Anda di halaman 1dari 25

Soedirman

Soedirman
Perwira
Lahir: 24 Januari 1916, Bodas Karangjati
Meninggal: 29 Januari 1950, Magelang
Nama lengkap: Raden Soedirman
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta
Pasangan: Alfiah (m. 1936–1950)
Masa dinas: 1944–1950
Anak: Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, Ahmad Tidarwono, LAINNYA

Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari
1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional
Indonesia.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. ... Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
"Sudirman" beralih ke halaman ini. Untuk tokoh lainnya, lihat Sudirman (disambiguasi).

Raden
Soedirman
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat ke-1

Masa jabatan
12 November 1945 – 29 Januari 1950

Presiden Soekarno

Pengganti Soeharto

Informasi pribadi

24 Januari 1916[a]
Lahir
Purbalingga, Hindia Belanda

29 Januari 1950 (umur 34)


Meninggal dunia
Magelang, Indonesia

Taman Makam Pahlawan Semaki


Makam
7°48′9.88″S
110°23′2.11″E7.8027444°S
110.3839194°EKoordinat:
7°48′9.88″S
110°23′2.11″E7.8027444°S
110.3839194°E

Penghargaan sipil Pahlawan Nasional Indonesia

Tanda tangan

Dinas militer

 Kekaisaran Jepang
Pihak (1944–1945)
 Indonesia (1945–1950)

Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat

Masa dinas 1944–1950

 Letnan Jenderal (saat


kematian)
 Jenderal (anumerta, 1950)
Pangkat

 Jenderal Besar
(anumerta, 1997)

 Tentara PETA, Banyumas


Komando
 Divisi V TKR, Banyumas

Pertempuran/perang Revolusi Nasional Indonesia

Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi
Nasional Indonesia. Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah
sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia
Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah
ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif
dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh
organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan
kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena
ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai
seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga
aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda
Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942,
Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air
(PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama
menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun
kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman


melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden
Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas,
yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu
dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo,
dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam
sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih
menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir,
menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan
terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara
Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya
diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya,
Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun
oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus
mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan
35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta
pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit
tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan
November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Pada saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan
dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama
tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya
berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat
ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret
1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai
menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin
terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno.
Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat
kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari
Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya
diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Daftar isi
 1 Kehidupan awal
 2 Mengajar
 3 Masa pendudukan Jepang
 4 Revolusi Nasional
o 4.1 Panglima besar
o 4.2 Negosiasi dengan Belanda
o 4.3 Perang gerilya
 5 Pasca-perang dan kematian
 6 Peninggalan
 7 Catatan
 8 Referensi

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]


Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah
saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia
Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.[b][c][1][2]

Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan
Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916
sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia
mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa.[1]
Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia
18 tahun.[3] Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut
dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1] Di Cilacap,
Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid
meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya
pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]

Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama
priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.[7] Untuk pendidikan
agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman
adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat.[8] Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah
pribumi (hollandsch inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman
bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan
banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.[4]

Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan
dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini awalnya ditolak,
namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh
sekolah.[6][9][10] Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo[e] setelah
sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.[10][11][12]
Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut
mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.[11] Soedirman belajar dengan tekun di
sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari
pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah
dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam,
dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.[13] Soedirman juga menjadi semakin taat
agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya
memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan
ceramah agama kepada siswa lain.[14] Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi
dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek.[15] Kematian
Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap
diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. [14][16]
Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk
mempelajari Sunnah dan doa.[17] Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di
Wirotomo.[11]

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub
drama, dan kelompok musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah
organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel
Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;[19][20] tugasnya adalah menentukan dan
merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama,
bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh
Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan[f] tentang sejarah Islam dan pentingnya
moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.[22]

Mengajar[sunting | sunting sumber]


Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah
guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekurangan biaya.
[23]
Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah,
setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi
Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden
Sastroatmojo.[24][25] Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia
bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.[24] Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang
putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta
empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.
[25][26]

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan


contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.[24] Salah seorang muridnya
menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor
dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya. [27]
Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa
tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. [28]
Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas
setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas
administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan
kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan
demokratis.[29] Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan
pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.[30]

Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda
Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas,
berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat.
[31]
Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas
pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para
anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan
Kelompok Pemuda di Jawa Tengah[24][32] dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya
dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.[33] Alfiah
juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.[34]

Masa pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal Hein ter Poorten dibawa
ke sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang menyerang pada tanggal
9 Maret 1942, yang berlanjut ke pendudukan selama tiga setengah tahun.

Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak
mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah
kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari
rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda kemudian
membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh masyarakat, diminta
untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat mengenai prosedur
keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di
seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk
mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon.[35]

Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran
melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang
dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan
perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin memperburuk kualitas hidup
warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami
pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang.[36] Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman
mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer;[37] ini adalah bagian dari upaya
pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta.[g][38] Setelah Soedirman berhasil meyakinkan
Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan
perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi
sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia.[37] Hal ini
membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.[39]

Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan
yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai),[40] Soedirman diminta untuk bergabung dengan
tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk
membantu menghalau invasi Sekutu,[40][41] dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum
"terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda.[42] Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena
cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai
pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman
dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang
sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan
peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di
batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.[h][40][41][43][44]

Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21
April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan
terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju
untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi
persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan
Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri
berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa
mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur.[45] Kusaeri menyerah pada
tanggal 25 April.[i] Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara
Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan
Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke
sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan
sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus
mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.[46]

Revolusi Nasional[sunting | sunting sumber]


Panglima besar[sunting | sunting sumber]
Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Sasmitaloka.

Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal
Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus,[46] kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat
penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang,
Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung
halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno, yang
memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak
terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk
memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19
Agustus 1945.[47][48] Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut
kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,[j] tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal
8 September 1945.[49]

Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi
perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional
Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[50] BKR merupakan bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit,
dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang
dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō.[50] Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung
mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.[51] Pembentukan BKR merupakan
perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk
membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23
Agustus 1945.[50] BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,[52] terutama karena pemimpin
politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan
internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya
sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih
ada di nusantara.[53]

Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas
pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di
sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura,
dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk
menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia
bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit
BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia;
sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.[54][55][56][57]

Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5
Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR,
sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah
mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō.[58] Dekret
mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul,[k] dan kepala staff
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara.[59] Pada bulan
Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan
tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika
Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan
sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman –yang
sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari
Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang.[60] Pada 20 Oktober, Soedirman
membawahi Divisi V[l] setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.[61]

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai
pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip
mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi
Sumatra semuanya memilih Soedirman.[m][62][63][64] Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun,
terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip,
namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam
pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi
bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai
dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.[65][66][67] Setelah pertemuan,
Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai
mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.[66][68] Rakyat Indonesia
khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA),
akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah
mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada
akhir Oktober dan awal November.[69] Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas
kualifikasi Soedirman,[n] menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin
TKR.[70]

Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi Museum
Dharma Wiratama.
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V
untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu
dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang
sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank
Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh
oleh pemberondong P-51 Mustang.[71][72] Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan
lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari
bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan
peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. [73]
Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan
Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem.
Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan
Sekutu mundur ke Semarang.[o][68][74]

Soedirman, awal 1946

Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional,[55] dan


membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena
kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah.[75] Pada
akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan
Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai
panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.[70] Posisinya sebagai kepala Divisi V
digantikan oleh Kolonel Sutiro,[61] dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis.[76] Hal
yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan
saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.[p] Oerip sendiri menangani masalah-masalah
militer.[77]

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan
yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak
bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion
pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari
1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara
Repoeblik Indonesia (TRI).[78][79][80] Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi
angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946.[79] Sementara itu, pemerintah Indonesia
memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke
Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir
melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan
kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.[81] Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan
kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer.[79][78][82] Dalam upacara
pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah
penghabisan."[q][83] Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir Sjarifuddin, memperoleh
kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara
sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang
setia dan didanai oleh berbagai partai politik.[r] Sjarifuddin melembagakan program pendidikan
politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri.
Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip,
yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar
belakang militer berbeda.[84][85][86] Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman
sedang mempersiapkan sebuah kudeta;[87] upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan
peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan.[s][88] Pada bulan Juli, Soedirman
mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI),
menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara,[87] dan jika dirinya
ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya.[89] Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer
tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya.[90]

Negosiasi dengan Belanda[sunting | sunting sumber]

Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946

Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7
Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk
melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn,
dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus
pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara
Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata.
Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta
maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan
kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di
Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar.[91][92] Perundingan di Jakarta berakhir dengan
perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25
Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.[93][94] Soedirman secara lantang
juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan
kepentingan Indonesia,[95] namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.[96]

Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai
berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini,
Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei
1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR
dan tentara dari berbagai kelompok laskar,[95] yang berhasil dirangkul Soedirman setelah
mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.[97] Namun, gencatan senjata
yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947,
tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka –
melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan
Sumatra. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh. [98]
Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan
"Ibu Pertiwi memanggil!,[t][99] dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun
upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.[100] Terlebih lagi,
tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.[101]

Garis Van Mook, wilayah yang dikendalikan oleh Indonesia ditandai dengan warna merah;[102]
pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan
Belanda.

Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29
Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. [103]
Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan
Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap
mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada
perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan
kembali.[104] Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju
Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut.[105] Perbatasan ini diresmikan melalui
Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir
Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri.[103] Pada saat yang bersamaan,
Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.[106]
Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.00 terdapat di
laskar.[107]

Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum
Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam
Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara
itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil.
Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer
dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi
Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai
wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum
Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan
Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah
pelaksana taktis operasional.[108]

Pelantikan Soedirman di Istana Negara.

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27
Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan
ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah
Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman,
ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major[u] A.H. Nasution. Angkatan perang berada di
bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan
Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara
(KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian
dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah
pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.

Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya
dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad Hatta, berupaya untuk
menerapkan program rasionalisasi.[109][106][110] Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok
yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat
bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi.
Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk
menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya
ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major Soesalit
Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan
Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir
tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Kolonel Hidajat Martaatmadja,
menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.[111]

Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai
Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk
mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18
September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan
revolusi;[112] Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena perdamaian sebelum
serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai,[113] Nasution dan
pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September.[v][112] Soedirman mengunjungi
Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur
di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.[114]

Rumah Sakit Umum Panti Rapih (difoto sekitar tahun 1956) tempat Soedirman dirawat karena
tuberkulosis.

Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan


kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI
ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap
tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan
menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan
menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian
tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan
Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya,
yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling
cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah
umum pada 11 November,[115][116] dan persiapannya ditangani oleh Nasution.[w][117] Soedirman
dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.[115][116]

Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal
17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan
Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;[118] ia juga memerintahkan
latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan Belanda bahwa
TNI terlalu kuat untuk diserang.[119] Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi
terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer
Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara
di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout.
Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan
pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.
[120]

Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48

1. Kita telah diserang.


2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan
lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan
Belanda.[x]

Pidato radio Soedirman, dari (Imran 1980, hlm. 55)

Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin


pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu
kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil
presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak.
Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan
anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan
Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan diasingkan.[121][122]

Perang gerilya[sunting | sunting sumber]

Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan


mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke
tangan Belanda.[123] Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai
bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka
disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang
menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta
istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari
di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan
menuju Wonogiri.[124] Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan
mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer.
[125]
Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton.[109] Sadar
bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan
pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah
seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk
membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di
sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.[126]
Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya.

Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion
102.[127] Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak
dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk
melepaskan Soedirman dan kelompoknya;[128] mereka mencurigai konvoi Soedirman yang
membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. [129]
Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari
bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan
anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan
tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan
pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur;
setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk
menyerang Kediri.[128]

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan
memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang
memiliki kemiripan dengan Soedirman.[128][130][131] Kesser diperintahkan untuk menuju selatan
bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara,
sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27
Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari
1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta
saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini,
Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan
pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21
Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan
Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.[128]

Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba
di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman
menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin
bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk
perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman
dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.[132][133] Komandan tentara
setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan
pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan
Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman
dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran.[134]
Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah
menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para
gerilyawan.[55][135]

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran,


dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di
depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan
komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan
Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk
memastikan agar serangan itu berhasil.[134] Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum
1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan
TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam
waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda
kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah
diberantas.[134][136] Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas:
Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini,
sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan
serangan tersebut.[137]

Soedirman (kiri), berkonsultasi dengan Letnan Kolonel Soeharto di Sobo

Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda
menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan
bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya;[y][138]
Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di
pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman
untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik
diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk
mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di
Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah
sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah
menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.[z] Pada tanggal 10 Juli,
Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil
dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.[139][140] Wartawan Rosihan Anwar, yang
hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk
menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".[141]

Pasca-perang dan kematian[sunting | sunting sumber]


Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang
gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen,
belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi
Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit
tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari
jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama.[109][142][143] Setelah ia
berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap
menjabat,[144] dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus
1949.[145]

Jenazah Soedirman disemayamkan di rumahnya di Yogyakarta

Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. [144] Ia
menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu
dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem.[146] Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang
tampil di depan publik.[147][148][149] Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan
Desember.[150] Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan
konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas
kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.[151] Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga
diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada
28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.[146]

Peti mati Soedirman dibopong oleh para tentara.


Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini
dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.[147] Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah
keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang
bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta,
diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan
bermotor,[149] dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh
anggota Brigade IX.[150]

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh
sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul
Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena,
Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala
Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup
dengan prosesi hormat 24 senjata.[149] Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam
Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer
(1,2 mi)* mengiringi di belakang.[149] Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat
senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya,[152] lalu diikuti oleh para menteri.[149]
Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di
seluruh negeri,[148] dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh.[55] Djenderal Major Tahi
Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru.[149] Memoar Soedirman
diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.[153]

Peninggalan[sunting | sunting sumber]

Makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta; makam ini telah menjadi
tujuan para peziarah.

Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah kehilangan
seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."[aa][148] Kolonel Paku Alam VIII, yang bertanggung
jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional Antara bahwa seluruh
rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak
ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".[ab][55] Tokoh Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari kebangunan jiwa pahlawan
Indonesia",[ac][90] sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa
Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".
[ad][154]
Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang
tidak mungkin bisa dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang
benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia
secara umum tetap mematuhi perintahnya.[55] Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan
bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa
terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk. [155]

Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian.
Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa Soedirman
hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, [156]
dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap.[157] Sejarawan Indonesia dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan Soedirman sebagai "satu-
satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah asal esprit de
corps TNI.[158] Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada
masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin
politik di pengasingan.[158] Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute
gerilya Soedirman sepanjang 100-kilometer (62 mi) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk
"ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan.[159] Makam Soedirman juga menjadi
tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum.[160] Menurut Katharine
McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman
menjadi semacam orang suci.[161]

Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat secara anumerta,
termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya,[162] Bintang Mahaputra Adipurna,[163] Bintang Mahaputra
Pratama,[164] Bintang Republik Indonesia Adipurna,[165] dan Bintang Republik Indonesia
Adipradana.[166][ae] Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai
Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama.[167] Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal
Besar pada tahun 1997.[168]

Soedirman pada uang kertas 5 rupiah keluaran 1968.

Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan


setelah mereka meraih kekuasaan politik.[153] Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang
kertas rupiah terbitan 1968.[af] Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam
beberapa film perang, termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).[153]
Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di
Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman,[169] sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta
dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman.[153] Rumah kelahirannya di Magelang juga
dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan
barang-barang milik sang jenderal.[170] Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di
Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang
didedikasikan untuk dirinya.[153] Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah
jalan utama di Jakarta;[109] McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia
memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga
tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.[153] Universitas
Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai
namanya.[171]

<img src="https://sb.scorecardresearch.com/p?c1=2&c2=16455543&cv=2.0&cj=1" /> <img


height="1" width="1" src="https://www.facebook.com/tr?
id=630127010403946&ev=PageView& noscript=1"/> <img
src="https://d5nxst8fruw4z.cloudfront.net/atrk.gif?account=yIXbf1a0Ix00UK"

style="display:none" height="1" width="1" alt="" />

Kisah Jenderal Soedirman Berwudlu dengan


Embun Saat Perang Gerilya

Repro foto Panglima Jenderal Besar Soedirman di markas besar TNI di Sobo, saat
perang gerilya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Belanda mengkhianati perjanjian Renville dengan


serangan mendadak ke Yogyakarta, 19 Desember 2019. TNI yang tidak dalam
keadaan siap terpaksa mundur dan berperang gerilya.

Perang gerilya dipimpin langsung oleh Panglima Jenderal Besar Soedirman.


Pimpinan militer yang kharismatik, dan sangat dicintai oleh pasukannya.

Bagaimana tidak, saat itu, sang Jenderal Besar dalam keadaan sakit parah.
Beberapa hari sebelumnya, ia baru menjalani operasi paru-paru dan selama
berhari-hari hanya terbaring lunglai di tempat tidurnya.
Tetapi, tanggung jawabnya kepada negara begitu besar. Ia mengsesampingkan
fisiknya yang lemah. Didorong semangat mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia, Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya meski harus ditandu.

Jangan membayangkan perang gerilya semacam kegiatan survival. Pasukan kecil


pengawal Jenderal Soedirman, bahkan tak berbekal logistik makanan. Meski
didampingi oleh dokter pribadi, sang dokter tak memiliki obat.

Itu makanya, perang gerilya akan menjadi risalah abadi bagaimana para pejuang
mempertahankan kemerdakaan bangsa ini, termasuk pada HUT TNI. Ini adalah
perang gerilya terberat dan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa
Indonesia.

Alkisah, Jenderal Soedirman dan pasukan menyusur jalur pantai selatan. Dari
selatan Yogyakarta, mereka menuju Jawa Timur.

Pada satu waktu, Jenderal Soedirman dan pasukannya selama berhari-hari mereka
menyusuri pegunungan kapur. Siang, luar biasa panas. Sebaliknya, malam hari,
dingin menyelusup sum-sum tulang.

enderal Soedirman Sebagai Simbol Harapan Rakyat Indonesia

"Jangan tanya bawa jaket apa tidak. Pakaian itu yang melekat di badan," ucap
mantan Pengawal Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Abu Arifin, di Purbalingga,
Jumat, 14 September 2019.

Berbeda hari, pasukan terkepung berhari-hari di sebuah hutan rotan. Mereka


dikepung pasukan Belanda hingga lima hari berturut-turut, tanpa makanan.

Dengan keberanian luar biasa demi sang Jenderal Soedirman, salah satu komandan
Kompi I, Kapten Suparjo Rustam, menyusup keluar menjual baju batik yang lusuh.
Ia berhasil menghindari sergapan pasukan Belanda yang berderet-deret.
Berkali-kali, pasukan kecil ini diserbu, diburu, disergap dan bertempur dengan
gagah berani. Banyak anggota pasukan yang gugur.

Belanda begitu bernafsu menghabisi Jenderal Soedirman. Karena, dia lah satu-
satunya harapan rakyat Indonesia saat itu. Soekarno, Hatta dan petinggi negeri
lainnya telah ditangkap.

"Terutama untuk Jenderal Soedirman. Karena beliau sedang sakit. Kami harus
melindungi dengan segenap jiwa dan raga," ucapnya.

Toh, Jenderal Soedirman selalu lolos. Ada rahasia kenapa Jenderal Soedirman
selalu lolos dari intaian Belanda. Ia begitu dicintai oleh rakyat dan pasukannya.

"Ia adalah simbol dan harapan rakyat Indonesia," ujarnya.

Mukjizat Tuhan, Jenderal Soedirman Selamat Perang Gerilya 7 Bulan

Repro foto Panglima Jenderal Besar Soedirman dan Presiden Soekarno. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Abu Arifin beragama Nasrani dan menjadi pendeta. Tetapi, ia mengakui, Jenderal
Soedirman adalah sosok yang begitu mengagumkan. Ia begitu taat beragama.

Di tengah hutan, kerap kali mereka sulit menemukan mata air. Padahal, untuk
bersalat, Jenderal Soedirman butuh berwudlu. Maka, dalam berbagai kesempatan,
sang Jenderal berwudlu dengan embun yang menempel di dedaunan.

Tiap waktu salat tiba, Jenderal Soedirman selalu bersalat. Kesaksian Abu Arifin,
tak sekali pun Jenderal Soedirman meninggalkan salat lima waktu.

"Ini adalah mukjizat. Jenderal Soedirman dan pasukan berhasil bertahan dalam
perang gerilya yang begitu panjang," dia mengungkapkan.

Banyak yang menganggap Jenderal Soedirman sakti lantaran selalu lolos dari
sergapan Belanda. Tetapi, bagi Arifin, Tuhan lah yang melindungi sang Jenderal.
Ia seseorang yang berani, pantang menyerah, sekaligus tegas. Tetapi di sisi lain, ia
adalah sosok bapak yang baik untuk anak-anaknya, pasukan pengawal dan TNI
secara keseluruhan.

Karenanya, para pengawal sangat menjaga keselamatan Jenderal Soedirman. Pun


dengan rakyat yang menyandarkan harapannya kepada Panglima TNI pertama ini.

Tujuh bulan perang gerilya, Jenderal Soedirman pulang ke Yogyakarta pada Juli
2019. Dan ia, wafat sebagai kusuma bangsa pada Januari 1950, tak lama seusai
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai