Anda di halaman 1dari 39

ALASAN DIPERLUKAN TATA KELOLA YANG BAIK DAN ETIKA BISNIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi Dengan
Dosen Pengampu Endah Prawesti Ningrum SE., M.Ak.

Disusun oleh Kelompok 1 (Kelas 7A2):

Gledys Jatitesih Gitasmara 201510315121


Genoveva Akiko Tamarine 201510315023
Maretha Pratidnya 201510315171
Siti Khoeryah 201510315092
Justinus Alderon 201510315048

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Alasan Diperlukan Tata Kelola Yang Baik dan Etika Bisnis”. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas Etika Profesi Akuntansidengan dosen pengampu Endah
Prawesti Ningrum SE., M. Ak. Penulis berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari tugas ini masih
jauh dari sempurna oleh sebab itu penulis meminta maaf apabila ada kesalahan di
dalam penulisan tugas ini. Penulis juga meminta kritik dan saran dari pembaca agar
penulis dapat membuat tugas yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Bekasi, 29 Oktober 2018

(Kelompok 1)

2
DAFTAR ISI

JUDUL ……………….…………………………...………………………….…..… i
KATA PENGANTAR …………..…………..…………………...……….………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………........….... iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………….…………….…….....….. 4
1.1 Latar Belakang ….. ………….……..………….…….……………………......... 4
1.2 Rumusan Masalah …………....…………………..………..……....................... 5
1.3 Tujuan Makalah …..…….………………………….……………………..…...... 5
1.4 Manfaat Makalah …….....……………...………….……………..………..…..... 6
BAB II PEMBAHASAN…….………………………...…………………..…….…. 7
2.1 Teori Keagenan ………………………………………………………………... 7
2.1.1 Hubungan Prinsipal dan Agen ….……………………………………..11
2.1.2 Pemicu Konflik Kepentingan dan Masalah Keagenan Yang Timbul.....15
2.2 Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola………………………………………... 18
2.3 Peran Tata Kelola dan Tata Kelola Bisnis Untuk Mengatasi Konflik
Kepentingan………………………………………………………………….......… 22
2.4 Tinjauan Struktur Tata Kelola di Indonesia ……...………………………..……24
2.5 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Menurut OECD ………..……………………….. 28
2.6 Contoh Penerapan GCG………….………………………………………..……29
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ………..……...….......……….….......... 37
3.1 Kesimpulan ………….……...……....…...……...…....………………..……..….37
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut organisasi untuk

mengambil langkah strategis agar organisasi dapat terus berkembang dengan baik

sesuai dengan perubahan yang terjadi. Perubahan untuk menjadi lebih baik, tidak

akan terlepas dari sejumlah tantangan yang akan terus menghadang, apalagi di era

yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian. Berdasarkan konsep

persaingan berbasis waktu maka siapa yang cepat dia yang menang, baik lebih

cepat dalam menawarkan produk baru dari pesaingnya maupun kecepatan

merespon permintaan pelanggan terhadap produk yang telah ada. Oleh karena itu

organisasi yang ingin terus berkembang harus merespon dengan cepat tantangan-

tantangan yang ada.

Tingkat persaingan yang tinggi harus dihadapi perusahaan dengan

kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang dapat membedakan dengan

pesaingnya. Dengan adanya perbedaan tersebut berarti perusahaan telah memiliki

keunggulan kompetitif. Namun, tujuan dari organisasi seharusnya tidak hanya

sampai pada keunggulan kompetitif saja tetapi keunggulan kompetitif tersebut

sifatnya berkelanjutan atau tidak hanya sementara sehingga dikatakan perusahaan

memiliki keunggulaan kompetitif yang berkelanjutan.

Untuk membentuk keunggulan yang kompetitif, maka semua komponen

dalam perusahaan harus melakukan kerja keras dan kreativitas ekstra agar mampu

menjawab tantangan usaha ini, yaitu dengan salah satu cara membentuk dan

4
melakukan proses internalisasi budaya perusahaan yang kuat dan sehat kepada

seluruh insan perusahaan.

Good Corporate Governance (GCG) merupakan unsur penting di perusahaan

mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan yang semakin

meningkat. Penerapan GCG secara konsisten akan memperkuat posisi daya saing

perusahaan, memaksimalkan nilai perusahaan, mengelola sumberdaya dan risiko

secara lebih efisien dan efektif, yang pada akhirnya akan memperkokoh

kepercayaan pemegang saham dan stakeholders.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka penulis akan

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan teori keagenan ?


2. Apakah definisi dan prinsip dasar tata kelola?
3. Apakah peran tata kelola dan tata kelola bisnis untuk mengatasi
konflikkepentingan?
4. Bagaimanakah tinjauan struktur tata kelola di Indonesia?
5. Apakah prinsip-prinsip tata kelola menurut OECD?

1.3 Tujuan Makalah

Sesuai dengan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, adapun maksud dan

tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah:

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori keagenan.


2. Untuk mengetahui apakah definisi dan prinsip dasar tata kelola.
3. Untuk mengetahui apakah peran tata kelola dan tata kelola bisnis untuk
mengatasi konflikkepentingan.
4. Untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan struktur tata kelola di Indonesia.

5
5. Untuk mengetahui apakah prinsip-prinsip tata kelola menurut OECD.

1.4 Manfaat Makalah


Manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah supaya pembaca dapat mengetahui
tentang tata kelola dan etika bisnis yang baik.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan(Agency Theory)

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar

pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-

agen menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok

atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara

implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen

akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal (dalam

hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Menurut Belkaoui (2011:188), teori agensi

mungkin berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela yang timbul di

antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik

kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan

sebagai suatu “penghubung (nexus) kontrak” melalui pernyataan oleh Jensen dan

Meckling yang menyatakan bahwa perusahaan adalah “cerita fiksi legal yang

berfungsi sebagai penghubung atas serangkaian hubungan kontrak antara individu.”

Berdasarkan teori keagenan, perusahaan adalah suatu legal fictionyang berperan

penting dalam proses mengarahkan tujuan-tujuanindividu yang berbeda ke

keseimbangan dalam kerangka hubungankontraktual. Jensen dan Meckling(1976)

mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship)sebagai berikut:

"an agency relationship as a contract under which one or more persons(the


principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their
behalf which involves delegating some decision making authorityto the agent"
(p.85).

7
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang

(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama

prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik

bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk

memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara

yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Teori keagenan didasarkan pada pemisahan antara kepemilikan danpengendalian

(ownership and control). Pemisahan antara pemilikan dan pengendalian

dapatmerupakan bentuk efisien dari perusahaan dalam kerangka perspektif

"serangkaian kontrak" perusahaan merupakan serangkaian kontrak yang mencakup

cara dimana input diproses untuk menghasilkan output dan cara dimana hasil dari

output dibagi diantara input. Dalam perspektif 'nexus of contracts' ini, kepemilikan

perusahaan merupakan konsep yang tidak relevan dan fungsi manajemen adalah

mengawasi kontrak-kontrak diantara faktor-faktor dan memastikan keberlangsungan

perusahaan.

Menurut Eisenhardt (1989) dalam Emirzon (2007),Teori keagenan dilandasi oleh

beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi

tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat

manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-

interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Asumsi

keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai

kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. Asumsi

8
informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat

diperjualbelikan.

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing

individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga

menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik

(principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan

profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk

memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal

memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian

terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing

pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang

dikehendaki.

Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal

dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency problems

adalah adanya asymmetric information. Asymmetric Information adalah

ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal

tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya, agen memiliki

lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan

secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001)

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:

1. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-

hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.

2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat

mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar

9
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah

kelalaian dalam tugas.

Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika pihak-

pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda.

Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana

suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent)

yang melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua

permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989 dalam

Darmawati,2005). Pertama adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a)

keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b)

merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi

tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa

prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara

tepat. Kedua adalah masalah pembagian resiko yang timbul pada saat prinsipal dan

agen memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dengan demikian, prinsipal dan

agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda dikarenakan adanya

perbedaan preferensi resiko.

Menurut Hendriksen dan Breda (2000:221), menyatakan bahwa teori keagenan

memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam menyediakan informasi

setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan pascakeputusan. Peranan ini

sering diasosiasikan dengan peran pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana

seorang agen melapor kepada prinsipal tentang kejadian-kejadian dimasa lalu. Inilah

yang memberi akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai

10
umpan balik menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting dalam

menguatkan atau mengoreksi harapan-harapan sebelumnya.

2.1.1 Hubungan Prinsipal dan Agen

1. Pemegang Saham dan Manajemen

Teori keagenan merupakan dasar teori yang digunakan dalam

pemahaman konsep good corporate governance. Hubungan keagenan

dalam teori agensi muncul karena adanya hubungan kerja antara pihak

yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang

menerima wewenang (agen) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak

kerja sama dimana prinsipal mendelegasikan otoritas pengambilan

keputusan kepada agen dalam mengelola kekayaan investor.

Investormempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan

wewenang pengelolaan tersebut akanmemperoleh keuntungan dengan

bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak

mengetahuiinformasi internal dan prospek perusahaan di masa yang

akan datangdibandingkan pemilik (pemegang saham atau investor).

Oleh sebab itu, manajer mempunyaikewajiban memberikan informasi

mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik.Informasi yang

diberikan oleh manajer dapat dilakukan dengan mengungkapkan

informasi akuntansiseperti laporan keuangan perusahaan. Laporan

keuangan digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen

perusahaan. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan

keuangan perusahaan adalah para pengguna eksternal(diluar

11
manajemen) karena pengguna laporan keuangan eksternal

beradadalam kondisi ketidakpastian. Sedangkan para pengguna

internal (manajemen perusahaan) mempunyai kontak langsung dengan

perusahaan dan mengetahui peristiwa yang terjadi terhadap perusahaan

sehingga tingkat ketergantungan terhadap informasi akuntansi tidak

sebesar para pengguna eksternal.

Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham

(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai

agen.Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang

saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham.Karena

mereka dipilih, maka pihak manajemen harus

mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang

saham.

2. Pemegang Saham Publik dan Pemegang Saham Pengendali

Masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen

perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan

tersebut. Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen

tidak lagi berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan

dan mereka berusaha untuk mengambil keuntungan dari beban yang

ditanggung oleh pemegang saham.Cara yang dilakukan pihak

manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga

dalam bentuk kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam

Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham

(1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk

12
hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan

(2)antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan

berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh

pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer–pemilik tersebut

akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki

kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan

kekayaan perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas

eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan

mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk

perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar,

maka pertentangan kepentingan bisa segera timbul.Keadaan ini

menjadikan manajer mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk

memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena jatahnya atas

kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan

kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji

yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena

sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya.

3. Kreditur dan Manajemen

Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima

uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan

pendapatan pemegang saham bergantung pada besaran laba

perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan

kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan

pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk

13
memperoleh kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada

proyek - proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek

yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat menikmati

keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek mengalami kegagalan,

kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat dari

ketidakmampuan pemegang saham untuk memenuhi

kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur

melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu

pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk

investasi dalam proyek baru.Konflik antara pemegang saham dengan

pihak manajemen walaupun telah dilakukan kontrak kerja yang sah

antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain pihak agent

memiliki pengetahuan yang lebih banyak

mengenai perusahaandibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki

oleh pihak principal. Pengetahuan yang lebih banyak dimiliki oleh

pihak agentdibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh

pihak principal ini membuatterbentuknya suatu asimetri information

atauasymetric information.

Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya

konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989)

mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia

pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest ),(2) manusia

memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang(

bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk

14
adverse).Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut

menyebabkan bahwa informasi yangdihasilkan manusia untuk

manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapatdipercaya

tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief Ujiyantho).

Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan

kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba

sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.

4. Pemangku Kepentingan Lainnya dan Manajemen

Tata kelola perusahaan merujuk pada seperangkat mekanisme dan

proses yang membantu memastikan bahwa perusahaan diarahkan dan

dikelola untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya sementara secara

bersamaan memenuhi tanggung jawab kepada para pemangku

kepentingan lain (misalnya karyawan, pemasok, masyarakat pada

umumnya). Banyak mekanisme, termasuk dewan direksi, auditor

eksternal, penilaian tata kelola perusahaan, hak pemegang saham

suara, dan ancaman pengambilalihan, dapat memiliki efek tata kelola

perusahaan.

2.1.2 Pemicu Konflik Kepentingan dan Masalah Keagenan Yang

Timbul (Informasi Asimetri dan Perilaku Self-Interest)

Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan

manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi,

2005).Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari

perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan

pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang

15
nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan

Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari

biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan

terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero

agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil

keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya

perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.

Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat

dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan

agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial (insider

ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang

berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan

diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan

yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism,

yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui

program mengikat manajemen dalam modal perusahaan.

Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan

agen salah satunya dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas

(excess cash flow).Kelebihan arus kas cenderung diinvestasikan dalam

hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama perusahaan.

Ini menyebabkan perbedaan kepentingan karena pemegang saham

lebih menyukai investasi yang berisiko tinggi yang juga

menghasilkan return tinggi, sementara manajemen lebih memilih

investasi dengan risiko yang lebih rendah.

16
Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan

untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan

kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership), b)

meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earning after tax), c)

meningkatkan sumber pendanaan melalui utang, d) kepemilikan saham

oleh institusi (institutional holdings).

Sedangkan dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan beberapa

cara yang dapat dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan.

Pertama, dengan meningkatkan insider ownership.Perusahaan

meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk mensejajarkan

kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak

sesuai dengan keinginan pemegang saham.Dengan meningkatkan

persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk

meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan

kemakmuran pemegang saham.

Kedua, dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan

melalui penggunaan hutang.Penambahan hutang dalam struktur modal

dapat mengurangi penggunaan saham sehingga meminimalisasi biaya

keagenan ekuitas.Akan tetapi, perusahaan memiliki kewajiban untuk

mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga secara

periodik.Selain itu, penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan

menimbulkan konflik keagenan antara shareholders dengan

debtholders sehingga memunculkan biaya keagenan hutang.

17
Ketiga, institutional investor sebagai monitoring agent. Moh’d et al,

(1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside

shareholders) yaitu institusional investor dan shareholders

dispersion dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency cost).

Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan

yang dapat digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan

manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power menjadi suatu

hal yang relevan dalam perusahaan.

2.2 Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola

Setiap perusahaan harus memberikan kepastian atas penerapan prinsip atau

asas GCG di setiap aspek bisnisnya. Menurut KNKG (2006), prinsip-prinsip

GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta

kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha

(sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan

(stakeholders).

2.2.1 Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah

diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil

inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh

peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan

keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman pokok pelaksanaannya:

18
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai,

jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh

pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi,

misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan

kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham

oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota

keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen

resiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan

pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang

dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi

kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak

pribadi.

d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional

dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2.2.2 Akuntabilitas (Accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur

dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas

merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang

berkesinambungan.

19
Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-

masing pihak perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan secara

jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate

values), dan strategi perusahaan.

b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua pihak perusahaan yang

berkepentingan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai

dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang

efektif dalam pengelolaan perusahaan.

d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan

yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem

penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap pihak

perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan harus berpegang pada

etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

2.2.3 Responsibilitas (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan

tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara

kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai

good corporate citizen. Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang pada prinsip

kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).

20
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain

peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar

perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

2.2.4 Independensi

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara

independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi

dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus menghindari

terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh

kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest)

dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan

dapat dilakukan secara obyektif.

b. Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi dan

tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan,

tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu

dengan yang lain.

2.2.5 Kewajaran (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan

asas kewajaran dan kesetaraan. Pedoman pokok pelaksanaannya:

a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku

kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat

bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi

21
sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-

masing.

b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada

pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang

diberikan kepada perusahaan.

c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan

karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.

2.3 Peran Tata Kelola dan Tata Kelola Bisnis Untuk Mengatasi Konflik

Kepentingan

Masalah-masalah keagenan ini dapat diatasi dengan tata kelola perusahaan

yang merupakan seperangkat aturan yang mengontrol perilaku perusahaan

terhadap para direktur, manajer, karyawan, pemegang saham, kreditor,

pelanggan, competitor, dan komunitasnya (Brigham dan Ehrhardt, 2010).

Berdasarkan teori keagenan, ada 2 macam corporate governance yaitu “bad”

dan “good” (Armstrong, 2009).Bad corporate governance berarti perusahaan

mengalami konflik keagenan yang serius antara pemegang saham dan

manajer, serta biaya kontrak.Sedangkan good corporate governance berarti

perusahaan dapat mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dan

manajer, serta biaya kontrak.Corporate Governance dapat didefinisikan

sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang

saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,

karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya

22
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain

suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. (FCGI, 2002).

Menurut IICG (2008), Konsep Corporate Governance dapat didefinisikan

sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu

perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para

pemangku kepentingan (stakeholders). Good Corporate Governance dapat

didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-

pihak internal maupun eksternal yang berkaitan dengan perusahaan sebagai

upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan

dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder

lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Good

adalah tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi

persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan

sesuai dengan konsep corporate governance. Struktur adalah susunan atau

rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian

hak-hak dan tanggung jawab di antara pihak-pihak dalam perusahaan (dewan

komisaris, direksi, dan RUPS/pemegang saham) dan stakeholder lainnya, dan

aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam

hubungan perusahaan. Sistem adalah prosedur formal dan informal yang

mendukung struktur dan strategi operasional dalam suatu perusahaan. Proses

adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam

rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan

dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas

23
perusahaan kepada pemegang saham. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan

bahwa GCG merupakan:

1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran

dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder lainnya.

2. Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas

pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang,

yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.

3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,

pencapaian, berikut dengan pengukuran kinerjanya.

Menurut Van der Stede (2007), tata kelola perusahaan merujuk pada

seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa

perusahaan diarahkan dan dikelola untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya

sementara secara bersamaan memenuhi tanggung jawab kepada para

pemangku kepentingan lain (misalnya karyawan, pemasok, masyarakat pada

umumnya). Banyak mekanisme, termasuk dewan direksi, auditor eksternal,

penilaian tata kelola perusahaan, hak pemegang saham suara, dan ancaman

pengambilalihan, dapat memiliki efek tata kelola perusahaan.

2.4 Tinjauan Struktur Tata Kelola di Indonesia

2.4.1 Perbandingan Struktur Satu Dewan dan Dua Dewan

Berkenaan dengan bentuk Dewan dalam sebuah perusahaan terdapat dua sistem

yang berbeda yang berasal dari dua sistem hokum yang berbeda, yaitu Anglo

Saxon dan dari Kontinental Eropa.

24
Sistem hukum Anglo Saxon mempunyai Sistem Satu Tingkat atau One Tier

System, dimana perusahaan hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada

umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur

Eksekutif) dan Direktur Independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu

(Non Direktur Eksekutif). Pada dasarnya yang disebut belakangan ini, diangkat

karena kebijakannya, pengalamannya dan relasinya.Negara-negara dengan One

Tier System misalnya Amerika Serikat dan Inggris.

General Meeting of The Shareholders (GMoS)

Board Of Directors

Non Executive Directors


Executive Directors
(part time independent
(senior management)
members)

Gambar 2.1 Struktur Board of Directors dalamOne Tier System

Sistem Hukum Kontinental Eropa mempunyai Sistem Dua Tingkat atau Two

Tiers System. Disini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan

Terpisah (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan Direksi) dimana

Dewan Direksi mengelola dan mewakili perusahaan dibawah pengarahan dan

pengawasan Dewan Komisaris. Dalam sistem ini, anggota Dewan Direksi

diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (Dewan

Komisaris). Dewan Direksi juga harus memberikan jawaban kepada Komisaris

25
dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. Sehingga Dewan

Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen.

Dalam hal ini Dewan Komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas

manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi

dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diganti dalam

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negara-negara dengan Two Tiers

System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum

Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia

menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan.

General Meeting Of The Shareholders (GMOS)

Board Of Commisionors (BOC)

Board Of Director (BOD)

Gambar 2.2

Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Dalam Two Tiers System

2.4.2 Organ Korporat: RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi

Organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan

Komisaris, dan Direksi. Setiap organ memiliki fungsinya sendiri-sendiri sesuai

dengan ketetuan yang berlaku. Dalam konteks good corporate governance,

masing-masing organ harus melakukan tugasnya secara independen untuk

kepentingan perusahaan.

26
2.4.3 Hubungan Antar Organ

RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang saham

untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang

ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran

perusahaan dan ketentuan perundang-undangan.Keputusan yang diambil

dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam

jangka panjang. RUPS atau pemegang saham tidak dapat melakukan

intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan

Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan

haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-udangan,

termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan

Komisaris atau Direksi.

Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab

secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat

kepada Direksi serta memeastikan bahwa Perusahaan melaksanakan

GCG.Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam

pengambilan keputusan operasional.Kedudukan masing-masing anggota

Dewan Komisaris termasuk Komisaris Utama adalah setara. Tugas

Komisaris Utama adalah primus inter pares adalah mengkoordinasikan

kegiatan Dewan Komisaris.

Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara

kolegial dalam mengelola perusahaan.Masing-masing anggota Direksi dapat

melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian

tugas dan wewenangnya.Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing

27
Direksi tetap merupakan tanggungjawab bersama.Kedudukan masing-

masing anggota Direksi termasuk Direktur Utama adalah setara.Tugas

Direktur Utama adalah primus inter pares adalah mengkoordinasikan

kegiatan Direksi.

2.5 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Menurut OECD (Organization For

Economic Co-Operation And Development)

Perusahaan harus memastikandasarkerangkatatakelola perusahaanyang

efektif (OECD, 2004).Kerangkatata kelola perusahaanharus

menunjukkantransparansidan pasaryang efisien,konsisten denganaturan

hukum danjelas mengartikulasikanpembagian tanggung jawabantara

berbagaipengawasandan penegakan hukumyang berlaku. Dasar kerangka tata

kelola perusahaan yang efektif yaitu:

1. Kerangkatata kelola perusahaanharus dikembangkandengan tujuan

untukberdampakpada kinerjaekonomi secara keseluruhan, integritas pasar

daninsentifuntukmenciptakanpelaku pasardan kenaikanpasar yang

transparandan efisien.

2. Persyaratan hukum dan peraturanyang mempengaruhipraktiktata kelola

perusahaandalam yurisdiksi harus konsisten dengan aturan hukum,

transparan, dan dapat dilaksanakan.

3. Pembagian tanggung jawabantara otoritasyang berbeda

dalamyurisdiksiyangharusjelasdiartikulasikandan memastikanbahwa

kepentingan umumdisajikan.

28
4. Pengawas, pihak berwenang, dan penegakhukum harus

memilikiwewenang,integritasdan sumber daya untukmemenuhi tugas

merekasecara profesionaldan obyektif.Selain itu,keputusanmerekaharus

tepat waktu,transparan dansepenuhnya dijelaskan.

Menurut Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge (2005: 5-6), good

corporate governance mempunyai tujuan dan manfaat yaitu:

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham dan para anggota non-

pemegang saham yang bersangkutan.

2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja dewan pengurus atau board

of directors dan manajemen perusahaan.

3. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen

senior perusahaan.

4. Mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang

saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.

5. Meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat

meningkatkancitraperusahaan kepadapublik lebihluas dalam jangka

panjang.

6. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di

suatu perusahaan.

2.6 Contoh Penerapan GCG

Bank Mandiri didirikan pada 2 Oktober 1998. Dengan aset yang terus bertumbuh

sampai dengan diatas Rp 319 triliun, dan lebih dari 21 ribu karyawan yang

29
tersebar pada 1000 kantor dalam negeri dan 6 kantor dan perwakilan luar negeri

Bank Mandiri bertekad untuk memberikan keprimaan dalam layanan perbankan

dan memberikan solusi keuangan yang sangat luas dalam investasi dan produk

syariah, serta bank assurance untuk nasabah korporat, komersial, small business

dan micro business selain nasabah individual Bank Mandiri. Tekad Bank Mandiri

tersebut telah diakui dan dihargai sebagai peringkat pertama dalam Banking

Service Excellence Award 2007 oleh Majalah Infobank.

Jaringan distribusi Bank Mandiri termasuk 3,186 ATMs, 7,051 ATMs in the

LINK Network and 12,663 ATM Bersama Networks, and Electronic Data

Capture (EDC) kurang lebih 25,254 di seluruh Indonesia. Bank Mandiri

mempunyai 8.3 juta pemegang kartu ATM and 3.2 juta pengguna SMS Banking,

783,356 pengguna internet banking and 822,937 pengguna Call Mandiri dan lebih

dari 1 juta pemegang kartu kredit Visa.

Tata Kelola Perusahaan Pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk

Pemahaman tentang Tata Kelola Perusahaan atau Good Corporate Governance

(GCG) memiliki peran pentinguntuk memastikan serta menjamin pelaksanaan

manajemen yang dijalankan dengan baik sehingga dapatmengembangkan Bank

Mandiri untuk meraih kesuksesan. Implementasi GCG merupakan upaya

optimalisasi Bank Mandiri untuk memberi nilai lebih kepada nasabah,

masyarakat, juga para pemangku kepentingan, selainmenjadikan Bank Mandiri

memiliki tingkat korporasi yang tinggi. GCG diperlukan untuk menunjang

kekuatan dan sustainability Bank Mandiri yang juga berimplikasi pada sistem

30
strukturisasi yang kokoh dan rapih. ImplementasiGCG di Bank Mandiri sejalan

dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelum menjadi perusahaan publik yang sahamnya tercatat di Bursa Efek

Indonesia (BEI), Bank Mandiri telahmenerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola

Perusahaan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Direksi dan

Komisaris tentang Prinsip-Prinsip Tata Kelola Perusahaan pada tahun 2000.

Penyempurnaan pelaksanaan Tata KelolaPerusahaan dilakukan melalui

pemenuhan peraturan bagi emiten yang tercatat di BEI, yang mewajibkan

seluruhperusahaan publik untuk mengangkat pejabat dan struktur organisasi yang

independen serta memberikan peranaktif Sekretaris Perusahaan untuk memenuhi

kewajiban keterbukaan informasi

Kebijakan GCG PT Bank Mandiri (Persero) Tbk

Bank Mandiri berkomitmen untuk memberikan nilai tambah bagi para pemangku

kepentingan. Salah satu kunci utama untuk merealisasikan komitmen tersebut

adalah penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (GoodCorporate

Governance) secara konsisten serta menjadikannya sebagai budaya kerja yang

berlaku di dalam BankMandiri. Pemahaman ini mendasari Bank Mandiri untuk

melaksanakan tata kelola yang baik dalam setiap kegiatan bisnisnya demi

mencapai tujuan bisnis jangka panjang yang berkesinambungan.

Melalui peran aktif dan dukungan penuh Dewan Komisaris dan Direksi, Bank

Mandiri memastikan penerapan prinsip-prinsip GCG pada setiap aspek bisnis dan

pada semua jajaran organisasi, hal tersebut diwujudkan dalamaspek-aspek sebagai

berikut:

31
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;

2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;

3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite;

4. Penanganan benturan kepentingan;

5. Penerapan fungsi kepatuhan;

6. Penerapan fungsi Audit Internal;

7. Penerapan fungsi Audit Eksternal;

8. Penerapan management risiko termasuk sistem pengendalian internal;

9. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana

besar (large exposures);

10. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan bank, laporan pelaksanaan

Tata Kelola Perusahaan dan pelaporan internal; dan

11. Rencana strategis bank.

Dalam menyusun kebijakan Tata Kelola Perusahaan, Bank Mandiri sebagai

perusahaan BUMN perbankan yang berbentuk perseroan terbatas merupakan

perusahaan yang highly regulated sehingga wajib mengadopsi berbagai ketentuan

eksternal, antara lain di bidang perbankan, perseroan terbatas, BUMN, Peraturan

OJK serta pedomanGCG.

Bank Mandiri telah melaksanakan langkah GCG guna mengakomodir seluruh

ketentuan yang berlaku, antara lain:

1. Struktur organisasi yang dibentuk Direksi sesuai dan tepat dengan Perseroan.

2. Direksi melakukan perumusan yang tepat dalam menempatkan tugas dan

tanggung jawab manajemen sesuai kualifikasi.

32
3. Direksi telah merumuskan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP),

antara lain:

• Evaluasi terhadap RJPP tahun sebelumnya,

• Asumsi dan analisis dalam penerapan RJPP tahun ini.

• Target, kebijakan, strategi, dan program kinerja dari RJPP tersebut.

4. Direksi telah menjalankan fungsi dan tugasnya dalam mengimplementasikan

program pengembangan dengan mengikuti pelatihan yang relevan.

5. Melaksanakan rapat Direksi.

Asas-Asas Tata Kelola PT Bank Mandiri (Persero) Tbk

Asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran Bank Mandiri

yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta

kewajaran dan kesetaraan. Asas ini dapat mencapai kesinambungan usaha Bank

Mandiri dengan memperhatikan pemangku kepentingan.

1. Transparansi

Transparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan (disclosure)

dan penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan

dapat dibandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan

masyarakat. Transparansi diperlukan agar Bank Mandiri dapat menjalankan

bisnis secara objektif, profesional, dan melindungi kepentingan konsumen.

2. Akuntabilitas

Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi

dalam organisasi dan cara pertanggung jawaban. Bank Mandiri

sebagai lembaga dan pejabat yang memiliki kewenangan dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk

33
itu Bank Mandiri dikelola secara sehat, terukur dan profesional dengan

memperhatikan kepentingan pemegang saham, mitra, dan pemangku

kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk

mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas

Responsibilitas mengandung unsur kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan dan ketentuan internal, prinsip pengelolaan Bank yang sehat serta

tanggungjawab Bank Mandiri terhadap masyarakat dan lingkungan.

Responsibilitas diperlukan agar dapat menjamin terpeliharanya

kesinambungan usaha dalamjangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai

warga korporasi yang baik atau dikenal dengan good corporate citizen.

4. Independensi

Independensi mengandung unsur kemandiriandaridominasi

pihak lain dan objektifitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Dalam hubungan dengan asas independensi, Bank Mandiri dikelola secara

independenagar masing-masing organ Bank Mandiri beserta seluruh jajaran

dibawahnya tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak

manapun yang dapat mempengaruhi objektivitas dan profesionalisme dalam

melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

5. Kewajaran dan Kesetaraan

Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang adil

dan kesempatan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan

kegiatannya, Bank Mandiri harus senantiasa memperhatikan kepentingan

34
pemegang saham, mitra dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas

kewajaran dankesetaraan dari masing-masing pihak yang bersangkutan.

Komitmen Tata Kelola Perusahaan

Pada tahapan Perumusan Governance Commitment Bank Mandiri juga

melakukan revitalisasi budayaperusahaan agar dapat memberikan keyakinan

dan panduan yang lebih kuat. Revitalisasi tersebut dilakukanmelalui

penetapan budaya perusahaan yang dikenal dengan ”TIPCE” yaitu: Trust,

Integrity, Professionalism, Customer focus dan Excellence (TIPCE)

revitalisasi visi baru menjadi ”To be Indonesia’s Most Admired

andProgressive Financial Institution” telah dituangkan ke dalam Corporate

Plan Bank Mandiri 2010-2014. Dan selanjutnya di tahun 2020 Bank Mandiri

mentargetkan untuk dapat masuk dalam jajaran Top 1 di ASEAN dan menjadi

pemain utama di regional.

35
Gambar 3.2 Struktur Tata Kelola PT Bank Mandiri (Persero) Tbk

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam pengelolaan Good Corporate Governance (GCG) maka perusahaan dapat

membentuk struktur dan fungsinya yang bertugas untuk mengelola pelaksanaan Good

Corporate Governance (GCG) di perusahaan. Pembentukan struktur pengelolaan ini

dimaksudkan agar pengelolaan Good Corporate Governance (GCG) dapat dilakukan

secara sistimatis, terarah dan berkelanjutan. Perusahaan wajib melaksanakan prinsip-

prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam setiap kegiatan usahanya pada

seluruh tingkatan atau jenjang organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi,

rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langka-langka pengawasan internal.

Pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dimaksud paling kurang

harus diwujudkan dalam :

1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi

2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang

menjalankan fungsi pengendalian intern bank;

3. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal;

4. Penerapan manajemen resiko, termasuk system pengendalian intern;

5. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;

6. Rencana strategis bank;

7. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank.

37
Sebagai perusahaan go public, implementasi good corporate governance(GCG) atau

tata kelola perusahaan yang baik, merupakan kebutuhan mutlak bagi Bank Mandiri.

Selain untuk menjaga kesinambungan bisnis BankMandiri dalam jangka panjang,

pengimplementasian GCG juga mutlak harus dilakukan dalam rangka pemenuhan hak

dan tanggungjawab Bank Mandiri kepada seluruh pemegang saham, termasuk

pemegang saham minoritas yang dikuasi masyarakat berdasarkan 5 (lima) prinsip

dasar GCG, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi,

dan fairness, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai

dengan anggaran dasar perusahaan. BankMandiri sangat menyadari

bahwa GCG merupakan perangkat utama yang mengatur dan mengarahkan kegiatan

perusahaan dalam tata hubungan antara karyawan, Direksi, Dewan

Komisaris,pemegang saham, dan para pemangku kepen tingan (stakeholders) lainnya.

Dengan demikian, bagi perusahaan, pemenuhan prinsip-prinsip GCG merupakan

bagian untuk membangun fondasi bisnis yang sehat.

38
DAFTAR PUSTAKA

Agnes Utari Widyaningdyah. 2001. “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh

Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public Di

Indonesia.”Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 3, (2).

Aldridge, John. E, dan Siswanto Sutojo. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta:

PT. Damar Mulia Pustaka.

Emirzon, Joni. 2007. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance: Paradigma

Barudalam Praktik Bisnis Indonesia. Yogyakarta: Genta Press.

Jensen & Mecling. 1976. The Theory of The Firm: Manajerial Behaviour,Agency

Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial and Economics

Masdupi, 2005.” Analisis Dampak struktur kepemilikan pada Kebijakan Hutang

dalam Mengontrol Konflik Keagenan.” Jurnal Ekonomi Bisnis vol.20, No.1.

Desember

Riahi, Ahmed, Belkaoui. 2011. Accounting Theory (Teori Akuntansi). Edisi Kelima.

Buku Dua.Jakarta: Salemba Empat.

https://www.bankmandiri.co.id/web/gcg

39

Anda mungkin juga menyukai