sebagai
seperti ini. bentuk kepercayaannya
Seperti diri saya kepada hukum yang
sendiri karena berlaku.
saya akan sangat
nyaman dengan Dalam dunia kerja,
apa yang ada di subjek I juga melakukan
diri saya. Kalau beberapa coping.
saya paksakan, Pertama, subjek I
kerja itu nggak percaya diri, dengan
akan tenang”. selalu berani mencoba
untuk melamar
• …Saya pekerjaan. Kedua,

159
sebenarnya waria subjek I juga selalu
pak… mengakui terlebih
dahulu tentang statusnya
• Aku memang sebagai waria saat
sudah menerima melamar pekerjaan.
kalau aku waria. Kemudian, subjek I
berusaha balas budi
• Dari • Balas budi dengan memberikan
kepercayaan itu, timbal balik atas
kemudian saya kepercayaan yang
timbul eee timbal diberikan kepadanya dan
balik yang harus juga berusaha untuk
saya berikan ke selalu membawa diri.
yang empunya
ini.

• Aku sampai yang • Kepercayaan


marah- marah terhadap hukum
sampai tak yang berlaku
laporin polisi.

• Aku bilang bahwa


jangan dikira
saya nggak
berani sama
seseorang. Di
sini hukum pun
berlaku dan

160
masih banyak
lembaga-
lembaga LBH
yang mau bantu
kita kok.

• Aku bilang PD itu • Percaya diri


nomer satu.
Walaupun di situ
yang dibutuhkan
laki- laki dan
perempuan,
kalau kita sudah
waria, dandan
waria, kita coba
masuk gitu ya.

• …ke satu PD…

• ...Bawa diri itu • Membawa diri


yang kedua…

• Aku tak diemin • Acceptance


aja karena aku
merasa nggak
dirugikan. Aku
memang banci
kok terus mau

161
apa….

• Motor langsung • Membalas


tak berhentiin
terus tak
tempeleng.

• …banyak • Kekerasan fisik • Bentuk Bentuk diskriminasi


pemabuk- diskriminasi yang dialami oleh
pemabuk yang subjek I adalah
kadang kekerasan fisik yang
nongkrong di dilakukan oleh peer
perkampunganku group di
. Pernah sih aku perkampungannya,
mendapatkan apa berupa pelemparan daun
ya sampai kelor dan batu. Selain
dilembar batu. itu, ada juga
diskriminasi verbal yang
• …daun kelor juga dilakukan oleh
disebarin ke pemuda di sekitar
mukaku. perkampungannya.

• Kalau aku lewat • Diskriminasi


di situ, aku verbal
sering diteriakin
banci-banci.

162
SUBJEK II
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
MASA • Sejak kecil memang • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Saat masaih kecik,
KECIL saya sudah verbal bentuk diskriminasi
menjalani hidup yang dialami oleh
sebagai waria subjek II adalah
dimana pada saat diskriminasi verbal dan
itu banyak sekali kekerasan fisik.
teman-teman Diskriminasi verbal
seusia saya yang yang dialami oleh
sering mengejek subjek II adalah ejekan
kalau banci-banci dan cemoohan dari peer
atau bencong. group, yaitu teman-
temannya dan dari figur
• …ada teman di otoritas, yaitu guru
masa- masa kuliah PMP nya saat masih
yang kebetulan SMP.
aktif di apa Sementara itu,
namanya itu kekerasan fisik yang
resimen ma hasiswa dialami oleh subjek II
yang selalu saja dia adalah dari figur
harus menegur otoritas, yaitu oleh guru
saya. Sepertinya PMP nya saat masih
dia tidak apa, tidak SMP.
merasa puas kalau
belum memberikan
teguran kepada

163
saya.

• Banyak tekanan-
tekanan yang
dialamatkan
kepada saya oleh
guru- guru,
terutama guru
PMP…Saya
pernah dibilang
“mayat hidup
kamu keluar dari
sini”.

• …dia mau • Kekerasan fisik


menempeleng
saya, mau ditampar
tapi tidak jadi.

• …tapi ibu saya • Peran ibu Figur support Ada figur yang
selalu memberikan sebagai berperan, yaitu ibu
pengertian. pelindung subjek, dimana ibu
Biasanya ibu saya dengan subjek berperan sebagai
memanggil teman- memberikan pelindung yang
teman saya bari pemahaman senantiasa berusaha
dikasi pemahaman. kepada pelaku memberikan
diskriminasi dan pemahaman kepada
• ... di lingkungan menyelesaikan teman-teman dan

164
keluarga saya di dengan jalur saudaranya (keluarga)
masa saya tidak hukum. mengenai kondisinya
berdaya di masa yang berbeda dengan
kecil ketika orang- yang lain.
orang mungkin Menyelesaikan dengan
belum ya jalur hukum juga
memperhitungkan ditempuh oleh ibu
saya dalam subjek untuk mengatasi
kapasitas saya diskriminasi fisik yang
sebagai Rully masa dialami subjek yang
kecil. Namun di dilakukan oleh figur
situ yang paling otoritas (guru).
berperan
sepertinya adalah
ibu saya.

• Sampai saya sempat


berurusan dengan
Pak Amrula Azrul
di kantor polisi
Surabaya.

MASA • Saya merasa sekali • Dikriminasi Bentuk diksriminasi Bentuk diskriminasi


DEWASA betapa apa verbal yang dialami oleh
namanya banyak subjek II saat dewasa
sekali orang seperti adalah diskriminasi
yang meremehkan verbal, kekerasan fisik
dan terasa ada dan pengucilan.

165
sampai murid- Diskriminasi verbal
murid saya seperti yang dialami oleh
mengejek jadi eee subjek II adalah
dan saya begitu diremehkan oleh murid-
tidak betah. muridnya saat menjadi
guru dan saat subjek
• Kalau pengalaman- hidup di jalanan.
pengalaman Sementara itu,
kekerasan secara kekerasan fisik yang
verbal saya kira dialami oleh subjek,
cukup banya saya yaitu dipukul di Staiun
alami terutama Lempuyangan dan
sekali di masa- terlibat dalam
masa ketika saya perkelahian massal
hidup di jalan. dengan kelompok
agamis di Surabaya.
• Saya pernah dipukul • Kekerasan fisik Selain itu, subjek II
sampai berdarah di juga mengalami
Stasiun pengucilan dari
Lempuyangan. keluarganya yang
belum bisa menerima
• Waktu di Surabaya, keadaannya sebagai
kita ada waria.
perkelahian massal
dengan kelompok
agamis.

• Belum lagi dari • Pengucilan

166
keluarga saya
sendiri… hingga
saat ini boleh
dikatakan
hubungan tidak
baik dengan saya.
Karena mereka
enggan didatangi
oleh saya.

• …membutuhkan • Acceptance Coping Subjek II tidak pernah


penyesuaian secara menggunakan emosi
khusus sekali. Jadi dalam melakukan
butuh kemampuan coping terhadap
kita secara integral diskriminasi yang
untuk bisa didapatkannya. Subjek
menyesuaikan diri II selalu berusaha
dengan kondisi menerima (acceptance)
dimana kita eee dengan mencoba
berada pada saat beradaptasi,
itu. meyesuaikan diri
dengan lingkungan,
• Saya selalu • Mengenalkan berdoa dan berharap
memberikan dunia waria agar masyarakat bisa
pemahaman dan kepada menerima keadaan
saya tidak pernah masyarakat waria. Selain itu, subjek
mengucapkan II juga melakukan suatu
sesuatu yang tindakan, yaitu

167
membuat orang- memberikan
orang itu menjadi pemahaman kepada
membalas atau masyarakat, seperti
malah tersakiti seminar, talk show agar
kembali. masyarakat bisa lebih
mengenal dunia waria
• Yang saya lakukan dan secara tidak
dengan kampanye- langsung dapat
kampanye, dengan mengurangi
berperan aktif diskriminasi pada kaum
mengikuti kegiatan waria.
diskusi public, talk
show, seminar-
seminar. Itu dalam
rangka
memberikan
pemahaman
kepada masyarakat
tentang dunia
waria.

• Jadi,
pemahamannya
pun saya
melakukan sesuatu,
dengan terlibat
aktif seperti itu kan
secara tidak

168
langsung
memberikan
pemahaman
kepada masyarakat
tentang dunia
waria yang
mungkin bisa
mengurangi
diskriminasi
kepada waria.

• Saya berdoa • Meminta


mudah-mudahan pertolongan
suatu ketika Tuhan
mereka bisa
menyadari bahwa
apa yang ada pada
diri saya itu bukan
sesuatu yang saya
buat-buat.

• Saya memang • Bersabar, tidak


tidak menggunakan
menggunakan emosi
kekerasan atau
emosi dalam
menanggapi
diskriminasi.

169
• Saya berharap agar • Pengharapan
masyarakat mau kepada
menerima masyarakat
keberadaan waria,
saya juga
melakukan sesuatu
agar pengharapan
saya itu terwujud
ya dengan
memberikan
pemahaman
tentang waria.

• Saya selalu • Peran ibu Figur support Figur support yang


diajarkan oleh ibu sebagai pemberi berperan adalah ibu. Ibu
saya untuk selalu nasehat selalu memberikan
apa namanya ya nasehat kepada subjek
low profile. selalu II agar selalu low
melihat sesuatu profile dalam
dengan mengahadapi segala
proporsional dan sesuatu.
tidak perlu
melibatkan emosi.

170
SUBJEK III
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
MASA • Kadang saya • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi
KECIL diejek sama mereka verbal yang dialami oleh
“Banci, Tiko ki subjek III adalah
banci, Tiko ki diskriminasi verbal,
banci”. pengucilan dan
mendapatkan perlakuan
• Bahkan diejek berbeda dari ayahnya.
“sentul sari rupane Diskriminasi verbal
koyo gendul”. yang dialami, yaitu
diejek oleh teman dan
• Jadi 4 orang itu saudara kandungnya
(kakak) ngejek saya (kakak). Sementara itu
karena saya dari pengucilan dirasakan
kecil genit sekali. oleh subjek dalam
keluarganya. Perlakuan
• …teman-teman berbeda yang dirasakan
sejak kecil ngejek oleh subjek dilakukan
saya “banci banci oleh figur otoritas, yaitu
banci” oleh ayahnya sendiri.
Ayah subjek mengambil
• Saya merasa di • Pengucilan uang tabungan milik
lingkungan keluarga subjek tanpa
saya sendiri, saya sepengatuhan subjek dan
merasa terkucilkan. terkadang menyuruh

171
• Tanpa • Perlakuan subjek untuk membantu
sepengetahuan saya, berbeda dari ibunya di dapur.
bapak saya tuh ayah
kadang ngambil
uang tabungan saya.

• Kalau ibu saya


kerepotan, yang
dipanggil cuma saya
sama bapak saya.

• Kadang saya • Embah (nenek) Figur support Figur support yang


nangis terus pulang. berperan sebagai berperan dalam
Nanti embah saya pelindung kaitannya dengna
yang marahin, pengalaman
seperti itu. Saya diskriminasi pada subjek
masih ada III adalah nenek dan
perlindungan tante yang keduanya
walaupun bukan berperan sebagai
dengan ibu saya. pelindung, dimana
mereka senatiasa
• Aku diejek gitu, • Bulik (tante) membela subjek saat
nanti aku nangis. berperan sebagai subjek mendapatkan
Nanti bulikku datang pelindung diskriminasi.
ngasi tahu ke
mereka.

• …salah satu • Mengambil sisi Coping Coping yang dilakukan

172
kelebihan yang saya positif oleh subjek adalah
bisa saya ambil. mengambil sisi positif
Saya jadi bisa dari diskriminasi yang
masak, jadi seneng dialaminya. Subjek
di dapur. menjadi bisa memasak
karena sejak kecil sering
disuruh ayahnya untuk
membantu ibunya di
dapur.

MASA • Pertama kali • Diskriminasi Bentuk diskrminasi Bentuk diskriminasi


DEWASA kakak saya yang verbal yang dialami oleh
paling besar subjek III adalah
yang tidak bisa diskriminasi verbal dan
menerima diskriminasi pekerjaan.
keberadaan saya Diskriminasi verbal
yang seperti ini yang dilami oleh subjek
dan sempat III adalah berupa
mengancam makian dari kakak
“awas kalau subjek yang belum bisa
kamu pulang lagi menerima keadaan
dengan keadaan subjek sebagai waria
dandan, kamu dan ejekan dari
tak pukulin” masyarakat. Selain itu,
subjek juga pernah
• Ya “banci banci”. mengalami diskriminasi
Dengan kata- pekerjaan, dimana
kata “mut mut, subjek tidak diterima

173
sedot sedot saat melamar pekerjaan
seperti itu”. karena statusnya sebagai
Kata-kata waria.
melecehkan.

• Eee kalau • Diskriminasi


diskriminasi pekerjaan
yang dulu sering
saya rasakan itu
diskriminasi
pekerjaan…
maaf kita nggak
nerima tenaga
kerja waria.

• Tapi • Ibu berperan Figur support Figur support yang


Alhamdulilah sebagai berperan adalah ibu
dengan kejujuran pelindung subjek, dimana ibu
ibu saya “ya subjek berperan sebagai
sudah itu sudah pelindung dan pemberi
menjai pilihan nasehat. Ibu subjek
hidup dia, ya melindungi subjek
sudah mau dengan memberi
gimana lagi” pemahaman kepada
keluarga tentang jalan
• Ibu saya pernah • Ibu berperan hidup yang dipilih oleh
bilang “kamu sebagai pemberi subjek. Selain itu, ibu
jangan marah nasehat subjek juga memberikan

174
kalau dikatain nasehat kepada subjek
banci karena agar lebih sabar dan
kamu memang bertanggung jawab /
banci. Itu kan konsekuen dengan jalan
yang kamu pilih, hidup yang telah dipilih.
jalan ini kan
yang kamu pilih.
Ya mungkin
mereka ketawain
kamu karena
maklumlah laki-
laki dandan
mungkin bagi
mereka lucu.
Kamu jangan
marah. Kalau
kamu memang
banci dikatain
banci banci,
jangan marah.
Kalau kamu
banci,
diketawain
jangan marah
juga. Biarkan
saja”.

• Ya sudah, • Harus mempunyai Coping Ada beberapa jenis

175
meskipun saya dan coping yang dilakukan
waria, initnya menunjukkan oleh subjek III untuk
harus kemampuan menghadapi
berprestasi. yang dimiliki diskriminasi. Pertama,
subjek III merasa harus
• Saya harus bisa memiliki kelebihan dan
kemampuan- harus menunjukkan
kemampuan saya kemampuannya kepada
meskipun saya masyarakat agar dapat
waria, akan saya menunjukkan bahwa
perlihatkan dirinya mempunyai sisi
kepada mereka. yang lebih. Relasi yang
baik dengan tetangga
• Meskipun saya juga dapat terjalin
waria, saya bisa dengan sifat subjek yang
menjahit. Saya ringan tangan kepada
bekerja di tetangga, sehingga pada
modiste dan akhirnya mereka bisa
hasilnya saya menerima subjek.
berikan pada ibu Coping yang lain adalah
saya. Akhirnya subjek berusaha selalu
mereka mau berpegang pada norma
menerima yang ada, dimana subjek
keberadaan saya. tidak ingin terpengaruh
dengan hal- hal yang
• Oke meskipun negatif. Karena
saya seorang seringnya mendapat
waria ya saya perlakuan diskriminasi,

176
harus memiliki saat ini subjek sudah
sisi yang lain, bisa menerima
sesuatu yang (acceptante) perlakuan
lebih, yang diskriminasi dan sudah
belum tentu tidak menganggap itu
orang-orang sebagai bentuk
heteroseksual diskriminasi lagi. Sikap
memilikinya, menerima subjek
salah satunya tersebut juga merupakan
keterampilan. bentuk dari pengakuan
subjek terhadap
• ….saya kebetulan • Menjalin relasi statusnya sebagai waria.
kalau dengan sosial yang baik
tetangga-
tetangga enteng
tenagane.

• Jadi, eee
tetangga-
tetangga saya
pun akhirnya
bisa menerima.

• Nggak pernah • Acceptance


marah saya
dikatain banci
banci karena
memang saya

177
banci.
• Saking seringnya,
itu bukan saya
anggap
diskriminasi
karena seringnya
lho. Itu menjadi
makanan tiap
hari. Udah kebal.

• …saya waria, • Tetap berpegang


jangan sampai pada norma
saya terus
kepengaruh
teman-teman
yang negatif.

178
SUBJEK IV

Meaning Central General General


Units Theme Theme Structure
MASA KECIL • Aku sering • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi
diejekin banci verbal yang dialami oleh
sama temen- subjek IV adalah
temenku. diskriminasi verbal dan
kekerasan fisik.
• Pas kecil itu aku Diskriminasi verbal
sering diejek- yang dialami oleh
ejek banci banci subjek berupa ejekan
sama teman- dan makian dari peer
temanku di group. Sementara itu,
sekolah ya di kekerasan fisik yang
rumah. dialami oleh subjek
adalah hampir dipukul
• Aku dimarahi oleh kakaknya karena
habis-habisan tidak bisa menerima
sama kakakku… keadaannya sebagai
waria.
• Banyak teman-
temanku yang
suka ngejek aku
banci banci gitu.

• …sama kakakku, • Kekerasan fisik


hampir dipukul

179
juga.
• Tapi aku pas itu • Katarsis Coping Ada 2 bentuk coping
cuma bisa nangis yang dilakukan oleh
terus pulang ke subjek IV. Pertama
rumah. adalah katarsis, yaitu
dengan menangis saat
• Tapi aku cuma diejek oleh teman-
diem aja. Paling temannya. Kedua adalah
aku pulang terus menerima (acceptance)
nangis. dengan mencoba lebih
sabar.
• Dari situ aku • Acceptance
belajar untuk
lebih sabar.

• Nanti ibuku yang • Ibu berperan Figur support Figur support yang
ngibur gitu. sebagai berperan dalam
penghibur kaitannya dengan
• Aku sering ngadu pengalaman
sama ibuku gitu. diskriminasi pada subjek
Ibuku selalu IV adalah ibu, dimana
berusaha ibu subjek berperan
menghiburku sebagai penghibur dan
dan meyakinkan pemberi nasehat. Ibu
akau kalau aku subjek senantiasa
harus bisa menghibur subjek saat
membiarkan subjek mengadu
mereka. mendapat perlakuan

180
diskriminasi. Ibu subjek
• Ibuku selalu • Ibu berperan juga member nasehat
bilang “diemin sebagai pemberi kepada subjek agar tidak
aja mereka. nasehat menanggapi dan
Jangan dibales menganggap bahwa
yo. Mereka ki orang-orang yang
ming guyon”. mendiskriminasikan
subjek hanya bercanda.

MASA • .Aku dimarahin • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi


DEWASA terus sama kakak verbal yang dialami subjek IV
ku. pada saat dewasa adalah
diskriminasi verbal dan
• Pas ngamen itu ya diskriminasi pekerjaan.
kadang diejek Diskriminasi verbal
banci banci. yang dialami subjek
berupa ejekan dari
• Misalnya kalau masyarakat dan makian
pas di jalan gitu, oleh kakak.
ntar ada orang Diskriminasi lain yang
terus dia teriak dialami oleh subjek IV
banci banci. adalah diskriminasi
pekerjaan dimana subjek
• Aku pernah • Diskriminasi IV pernah tidak diterima
nggak diterima pekerjaan bekerja karena statusnya
kerja di sebuah sebagai waria.
salon karena
statusku yang

181
waria ini.
• Kalau ibuku sih • Ibu berperan Figur support Figur support yang
nggak masalah sebagai pemberi berperan dalam
asalkan aku tidak nasehat kaitannya dengan
berbuat aneh- pengalaman
aneh, tetap di diskriminasi adalah ibu
jalan yang benar. dan adik. Ibu subjek
Maksudnya ya berperan sebagai
tetap punya pemberi nasehat, dimana
sopan santun, ibu memberikan
jangan nyuri dan nasehata kepada subjek
lain- lain lah. agar subjek tetap
berpegang kepada
• …yang diajarkan norma yang ada dan
sama ibuku harus selalu sabar
selama ini tidak menghadapi
lain adalah aku diskriminasi yang
harus belajar terjadi.
sabar Adik subjek berperan
menghadapi sebagai pemberi
teman-temanku. dukungan dengan
memberikan penerimaan
• Adikku yang • Dukungan dan kepada subjek berkaitan
selalu penerimaan dari dengna status
memberikan aku adik. kewariaannya.
support
walaupun
dengan hal-hal

182
yang sepele. Dia
tidak pernah
protes dengan
jalan yang aku
pilih.

• …aku diemin aja • Acceptance Coping Ada 3 bentuk coping


perilaku-perilaku yang dilakukan oleh
orang-orang subjek IV berkaitan
yang tidak dengan pengalaman
mengenakkan diskriminasinya.
itu. Pertama adalah
menerima (acceptance)
• Jadi sekarang aku dimana subjek berusaha
sih kalau diejek membiarkan saja dengan
atau diapa-apain bersikap acuh dan tidak
ya membiarkan membalas perlakuan
aja. diskriminasi yang
dialamatkan kepadanya.
• Aku hanya Subjek selalu berusaha
berusaha untuk tetap berpegang pada
lebih sabar dan norma yang ada, dengan
tidak aku balas. tidak melakukan
tindakan-tindakan
• .Aku harus • Harus mempunyai kriminal. Coping lain
melakukan dan yang dilakukan subjek
sesuatu, aku menunjukkan adalah berusaha agar
nggak boleh kemampuan memunyai dan

183
diam saja, aku yang dimiliki menunjukkan
harus kemampuan yang
membuktikan dimiliki. Sebagai waria,
sama keluargaku subjek ingin melakukan
kalau aku bisa. sesuatu agar bisa
memberikan yang
• Aku menjalani terbaik bagi masyarakat,
hidupku dengan khususnya keluarga,
sebaik-baiknya. yaitu ibu. Subjek ingin
membuktikannya
• Aku harus dengan menjalani
memberikan hidupnya dengan sebaik-
yang terbaik baiknya dan
untuk orang menunjukkan
khususnya untuk kelebihannya, yaitu
keluargaku. dengan memiliki
keterampilan yang lain
• Aku harus agar masyarakat dapat
membuat ibuku mengakuinya.
bangga.

• Aku pun harus


menunjukkan
bahwa aku pun
bisa.
• Walaupun aku
waria, aku ya
harus bisa

184
mempunyai
keterampilan
yang lebih.

• Aku mencoba
memberikan
pemahaman
kepada
masyarakat
bahwa waria pun
punya sisi yang
lebih.

• Makanya aku pun


juga harus
menunjukkan
kemampuanku.

• Aku punya
kemampuan
yang harus kau
tunjukkan dan
masyarakat pun
hendaknya bisa
mengakuinya.
• Aku berusaha
menjalani
kehidupanku

185
sebaik-baiknya,
menjadi orang
yang berguna,
khususnya untuk
keluargaku.

• Aku berusaha
menjalani
kehidupanku
dengan sebaik
mungkin dan
sebenar mungkin
agar masyarakat
sadar, tahu
sendiri dan sadar
sendiri bahwa
waria tidak layak
untuk
didiskriminasi
karena waria
juga punya sisi
yang lebih.

• Aku memang • Tetap berpegang


waria tapi yang pada norma
penting aku tetap
di jalan yang
benar. Aku tidak

186
melakukan
tindakan-
tindakan
kriminal.

187
SUBJEK V

Meaning Central General General


Units Theme Theme Structure
MASA • Kadang teman- • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi
KECIL temanku di verbal yang dialami oleh
sekolah sama di subjek adalah
rumah itu suka diskriminasi verbal
nriakin aku banci berupa ejekan dari peer
banci gitu. group.

• Nanti teman yang


laki tuh pada
ngatain aku
banci bencong
gitu.

• Tapi aku masih • Acceptance Coping Coping yang dilakukan


cuek karena aku oleh subjek adalah
masih belum menerima (acceptance)
bisa mikir jauh dengan bersikap acuh
gitu. dan berusaha untuk
bersabar menghadapi
• Aku cuma diam pengalaman
aja dan berusaha diskriminasi yang
nggak marah dialami. Mencari
kalau dikatain support juga dilakukan
sama teman- oleh subjek, yaitu

188
temanku. dengan mengadu /
bercerita kepada ibu
• Aku harus sabar subjek.
juga.

• Nanti kalau di • Mencari support


rumah aku
certain ke
ibuku…

• Ibuku cuma • Ibu berperan Figur support Figur support yang


bilang kalau aku sebagai pemberi berperan adalah ibu,
nggak boleh nasehat yaitu berperan sebagai
marah gitu. ntar pemberi nasehat dimana
kalau marah, ibu subjek memberikan
Allah nggak nasehat kepada subjek
suka untuk tidak boleh marah
saat mengalami
perlakuan diskriminasi.

MASA • Ibuku hanya • Ibu berperan Figur support Figur support yang
DEWASA memberi pesan sebagai pemberi berperan adalah ibu,
bahwa aku harus nasehat yaitu sebagai pemberi
tetap nasehat dimana ibu
bertanggung subjek memberikan
jawab dengan nasehat kepada subjek
keputusan yang agar subjek bertanggung
aku ambil ini, jawab dengan keputusan

189
dengan jalan yang diambil dan sabar
yang aku pilih dalam menghadapi
sebagai waria diskriminasi.
ini.

• Ibuku selalu
memberi nasehat
agar aku sabar
jika ada yang
mengejek
keadaannku
seperti ini.

• Aku ya diejekin • Diskriminasi Bentuk diskriminasi Bentuk diskriminasi


gitu waktu di verbal yang dialmi oleh subjek
jalan. Aku adalah diskriminasi
dipanggil banci verbal berupa ejekan
bencong gitu. oleh peer group.

• Aku waktu itu


jalan kaki pas itu
aku lewat di
depan
segerombolan
anak-anak muda
terus mereka
manggil aku
banci banci.

190
• Aku berusaha • Acceptance Coping Terdapat 2 bentuk
diam saja. coping yang dilakukan
oleh subjek, yaitu
• Aku kan belajar acceptance dan
untuk sabar konsekuen. Sikap
seperti nasehat menerima (acceptance)
dari ibu sejak dalam menghadapi
kecil. diskriminasi ditunjukkan
oleh subjek dengan
• …aku anggap lalu berusaha diam saja dan
saja sih. Masuk acuh saat mendapat
telinga kanan, perlakuan diskriminasi.
keluar telinga Di samping itu, subjek
kiri. berusaha untuk bersabar
dan beradaptasi /
• Aku aja yang membiasakan diri
harus dengna lingkungan yang
beradaptasi, belum semua bisa
membiasakan menerima keberadaan
diri dengan waria.
lingkungan yang Selain acceptance,
memang pada subjek juga berusaha
kenyataannya konsekuen dengan
belum semua bertanggung jawab
orang bisa dengan jalan hidup yang
menerima diambil, yaitu sebagai
keberadaan waria. Tanggung jawab
waria. subjek tersebut

191
• Aku memang dimaksudkan agar
hanya diam saja kepercayaan dari
dan tidak mau keluarga subjek tidak
meladeni mereka hilang.
apalagi kalau
membalas
perbuatan
mereka.

• Aku bisa bersikap


lebih sabar
karena ibu.

• Aku juga harus


bisa beradaptasi,
membiasakan
diri dengan
lingkungan.

• Aku juga harus


bisa beradaptasi
dengan
cemoohan orang-
orang yang bisa
datang kapan
saja, dimana saja
dan tanpa aku
duga.

192
• Dari kepercayaan • Konsekuen
itu aku harus
membuktikan
bahwa aku akan
bertanggung
jawab dengan
keputusan,
dengan jalan
sebagai waria
yang aku ambil
ini.

• Aku selalu
berpegang teguh
sama pesan
ibuku bahwa aku
harus
bertanggung
jawab.

• Aku juga nggak


mau aneh-aneh
dan membuat
kepercayaan
keluargaku jadi
ilang.

• Aku bisa

193
membuktikan
kepada orang tua
dan masyarakat
bahwa aku bisa
dan aku bisa
menjaga
kepercayaan
orang tuaku.

194
SUBJEK I
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
• Aku main boneka- • Lebih tertarik dengan Pengakuan status kewariaan.
Aku adalah waria yang
bonekaan. hal- hal yang berbau berprestasi dari kecil, sehingga
feminin. aku terlihat menonjol di antara
yang lain. Aku selalu percaya
• Aku sudah senang • Tertarik dengan sesama diri dalam mencari pekerjaan,
lihat sosok laki- laki kok jenis. memberikan timbal balik dan
deg-degan gitu ya, ser- membawa diri setelah diberi
seran gitu ya. kepercayaan. Aku diterima di
dalam keluarga, maka aku
• Aku memang • Menerima diri sebagai harus bisa memberikan timbal
sudah menerima kalau waria. balik dengan membahagiakan
aku waria. orang tuaku. Aku berusaha
memiliki relasi yang baik
• Aku sangat menonjol • Memiliki prestasi di Menunjukkan kemampuan atau dengan masyarakat sekitar,
ketika SMP, karena eee sekolah. kelebihan yang dimiliki. sehingga mereka juga bisa
waktu itu aku juga ikut menerimaku sebagai waria.
eee kursus tari di Mereka (masyarakat)
tempatnya Yati Pesek. mendiskriminasi waria karena
mereka tidak mengenal dunia
waria.
• Aku memang sagat
menonjol karena setiap
ada lomba itu aku pasti
ikut dan lomba antar
sekolah itu aku yang
diajuin.

195
• Aku memberanikan • Memberikan yang
diri, PD untuk masuk terbaik dalam dunia
ke situ (lowongan kerja.
Delicia Bakery).

• Aku timbul eee timbal


balik yang harus saya
berikan ke yang
empunya (orang yang
telah memberikan
pekerjaan).

• Aku bawa diri.

• Aku harus memberikan • Memberikan sesuatu


yang terbaik buat untuk keluarga.
mereka (keluarga) juga,
buat orang tuaku juga.

• Aku sih member


timbale balik (pada
keluarga).

• Aku bisa membantu


orang tua.

• Aku membahagiakan
orang tua.

196
• Aku sering dimintain • Menjalin relasi yang
bantuan di masyarakat. baik dengan
masyarakat.
• Aku selalu memberikan
yang terbaik juga buat
kampung.

• Aku tuh sabar, nggak


pernah nyakitin kalian.

• Aku juga bisa seperti


yang lain.

• Aku harus
menunjukkan kalau aku
mampu dan
bertanggung jawab.

• Mereka (masyarakat) • Waria kurang dikenal Cara pandang masyarakat


itu belum tahu tentang oleh masyarakat. terhadap waria.
waria.

197
SUBJEK II
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
• Aku memang sudah • Menjadi waria sejak Pengakuan status kewariaan. Saya adalah waria yang
menjalani hidup sebagai kecil. berprestasi, lalu teman-teman
waria sejak kecil. sekolah saya mulai bisa
menghormati saya. Saya tidak
• Saya terpilih menjadi • Memiliki prestasi di Menunjukkan kemampuan atau pernah menggunakan emosi
ketua OSIS Negeri 1 sekolah. kelebihan yang dimiliki. dan kekerasan dalam
Perak Surabaya dan menghadapi diskriminasi tetapi
teman-teman mulai saya berusaha menunjukkan
menghormati, menaruh sisi kehidupan waria yang lain
rasa hormat dan segan dengan memberikan
terhadap saya. pemahaman kepada masyarakat
tentang waria dan berusaha
• Saya selalu diajarkan • Tidak menggunakan untuk menyesuaikan diri
oleh ibu saya untuk emosi atau kekerasan dengan lingkungan. Waria
selalu low profile. dalam menghadapi adalah korban dalam
diskriminasi masyarakat, dianggap
• Saya selalu melihat menyimpang dan kurang
sesuatu dengan dikenal oleh masyarakat.
proporsional dan tidak
perlu melibatkan emosi.

• Saya tidak pernah


mengucapkan sesuatu
yang membuat orang-
orang itu manjadi

198
membalas atau malah
tersakiti kembali.

• Saya memang tidak


menggunakan
kekerasan atau emosi
dalam menanggapi
diskriminasi.

• Saya merasakan • Waria adalah korban Cara pandang masyarakat


terisolasi sekali dengan dalam masyarkat. terhadap waria.
kehidupan.

• Saya merasa sekali


betapa apa namanya
banyak sekali orang
seperti yang
meremehkan dan terasa
ada sampai murid-
murid saya seperti
mengejek, saya begitu
tidak betah.

• Saya mengalami
pengalaman pahit yang
cukup panjang.

• Saya berjuang untuk

199
bisa diterima sebagai
waria.

• Saya tidak mempunya


kekuatan.

• Saya tidak mempunyai


perlindungan hukum
pada saat saya dandan.

• Saya itu dilihat sebagai • Waria dianggap sebagai


apa namanya figur yang penyimpangan.
eee apa ya aneh
mungkin buat dia
(teman kuliah).

• Saya tidak dipandang


wajar.

• Pola pikir mereka,


menurut mereka yang
benar itu menjadi laki-
laki atau perempuan
saja. Jadi kalau tidak
seperti itu, waria ya
bagi mereka dianggap
menyimpang.

200
• Pemahaman mereka • Waria kurang dikenal
(masyarakat) terhadap masyarakat.
dunia waria itu sangat
terbatas.

201
SUBJEK III
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
• Saya suka main kalau • Lebih tertarik dengan Pengakuan status kewariaan. Saya adalah waria yang harus
orang Jawa bilang main hal- hal yang berbau menunjukkan kemampuan saya
boneka, anak-anakan. feminin. terutama kepada keluarga dan
masyarakat agar mereka bisa
• Saya tuh merasa kalau • Tertarik dengan sesama menerima keberadaan saya
lihat cowok-cowok jenis. sebagai waria karena mungkin
yang ganteng-ganteng bagi mereka, waria adalah figur
tuh seneng. yang lucu.

• Saya bisa membedakan


mana cowok yang
ganteng, mana yang
nggak ganteng.

• Saya dari kecil memang


tertarik dengan laki-
laki.

• Saya tuh senang waktu


lihat laki- laki, ngintip
seprti itu.

• Saya harus berprestasi • Memberikan sesuatu Menunjukkan kemampuan atau


walaupun saya waria. untuk keluarga. kelebihan yang dimiliki.

202
• Saya harus bekerja.

• Saya harus mempunyai


kemampuan-
kemampuan meskipun
saya waria.

• Saya akan
memperlihatkan kepada
mereka (keluarga)
kemampuan saya.

• Saya enteng tenagane • Menjalin relasi yang


(ringan tangan) kalau di baik dengan
tetangga-tetangga. masyarakat.

• Saya sekarang mungkin • Tetap berpegang pada


saya harus bisa benar- norma.
benar memilih jalan
yang benar.

• Saya jangan sampai


kepengaruh teman-
teman yang negatif.

• Saya harus bisa benar-


benar menjaga, jangan
sampai keliru jalan.

203
• Saya tuh hanya sekedar • Waria dianggap sebagai • Cara pandang
batu loncatan, having figur yang lucu masyarakat terhadap
fun aja gitu. waria.

• Mungkin saya lucu bagi


mereka (masyarakat)
karena laki- laki tapi
dandan.

204
SUBJEK IV
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
• Aku dari kecil memang • Sudah merasa berbeda Pengakuan status kewariaan. Aku adalah seorang waria yang
udah nggak kayak anak dari anak laki- laki pada harus berguna bagi masyarakat
laki- laki lainnya. umumnya. dan keluarga dengan
menunjukkan kemampuan-
• Aku dari kecil udah kemampuanku agar mereka
merasa yang beda dari bisa menerima keberadaanku
anak laki- laki lainnya. sebagai waria. Mereka
(masyarakat)
• Aku lebih seneng • Lebih menyukai hal- hal mendiskriminasikan waria
dolanan pasaran, ibu- yang berbau feminin. karena mereka merasa
ibuan pakai boneka terganggu dengan keberadaan
gitu. waria karena mereka tidak tahu
dan bahkan tidak mau tahu
• Aku udah menjalani • Menjalani hidup tentang dunia waria. Waria
statusku sebagai waria. sebagai waria. belum dikenal dan hanya
dipandang negatif oleh
masyarkat.
• Aku harus melakukan • Memberikan sesuatu Menunjukkan kemampuan atau
sesuatu, aku nggak untuk keluarga. kelebihan yang dimiliki.
boleh diam aja, aku
harus membuktikan
sama kelaurgaku kalau
aku bisa.

• Aku harus memberikan


yang terbaik untuk

205
orang khususnya
kelaurgaku.

• Aku harus membuat


ibuku bangga.

• Aku harus
menunjukkan bahwa
aku pun bisa.

• Aku waria, aku ya


harus bisa mempunyai
keterampilan yang
lebih.

• Aku pun juga harus


menunjukkan
kemampuanku.

• Aku berusaha menjalani


kehidupanku dengan
sebaik-baiknya,
menjadi orang yang
berguna khususnya
keluargaku.

• Aku punya kemampuan • Memberikan sesuatu


yang harus aku yang lebih untuk

206
tunjukkan dan masyarakat.
masyarakat pun
hendaknya bisa
mengakuinya.

• Aku bisa membuktikan


bahwa aku mampu,
memiliki sisi yang lebih
bisa aku banggakan.

• Aku bisa punya


kemampuan di dunia
kecantikan yang belum
tentu orang lain punyai.

• Aku memang waria tapi • Tetap berpegang pada


yang penting aku tetap norma yang ada.
di jalan yang benar.

• Aku tidak melakukan


tindakan-tindakan
kriminal.

• Mereka (masyarakat) • Waria kurang dikenal Cara pandang masyarakat


kebanyakan belum tahu oleh masyarakat. terhadap waria.
dan bahkan tidak mau
tahu tentang dunia
waria.

207
• Image waria itu • Waria hanya dipandang
kebanyakan negatif di negatif oleh
mata masyarakat. masyarakat.

208
SUBJEK V
Meaning Central General General
Units Theme Theme Structure
• Aku udah beda sama • Merasa berbeda dengan Pengakuan status kewariaan. Aku adalah waria ayng harus
anak laki- laki lainnya. anak laki- laki pada bisa membuktikan kepada
umumnya. masyarakat dan keluarga
bahwa aku harus bertanggung
• Aku tuh nggak doyan • Lebih menyukai hal- hal jawab dengna jalan hidup
mainan laki. yang berbau feminin. sebagai waria yang aku ambil.
Aku juga harus menunjukkan
• Aku doyannya mainan bahwa aku memiliki sisi lebih,
perempuan. yaitu bakat dan mempunyai
keterampilan yang belum tentu
• Aku malah sering main dimiliki oleh orang hetero agar
anak-anak cewek. masyarakat bisa menerima
keberadaan waria. Aku hanya
• Aku sering main bisa sabar dan berusaha
boneka-bonekaan. beradaptasi dengan lingkungan
yang belum semuanya bisa
menerima keberadaan waria.
• Aku suka pakai daster
ibuku.

• Aku harus • Memberikan sesuatu Menunjukkan kemampuan atau


membuktikan bahwa yang lebih untuk kelebihan yang dimiliki.
aku akan bertanggung keluarga.
jawab dengan
keputusan, dengan jalan
sebagai waria.

209
• Aku bisa buktiin kalau
aku mampu di dunia
kecantikan.

• Aku juga nggak mau


aneh-aneh dan
membuat kepercayaan
keluargaku ilang.

• Aku bisa membuktikan


kepada orang tua dan
masyarakat bahwa aku
bisa dan bisa menjaga
kepercayaan orang
tuaku.

• Aku hanya ingin


menunjukkan kepada
orang, khususnya
kepada keluarga bahwa
aku juga bisa memiliki
kemampuan, bahwa ku
memiliki sisi lebih,
bahwa aku juga bisa
berguna gitu.

• Aku harus
menunjukkan bakat-

210
bakatku.

• Aku harus
mengembangkan
kemampuan yang aku
punya biar nggak cuma
sia-sialah.

• Aku punya • Memiliki keterampilan.


keterampilan yang
belum tentu orang lain
bisa, bahkan orang
hetero sekalipun.

• Aku kan belajar untuk • Tidak menggunakan


sabar seperti nasehat emosi dan kekerasan
dari ibuku sejak kecil. dalam menghadapi
diskriminasi.
• Aku hanya diam saja
saat aku diejekin
mereka.

• Aku memang hanya


diam saja dan tidak
meladeni apalagi kalau
membalas perbuatan
mereka.

211
• Aku juga harus bisa
beradaptasi,
membiasakan diri
dengan lingkungan.

• Aku juga harus bisa


beradaptasi dengan
cemoohan orang-orang
yang bisa datang kapan
saja, dimana saja dan
tanpa aku duga.

212

Anda mungkin juga menyukai