Anda di halaman 1dari 3

Soedirman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Soedirman, lihat Soedirman (disambiguasi).
Raden
Soedirman

24 Januari 1916[a]
Lahir Purbalingga,
Hindia Belanda
29 Januari 1950
(umur 34)
Meninggal
Magelang,
Indonesia
Taman Makam
Pahlawan Semaki (
7°48′9,88″LU
110°23′2,11″BT / 7,8
°LS
Dimakam 110,38333°B
kan
TKoordinat:
7°48′9,88″LU
110°23′2,11″BT / 7,
8°LS
110,38333°BT)
  Kekaisar
an Jepang
Pengabdia (1944–1945)
n   Indonesi
a (1945–1950)
Lama dina
1944–1950
s
 Letnan
Jenderal (saat
kematian)
 Jenderal
Pangkat (anumerta, 1950)
 Jenderal
Besar (anumerta,
1997)

 Tentara
PETA,
Banyumas
 Divisi V
TKR,
Banyumas
Komando
 Panglima
Besar TKR,
dan
kemudian
TNI

Revolusi Nasional
Perang
Indonesia
Pengharga Pahlawan Nasional
an Indonesia
Tanda
tangan

Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29


Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi
Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas
terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda,
Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap
pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam
Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya
dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada
Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan
kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun
1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada
tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang,
menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama
rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman


melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden
Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas,
yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu
dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo,
dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam
sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih
menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir,
menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan
terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara
Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya
diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya,
Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun
oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus
mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan
35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta
pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit
tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan
November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan
dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama
tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya
berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat
ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret
1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai
menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin
terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno.
Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat
kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari
Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya
diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai