Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

FAKTOR FAKTOR PENDIDIKAN ISLAM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PEMBIMBING

Dr. ZULKIFLI, MA

DISUSUN OLEH
Ashabiyah Az-Zahra
Salsabila Aulia Adha

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022/2023
1

]
A.    PENDAHULUAN

Pendidikan islam merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan umat islam.
Pendidikan merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar
keimanannya terhadap Allah swt, karena semakin banyak orang yang mengerti tentang unsur-
unsur pendidikan islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tau dan lebih mengerti
akan terciptanya seorang hamba yang beriman.
Pendidikan adalah alat atau sarana bagi manusia untuk mengembangkan keilmuan
dipengetahuan, oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki setandart yang tertata,
dikurikulumkan, jelas teori-teori dan konsep-konsep pendidikan yang diharapkan adalah
konsep dan teori yang relevan dengan keadaan yang berlaku.
Dalam mejalani keidupan didunia ini, kita tidak lepas yang namanya pendidikan
islam. Mendidik anak, saudara, lingkungan, dan masyarakat adalah salah satucara untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia pada umumnya. Tanpa adanya pendidikan islam yang 
baik, sulit bagi manusia untuk mewujudkan kualitas hidup yang efektif, efesien, dan tepat
guna. Maka dari itu pendidikan islam sangat penting bagi manusia disegala kehidupan, entah
kalangan ke bawah, atau ke atas yang bergelimang harta.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja faktor-faktor pendidikan islam?
2.      Bagaimana pengertian serta ruang lingkup dari masing-masing faktor pendidikan islam?

C.    PEMBAHASAN
1.      Faktor-faktor Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan pendidikan agama, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor
pendidikan yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan agama tersebut.
Faktor-faktor pendidikan itu ada lima macam, dimana faktor-faktor yang satu dengan
yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Kelima faktor tersebut adalah:
1.      Faktor tujuan
2.      Faktor pendidik
3.      Faktor anak didik
4.      Faktor alat
5.      Faktor lingkungan[1]
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pendidikan islam adalah sesuatu yang ikut
menentukan keberhasilan pendidikan islam yang memiliki beberapa bagian yang saling
mendukung satu sama lainnya. Faktor-faktor pendidikan selanjutnya juga disebut dengan
komponen-komponen pendidikan.
Kelima komponen diatas adalah sebuah sistem, artinya kelima komponen itu
merupakan satu kesatuan pendidikan yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi berkaitan
satu sama lainnya, sehingga terbentuk satu kebulatan yang utuh dalam mencapai tujuan yang
diinginkan.[2]
2.      Pengertian dan ruang lingkup dari masing-masing faktor pendidikan islam
1.      Faktor Tujuan
·         Pengertian Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan islam terlebih dahulu di jelaskan apa
sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi, tujuan adalah “ Arah,
maksud atau haluan”. Dalam bahasa Arab ‘tujuan” diistilahkan dengan “ghayat, ahdaf,
atau maqosid”. Sementara dalam bahasa inggris diistilahkan dengan “goal, purpose,
objectives atau aim”. Secara terminologi, tujuan berarti “sesuatu yang diharapkan tercapai
setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai”. H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses
pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai islam yang hendak
dicapai dalam proses kepribadian yang berdasarkan ajaran islam secara bertahab.[3]
   Menurut Al-Attas tujuan pendidikan islam adalah manusia yang baik.
Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya orang yang
berkepribadian muslim. Al-Abrasyi menghendaki bahwa tujuan akhir pendidikan islam adalah
manusia yang berakhlak mulia. Munir Musyri menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan
menurut islam adalah manusia yang sempurna. Menurut Abdul Fattah Jalal, dengan mengutip
surat at-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu untuk semua manusia, menjadi
manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Yang dimaksud dengan menghambakan diri
ialah beribadah kepada Allah.
      Islam menghendaki agar manusia didik mampu merealisasika tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Ini diketahui dari ayat 56 surat al-Dzariat:
َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِال ْن‬
‫س اِالَّلِيَ ْعبُ ُدوْ ِن‬ ُ ‫َو َماخَ لَ ْق‬
      Artinya: aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Ku.
      Ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat diatas dapat juga dilihat umpamanya pada surat
al-Baqarah ayat 21, al-Anbiya’ ayat 25, dan al-Nahl ayat 36. Jalal menyatakan bahwa
sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan salat, saum pada bulan
Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Di luar itu bukan
ibadah. Sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran dan perasaan yang dihadapkan
kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta
segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah. Dalam kerangka inilah maka tujuan pendidikan haruslah
mempersiapkan manusia agar beribadah seperti itu, agar ia menjadi hamba Allah (‘ibad al-
rahman).[4]
      Secara umum, tujuan pendidikan islam terbagi atas: tujuan umum, tujuan sementara,
tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan
semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara
adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tetentu yang
direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar
peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa
umurnya. Sementara tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
      Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, mengatakan dalam bukunya “Educational
Theory a Qur’anic Outlook”, bahwa pendidikan islam bertujuan untuk membentuk
kepribadian sebagai khalifah Allah swt, atau sekurang-kurangnya mempersiapkan kejalan
yang mengacu kepada tujuan akhir,. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada
Allah dan tunduk serta patuh secara total kepada-Nya.
      Selanjutnya tujuan pendidikan islam menurutnya dibangun atas tiga komponen sifat dasar
manusia yaitu:
1.      Tubuh
2.      Ruh
3.      Akal yang masing-masing harus dijaga
      Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pendidikan islam dapat dapat diklasifikasikan
kepada:
a.       Tujuan Pendidikan Jasmani (ahdaf al-jismiyah)
           Rasulullah saw, bersabda:
)‫ْف (الحديث‬ ِ ‫ي َخ ْير ٌَوا َحبُّ اِلَى هللاِ ِمنَ ْال ُمْؤ ِم ِن الض َِّعي‬
ٌ ‫اَ ْل ُمْؤ ِمنُ ْالقَ ِو‬
                                           Artinya:”orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi Allah
daripada orang mukmin yang lemah”. (HR. Imam Muslim)
     Oleh imam Nawawi menafsirkan hadis di atas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh
kekuatan fisik. Kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, maka
pendidikan harus mempunyai tujuan ke arah keterampilan-keterampilan fisik yang dianggap
perlu bagi tumbuhnya keperkasaan tubuh yang sehat.
b.      Tujuan Pendidikan Rohani (ahdaf al-ruhaniyah)
Orang yang betul-betul menerima ajaran islam tentu akan menerima seluruh cita-cita ideal
yang terdapat dalam al-Qur’an. Peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya kepada Allah
semata dan melaksanakan moralitas islam yang diteladani dari tingkah laku keidupan nabi
saw, merupakan pokok dalam tujuan pendidikan islam.
c.       Tujuan Pendidikan Akal (al-ahdaf al-aqliyah).
Tujuan ini mengarah kepada perkembangan intelegensi yang mengarah setiap manusia
sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya.
d.      Tujuan Sosial (al-ahdaf al-ijtima’iyah).
Seorang khalifah mempunyai kepribadian utama dan seimbang, sehingga khalifah tidak akan
hidup dalam keterasingan dan ketersendirian. Oleh karena itu, aspek sosial dari khalifah harus
dijaga.
                   Fungsi tujuan pendidikan islam dalam mewujudkan tujuan sosial adalah
menitikberatkan pada perkembangan karakter-karakter manusia yang unik, agar manusia
mampu beradaptasi dengan standar-standar masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang
ada padanya. Keharmanisan menjadi karakteristik utama yang ingin dicapai dalam tujuan
pendidikan islam.
            Menurut imamal-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan islam dapat diklasifikasikan kepada:
a.       Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
b.      Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di
akhirat.
            Dari kedua tujuan di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan versi al-Ghazali 
tidak hanya bersifat ukhrawi (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana yang dikenal
dengan kesufannya , tetapi juga bersifat duniawi. Karena itu al-Ghazali memberi ruang yang
cukup luas dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Namun dunia hanya
dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di dalam akhirat yang lebih utama dan
kekal.
            Menurut M. Djunaidi Dhany, tujuan pendidikan adalah sebagaimana yang dikutip
oleh Zainudin dkk, adalah sebagai berikut:
1.      Pembinaan kepribadian anak didik yang sempurna.
2.      Peningkatan moral, tingkah laku yang baik dan menanamkan rasa kepercayaan anak terhadap
agama dan kepada Tuhan.
3.      Mengembangkan intelegensi anak secara efektif agar mereka siap untuk mewujudkan
kebahagiaan di masa mendatang.
            Menurut Hasan Langgulung, tujuan pendidikan harus dikaitkan dengan tujuan hidup
manusia, atau lebih tegasnya, tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan-persoalan
“untuk apa kita hidup?”
            Islam telah memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah dalam
surat az-zariyat 56. Yang artinya. “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.”[5]
2.      Faktor Pendidik
·         Pengertian Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik,
baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan
kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingakat
kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah
Allah swt dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu
yang mandiri.
                        Pendidik terbagi menjadi dua, yaitu
1.      Pendidik Kodrat. Di sini yang disebut pendidik kodrat adalah orang tua.
2.      Pendidik jabatan. Di sini yang disebut pendidik jabatan yaitu guru di sekolah.

·         Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam


Pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam. Dalam beberapa hadis
disebutkan: “ Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan
janganlah kamu menjadi yang kelima, sehingga kamu menjadi rusak”. Dalam hadis Nabi saw
yang lain: “ Tinta seorang ilmuan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah
para syuhada”. Bahkan islam menempatkan pendidik setinggkat dengan drajat seorang rasul.
Asy-Syawki bersyair: “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru
itu hampir saja merupakan seorang rasul”.[6]   
Dalam kitab-kitab hadis kita menemukan banyak sekali hadis yang menerangkan betapa
tingi kedudukan orang yang berpengetahuan, bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan
pengetahuannya adalah bisa di ibaratkan seperti orang besar di semua kerajaan langit; dia
seperti matahari yang menerangi alam, ia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan seperti
minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi. Kedudukan orang alim
dalam islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan
cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengalaman yang paling dihargai
oleh islam. Asma Hasan Fahmi mengutip kitab ihya’ al-Ghazali yang mengatakan bahwa
siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar
dan penting.[7]
·         Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihakan, menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah stw. Dalam paradikma jawa, pendidik diidentik dengan guru (gu dan ru) yang
berarti “digugu”  dan “ditiru. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki
seperangkat ilmu yang memadai, yang karenannya ia memiliki wawasan dan pandangan yang
luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki
kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan
suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar
transformasi ilmu, tetapi bagaimana juga ia mampu menginternalisasikan ilmunya kepada
peserta didik. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru
(didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik). Fungsi dan
tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi 3 bagian yaitu;
1.      Sebagai pengajar (instuksional)
2.      Sebagai pendidik (educator)
3.      Sebagai pemimpin (managerial).[8]
Ag. Soejono merinci tugas pendidik dalam pendidikan islam sebagai berikut.
1.      Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara, seperti
observasi, wawancara, melalui pergaulan, angkeet dan sebagainya.
2.      Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan
perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3.      Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan
berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4.      Mengadakan evaluasi setiap waktu unuk megetahui apakah perkembangan anak didik
berjalan dengan baik.
5.      Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam
mengembangkan potensinya.
·         Syarat Pendidik dalam Pendidikan Islam
      Menurut Ag. Soejono menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
1.      Tentang umur, harus sudah dewasa
2.      Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
3.      Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli
4.      Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinngi.
Syarat-syarat itu adalah sayarat-syarat guru pada umumnya. Syarat-syarat itu dapat
diterima dalam islam. Akan tetapi, mengenai syarat pada butir kedua, yaitu tentang kesehatan
jasmani, islam dapat menerima guru yang cacat jasmani, tetapi sehat. Untuk guru di
perguruan tinggi, misalnya, orang buta atau cacat jasmani lainnya dapat diterima sebagai
tenaga pengajar, asal cacat itu tidak merintangi tugasnya dalam mengajar.
·         Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Al-Abrasyi menyebutkan bahwa guru dalam islam sebaiknya memiliki sifat-sifat sebagai
berikut.
Zuhud, bersih tubuhnya, bersih jiwanya, tidak ria, tidak memendam rasa dengki dan
iri hati, tidak menyenangi permusuhan, ikhlas dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan
perbuatan dan perkataan, tidak malu mengakui ketidaktahuan, bijaksana, tegas dalam
perkataan dan perbuatan, rendah hati, lemah lembut, pemaaf, sabar, berkepribadian, bersifat
kebapaan/ keibuan, mengetahui karakter murid.[9]
3.                   Faktor Peserta Didik
·         Definisi peserta didik dalam pendidikan Islam
Peserta didik dalam pendidikikan Islam adalah individu  sedang tumbuh dan berkembang,
baik secara fisik, psikologi, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akirat kelak. Definisi tersebut memiliki arti bahwa peserta didik  merupakan individu yang
belum dewasa, yang  karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa.
Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali di sebut dengan” murid” atau  tholib. Secara
etimologi, murid berarti” orang yang mengheendaki”. Sedang menurut terminologi, murid
adalah pencari hakiakat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing
spiritual(mursyid).istilah murid atau  thalib    memiliki kedalaman makna  dari pada
penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara 
sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan, serta menunjukkan bahwa
adanya keaktifan  pada peserta didik dalam proses  belajar mengajar, bukan pada pendidik
sehingga proses pendidikn agar tercapai hasil yang maksimal.
·         Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan  Islam   
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami
hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami
hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang
perlu di pahami mengenai karakteristik peserta didik adalah 
Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunianya sendiri,
sehingga  metode belajar mengajar tidak boleh di samakan dengan orang dewasa.Orang
dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan
keinginanya. Sehingga peserta didik  kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan
dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu
semaksimal mungkin.
Ketiga, peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik
perbedaan yang di sebabkan dari faktor indogen (fitroh)  maupun dari faktor eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan
yang mempengaruhinya.
Keempat, peserta didik dipandang sebagai kesatuaan sistem manusia. Sesuai dengan
hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi  peserta didik
walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuaan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
[10]
Kelima, peserta didik merupakan subjek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan
dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik  memiliki aktivitas sendiri (swadaya)
dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak
sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengar saja.
Keenam, peserta didik mengikuti  periode-periode perkembangan tertentu dan
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan
adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat di sesuaikan dengan pola dan tempo, serta
irama perkembangan peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik sangat di
tentukan oleh usia atau periode perkembangan  
Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan,
sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah  individu yang akan memenuhi
kebutuhan tadi. Akan tetapi, dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas
antara keduanya sulit di tentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling
meniru dan di tiru, saling memberi dan menerima inforormasi yang di hasilkan, akibat dari
komunikasi yang di mulai dari kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan ketrampilan
umtuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu
sendiri.
·         Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus di laksanakannya
dalam proses belajar mengajar, baik langsung maupun tidak langsung. Al-Ghozali, yang di
kutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserata didik,
yaitu:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlaq yang
rendah dan watak yang tercela( takhalli) dan mengisi dengan akhlaq yang terpuji
(  tahalli) (perhatikan QS. Al-an’am: 162, al-Dzariyat:56).
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi di bandingkan masalah ukhrawi( QS. Adh-Dhuha:
4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk  mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin
berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggai, baik di
hadapan manusia dan Allah SWT.
3.      Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menaggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan kepribadiaannya.sekalipun ia cerdas,tetapi ia bijak dalm menggunakan
kecerdasan itu  pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada  teman-temannya yang IQ-nya
lebih rendah.
4.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang yang timbul dari berbagai aliran,sehingga ia
terfokus  dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.[11]

5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji( mahmudah  ) baik untuk ukhrawi maupun untuk


duniawi, serta  meningalkan ilmu-ilmu duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang 
tercela( madzmudah ). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepeda Allah, sementara ilmu
tercela akan menjauhkan dari Allah dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
6.      Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju
pelajaran yang sukar atau sulit atau ilmu yang fardu’ain menuju ilmu yang fardu
kifayah (QS.Insyiqaq: 19)
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta
didik memiliki spesifikasi ilmu  pengetahuaan secara mendalam. Dalam konteks ini,
spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik  memiliki  keahlian dan kompetensi khusus
(QS. al-Insyirah: 7)
8.      Mengenal nilai-nilai  ilmiah atas ilmu pengetahuaan yang di pelajari, sehingga mendatangkan
objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan  kewajiban sebagai makhluk Allah SWT,
sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai  pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuaan,ilmu yang bermanfaat dapat
membahagikan, menyejahterakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
11.  Peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokternya, mengikuti  segala prosedur dan metode mazhab yang di ajarkan oleh
pendidik-pendidik pada umumnya.
Ali bin abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam
sebagaimana dalam syairnya yang artinya: “ Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh
ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:
kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa
yang panjang (kontinu).[12]
Menurut Muhammad bin Jamil Zainul dalam bukunya Solusi Pendidikan Anak Masa
Kini menjelaskan bahwa: Hendaknya murid memelihara beberapa etika belajar sebagai
berikut:
1.      Menghormati guru, karena beliau yang mengajarinya apa yang dapat bermanfaat untuk
agama dan dunianya.
2.      Memperhatikan dengan baik ketika guru menyampaikan pelajaran agar ia dapat mengambil
manfaat dari pelajaran itu.
3.      Tidak berbicara kecuali mendapatkan izin, ini di lakukan untuk menjaga proses belajar agar
tetap tentang dan tidak ada kegaduhan.
4.      Meminta izin ketika bertanya dan tidak banyak bertanya, ini dilakukan untuk belajar dan
tidak tidak membuang waktu yang ada.
5.      Melakukan perintah guru, menerima arahan-arahan dan nasihat darinya, selagi guru tidak
memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.
6.      Tidak melakukan hal-hal di luar pelajaran agar dapat memperoleh manfaat dari pelajaran
yang di sampaikan.
7.      Memperhatikan dengan seksama apa yang di sampaikan guru dan tidak tidur pada waktu
belajar.
8.      Membuat daftar catatan yang penting dalam pelajaran pada buku tulis khusus untuk
mempermudah dalam mengulangi dan menghafalkan.
9.      Apabila ada siswa yang masuk pelajaran terlambat, hendaknya ia meminta izin sebelum
masuk, kemudian memberi salam kepada teman-temanya.
10.  Kepada murid yang perempuan sebaiknya memakai hijab dan murid menjaga perilaku dan
sopan santun terhadap teman-temannya.
4.      Faktor alat
·         Pengertian Faktor Alat
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru
dan dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat
keras misalnya gedung sekolah dan alat laboratorium dan perangkat lunak misalnya
kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan Islam.
1.      Perangkat keras
Peralatan yang berupa gedung, perpustakaan, alat-alat yang digunakan tatkala belajar di
kelas, amat erat hubungannya dengan mutu sekolah, apalagi bila alat-alat peraga, alat-alat
laboratorium. Banyak sekali konsep pengetahuan yang harus dipelajari murid yang amat sulit,
bahkan tidak mungkin dipahami tanpa bantuan alat pelajaran.
Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan islam dahulu sudah mengetahui pentingnya
alat-alat bagi peningkatan mutu pendidikan. Dimulai dari yang amat sederhana, sampai
penggunaan alat yang amat moderen, dilihat dari sudut perkembangan teori pendidikan ketika
itu.
Pada masa permulaan islam, alat-alat yang digunakan dalam pengajaran amat sederhana.
Pengajarn diberikan di rumah. Kadang-kadang di masjid atau halaman masjid. Orang Islam
ketika itu mengirimkan anak-anaknya belajar di masjid. Orang Islam Indonesia sekarang ini
sudah mengetahui perlunya alat-alat pendidikan untuk membangun sekolah yang bermutu.
Jenis-jenis peralatan sekolah pada umumnya sama, kecuali bagi sekolah-sekolah tertentu
sesuai dengan tujuan kurikulernya.
Sekolah-sekolah islam sampai saat ini masih sering menghadapi kekurangan biaya dalam
pengadaan alat pelajaran. Kekuraangan dana itu pun ditambah dengan kenyataan lemahnya
perencanaan dan kurangnya penelitian. Dengan demikian, dana yang kurang menjadi lebih
besar dampaknya terhadap rendahnya mutu sekolah.
Peralatan sekolah harus dirancang secara menyeluruh dan teliti. Dahulukan alat-alat yang
sangat diperlukan. Seperti Tiruan tubuh manusia untuk memahami anatomi manusia,
rekaman video tentang salat dan wudlu alat-alat mutlak yang wajib ada yakni buku-buku
perpustakaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah ruang belajar. Ruang belajar yang
baik tidak selalu mahal. Pengelolaannya itulah yang amat menentukan.[13]
2.      Perangkat lunak
a.       Kurikulum pendidikan Islam
Dalam bahasa asalnya (bahasa latin), kata kurikulum berarti run a way, yaitu lari
menuju garis finish untuk mencapai kemenangan. Dari sini dapat diartikan bahwa kurikulum
adalah serangkaian mata pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dengan
tujuan tertentu.
Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj yang berarti jalan
terang yang dilalui oleh pendidik beserta anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap mereka (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang berpijak kepada al-
Qur’an dan hadits sebagai dasar utama pelaksanaan pendidikan Islam.
Terkait dengan kurikulum yang akan disampaikan kepada peserta didik, sejumlah pakar
pendidikan seringkali merujuk kepada QS. Luqman: 13
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( 
  žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ

“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa materi pelajaranyang disampaikan
kepada anak didik adalah:
a)      Pendidikan ketauhidan
b)      Pendidikan akhlak
c)      Pendidikan amar ma’ruf nahi munkar
d)     Pendidikan kesabaran
Rumusan kurikulum ini masih cenderung bernuansa akhirat oriented. Padahal, apabila
mengacu pada tujuan pendidikan Islam yakni pendidikan Islam tidak memilih-milih antara
dunia dan akhirat. Namun, bisa diprediksi bahwa kurikulum pendidikan Islam yang akhirat
oriented  akan mengalami kendala besar apabila dihadapkan dengan masalah profesionalisme
dan keahlian. Dengan demikian, tuntutan terhadap perubahan kurikulum pendidikan Islam
merupakan hal yang logis dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Agar kurikulum pendidikan Islam tetap relevan dan bisa berbuat banyak di masyarakat,
maka design kurikulum harus peka terhadap kebutuhan masyarakat dan dinamika zaman.
Untuk itu, setidak-tidaknya ada hal yang harus ada dalam kurikulum pendidikan Islam,
yaitu pertama,  pendidikan perlu mengintregasikan kajian keagamaan, pengetahuan,
teknologi, seni dan budaya, dalam suatu program kurikulum yang integral baik dari segi
filosofis, teoritik, maupun oprasionalnya. Kedua, kurikulum pendidikan Islam harus
mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)dan dipadukan
dengan iman dan takwa dan harus relevan, responsif serta mampu mengantisipasi skenario
perubahan di masa yang akan datang.
b.      Metode pendidikan Islam
Secara etimologi, kata metode berasal dari bahasa yunani metodos. Kata ini terdiri dari
dua suku kata yaitu “metha”  yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang
bermakna jalan atau cara. Jadi, metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian, metode pendidikan Islam bisa diartikan sebagai suatu cara yang harus
dilalui dalam menyajikan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
H.M. Arifin menawarkan metode pendidikan Islam sebagai berikut:
a)      Metode situasional dan kondisional dalam pembelajaran
b)      Metode kebermaknaan
c)      Metode dialog
d)     Metode pemberian teladan yang baik
e)      Metode diskusi
f)       Metode demonstrasi
g)      Metode hadiah dan hukuman
Jauh sebelumnya, Ibnu Khaldun juga menawarkan beberapa metode alternatif yang
bisa diterapkan dalam pendidikan Islam, antara lain:
a)      Metode ilmiah modern
b)      Metode gradasi dan penulangan
c)      Menggunakan media audio- visual
d)     Melakukan karya wisata
e)      Menghindari sistem pengajaran materi pelajaran dalam bentuk rangkuman
f)       Memberikan sanksi yang proporsional untuk menumbuhkan motivasi belajar
Senada dengan Ibnu Khaldun, al-Ghozali menyarankan agar membedakan metode
pengajaran yang dipakai untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Menurutnya, kewajiban
utama dari guru adalah mengajarkan kepada anak didik pelajaran yang mudah dipahami.
Sebab, masalah-masalah yang sulit bisa menyebabkan ‘merusak’ pikiran anak didik, dan
akibat terburuknya adalah mereka justru malas belajar.
Di era globalisasi,  menurut Abdurrahman Mas’ud, seorang guru harus memilih
metode yang sesuai dengan nilai-nilai humanisme religius, meskipun pada  akhirnya elemen-
elemen pendidikan menjadi kurang signifikan seiring dengan kemajuan teknologi informasi
dan sains. Dia menambahkan bahwa trend di masa mendatang adalah sejauh mana siswa
memanfaatkan komputer sebagai guru utama dan sejauh mana seorang guru mampu
mengantar siswanya untuk bukan sekedar memiliki teknologi seperti memiliki komputer,
melainkan bagaimana menggunakan dan memanfaatkannya sebagai media belajar.[14]
c.       Evaluasi pendidikan Islam
Edwind Wendt dan Gerald W. Brown menyatakan bahwa evaluasi adalah totalitas
tindakan atau proses yang dilakukan untuk menilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia
pendidikan. Yang dimaksud dengan penilaian dalam pendidikan adalah keputusan-keputusan
yang diambil dalam proses pendidikan secara umum: baik secara perencanaan, pengelolaan,
proses dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun
kelembagaan. Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam adalah pengambilan
sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana
keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan
Islam itu sendiri.
Menurut Armai Arief, fungsi evaluasi pendidikan Islam, antara lain:
a)      Untuk mengetahui efektivitas cara belajar mengajar yang telah dilakukan
b)      Untuk mengetahui prestasi belajar siswa
c)      Untuk mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dari anak didik
d)     Sebagai bahan laporan kepada wali murid
e)      Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh sebelumnya
Menurut Muhaimin, dkk, pelaksanaan evaluasi pendidikan Islam perlu dipegang
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)      Agar evaluasi pendidikan sesuai dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan
b)      Evaluasi harus obyektif
c)      Evaluasi dilakukan secara komprehensif
d)     Evaluasi dilakukan secara kontinue[15]

5. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan sesuatu yang mempengaruhi pada pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak. Adapun pengaruh lingkungan dapat dibagi menjadi dua sebagai
berikut:
a.       Pengaruh lingkungan dapat dikatakan positif, bilamana lingkungan itu dapat memberikan
dorongan atau motivasi dan rangsangan kepada anak untuk berbuat hal-hal yang baik.
b.      Sebaliknya pengaruh lingkungan dapat dikatakan negatif, bilamana keadaan sekitar anak itu
tidak dapat memberikan pengaruh baik.
Karena itu berhasil atau tidaknya pendidikan islam disekolah juga banyak ditentukan oleh
keadaan lingkungan daripada anak didik.[16]
D.    KESIMPULAN
1.      Faktor-faktor pendidikan islam adalah sesuatu yang ikut menentukan keberhasilanpendidikan
islam yang memiliki beberapa bagian yang saling meendukung satu sama lainnya.
2.      Di dalam ilmu pendidikan islam kita mengenal beberapa macam faktor pendidikan,
diantaranya adalah sebagai berikut.
a.       Faktor tujuan
b.      Faktor pendidikan
c.       Faktor anak didik
d.      Faktor lingkungan.
E.     DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Pespektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2005
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2002
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Pres, 2002
Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Dr. Zakiah Darajat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi
Angkasa, 2001
Suyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006
Z. AG. S, Methodik Khusus Pendidikan Agama, Malang: Cetakan ke VIII, 1983

F.      LAIN-LAIN (HASIL DISKUSI)


a.      Pertanyaan:
1.      Durroh Nafisah
Bagaimana caranya agar semua faktor berjalan sinergis dan seimbang agar dapat mencapai
tujuan yang diinginkan?
2.      Ainul Munti’ah
Jelaskan apabila 3 komponen sifat dasar manusia dari tujuan pendidikan itu tidak ada?
3.      Etris sutrisni
a)      Kenapa pendidik dikatakan sebagai pemimpin?
b)      Jelaskan apabila perangkat keras tidak ada, apakah masih bisa berjalan?
b.      Jawaban:
1.      Caranya yakni sebagai seorang pendidik itu harus mengerti dari faktor-faktor pendidikan
islam, supaya apabila ingin mencapai suatu tujuan yang sinergis maka pendidik dapat
memahami dari masing-masing faktor tersebut, dan hal ini pula pihak pemerintah juga
mempunyai andil dalam menciptakan dorongan agar suatu lembaga pendidikan dapat berjalan
dengan seimbang dengan cara memfasilitasi anggaran yang sangat diperlukan bagi lembaga
pendidikan tersebut.
2.      Apabila salah satu dari 3 komponen sifat dasar manusia itu tidak ada maka tujuan pendidikan
tidak akan bisa berjalan dengan baik, karena 3 komponen yang meliputi : tubuh, ruh, dan akal
itu semua merupakan hal yang harus ada dalam membangun tujuan pendidikan islam, maka
tidak boleh jika salah satu komponen tersebut tidak ada namun harus ada secara utuh untuk
tujuan pendidikan Islam.
3.      a) Karena seorang pendidik mempunyai kewajiban memanagement anak didiknya, tanpa
seorang pemimpin pastinya suatu lembaga tidak akan berjalan jadi, tanpa seorang pendidik
suatu kelas tidak akan sempurna pula.
c)      Suatu pendidikan apabila tidak memiliki perangkat keras atau fasilitas tidak memadai hal itu
sangat mempengaruhi proses belajar anak didik, dan sangat sulit untuk dapat mencapai tujuan
pendidikan.
c.       Tambahan:
1.      Himmatul Ulyani
·         Tingkah laku mendidik secara benar yakni dengan cara: anak yang masih dalam usia
bermain jangan dibuat sangat tertekan.
·         Sikap guru agar dapat mendidik secara murni yakni dengan cara: jangan memaksakan
kehendak anak dalam belajar, tapi buatlah agar mereka belajar sambil bermain, itu akan lebih
mudah dan menyenangkan. Karena masa-masa SD adalah masa bermain anak.
·         Sebagai orang tua tidak akan mau memiliki anak yang nakal, namun orang tua harus
berusaha dalam mendidik anak-anak mereka agar menjadi lebih baik.
·         Pemerintah harus memberi dorongan bagi siswa seperti beasiswa, agar mereka lebih
semangat dalam belajar.
·         Tanpa seorang pemimpin murid tidak akan mempunyai arti apa-apa
·         Suatu pendidikan tanpa perangkat keras apabila tidak dimanfaatkan dengan baik maka tidak
akan mencapai tujuan pendidikan atau masih kurang maksimal.
2.      Aris Ubaidillah
·         Anak nakal yang sulit di tangani maka sebagai pendidik harusnya tidak berlebihan dalam
menangani anak tersebut, namun yang lebih penting harusnya penanganannya tidak
berlebihan mengganggu yang lainnya.

[1] Z. AG. S, Methodik Khusus Pendidikan Agama, Cetakan ke VIII, Malang, 1983, hal. 28
[2] Zakiyah Darajat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bumi Angkasa, Jakarta,
2001, hal. 11
[3] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers,
Jakarta: 2002, hal. 15-16
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung: 1992, hal 46-47
[5] Armai Arief, Op. Cit, hal 18-25
[6] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Amzah, Jakarta: 2010, hal. 83-86
[7] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hal. 76
[8] Bukhari Umar, Op.Cit, hal.87
[9] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hal.79-83
[10] Prof. Suyanto,Ph.D, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2006. Cet 1. Hal
103-106
[11] Ibid, hal 107-112
[12] Ibid hal 115
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005, hal. 92-94
[14] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2002, hal.24-29
[15] Ibid, hal.31-33
[16] Z. AG. S, Op.Cit, hal 54

Anda mungkin juga menyukai