Anda di halaman 1dari 56

TUGAS TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI

Disusun Oleh :

Linea sakha putri 3218406

Nia Kartila 4215005

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDONESIA TANJUNGPINANG

TANJUNGPINANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut organisasi untuk

mengambil langkah strategis agar organisasi dapat terus berkembang dengan baik

sesuai dengan perubahan yang terjadi. Perubahan untuk menjadi lebih baik, tidak

akan terlepas dari sejumlah tantangan yang akan terus menghadang, apalagi di era

yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian. Berdasarkan konsep

persaingan berbasis waktu maka siapa yang cepat dia yang menang, baik lebih

cepat dalam menawarkan produk baru dari pesaingnya (fast to market) maupun

kecepatan merespon permintaan pelanggan terhadap produk yang telah ada (fast

to product). Oleh karena itu organisasi yang ingin terus berkembang harus

merespon dengan cepat tantangan-tantangan yang ada.

Tingkat persaingan yang tinggi harus dihadapi perusahaan dengan kemampuan

untuk menciptakan sesuatu yang dapat membedakan dengan pesaingnya. Dengan

adanya perbedaan tersebut berarti perusahaan telah memiliki keunggulan

kompetitif. Namun, tujuan dari organisasi seharusnya tidak hanya sampai pada

keunggulan kompetitif saja tetapi keunggulan kompetitif tersebut sifatnya

berkelanjutan atau tidak hanya sementara sehingga dikatakan perusahaan

memiliki keunggulaan kompetitif yang berkelanjutan.

Untuk membentuk keunggulan yang kompetitif, maka semua komponen dalam

perusahaan harus melakukan kerja keras dan kreativitas ekstra agar mampu

menjawab tantangan usaha ini, yaitu dengan salah satu cara membentuk dan
melakukan proses internalisasi budaya perusahaan yang kuat dan sehat kepada

seluruh insan perusahaan.

Good Corporate Governance (GCG) merupakan unsur penting di industri

perbankan mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan

yang semakin meningkat. Penerapan GCG secara konsisten akan memperkuat

posisi daya saing perusahaan, memaksimalkan nilai perusahaan, mengelola

sumberdaya dan risiko secara lebih efisien dan efektif, yang pada akhirnya akan

memperkokoh kepercayaan pemegang saham dan stakeholders.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka penulis akan

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tata kelola perusahaan di CV.Suria Bintan Perkasa.

2. Bagaimana kebijakan GCG di CV.Suria Bintan Perkasa

3. Bagaimana pelaksanaan tata kelola perusahaan di CV.Suria Bintan Perkasa

4. Apa kode etik dan budaya yang diimplementasikan oleh CV.Suria Bintan

Perkasa

1.3 Maksud dan Tujuan Makalah

Sesuai dengan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, adapun maksud

dan tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana tata kelola perusahaan di CV.Suria Bintan

Perkasa

2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan GCG di CV.Suria Bintan Perkasa


3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tata kelola perusahaan di CV.Suria

Bintan Perkasa

5. Untuk mengetahui kode etik dan budaya yang diimplementasikan oleh

CV.Suria Bintan Perkasa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar

pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-

agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok

atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara

implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen
akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal (dalam

hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Menurut Belkaoui (2011:188), teori agensi

mungkin berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela yang timbul di

antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik

kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan

sebagai suatu “penghubung (nexus) kontrak” melalui pernyataan oleh Jansen dan

Meckling yang menyatakan bahwa perusahaan adalah “cerita fiksi legal yang

berfungsi sebagai penghubung atas serangkaian hubungan kontrak antara individu.”

Berdasarkan teori keagenan, perusahaan adalah suatu legal fiction yang berperan

penting dalam proses mengarahkan tujuan-tujuan individu yang berbeda ke

keseimbangan dalam kerangka hubungan kontraktual. Jensen dan Meckling (1976)

mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai berikut:

"an agency relationship as a contract under which one or more persons (the
principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their
behalf which involves delegating some decision making authority to the agent"
(p.85).

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang

(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama

prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik

bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk

memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara

yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Teori keagenan didasarkan pada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian

(ownership and control). Pemisahan antara pemilikan dan pengendalian dapat


merupakan bentuk efisien dari perusahaan dalam kerangka perspektif "serangkaian

kontrak" perusahaan merupakan serangkaian kontrak yang mencakup cara dimana

input diproses untuk menghasilkan output dan cara dimana hasil dari output dibagi

diantara input. Dalam perspektif 'nexus of contracts' ini, kepemilikan perusahaan

merupakan konsep yang tidak relevan dan fungsi manajemen adalah mengawasi

kontrak-kontrak diantara faktor-faktor dan memastikan keberlangsungan perusahaan.

Menurut Eisenhardt (1989) dalam Emirzon (2007), Teori keagenan dilandasi oleh

beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi

tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat

manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-

interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Asumsi

keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai

kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. Asumsi

informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat

diperjualbelikan.

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing individu

semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan

konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik (principal) termotivasi

mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang

selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan

pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi,

pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian terdapat dua kepentingan


yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk

mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki.

Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal

dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency problems

adalah adanya asymmetric information. Asymmetric Information adalah

ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal

tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya, agen memiliki

lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan

secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001)

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:

1. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-

hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.

2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat

mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar

didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah

kelalaian dalam tugas.

Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika

pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang

berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan

keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada

pihak lain (agent) yang melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk

mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan

(Eisenhardt, 1989 dalam Darmawati, 2005). Pertama adalah masalah keagenan yang
timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen

berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk

melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen.

Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen

telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua adalah masalah pembagian resiko yang

timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko.

Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang

berbeda dikarenakan adanya perbedaan preferensi resiko.

Menurut Hendriksen dan Breda (2000:221), menyatakan bahwa teori keagenan

memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam menyediakan informasi

setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan pascakeputusan. Peranan ini

sering diasosiasikan dengan peran pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana

seorang agen melapor kepada prinsipal tentang kejadian-kejadian dimasa lalu. Inilah

yang memberi akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai

umpan balik menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting dalam

menguatkan atau mengoreksi harapan-harapan sebelumnya.

2.1.1 Hubungan Prinsipal dan Agen

1. Pemegang Saham dan Manajemen

Teori keagenan merupakan dasar teori yang digunakan dalam

pemahaman konsep good corporate governance. Hubungan keagenan

dalam teori agensi muncul karena adanya hubungan kerja antara pihak

yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang

menerima wewenang (agen) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak


kerja sama dimana prinsipal mendelegasikan otoritas pengambilan

keputusan kepada agen dalam mengelola kekayaan investor (Brigham

dan Houston, 2004). Investor mempunyai harapan bahwa dengan

mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut akan memperoleh

keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran

investor.

Menurut Dwiyanti (2010), manajer sebagai pengelola perusahaan lebih

banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa

yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham atau

investor). Oleh sebab itu, manajer mempunyai kewajiban memberikan

informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Informasi

yang diberikan oleh manajer dapat dilakukan dengan mengungkapkan

informasi akuntansi seperti laporan keuangan perusahaan. Laporan

keuangan digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen

perusahaan. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan

keuangan perusahaan adalah para pengguna eksternal (di luar

manajemen) karena pengguna laporan keuangan eksternal berada

dalam kondisi ketidakpastian. Sedangkan para pengguna internal

(manajemen perusahaan) mempunyai kontak langsung dengan

perusahaan dan mengetahui peristiwa yang terjadi terhadap perusahaan

sehingga tingkat ketergantungan terhadap informasi akuntansi tidak

sebesar para pengguna eksternal.

Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham

(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.


Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham

untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka

dipilih, maka pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan

semua pekerjaannya kepada pemegang saham.

2. Pemegang Saham Publik dan Pemegang Saham Pengendali

Masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen

perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan

tersebut. Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen

tidak lagi berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan

dan mereka berusaha untuk mengambil keuntungan dari beban yang

ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan pihak

manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga

dalam bentuk kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam

Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham

(1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk

hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2)

antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk

perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka

dapat diasumsikan bahwa manajer–pemilik tersebut akan mengambil

setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya,

terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan

juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika

manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi

hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual


sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka pertentangan

kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer

mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan

kekayaan pemegang saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut

telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau

mungkin saja manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau

menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di antaranya akan

menjadi beban pemegang saham lainnya.

3. Kreditur dan Manajemen

Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima

uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan

pendapatan pemegang saham bergantung pada besaran laba

perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan

kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan

pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk

memperoleh kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada

proyek - proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek

yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat menikmati

keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek mengalami kegagalan,

kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat dari

ketidakmampuan pemegang saham untuk memenuhi

kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur

melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu

pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk


investasi dalam proyek baru.Konflik antara pemegang saham dengan

pihak manajemenWalaupun telah dilakukan kontrak kerja yang sah

antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain pihak agent

memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan

(full information)

dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal.

Pengetahuan yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan

dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal ini

membuatterbentuknya suatu asimetri information atau asymetric

information.

Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya

konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989)

mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia

pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest ), (2) manusia

memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang(

bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk

adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut

menyebabkan bahwa informasi yangdihasilkan manusia untuk

manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapatdipercaya

tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief Ujiyantho).

Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan

kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba

sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.

4. Pemangku Kepentingan Lainnya dan Manajemen


Menurut Van der Stede (2007), tata kelola perusahaan merujuk pada

seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan

bahwa perusahaan diarahkan dan dikelola untuk menciptakan nilai

bagi pemiliknya sementara secara bersamaan memenuhi tanggung

jawab kepada para pemangku kepentingan lain (misalnya karyawan,

pemasok, masyarakat pada umumnya). Banyak mekanisme, termasuk

dewan direksi, auditor eksternal, penilaian tata kelola perusahaan, hak

pemegang saham suara, dan ancaman pengambilalihan, dapat memiliki

efek tata kelola perusahaan.

2.1.2 Pemicu Konflik Kepentingan dan Masalah Keagenan Yang

Timbul (Informasi Asimetri dan Perilaku Self-Interest)

Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan

manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi,

2005). Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari

perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan

pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang

nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan

Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari

biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan

terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero

agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil

keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya

perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.


Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat

dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan

agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial (insider

ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang

berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan

diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan

yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism,

yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui

program mengikat manajemen dalam modal perusahaan.

Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal

dengan agen salah satunya dapat timbul karena adanya kelebihan

aliran kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas cenderung

diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan

utama perusahaan. Ini menyebabkan perbedaan kepentingan karena

pemegang saham lebih menyukai investasi yang berisiko tinggi yang

juga menghasilkan return tinggi, sementara manajemen lebih memilih

investasi dengan risiko yang lebih rendah.

Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang

digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a)

meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider

ownership), b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih

(earning after tax), c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang,

d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional holdings).


Sedangkan dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan

beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengurangi masalah

keagenan. Pertama, dengan meningkatkan insider ownership.

Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk

mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga

bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan

meningkatkan persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi

untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan

kemakmuran pemegang saham.

Kedua, dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan

melalui penggunaan hutang. Penambahan hutang dalam struktur modal

dapat mengurangi penggunaan saham sehingga meminimalisasi biaya

keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan memiliki kewajiban untuk

mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga secara

periodik. Selain itu, penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan

menimbulkan konflik keagenan antara shareholders dengan

debtholders sehingga memunculkan biaya keagenan hutang.

Ketiga, institutional investor sebagai monitoring agent. Moh’d et al,

(1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside

shareholders) yaitu institusional investor dan shareholders

dispersion dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency cost).

Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan

yang dapat digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan


manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu

hal yang relevan dalam perusahaan.

2.2 Peran Tata Kelola dan Tata Kelola Bisnis Untuk Mengatasi Konflik

Kepentingan

Masalah-masalah keagenan ini dapat diatasi dengan tata kelola

perusahaan yang merupakan seperangkat aturan yang mengontrol perilaku

perusahaan terhadap para direktur, manajer, karyawan, pemegang saham,

kreditor, pelanggan, competitor, dan komunitasnya (Brigham dan Ehrhardt,

2010).

Berdasarkan teori keagenan, ada 2 macam corporate governance yaitu

“bad” dan “good” (Armstrong, 2009). Bad corporate governance berarti

perusahaan mengalami konflik keagenan yang serius antara pemegang saham

dan manajer, serta biaya kontrak. Sedangkan good corporate governance

berarti perusahaan dapat mengurangi konflik keagenan antara pemegang

saham dan manajer, serta biaya kontrak.

Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan

yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)

perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang

kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan

kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan

mengendalikan perusahaan. (FCGI, 2002).


Menurut IICG (2008), Konsep Corporate Governance dapat didefinisikan

sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu

perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para

pemangku kepentingan (stakeholders). Good Corporate Governance dapat

didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-

pihak internal maupun eksternal yang berkaitan dengan perusahaan sebagai

upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan

dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder

lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Good

adalah tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi

persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan

sesuai dengan konsep corporate governance. Struktur adalah susunan atau

rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian

hak-hak dan tanggung jawab di antara pihak-pihak dalam perusahaan (dewan

komisaris, direksi, dan RUPS/pemegang saham) dan stakeholder lainnya, dan

aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam

hubungan perusahaan. Sistem adalah prosedur formal dan informal yang

mendukung struktur dan strategi operasional dalam suatu perusahaan. Proses

adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam

rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan

dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas

perusahaan kepada pemegang saham. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan

bahwa GCG merupakan:


1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran

dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder lainnya.

2. Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas

pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang,

yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.

3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,

pencapaian, berikut dengan pengukuran kinerjanya.

Menurut Van der Stede (2007), tata kelola perusahaan merujuk pada

seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa

perusahaan diarahkan dan dikelola untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya

sementara secara bersamaan memenuhi tanggung jawab kepada para

pemangku kepentingan lain (misalnya karyawan, pemasok, masyarakat pada

umumnya). Banyak mekanisme, termasuk dewan direksi, auditor eksternal,

penilaian tata kelola perusahaan, hak pemegang saham suara, dan ancaman

pengambil alihan, dapat memiliki efek tata kelola perusahaan.

2.3 Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola

Setiap perusahaan harus memberikan kepastian atas penerapan prinsip atau

asas GCG di setiap aspek bisnisnya. Menurut KNKG (2006), prinsip-prinsip

GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta

kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha


(sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan

(stakeholders).

2.3.1 Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah

diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil

inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh

peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan

keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai,

jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh

pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi,

misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan

kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham

oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota

keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen

resiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan

pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang

dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi

kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai


dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak

pribadi.

d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional

dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2.3.2 Akuntabilitas (Accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur

dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas

merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang

berkesinambungan.

Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-

masing pihak perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan secara

jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate

values), dan strategi perusahaan.

b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua pihak perusahaan yang

berkepentingan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai

dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang

efektif dalam pengelolaan perusahaan.


d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan

yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem

penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap pihak

perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan harus berpegang pada

etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati

2.3.3 Responsibilitas (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga

dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat

pengakuan sebagai good corporate citizen.

Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang pada prinsip

kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).

b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain

peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar

perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

2.3.4 Independensi

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara

independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi

dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Pedoman pokok pelaksanaannya:


a. Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus menghindari

terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh

kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest)

dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan

dapat dilakukan secara obyektif.

b. Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi dan

tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan,

tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu

dengan yang lain.

2.3.5 Kewajaran (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya

berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku

kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat

bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi

sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-

masing.

b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada

pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang

diberikan kepada perusahaan.


c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan

karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.

2.4 Tinjauan Struktur Tata Kelola di Indonesia

2.4.1 Perbandingan Struktur Satu Dewan dan Dua Dewan

Berkenaan dengan bentuk Dewan dalam sebuah perusahaan terdapat dua

sistem yang berbeda yang berasal dari dua sistem hokum yang berbeda, yaitu

Anglo Saxon dan dari Kontinental Eropa.

Sistem hukum Anglo Saxon mempunyai Sistem Satu Tingkat atau One Tier

System, dimana perusahaan hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada

umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur

Eksekutif) dan Direktur Independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu

(Non Direktur Eksekutif). Pada dasarnya yang disebut belakangan ini, diangkat

karena kebijakannya, pengalamannya dan relasinya. Negara-negara dengan One

Tier System misalnya Amerika Serikat dan Inggris.

General Meeting of The Shareholders (GMoS)


Board Of Directors

Non Executive Directors


Executive Directors
(part time independent
(senior management)
members)

Gambar 2.1 Struktur Board of Directors dalam One Tier System

Sistem Hukum Kontinental Eropa mempunyai Sistem Dua Tingkat atau Two

Tiers System. Disini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan

Terpisah (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan Direksi) dimana

Dewan Direksi mengelola dan mewakili perusahaan dibawah pengarahan dan

pengawasan Dewan Komisaris. Dalam sistem ini, anggota Dewan Direksi

diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (Dewan

Komisaris). Dewan Direksi juga harus memberikan jawaban kepada Komisaris

dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. Sehingga Dewan

Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen.

Dalam hal ini Dewan Komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas

manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi

dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diganti dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negara-negara dengan Two Tiers

System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum

Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia

menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan.

General Meeting Of The Shareholders (GMOS)

Board Of Commisionors (BOC)

Board Of Director (BOD)

Gambar 2.2

Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Dalam Two Tiers System

2.4.2 Organ Korporat: RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi

Organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),

Dewan Komisaris, dan Direksi. Setiap organ memiliki fungsinya sendiri-

sendiri sesuai dengan ketetuan yang berlaku. Dalam konteks good corporate

governance, masing-masing organ harus melakukan tugasnya secara

independen untuk kepentingan perusahaan.

2.4.3 Hubungan Antar Organ

RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang saham

untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang


ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran

perusahaan dan ketentuan perundang-undangan. Keputusan yang diambil

dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam

jangka panjang. RUPS atau pemegang saham tidak dapat melakukan

intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan

Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan

haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-udangan,

termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan

Komisaris atau Direksi.

Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan

bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan

memberikan nasihat kepada Direksi serta memeastikan bahwa Perusahaan

melaksanakan GCG. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut

serta dalam pengambilan keputusan operasional. Kedudukan masing-masing

anggota Dewan Komisaris termasuk Komisaris Utama adalah setara. Tugas

Komisaris Utama adalah primus inter pares adalah mengkoordinasikan

kegiatan Dewan Komisaris.

Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara

kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat

melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian

tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing

Direksi tetap merupakan tanggungjawab bersama. Kedudukan masing-

masing anggota Direksi termasuk Direktur Utama adalah setara. Tugas


Direktur Utama adalah primus inter pares adalah mengkoordinasikan

kegiatan Direksi.

2.5 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Menurut OECD (Organization For

Economic Co-Operation And Development)

Perusahaan harus memastikan dasar kerangka tata kelola perusahaan yang

efektif (OECD, 2004). Kerangka tata kelola perusahaan harus menunjukkan

transparansi dan pasar yang efisien, konsisten dengan aturan hukum dan jelas

mengartikulasikan pembagian tanggung jawab antara berbagai pengawasan

dan penegakan hukum yang berlaku. Dasar kerangka tata kelola perusahaan

yang efektif yaitu:

1. Kerangka tata kelola perusahaan harus dikembangkan dengan tujuan

untuk berdampak pada kinerja ekonomi secara keseluruhan, integritas

pasar dan insentif untuk menciptakan pelaku pasar dan kenaikan pasar

yang transparan dan efisien.

2. Persyaratan hukum dan peraturan yang mempengaruhi praktik tata kelola

perusahaan dalam yurisdiksi harus konsisten dengan aturan hukum,

transparan, dan dapat dilaksanakan.

3. Pembagian tanggung jawab antara otoritas yang berbeda dalam yurisdiksi

yang harus jelas diartikulasikan dan memastikan bahwa kepentingan

umum disajikan.

4. Pengawas, pihak berwenang, dan penegak hukum harus memiliki

wewenang, integritas dan sumber daya untuk memenuhi tugas mereka


secara profesional dan obyektif. Selain itu, keputusan mereka harus tepat

waktu, transparan dan sepenuhnya dijelaskan.

Menurut Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge (2005: 5-6), good

corporate governance mempunyai tujuan dan manfaat yaitu:

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham dan para anggota non-

pemegang saham yang bersangkutan.

2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja dewan pengurus atau board

of directors dan manajemen perusahaan.

3. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen

senior perusahaan.

4. Mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang

saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.

5. Meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra

perusahaan kepada publik lebih luas dalam jangka panjang.

6. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di

suatu perusahaan.

2.6 Manfaat Tata Kelola Bagi Korporat dan Lingkungan

2.6.1 Kinerja Keuangan dan Keunggulan Kompetitif


Tujuan utama penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik

adalah untuk business performance dan business conformance. Business

performance dimaksudkan agar, khususnya pemegang saham dapat

memperoleh manfaat yang wajar atas investasinya dan merasa yakin bahwa

penciptaan nilai tambah perusahaan bias secara berkesinambungan.

Sedangkan business conformance dimaksud bahwa melaksanakan bisnis

dalam suatu negara, tentunya pengusaha yang baik harus taat azas dan patuh

terhadap peraturan yang berlaku di negara tersebut, sehingga dapat menjaga

kepentingan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders). Perusahaan

merupakan pencipta kekayaan (wealth-creating institution). Dalam

lingkungan bisnis yang kompetitif, perusahaan tidak hanya diharapkan

sebagi wealth-creating institution, namun perusahaan diharapakan sebagai

wealth-multiplying institution. Pelipatgandaan kekayaan memerlukan

langkah-langkah besar dan strategic (Egan, 2003). Kemampuan perusahaan

dalam merumuskan langkah-langkah besar strategik ditentukan oleh

kompetensi pimpinan dan sistem manajemen dalam mengelola sumber daya

perusahaan. Namun, visi perusahaan seringkali tidak terwujud karena adanya

kecenderungan pimpinan perusahaan berfokus pada perspektif jangka

pendek (Mulyadi, 2003).

1. Formulasi Strategi

Formulasi strategi adalah proses pengembangan perencanaan jangka

panjang secara efektif berkaitan dengan peluang dan tantangan

lingkungan serta kelemahan dan kekuatan perusahaan. Kegiatan

formulasi strategi meliputi pentapan misi, tujuan, strategi dan kebijakan


korporasi (corporate). Tujuan adalah suatu pernyataan mengenai apa

saja yang ingin dicapai oleh perusahaan di masa mendatang. Strategi

korporasi adalah bentuk perencanaan perusahaan menyeluruh yang

ditetapkan untuk mencapai misi dan tujuan perusahaan. Kebijakan

adalah serangkaian petunjuk umum dalam membuat keputusan

perumusan strategi yang dapat diimplementasikan. Terdapat tujuh

langkah dalam memformulasikan strategi, yakni (1) Identifikasi

lingkungan yang akan dimasuki perusahaan di masa depan, (2)

penentuan visi, misi, keyakinan dasar, nilai dasar dan tujuan perusahaan,

(3) analisis SWOT, (4) analisis portofolio, (5) permusan peluang dan

masalah utama, (6) identifikasi dan evaluasi altenatif strategi, (7)

perumusan strategi.

2. Komitmen Organisasi

Komitmen organisasional merupakan suatu keadaan dimana sesorang

karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya

serta berminat memelihara keanggotaannya dalam organisasi.

Dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, kesadaran dan komitmen

organisasional dari pimpinan perlu dibangun karena apabila komitmen

organisasional pimpinan sudah tumbuh dan berkembang, akan

memudahkan bagi perusahaan dalam melakukan tindakan-tindakan

konkrit yang diperlukan guna mencapai tujuan perusahaan.

3. Gaya Kepemimpinan
Setiap perusahaan pasti memiliki pemimpin yang bertugas

mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mengevaluasi kinerja.

Goelemen (2000) mengidentifikasi enam bentuk gaya kepemimpinan

individu dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpi, yaitu (1) Gaya

visioner (visionary style), (2) Gaya pembimbing (coaching style), (3)

Gaya Afiliatif (affiliative styel), (4) Gaya demokratis (democratic style),

(5) Gaya penentu kecepatan (pacesetting style), (6) Gaya memerintah

(coercive style). Secara tipikal, pemimpin terbaik dan tereftif bertindak

berdasarkan salah satu dari ke-enam gaya kepemimpinan di atas dan

dengan terampil mengganti gaya tergantung pada situasinya yang akan

berpengaruh terhadap tata kelola perusahaan dan kinerja keuangan

perusahaan.

2.6.2 Nilai Perusahaan

Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG

perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan

pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan

semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis,

sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Pedoman pokok

pelaksanaan nilai-nilai perusahaan adalah:

1. Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi

dan misi perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan.


2. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun

dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta

karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan.

3. Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya,

adil dan jujur.

2.6.3 Manfaat Bagi Pemangku Kepentingan

Pemangku kepentingan selain pemegang saham adalah mereka yang

memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan mereka yang terpengaruh

secara langsung oleh keputusan strategis dan operasional perusahaan, yang

antara lain terdiri dari karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat terutama

sekitar tempat usaha perusahaan. Antara pengusaha dengan pemangku

kepentingan harus terjalin hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan

kesetaraan (fairness) berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi masing-

masing pihak. Agar hubungan antar perusahaan dengan pemangku

kepentingan berjalan dengan baik, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. Perusahaan menjamin tidak terjadinya diskriminatif berdasarkan suku,

agama, ras, golongan, dan gender serta terciptanya perlakuan yang adil

dan jujur dalam mendorong perkembangan karyawan sesuai dengan

potensi, kemampuan, pengalaman dan keterampilan masing-masing.

2. Perusahaan dan mitra bisnis harus bekerjasama untuk kepentingan

kedua belah pihak atas dasar prinsip saling menguntungkan.


3. Perusahaan harus memperhatikan kepentingan umum, terutama

masyarakat sekitar perusahaan serta pengguna produk dan jasa

perusahaan.

2.7 Overview Regulasi dan Pedoman Tata Kelola di Indonesia

Setelah krisis moneter yang mengahantam perekonomian di negara-negara

Asia menjelang akhir tahun 1990-an, muncul inisiatif untuk menguatkan kerangka

tata kelola perusahaan, baik di tingkat nasional maupun regional. Studi yang

dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) mengidentifikasi bahwa

kontributor utama dalam krisis ekonomi tersebut yakni lemahnya “tata keola

perusahaan” (Zuang, et al, 2000). Dengan demikian, krisis Asia menjadi

momentum penting yang mendorong urgensi reformasi tata kelola perusahaan di

Asia, dan juga di Indonesia.

1. Pembentukan Komite Nasional Kebijakan Coporate Governance.

Krisis yang melanda Asia tersebut mendorong pemerintah Indonesia

untuk bersungguh-sungguh meyelesaikan masalah tata kelola perusahaan

di Indonesia. Untuk itu, dibentuklah Komite Nasional Kebijakan Coperate

Governance (KNKCG) pada tahun 1999 melalui Keputusan Menteri

Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, dengan melibatkan

30 orang perwakilan dari sektor publik swasta untuk merekomendasikan

prinsip GCG nasional.

Pada tahun 2004, KNCKG dirubah menjadi Komite Nasional Kebijakan

Governance (KNKG) dengan pertimbangan untuk memperluas cakupan ke


tata kelola sector publik (public governance). KNKG telah menerbitkan

Pedoman Nasional Good Corporate Governance (Pedoman Nasional

GCG) pertama kali pada tahun 1999, yang kemudian direvisi pada tahun

2001 dan 2006.

Selanjutnya, untuk mendukung upaya reformasi yang dilakukan

pemerintah, kemudian bermunculan berbagai inisiatif yang digagas oleh

berbagai kalangan yang menaruh kepedulian untuk membangun kembali

Indonesia setelah krisis. Berbagai organisasi yang mempelopori

pentingnya praktik tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia antara

lain, Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD), Indonesian

Institute for Corporate Governance (IICG), Forum for Corporate

Governance In Indonesia (FCGI), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI),

dan Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI). Organisasi

tersebut bertujuan untuk mempromosikan kepedulian terhadap kelola

dengan mengadakan seminar dan konferensi, membantu perusahaan untuk

melakukan self-assessment, menyediakan program pendidikan dan

pelatihan, melakukan penilaian praktik tata kelola, serta menyediakan

indeks persepsi tata kelola secara tahunan.

2. Undang-Undang Perseroan Terbatas

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas

(UUPT) yang menggantikan undang-undang sebelumnya tahun 1995

merupakan undang-undang yang lebih komprehensif dalam

mengakomodasi dan menjabarkan prinsip-prinsip tata kelola dengan

mengatur kesetaraan organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum


Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. UUPT juga

menjelaskan peran dan tanggungjawab dari Dewan Komisaris dan

Direksi, serta elemen tata kelola perusahaan lainnya. Revisi UUPT ini

mencerminkan bahwa masalah tata kelola perusahaan di Indonesia telah

diakomodasi sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan yang

penting tentang perusahaan di Indonesia.

3. Pedoman-Pedoman GCG

Untuk melengkapi Pedoman Umum GCG yang sudah dikeluarkan oleh

KNKG, KNKG juga menerbitkan serangkaian pedoman-pedoman

sektoral dan manual penerapan tata kelola perusahaan.

Pedoman
Pedoman Umum Manual GCG
Sektoral
(General Code) (GCG Manual)
(Sectoral Code)

Good Corperrate
Banking (2004,
Governance Business Ethic
2013)
(2001,2006)

Whistleblowing
Good Public Insurance And
System (WBS)
Governance (2006) Reinsurance (2009)
(2008)

Good Governance
Bisnis Syariah (2011) Actuarial Audit Committee
Consultants (2011) (2002)

Insurance And Risk Management


Reinsurance Brokers (2011)
(2011)

Gambar 2.3 Pedoman GCG yang Diterbitkan KNKG


4. Inisiatif CG Lainnya

Berbagai inisiatif lainnya di bidang tata kelola perusahaa yang bertujuan

untuk memberikan insentif atau penghargaan kepada perusahan-

perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang

baik pun telah terbangun. Diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Annual Report Award (ARA)

Merupakan penghargaan terhadap laporan tahunan perusahaan

Indonesia, telah dilaksanakan sejak tahun 2002.Acara ini merupakan

hasil kerja sama 7 (tujuh) institusi yaitu OJK, Direktorat Jenderal

Pajak, Kementrian BUMN, Bank Indonesia, Komite Nasional

Kebijakan Governance, Bursa Efek Indonesia, dan Ikatan Akuntan

Indonesia, serta dikoordinasikan oleh OJK. Pada awalnya, ARA

diikuti oleh 83 perusahaan, dan tahun 2013 diikuti oleh 234 peserta.

b. Capital Market Awards

Bursa Efek Indonesia mulai mengadakan Capital Market Awards

pada tahun 2006, dengan tujuan utama untuk mendorong penerapan

standar dan praktik bisnis yang baik dan berkelanjutan oleh

perusahaan tercatat dan Perusahaan Efek, yang diantaranya meliputi

praktik tata kelola perusahaan yang baik.

c. IICD Corporate Governance Award

Penghargaan ini diadakan oleh IICD pertama kali pada tahun 2009

dan didasari pada pengungkapan praktik tata kelola perusahaan

tercatat di Indonesia. Instrumen penilaian adalah CG Scorecard yang


juga digunakan oleh Institute of Directors lainnyadi beberapa Negara

ASEAN.

d. IICG Award – Most Trusted Award

IICG meluncurkan Penghargaan “Most Trusted Companies” pada

tahun 2001. Penghargaan ini fokus pada perusahaan terbuka, BUMN

dan swasta, serta berdasarkan Corporate Governance Perception

Index (CGPI) versi IICG.

Pelaksanaan GCG perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.

Untuk itu diperlukan pedoman praktis yang dapat dijadikan acuan oleh

perusahaan dalam melaksanakan penerapan GCG.

Dalam rangka penerapan GCG, masing-masing perusahaan harus menyusun

pedoman GCG perusahaan dengan mengacu pada GCG ini dan Pedoman Sektoral

(bila ada). Pedoman GCG perusahaan tersebut mencakup sekurang-kurangnya

hal-hal sebagai berikut :

1. Visi, misi dan nilai-nilai perusahaan;

2. Kedudukan dan fungsi RUPS, Dewan Komisaris, Direksi, komite penunjang

Dewan Komisaris, dan pengawasan internal;

3. Kebijakan untuk memastikan terlaksananya fungsi setiap organ perusahaan

secara efektif;

4. Kebijakan untuk memastikan terlaksananya akuntabilitas, pengendalian

internal yang efektif dan pelaporan keuangan yang benar;

5. Pedoman perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai perusahaan dan etika

bisnis;
6. Sarana pengungkapan informasi untuk pemegang saham dan pemangku

kepentingan lainnya;

7. Kebijakan penyempurnaan berbagai peraturan perusahaan dalam rangka

memenuhi prinsip GCG.

2.8 Instrumen Penilaian dan Bukti Empiris Terhadap Praktek Tata Kelola

di Indonesia dan ASEAN

Untuk mengukur kemajuan pasar modal Indonesia dalam menerapkan tata

kelola perusahaan dan mengidentifikasi area-area yang harus diperbaiki

dengan memperhatikan keteladanan yang berlaku di tingkat internasional,

beberapa inisiatif penilaian terhadap penilaian terhadap praktik tersebut

sudah dilakukan oleh beberapa lembaga internasional. Ada 3 (tiga) penilaian

utama terhadap tata kelola perusahaan di Indonesia yang dilakukan oleh

lembaga internasional, yaitu sebagai berikut:

1. Penilaian Tata Kelola Korporat Indonesia Oleh Bank Dunia

Tata kelola perusahaan merupakan salah satu dari 12 (12) standar yang

ditetapkan oleh komunitas keuangan internasional. The Word Bank

dan The Monetary Fund (IMF) bekerjasama dalam melakukan

penilaian atas penerapan Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang

disusun oleh Organisation for Economic Co-operation and

Development (OECD) Hasil penilaian dilaporkan dalam bentuk

Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC). Tujuan

dari inisiatif ROSC adalah untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan

yang dapat berkontribusi terhadap kerentanan ekonomi dan keuangan


terhadap suatu Negara. Penilaian ROSC atas tata kelola perusahaan

dilakukan dengan menilai kerangka hukum dan peraturan perundang-

undangan, praktik bisnis dan kepatuhan dari perusahaan terbuka, dan

kapasitas penegakannya terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang

dikeluarkan oleh OECD (World Bank, 2010) .

2. Penilaian Berdasarkan ASEAN CG Scorecard dari ASEAN Capital

Market Forum

Pada tahun 2009, para Menteri Keuangan Negara-negara Association

of South-East Asian Nation (ASEAN) menyepakati rencana

implementasi (ACMF Implementation Plan) untuk mempromosikan

pengembangan pasar modal yang terintegrasi. ASEAN Capital Market

Forum (ACMF) merupakan asosiasi regulator pasar modal di kawasan

ASEAN yang berupaya untuk mewujudkan ASEAN sebagai sebuah

komunitas ekonomi tunggal pada tahun 2015. Diantara berbagai

inisiatif tersebut, ASEAN Coporate Governance Scorecard (ASEAN

CG Scorecard) diperkenalkan sebagai suatu alat untuk memeringkat

kinerja tata kelola perusahaan public dan terbuka di ASEAN.

Inisiatif ASEAN CG Scorecard yang bertujuan untuk mengukur dan

meningkatkan efektivitas dari implemetasi prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan, diluncurkan tahun 2011. Indonesia bersama-sama dengan

5 (lima) negara anggota ACMF lainnya(Malaysia, Philippines,

Singapore, Thailand, and Vietnam) sepakat untuk mengadopsi kriteria

yang merupakan penjabaran lebih rinci dari prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan yang diterbitkan OECD sebagai acuan penilaian untuk


ASEAN CG Scorecard. Penilaian ASEAN CG Scorecard didasarkan

pada dokumentasi yang dapat diakses oleh public, dan bertujuan agar

dapat disusun suatu kumpulan perusahaan public di kawasan ASEAN

dengan tata kelola yang baik, dan dapat dipromosikan kepada investor

manca negara.

3. Credit Lyonnaise Securities Asia (CLSA)

CLSA merupakan asosiasi broker dan grup investasi bersama-sama

dengan the Asian Corporate Governance Association (ACGA) secara

periodic menerbitkan Corporate Governance Watch yang merupakan

survey atas praktik tata kelola di Asia sejak tahun 2000. Dalam CG

Watch, CLSA menilai tata kelola perusahaan di beberapa negara di

Asia-Pasifik dengan menilai aturan dan praktik CG, penegakan

hukum, lingkungan politis dan regulasinya, penerapan standar

akuntansi dan auditing, serta budaya CG.


BAB III

STUDI KASUS

3.1 Gambaran Umum Perusahaan

CV. SURIA BINTAN PERKASA merupakan sebuah perusahaan mobil, yang

bergerak dibidang jual dan beli mobil mobil bekas yang berkualitas, yang mulai

berdiri pada Desember 2003, berlokasi di Jl.D.I.Panjaitan NO.1 -2, Melayu Kota

Piring, Kec. Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang,Kepulauan Riau.

penjualan beli mobil bekas telah berlangsung cukup lama dan menjadikan ceruk

bisnis tersendri. Sekarang ini sudah banyak sekali perusahaan yang bergerak dibidang

mobil bekas yang menawarkan harga dan kualitas yang sepadan. Pasar mobil bekas

yang besar juga membuat para perusahaan berlomba lomba melayani konsumen
secara kredit dengan bunga yang kompetitif yang tidak kalah dengan mobil baru.

3.2 Tata Kelola Perusahaan Pada CV. Suria Bintan Perkasa

Pemahaman tentang Tata Kelola Perusahaan atau Good Corporate Governance

(GCG) memiliki peran penting untuk memastikan serta menjamin pelaksanaan

manajemen yang dijalankan dengan baik sehingga dapat mengembangkan Cv. Suria

Bintan Perkasa untuk meraih kesuksesan. Implementasi GCG merupakan upaya

optimalisasi untuk memberi nilai lebih kepada nasabah, masyarakat, juga para

pemangku kepentingan, selain menjadikan Cv. Suria Bintan Perkasa memiliki tingkat

korporasi yang tinggi. GCG diperlukan untuk menunjang kekuatan dan sustainability

yang juga berimplikasi pada sistem strukturisasi yang kokoh dan rapih. Implementasi

GCG di Cv. Suria Bintan Perkasa sejalan dengan ketentuan dan perundang-undangan

yang berlaku.

Sebelum menjadi perusahaan publik yang sahamnya tercatat di Bursa Efek

Indonesia (BEI), Cv. Suria Bintan Perkasa telah menerapkan prinsip-prinsip Tata

Kelola Perusahaan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Direksi dan

Komisaris tentang Prinsip-Prinsip Tata Kelola Perusahaan pada tahun 2003.

Penyempurnaan pelaksanaan Tata KelolaPerusahaan dilakukan melalui pemenuhan

peraturan bagi emiten yang tercatat di BEI, yang mewajibkan seluruh perusahaan

publik untuk mengangkat pejabat dan struktur organisasi yang independen serta

memberikan peran aktif Sekretaris Perusahaan untuk memenuhi kewajiban

keterbukaan informasi

3.2.1 Kebijakan GCG CV Suria Bintan Perkasa


berkomitmen untuk memberikan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan.

Salah satu kunci utama untuk merealisasikan komitmen tersebut adalah penerapan

prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) secara

konsisten serta menjadikannya sebagai budaya kerja yang berlaku di dalam CV.Suria

Bintan Perkasa. Pemahaman ini mendasari untuk melaksanakan tata kelola yang baik

dalam setiap kegiatan bisnisnya demi mencapai tujuan bisnis jangka panjang yang

berkesinambungan.

Melalui peran aktif dan dukungan penuh Dewan Komisaris dan Direksi,

memastikan penerapan prinsip-prinsip GCG pada setiap aspek bisnis dan pada semua

jajaran organisasi, hal tersebut diwujudkan dalam aspek-aspek sebagai berikut:

1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;

2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;

3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite;

4. Penanganan benturan kepentingan;

5. Penerapan fungsi kepatuhan;

6. Penerapan fungsi Audit Internal;

7. Penerapan fungsi Audit Eksternal;

8. Penerapan management risiko termasuk sistem pengendalian internal;

9. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana

besar (large exposures);


10. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan bank, laporan pelaksanaan

Tata Kelola Perusahaan dan pelaporan internal; dan

11. Rencana strategis bank.

Dalam menyusun kebijakan Tata Kelola Perusahaan, Cv Suria Bintan Perkasa

sebagai perusahaan merupakan perusahaan yang highly regulated sehingga wajib

mengadopsi berbagai ketentuan eksternal, antara lain di bidangnya, Peraturan OJK

serta pedoman GCG.

CV. Suria Bintan Perkasa telah melaksanakan langkah GCG guna mengakomodir

seluruh ketentuan yang berlaku, antara lain:

1. Struktur organisasi yang dibentuk Direksi sesuai dan tepat dengan Perseroan.

2. Direksi melakukan perumusan yang tepat dalam menempatkan tugas dan

tanggung jawab manajemen sesuai kualifikasi.

3. Direksi telah merumuskan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP),

antara lain:

• Evaluasi terhadap RJPP tahun sebelumnya,

• Asumsi dan analisis dalam penerapan RJPP tahun ini.

• Target, kebijakan, strategi, dan program kinerja dari RJPP tersebut.

4. Direksi telah menjalankan fungsi dan tugasnya dalam mengimplementasikan

program pengembangan dengan mengikuti pelatihan yang relevan.

5. Melaksanakan rapat Direksi.

3.2.2 Asas-Asas Tata Kelola CV Suria Bintan Perkasa


Asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran CV Suria

Bintan Perkasa yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,

independensi, serta kewajaran dan kesetaraan. Asas ini dapat mencapai

kesinambungan usaha dengan memperhatikan pemangku kepentingan.

1. Transparansi

Transparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan (disclosure)

dan penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan

dapat dibandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan

masyarakat. Transparansi diperlukan agar dapat menjalankan bisnis secara

objektif, profesional, dan melindungi kepentingan konsumen.

2. Akuntabilitas

Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi

dalam organisasi dan cara pertanggung jawaban. CV Suria Bintan Perkasai

sebagai lembaga dan pejabat yang memiliki kewenangan dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk

itu CV Suria Bintan Perkasa dikelola secara sehat, terukur dan profesional

dengan memperhatikan kepentingan pemegang saham, mitra, dan pemangku

kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk

mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas

Responsibilitas mengandung unsur kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan dan ketentuan internal, prinsip pengelolaan CV yang sehat serta

tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Responsibilitas

diperlukan agar dapat menjamin terpeliharanya kesinambungan usaha dalam


jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai warga korporasi yang baik

atau dikenal dengan good corporate citizen.

4. Independensi

Independensi mengandung unsur kemandirian dari dominasi

pihak lain dan objektifitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Dalam hubungan dengan asas independensi, Bank Mandiri dikelola secara

independen agar masing-masing organ Bank Mandiri beserta seluruh jajaran

dibawahnya tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak

manapun yang dapat mempengaruhi objektivitas dan profesionalisme dalam

melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

5. Kewajaran dan Kesetaraan

Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang adil

dan kesempatan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan

kegiatannya, harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham,

mitra dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan

kesetaraan dari masing-masing pihak yang bersangkutan.

3.3 Penghargaan Tata Kelola Perusahaan

Untuk memperoleh masukan terhadap pelaksanaan GCG, CV Suria Bintan

Perkasa ikut dalam rating yang dilaksanakan oleh pihak independen yaitu Corporate

Governance Perception Index (CGPI) yang diselenggarakan oleh IICG. Keterlibatan

CV Suria Bintan Perkasa sebagai peserta CGPI ditujukan untuk memotivasi CV Suria

Bintan Perkasa dalam melakukan perbaikan atau peningkatan praktik GCG di

lingkungannya.
3.4 Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan

Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) merupakan unsur

penting di industri mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh industri

perbankan semakin meningkat. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)

merupakan proses jangka panjang yang memberikan hasil berupa sustainable value.

Implementasi GCG sebagai sebuah sistem dilakukan melalui proses intern yang

melibatkan Dewan Komisaris, Direksi dan seluruh pegawai. Sejak diterapkannya

GCG, mengalami perubahan yang lebih baik, terutama dengan meningkatnya kualitas

Sumber Daya Manusia (SDM) hingga dapat bekerja lebih efisien, efektif, kompetitif

dan profesional didukung oleh budaya dan etos kerja yang mumpuni.

3.4.1 Komitmen Tata Kelola Perusahaan

Pada tahapan Perumusan Governance Commitment CV Suria Bintan Perkasa juga

melakukan revitalisasi budaya perusahaan agar dapat memberikan keyakinan dan

panduan yang lebih kuat. Revitalisasi tersebut dilakukan melalui penetapan budaya

perusahaan yang dikenal dengan ”TIPCE” yaitu: Trust, Integrity, Professionalism,

Customer focus dan Excellence (TIPCE) revitalisasi visi baru menjadi ”To be

Indonesia’s Most Admired and Progressive Financial Institution” telah dituangkan ke

dalam Corporate Plan

3.4.2 Struktur Tata Kelola Perusahaan

CV Suria Bintan Perkasa telah memiliki struktur dan kebijakan yang mendukung

penerapan Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance Policy), Code of Conduct


yaitu mendasari penyusunan hirarki Sustainably Charter yang di dalamnya terdapat

corporate governance policy, code of conduct dan lain-lain. Selain itu CV Suria

Bintan Perkasa telah memiliki pedoman organisasi perseroan dalam menjalankan

tugasnya antara lain: tata tertib Dewan Komisaris, tata tertib Direksi, charter komite

di level Dewan Komisaris serta Surat Keputusan komite di level Direksi.

CV Suria Bintan Perkasa telah menyusun arsitektur kebijakan dan prosedur yang

merupakan tatanan yang menggambarkan hirarki dan pengelompokan kebijakan &

prosedur. Arsitektur tersebut mendukung penerapan tata kelola perusahaan secara

konsisten dan dipublikasi dalam portal internal sebagai pedoman dalam menyusun

prosedur dan kebijkan tertulis yang berkaitan dengan seluruh aktivitas. Kebijakan dan

prosedur tersebut senantiasa dikaji untuk disesuaikan dengan kondisi dan

perkembangan bisnis serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Gambar 3.2 Struktur Tata Kelola CV.Suria Bintan Perkasa

3.4.3 Mekanisme Tata Kelola Perusahaan

Dalam tahapan ini dilakukan penyempurnaan sistem yang dapat menjamin

terimplementasinya budaya, etika bisnis dan pengelolaan perusahaan yang baik, yakni

berupa Arsitektur Kebijakan yang dilandasi oleh Prinsip GCG, budaya perusahaan,

business ethics dan code of conduct, dimana seluruh operasional diatur melalui

berbagai kebijakan dan aturan.

3.4.4 Sosialisasi dan Evaluasi


Untuk menjamin terlaksananya implementasi GCG, telah dilakukan sosialisasi

tidak hanya terkait dengan prinsip-prinsip GCG, namun termasuk sosialisasi terhadap

budaya perusahaan, inisiatif strategis dan kebijakan.

Sedangkan dalam rangka memperkuat implementasi GCG, CV Suria Bintan

Perkasa melakukan evaluasi. Tujuan dari sosialisasi dan evaluasi tersebut adalah agar

seluruh jajaran dapat memahami dan melaksanakan visi, misi dan strategi serta

prinsip-prinsip GCG dimaksud dengan pemahaman dan standar yang sama di seluruh

jajaran.

3.4.5 Walking the Talk

Pada akhirnya menyadari bahwa keempat tahapan yang telah diuraikan

sebelumnya akan kurang bermakna apabila implementasinya tida dilakukan secara

disiplin serta konsisten, dimana prinsip-prinsip GCG diwujudkan dalam tindakan

nyata oleh seluruh jajaran manajemen.

Dala mewujudkan tahapan ini (walking the talk) maka diperlukan keteladanan Top

Management yang berperan sebagai Change Champion dan Change Agent di setiap

unit kerja, dan sebagai role-model yang menerapkan budaya perusahaan da prinsip-

prinsip GCG secara kongruen.


Gambar 3.1 Tranformasi GCG Yang Dilaksanakan Dalam 5 Tahap

3.6 Kode Etik dan Budaya Perusahaan

Kode etik menjabarkan prinsip-prinsip dasar perilaku pribadi dan profesional

yang diharapkan dilakukan oleh insan dalam melaksanakan tugasnya. Hal Ini

merupakan standar perilaku yang wajar, patut dan dapat dipercaya untuk semua.

3.6.1 Isi Kode Etik

CV.Suria Bintan Perkasa telah memiliki Code of Conduct yang merupakan standar

etika (etika bisnis dan etika kerja) dan

perilaku yang harus dipedomani oleh seluruh jajaran yang mengatur hal-hal

mengenai:
1. Benturan kepentingan (conflict of interest)

2. Kerahasiaan

3. Penyalahgunaan Jabatan

4. Perilaku insiders

5. Integritas dan Akurasi Data Bank

6. Integritas Sistem Perbankan

7. Pengelolaan Rekening Karyawan

8. Pernyataan Tahunan (Annual Disclosure)

9. Sanksi pelanggaran / ketidakpatuhan

10. Pengawasan Pelaksanaan dan Pemutakhiran

Upaya penerapan dan penegakan kode etik CV Suria Bintan Perkasa dilakukan

dengan penuh kesadaran secara terus menerus dalam bentuk sikap perbuatan,

komitmen dan ketentuan, meliputi:

1. Pernyataan Kepatuhan Kode Etik CV Suria Bintan Perkasa

Guna menerapkan Kode Etik yang efektif, insan Mandiri diharuskan

membaca, dan memahami dengan baik serta diwajibkan menandatangani

“Pernyataan Kepatuhan Insan terhadap Kode Etik”,

2. Komitmen Manajemen

Penegasan komitmen Manajemen CV Suria Bintan Perkasa terkait komitmen

untuk tidak menerima dan/atau meminta hadiah atau bingkisan dalam bentuk

dan dalih apapun dari pihak nasabah, debitur, dan mitra kerja maupun pihak

ketiga lainnya dalam media massa dan website.

3. Annual Disclosure Benturan Kepentingan


Dengan telah disusunnya kebijakan turunan Kode Etik berupa Pedoman

Penanganan Benturan Kepentingan CV Suria Bintan Perkasa setiap insan

Mandiri diharuskan membuat pernyataan tahunan (annual disclosure) terkait

benturan kepentingan setiap tahun, dan setiap unit kerja diwajibkan

menyampaikan laporan transaksi/ putusan yang mengandung Benturan

Kepentingan setiap triwulan.

4. Pakta Integritas

Penerbitan pakta integritas kepada seluruh rekanan yang bekerja sama dalam

pengadaan barang dan/ atau jasa.

5. Program Awareness

Program induksi Kode Etik dilakukan terhadap pegawai baru melalui program

jump start pendidikan di pusat pendidikan serta sosialisasi kebijakan secara

berkesinambungan dan konsisten.

6. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi kepada seluruh unit kerja terkait kode

etik antara lain strategi anti fraud , budaya Kepatuhan, serta budaya layanan.

3.6.2 Budaya Perusahaan

Untuk mendukung pencapaian visi, misi, dan keberhasilan strateginya, telah

merumuskan dan mengimplementasikan budaya perusahaan yaitu TIPCE dengan

penjelasan sebagai berikut:

1. Trust
Membangun keyakinan dan sangka baik di antara stakeholders dalam

hubungan yang tulus dan terbuka berdasarkan kehandalan.

2. Integrity

Setiap saat berpikir, berkata dan berperilaku terpuji, menjaga martabat

serta menjunjung tinggi kode etik profesi.

3. Professionalism

Berkomitmen untuk bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi

terbaik dengan penuh tanggung jawab.

4. Customer Focus

Senantiasa menjadikan pelanggan sebagai mitra utama yang saling

menguntungkan untuk tumbuh secara berkesinambungan.

5. Excellence

Mengembangkan dan melakukan perbaikan di segala bidang uintuk

mendapatkan nilai tambah optimal dan hasil yang terbaik secara terus-

menerus. Proses internalisasi dan sosialisasi Budaya Perusahaan bagi

seluruh level organisasi (Dewan Komisaris, Direksi, dan Karyawan)

dilaksanakan melalui media komunikasi baik secara formal maupun

informal, yang dilaksanakan antara lain melalui : inclass training, diskusi

dan pengarahan Management saat kunjungan ke wilayah, sms/email blast,

artikel di majalah materi telecoference/video taped, dan lain-lain.


Pada Rencana Jangka Panjang (RJP) ditetapkan VISI yaitu “To be Indonesia’s

most admired and progressive financial institution”. Melalui Visi tersebut tercermin

aspirasi untuk menjadi institusi keuangan yang selalu memiliki komitmen penuh

dalam membangun hubungan dengan seluruh nasabahnya, melalui penyediaan solusi

keuangan inovatif yang berstandar kelas dunia dan turut serta memberikan kontribusi

kepada bangsa melalui peningkatan kinerja secara konsisten.

Target yang luar biasa tidak pernah akan dapat dicapai dengan usaha yang biasa-biasa

saja. Transformasi bisnis dan budaya yang dijalankan oleh merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua hal tersebut bagaikan dua sisi mata

uang yang saling mendukung, dimana tanpa budaya yang kuat strategi tidak bisa

diimplementasikan atau dampaknya tidak signifikan sehingga menyebabkan

kegagalan transformasi. Sebagai kelengkapan utama proses transformasinya,

melakukan penajaman Budaya Perusahaan melalui serangkaian diskusi yang

melibatkan seluruh senior manajemen dengan tema The New Horizon. Adapun hasil

dari diskusi tersebut adalah dirumuskannya tatanan nilai TIPCE yang dituangkan

dalam panduan 11 perilaku utama sebagai berikut:

1. Jujur, tulus, terbuka & tidak sungkan

2. Memberdayakan potensi, tidak silo, selalu bersinergi, dan saling menghargai

3. Disiplin, konsisten dan memenuhi komitmen

4. Berpikir, berkata, dan bertindak terpuji

5. Handal, tangguh, bertanggung jawab, pembelajar dan percaya diri

6. Berjiwa intrapreneurship dan berani mengambil keputusan dengan resiko

yang terukur
7. Menggali kebutuhan dan keinginan pelanggan secara proaktif dan

memberikan total solusi

8. Memberikan layanan terbaik dengan cepat, tepat, mudah, akurat dan

mengutamakan kepuasan pelanggan

9. Patriotis, memiliki mental juara dan berani melakukan terobosan

10. Inovatif dalam menciptakan peluang untuk mencapai kinerja yang melampaui

ekspektasi

11. Fokus dan disiplin mengeksekusi Prioritas

Anda mungkin juga menyukai