Anda di halaman 1dari 12

Memahami Manual Dan Standar Operasional Bank Dunia dan Lembaga

Pembiayaan Asing (IFC – International Finance Corporation) Untuk


Warisan Budaya1

Oleh Dr. Adi Prasetijo2

Pengantar

Paper ini berdasarkan pengalaman penulis melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan
assessment atau penilaian project dengan menggunakan standard international. Sebenarnya tujuan
utama penggunaan standard operasional ini berkaitan dengan project pembangunan yang didanai
atau akan dimintakan dana kepada lembaga pembiayaan asing. Memang di Indonesia banyak
dikenali lembaga pembiayaan asing, namun penulis akan memfokuskan kepada model 2
pembiayaan asing yang mempunyai model yang berbeda focus pembiayaannya, yaitu project yang
didanai oleh Word Bank atau Bank Dunia dan IFC (International Finance Corporation). Jika project
yang didanai oleh Bank Dunia lebih difokuskan kepada proyek yang diajukan suatu negara atau
pemerintah, maka IFC lebih focus kepada proyek pembiayaan asing yang difokuskan kepada
swasta.

Pembiayaan asing untuk pembangunan beberapa dekade tahun ini sangat marak digunakan oleh
perusahaan swasta asing dan dalam negeri, karena kebutuhan dana untuk investasi pengembangan
usaha. Pembangunan infrastuktur yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi membutuhkan
konsekuensi pendanaan yang tidak sedikit, sehingga diperlukan sumber pendanaan lain. Beberapa
proyek pembangunan nasional yang digagas oleh BUMN harus sesuai dengan standard yang telah
dibuat.

Kedua pembiayaan asing ini mempunyai standar yang harus dipenuhi oleh penerima donor. Bank
Dunia mempunyai World Bank Operation Manual (WB-OM), dan IFC sendiri mempunyai IFC
Performance Standard. Salah satu elemen penting yang dibahas dalam manual dikedua lembaga
tersebut adalah bagaimana project pembangunan yang didanai oleh mereka tidak boleh
memberikan dampak kepada budaya masyarakat setempat dan keberadaan warisan budaya yang
ada. Didalam manual kedua lembaga tersebut disebutkan tentang bagaimana pengelolaan dan
kewajiban penerima dana untuk melakukan kajian, pelaporan kepada pihak berwenang, dan
pengelolaan warisan budaya jika ditemukan. Paper ini selain untuk mengenalkan manual dan
standard lembaga pembiayaan asing tersebut (terutama IFC Performance Standard), juga bertujuan
untuk menganalisa keberadaan standard internasional ketika di Indonesia dikaitkan dengan sistem
perundangan warisan budaya yang ada di Indonesia. Maka paper ini akan lebih banyak berfokus
kepada ‘gap analysis’ antara IFC Performance Standard, dan UU CB/201, serta bagaimana
implementasinya di Indonesia.

1 Paper disampaikan dalam DIA (Diskusi Ilmiah Arkeologi) 2016, “Isu-Isu Mutakhir Dalam Arkeologi”,
diselenggarakan oleh IAAI (Ikatan Ahli Arkeolog Indonesia) Komda DIY-Jateng, pada 24 November 2016,
di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, DIY
2 Konsultan untuk kajian masyarakat adat & warisan budaya. Pengajar di Jurusan Antropologi Sosial,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro. Alamat email: prasetijo@gmail.com

1
Pengenalan Singkat IFC Performance Standard

IFC atau International Finance Corporation adalah lembaga pembiayaan yang dibentuk oleh Bank
Dunia untuk pendanaan swasta. Jika Bank Dunia adalah lembaga pembiayaan ‘G to G’ atau antar
pemerintah, maka IFC berfokus kepada pembiayaan swasta. IFC berdiri pada tahun 1956,
beberapa tahun setelah berdirinya Bank Dunia pada tahun 1944. Pada waktu itu untuk mengatasi
kemiskinan Bank Dunia mempunyai pemikiran bahwa pendekatannya harus dengan beberapa cara.
Salah satunya adalah dengan membentuk 5 lembaga komplementari yang mendukung program
Bank Dunia. Kelima lembaga tersebut adalah

• International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)


• International Development Association (IDA)
• International Finance Corporation (IFC)
• Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA)
• International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

IFC sendiri dibentuk untuk memperkuat sector bisnis atau swasta sebagai dasar untuk
menumbuhkan perekonomian local dan negara yang bersangkutan. Meskipun bagian dari Bank
Dunia, IFC adalah badan hukum yang terpisah dengan model perjanjian, modal saham, struktur
keuangan, manajemen, dan staf yang tersendiri. Keanggotaan dalam IFC juga terbuka hanya untuk
negara-negara anggota Bank Dunia.

Meskipun begitu project yang didanai oleh IFC tidaklah lepas sama sekali dari tujuan pembangunan
dan mendukung program pembangunan yang digagas oleh pemerintah setempat dan Bank Dunia
sendiri. Oleh karena itu banyak project yang didanai oleh IFC merupakan program pembangunan
yang menjadi completer terhadap program yang digagas oleh Bank Dunia dan program
pembangunan yang menjadi prioritas negara setempat. Seperti misalnya di Indonesia sendiri,
dimana pemerintah Presiden Jokowi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur dan
pengembangan energy 35.000 watt, maka program IFC akan banyak memprioritaskannya.

IFC percaya bahwa mereka membutuhkan Sustainability Framework atau Kerangka Kerja
Keberlanjutan yang dapat mengartikulasikan komitmen strategi IFC untuk pembangunan
berkelanjutan dan merupakan bagian integral dari pendekatan kami terhadap manajemen risiko.

Kerangka Keberlanjutan atau The Sustainability Framework ini dibuat untuk membantu klien
melakukan bisnis secara berkelanjutan. Hal ini untuk membantu mempromosikan praktek-praktek
lingkungan dan social secara benar, mendorong transparansi dan akuntabilitas, dan memberikan
kontribusi untuk dampak perkembangan yang positif bagi masyarakat terdampat. Standar Kinerja
IFC atau IFC Performance Standar sebenarnya merupakan bagian dari Sustainability Framework yang
dibuat oleh IFC. Kemudian berkembang menjadi global dan diakui sebagai dasar atau panduan
untuk manajemen risiko, baik untuk lingkungan dan sosial di sektor swasta.

Awalnya IFC Performance Standard ini diadopsi pada tahun 2006. Kemudian diperbaharui melalui
proses konsultasi selama 18 bulan bersama dengan stakeholder lain yang di seluruh dunia. Dan
efektif pada tahun 2012, IFC mencerminkan evolusi dalam praktek yang baik untuk keberlanjutan
dan mitigasi risiko selama lima tahun terakhir. Mereka menggabungkan modifikasi pada isu-isu
yang menantang yang semakin penting untuk bisnis yang berkelanjutan, termasuk manajemen
rantai pasokan, efisiensi sumber daya dan perubahan iklim, dan bisnis dan hak asasi manusia.

2
IFC Kerangka Kerja Performance Standard

Pada dasarnya Kerangka Kerja IFC membagi dalam 8 Performance Standard3 atau kinerja perusahaan,
yang terdiri dari:

1. PS 1 - Social and Environmental Assessment and Management System (Sistem Management dan
Penilaian Lingkungan dan Sosial)
Berkaitan dengan bagaimana proyek melakukan identifikasi dan assessment, serta
bagaimana mengelola semua dampak social, budaya dan lingkungan yang akan ditimbulkan
oleh aktivitas proyek. Dalam PS 1 ini proyek berusaha untuk menghindari, meminimalkan,
atau melakukan mitigasi terhadap dampak. Hal ini juga untuk menyiapkan aturan,
kebijakan, rencana implementasi, alat monitoring & evaluasi, hingga membuat grievance
mechanism atau mekanisme komplain. Ada beberapa tujuan dari PS 1 ini, yaitu:
a. Untuk mengadopsi hirarki mitigasi agar dapat mengantisipasi dan menghindari,
atau melakukan penghindaran jika tidak mungkin dilakukan, serta meminimalkan
resiko, dan, di mana dampak residual tetap, kompensasi untuk risiko dan dampak
untuk pekerja, dan terutama kepada lingkungan dan masyarakat yang terkena
dampak.
b. Untuk mempromosikan kinerja lingkungan dan sosial yang lebih baik melalui
sistem manajemen yang efektif. Untuk memastikan bahwa keluhan dari Komunitas
Terkena dan komunikasi eksternal dari pihak lain menanggapi dan dikelola dengan
tepat
c. Untuk mempromosikan dan memberikan sarana bagi keterlibatan Komunitas yang
Terpengaruh sepanjang siklus proyek pada isu-isu yang berpotensi mempengaruhi
mereka dan untuk memastikan bahwa informasi lingkungan dan sosial yang relevan
diungkapkan dan disebarluaskan dengan benar.
2. PS 2 – Labor and Working Condition (Kondisi Pekerja dan Pekerjaan)
Berkaitan dengan kondisi kerja dalam perusahaan, dan bagaimana pihak manajemen
melindungi hak-hak tenaga kerja perusahaan. Juga bagaimana memastikan semua
kontraktor dan supplier mendukung prosedur tersebut.
3. PS 3 – Resource Efficiency and Pollution Prevention (Pencegahan Polusi)
Berkaitan dengan bagaimana pencegahan polusi dan penanganan limbah.
4. PS 4 – Community Health, Safety, and Security (Kesehatan Masyarakat dan Keamanan)
Performance Standard 4 berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat dan kepedulian
serta persyaratan keselamatan dan personel keamanan.
5. PS 5 – Land Acquisition and Involuntary Resettlement (Pengadaan Tanah dan Perpindahan
Penduduk)
Performance Standard 5 mempunyai focus kepada proses pengalihan lahan dan
pemindahan penduduk dimana proses pelaksanaannya haruslah sesuai dengan prosedur
dan standar nasional maupun internasiona. Yang menjadi fokus PS 5 ini adalah bagaimana
proyek memberikan perhatian dan penanganan kepada masyarakat terdampak, atau punya
potensi terdampak.
6. PS 6 – Biodiversity Conservation and Sustainable Management of Living Natural Resources
(Konservasi Keragaman Hayati dan Manajemen Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan)

3 Untuk selanjutnya akan disebut sebagai PS

3
PS 6 mempunya aturan yang ketat bagaimana proyek tidak boleh memberikan dampak
terhadap keanekaragaman hayati. Tujuan dari persyaratan IFC PS 6 adalah memastikan
keanekaragaman hayati yang dilindungi dan dilestarikan, dan bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam digunakan dimanapun layak di seluruh siklus hidup proyek,
sehingga kebutuhan konservasi dan prioritas pembangunan yang terintegrasi.
7. PS 7 – Indigenous Peoples (Masyarakat Adat)
Di bawah Standar Kinerja 7, ketika sebuah inisiatif proyek mempengaruhi Masyarakat Adat
(IP), klien harus bekerja untuk membangun hubungan yang baik dengan IP. Proyek dengan
dampak yang merugikan memerlukan proses Bebas, Diutamakan, dan Diinformasikan
(FPIC atau Free Prior Informes & Consent) bersama IP yang terkena dampak untuk
memfasilitasi partisipasi informasi dan memberikan persetujuan mengenai hal-hal yang
mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Proses keterlibatan IP harus sesuai
dengan budaya dan sepadan dengan risiko dan dampak potensial terhadap IP. Definisi IP,
masyarakat adat berdasarkan beberapa kriteria:
• (Self-identification) Identifikasi diri sebagai anggota kelompok budaya asli yang berbeda
dan adanya pengakuan identitas ini oleh orang lain;
• (Ancestral territory) keterikatan bersama terhadap habitat geografis yang berbeda atau
wilayah leluhur di wilayah proyek dan sumber daya alam di dalam habitat dan wilayah
yang sama;
• Lembaga kebudayaan, ekonomi, sosial, atau politik yang terpisah dari orang-orang dari
masyarakat arus utama atau budaya; atau
• Adanya sebuha identifikasi diri bahwa mempunyai ciri yang berbeda dengan kelompok
lain. Misalnya dengan pengakuan bahasa yang berbeda atau dialek, sering berbeda dari
bahasa resmi atau bahasa negara atau wilayah di mana mereka tinggal.
8. PS 8 – Cultural Heritage (Warisan Budaya)
IFC PS 8 membutuhkan proyek untuk melakukan upaya untuk melindungi warisan budaya
dari setiap dampak merugikan dari kegiatan proyek, dan untuk mendukung pelestarian
warisan budaya. Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko dan dampak lingkungan
dan sosial dari proyek. Ada beberapa tujuan dari PS 8 ini, antara lain adalah:
• Untuk melindungi warisan budaya dari dampak merugikan dari kegiatan proyek dan
mendukung pelestariannya.
• Untuk mempromosikan pembagian keuntungan yang adil dari penggunaan warisan
budaya (benefit sharing)

4
Dari sisi manajemen, PS 1 atau Social and Environmental Assessment and Management System
memberikan dasar pijakan pengelolaan bagi performance standard atau kinerja perusahaan dalam
pengelolaan dampak. Seperti dalam gambar dibawah ini:

Sumber: IFC Performance Stamdard (2012)

Jika kita melihat gambar diatas dapat digambarkan bahwa semua dampak harus dapat diperkirakan
dari 8 komponen yang ada kemudian disatukan dalam suatu sistem manajemen pengelolaan yang
terintegratif dan dapat dipantau perkembangaannya.

Beberapa Alasan Perusahaan Melakukan Penilaian IFC PS

Dari pengalaman penulis melakukan penilaian dan pekerjaan berkaitan dengan penilaian IFC ada
beberapa alasan perusahaan membuat studi untuk penilaian perusahaan berdasarkan IFC
Performance standard, antara lain adalah:
1. Kewajiban, karena merupakan prasarana wajib bagi perusahaan yang mengajukan pinjaman
kepada IFC dan lembaga pembiayaan keuangannya lainnya. Beberapa kelompok bank
internasional juga mempunyai standard yang mirip dengan disebut sebagai ‘equator
principle’ dimana standard yang digunakan mempunyai elemen yang sama, yaitu keinginan
untuk tidak memberikan dampak negative terhadap lingkungan dan masyarakat.
2. Permintaan investor atau lembaga investment, untuk melihat kinerja perusahaan – tidak
hanya dari aspek keuangan dan manajemen, tetapi juga bagaimana perusahaan
menghormati dan melakukan semua prosedur dan standard yang ada, untuk melihat
apakah perusahaan mempunyai permasalahan social dan konflik dengan stakeholder lain.
3. Permintaan perusahaan sendiri untuk menilai kinerja mereka berdasarkan IFC
Performance Standard, dengan tujuan antara lain untuk kemudian nantinya akan
menawarkan proyek pengembangan yang akan dilakukan kepada perusahaan investor atau
lembaga pembiayaan asing, atau untuk meningkatkan standard kinerja secara internasional
karena standard IFC dianggap mempunyai reputasi internasional sehingga reputasi
perusahaan meningkat secara internasional.
4. Beberapa lembaga pembiayaan nasional yang didanai oleh Bank Dunia (Misalnya, PT PII/
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia) atau lembag donor (Misalnya, MCAI –
Millennium Challenge Account Indonesia) menggunakan standard IFC dalam melakukan

5
penilaian kelayakan proyek yang didanai karena dianggap mempunyai standard kinerja yang
cukup baik.

Dari pengalaman penulis, banyak perusahaan swasta yang kemudian menggunakan IFC Performance
Standard ini sebagai bahan publikasi secara internasional bahwa perusahaan mereka mempunyai
kinerja yang baik. Bahkan beberapa perusahaan swasta asing sudah mempunyai protocol secara
khusus untuk Masyarakat Adat dan Warisan Budaya, yang menjadi acuan bagi pembangunan
proyek atau pengembangan yang dilakukan diseluruh dunia.

Tata Kerja Penilaian Performance Standard

Tata kerja dan metode penilaian sebenarnya tidak ada metode tertentu yang diharuskan untuk
dikerjakan. Dalam konteks ini maka kemampuan dan keahlian konsultan atau peneliti sangat
dibutuhkan untuk menganalisa dokumen – karena IFC PS sangat tergantung dari evidence atau bukti
dokumen, melakukan penilaian secara cepat dan tepat, baik bisa dipertanggungjawabkan secara
‘ilmiah’ dan sesuai dengan aturan nasional dan internasional. Kemampuan untuk melakukan
penggalian data dan informasi, juga kemampuan untuk melakukan konsultasi baik dengan instansi
terkait maupun dengan public juga sangat dibutuhkan. Bahkan beberapa klien meminta untuk
dilakukan proses assessment secara rahasia atau incognito untuk menjaga kerahasian tujuan
perusahaan atau investor melakukan penilaian berdasarkan IFC.

Untuk melakukan penilaian memang sangat tergantung dari tujuan melakukan penilaian tersebut,
seperti dijelaskan diatas. Karena ini akan mempengaruhi proses kerja yang akan dilakukan.
Misalnya bagi proyek baru yang akan didanai oleh lembaga pendanaan donor, maka proses
penilaian dengan mencari dan mengidentifikasi potensi dampak yang akan timbul, dan kemudian
mengkonfirmasikannya. Sedangkan jika melakukan penilaian bagi perusahaan atau proyek sudah
berlangsung maka proses yang dilakukan mencari apakah perusahaan telah mengidentifikasikan
potensi dampak yang akan muncul sejak awal, dan bagaimana penanganannya. Hal ini juga
menyangkut bagaimana perusahaan memperlakukan jika didaerahnya ditemukan potensi dampak
berkaitan dengan warisan budaya.

Ada beberapa proses penilaian yang dilakukan, antara lain adalah:

1. Konsultan melakukan studi dokumen untuk melihat kelengkapan dokumen, berkaitan


dengan kebijakan, struktur kelembagaan, SOP, kinerja, laporan penelitian, standard yang
digunakan, kemudian bagaimana perusahaan bekerja sesuai dengan aturan hukum secara
nasional maupun internasional. Juga melakukan penyisiran terhadap standard lain yang
diacu dan bagaimana penerapannya dalam konteks IFC. Misalnya AMDAL, RKL-UPL,
perusahaan sawit, mereka mempunyai beberapa standard seperti ISPO (Indonesia
Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil), dan lain sebagainya.
2. Selain itu konsultan juga harus melakukan pencarian rekam jejak perusahaan dimedia
nasional, internasional, maupun local tentang adakah isu-isu tertentu yang dihadapi oleh
perusahaan atau proyek yang bersangkutan. Penelusuran ini juga berkaitan dengan
pengaduan pihak tertentu kepada perusahaan dan bagaimana perusahaan meresponnya.
3. Melakukan konfirmasi dan verifikasi terhadap potensi terdampak, baik secara lingkungan,
social, maupun budaya. Proses konfirmasi dilakukan dengan melakukan kunjungan,
peninjauan langsung, melakukan proses konsultasi publik dengan pihak terkait. Juga
memastikan apakah pihak perusahaan melakukan sesuai dengan perencanaan yang sudah
direncanakan sebelumnya. Jika ada kendala, menemukan apa kendalanya. Biasanya akan
banyak isu yang muncul dilapangan berkaitan dengan penerapan kebijakan perusahaan.

6
4. Melakukan analisa dan penulisan laporan berdasarkan temuan yang ada, dimana kemudian
temuan akan dikonfirmasi kembali kepada perusahaan. Jika perusahaan sudah melakukan
apa buktinya, dan jika belum melakukan kinerja yang dimaksudkan apa buktinya. Dan
nantinya report akan diserahkan kepada pihak yang memintanya. Jika proses penilaian IFC
untuk suatu proyek baru yang dilakukan maka proses selanjutnya adalah melengkapi
beberapa dokumen atau membuat perencanaan yang dmaksud.

IFC Performance Standard Berkaitan dengan Warisan Budaya

Jika kita melihat dari Performance Standard nomer 8 atau PS 8 tentang warisan budaya memang
sangat berkaitan langsung dengan warisan budaya. Namun jika kita melihat ada beberapa performance
standard yang berkaitan dengan warisan budaya, yaitu PS 7 berkaitan dengan identifikasi Masyarakat
Adat atau Indigenous People, karena ada unsur yang harus terpenuhi dalam identifikasi masyarakat
adat yaitu adanya ancestral territory atau tanah leluhur, atau tanah yang dikaitkan dengan hak komunal
dalam pengelolaannya. Dalam ini sangat kuat kaitannya dengan definisi Kawasan Budaya atau
lansekap budaya.

Kemudian yang juga berhubungan dengan PS 1 yang berkaitan dengan - Social and Environmental
Assessment and Management System (Sistem Management dan Penilaian Lingkungan dan Sosial). Hal
ini berkaitan dengan bagaimana kebijakan perusahaan terhadap pengelolaan warisan budaya, juga
bagaimana tingkat kepatuhan perusahaan terhadap aturan yang ada termasuk mengidentifikasi dan
menjaga warisan budaya.

Untuk PS 8 sendiri, pekerjaan mulai dari identifikasi potensi dampak – apakah ada atau tidak,
kemudian jika ada bagaimana cara penanganannya dan pengelolaannya, hingga menyiapka
prosedur berkaitan dengan warisan budaya bagi perusahaan atau proyek yang terdampak. Ada
beberapa lingkup yang menjadi bagian dari PS 8 yaitu adalah:
• Memastikan bahwa perusahaan yang bersangkutan mempunyai protokol untuk Warisan
Budaya berdasarkan proses identifikasi dampak, dan memasukannya dalam sistem
manajemen untuk dampak sosial & lingkungan, atau disebut sebagai Environmental and Social
Management System (ESMS)- PS1
• Jika terdapat risiko dampak terhadap warisan budaya, maka perusahaan akan mencari
tenaga profesional yang kompeten untuk membantu dalam identifikasi dan perlindungan
warisan budaya.
• Ada beberapa prosedur yang disiapkan, antara lain adalah:
– Legally comply, atau bagaimana perusahaan sesuai dengan aturan yang ada berkaitan
dengan UU CB No.11/2010, atau standard lain.
– Chance Find Procedures, atau membuat prosedur atau protokol penemuan, jika dalam
aktivitas kegiatan perusahaan ditemukan cagar budaya.
– Community consultation dan Informed Consultation and Participation (ICP), atau
memastikan masyarakat yang mempunyai warisan budaya memhami betul
konsekuen dari dampak pembangunan terhadap warisan budaya yang dimiliki, dan
mereka mempunyai keputusan untuk menerima atau menolak.
– Community access, yaitu dengan memastikan masyarakat terdampak tetap mempunyai
akses terhadap situs warisan budaya dan bisa melaksanakan ritual budaya tanpa
terhalangi.
– Mitigation plan dan Removal & Non Removal of Replicable Cultural Heritage, jika
menyangkut cagar budaya ada yang ditemukan dan perlu dihancurkan,
dipindahkan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan standard tertentu dengan

7
mengacu kepada aturan nasional yang berlaku, dan konsultasi dengan lembaga yang
terkait pemberi otoritas.

Gap Analysis Dengan Peraturan Indonesia Tentang Warisan Budaya

Seperti dipahami bersama, di Indonesia untuk perlindungan warisan budaya berlaku Undang-
Undanga Cagar Budaya No.11, 2010. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa Cagar
Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau
di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Kemudian ada
proses penetapan sebelumnya ketika suatu situs atau benda Cagar Budaya dinyatakan penting oleh
negara.
Ada beberapa definisi tentang cagar budaya dalam UU CB No.11/2010, antara lain adalah:
1. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak
maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau
sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia.
2. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda
buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak
berdinding, dan beratap.
3. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau
benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan
alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
4. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung
benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai
hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
5. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar
budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang
khas.
Dari pemahaman diatas tersebut, ada 4 (empat) hal penting yang harus menjadi titik penekanan
pada warisan budaya yang dianggap sebagai penting yaitu: 1) adalah bersifat penting, 2) perlu
dilestarikan, 3) memiliki nilai yang signifikan, dan 4) proses pengaturan. Sedangkan definisi
kawasan budaya oleh CB UU 11/2010 Pasal 1 butir 6 sebagai unit ruang geografis yang memiliki
dua Budaya Warisan Budaya Properti atau lebih berdekatan dan / atau menunjukkan ciri spasial
yang khas.
Dalam konteks ini, suatu objek atau bangunan atau fitur alami yang konon memiliki nilai warisan
budaya dan mempunyai nilai ritual atau keramat bagi masyarakat, tidak secara otomatis diterima
sebagai definisi warisan dan pada saat yang sama belum tentu warisan budaya yang dihargai oleh
masyarakat dapat langsung ditentukan oleh pemerintah jika tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan sesuai dengan UC CB 11/2010. Kemudian untuk mendefinisikan status warisan budaya
suatu objek, bangunan, struktur, lokasi dan ruang geografis atau unit yang dilakukan oleh kantor
kabupaten berdasarkan rekomendasi dari tim ahli cagar budaya, dimana belum semuanya bisa
terpenuhi. Pelestarian warisan budaya yang bernilai nasional dan dianggap sebagai prioritas
nasional oleh Kementerian.

8
Sedangkan secara internasional, warisan budaya dilindungi secara hukum di hampir setiap negara.
UNESCO Konvensi untuk Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam 1972 telah menjadi
dasar bagi dunia internasional untuk mengadopsi kebijakan umum berkaitan dengan warisan
budaya, termasuk didalamnya adalah lembaga internasional. Konsep Warisan Dunia telah
menciptakan sebuah tanggung jawab bersama secara internasional untuk identifikasi, konservasi
dan pengelolaan warisan global. Salah satu cara untuk mengatasi tanggung jawab ini adalah dengan
menyebarkan standar di berbagai dokumen, termasuk internasional dan regional konvensi,
rekomendasi, charter dan kebijakan. Lembaga yang memberikan pinjaman bantuan, seperti World
Bank, ADB (Asian Development Bank), juga IFC, melihat konvensi ini dengan tujuan untuk
memahami warisan budaya dalam persepsi yang sama.

Standar untuk perlindungan dan pengelolaan warisan budaya secara umum telah dikeluarkan oleh
berbagai lembaga; terutama di antara ini adalah United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO); Dewan Internasional mengenai Monumen dan Situs (ICOMOS); Dewan
Eropa (COE); dan pemerintah nasional. Sebagian besar standar ini berkaitan dengan budaya
material, sering disebut warisan budaya 'tangible'; Namun, ada peningkatan perhatian juga untuk
warisan 'intangible', termasuk produk dan proses ekspresi artistik dan kreatif.

Warisan budaya materi dibagi menjadi tiga kelompok: monumen, kelompok bangunan, dan situs.
Ini harus memiliki 'nilai yang luar biasa, dan monumen dan kelompok bangunan harus memiliki
nilai universal yang luar biasa (Cernea 2001: 2). Tahun 1986 kebijakan operasional Bank Dunia,
atau World Bank Operation Manual 11.03 mewajibkan bahwa pembangunan "tidak boleh
membahayakan warisan budaya", sehingga proyek yang diperlukan untuk menghindari,
meminimalkan, atau mengurangi dampak buruk pada benda budaya.

ADB sendiri misalnya menentukan Warisan Budaya adalah catatan hubungan manusia dengan
dunia, prestasi masa lalu, dan penemua, termasuk didalamnya warisan budaya, kekayaan budaya,
warisan budaya atau sumber daya budaya, dapat didefinisikan sebagai manifestasi sekarang dari
masa lalu manusia. Hal ini mengacu pada situs, struktur, dan tetap mempertahankan nilai arkeologi,
sejarah, agama, budaya, atau estetika. Dalam melestarikan warisan ini kita melestarikan unsur-unsur
dari masa lalu kita yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi untuk pemahaman kita
tentang sejarah manusia.

UNESCO sendiri telah mengkonfirmasi bahwa 'warisan budaya' dapat didefinisikan sebagai
seluruh tanda-tanda korpus baik yang bersifat artistik atau symbolic yang dibuat oleh masa lalu
untuk setiap budaya. Sebagai bagian konstituen dari penegasan dan pengayaan indentitas budaya,
sebagai warisan milik seluruh umat manusia, warisan budaya memberikan setiap tempat tertentu
fitur dikenali sebagai etalase dari pengalaman manusia. Oleh karena itu presentasi dan pelestarian
warisan budaya adalah penanda bagi kebijakan budaya apapun.

Untuk mendapatkan pemahaman menarik, berikut disampaikan tentang komparasi definisi warisan
budaya di lembaga pembiayaan internasional, yaitu IFC, ADB, dan World Bank.

IFC ADB WORLD BANK

1. Tangible forms of cultural 1. ADB define Cultural Heritage is This policy addresses physical
heritage, such as tangible a record of humanity’s cultural resources,’ which are defined
moveable or immovable objects, relationship to the world, past as movable or immovable objects,
property, sites, structures, or achievements, and discoveries. sites, structures, groups of structures,
groups of structures, having Cultural heritage, also termed and natural features and landscapes
archaeological (prehistoric), cultural property, cultural that have archaeological,
paleontological, historical, patrimony or cultural resources, paleontological, historical,

9
cultural, artistic, and religious can be defined as the present architectural, religious, aesthetic, or
values; manifestation of the human other cultural significance.
2. Unique natural features or past. It refers to sites, structures,
tangible objects that embody and remains of archaeological, Physical cultural resources may be
cultural values, such as sacred historical, religious, cultural, or located in urban or rural settings, and
groves, rocks, lakes, and aesthetic value. In conserving may be above or below ground, or
waterfalls; and this heritage, we are conserving under water.
3. Certain instances of intangible those elements of our past that
forms of culture that are have the potential to contribute Their cultural interest may be at the
proposed to be used for to our understanding of human local, provincial or national level, or
commercial purposes, such as history. within the international community.
cultural knowledge, innovations,
and practices of communities 2. Archaeological resources Physical cultural resources are
embodying traditional lifestyles. (e.g., occurrences and sites important as sources of valuable
which may include artifacts, scientific and historical information,
plant and animal remains as assets for economic and social
associated with human activities, development, and as integral parts o
burials, and architectural f a people’s cultural identity and
elements) which may or may not practices.
be an integral part of the cultural
heritage of the local inhabitants;
and

3) Cultural landscapes which


consist of landforms and biotic
as well as non-biotic features of
the land resulting from cultural
practices over historical, or even
prehistoric times, by generations
of peoples of one or more
cultural traditions. These
resources constitute the cultural
heritage of a people, a nation, of
humanity.

Sumber: Operational Policy Note 11.03, “Managing Cultural Property in World Bank-Financed Projects”, IFC
Perfomance Standard (2012) dan Environmental Assessment Sourcebook (World Bank 1994)

Jika kita melihat 3 gap analysis diatas, semua tiga definisi warisan budaya yang sama dan tidak
bertentangan satu sama lain, itu akan aman untuk digunakan sebagai referensi pedoman dan
menjaga kebijakan yang warisan juga disebut sebagai sifat budaya, warisan budaya atau sumber
daya budaya yang dapat didefinisikan sebagai presentasi manifest manusia masa lalu.

No ISU UU CB No 11/2010 IFC PS 8


1 Definisi warisan budaya Warisan Budaya perlu Tidak perlu. Fokus ke
penetapan masyarakat terdampak.
2 Sifat karakteristik Bersifat nasional & punya nilai Bisa jadi nilai lokal, atau
warisan budaya penting nasional/regional kelompok tertentu
3 Struktur Cagar budaya Struktur Cagar Budaya atau Feature alam, yang bisa jadi
feature alam yang punya nilai tidak punya nilai arkeologis
penting arkeologis namun mempunyai nilai
sakral/ritual masyarakat
4 Warisan Budaya Otoritas negara Penekanan kepada kebebasan
masyarakat untuk menentukan
keputusan, boleh atau tidak.

10
5 Warisan Budaya Otoritas negara Memastikan masyarakat pemilik
tetap mempunyai akses dan
bebas melakukan aktivitas
budaya
6 Proses Konsultasi Konsultasi dengan pemerintah Penekanan kepada proses
untuk penetapan dan konsultasi public yang intensif
pengelolaan. untuk menjamin proses
partisipatif & transparansi
7 Penanganan warisan Bersifat sukarela, jika warisan Warisan budaya protocol untuk
budaya oleh swasta budaya tidak masuk dalam menjamin perusahaan/proyek
definisi CB yang ada UU CB melakukan aktivitasnya sesuai
dengan aturan
8 Penanganan warisan Bersifat sukarela, jika warisan Menuntut keaktifan
budaya jika tidak sesuai budaya tidak masuk dalam perusahaan/proyek untuk
dengan UU CB definisi CB yang ada UU CB melakukan identifikasi,
pemetaan, pengelolaan,
pelaporan, dan monitoring
evaluasi program yang
terintegratif secara
terdokumentasi dengan baik

Penutup: Refleksi Strategis dan Peran Arkeolog

Dari pengalaman penulis ada beberapa refleksi yang selama ini dapat formulasikan;
1. Ada gap yang memang berbeda antara UU CB dan standard internasional yang menjadi
dasar bagi lembaga pembiayaian asing yaitu warisan budaya yang dimiliki dan dikelola
oleh masyarakat, dimana ini tidak banyak diperhatikan dalam undang-undang. Aspek
perlindungan situs ini sangatlah lemah, namun sangat diperhatikan oleh lembaga
pembiayaan asing karena focus terhadap ‘affected people’ dan bagaimana proses
kompensasi dan recovery’nya. Sangat berbeda dengan UU CB yang berfokus kepada
cagar budaya punya nilai strategis nasional atau regional.
2. Banyak studi yang dilakukan oleh bukan ahli budaya (arkeolog atau antropolog) namun
dilakukan oleh ahli social, atau ekologi/kehutanan social sehingga mempunyai cara
pandang yang salah dalam menerjemahkan apa itu warisan budaya dan masyarakat adat
misalnya, sehingga mempengaruhi penilaian kinerja perusahaan. Misalnya dalam
AMDAL atau kajian RSPO untuk perkebunan sawit, atau SIA (Social Impact
Asssesment). Ada beberapa temuan misalnya, yang bisa diidentifikasi sebagai warisan
budaya namun tidak dikenali.
3. Perusahaan atau proyek tidak awas atau paham bahwa didaerahnya ada potensi temuan
warisan budaya. Kebanyakan mengira banyak temuan warisan budaya bersifat
monumental, bangunan, atau struktur bangunan yang jelas terlihat – berbeda dengan
definisi warisan budaya yang dianjurkan lembaga pembiayaan asing, mereka juga
mengenali warisan budaya yang milik masyarakat dan dinggap tidak punya nilai penting
secara nasional atau arkeologis.
4. Perusahaan atau proyek tidak paham, jika ada temuan, atau bagaimana cara membuat
aturan atau protocol jika berhubungan warisan budaya. Sangat jarang perusahaan atau
proyek yang mengenali keberadaan lembaga kearkeologian, misalnya BPCB sendiri
sebagai lembaga pemegang otoritas untuk pemeliharaan.
5. Kendala birokratis dan kelenturan ‘ilmiah’ karena yang dibutuhkan dalam kajian ini
adalah kajian rapid yang bersifat cepat, namun bisa memberikan prediksi yang baik dan
sesuai dengan target dan output yang diminta, yang kadang memang berbeda dengan
tujuan ilmiah. Kemudian juga adalah kemampuan untuk menganalisa dan

11
menghubungkan dengan internasional standard yang lain, yang berkaitan dengan
operasional perusahaan sangatlah penting.

Meskipun begitu, penulis melihat banyak peran arkeolog atau kajian budaya untuk dapat
memberikan kontribusinya lebih baik:
1. Dapat memastikan semua proses sesuai dengan aturan nasional dan internasional, baik
secara ilmiah dan procedural. Gap untuk warisan budaya yang tidak tertangani oleh
pemerintah dapat ditangani dan diperhatikan oleh pihak perusahaan dan warga secara
aktif.
2. Memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga warisan budaya dan prosedurnya
bagi dunia swasta. Nampaknya pemahaman tentang pentingnya warisan budaya sangatlah
minim didunia swasta, bahkan untuk BUMN sekalipun. Peran arkeolog dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang penanganan warisan budaya.
3. Menjadi fasilitator antar stakeholder – swasta, pemerintah, akademik, dan masyarakat,
dimana selama ini banyak kendala ditemui berkaitan dengan data. Banyak data warisan
budaya yang belum terdata secara tuntas, sehingga keberadaannya tidak diketahui oleh
pihak yang berkepentingan.
4. Meyakinkan lembaga pembiayaan asing, dan stakeholder bahwa tidak ada dampak
pembangunan yang tertinggal, sehingga proses pembangunan atau proyek yang
direncanakan untuk dapat dilaksanakan dengan baik.
5. Kemudian mau tidak mau akan menuntut arkeolog untuk dapat memahami
perkembangan isu mutakhir yang berkaitan dengan pembangunan, arah pembangunan
internasional, kemudian perkembangan dunia lain. Karena banyak standard lain, seperti
yang saya jelaskan seperti misalnya RSPO, SIA, ADB Operation Manual untuk
rettlement – memasukan item bagaimana memindahkan warisan budaya/makam, atau
bahkan dalam PROPER (untuk penilaian peringkat lingkungan perusahaan) telah
memasukan elemen social dan budaya dalam penilaiannya.

Referensi:

IFC, Environmental and Social Management System Tool, IFC, Washington, US, November
(2015)
IFC, FC Perfomance Standard (2012)
IFC Sustainability Framework, Policy and Performance Standards on Environmental and Social
Sustainability Access to Information Policy (2012)
World Bank, Operational Policy Note 11.03, “Managing Cultural Property in World Bank-
Financed Projects” (1994)
World Bank, Environmental Assessment Sourcebook (World Bank 1994)

12

Anda mungkin juga menyukai