Anda di halaman 1dari 21

Pasar-Pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa

(Surabaya Awal Abad XX)

Paijo, tukang karcis satu-satunya di pasar itu sibuk


mempropagandakan los-los pasarnya kepada orang-orang
pasar. ”Boleh di luar, boleh di dalam. Los-los bersih, teratur.
Kalau pasar diatur akan memudahkan pembeli. Kalau semua
pedagang ingin dekat dengan pintu masuk boleh, biar
berjejal. Kalau mau diatur boleh, tidak, boleh! Pasar ini akan
segera berkembang. Siapa yang tinggal di los akan
beruntung, mendapat tempat yang teduh, hujan tidak basah,
panas tidak terbakar, angin tidak masuk angin”.
Paijo mengingatkan. Siapa yang mendapat tempat lebih
dulu akan dijamin haknya. Siapa yang tak turut peraturan
tidak akan dijamin. Kalau ada apa-apa jangan minta tolong
pengurus pasar. Berdaganglah di los pasar, dijamin laku.
Berdagang di jalanan hanya orang bodoh. Kesempatan hanya
sekali datang seumur hidup. Tidak akan ada perubahan lagi
sesudah ini. Banyak orang terkena omongannya. Bahkan
tidak terduga, ada semacam perebutan untuk menempati los
pasar itu. Tempat yang terbaik dalam los, tetapi mudah
dicapai oleh pembeli. Itulah yang menjadi tujuan mereka.
Aksi penertiban itu dijalankan dengan berhasil, tanpa
pertengkaran. ”Kalau mau negara teratur, pasar harus
diatur. Pasar memegang peranan yang penting dalam negara.
Tanpa pasar, ekonomi tidak jalan. Tanpa tempat yang tetap,
pedagang akan rugi. Tidak dikenal pembeli, tidak dikenal
rezeki”.

(Novel Kuntowijoyo, Pasar, Yogyakarta, Bentang Intervisi


Utama, 1994)

Prolog

Beberapa baris kalimat di atas merupakan bagian narasi dari


novel Kuntowijoyo yang bisa dikategorikan sebagai sastra yang
berimajinasi tentang realitas dan seluk beluk problematika Pasar,
tetapi bukan realitas yang aktual. Namun, sastra seperti sejarah
adalah culturally constructed, sehingga tidak lepas dari konteks

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 1


realitas, demikianlah Kuntowijoyo mengingatkan.1 ”Apa yang
seharusnya terjadi” dalam institusi ekonomi yang bernama ”pasar”
bagi masyarakat pasar dan negara seperti kutipan di atas merupakan
realitas ideal yang berfungsi subjektif. Pertanyaannya, ”apa yang
sebenarnya terjadi” dengan kehidupan pasar-pasar di Kota Surabaya
pada awal abad XX? Meminjam bahasa Bambang Purwanto, dalam
konteks ini, sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebut sebagai
representasi langsung dari objektivitas masa lalu, karena jarak telah
mereduksi secara langsung kemampuan rekonstruktif.2
Pada spektrum lain, H.C. van den Bos menuturkan, banyak kajian
dihasilkan tentang perdagangan di Hindia Belanda, tetapi tidak ada
yang memberikan kajian historis tentang persoalan pasar.3 Saya
teringat dalam perkuliahan tanggal 23 April 2013 apa yang
disampaikan Bambang Purwanto “apa yang kita kerjakan bukan
hanya sekedar sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah
dikerjakan orang, tetapi juga sesuatu yang neglected, sesuatu yang
diabaikan. Karena kalau hanya berpikir tentang sesuatu yang berbeda
dari apa yang sudah dikerjakan orang, maka yang ada di kepala kita,
tidak ada yang pernah mengerjakan itu semua, sehingga bagaimana

1Kuntowiojoyo, “Sejarah/Sastra”, Humaniora, Vol.16, №.1,


Pebruari 2004, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, hal: 24.
2Bambang Puwanto, “Historisisme Baru dan Kesadaran
Dekonstruktif: Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris”,
Humaniora, Vol.XIII, No.1, 2001, hal:29-30; Bambang Purwanto & Asvi
Wardam Adam, 2013, Menggugat Historiografi Indonesia, Yogyakarta:
Penerbit Ombak, hal: 35.
3H.C. van den Bos, “Het een en ander het “Pasar” of Marktwezen in
de Gouvernementslanden op Java en Madoera (1), dalam Koloniaal
Tijdschrift, 1913, Uitgegeven door de Vereeniging van Ambtenaren bij
het Binnenlandsch Bestuur in Nederlandsch-Indie, Tweede Jaargang –
eerste Halfjaar, hal: 945.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 2


kita bisa mengerjakan. Padahal dasar kita membangun bukan dari apa
yang sudah dikerjakan orang, tetapi dari fenomena atau peristiwa yang
terjadi di masa lalu. Dalam bahasa agama harusnya “Alhamdulillah”,
karena belum ada orang yang mengerjakan, maka dari itu merupakan
sesuatu yang perlu untuk kita kerjakan”.
Dalam realitas historis, fenomena pasar bukanlah hal baru. Pasar
telah menjadi pusat kegiatan ekonomi selama ratusan tahun lalu,
bahkan sejak manusia menyadari akan arti penting pasar sebagai
sarana pendukung kebutuhan hidupnya. Keberadaan pasar juga
melambangkan suatu tahapan kehidupan manusia yang masih
bergelut dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Perkembangan
setiap kota di Indonesia, tidak lepas dari peran dan keberadaan pasar.
Artinya, pasar merupakan representasi kehadiran ruang ekonomi
dalam sebuah kota. Kehadiran sebuah pasar sebagai arena atau ruang
ekonomi dapat dijadikan indikator perekonomi masyarakat yang lebih
maju yang banyak bermunculan di perkotaan. Problemnya,
keberadaan pasar-pasar di Kota Surabaya sudahkah bisa
dikategorikan sebagai pasar yang teratur dan bersih atau diatur dan
ditata semata-mata hanya karena pertimbangan politik ekonomi
negara? Berangkat dari alasan itulah, saya mencoba melihat pasar
dalam dimensi politik ekonomi. Pada konteks ini, kebijakan
pemerintah yang berjejalin dengan ekonomi pasar sehingga politik
ekonomi pemerintah akan ikut bermain di dalamnya. Dalam makalah
ini akan berusaha menjelaskan bagaimana dan mengapa negara,
dalam hal ini pemerintah kota Surabaya berkepentingan dalam
mengatur pasar?

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 3


Wajah Pasar-pasar di Kota Surabaya

Konsepsi tentang pasar dalam makalah di sini diartikan secara


fisik sebagai seperangkat bangsal atau tempat-tempat yang disewakan
maupun dijual kepada pedagang oleh pemerintah atau pengusaha
swasta4. Dalam perkembangannya, sampai berwujud sebuah
bangunan semi permanen maupun permanen yang digunakan sebagai
pasar. Pasar mempunyai beberapa kategori, di antaranya ada pasar
pusat atau pasar induk atau bisa juga disebut pasar besar yang
sebagian besar aktivitasnya bergerak dalam penjualan barang-barang
grosir. Ada pula yang dinamakan pasar lokal atau pemerintah kolonial
Belanda menyebutnya pasar domestik kecil yang sebagian besar
kegiatannya menangani perdagangan eceran. Fenomena pasar di kota
Surabaya bisa dimaknai sebagai sebuah pasar yang dalam pengertian
pertama, sekaligus dalam pengertian pasar yang bergerak dalam skala
kecil.
Menurut Sutjipto, kehadiran pasar di suatu lokasi dapat ditinjau
dari pembentukannya. Pertama, pasar yang timbul dengan sendirinya
terdapat di tempat-tempat strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Faktor kepadatan penduduk pun mempengaruhi timbulnya pasar,
demikian pula sebaliknya di kota yang padat penduduknya maka
kehadiran pasar akan sangat dimungkinkan sekali. Seperti
disampaikan Purnawan Basundoro bahwa pertumbuhan penduduk
kota Surabaya yang pesat pada awal abad XX membawa dampak,
terutama dalam bidang pemukiman.5 Ada keterkaitan antara muncul

4AliceDewey, 1962, Peasant Marketing in Java, New York: The Free


Press of Glencoe.
5Purnawan Basundoro, “Problem Pemukiman Pasca Revolusi
Kemerdekaan: Studi Tentang Pemukiman Liar di Kota Surabaya 1945-
1960”, Humaniora, Vol.16, No.3, Oktober 2004, hal:345.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 4


dan berkembangnya pasar dengan perluasan pemukiman sebagai
akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk Surabaya, sekalipun
apabila dibandingkan dengan karesidenan lain, prosentase
kenaikannya tidak begitu besar.6 Kedua, pasar yang dibuat dengan
sengaja, berjejalin dengan penguasa setempat untuk memenuhi
kebutuhan penduduk akan kehadiran sebuah pasar.7

Gambar 1: Pasar Pabean-Surabaya awal Tahun 1900-an


(Sumber: Koleksi ANRI)
Pasar Pabean dalam dua lembar foto awal tahun 1900,
memberikan ilustrasi mengenai nafas kehidupan perdagangan dalam
skala kecil yang sebagian besar dipenuhi penduduk bumiputera di
kota Surabaya. Gambaran yang bisa dijelaskan selain itu adalah,

6Selama periode 1900-1905, kenaikan penduduk Banten 10,2%;


Batavia 8,8%; Priangan 10,7%; Besuki 16,1%; Kediri 17,2%.
Sebaliknya untuk daerah yang padat hanya mengalami kenaikan
sedikit seperti Cirebon 2,9% dan Surabaya 3,2%. Periksa dalam
Indische Gids. I. 1912. J. Habbema, “De Overbevolking van Java”, J.E.
De Meyier& J.H. De Bussy, Tevens Nieuwe serie van het Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indië, 4ste Jaargang, Amsterdam, hal: 427.
7F.A. Sutjipto, 1970, “Beberapa Tjatatan Tentang Pasar-pasar di
Djawa Tengah (Abad 17-18)”, dalam Buletin Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, No.3:136-137.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 5


ternyata Pasar Pabean yang terletak dekat pusat perdagangan di kota
Surabaya tidak dapat dikatakan sebagai pasar yang sudah ditata
sedemikian teraturnya. Bahkan, banyak di antara pedagang yang
menggendong barang dagangannya, meletakkannya di atas kepala,
atau dibawa dengan menggunakan “pikulan”. Sangat terasa sekali
nuansa ketradisionalan denyut nadi kehidupan bumiputera dalam
gambar tersebut. Jelas tergambar kondisi fisik Pasar Pabean masih
lekat dengan ketidakteraturan. Sementara pada foto Pasar Groedo
(tahun 1900-an) dan Pasar Turi tahun 1905, memperlihatkan
bangunan gubuk-gubuk sederhana yang disewakan oleh orang
Tionghoa dengan menarik keuntungan sangat tinggi kepada pedagang.
Kondisi yang berlangsung di dua pasar ini tidak berbeda jauh dengan
yang tampak dalam foto Pasar Pabean. Barang dagangan diletakkan di
tanah yang belum diplester, ada beberapa pedagang yang
menggunakan penutup kepala dengan kain panjang, ada pula yang
menggunakan payung untuk menghindari panas sinar matahari. Pada
kasus lain, ada gerobak dan sepeda pengangkut barang menjadi satu
dengan kegiatan penjual dan pembeli di Pasar Turi.

Gambar 2: (kiri) Pasar Groedo tahun 1900-an dan (kanan) Pasar


Turi Tahun 1905
(Sumber : Koleksi ANRI)

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 6


Kondisi pasar dan los pasar demikian buruk, tidak ada kerapian
dan keteraturan dalam penempatan maupun dalam bentuk los pasar,
mayoritas hanya merupakan kedai atau gubuk. Sambungan lahan
pasar tidak banyak, pengaturan tempat duduk bagi berbagai pedagang
hampir tidak diketahui. Sikap hidup higienis belum dikenal dan aturan
tentang pencegahan penyakit menular di pasar tidak dibuat. Dari
keempat foto pasar di atas, keterangan yang bisa diketengahkan yaitu
dijumpainya bango-bango8 yang didirikan oleh orang-orang tertentu
dan pembayaran sewa untuk penggunaan sebuah bango berkisar
antara 1 sampai 5 sen yang dibayarkan pada setiap hari pasaran.9
Tentu saja bagi pedagang kecil yang hanya hanya berjualan makanan
kecil, pembayaran sewa itu terlalu memberatkan. Untuk
menghindarinya tidak sedikit pedagang yang membangun bango
sendiri agar memperingan pengeluaran. Sementara itu, juga terdapat
tuntutan untuk pengaturan pungutan terhadap pasar. Untuk
membersihkan sampah, ada istilah uang sapon atau pesapon yang
harus dibayar oleh setiap pedagang sebesar ½ sampai 1 sen kepada
tukang sapu yang sekaligus bertindak sebagai penjaga pasar.10

8Bango merupakan tempat duduk beratap atau biasa dikenal


dengan sebutan kedai yang terdapat di dalam pasar atau pada masa
lampau tidak sedikit pula yang menyebutnya rowang atau rongko.
9Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op
Java en Madoera VI a Overzich van de Uitkomsten der Gewestelijke
Onderzoekingen naar den Inlandschen Handel en Nijverheid en daaruit
Gemaakte Gevolgtrekkingen Iste deel, Batavia, H.M. van Dorp & Co.
1909, hal: 219.
10Keberadaantukang sapon menunjukkan adanya perubahan dari
keadaan sebelumnya, yaitu ketika era VOC, para pembeli sebagai
pengunjung pasar juga mempunyai kewajiban membersihkan pasar.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 7


Modernisasi Pasar: Kepentingan Kuasa
Atau Kepedulian Terhadap Pedagang Bumiputera?

Pasar menjadi pusat lalu-lintas penting yang memerlukan


pengaturan dan pengawasan dalam semua aspek, demikian isu yang
mengemuka di kalangan dewan kota untuk melegitimasi aturan yang
diterapkan di tanah koloni. Pengelolaan pasar-pasar pada awal
terbentuknya gemeente Surabaya tahun 1906 seperti tercermin dalam
wajah empat foto di atas. Hal inilah yang dijadikan alasan pemerintah
kolonial memberi wewenang kepada kotapraja untuk menangani
secara serius masalah yang berhubung erat dengan perdagangan kecil
penduduk bumiputera. Pada konteks lain, suatu kajian tentang
lembaga pasar disebutkan bahwa ”suatu pasar yang baik bagi banyak
kota di Eropa menjadi penyebab perkembangan dan perbaikan
lembaga pasar untuk sebuah kota memberikan keuntungan langsung
dan tidak langsung”.11 Dalam Algemeen Gemeenteblad tanggal 15 Juni
1907 No. 50, bersamaan dengan berkembangnya semangat politik etis
yang disejajarkan dengan pembangunanisme12, maka eksistensi
lembaga pasar yang teratur, tertib, bersih dan disiplin menjadi
perdebatan dalam setiap pembicaraan dewan kota. Dalam perspektif
balas budi itulah perdagangan, keamanan, kebersihan, keuangan
kotapraja, pencegahan pencurian dan tindak pemerasan, maka
keberadaan “lembaga pasar” sangat berkepentingan untuk menjaga

11C. Lulofs, “Pasarinrichting en pasarbeheer met bouwplan en


bijlangen”, Tijdschrift voor Het Binnenlandsh Bestuur, 1914, Zeven en
Veertigste Deel, Batavia: G. Kolff & Co, hal: 282. Kalimat “memberikan
keuntungan langsung dan tidak langsung” memberikan banyak
penafsiran bagi para pengambil kebijakan di Hindia Belanda.
12Bambang Purwanto, 2004, “Antara Sentralisasi dan
Desentralisasi: Ekonomi dan Otonomi Daerah Dalam Realitas Sejarah”,
Lembaran Sejarah, Vol.7, No.1, hal:130.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 8


semuanya. Kehadiran lembaga pasar yang teratur dirasa perlu demi
kepentingan penjualan hasil pertanian dan peternakan penduduk.
Melalui desentralisasi, memperoleh moment yang tepat untuk
melakukan berbagai perbaikan pasar, termasuk pungutan pasar agar
berlangsung secara rutin. Sejak tahun 1911, awal perluasan kegiatan
kotapraja ditandai dengan penanganan proyek-proyek besar,
termasuk, pembukaan jalan umum, pembangunan, dan pembaharuan
pasar. Konsekuensi logis diterapkannya peraturan desentralisasi13,
Kotapraja Surabaya harus mengatur, mengurus, mengupayakan segala
sesuatu yang mempunyai jalinan dengan urusan rumah tangganya
sendiri, utamanya membangun, merawat, dan memperbaiki pasar dan
los-los pasar14 beserta seperangkat infrastrukturnya.
Fenomena kepemilikan pasar partikelir di Surabaya yang dikuasai
pensiunan pejabat Bumiputera kaya dan kelompok Tionghoa, tidak
berbuat banyak untuk menjaga kebersihan dan keamanan pasar
menjadi sebuah apologis untuk mengambilalih pengelolaan pasar oleh
Gemeente. Jargon “perubahan dan perbaikan”, seperti lazimnya dewasa
ini kita dengar dari para calon penguasa saat akan berkompetisi di
panggung politik, menjadi dasar berpijak untuk menebus hak-hak
partikelir agar dapat mengambil kebijakan bermanfaat untuk
perkembangan pasar. Di bawah ini bisa dibayangkan bagaimana
situasi dan kondisi pasar partikelir di kota Surabaya yang sepi

13Desentralisasiyang diperkenalkan dalam kebijakan ini bertujuan


pula untuk meningkatkan budged bagi pemerintah kolonial. Periksa
Allen M. Sievers, The Mystical World of Indonesia Culture and Economic
Development in Conflict, Baltimore and London, The John Hopkins
University Press, 1974, hal:133.
14Los
pasar adalah bangunan atau struktur kayu yang dilengkapi
dengan dinding atau tidak dan tertutup atap untuk menjual barang-
barang dagangan di pasar, Gemeenteblad van Soerabaja 1925, No. 216.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 9


pembeli, sekalipun banyak didirikan bango-bango. Tujuan yang ingin
dicapai kotapraja dengan pengaturan lembaga pasar, pada mulanya
tidak untuk mencari keuntungan, tetapi memperbaiki kondisi pasar
dan memperhatikan kesehatan rakyat setempat. Wajar apabila
lembaga pasar di kota-kota Hindia Belanda menduduki posisi yang
sangat penting, karena dari waktu ke waktu sejak desentralisi, usaha
pasar termasuk salah satu usaha menguntungkan bagi kota Surabaya.

Gambar 3: Particulier Passer di Surabaya


(Sumber: koleksi ANRI)

Pasar-pasar di Surabaya mengalami perubahan sejak lahirnya


desentralisasi. Modernisasi infrastruktur pasar-pasar di kota Surabaya
mulai dirasakan ketika berbagai kebijakan untuk perbaikan pasar
dibuat dalam peraturan pasar oleh dewan kota. Tugas dan tanggung
jawab kepala pasar dituangkan dalam sebuah instruksi yang berbunyi:
“kepala pasar akan diangkat dengan wewenang menjaga keamanan
dan berkewajiban sangat luas, akan memperoleh penghasilan setiap
bulan, mendapat tugas administrasi pungutan uang. Kepala pasar
tidak mengelola keuangan sendiri penghasilan pasar, dia harus
menyetorkan ke bank daerah. Bagi penjual tetap, pungutan dilakukan
setiap bulan atau setiap kuartal dengan pembagian kartu dan bagi

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 10


penjual musiman, pungutan dilakukan setiap hari pasaran. Los-los
pasar dilengkapi nomer dan nama penyewa”. Pendapatan pasar
diperoleh dari retribusi, yang sebagian berasal dari uang sewa gudang
dan lahan, setelah dipotong berbagai pengeluaran untuk gaji, biaya
perawatan, dan perbaikan pasar. Usaha pasar menjadi salah satu
sumber penghasilan menjanjikan selain rumah pemotongan hewan
dan jembatan angkat.15
Dewan kota memusatkan perhatian pada pembuatan peraturan
usaha pasar. Peraturan ini sebagian besar bertujuan untuk
menciptakan keteraturan, ketertiban, kesehatan, dan kebersihan di
pasar. Sejak tahun 1914 dewan kota sibuk dengan pengaturan
lembaga pasar partikelir dan di setiap peraturan pasar terdapat aturan
yang berkaitan, bahkan kotapraja memiliki peraturan khusus terhadap
usaha pasar jenis ini. Salah satu motif yang mendasari larangan yaitu,
pasar kotapraja dikhawatirkan mengalami kerugian jika terdapat
banyak pasar partikelir dan akan mengurangi salah satu sumber
pendapatan kotapraja. Apabila keberadaan pasar-pasar partikelir
ditutup, akan menguntungkan pasar kotapraja. Dalam kasus berbeda,
pertimbangan atas dasar tuntutan kesehatan, juga tidak cukup
sebagai pembenaran dalam melakukan pelarangan, karena
berseberangan dengan semangat liberalisme.
Dalam konteks eksploitasi pasar16, perhatian diarahkan untuk
perawatan los pasar, perbaikan lantai baru, perbaikan got, pembuatan

15KolonialTijdschrift 1915, “Decentralisatie Verslag 1912 – 1913”,


Uitgegeven door Vereeniging van Ambstenaren bij het Binnenlandsch
Bestuür in Nederlandsch-Indië, Deerdee Jaargang-Iste Halfjaar, ‘s-
Gravenhage, hal: 351.
16Eksploitasi
di sini diartikan sebagai “pengusahaan”, lihat W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1987, hal: 268. Bisa juga diartikan “mengusahakan” atau

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 11


lahan bebas lalat pada penjualan daging sapi di Pasar Genteng dan
penjualan daging kambing di Pasar Ampel. Eksploitasi dimulai 1
Pebruari 1915 untuk Pasar Genteng dan Pasar Turi, 1 Juni 1915 Pasar
Pabean dan Pasar Bong, menyusul 1 September terhadap Pasar
Peneleh, Pasar Kalianyar, Pasar Ampel dan Pasar Pegirian. Perbaikan
dan pemeliharaan dari waktu ke waktu cenderung mengalami
peningkatan. Kecenderungan itu tentunya mempunyai tingkat
relevansi dengan pendapatan retribusi pasar. Penerimaan pasar pada
tahun 1915 secara keseluruhan meningkat. Pada tahun 1916
dibangun 11 los pasar sepanjang 13 meter di Pasar Keputran, 18 meter
di Pasar Babaan serta 6 los sepanjang 32 meter di Pasar Kapasan yang
semuanya memiliki lebar 4 meter.17 Anggaran pasar selama tahun
1916 sebesar f 1.500.000 yaitu mengalami kenaikan 445 %
dibandingkan tahun 1906 (sebesar f 284.000), digunakan untuk gaji
pegawai pasar seperti pada Tabel 1.
Tabel 1: Gaji Pegawai Pasar Kotapraja Surabaya
Nama Jabatan Gaji bulanan
A.M.J. de Roock Administratur Usaha Pasar18 f 400
P.J. Dekeyzer Ajun Administratur 19 f 200
Tamanuprojo Kepala pasar klas-1 f 90
Mangundisastro Kepala pasar klas-2 f 60

“mengerjakan”, “mengupayakan secara maksimal”, Datje


Rahajoekoesoemah, 1991, Kamus Belanda-Indonesia, Jilid I, Jakarta,
Rineka Cipta, Cet. Pertama, hal: 425.
17Laporan
Singkat Kotapraja Surabaya Tahun 1916 dalam Verslag
der Gemeente van Soerabaja over 1917 en Verslagen over 1915-1916,
Soerabaja, 1918. E.Fuhri & Co.
18A.M.J.
de Roock diangkat sebagai Adm. Usaha Pasar pada 8
Januari 1915, dalam Gemeente Pasarbedrijf, Bijlage No. 25.
19H.W.Halkema diangkat pada 13 Oktober 1915 sebagai Ajun
Administratur Pasar dan diganti J. Dekeyzer pada 8 Desember 1915.
Ibid. Pada 12 Januari 1916 jabatan ini dipercayakan lagi kepada H.W.
Halkema.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 12


Penulis pasar f 40
Seorang opas f 20
1 penilik pasar utama f 50
2 penilik pasar utama f 45
Personil pasar dinas 2 penilik pasar utama f 40
los
10 penilik pasar f 35
18 wakil penilik pasar f 30
11 penjaga dan penyapu f 20
18 penjaga pasar f 12,50
Mas Rasiun Kepala gudang f 125
Mangkurejo – dinas Penulis pasar f 25
sementara
Ambia Mandor pasar f 25
Joyosasmito Mandor pasar f 27
(Sumber: Verslag der Gemeente Soerabaja over 1917. hal: 24)

Tabel itu merepresentasikan bahwa jabatan administratur dan


ajun administrator tidak menjadi hak kelompok bumiputera. Orang
Eropa masih dipercaya pemerintah kotapraja untuk beberapa jabatan
teratas dengan gaji 4 kali lebih besar dibandingkan dengan gaji
pegawai pasar bumiputera setingkat kepala pasar kelas -1. Tentu,
angka-angka di atas mengindikasikan wajah kolonialisme sebagai
kuasa penentu dalam kebijakan politik ekonomi. Seperti dituturkan
Purnawan Basundoro, orang Belanda di kota Surabaya memposisikan
diri sebagai subjek dari segala gerak perubahan.20 Sementara
perubahan manajemen pasar masih berlangsung tahun 1917, yaitu
pengelolaan 11 pasar diserahkan kepada kotapraja Surabaya di
antaranya Pasar Pabean, Pasar Genteng, Pasar Turi, Pasar Bong, Pasar
Peneleh, Pasar Kalianyar, Pasar Ampel, Pasar Pegirian, Pasar
Keputran, Pasar Babaan, dan Pasar Kapasan. Pada tahun ini
merupakan tahun yang sangat menguntungkan. Jumlah pedagang

20Purnawan Basundoro, 2012, Pengantar Sejarah Kota,


Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal:193.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 13


kecil yang mengunjungi pasar kotapraja meningkat. Pedagang banyak
yang mengunjungi pasar-pasar kotapraja, karena harga yang
diperolehnya lebih baik dan berpengaruh pada sebagian besar
penduduk banyak yang mulai meninggalkan pasar milik partikelir.

Gambar 4: (kiri) Pasar Hewan Kapasan Tahun 1926


dan (kanan) Pasar Pabean (setelah dieksploitasi)
(Sumber : Koleksi ANRI)

Perubahan terhadap wajah fisik pasar masih terus berlangsung,


termasuk pemasangan kisi-kisi untuk menjaga hewan ternak dan
burung yang dijajakan di Pasar Bong. Walikota bersama komisi
keuangan mengajukan usul kepada dewan agar Direktur PU segera
melaksanakan proyek itu.21 Pemasangan kisi-kisi bersamaan dengan
pelaksanaan proyek pembangunan 3 los warung dan sebuah dapur di
Pasar Babaan dengan biaya f 14.050, sehingga semua pengguna
warung di Pasar Babaan harus masak di dapur dan infrastruktur ini
untuk masa kemudian menjadi hal penting di semua pasar. Perubahan
merambah pada pembangunan 2 los pasar di kompleks pangkalan
angkatan laut dekat kampung baru Dokseratus. Los pasar ini bukan
hanya digunakan untuk penghuni lahan kompleks Angkatan Laut,

21Gemeenteblad van Soerabaja 1919, No. 299.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 14


tetapi semua penduduk kampung sekitarnya seperti kampung
Bandaran juga mengunjungi pasar ini. Banyak dijumpai pedagang di
sepanjang jalur trem dan terutama di sekitar kompleks, termasuk
pedagang makanan dan minuman juga memperoleh ruang ekonomi
yang layak. Dari perspektif kesehatan perlu untuk menyediakan los
pasar bagi pedagang itu.
Menurut lembaran kotapraja tahun 1924, diinformasikan bahwa
seorang Penulis Usaha Pasar bernama Mangoensastro pada akhir
tahun 1923 dinyatakan bersalah telah melakukan penggelapan uang
yang dipercayakan pada jabatannya. Secara kebetulan pada saat yang
sama, uang di almari administratur usaha pasar sebesar f 213,50
hilang.22 Mangoensastro diadili dan dijatuhi hukuman terkait dua
kasus pelanggaran tersebut.23
Terkesan sebagai gagasan filantropis, yaitu awalnya kotapraja
tidak bertujuan mencari keuntungan betapapun kecilnya, karena
pemerintah menganggap bertentangan dengan kepentingan umum.
Pada kongres desentralisasi yang diadakan tahun 1921, hampir semua
peraturan retribusi pasar bertentangan dengan pandangan pemerintah
sehingga tahun 1925 pemerintah kota mengubah arah kebijakan.
Dalam Bijblad No.10817 disampaikan kepada dewan kota bahwa,
diperkenankan mencari keuntungan dari usaha pasar, namun dalam
pemungutan retribusi harus diperhatikan jangan sampai terjadi
pelanggaran. Sebuah peraturan yang dalam pelaksanaannya akan
menimbulkan multi tafsir, selaras kepentingan kuasa kolonial.
Usaha di Pasar Pegirian dialihkan ke Pasar Kalimati karena
lingkungan di sekitar Pasar Pegirian tidak mendukung, sehingga

22Gemeenteblad van Soerabaja 1924, No. 264.


23Untuk jenis tindakan pelanggaran demikian, ternyata
pemerintah kotapra Surabaya dengan tegas menjatuhkan sanksi.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 15


perlahan-lahan berubah menjadi pasar kompleks lokal dengan ukuran
yang berbeda. Di samping itu, keramaian Pasar Pegirian tidak bisa
dianggap permanen, karena sebagian besar pedagang orang Madura
yang pada hari pasaran berpindah ke Pasar Wonokromo (legi). Kondisi
itu mendorong pemerintah kota berupaya membuat pedagang tertarik
untuk berdagang di Pasar Kalimati. Pasar Kalimati dihidupkan untuk
membebaskan Pasar Pabean dan gang serta jalan-jalan di sekitarnya
dari penjual rombengan dan besi tua, namun sampai tahun 1927
belum berhasil menarik mereka. Nampaknya pedagang dan pembeli
lebih menyukai Pasar Pabean, karena lebih banyak pilihan barang
dagangan.

Gambar 5: Pasar Pegirian terlihat sepi pengunjung dan trem


sedang melintas
Sumber: Koleksi ANRI

Pasar Kapasan yang sejak tahun 1916 dieksploitasi dan lokasinya


di sekitar perkampungan padat penduduk menjadi salah satu faktor
mengapa pasar ini banyak dikunjungi orang. Pada kondisi lain, di

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 16


Pasar Genteng tahun 1930 tidak menunjukkan kenaikan pendapatan
jika dibandingkan tahun sebelumnya. Ada indikasi bahwa telah
dibukanya usaha pertokoan baru di Malang, Kediri, Madiun, dan
tempat-tempat sekitar Surabaya yang mempengaruhi turunnya
pengunjung pasar ini. Penurunan pendapatan dialami juga Pasar
Pabean tahun 1930 yang disebabkan semakin sulitnya Kali Pegirian
untuk dilayari, sehingga para pedagang Madura yang membawa buah-
buahan, sayuran, dan berbagai jenis tanaman kedua harus membawa
barang-barangnya ke pasar-pasar yang terletak lebih ke Selatan, yang
lebih mudah dicapai melalui Kalimas. Di samping itu, juga disebabkan
pembebasan tempat di bagian kain karena adanya kemunduran
perdagangan komoditi ini. Oleh karenanya harus diserahkan kepada
pedagang barang konsumsi harian, dengan pertimbangan pedagang
komoditi ini membayar sewa pasar lebih murah.
Pasar Keputran pada tahun 1930 menghasilkan f 1141,20 lebih
banyak daripada tahun 1929. Pendapatan pasar ini sejak beberapa
tahun menunjukkan kemajuan pesat. Pendapatan Pasar Kapasan
sejak tahun 1927 naik f 3000 per tahun. Tahun 1929 telah disetujui
anggaran proyek pembangunan pasar di Pacarkling sebesar f 36.600.
Pembangunan pasar menempati lahan seluas 3400 m2, pada lahan
segitiga yang dikelola oleh Staatspoorweg (SS). Dalam hal ini kotapraja
Surabaya membayar kepada SS sebagai ganti rugi pelepasan hak
pengelolaan atas lahan sebesar f 1 per m2.24 Untuk pelaksanaan
pembangunannya diserahkan kepada firma Bwa Ping Hwie Kediri.
Anggaran f 36.600 dibebankan pada pengeluaran tahun anggaran
1930. Pasar Pacarkling mulai dikelola kotapraja sejak 1 Agustus 1930.
Pasar ini dalam beberapa minggu bisa dikatakan “terlalu padat”

24Surat walikota Surabaya G.J. Ter Poorten tertanggal 4 Juli 1930,


No. 175, dalam Gemeenteblad van Soerabaja 1930 No. 2007/40

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 17


pengunjungnya, sehingga perluasan los perlu dipikirkan, yang
terlaksana pada akhir tahun 1931. Di sekitar pasar banyak tumbuh
pemukiman sehingga dalam waktu singkat menjadi pasar teramai di
Surabaya pada dekade 1930-an. Pendapatan pasar mengalami
peningkatan signifikan, ini menunjukkan krisis malaise tidak
membawa kemunduran terhadap pasar Pacarkeling.
Pada konteks lain, Pak Minto, penduduk kampung Wonorejo
Gang IV nomor 308, mengajukan permohonan agar diberi ijin untuk
mengelola sebuah pasar partikelir di jalan Pasar Kembang. Pasar ini
menggantikan Pasar Kembang Lor lama, yang telah ditutup karena
tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan pasar.
Dispensasi diberikan kepada Pak Minto untuk pembangunan pasar,
melalui SK Walikota Surabaya tanggal 22 Pebruari 1930 No. 202/B
tentang peraturan bangunan yang oleh dewan dalam rapat tanggal 26
Maret 1930 disetujui. Dalam hal ini dewan menyatakan bahwa, ijin
diberikan kepada Pak Minto untuk mengelola pasar di Jalan Pasar
Kembang, dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan pasar
dan aturan-aturannya.25 Selain pasar-pasar itu, dalam waktu tidak

25Pemilik ijin wajib: 1) memasang penerangan listrik, sejak


matahari terbit sampai matahari terbenam harus dinyalakan; 2)
kepada para penjual yang mengajukan permohonan dengan ganti rugi
yang layak penerangan listrik akan disediakan pada pasar petang; 3)
mengelola pembongkaran atau penambahan bangunan, selain
pembaharuan los atau bangunan lain dan kandang terutama ijin
tertulis diminta kepada walikota Surabaya; 4) pasar, baik di dalam
maupun di luar los dibagi dengan model yang sama; 5) Los yang
digunakan untuk penjualan daging harus ditutup dengan kain
pengusir lalat; 6) Di atas tempat penjualan daging harus dipasang
pengait daging dari timah; 7) Dalam los, bahan pangan tertentu seperti
daging, sayuran, ikan, rempah harus diletakan di meja pasar dengan
model dan ukuran yang sama.
a. Larangan: 1) dalam los pasar membawa masuk sepeda
atau di lahan pasar menaiki sepeda; 2) antara jam tutup dan buka

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 18


lama dibangun beberapa pasar “baru”, yaitu: Pasar Blauran (ujung
Kranggan), Pasar Jagalan dan Pasar Tambaksari (Ketabang timur),
sementara juga dipertimbangkan untuk membuka pasar di Tembok
Dukuh dan Gubeng Timur.

Epilog
Dampak dari kebijakan politik ekonomi yang dijiwai semangat
pembangunanisme yang berbarengan dengan periode desentralisasi,
ternyata mampu menghadirkan bagaimana sebenarnya wajah pasar-
pasar di kota Surabaya awal abad XX. Pada satu segi, terdapat elemen-
elemen filantropi, pada saat yang sama embedded dengan elemen
kuasa kolonial yang bermotif memungut pajak. Kondisi itu telah
menimbulkan berbagai peraturan terhadap kepentingan penguasa
terhadap pasar. Kepentingan penguasa menjadi dominan, bahwa pasar
dengan berbagai elemennya dapat dijadikan sumber pendapatan
terutama bagi para penguasa saat itu.

Bahan Rujukan:
Alice Dewey, 1962, Peasant Marketing in Java, New York: The Free
Press of Glencoe.
Allen M. Sievers, 1974, The Mystical World of Indonesia Culture and
Economic Development in Conflict, Baltimore and London, The John
Hopkins University Press.

tinggal di pasar (kecuali dalam kasus tertentu) untuk menjaga barang-


barang dagangan yang ditinggalkan di pasar; 3) pasar petang akan
dibuka sampai pukul 21.00; 4) mereka yang memiliki luka-luka fisik,
gelandangan, orang buta, dan penderita lepra dilarang masuk pasar.
b. Dengan tidak ditaatinya beberapa persyaratan yang
disebutkan itu, atas perintah walikota pasar bisa ditutup bagi umum
dan ijin dicabut oleh dewan.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 19


Anonim, 1909, Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche
Bevolking op Java en Madoera VI a Overzich van de Uitkomsten der
Gewestelijke Onderzoekingen naar den Inlandschen Handel en
Nijverheid en daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen Iste deel, Batavia,
H.M. van Dorp & Co.
Anonim, “Decentralisatie Verslag 1912 – 1913”, Kolonial Tijdschrift,
1915, Uitgegeven door Vereeniging van Ambstenaren bij het
Binnenlandsch Bestuür in Nederlandsch-Indië, Deerdee Jaargang-
Iste Halfjaar, ‘s-Gravenhage.
Bambang Puwanto, “Historisisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif:
Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris”, Humaniora,
Vol.XIII, No.1, 2001.
Bambang Purwanto, 2004, “Antara Sentralisasi dan Desentralisasi:
Ekonomi dan Otonomi Daerah Dalam Realitas Sejarah”, Lembaran
Sejarah, Vol.7, No.1.
Bambang Purwanto & Asvi Wardam Adam, 2013, Menggugat
Historiografi Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
C. Lulofs, “Pasarinrichting en pasarbeheer met bouwplan en bijlangen”,
Tijdschrift voor Het Binnenlandsh Bestuur, 1914, Zeven en
Veertigste Deel, Batavia: G. Kolff & Co.
Datje Rahajoekoesoemah, 1991, Kamus Belanda-Indonesia, Jilid I,
Jakarta, Rineka Cipta, Cet. Pertama.
F. A. Sutjipto, 1970, “Beberapa Tjatatan Tentang Pasar-pasar di Djawa
Tengah (Abad 17-18)”, dalam Buletin Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, No.3.
Gemeenteblad van Soerabaja 1919, No. 299.
Gemeenteblad van Soerabaja 1924, No. 264.
Gemeenteblad van Soerabaja 1925, No. 216.
Gemeenteblad van Soerabaja 1930 No. 2007/40
Gemeente Pasarbedrijf, Bijlage No. 25.
H.C. van den Bos, “Het een en ander het “Pasar” of Marktwezen in de
Gouvernementslanden op Java en Madoera (1), dalam Koloniaal
Tijdschrift, 1913, Uitgegeven door de Vereeniging van Ambtenaren
bij het Binnenlandsch Bestuur in Nederlandsch-Indie, Tweede
Jaargang – eerste Halfjaar.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 20


J. Habbema, “De Overbevolking van Java”, Indische Gids. I. 1912, J.E.
De Meyier& J.H. De Bussy, Tevens Nieuwe serie van het Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indië, 4ste Jaargang, Amsterdam, hal: 427.
Kuntowijoyo, 1994, Pasar, Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.
Kuntowiojoyo, “Sejarah/Sastra”, Humaniora, Vol.16, №.1, Pebruari
2004, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada.
Purnawan Basundoro, “Problem Pemukiman Pasca Revolusi
Kemerdekaan: Studi Tentang Pemukiman Liar di Kota Surabaya
1945-1960”, Humaniora, Vol.16, No.3, Oktober 2004.
Purnawan Basundoro, 2012, Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Verslag der Gemeente van Soerabaja over 1917 en Verslagen over 1915-
1916, Soerabaja, 1918. E.Fuhri & Co.
W.J.S. Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.

Pasar-pasar Dalam Balutan Kepentingan Kuasa Page 21

Anda mungkin juga menyukai