Anda di halaman 1dari 8

ESSAY

TUGAS AKHIR MATA KULIAH BIOTEKNOLOGI


PERLINDUNGAN TANAMAN

Disusun Oleh :
Dodo Brilliant Priyananda 171510701019
Moh. Affan Afifudin 171510701025

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS


PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER
2020
1. Bioteknologi pada Tanaman Kedelai (Dodo Brilliant P.)
Permasalah yang dialami oleh Korneles pada tanaman budidaya kedelainya
yaitu Kekeringan, Gulma, Hama dan Penyakit. Peran Bioteknologi dalam
permasalahan yang kompleks ini sangat diperlukan. Penyelesaian dari
permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan varietas kedelai
transgenik yang tahan dari senyawa Glifosat dan tahan kekeringan yang
merupakan hasil dari penerapan teknologi bioteknologi modern yang bertujuan
untuk mempermudah penyemprotan herbisida dari banyaknya gulma di lahan
tersebut, serta kemampuannya untuk bertahan pada ketersediaan air yang terbatas.
Duke & Powless (2008) menyatakan bahwa penggunaan varietas tahan
glifosat dilakukan untuk mempermudah pengendalian gulma di lahan kedelai,
sementara itu mekanisme perakitan gen tersebut diawali dengan pendekatan
secara fisiologis tanaman dan mekanisme glifosat tersebut, diketahui bahwa
glifosat menghambat sintase ESPS di dalam tanaman, kemampuan inhibitor
tersebut yang menghambat metabolisme tanaman secara efektif, maka dari itu
diperlukan gen yang memproduksi ESPS dengan kemampuan mampu bertahan
dari penghambatan glifosat, salah satu makhluk hidup yang menghasilkan gen
ESPS tersebut yaitu bakteri Agrobacterium tumafaciens Strain C4. Dari fakta
tersebut kemudian dilakukan isolasi gen target pada bakteri dan melakukan
penyisipan dengan salah satu caranya yaitu shotgun gene atau gene bombardment
mengunakan partikel emas.
Penyisipan gen tahan glifosat membuat tanaman kedelai mampu untuk
menetralisir reaksi glifosat, karena paparan senyawa glifosat tidak mampu untuk
menghambat metabolisme dari alur shikimate tanaman, sehingga tanaman akan
dapat mampu memproduksi asam amin aromatik dan metabolisme lainnya pada
tanaman tersebut tetap normal.
Cekaman kekeringan menjadi masalah yang cukup serius bagi hampir
seluruh sistem pertanaman, masalah ini muncul hampir pada setiap umur tanaman,
bisa pada saat umur tanaman muda hingga saat masa munculnya buah. Menurut
Suyamto dan Soegiyatni (2002), menyatakan bahwa permasalahan cekaman
lingkungan berupa kekeringan dapat menyebabkan penurunan hasil kedelai
dengan angka yang sangat besar. Menurut Devi et al.(2019), menyatakan bahwa
permasalahan cekaman abiotik kekeringan pada tanaman kedelai dapat diatasi
dengan penggunaan varietas tahan kekeringan.
Penyelesaian masalah lain yaitu pada masalah Hama dan Penyakit pada
lahan tersebut. Penggunaan bioteknologi modern secara satu kesatuan dalam
menciptakan tanaman transgenik tahan terhadap beberapa hal sangat sulit
diciptakan, maka dari itu kemungkinan terbesar untuk mengatasi masalah hama
dan penyakit pada lahan ini yaitu menggunakan bioteknologi konvensional antara
lain pengaplikasian agen hayati pada lahan tersebut.
Penggunaan PGPR dan PGPF memiliki potensi dalam menyelesaikan
masalah hama dan penyakit. Menurut Tariq et al. (2017) menyatakan bahwa
terdapat sekian banyak jenis bakteri yang memiliki potensi dalam mendukung
pertumbuhan dari tanaman, bakteri tersebut diantaranya Bacillus, Paenibacillus,
Streptomyces, Frankia, Rhizobium, Bradyrhizobium, Azospirillum, Acetobacter,
Burkholderia, Enterobacter, Pantoea, Serratia, dan Pseudomonas. Bakteri
tersebut tersedia melimpah di tanah. Kemampuan PGPR dalam melindungi
tanaman yaitu dapat dilihat dari kemampuannya dalam memproduksi senyawa-
senyawa antimikrobial seperti 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG), pyrrolnitrin,
pyoluteorin, phenazines, dan lipopeptides (LPs) (Zhou et al., 2014).
PGPF sangat berpotensi untuk diaplikasikan pada lahan pertanian untuk
memberikan proteksi tanaman dari penyakit tanaman yang menyerang tanaman
budidaya, dengan kemampuan PGPF dalam menginduksi ketahanan tanaman
dapat mengurangi resiko turunnya produksi tanaman, hal tersebut selaras dengan
pernyataan Singh et al. (2019), yang menjelaskan bahwa PGPF merupakan fungi
non-patogenik yang memiliki kemampuan untuk melindungi tanaman budidaya
melalui sistem induksi ketahanan (Induced Systemic Resistance)
Permasalahan serangan hama pada lahan kedelai tersebut dapat diatasi
dengan menggunakan agen hayati berupa fungi yang bersifat patogen terhadap
serangga. Beauvaria bassiana merupakan agen hayati dari golongan fungi yang
memiliki efektivitas tinggi dalam mengendalikan populasi serangga hama, B.
bassiana memiliki keberhasilan yang tinggi karena tingkat infektifnya yang tinggi
terhadap serangga, selain itu fungi tersebut memiliki kemampuan yang luar biasa
seperti mampu bertahan dalam kelembaban yang rendah serta tahan pada suhu
yang agak tinggi (Alali et al., 2019).
Kekurangan dari sistem pengendalian menggunakan teknik tanaman
transgenik yaitu adanya resiko paparan glifosat yang berlebihan pada produk
kedelai yang dihasilkan. Kekurangan pada teknik agen hayati yaitu resiko
berkurangnya populasi serangga menguntungkan karena Broad sprectum dari
agen hayati yang luas.
Kelebihan dari penggunaan seluruh pengendalian dengan menggunakan hasil
produk bioteknologi tersebut yang paling utama adalah terciptanya ketahanan
pangan, selain itu penggunaan produk-produk tersebut lebih efektif dan tepat guna
serta ramah lingkungan, selain itu produk ini dapat menghemat biaya
pengendalian dan banyak aspek lain yang diuntungkan.
2. Bioteknologi pada Tanaman Jagung (Moh. Affan Afifudin)
Penerapan bioteknologi pada tanaman jagung dapat dilakukan dengan cara
pengembangan varietas toleran berpotensi sebagai peningkatan produktivitas dan
dapat juga dilakukan dengan perbaikan kondisi agroekosistem pada lahan
budidaya. Beberapa masalah yang adala dalam budidaya jagung adalah serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT), seperti hama, penyakit dan gulma yang
menghambat proses budidaya jagung Pengendalian menggunakan bahan pestisida
sintetis selain dapat menurunkan produktifitas jagung karna bahan aktif yang
terserap tanaman, juga menimbulkan bahaya lingkungan karena jumlah residu
yang bersar sehingga menyebabkan polusi lingkungan.
Pada kasus dalam soal, tanaman jagung yang terserang hama dapat
menggunakan jagung transgenic yang disisipkan gen Cry Bt. Dengan adanya
bioaktif dari kristal protein yang ada dan disandi oleh gen Bt, kemungkinan dapat
memodifikasi genetik tanaman jagung yang ditambahkan dengan gen Bt untuk
menciptakan jagung transgenik Bt (Bt corn) yang tahan terhadap hama. Bt protein
yang dihasilkan oleh gen Bt sejatinya dapat berdampak buruk dan meracuni hama
yang menyerang tanaman jagung. Setelah bagian tanaman jagung transgenic
tersebut dimakan oleh corn borer, Bt protein akan dipecah oleh suatu enzim
pemecah dalam pencernaan hama yang memakan bagian tadi yang bersifat alkalin
sehingga menghasilkan protein pendek dapat yang mengikat dinding pencernaan
hama. Pengikatan tersebut sejatinya dapat menyebabkan kerusakan membran sel
pada hama yang memakan bagian tanaman, sehingga larva berhenti beraktivitas
dan mati secara berlahan. (Syngenta Seeds Communication 2003).
Menurut Herman (2002), sebenarnya, Gen Bt ini dapat berasal dari bakteri
tanah dengan spesies Bacillus thuringiensis yang sebelumnya telah digunakan
petani sebagai pestisida hayati sejak beberapa tahun yang lalu. B. thuringiensis
dapat menghasilkan protein Kristal Bt, atau bisa juga disebut dengan Crystal
protein yang sejatinya merupakan protein endotoksin yang bersifat tocxin bagi
serangga (Held et al. 1982, Macintosh et al. 1990). Menurut Agbios GM dalam
Data Basenya (2007), Protein endotoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis
sebenarnya tidak bereaksi untuk pengikatan pada permukaan pencernaan sel
mamalia, oleh karena itu hewan ternak dan manusia tidak berdampak terhadap
reaksi protein tersebut.
Kasus pada soal juga menggambarkan permasalahan pada lahan kering.
Sebenarnya cara optimalisasi sumberdaya lahan kering untuk budidaya tanaman
jagung sangat memerlukan teknologi yang mampu mengatasi permasalahan
tersebut dengan efektif. Memodifikasi lingkungan dengan unsur biologi dapat
diterapkan pada permasalahan ini. Salah satu penerapan teknologi yang dapat
diterapkan pada lahan kering adalah penggunaan biochar. Biochar adalah rangkai
karbon aktif stabil yang merupakan hasil proses pirolisis. Salah satu fungsinya
adalah sebagai bahan pengondisi tanah (soil amandement). Biochar sangat
berpotensi untuk menghasilkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dengan
cara memberikan perubahan tanah yang berharga untuk meningkatkan
produktivitas tanaman (Glaser et al., 2002)
Menurut Lehmann and Sohi (2009), biochar dapat dibuat dari bahan-bahan
organik yang pada dasarnya sangat sulit untuk terdekomposisi, yang kemudaian
diolah dengan cara dibakar secara tidak sempurna (pyrolisis) atau dapat juga
dibakar tanpa oksigen pada suhu yang tinggi. Hasil arang hayati yang terbentuk
dari pembakaran ini dapat menghasilkan karbon aktif yang didalamnya terdapat
mineral seperti kalsium (Ca) atau magnesium (Mg) serta karbon anorganik.
Karbon tanah sejatinya dapat mempengaruhi indikator fisik, kimia dan biologi
tanah, seperti ketersediaan hara (kimia), stabilitas agregat (fisik), retensi, siklus
hara (biologi) dan dapat juga sebagai indikator terhadap kualitas tanah itu sendiri
(Kuykendall, 2008). Tanah yang diberikan biochar ini dapat mengalami perbaikan
tanah, dan dapat menjadi solusi untuk tanaman jagung dilahan kering. Untuk
mengatasi serangan penyakit jagung yang diakibatkan oleh penyakit bulai dapat
dilakukan pengendalian hayati dengan bioteknologi konvensional menggunakan
agen bakteri Paenibacillus polymyxa dan jamur Tricoderma sp..
DAFTAR PUSTAKA

Alali, S., Mereghetti, V., Faoro, F., Bocchi, S., Al Azmeh, F., & Montagna, M.
2019. Thermotolerant isolates of Beauveria bassiana as potential control
agent of insect pest in subtropical climates. PloS one, 14(2):1-13.

Devi, M. J., Sinclair, T. R., Vadez, V., Shekoofa, A., & Puppala, N. 2019.
Genomics Assisted Breeding of Crops for Abiotic Stress Tolerance. New
Delhi, Springer.

Duke, S. O., & Powles, S. B. (2008). Glyphosate: a once‐ in‐ a‐ century


herbicide. Pest Management Science: formerly Pesticide Science,
64(4):319-325.

GLASER, B., J. LEHMANN, AND W. ZECH. 2002. Ameliorating physical and


chemical properties of highly weathered soils in the tropics with charcoal.
A Review Biology and Fertility of Soils 35: p. 219-230.

Held, G.A., L.A. Bulla, E. Jr. Ferrari, J. Hoch, and A.I. Aronson. 1982. Cloning
and localization of the lepidopteran protoxin gene of Bacillus thuringiensis
subsp. kurstaki. Proc. Natl. Acad. Sci. 79:60-65.
KUYKENDALL, H. 2008. Soil quality physical indicators: selecting dynamic soil
properties to asses soil function. USDA NRCS Soil Quality National
Technology Development Team. Soil Quality Technical Note No.10.

LEHMANN J., CZIMCZIK, C., LAIRD, D AND SOHI S., 2009. Stability of
biochar in the soil. In: Biochar for Environmental Management: Science
and Technology (Eds. Lehmann J. & Joseph S.), Earthscan

MacIntosh, S.C., T.B. Stone, S.R. Sims, P. Hunst, J.T. Greenplate, P.G. Marrone,
F.J. Perlak, D.A. Fischhoff, and R.L. Fuchs. 1990. Specificity and efficacy
of purified Bacillus thuringiensis proteins against agronomically important
species. J. Insects Path. 56:95-105.
Singh, D. P., Gupta, V. K., & Prabha, R. (Eds.). (2019). Microbial Interventions in
Agriculture and Environment: Volume 2: Rhizosphere, Microbiome and
Agro-ecology. Springer Nature.

Suryanti, S., D. Indradewa, P. Sudira, J. Widada. 2015. Kebutuhan Air Efiensi


Penggunaan Ari dan Ketahanan Kekeringan Kultivar Kedelai. Agritech,
35(1):114-120.

Suyamto dan Soegiyatni 2002. Evaluasi toleransi galurgalur kedelai terhadap


kekeringan. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan, 218 -224.

Syngenta Seeds Comunication. 2003. Kernels of gold: the fact of Bt corn.


Syngenta Seeds AG, Basel, Switzerland.

Tariq, M., Noman, M., Ahmed, T., Hameed, A., Manzoor, N., & Zafar, M.
(2017). Antagonistic features displayed by plant growth promoting
rhizobacteria (PGPR): a review. Journal of Plant Science and
Phytopathology, 1, 38-43.

Zhou T.T., Li C.Y., Chen D. 2014. PhlF- mutant of Pseudomonas fluorescens J2


improved 2,4-DAPG biosynthesis and biocontrol efficacy against tomato
bacterial wilt. Biological Control, 78:1–8.

Anda mungkin juga menyukai