Anda di halaman 1dari 10

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : Bayu Dwi Putra

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041263226

Tanggal Lahir : 10 Maret 1998

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4408 / Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama

Kode/Nama Program Studi : S1 – Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 50 - Samarinda

Hari/Tanggal UAS THE : Selasa, 28 Desember 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN


KEBUDAYAAN UNIVERSITAS
TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Bayu Dwi Putra


NIM : 041263226
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4408 / Hukum Islam dan Acara Peradilan Agama
Fakultas : FHISIP
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : 50 - Samarinda

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Samarinda, 28 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

Bayu Dwi Putra


1. a) Kemaslahatan dibagi kedalam 3 kategori:
 Berdasarkan segi perubahan maslahat:
Menurut Mustafa asy-Syalabi (guni besar usul fiqh Universitas al-Azhar, Cairo), terdapat
dua bentuk maslahat berdasarkan segi perubahan maslahat Pertama, al-maslahah as-
sabitah.yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman
Misalnya, berbagai kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Kedua, al-
maslahah al-mutagayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya Perlunya pembagian ini, menurut
Mustafa asy-Syalabi dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan yang bisa
berubah dan yang tidak berubah.

 Berdasarkan keberadaan maslahah menurut syara’:


Maslahat semacam ini menurut Mustafa asy-Syalabi membaginya kepada tiga macam
yaitu:
1. Al-Maslahah Al-Mu Tabarah
Al-maslahah al-mu tabarah adalah kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh syara'.
baik jenis maupun bentuknya Artinya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk
dan jenis kemaslahatan tersebut Misalnya tentang hukuman atas orang yang meminum
minuman keras Bentuk hukuman bagi orang yang meminum minuman keras yang
terdapat dalam hadis Rasulullah Saw dipahami secara berlainan oleh ulama fikih Hal ini
disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan Nabi Saw ketika melaksanakan
hukuman bagi orang yang meminum minuman keras Ada hadis yang menunjukkan
bahwa alat yang digunakan Rasulullah Saw adalah sandal atau alas kakinya sebanyak 40
kali (HR. Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqi), sementara itu hadis lain menjelaskan bahwa
alat pemukulnya adalah pelepah pohon kurma, juga sebanyak 40 kali (HR Bukhari dan
Muslim). Karenanya setelah Umar bin Khattab (sahabat Nabi Saw) bermusyawarah
dengan para sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum
minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. Ia mengkiaskan orang yang meminum
minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina Logikanya adalah
seseorang yang meminum minuman keras apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol
dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina Hukuman untuk seseorang yang
menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali dera yaitu QS An-Nuur (24): “Dan orang-
orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapanpuluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul dari orang
yang mabuk, maka Umar bin Khttab dan Ali bin Abi Talib mengatakan bahwa hukuman
orang yang meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh
orang lain berbuat zina Menurut ulama usul fikih, cara analogi seperti ini termasuk
kemaslahatan yang didukung oleh syara'.Kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh
syara. baik jenis maupun bentuknya disebut al-maslahah al-mu'iabarah. Menurut
kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan landasan hukum.

2. Al-Maslahah Al-Mulgah
Al-maslahah al-mulgah adalah kemaslahatan yang ditolak oleh syara' karena
bertentangan dengan ketentuan syara' Misalnya, syara' menentukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan dikenakan hukuman
memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi
makan bagi 60 orang fakir maiskin (HR Bukhari dan Muslim). Al-Lais bin Sa'ad, ahli fikih
mazhab Maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi
seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di
siang hari dalam bulan Ramadhan Ulama memandang hukum ini brtentangan dengan
hadis Nabi Saw di atas. karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara
berurut Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa
dua bulan berturut-turut Karenanya, ulama usul fikih memandang mendahulukan
hukuman puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan
kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syara', sehingga hukumnya batal
(ditolak) syara'. Kemaslahatan seperti ini menurut kesepakatan ulama disebut al-
maslahah al-mulgah.

3. Al-Maslahah Al-Mursalah
Al-maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan yang didukung oleh sekumpulan makna
nash (ayat atau hadis), bukan oleh nash yang rinci Kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara' dan tidak pula dibatalkan (ditolak) syara' melalui dalil yang rinci
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua . yaitu kemaslahatan yang sama sekali tidak
ada dukungan dari syara', baik secara rinci maupun secara umum , dan kemaslahatan
yang tidak didukung oleh dalil syara' secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah
nash Kemaslahatan yang pertama disebut sebagai al- maslahah al-garibah (kemaslahatan
yang asing), namun para ulama tidak dapat mengemukakan contohnya secara pasti
Bahkan Imam asy-Syatibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam
praktek, sekalipun ada dalam teori Sedangkan kemaslahatan dalam bentuk kedua
disebut al-maslahah al-mursalah Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan makna
nash (ayat atau hadis), bukan oleh nash yang rinci.
Ulama usul fikih sepakat menyatakan bahwa al-maslahah al-mu'tabarah dapat dijadikan
hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum Islam Kemaslahatan seperti ini termasuk
dalam metode kias Mereka juga sepakat menyatakan bahwa al-maslahah al-mulgah tidak
dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dengan al-
maslahah al-garibah. karena tidak ditemukan dalam praktek Adapun terhadap
kehujahan al-maslahah al-mursalah. pada prinsipnya jumhur ulama mazhab
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara', sekalipun
dalam menetukan syarat, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapat.
 Berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan:
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahat Berdasarkan segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan, mereka membaginya dalam tiga bentuk sebagai
berikut:
a). Al-Maslahah al-Dharuriyyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat Dengan kata lain Al-
Maslahah al-Dharuriyyah (kebutuhan primer) adalah kebutuhan mendasar yang
menyangkut mewujudkan dan melindungi eksistensi lima pokok yaitu : memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara
harta Menurut para ahli usul fikih, kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih al-
khamsah. Apabila kemaslahatan ini hilang, maka kehidupan manusia akan bisa
hancur karenanya, dan tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat Menurut
al-Syathibiy, dari kelima hal ini adalah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan
apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi.
b). Al-Maslahah al-Hajiyyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia
Dengan kata lain, kebutuhan al- Hajiyyah ( kebutuhan sekunder), adalah suatu yang
dibutuhkan bagi kehidupan manusia, akan tetapi tidak mencapai tingkat dharury
Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan
meniadakan atau merusak kehidupanitu sendiri, namun keberadaannya dibutuhkan
untuk memberi kemudahan dalam kehidupannya.
Adapun tujuan hajiyyah dari segi penetapan hukumnya, dikelompokkan menjadi
tiga,yaitu:
1. Hal-hal yang disuruh syara', seperti mendirikan sekolah dalam hubungannya untuk
menuntut ilmu, meningkatkan kualitas akal Mendirikan sekolah memang penting,
namun seandainya sekolah tidak didirikan, tidaklah berarti tidak tercapai upaya
mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah.
Karenanya kebutuhan akan sekolah berada pada tingkat hajiyyah.
2. Hal yang dilarang oleh syara' melakukanya, menghindarkan secara tidak langsung
pelanggaran pada salah satu unsur yang dharury Contoh, perbuatan zina berada
pada tingkat dharury. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan
zina itu juga dilarang, hal ini dimaksudkan untuk menutup pintu bagi terlaksananya
larangan zina yang dharury, misalnya khahvat dan sebagainya
3. Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum ruksah (kemudahan) yang
memberi kelapangan dalam kehidupan manusia Sebenarnya tidak ada rukhsah pun
tidak akan hilang salah satu unsur dharury itu, tetapi manusia akan berada dalam
kesempitan (kesulitan) Rukhsah ini berlaku dalam hukum ibadah seperti shalat
musafir, dalam muamalat, seperti jual beli salam, dalam jinayat. seperti adanya maaf
untuk membatalkan qishash bagi pembunuh, baik diganti dengan membayar diyat
(denda) ataupun tanpa diyat sama sekali.16
c). Al-Maslahah al-Tahsiniyyah yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasan yang dapat melengkapi keemaslahatan sebelumnya Dengan kata lain
adalah sesuatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer dan lebih
menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia.

b) Berdasarkan studi kasus diatas yang harus di penuhi terlebih dulu adalah kemaslahatan Al-
Maslahah al-Dharuriyyah, karena berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia. Dalam hal
ini adalah menyangkut nyawa dan jiwa manusia. Jadi yang harus dii penuhi Mr. X ialah
keperluan biaya operasinya terlebih dulu.

2. a) Syarat-syarat orang yang mengeluarkan zakat:


1. Beragama Islam

2. Merdeka

3. Dimiliki secara sempurna

4. Mencapai nishab

5. Telah haul

b) Berdasarkan studi kasus diatas dilihat dari syarat-syarat orang yang dapat mengeluarkan
zakat, Mr. Y dapat dikatakan dapat mengeluarkan zakat berupa Zakat Maal.

3. a) Kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan diatur dalam


Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
menyatakan bahwa: “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.”

b) Secara yuridis normatif, dalam pasal 1276 KUH Perdata, debitur yang melakukan
wanprestasi akan dikenakan akibat hukum:19 Memenuhi/ melaksanakan perjanjian, Memenuhi
perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi, Membayar ganti rugi, Membatalkan
perjanjian, Membatalkan perjanjian dengan ganti rugi. Setiap perbuatan merugikan orang lain
dapat dimintakan ganti rugi, demikian diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.20 Akibat
wanprestasi tentunya akan merugikan salah satu pihak, dalam hal ini kreditur. Debitur yang
melakukan wanprestasi harus bertanggungjawab atas lalainya melakukan kewajiabn
sebagaimana perjanjian kepada debitur. Untuk menjamin tidak terjadi kerugian kreditur dalam
hal ini bank maka bank dapat melakukan langkah sebagai tindakan preventif, yaitu:
1. Mengirim surat tegoran atau peringatan atau somasi (aanmaning), tegoran satu, dua dan tiga.

2. Survey dan negosiasi, setelah tiga bulan belum juga maka pihak bank akan melakukan
investigasi kelapangan menghubungi nasabah, selanjutnya dilakukan negosisi.

3. Bilamana dalam negosiasi menemuka solusi, maka akan dilakukan rescheduling atau
restrukturing, recondisioning, penyitaan.

4. Pihak bank dapat melakukan memberikan penandaan terhadap obyek jaminan, bila obyek
jaminan ini disita oleh bank dengan di cet atau tanda lainnya

5. Penjualan jaminan atau lelang.

Pihak bank dapat memberikan somasi/teguran atau peringatan (aanmaning) pada debitur,
sebagai bentuk preventif dan untuk melihat iktikat baik debitur. somasi dapat dilakukan
bertahap somasi satu, dua dan tiga. Hal ini secara hukum diatur dalam pasal 196 HIR dan 197
RBg.

Secara internal perbankan dapat melakukan tindakan preventif dan refresif terhadap nasabah
agar dapat melaksanakan kewajiban tanggung jawab debitur sebagai solusi penyalamatan
modal dan pemaksaan terhadap debitur melakukan prestasi seharusnya. Adapun cara tersebut,
sebagai berikut:

1. Rescheduling adalah suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu
kredit atau jangka waktu angsuran. Debitur diberi keringanan jangka waktu pembayaran
pembiayaan.

2. Restructuring adalah tindakan menambah modal nasabah karena dipertimbangkan perlu


penambahan modal, dan masih layak.

3. Reconditioning adalah tindakan yang diambil dengan merubah berbagai persyaratan

4. Kombinasi, yaitu campuran rescheduling, restrukturing, reconditioning

5. Penghapusan hutang, yaitu nasabah dinyatakan penghapusan buku hutang tetapi hutang yang
ditanggung, bank tetap punya hak tagih.
6. Penyitaan yaitu jalan terakhir terhadap nasabah yang dinilai beriktikat tidak baik, dinyatakan
tidak mampu membayar hutangnya.

Penandaan oleh bank terhadap obyek jaminan disita atau dalam pengawasan bank, hal ini
kebijakan bank. Adapun tujuan dari tindakan ini untuk memberikan peringatan keras kepada
debitur agar melaksanakan kewajiban membayar angsuran dan tunggakan dan atau denda.
Biasanya dilakukan dengan pengecetan dengan tanda silang, berbunyi Dalam pengawasan Bank
atau berbentuk banner.

Penjualan jaminan atau lelang, adalah langkah terakhir terhadap debitur wanprestasi yang
tidak menunjukkan iktikat baik dan atau dinyatakan ditak mampu membayar hutang. Bank
akan melakukan sita dan lelang. Obyek akan dilakukan sita jaminan, artinya jaminan debitur
sesuai akad yang diserahkan pada bank disita oleh bank. Sita ini disebut sita jaminan
(condemnatoir beslag). Dasar sita ini adalah akad yang dimiliki. Jika benda tersebut benda tetap
dan jaminan berbentuk surat, pemberian hak tanggungan oleh PPAT (diatur dalam pasal 10
ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan, maka jaminan
surat yang ada akan dijadikan alas hak memaksa sita secara fisik barang jaminan yang secara
yuridis memiliki kekuatan eksekotorial. Jika tidak ada perlawanan maka diselesaikan dibawah
tangan antara pihak debitur (mudharib) dan pihak kreditur (shahibulmaal), dilakukan
berdasarkan musyawarah dan damai (pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang - Undang Nomor 4
tahun 1996. Jika ada perlawanan maka berdasarkan pasal 200 ayat (11) HIR, akan dilakukan
oleh kantor lelang berdasarkan alas hak putusan pengadilan dan atau perintah eksekusi oleh
pengadilan. Perintah lelang menjadi kewenangan pengadilan yang tidak dapat dibatalkan oleh
siapapun, selanjutnya pasal 200 ayat (7) HIR dan pasal 217 Rbg, dalam lelang harus diumumkan
dua kali selama 15 (limabelas) hari di surat kabar di kota tersebut atau berdekatan.

Berdasarkan putusan Pengadilan Agama (dalam Persidangan biasa) dan atau surat perintah
Ketua Pengadilan Agama (dalam putusan Fiat Eksekusi) maka harus dilengkapi pertama: Surat
Permintaan Lelang dengan dilengkapi surat penetapan Pengadilan Agama tentang sita, salinan
berita Acara, penetapan Pengadilan Agama tentang Eksekusi, surat permohonan lelang kepada
Termohon eksekusi, rincian hutang yang akan dilunasi, bukti kepemilikan barang, bukti sudah
diumumkan.24 Kedua harus ada fotocopy Grosse akta (pengakuan hutang) diatur dalam HIR
pasal 224.
4. a) Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, pengadilan agama diberi kewenangan untuk memutuskan sengketa milik atau
keperdataan lain apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama islam. Hal ini
menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan
adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut merasa dirugikan dengan adanya
gugatan di pengadilan agama.

Sebaiknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut
bukan yang menjadi subjel bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama
ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.

Penangguhan tersebut dimaksud jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke
pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek
sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama.

b) Hibah yang dilakukan dalam sengketa ini adalah Hibah Notariil, antara Pasal 49 dalam
Undang-Undang Nomor 7 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terdapat perbedaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menjadi wewenang Pengadilan Agama
antara lain adalah hibah adalah dengan syarat berdasar Hukum Islam, sedang dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak ada syarat itu. Akibatnya, sesudah diundangkannya
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 hanya hibah yang berdasar Hukum Islam saja yang
menjadi wewenang Pengadilan Agama.

Selanjutnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang 3 Tahun 2006 di mana Pasal 49 Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1989 diamandemen dan syarat berdasar Hukum Islam ditiadakan
dalam Pasal itu, maka yang berlaku adalah asas personalitas keislaman. Sepanjang yang
melakukan perbuatan hibah adalah orang yang beragama Islam, maka perbuatan hibah itu
menjadi wewenang Pengadilan Agama, meski hibahnya tidak berdasar Hukum Islam.

Hibah, yang menjadi sengketa ini bukan berdasar hukum Islam, hal ini tampak dari bunyi
klausul Pasal 5 Akta Hibah objek sengketa tersebut, yang memilih domisili hukum di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang dengan segala akibat hukum dari perjanjian Hibah itu.

Pilihan hukum ini menjadi bukti bahwa perjanjian ini bukan berdasar Hukum Islam. Sebuah
konstruksi hukum hanya bisa dibongkar dengan konstruksi hukum yang sama. Bangunan
perkawinan yang berdasar hukum Islam, misalnya, hanya dapat dibongkar dengan hukum Islam
pula, karena hal itu merupakan satu konstruksi hukum yang sama. Demikian pula dalam
sengketa ini.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak berlaku surut, sementara Akta Hibah dibuat pada
tahun 1999, karena itu yang berlaku terhadap Akta Hibah tersebut adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, yang mempersyaratkan dasar Hukum Islam dalam perjanjian Hibah. Jadi,
hibah tahun 1999 ini tidak bisa diukur dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tapi
dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989.

Anda mungkin juga menyukai