KELOLITIASIS
DI RUANG NYIMAS GANDASARI II RSUD GUNUNG JATI CIREBON
Disusun Oleh :
2. Anatomi Empedu
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar. Kantung empedu dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi kandung empedu
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
3. Fisiologi Empedu
Kandung empedu berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Kandung empedu mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon.
Sel - sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan
kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini
sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke
duodenum.
4. Etiologi / Penyebab
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting, yaitu: gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu,
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol
mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan
ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui
sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari
terbentuknya batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.
5. Manifestasi Klinis
Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada
epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh diperut, distensi
abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami
distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I
yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan
sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman.
Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan
makanan berlemak
yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah pada pagi hari karena metabolisme
di kandung empedu akan meningkat.
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu
sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam
empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar
hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan
peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga
merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis
sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung,
menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang
mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis
ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot
abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah.
Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di
sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah
kembung.
6. Patofisiologi
a. Batu pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini
adalah bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada
kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna
adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan
karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi
yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi
pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.
b. Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen
sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu)
dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa
beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok septik.
c. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.
Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang
disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala
gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah
diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.
d. Kolangiografi Transhepatik Perkutan.
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke
dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan itu
relatif besar, maka semua komponen pada sistem bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan pajang duktus koledokus, duktus
sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
e. Pemeriksaan Pencitraan Radionuklida atau kolesentografi.
Dalam prosedur ini, peraparat radioktif disuntikan secara intravena. Kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat ekskeresikan kedalam sinar bilier.
Memerlukan waktu panjang lebih lama untuk mengerjakannya membuat pasien
terpajan sinar radiasi.
8. Penatalaksanaan
a. Non Bedah, yaitu :
1) Therapi Konservatif
a) Pendukung diit : Cairan rendah lemak
b) Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
c) Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit
d) Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
e) Istirahat
2) Farmako Therapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk
melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada
pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk
karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh
garam- garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia
Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan
penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu
berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3
bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu
larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam
hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
3) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam
susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya:
buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang
dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Makanan
seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bumbu-bumbu yang
berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol harus dihindari.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluarkan gejala
gastrointestinal ringan.
4) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung
empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah batu tersebut
menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan
oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik.
Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat redaman air atau kantong yang
berisi cairan. Gelombang kejut yang dikonvergensikan tersebut diarahkan
kepada batu empedu yang akan dipecah.Setelah batu dipecah secara bertahap,
pecahannya akan bergeraj spontan dikandung empedu atau doktus koledokus
dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam
empedu yang diberikan peroral.
5) Litotripsi Intrakorporeal.
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau
doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan
diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau derbis
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut dapat diikuti
dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi atau laparoskopi.
Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain dapat dipasang selama 7
hari.
b. Pembedahan
1) Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi cholesistitis
atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh dengan tindakan
konservatif .
Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy :
a) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.
b) Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
c) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang akan
dilakukan pada post operasi.
Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy
a) Posisi semi Fowler
b) Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
c) Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri
2) Kolesistektomi
Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus
sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada sebagian besar kasus
kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose) ditempatkan dalam kandung
empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi untuk mengalirkan
darah, cairan serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben.
3) Minikolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik), dilakukan
lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada
umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup
dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) umtuk membantu
pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen.
Sebuah endoskop serat optic dipasang melalui luka insisi umbilicus yang
kecil. Beberapa luka tusukan atau insisi kecil tambahan dibuat pada dinding
abdomen untuk memasukkan instrumen bedah lainnya ke dalam bidang
operasi.
4) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
9. Komplikasi
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
e. Perikolesistitis
f. Peradangan pankreas (pankreatitis)
g. Perforasi
h. Kolesistitis kronis
i. Hidrop kandung empedu
j. Empiema kandung empedu
k. Fistel kolesistoenterik
l. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu
empedu muncul lagi)
m. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh
alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi
Administrasi analgetik :.
a. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
b. Cek riwayat alergi
c. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
d. Monitor TTV
e. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
f. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.
2 Ketidakseimba Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi
ngan nutrisi keperawatan jam klien a. Kaji adanya alergi makanan.
kurang dari menunjukan status nutrisi b. Kaji makanan yang disukai oleh
adekuat dengan KH: klien.
kebutuhan a. BB stabil, c. Kolaborasi team gizi untuk
tubuh b. Nilai laboratorium penyediaan nutrisi terpilih sesuai
terkait normal, dengan kebutuhan klien.
c. Tingkat energi d. Anjurkan klien untuk
adekuat, masukan meningkatkan asupan
nutrisi adekuat nutrisinya.
e. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
f. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori.
g. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi.
Monitor Nutrisi
a. Monitor BB
jika memungkinkan
b. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan.
c. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
d. Monitor adanya mual muntah.
e. Monitor adanya gangguan dalam
input makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
f. Monitor intake nutrisi dan kalori.
g. Monitor kadar energi,
kelemahan dan kelelahan.
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Kontrol infeksi :
b/d imunitas keperawatan … jam tidak a. Bersihkan lingkungan setelah
tubuh terdapat faktor risiko infeksi dipakai pasien lain.
menurun, dan dg KH: b. Batasi pengunjung bila perlu.
prosedur Tdk ada tanda-tanda c. Intruksikan kepada pengunjung
invasive. infeksi untuk mencuci tangan saat
AL normal berkunjung dan sesudahnya.
V/S dbn d. Gunakan sabun anti miroba
untuk mencuci tangan.
e. Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan.
f. Gunakan baju dan sarung
tangan sebagai alat pelindung.
g. Pertahankan lingkungan yang
aseptik selama pemasangan alat.
h. Lakukan dresing infus dan dan
kateter setiap hari Sesuai
indikasi
i. Tingkatkan intake nutrisi dan
cairan
j. Berikan antibiotik sesuai
program.
Guyton, H., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Keperawatan, Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (9 ed.). Jakarta,EGC.
Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1.
Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta
Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Tengadi, K, dkk., 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Bagian III.
Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta