Anda di halaman 1dari 15

Cerpen Politik: Para Bisu Berbicara

Essenza Minggu, 3 Oktober 2021 Cerpen

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

Sepasang mata aswad berkilat gemilang bagai binar dalam temaram malam. Sang pemilik netra
berlari kecil menghampiri kerumunan di tengah panasnya Sang Baskara dunia yang menyuar
suryanya kepada kumpulan manusia-manusia pinggiran kota setelah seharian mereka bekerja panas-
panasan.

Pun dengan lelaki yang masih berlari itu. Pakaiannya sekumuh jalanan yang ia susuri. Kulit kotor
bercampur debu polusi dengan keringat lekat lengkap bagai pelengkap hias tubuh kurus berisi tulang
rapuh tersebut. Sandal usang yang tampak telah diperbaiki berkali-kali dan hampir rusak lagi, tidak
sama sekali menghalangi langkahnya.

“Pejabat itu akan datang kembali!” sorak-sorai salah satu penduduk kecil negara dengan senyuman
selebar pulau-pulau kaya di Indonesia.

Kakek tua dengan kaos bergambar pasangan kebanggaan salah satu partai politik yang sedikit
berlubang di area punggung dipadu celana cokelat selutut menanggapi dengan bangga, “saya masih
menyimpan kaos mereka, sudah empat tahun.”

“Tapi mereka tidak menepati janji,” ucap seorang ibu seraya mendekap anaknya dalam endongan
kain, sembari menyuapi Sang Anak dengan nasi yang mulai mengering dan sayur kangkung layu yang
diolah dan dimasak sesederhana mungkin.

“Yah, namanya juga pejabat negara. Mungkin sibuk mengurusi banyaknya permasalahan di
Indonesia,” jawab Si Kakek Tua.

“Kemiskinan di daerah kita juga termasuk permasalahan negara,” balas Sang Ibu kembali.

Lelaki yang tadi berlari menghampiri perkumpulan diskusi kecil mengenai kewajiban dan janji Sang
Pejabat Negara yang beberapa tahun silam memberi harapan kemajuan pada daerah kumuh
tempatnya lahir, meniti kehidupan, dan mempersiapkan kematian nantinya. Sungguh, sebagai
manusia, ia tidak pernah bergerak keluar dari lingkaran kekumuhan. Sepanjang masa hidupnya
dihabiskan dalam perumahan gang kecil sudut kota, di sebelah saluran air pembuangan limbah
pabrik sesekali menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga pula. Aroma tak sedap saluran
pembuangan tidak jarang menguar bebas pada indera penciuman tiap manusia yang mendekatinya.

Ia berkata, “mungkin nanti ada saatnya kita kebagian. Percaya saja lah pada janji mereka, mereka itu
orang berpendidikan tinggi dan mengerti konstitusi negeri.”

Ibu-ibu itu membuang sisa nasi kering di makanan anaknya sembari kembali berujar membalas
perkataan lelaki yang baru saja bergabung, “empat tahun itu lama, loh. Giliran masa jabatannya mau
habis baru ke sini lagi.”

“Sudah-sudah, Si Pejabat ingin datang ke sini lagi mungkin ingin menepati janji. Dia butuh dua
periode untuk menuntaskan semua janjinya. Kan daerah di satu kota saja sangat luas.” Kakek Tua
melipat tangannya di depan dada sambil berkata demikian.

“Lalu kalau dua periode didapatkan namun tetap tidak menepati semua janjinya, bagaimana?
Menambah periode lagi? Tidak bisa begitu, dong. Peraturan tetap peraturan, janji tetap janji.” Ibu-
ibu itu menyambar lagi, kini menatap Si Kakek dengan tatapan bingung.

Baru saja Sang Lelaki bermata gelap ingin menjawab, sorak-sorai penduduk kembali terdengar. Anak-
anak kecil berlarian mendekati suara mobil yang berhenti tepat di depan pemukiman kotor.
Beberapa motor aparat mengelilingi mobil Si Pejabat, berusaha melindunginya dari marabahaya
meskipun tak mungkin ada yang berani menyerangnya di saat seperti ini. Bahkan semua penduduk
seolah menyambut senang akan kehadirannya.

“Mohon Bapak-Bapak, Ibu-Ibu menjauh!” perintah Si Aparat seolah para penduduk sangat
membutuhkan kehadiran Sang Pejabat. Seolah Sang Pejabat adalah Dewa Penyelamat.

Ketika Sang Pejabat menunjukkan rupanya, turun dari mobil sedan berwarna hitam cemerlang yang
bersih, lebih bersih dari pemukiman ini sendiri, para penduduk kembali menyuarakan kegembiraan
serta kepercayaan. Beliau memakai kemeja rapi dan celana hitam panjang berbahan bagus.
Sepatunya keren, bermerk mahal. Butuh waktu bertahun-tahun bagi para penduduk untuk
memulung sampah hanya demi membeli barang seharga sepatu Sang Pejabat. Kacamata gelap
bertengger di batang hidungnya, menghalau silau sinar matahari dari pandangan matanya. Rambut
Si Pejabat masih sangat rapi tanpa setitik pun peluh keringat. Beliau melambaikan tangan pada
masyarakat yang menyambutnya.

“Bagaimana kabarnya, Bapak-Ibu sekalian?” tanya Sang Pejabat dengan senyum mengayomi.
Laki-laki yang berlari di awal tadi menyelinap di antara kerumunan, mendekati eksistensi pejabat
tersebut. Kemudian langsung menyahut, “Pak, kami percaya pada, Bapak. Tolong bantu kami!”

Mendengar kata ‘Tolong’, raut wajah Sang Pejabat berubah seratus delapan puluh derajat. Yang
tadinya seakan ingin melindungi, kini seolah ingin menjauhi. Namun beliau berlaga profesional
dengan menanggapi Si Pria usang dan menanyakan keluhannya.

“Lahan saya bekerja akan digusur. Itu satu-satunya mata pencaharian saya, Pak. Kalau sampai jadi
digusur, nanti saya sekeluarga makan apa? Anak saya harus sekolah juga, Pak. Tolong,” keluhnya.

“Pak, saya juga ada permintaan, Pak. Empat tahun lalu Bapak bilang akan membangun fasilitas
kesehatan di daerah ini, tapi sampai sekarang saya belum lihat ada pembangunan puskesmas di
sekitar sini,” tambah seorang penduduk dengan baju kebesaran, “anak saya sakit-sakitan jadi agak
sulit kalau harus bolak-balik ke rumah sakit yang agak jauh.”

“Pak, kenapa nenek saya mencuri sandal tapi dihukum begitu lama, tapi teman Bapak sesama
pejabat yang korupsi justru dikurangi masa tahanannya? Kasihani nenek saya, Pak. Nenek mencuri
karena butuh uang. Pak tolong sampaikan ini pada hakim dan penegak hukum, Pak!”

“Pak, tolong! Polusi dan debu di daerah ini sangat parah! Air kami juga jadi kotor. Anak-anak jadi
sering sakit karena kondisi ini, Pak! Bukannya ada peraturan tentang lingkungan?’

Sang Pejabat melirik ke arah aparat. Sesaat kemudian para aparat mengamankan beberapa warga
yang mengeluh dan menyuruh mereka diam, mundur menjauhi Si Pejabat. Sementara Si Pejabat
berdeham kecil sambil membenarkan posisi jam mahal yang melingkari pergelangan tangannya.
Diusap satu persatu batu akik dalam kukungan cincin besar di jari telunjuk dan jari manis tangan
kanannya.

“Bapak-Ibu, mohon tenang!” tegas para pihak pelindung pejabat.

Sang pejabat melepas kacamata hitamnya, sedikit memicingkan mata untuk beradaptasi dengan
sinar matahari yang menyilaukan pandangan matanya. “Jadi begini ya, Bapak-Ibu sekalian,” beliau
membuka suara, “semua keluhan itu tidak bisa saya wujudkan satu per satu karena di luar kendali
saya.”

“Loh, kenapa, Pak? Bukannya Bapak ini wakil rakyat?” tanya salah seorang warga, heran.
“Karena saya tidak memegang kendali semua pihak yang bersangkutan. Penyelesaian permasalahan
itu ‘kan ada bagiannya masing-masing,” jawab Sang Pejabat dengan santai.

“Kalau begitu tinggal Bapak sampaikan saja keluhan kami ke pihak yang bersangkutan?”

“Tidak mudah, Pak. Ada banyak prosedur yang harus dilewati dan akan memakan banyak waktu.
Saya ‘kan juga punya atasan, nanti harus sesuai kesepakatan atasan-atasan saya,” balas Sang Pejabat
sebelum menyadari adanya kesalahan pada kalimatnya dan segera membenahi, “maksudnya
kesepakatan bersama untuk kesejahteraan rakyat.”

Para penduduk terdiam sejenak berusaha mencerna jawaban dari Sang Pejabat. Sekarang, Sang
Kakek Tua berbaju partai yang angkat bicara, “ini ‘kan juga untuk kesejahteraan rakyat, Pak. Sesuai
konstitusi negeri ini, Pak. Kami tahu peraturan kebijakan dibuat untuk kebaikan masyarakat, tapi
kami belum mendapat semua dampak kebaikan itu. Dana bantuan sosial kami juga lama turunnya.
Kami jadi bingung harus minta tolong kepada siapa lagi selain pada Bapak yang menjanjikan
kesejahteraan empat tahun lalu.”

“Tapi saya tidak bisa seenaknya mengambil keputusan, Pak. Harus ada kesepakatan dengan pihak
pejabat lainnya, jadi mohon bersabar.” Sang Pejabat tampak kewalahan dengan semua keluhan
rakyat.

“Lantas, Bapak jelaskan saja fungsi pancasila kepada pihak pejabat lainnya? Agar mengerti peran
pancasila dalam kesejahteraan rakyat. Bapak paham konstitusi dan demokrasi, bukan?” solusi salah
seorang rakyat yany tentunya tidak didengar oleh Si Pejabat.

“Betul itu Pak, demokrasi. Bukan masalah kesepakatan bersama yang diambil dari suara terbanyak,
tetapi dari semua suara yang harus didengar. Masa dari kesepakatan itu tidak ada yang mendengar
suara rakyat? Katanya negeri ini demokrasi dan memiliki konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar
yang menjadi konstitusi itu ada pancasila, loh, Pak. Sila kedua dan sila kelima.”

“Atau jangan-jangan Bapak takut sendiri dengan pihak pejabat lainnya? Bapak tidak berani
mengutarakan keluhan kami?”

“Loh, kenapa takut begitu, Pak? Bapak ‘kan mewakili hak suara kami.”
“Bapak ini pejabat negara bukan kacung negara, kenapa takut berpendapat di depan pejabat
lainnya?”

Bising.

Suara masyarakat mulai bising memenuhi gendang telinga Sang Pejabat. Menuduh macam-macam
yang tentu sangat mengganggu Sang Pejabat.

“Loh, kenapa ini? Semua tuduhan itu tidak benar,” balas Si Pejabat lalu melanjutkan, “saya berjanji
akan membenahi semua keluhan Bapak-Ibu apabila saya terpilih lagi nantinya. Maka dari itu saya
berjanji akan memberi kesejahteraan bagi para Bapak-Ibu semua di sini.”

Beberapa orang dari pihak Sang Pejabat mengangkut satu per satu kardus dari bagasi mobil. “Nah
ini, ada baju partai saya untuk Bapak-Ibu sekalian. Jangan lupa pilih saya, ya.”

“Hah? Baju partai lagi?” ujar Si Kakek Tua sembari memandangi baju partai yang sekarang ia
gunakan dengan baju partai yang sedang dibagikan, bermotif sama hanya berbeda di beberapa
bagian tulisan.

Sekeras apapun masyarakat mengangkat suara, rasanya hanya cuma-cuma saja. Masyarakat bagai
orang bisu yang kesulitan menyampaikan pesan.

Karena ketika para bisu berbicara, akan kalah dengan dengungnya musik kekuasaan.

(***)

Plester Cinta

Bola basket sedang memantul kesana-kemari mengikuti arahan tangan remaja yang sedang asik
berebut dan berlari. Sorak-sorak gembira dan histeris terdengar dari bangku penonton.
Walaupun hari ini adalah pertandingan basket remaja putri tetap saja tidak kalah seru saat remaja
putra yang bermain. Semua itu karena memang mereka sudah cukup jago dan mampu membuat
siapapun terkagum-kagum.

Seorang wanita dengan rambut panjang terikat sedang berusaha membawa bola menuju Ring lawan
namun hadangan terus terjadi. Hingga akhirnya bola mampu masuk ring namun membuat wanita
bertubuh jangkung tersebut jatuh tersungkur karena melawan arus lawan.

Priiiit suara wasit meniupkan peluit menggema.

“Medis! Tania luka tolong” ucap wasit.

Seorang pria bertubuh mungil datang berlari dengan membawa kotak P3K. Pertandingan mau tidak
mau akhirnya dijeda terlebih dahulu.

Tania telah dibawa ke pinggir lapangan dan pertandingan mulai berjalan kembali. “Aku enggak
kenapa-napa Do” ucap Tania pada Rido yang sedang mengobati lukanya.

“Iya aku tau, hati-hati bisa dong Tan. Kamu cewek masa banyak lecet di mana-mana”

Tania cemberut “Terus kalau aku penuh luka kamu enggak suka aku lagi gitu?” ucap tania.

Rido menempelkan plester pada dagu dan lutut Tania setelah itu Rido mengacak-acak rambut Tania
“Aku bakal jadi plester kamu” ucap Rido.

“Kalau sudah selesai diobatin bisa kalian pacarannya nanti dulu, pertandingan penting ini” ucap
seorang pemain yang melipir sedikit ke pinggir lapangan.

Tania berlari dan mendekati wasit menandakan dirinya sudah siap bertanding. Rido dan Tania jelas
berbeda bahkan banyak yang meledek pasangan ini. Bagaimana tidak mereka memiliki tinggi badan
yang berbeda dan Ridolah yang pendek disini.

Namun Rido sudah bertekad, bahkan saat ia memutuskan untuk masuk ekskul PMR itu semua untuk
Tania. Agar Rido dapat mendukung Tania selalu.
Baca Juga: Cerita Silat

2. Cerpen Remaja Persahabatan

Cerpen Remaja Persahabatan

Selain kisah romantis ada juga cerpen remaja yang tidak kalah populer yaitu cerpen dengan tema
persahabatan. Sehingga pembaca akan disuguhkan dengan kisah manis persahabatan para remaja.
Berikut cerpen persahabatan remaja yang dapat dijadikan referensi membaca:

Cerpen Remaja Persahabatan

Kita Belum Jadi Apa-Apa

Dio sedang berjalan mengikuti Erwin dari belakang bahkan tidak mempedulikan saat Erwin
mengoceh dan meminta Dio untuk berhenti mengikutinya.

Hingga akhirnya mereka akrab dan Erwin mau menerima Dio sebagai temannya. Sehingga saat di
sekolah ataupun pulang mereka selalu bersama. Dio selalu menemani Erwin berjalan menuju
rumahnya yang tidak jauh dari terminal.

Erwin bilang bahwa rumah Dio searah dengan terminal dan berjalan bersama Dio lumayan tidak
membuat perjalanan merasa melelahkan walaupun cukup jauh.

Hal itu terus berlanjut hingga pada suatu hari Erwin merasa curiga dengan Dio yang selalu tidak mau
saat Erwin hendak menemaninya menunggu angkutan.

Saat itu saat Erwin seharusnya pulang justru ia memperhatikan Dio dari jauh dan benar saja semua
keanehan terjawab sudah. Dio menaiki sebuah mobil pribadi mewah yang berhenti tepat di terminal.

Erwin sudah curiga sejak pertama kali Dio yang seperti anak orang kaya kenapa harus naik angkutan
umum. Tentu saja Erwin marah dengan Dio yang membohonginya dan mereka bertengkar cukup
hebat keesokan harinya.

Saat itu ucapan Dio menyadarkan Erwin “Gue bukan mau nipu elo tapi gue benaran mau bersahabat
sama elo Win” ucap Dio.
“Kenapa anak orang kaya mau main sama anak pemulung kaya gue”

Dio mendaratkan tonjokan tepat di wajah Erwin hingga ia jatuh tersungkur “Yang kaya itu orang tua
gue sama yang pemulung itu orang tua elo, bukan kita. Saat ini kita belum jadi apa-apa. Gue tulus
mau temenan sama elo yang juga tulus sama gue, enggak pernah manfaatin uang gue”

Erwin menangis terharu mendengar sahabatnya yang selama ini rela berbohong dan jalan jauh demi
bersamanya.

3. Cerpen Remaja Sedih

Cerpen Remaja Sedih

Kisah sedih memang memiliki peminatnya tersendiri, walaupun tidak menyenangkan seperti cerpen
remaja dengan tema romantis atau yang lainnya cerpen sedih juga sangat mampu mengaduk
perasaan. Dimana pembaca akan dibuat terpuruk, marah dan terharu saat membacanya. Berikut
cerpen dengan kisah sedih yang dapat dijadikan referensi:

Cerpen Remaja Sedih

Seragam Reka

Matahari masih malu-malu untuk bersinar, justru embun yang dengan mudahnya menyeruak
membuat pagi itu terasa lebih gelap dan dingin. Terlihat seorang remaja laki-laki yang sedang
menggosokkan punggung tangannya untuk memberikan sedikit kehangatan.

Seragam putih birunya sama sekali tidak membantu membuat tubuhnya hangat. Namun ia masih
bersyukur hujan tidak turun dan membuat seragamnya semakin kusam.

Lampu lalu lintas terus ia perhatikan dengan sangat cermat sehingga tidak akan terlewatkan
perubahan warnanya. Saat lampu berubah menjadi merah Reka berjalan menerobos lalu lintas
untuk menjajakan koran.

Tidak jarang terkadang Reka menerima penolakan, bahkan ada yang memberikan tatapan sinis
padanya. Sebenarnya apa salahnya? Ini kan pekerjaan halal bukan mencuri ataupun hal buruk
lainnya.
“Woi Reka! Cepat lagi uda mau masuk” ucap seorang remaja yang mengenakan seragam putih biru
seperti Reka yang lewat di depan Reka dengan motornya.

Reka tersenyum “Iya, ini benar lagi gue nyusul” ucap Reka sembari menyusuri jalan yang mulai padat
dengan kendaraan.

Saat sudah di pinggir jalan Reka memasukkan sisa korannya ke dalam tas. Walau masih tersisa cukup
banyak Reka harus bersyukur berarti hari ini sebesar inilah rezekinya.

Koran sisa ini tidak dapat dijual lagi karena saat siang sudah tidak ada yang mencari koran.
Sedangkan Reka tidak bisa melanjutkan berjualan karena jam masuk sudah mulai mendekat.

Setidaknya hari ini adiknya di rumah bisa makan siang nanti setelah Reka pulang dari sekolah.

4. Cerpen Remaja Sekolah

Cerpen Remaja Sekolah

Kisah remaja saat bersekolah memang cukuplah unik-unik dan menarik untuk diceritakan. Berikut
cerpen remaja sekolahan yang dapat dijadikan referensi membaca:

Cerpen Remaja Sekolah

Kode Ujian

Kegaduhan kelas tidak terlihat sama sekali, justru ketegangan dan kesunyian yang saat ini sangat
terasa. Semua itu karena saat ini sedang ada ujian di sekolah dan tentu saja ini menjadi momen
remaja paling diam saat KBM.

Namun percayalah itu hanya yang terlihat dari luarnya saja tetapi aslinya justru menyimpan
kegaduhan yang teramat sangat dan hanya dapat dimengerti oleh siswa-siswi sekolahan.

Reno sedang asik menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, semua itu ia lakukan sengaja untuk
memberikan sinyal pada temannya yang ada di belakang. Dimana jarinya akan terangkat
menandakan butuh jawaban dari nomor sesuai jarinya.
Marta yang melihatnya mulai membaca sinyal dan berdehem “Ehem, ehem, ehem” dimana 3 kali
deheman menandakan jawaban adalah C.

Haikal merebahkan kepalanya pada meja sembari berusaha memasang wajah seserius mungkin
untuk membuat guru pengawas tidak mencurigainya.

Setelah itu Haikal menoleh ke arah kiri tempat Reno duduk sembari membuka mulutnya tanpa suara
yang hanya dapat dimengerti mereka. Reno yang mengerti memainkan jarinya kembali sembari
mengacak-ngacak rambut dan memperlihatkan 3 jarinya menandakan jawaban C.

Kertas-kertas kecil mulai dioper dari satu bangku ke bangku yang lainnya, tentu saja isi kertas
tersebut adalah jawaban atas soal yang begitu banyaknya.

Namun perlu diketahui para remaja ini sebenarnya menggantungkan nasib mereka dari teman ke
teman tanpa tahu bagaimana akhirnya. Semua itu karena terkadang jawaban yang menyebar tidak
diketahui asal usulnya dan apakah itu benar atau tidak.

Saat ini yang terpenting adalah jumlah soal yang hampir 100 soal ini habis terisi, masalah jawaban di
akhir saja dipikirkan. Toh nanti remedial bersama-sama juga.

Namun hal ini tentu saja tidak dilakukan oleh semua remaja yang bersekolah masih ada mereka yang
jujur dengan giat belajar dan mengerjakan semuanya sendiri.

Tentu saja saat hasil keluar mereka yang menggunakan otak sendiri memperoleh nilai yang cukup
memuaskan. Sedangkan yang bermain kode harus menyesuaikan kehokian, apakah setidaknya
jawaban mereka bisa membuat nilai aman.

Justru remedial bukanlah momok menakutkan karena tentu saja mereka akan melaluinya bersama-
sama. Mereka semua belum sadar, dunia yang nantinya akan dihadapi tidak bisa dengan mudah
diselesaikan hanya dengan kode saja.

Baca Juga: Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Cerpen

5. Cerpen Remaja Religi


Cerpen Remaja Religi

Cerpen Remaja Religi

Berbeda Tapi Sama

oleh: siti ismail liana

Terlihat seorang pemuda yang sedang gelisah dalam duduknya diantara barisan shaf salat di dalam
sebuah masjid yang tak terlalu besar itu. Dia sebenarnya sedang mengikuti salat shubuh berjamaah
di masjid dekat rumahnya. Namun sekarang masih berdoa, sedangkan ia sudah sangat ingin beranjak
pergi karena teringat akan kartun kesenangannya yang akan tayang sebentar lagi.

Akhirnya pemuda itupun menyerah. Dengan segera ia mengubah posisinya untuk beranjak pergi.
Sayangnya, ketika kakinya hendak melewati pintu keluar matanya tak sengaja menangkap suatu
pemandangan yang aneh menurutnya. Dan jiwa-jiwa kekepoan-nya pun otomatis berkibar dengan
semangat.

Iya, pemuda itu ternyata termasuk dalam tipe orang yang memiliki tingkat ke-kepo-an yang sangat
tinggi terkait dengan hal-hal yang baru dijumpainya. Lantas ia lupa begitu saja dengan acara kartun
kesayangannya itu. Tanpa disadari, dia tetap berdiri mematung sambil terus mengamati seseorang
yang menarik perhatiannya tadi.

“Dek”

“ah iya…” pemuda itu terkejut ketika seseorang yang diamatinya sedari tadi ternyata sudah berdiri
tepat dihadapannya sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajah linglungnya. Entahlah,
mungkin pemuda itu terlalu banyak berpikir dan berspekulasi hingga lupa dengan keadaan di
sekitarnya.

“Kamu kenapa sih dek kok dari tadi liatin kakak terus, emangnya ada yang aneh sama kakak?”
Pemuda yang lebih tua itupun mengeluarkan uneg-unegnya sedari tadi. Sorot matanya tajam
menusuk lawan bicaranya.

Sedang pemuda yang lebih kecil itupun terkesiap dan segera menyadari situasi yang sedang
dihadapinya saat itu.
“Ah, tenang dulu kak, aku ngga berniat aneh-aneh kok. Cuman aku ngerasa aneh aja dengan cara
salatnya kakak.”

Yang diajak bicara hanya menautkan alisnya bingung. Tak ada yang aneh kok, pikirnya begitu. Namun
tiga detik kemudian ia baru menyadari hal apa itu. Sorot matanya berubah lembut. Dan ia malah
mengajak pemuda yang lebih kecil darinya itu untuk mengobrol di taman samping masjid.

“Jadi hal apa yang menurutmu aneh itu dek?” yang lebih tua memastikan apakah yang dipikirkannya
itu benar.

“Oh, itu kak. Kenapa tadi kakak mengangkat tangan seperti sedang berdoa, padahal kakak kan masih
salat tadi. Memangnya boleh ya?” Nah, benar dugaannya. Ia tadi salat di

lingkungan orang yang tidak menggunakan qunut ketika salat shubuh. Pantas saja anak ini sedari tadi
memasang wajah penasaran terus.

“Emmm, sebelumnya nama kamu siapa dek?”

“Rio kak”

“Oh, kelas berapa sekarang?”

“Kelas 5 SD Kak.”

“Hemm, Rio, kenalkan nama kakak Deka. Dan hal yang adek lihat tadi namanya membaca qunut.
Kamu pasti belum pernah liat ya.”

Rio pun hanya menganggungkan kepalanya saja sebagai guna merespon pernyataan Deka.

“Wajar sih kalau kamu belum tau, masih kecil soalnya.” Tambah Deka lagi sambil tertawa kecil.

“Kita itu sama Rio, sama-sama Islam kok. Ya meski kakak salatnya agak beda sama kamu, tapi intinya
sama, kita menghadap Allah Swt. Kamu denger kakak ya, Islam di luaran sana itu jauh lebih
baaaaaaaanyak lagi perbedaan-perbedaan yang bakalan kamu temui, nggak cuma sama kakak aja
yang beda.

Ada laki-laki yang suka pakai baju kaya gamis, ada yang nggak mau pake celana panjang di bawah
mata kaki, perempuan yang pakai cadar kemana-mana, sampai perempuan yang ngga pernah pakai
kerudung pas keluar rumah-pun itu tetap seorang muslim jika dia menyatakan diri sebagai penganut
agama Islam.

Dan yah, bagaimanapun cara beribadah mereka, kamu jangan pernah ya yang namanya menghina
dan mengejek kebiasaan mereka lalu menganggap kalau cara yang kamu lakukan adalah yang paling
benar.” Jeda sejenak, Deka mengambil nafas sekaligus mengamati reaksi dari Rio. Sedang Rio sendiri
memberikan perhatiannya secara penuh kepada Deka sedari tadi.

5+ Contoh Cerpen Tentang Pendidikan Singkat Penuh Makna

“Ya enggak lah Kak, ngapain juga aku ngehina, palingan juga aku kepoin aja kayak kakak gini.”
Sambung Rio menanggapi Deka, karena ia belum memuka obrolan kembali.

“Wahh sip sip, mantap Yo. Sekalian nambah wawasan juga itu biar tambah pinter. Nah, mereka itu
punya dasar masing-masing gimana mereka beribadahnya Yo. Mudah kata, mereka punya panutan
alias ustadz masing-masing gitu. Dan meskipun hasil pemikiran ustadz-ustadz itu berbeda tetapi
sebenarnya intinya sama, bersumber dari al-Qur’an dan

Hadits semua.”

“Loh, kalo sumbernya sama kenapa hasilnya bisa beda Kak?” Rio pun mengeluarkan pertanyaan yang
mengganjal di pikiran. Kedua alisnya menukik cukup tajam menunjukkan ketidakpahamannya.

“Bisa kok. Misalnya nih Yo, kamu pas lagi main ternyata di sms sama ibuk kamu, terus disuruh buat
beli gula waktu pulang. Tapi pas kamu mau tanya lagi sama ibukmu mau beli

gula apa ternyata hp kamu udah nggak bisa nyala kehabisan batrai. Jadinya pas pulang main kamu
beliin ibuk kamu gula pasir aja, soalnya itu yang kamu tau.”

Si Rio ngangguk-ngangguk aja dari tadi sambil ngedengerin Deka cerita.

“Eh ternyata, pas kamu kasih ke ibuk kamu, beli gulanya salah, bukan gula pasir tapi harusnya gula
aren.”
“Jadi yang salah ibuk dong kak, bukan aku.” Cerocos Rio langsung begitu Deka memberi jeda.

Deka senyum aja denger itu sebelum dia ngerespon lagi. Ia menatap Rio dengan raut wajah yang
serius.

“Rio, bukan itu poin utamanya disini. Ibaratnya disini sms itu adalah satu-satunya petunjuk yang ada
dan kita tidak bisa mendapatkan petunjuk yang lain lagi. Sehingga keputusan selanjutnya ditentukan
oleh kamu, si pelaksana perintah itu.

Nah begitu juga dengan Islam, oleh Allah Swt. kita diberikan petunjuk dalam bentuk al-Qur’an dan
Hadits yang disampaikan melalui Baginda Rasulullah. Dimana sumber itu sudah paten dan setelah
Rasulullah wafat tidak ada lagi yang bisa memberikan petunjuk. Sedangkan zaman terus bergerak
dan situasi serta kondisi lingkungan pun begitu.

Alhasil akan banyak cara beragama yang harus disesuaikan pula. Misalnya seperti masjid pada zaman
Rasul dulu kan hanya beralaskan tanah, sedangkan sekarang masjid berlantai marmer, ber-AC, diberi
sajadah juga, dan sebagainya. Dan yang paling berhak mengambil keputusan selanjutnya guna
pedoman kita dalam beragama adalah ulama-ulama alias ustadz. Karena tidak semua muslim
mampu melakukannya Yo.

“Oooh, begitu ya kak.” Rio mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

“Iya Yo. Dan semua ulama yang berhak mengambil keputusan itu adalah orang-orang yang
dipercaya, berilmu dan kompeten dibidangnya. Jadi kita sebagai orang awam yang tidak menguasai
keilmuan semacam itu tidak boleh mempersalahkan yang berbeda dengan kita.”

“O iya dong kak, pasti itu. Hehe.” Rio menjawab dengan antusias disertai cengiran lebar di wajahnya
yang menggemaskan itu.

Deka pun senyum menanggapinya, tak lupa tangan kanannya mengacak rambut Rio gemas. Tak
berselang lama ia teringat dan segera melirik jam tangannya dan menyadari jika ia sudah cukup lama
berbincang dengan Rio hingga matahari sudah sangat nampak cerah di pagi itu.

“Nah Rio. Ngga terasa sekarang sudah siang, kakak harus segera pergi. Dan kamu harus siap- siap ke
sekolah kan.” Terang Deka, ia ingin melanjutkan perjalanannya yang terhenti tadi.
“Emm iya kak. Terimakasih banyak penjelasannya. Hati-hati ya dijalan.” Rio berdiri mengantarkan
Deka hingga ke pinggir jalan raya. Ia terus sajamemasang senyum sambil melambai-lambaikan
tangannya hingga Deka menghilang di ujung jalan.

“Hahhh, sudah siang ternyata. Aku harus segera bersiap nih.” Gumam Rio sambil agak berlari untuk
kembali ke rumahnya.

Anda mungkin juga menyukai