Anda di halaman 1dari 13

PROGRES PRODUKSI MASSAL BIOPESTISIDA DAN BIOFERTILIZER DI

INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN NEGARA MAJU DIDUNIA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Sistem Pertanian Terpadu

Dosen pengampu : Dr. sc. agr. Ir. Didik Sulistyanto

Disusun oleh:
Dela Febriana : 202205100002
Mudasir : 202205100014

Rizki Afthoni Baedowi 202205100007

JURUSAN AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BOROBUDUR
2023

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia sebagai negara berkembang tentunya masih tertinggal jauh dari negara
maju didunia dalam hal produksi massal biopestisida maupun biofertilizer dibidang
pertanian. Hal ini dikarenakan petani di indonesia lebih suka menggunakan produk bahan
kimia dari pada organik, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang, pangan, dan
papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya dengan meningkatkan
penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting adalah pestisida kimia sintetis
untuk menekan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida
sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama
dagang pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat
tajam menjadi 2.810 nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia selayaknya memberdayakan
sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan efisiensi pengolahan tanah dan produksi
tanaman pangan yang berkelanjutan. Pemberdayaan hayati tanah dapat dilakukan dengan
pengkayaan jenis dan populasi organisme tanah melalui aplikasi pupuk hayati berupa
organisme fungsional tunggal ataupun konsorsial (majemuk).
Sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang memiliki heterogenitas tinggi, maka
pengembangan produksi pupuk hayati hendaknya dilakukan secara spesifik lokasi dengan
mempertimbangkan keberadaan organisme fungsional native yang telah tersedia di
lapangan. Pilihan formulasi konsorsia biofertilizer adalah jenis organisme fungsional
yang memiliki kompatibilitas tinggi dan jenis media pembawa/carrier yang mampu
menjaga nilai fungsionalnya.
Selain memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan hara N, P, dan K
mikroba fungsional juga memiliki kemampuan dalam menyediakan hara mikro yang
penting dalam mendukung produksi dalam hal kuantitas maupun kualitas. Tantangan
dalam aplikasi pupuk hayati adalah penetapan kriteria kandungan C-organik, enzim
nitrogenase, dan enzim fosfatase tanah. Dalam jangka panjang, aplikasi pupuk organik
dengan dikombinasi pupuk buatan merupakan langkah terbaik dalam meningkatkan C-
organik dan N-tanah serta bermanfaat dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah (Ayukea et al. 2011).

1
Pupuk hayati dan pestisida hayati berpotensi meningkatkan produktivitas
pertanian petani saat ini pada saat yang sama berkontribusi pada kemampuan tanah untuk
menghasilkan lebih banyak di masa depan. Beberapa negara seperti Argentina, Kanada,
Afrika Selatan, India, Australia, Filipina, Amerika Serikat, dan Brasil merangkul
teknologi ini dengan hasil yang menjanjikan terutama untuk teknologi yang telah terbukti
seperti penggunaan rhizobium inokulan untuk meningkatkan produksi tanaman kacang-
kacangan di antara teknologi lainnya.
Saat ini, biopestisida hanya mencakup 2% dari pelindung tanaman yang
digunakan secara global; namun tingkat pertumbuhannya menunjukkan tren peningkatan
di masa laludua dekade. Produksi global biopestisida telah diperkirakan menjadi lebih
dari 3.000 ton per tahun, yang meningkat pesat. Meningkat permintaan produk pertanian
bebas residu, menanam makanan organik pasar dan pendaftaran lebih mudah daripada
pestisida kimia adalah beberapa di antaranya pendorong utama pasar biopestisida. Secara
global, penggunaan biopestisida terus meningkat sebesar 10% setiap tahun. Sekitar 90%
dari mikroba biopestisida berasal dari hanya satu bakteri entomopatogen, Bacillus
thuringiensis. Lebih dari 200 produk yang dijual di pasar AS, dibandingkan dengan hanya
60 produk sejenis di UE. Lebih dari 225 biopestisida mikroba diproduksi di 30 negara
OECD. Negara-negara NAFTA (AS, Kanada, dan Meksiko) menggunakan sekitar 45%
dari biopestisida terjual, sementara Asia tertinggal dengan penggunaan hanya 5% dari
biopestisida yang dijual di seluruh dunia.

1.2 Tujuan
Agar dapat mengetahaui seberapa besar tingkat produksi massal biopestisida dan
biofertlizer yang ada di indonesia dibandingan dengan negara maju didunia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biopestisida

Dalam pertanian modern, hama dan penyakit tanaman harus dikendalikan


secara terpadu. Biopestisida merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan
hama dan penyakit. Biopestisida didefinisikan sebagai bahan yang berasal dari
mahluk hidup (tanaman, hewan atau mikroorganisme) yang berkhasiat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan atau mematikan hama atau organisme penyebab
penyakit. Schumann and D’Arcy (2012) mendefinisikan biopestisida sebagai
senyawa organik dan mikrobia antagonis yang menghambat atau membunuh hama
dan penyakit tanaman. Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah
terdegradasi di alam. Namun di Indonesia jarang dijumpai tanaman yang berkhasiat
menghambat atau mematikan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan biopestisida
kurang disukai petani karena efektivitasnya relatif tidak secepat pestisida kimia.
Biopestisida cocok untuk pencegahan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit
(preventif bukan kuratif) pada tanaman.
Penelitian efektivitas biopestisida bahan nabati di Indonesia dipelopori oleh
Balai Peneltian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor. Pada tahun 1992, para peneliti
menemukan bahwa minyak cengkeh dapat menekan perkembangan patogen terbawa
tanah, antara lain Fusarium oxysporum, dan Rhizoctonia solani (Tombe et al. 1992).
Tepung dan minyak bunga cengkeh dapat menghambat pertumbuhan cendawan
Phytophtora capsici, P. palmivora, P. lignosus, dan Sclerotium rolfsii (Manohara et
al. 1993). Efektivitas biopestisida bervariasi, bergantung pada jenis dan dosis.
Penggunaan biopestisida diharapkan mempunyai efektivitas lebih dari 50%.
Efektivitas biopestisida bahan hayati untuk pengendalian penyakit dengan
cendawan antagonis sudah lama diketahui. Elad et al. (1980) melaporkan bahwa
Trichoderma harzianum efektif menekan pertumbuhan cendawan penyebab layu pada
medium, rumah kaca, maupun lapangan (Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani)
pada buncis, tomat, dan kapas. Yanti et al. (2013) mendapatkan dua isolat bakteri
rizobakteri dari perakaran kedelai (P12Rz2.1 dan P14Rz1.1) dan merupakan isolat
terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai dengan efektivitas
20,62% dan 20,47%. Enam isolat bakteri endofit menunjukkan penghambatan
pertumbuhan Sclerotium sp. in vitro. Dua isolat potensial LN1 (Gram positif) dan
LN2 (Gram negatif) yang digunakan untuk uji lanjut menunjukkan kemampuan yang
lebih besar dalam menurunkan rebah kecambah.

3
2.2 Biofertilizer
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal
tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam
Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah,
dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan
organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut
menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau
bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda
dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk
organik maka
diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik.
Pembenah tanah atau soil ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan
sintesis atau alami, organik atau mineral. Sumber bahan organik dapat berupa kompos,
pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu,
dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian,
dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan
hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau
merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa
batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan
ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan
tanaman paku air Azolla.
Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah
dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang
menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah
pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya.
Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman,
setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas,
botol, dan kertas.Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua
kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam
tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah ini relatif baru
dibandingkan dengan saat penggunaan salah satu jenis pupuk hayati komersial pertama di
dunia yaitu inokulan Rhizobium yang sudah lebih dari 100 tahun yang lalu.

4
Pupuk hayati dalam buku ini dapat didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif
organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi
tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini dapat
berlangsung melalui peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya oleh cendawan
mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh
fungi, aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan hara ini berlangsung melalui hubungan
simbiotis atau nonsimbiotis.
Secara simbiosis berlangsung dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan
kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui penyerapan hara hasil
pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik
oleh kelompok organisme perombak. Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi
bakteri bintil akar dan cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan
tanaman kehutanan yang bukan legum oleh aktinomisetes genus Frankia di luar
cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong ektomikoriza juga di
luar cakupan baku ini, karena kelompok ini hanya bersimbiosis dengan berbagai tanaman
kehutanan. Kelompok endomikoriza yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya
cendawan mikoriza vesikulerabuskuler, yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman
pertanian. Kelompok organisme perombak bahan organik tidak hanya mikrofauna tetapi
ada juga makrofauna (cacing tanah).

5
BAB III
METODOLOGI
3.1 Studi Literatur
Menurut Sugiyono (2012) studi literatur berkaitan dengan kajian teoritis dan
refrensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada
situasi sosial yang diteliti. Selain itu studi kepustakaan juga sangat penting dalam
melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan bisa lepas dari literatur-
literatur ilmiah sehingga pendapat yang dituangkan dalam tulisan semakin kuat
keberadaannya.

3.2 Cara Kerja


Penulisan makalah ini dilakukan secara berkelompok setiap kelompok memiliki
tiga anggota didalamnya yang akan berbagi tugas, menuangkan ide, mencari titik
permasalahan dan memberikan solusi dari permasalan. Hasil dari diskusi tersebut
nantinya akan menjadi makalah yang diharapkan oleh dosen pengampu mata kuliah
sistem pertanian terpadu untuk dijadikan bahan presentasi oleh mahasiswa.

6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Progres Produksi Massal Biopestisida

Biopestisida menarik perhatian global sebagai strategi yang lebih aman untuk
mengelola populasi hama seperti gulma, patogen tanaman dan serangga sambil
menimbulkan risiko lebih kecil bagi manusia dan lingkungan. Di AS, biopestisida
dipantau oleh Perlindungan Lingkungan Badan yang mendukung pendaftaran mereka
berdasarkan temuan “no efek samping yang tidak masuk akal” untuk manusia dan
lingkungan, untuk mengizinkan penjualan dan distribusi mereka di bawah Insektisida
Federal, Fungisida, dan Rodentisida Act (FIFRA), serta memastikan “kepastian yang
masuk akal dari tidak membahayakan” di bawah Federal Food, Drug, and Cosmetic Act
(FFDCA) untuk menyediakan makanan dan pakan bebas residu pestisida
Sedangkan untuk di indonesia sendiri biopestisida Indonesia merupakan negara
yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil (Hitipeuw
2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat
ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu
negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia. Beberapa jenis tanaman penghasil
bahan baku pestisida nabati mempunyai wilayah sebaran yang luas. Tanaman mimba
banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara
Barat. Akar tuba banyak ditemukan tumbuh liar dan tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia, sedangkan piretrum banyak ditanam di daerah pegunungan pada ketinggian
6003.000 m dpl.
Pemanfaatan pestisida nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan,
karena selain bahan bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak
membutuhkan teknologi tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di
lain pihak, karena bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-

7
degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan. Sebagai contoh, insektisida nabati dari
ekstrak bunga piretrum yang diaplikasikan untuk mengendalikan hama pada tanaman
lada, sudah terdegradasi dalam waktu 24 jam (Wiratno et al. 2008).
Insektisida nabati juga memiliki pengaruh cepat dalam menghambat nafsu makan
serangga sehingga dapat menekan kerusakan tanaman. Keunggulan lainnya, pestisida
nabati memiliki spektrumpengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang
telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap mamalia
relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Di samping kelebihan yang ditawarkan, pestisida nabati memiliki beberapa
kekurangan, yaitu bahan aktifnya mudah terurai sehingga pestisida ini tidak tahan
disimpan dalam jangka waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat
sehingga aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan hama
sasaran. Produksinya juga belum dapat dilakukan secara massal karena keterbatasan
bahan baku (Wiratno, et al., 2013).
Pemanfaatan pestisida nabati dalam kegiatan bertani dianggap sebagai cara
pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga diperkenankan penggunaannya dalam
kegiatan pertanian organik. Namun demikian dalam pengembangannya di Indonesia,
terdapat beberapa kendala, antara lain: (1) pestisida nabati tidak bereaksi cepat
(knockdown) atau relatif lambat membunuh hama, tidak seperti pestisida kimia sintetik
yang relatif cepat dan hal ini disukai petani, sehingga mereka lebih memilih pestisida
kimia sintetik dalam kegiatan pengendalian OPT, (2) Membanjirnya produk pestisida ke
Indonesia, salah satunya dari China, yang harganya lebih murah serta longgarnya
peraturan pendaftaran dan perizinan pestisida di Indonesia kondisi ini membuat jumlah
pestisida yang beredar di pasaran semakin bervariasi dan hingga saat ini tercatat sekitar
3.000 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. hal ini membuat para pengguna/petani
mempunyai banyak pilihan dalam penggunaan pestisida kimia sintetik karena bersifat
instan sehingga menghambat pengembangan penggunaan pestisida nabati, (3) Bahan
baku pestisida nabati relatif masih terbatas karena kurangnya dukungan pemerintah
(Political Will) dan kesadaran petani terhadap penggunaan pestisida nabati masih rendah,
sehingga enggan menanam atau memperbanyak tanamannya, (4) peraturan perizinan
pestisida nabati yang disamakan dengan pestisida kimia sintetik membuat pestisida nabati
sulit mendapatkan izin edar dan diperjualbelikan. Akibatnya, apabila tersedia dana untuk
kegiatan yang memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak maka pilihan jatuh

8
kepada pestisida kimia sintetik karena salah satu persyaratan dalam pembeliannya adalah
sudah terdaftar dan diizinkan penggunaannya.

2.2 Progres Produksi Massal Biofertilizer


di Indonesia sendiri pembuatan inokulan rhizobia dalam bentuk
biakan murni rhizobia pada agar miring telah mulai sejak tahun 1938 (Toxopeus, 1938),
tapi hanya untuk keperluan penelitian. Sedangkan dalam skala komersial pembuatan
inokulan rhizobia mulai di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta sejak tahun 1981 untuk memenuhi keperluan petani
transmigran (Jutono, 1982).

Pada waktu itu inokulan diberikan kepada petani sebagai salah satu komponen
dalam paket yang diberikan dalam proyek intensifikasi kedelai. Penyediaan inokulan
dalam proyek ini berdasarkan pesanan pemerintah kepada produsen inokulan, yang
tadinya hanya satu produsen saja menjadi tiga produsen. Inokulan tidak tersedia di pasar
bebas, tetapi hanya berdasarkan pesanan. Karena persaingan yang tidak sehat dalam
memenuhi pesanan pemerintah ini, dan baru berproduksi kalau ada proyek,
mengakibatkan ada produsen inokulan yang terpaksa menghentikan produksi
inokulannya, pada hal mutu inokulannya sangat baik. Perkembangan penggunaan
inokulan selanjutnya tidak menggembirakan. Baru setelah dicabutnya subsidi pupuk dan
tumbuhnya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang dapat disebabkan pupuk buatan,
membangkitkan kembali perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati.

Pupuk hayati telah dikembangkan di beberapa laboratorium di Republik Cina


selama bertahun-tahun. Mikroorganisme termasuk rhizobium, bakteri pelarut fosfat, dan
cendawan arbuskula-mikoriza (AM) terus menerus diisolasi dari berbagai ekosistem dan
kinerja mereka dalam kondisi laboratorium dan lapangan dinilai. Program penelitian
ekstensif selama bertahun-tahun pada bakteri dan jamur menguntungkan telah
menghasilkan pengembangan yang luas kisaran pupuk hayati yang tidak hanya memenuhi
kebutuhan nutrisi dari berbagai spesies tanaman tetapi juga meningkatkan hasil panen
dan komposisi nutrisi.

Banyak percobaan di rumah kaca dan di kondisi lapangan telah menunjukkan


bahwa banyak tanaman yang berbeda merespon positif terhadap inokulasi mikroba.
Universitas Nasional Chung Hsing di Republik China sejak tahun 1988 telah aktif
memproduksi dan mendistribusikan inokulum yang efisien (pupuk hayati cair dan padat)

9
yang dapat mempertahankan hasil dan menghasilkan kedelai dengan kualitas unggul yang
diekspor dan dikonsumsi saat ini sebagai sayuran di beberapa negara.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Ayukea, F.O, L. Brussaarda, B. Vanlauweb, J. Sixd, D.K. Lelei, C.N. Kibunjae, and M.M.
Pullemana. 2011. Soil fertility management: Impacts on soil macrofauna, soil aggregation and soil
organic matter allocation. Applied Soil Ecology 48 (2011) 53–62

Elad, Y., I. Chet, and J. Katan. 1980. Trichoderma harzianum: A biocontrol agent
effective against Sclerotium rolfsii and Rhizocionia solani. Phytopathology
70:119-121.

Tombe, M., K. Kobayashi, Ma’mun, Triantoro, dan Sukamto. 1992. Eugenol dan
daun cengkeh untuk pengendalian penyakit tanaman industri. Makalah
disampaikan pada

Schumann, G.L. and Gleora J.D’ Arcy. 2012. Hungry planet, stories of plantd. The
American Phytopathological Society. St Paul, Minnesota, USA. 294 p.

Sumartini, 2016. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl Raya
Kendalpayak, Km8, Malang, Jawa Timur, Indonesia

Sunarlim, N dan M. Achlan. 1994. Kajian manfaat pupuk N dan Inokulasi


Rhizobium pada kedelai yang ditanam setelah padi sawah. Risalah
Hasil Penelitian Tanaman Pangan 3: 149-157.

Swift, M. and D. Bignell (Eds.). 2001.Standards Methods for Assessment of


Soil Biodiversity and Land Use Practice. International Centre for
Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research
Programme, Bogor, Indonesia.

Tenuta, M. 2006. Plant Growth Promoting Rhizobacteria: Prospect for


increasing nutrient acquisition and disease control. Available:
http://www.umanitoba.ca/afs/agronomists_conf/2003/pdf/tenuta_rhizo
bacteria.pdf . [Accessed 22 July 2006].

10
Venkataraman, G.S. 1979. Algal inoculation on rice fields. p. 331-321. In
International Rice Research Institute. Nitrogen and Rice. Los Banos,
Philippines.

Waluyo, S.H. 2005. Biological Nitrogen Fixation of Soybean in Acid Soils of


Sumatra, Indonesia. PhD Thesis, Wageningen University, The
Netherlands.

11

Anda mungkin juga menyukai