Anda di halaman 1dari 37

Agency Theory, Stakeholders Theory Dan Corporate Governance Syari’ah

Makalah ini di buat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Good Corporate Governance

Dosen Pengampu : M.Iqbal, MA

Disusun Oleh : Kelompok 4

Abdillah Aswari (0503182149) Nastiti (0503182112)

Damayanti Simarmata (0503182124) Nurselina Nasution (0503183339)

M.Yusuf Hasibuan (0503181030) Raihan Ramadhanty (0503181029)

PERBANKAN SYARI’AH-7A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk Mata Kuliah Good Corporate Governance dengan judul “Agency
Theory, Stakeholders Theory Dan Corporate Governance Syaria’ah”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.

Medan, 14 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Finance Model (Agency Theory) 4


B. Agency Theory dan Corporate Governance 7
C. Stakeholders Theory 24
D. Stakeholders Oriented Value (SOV) 31

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 33

DAFTAR PUSTAKA 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena munculnya Good Corporate Governance mulai dikenal karena sering


diwacanakan seiring meningkatnya kesadran masyarakat, stakeholder, pemerintah maupun
manajemen perusahaan itu sendiri akan perlunya suatu sistem yang baik dalam
meningkatkan transparansi. Untuk meciptakan situasi perekonomian yang baik bagi semua
pihak, Good Corporate Governance berkembang diberbagai perusahaan baik yang sifatnya
public maupun swasta. Saat ini kebutuhan akan informasi akuntansi terus berkembang.
Tidak hanya dibutuhkan oleh pihak internal, seperti manajer, tetapi juga oleh pihak
eksternal, seperti investor, kreditur, dan pemerintah. Informasi yang mereka butuhkan
tentunya bukan merupakan informasi yang asal-asalan, tetapi informasi yang menunjukkan
kondisi sebenarnya dari suatu perusahaan yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan.
Hal ini menyebabkan timbulnya usaha-usaha untuk merumuskan teori-teori akuntansi yang
lebih fleksibel dan relevan dengan perkembangan zaman dan pola piker masyarakat yang
terus meningkat, serta mengembangkan disiplin akuntansi sehingga menjadi lebih
bermanfaat bagi perusahaan dan masyarakat. Usaha ini dilakukan salah satunya dengan
mengadakan penelitian-penelitian. Penelitian di bidang akuntansi ini terus-menerus
dilakukan oleh para peneliti akuntansi dan telah memberikan sumbangan yang besar
terhadap perkembangan Teori Akuntansi pada khususnya dan profesi akuntansi pada
umumnya. Salah satu bidang akuntansi yang diteliti adalah Teori Keagenan (Agency
Theory).

Agency theory terfokus pada dua individu pihak yaitu prinsipal dan agen. Prinsipal
didefinisikan sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yang disebut
agen, untuk dapat bertindak atas nama agen tersebut. Agen, sebagai pihak yang diberi
amanah untuk menjalankan dana dari pihak pemilik (prinsipal) harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah di amanahkan. Di lain pihak prinsipal sebagai
pihak pemberi amanah akan memberikan insentif kepada agen berbagai macam fasilitas

1
baik finansial maupun nonfinansial. Permasalahan timbul ketika kedua belah pihak
mempunyai persepsi dan sikap yang berbeda dalam hal pemberian informasi yang akan
digunakan oleh prinsipal untuk memberikan insentif kepada agen.

Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset
akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan
dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori keagenan
merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini.
Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang yakni investor dengan pihakyang menerima wewenang (agensi) yaitu manager.
Menurut teori ini, hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta
karena adanya kepentingan yang saling bertentangan (Conflict of Interest).

Pertentangan dan tarik-menarik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat


menimbulkan permasalahan yang dalam Agency Theory dikenal sebagai Asymmetric
Information (AI). Adanya AI dan Conflict of Interest pada manager/agen, memungkinkan
mereka untuk mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi
perusahaan. Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat
karena tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya
kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis dan mencari
solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal
(pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen).

Dalam agency theory dikenal adanya kontrak kerja, yang akan mengatur proporsi utilitas
masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan.
Kontrak kerja adalah seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil,
baik yang berupa keuntungan (return) maupun risiko (risk) yang disetujui oleh prinsipal dan
agen. Selain itu, kontrak kerja yang optimal adalah kontrak yang seimbang antara prinsipal
dan agen yang secara sistematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh
agen dan pemberian imbalan khusus oleh prinsipal kepada agen. Kajian mengenai
bagaimana membuat suatu kontrak kerja yang optimal merupakan kunci bagi terwujudnya
suatu hubungan prinsipal-agen yang ideal.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Finance Model (Agency Theory)?
2. Apa yang dimaksud dengan Agency Theory dan Corporate Governance?
3. Apa yang di maksud dengan Stakeholders Theory?
4. Apa yang di maksud dengan Stakeholders Oriented Value (SOV)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui apa yang di maksud dengan Finance Model (Agency Theory).
2. Untuk Mengetahui apa yang di maksud dengan Agency Theory dan Corporate
Governance.
3. Untuk Mengetahui apa yang di maksud dengan Stakeholders Theory.
4. Untuk Mengetahui apa yang di maksud dengan Stakeholders Oriented Value (SOV).

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Finance Model (Agency Theory)


Financial modelling adalah suatu kegiatan dalam suatu financial model ataupun kegiatan
membuat suatu model yang mampu menampilkan performa keuangan bisnis di masa depan.
Umumnya, model dari proses ini bisa dituangkan di dalam bentuk spreadsheet. Financial
modelling adalah suatu pembuatan rangkuman seluruh transaksi perusahaan, yaitu pengeluaran
dan pemasukan, yang dalam kata lain financial model ataupun model keuangan.
Financial modelling ini tidak bisa dipisahkan dari proses manajemen anggaran
perusahaan, karena memiliki tujuan dalam memperoleh gambaran keuangan. Namun, proses
ini sangatlah kompleks, karena memerlukan berbagai variabel yang harus ada di dalam
hitungan. Berbagai variabel ini antara lain adalah memasukan histori kerja sebelumnya,
berbagai laporan keuangan, dan juga asumsi yang diharapkan dari performa perusahaan di
masa depan. Asumsi yang dimaksud adalah berupa hipotesis atau masih dalam bentuk dugaan
sementara yang muncul dari berbagai data yang tersedia. Kemungkinan terjadinya pun bisa
saja tidak akan sesuai dengan apa yang sebelumnya diharapkan. Untuk itu, dalam menyusun
asumsi financial modelling harus bisa diperkuat dengan data komprehensif yang mengaitkan
seluruh aspek operasional perusahaan terkait.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa financial modelling
adalah suatu gambaran terkait kinerja keuangan perusahaan di masa lalu, saat ini, dan juga
masa depan. Sehingga, perusahaan mampu mengambil ancang-ancang dan juga melakukan
aktivitas transaksi sesuai dengan prediksi yang sebelumnya telah dilakukan. Walaupun
memang tidak bisa 100% sama, namun setidaknya model yang dibuat nanti bisa menjadi
gambaran besar agar pihak perusahaan tidak mengambil langkah yang salah dan mengalami
kerugian. Adapun fungsi dari Financial Model ini yaitu:
1. Menjadi Salah Satu Metode Perencanaan
Dengan melakukan financial modelling, maka bisa menjadi salah satu alat yang baik dalam
merencanakan penggunaan keuangan bisnis/perusahaan. Dalam hal ini, hasilnya nanti bisa
langsung digunakan untuk mengembangkan bisnis/perusahaan di masa depan. Nantinya,

4
secara otomatis akan menemukan esensi kenapa penyusunan asumsi harus bisa dilakukan
secara menyeluruh. Salah satunya adalah karena model ini akan menjadi pedoman
perusahaan dalam menentukan langkah yang lebih operasional.
2. Mengontrol Kinerja Tim Secara Efektif
Indikasi efektifitas performa tim bisa dilihat dari berbagai data laporan yang bisa dijadikan
sebagai bahan perhitungan. Salah satu contoh sederhananya bisa ditemukan dengan mudah
dari adanya kesenjangan antara arus kas berjalan dengan arus kas proyeksi. Seperti
misalnya pengeluaran yang ternyata melebihi pemasukan atau pengelolaan dana investasi
yang tidak bisa terkontrol. Jika data ternyata mampu mengungkapkan hal yang demikian,
maka kemungkinan sumber kegagalan akan bisa dipersempit pada performa tim yang
kurang maksimal. Dalam tahap inilah, peran penting dari financial modelling akan mampu
membantu perusahaan dalam mendapatkan informasi terkait kegagalan yang nantinya akan
mengarah pada etos ataupun kompetensi sumber daya.
3. Media Analisis Risiko
Hanya dengan financial modelling, penilaian risiko bisa dilakukan secara sekaligus.
Umumnya, pengukuran ini akan menggunakan analisa sensitivitas dan juga elastisitas.
Secara teknis, tim keuangan pun akan mengukur kegiatan operasional ataupun performa
sumber daya terkait setiap parameternya. Nantinya, akan didapatkan hasil yang mampu
menunjukkan data dan juga risiko terkait setiap lini objek pengukurannya.
4. Metode Pengambilan Keputusan
Setiap komponen yang lengkap dengan model bisa digunakan dalam mengambil suatu
keputusan. Asumsi yang berdasar memiliki peran yang besar dalam memberikan gambaran
proyeksi kondisi operasional, finansial, ataupun marketing nantinya. Dari hal itu lah kita
bisa menentukan langkah yang nantinya bisa dijalankan. Baik itu tetap melanjutkan proses
yang sebelumnya, atau mengubah sebagian atau seluruh tim.

Terdapat beberapa cara untuk menerapkan Financial Modelling di dalam bisnis yaitu:

1. Menyiapkan Variable untuk Financial Modelling


Langkah paling pertama yang harus dilakukan adalah melakukan persiapan. Dalam
langkah yang pertama ini, perusahaan harus bisa mengumpulkan berbagai data yang akan
digunakan untuk variabel data, seperti halnya data histori kinerja perusahaan, data asumsi,

5
dan juga laporan keuangan. Financial statement atau laporan keuangan setidaknya harus
tersedia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dalam bentuk file spreadsheet. Untuk itu,
coba mulailah dengan membuka asumsi yang dibandingkan dengan data historis performa
keuangan untuk bisa mengukur perkembangan pendapatan, margin, dan berbagai biaya
pendukung sampai biaya tetap.

2. Menganalisis Laporan Keuangan


Dalam tahap yang kedua, maka Corporate Development harus mengetahui cara membaca
laporan keuangan yang baik untuk perusahaan. Agar bisa memulainya, bisa
menganalisa laporan laba rugi yang menggunakan basis asumsi pada periode waktu
mendatang. Selanjutnya, juga bisa menghitung laporan laba rugi, laba kotor, biaya
operasional, sampai pendapatan kotor sebagai asumsi pada periode waktu yang akan
datang. Analisis ini juga harus dilakukan dari data laporan neraca perusahaan.
perhitungannya bisa dilakukan dari mulai kalkulasi piutang dan inventaris, lalu dilanjutkan
dengan menggunakan perhitungan yang berdasarkan standar akuntansi. Dari berbagai
analisis laporan keuangan yang sudah dilakukan, maka perusahaan harus segera membuat
jadwal modal aset perusahaan. Selanjutnya, ,maka bisa mendapatkan kesimpulan dari
asumsi inventaris alat, bunga, hutang, sampai properti.

3. Menyusun Asumsi Laporan Keuangan


Tahap ketiga, Corporate Development bisa membuat laporan laba rugi perusahaan yang
perhitungannya dilakukan dengan cara menghubungkan nilai depresiasi, jadwal inventaris
alat, dan juga bunga dengan jadwal hutangnya. Sedangkan dalam neraca, Corporate
Development bisa menghubungkan saldo inventaris penutup dengan saldo utang penutup.
Sebelumnya, perhitungan laporan laba rugi dan neraca adalah sebagai dasar dalam
menyusun laporan arus kas perusahaan. tujuannya adalah agar kondisi keuangan
perusahaan bisa lebih terprediksi lagi.

4. Melakukan Analisis DCF dan Skenario Sensitivitas


Dalam tahap ini, Corporate Development harus bisa menilai prospek perkembangan
perusahaan di masa depan. Caranya adalah dengan melakukan analisis Discounted Cash
Flow (DCF). Analisis ini bisa dilakukan guna memulai suatu penilaian bisnis. selanjutnya,

6
tahapan ini akan diakhiri dengan adanya skenario sensitivitas untuk bisa mengetahui
adanya kemungkinan terjadinya perubahan pada asumsi yang sudah dibuat.

5. Tambahkan Analisis dan Skenario Sensitivitas


Dalam langkah ini, Corporate Development akan memperoleh nilai perusahaan yang
dipengaruhi dengan adanya perubahan asumsi. Untuk itu, aspek sensitivitas ini akan jadi
bagian penentu.

6. Membuat Skema atau Grafik


Tujuan dibuatnya skema atau grafik adalah agar financial modelling yang dibuat nanti
menjadi lebih mudah untuk dipahami. Untuk itu, cobalah untuk membuat grafik yang
beragam. kita bisa memilih bentuk tabel ataupun diagram, atau keduanya agar bisa lebih
mudah dipahami oleh orang lain.

Adapun Orang-orang yang dapat menjalankan Financial Modelling ini yaitu:

1. Corporate development

2. Akuntan

3. Riset Ekuitas

4. Invesment Banking

B. Agency Theory dan Corporate Governance


1. Agency Theory
Perspektif Agency Theory berkembang dalam disiplin ilmu ekonomi dengan tokoh-
tokoh yang berpengaruh dengan pemikiran perspektif tersebut adalah Ross (1973), Jesen
& Meckling (1976), dan Einsenhardt (1989). Agency Theory awalnya mulai berkembang
pada tahun 1960an dimana pada saat itu penekanan utama para ekonom adalah
mengeksplorasi pembagian risiko (risk sharing) pada sejumlah individu atau kelompok
yang berkepentingan dengan kegiatan ekonomi. Permasalahan yang muncul dalam

7
pembagian risiko tersebut adalah perbedaan sikap atas risiko itu sendiri dari sejumlah pihak
yang berkepentingan. Hal ini terjadi karena konsep utama perspektif ini memandang
organisasi sebagai Nexus Of Contract (Jesen & Meckling 1976). Kontrak yang dimaksud
adalah kontrak yang terjadi antara investor perusahaan (principal) dengan manajer
perusahaan atau agensi (agent).
Konsekuensi dari pandangan perspektif agency theory - nexus of contract ini
menimbulkan permasalahan yang dapat di golongkan kedalam 2 golongan besar yaitu,
permasalahan agensi (the agency problem) dan pembagian risiko (the problem of risk
sharing). Permasalahan agensi muncul ketika terjadi konflik antara principal dan agensi
yang berkaitan dengan tujuan perusahaan, dan Ketika principal mengalami kesulitan
memverifikasi pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh agensi. Sedangkan
permasalahan pembagian risiko muncul Ketika principal dan agensi memiliki perbedaan
cara pandang yang berbeda atas risiko itu sendiri. Untuk mengatasi kedua permasalahan
diatas, teori agensi menawarkan 2 alternatif pemecahan yaitu pembuatan kontrak yang
berorientasi pada keperilakuan (behavioral-oriented contract) dan berorientasi pada hasil
(outcome-oriented contract), (einsenhardt, 1989). Asumsi-asumsi yang mendasari teori
agensi adalah :
1. Asumsi yang berkaitan dnegan manusia, yaitu self-interest, bounded rationality, dan
risk aversion.
2. Asumsi organisasi, yaitu terdapat konflik tujuan diantara anggota baik principal
maupun agensi.
3. Asumsi informasi yang memandang informasi sebagai suatu komoditas (commodity)
yang dapat dibeli.

Atas dasar asumsi-asumsi tersebut, teori agensi berkembang dalam dua perkembangan
atau kategori yaitu teori agensi positif (positivist agency theory) dan riset principal-agensi
(principal-agency research). Teori agensi positif merupakan teori agensi yang
megidentifikasi situasi yang berkaitan dengan terjadinya konflik tujuan antara principal
dan agensi dan menjelaskan mekanisme governance atas keterbatasan perilaku self-serving
agensi. Sedangkan kategori riset prinsipal agensi merupakan teori agensi yang
menekankan suatu teori umum yang berkaitan dengan hubungan principal dan agensi,
dimana teori tersebut dapat diaplikasikan kedalam bentuk lainnya seperti hubungan antara

8
manjer puncak dengan manajer menengah, pengacara dengan klien, pembeli dengan
supplier dan sejenisnya.

Agency theory mengimplikasikan adanya informasi asimetris antara manajer sebagai


agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Informasi
asimetris muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan dimasa mendatang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya.
Oleh karena itu prinsipal perlu menciptakan suatu sistem yang dapat memonitor perilaku
agen supaya bertindak sesuai dengan harapannya. Aktivitas ini meliputi biaya untuk
penciptaan standar, biaya monitoring agen, penciptaan sistem informasi akuntansi dan lain-
lain. Aktivitas ini menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost.

Hubungan antara prinsipal dan agen dikatakan berhasil apabila agency cost minimal,
ada keseimbangan dalam memaksimalisasi utilitas antara agen dan prinsipal, atau mencapai
pareto optimum dan ada pihak independen dalam hal ini auditor internal atau eksternal yang
mampu mengendalikan harmonisasi hubungan prinsipal dan agen. Kondisi ideal ini sangat
sulit dicapai karena yang memegang peranan dalam pengolahan dan akses informasi adalah
agen sehinga menimbulkan informasi asimetris, dimana agen lebih tahu banyak
dibandingkan prinsipal. Dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat
informasi asimetris, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan
kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.

Agency theory mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan


mereka sendiri. Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil
keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen
diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dengan syarat-syarat yang
menyertai dalam hubungan tersebut. Karena perbedaan kepentingan ini masing-masing
pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Prinsipal menginginkan
pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang salah satunya
dicerminkan dengan kenaikan porsi dividen dari tiap saham yang dimiliki. Agen
menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian kompensasi / bonus /
insentif / remunerasi yang “memadai” dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Prinsipal

9
menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan
pada pembagian dividen. Makin tinggi laba, makin tinggi harga saham dan makin besar
dividen, maka agen dianggap berhasil / berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang
tinggi.

Sebaliknya agen pun memenuhi tuntutan prinsipal agar mendapatkan kompensasi yang
tinggi. Sehingga bila tidak ada pengawasan yang memadai maka sang agen dapat
memainkan beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai. Permainan
tersebut bisa atas prakarsa dari prinsipal ataupun inisiatif agen sendiri. Maka terjadilah
Creative Accounting yang menyalahi aturan, misal: adanya piutang yang tidak mungkin
tertagih yang tidak dihapuskan; Capitalisasi expense yang tidak semestinya; Pengakuan
penjualan yang tidak semestinya; yang kesemuanya berdampak pada besarnya nilai aktiva
dalam Neraca yang “mempercantik” laporan keuangan walaupun bukan nilai yang
sebenarnya. Atau bisa juga dengan melakukan income smoothing (membagi keuntungan ke
periode lain) agar setiap tahun kelihatan perusahaan meraih keuntungan, padahal
kenyataannya merugi atau laba turun.

Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa agency theory mendeskripsikan pemegang
saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang
dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk
itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan
terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam agency theory adalah
kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah
pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan
agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak
yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu :

1. Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun majikan
memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi
tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri.

2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti
10
agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Dalam mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang
atau lebih (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa pekerjaan
atas nama mereka yang meliputi pendelegasian beberapa kewenangan pengambilan
keputusan kepada agen. Jika kedua belah pihak pada hubungan tersebut adalah
pemaksimalisasi utilitas maka ada alasan yang baik untuk meyakini bahwa agen tidak akan
selalu bertindak demi kepentingan terbaik prinsipal. Prinsipal bisa membatasi
penyimpangan dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang sesuai bagi agen
dan dengan mengeluarkan biaya pengawasan yang dirancang untuk membatasi aktivitas
agen yang menyimpang.
Konsep Agency theory Mendasarkan pada hubungan antara Principal Sebagai
pemilik atau pemegang saham, sedangkan manajemen sebagai Agen. Principal
Merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama
Principal ,sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh principal untuk
menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telahdiamanahkan oleh Principal Kepadanya.
Aplikasi Agency theory Dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap
memperhitungkankemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan
seperangkat aturan yangmengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa
keuntungan, return maupunresiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak
kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat Fairness (mencapai keadilan) yaitu mampu
menyeimbangkan antara Principal Dan Agen Yang secara sistematis memperlihatkan
pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif imbalan khusus
yang memuaskan dari principal ke agen. Inti dari Agency theory Adalah pendesainan
kontrak yang tepat untukmenyelaraskan kepentingan principal dan agen dalam hal terjadi
konflik kepentingan (Scott, 1997).
Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Principal
sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal
perusahaan,sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai
informasi tentangoperasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen

11
tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan
yang bersifatstrategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-
keputusantersebut tetap menjadi wewenang dari principal selaku pemilik perusahaan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang principal dan agen
yangsaling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam
praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik-menarik pengaruh dan
kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia
informasi bagi principal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang
dapat menghambat principal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan
informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak principal selaku pemilik modal
bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling
berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian
yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan
konflikyang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal
maupunagen diasumsikan sebagai orang ekonomi (homo economicsus) yang berperilaku
inginmemaksimalkan kepentingannya masing-masing.

Agency Theory dalam Perspektif Islam

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang harus dimiliki kedua belah pihak
dalam menjalankan perjanjian kontrak, pertama mendahulukan tawakkal daripada akal
nafsu, dan kedua memiliki akhlak yang baik. Dalam usaha selalu dihadapkan pada
permasalahan matematis untung dan rugi. Dalam hal ini yang harus diyakini adalah
bahwa muamalah dalam islam bukan masalah untung dan rugi namun lebih kepada
menghidupkan syariat Allah dan mencari ridho Allah seperti firmanNya.

Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan


menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman (QS, Az

12
Zumar :52)

Artinya:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan

(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al
A’Raf: 96)
…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah ayat 2)

Dalam ketiga ayat di atas penting sekali bagi pemilik dan agen memiliki sikap
tawakal (bersandar) kepada Allah atas usaha yang dilakukan bersama setelah bersama-
sama semaksimal mungkin memenuhi tanggungjawabnya. Baik pemilik maupun agen
keduanya adalah “pekerja” Allah dan bahwa usaha yang dilakukan bersama dengan
sungguh-sungguh merupakan satu hal yang kita serahkan kepada Allah, sedangkan
rezeki merupakan hal lain yang merupakan hak Allah untuk menentukannya.

Hal selanjutnya yang sangat penting untuk dimiliki oleh principal dan agen dalam
melakukan kerjasama adalah akhlak yang baik. Aisyah radiallhuanhu berkata bahwa
ada sepuluh perkara yang termasuk akhlak yang paling mulia. Perkara ini kadang ada
pada diri anak tetapi tidak terdapat pada diri ayahnya. Perkara tersebut terdapat pada

13
diri hamba sahaya namun tidak terdapat pada diri tuannya. Perkara tersebut merupakan
pemberian Allah ta’ala, dan Allah ta’ala mengaruniakan kepada siapasaja yang
dikehendakiNya, yakni 1) Berbicara benar, 2) Berbuat jujur kepada orang lain, 3)
Memberi kepada peminta-minta, 4) Membalas budi baik, 5) Menyambung tali
silaturahhim, 6) Menjaga amanah, 7) Menunaikan hak tetangga, 8) Menunaikan hak
kawan, 9) Menunaikan hak tamu, 10) dan induk dari semua itu adalah malu (Ihya
Ulumiddin)(Zakariyya, 2006).

2. Corporate Governance
Istilah corporate governance telah dikenal luas sejak dua dekade terakhir ini. Pada dua
dekade ini, isu tentang corporate governance menjadi perdebatan sengit tidak hanya dalam
literatur akademis. Tetapi berkembang pada kebijakan publik. Walaupun perdebatan ini
mengerucut apakah corporate governance berusaha hanya untuk melindungi
kepentingannya shareholder atau meluas untuk melindungi kepentingan stakeholders
lainnya.
Istilah corporate governance telah banyak didefinisikan tetapi beberapa definisi tersebut
berbeda satu sama lain bergantung kecenderungan pihak yang mendefiniskannya. Cadbury
Comitte (1992) dalam Lewis dan Algoud (2001) mendefinisikan corporate governance
sebagai sistem hak, proses, dan kontrol perusahaan secara keseluruhan yang ditetapkan
secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas bisnis untuk melindungi
kepentingan semua stakeholder. Definisi ini menunjukkan bahwa corporate governance
dapat berfungsi untuk membangun kepercayaan, menjalin kerja sama, dan menciptakan
visi bersama antara semua pihak yang terlibat dalam perusahaan sehingga masalah
keagenan dapat diantisipasi.
Sedangkan The Organization of Economic Corporation and Development (OECD)
mendefinisikan GCG sebagai serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan,
pengurus, pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan
perusahaan (stakeholders). Presiden Bank Dunia, J. Wolfensohn berpendapat pada
Financial Times 21 Juni 1999, bahwa corporate governance adalah bentuk
mempromosikan tentang corporate fairness, transparency dan accountability, sedangkan
Sir Adrian Cadbury pada forum Global Corporate Governance World Bank, berpendapat:

14
"Corporate Governance is concerned with holding the balance between economic and
social goals and between individual and communal goals. The corporate governance
framework is there to encourage the efficient use of resources and equally to require
accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as
possible the interests of individuals, corporations and society".
Sharman dan Copnell (2002) dalam Martin Fahi, dkk (2005) mendefinisikan corporate
governance sebagai sistem dan proses untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi
dalam rangka meningkatkan kinerja dan mencapai nilai pemegang saham berkelanjutan.
Menurut Dick (2000) dalam Chapra dan Ahmed (2008) mendefinisikan corporate
governance sebagai sekumpulan batasan sosial yang sangat luas dan kompleks yang dapat
memengaruhi keinginan untuk berinvestasi pada perusahaan dengan harapan tertentu.
Corporate governance dalam tataran lebih luas didefinisikan sebagai sekumpulan
mekanisme dimana para investor dari luar berusaha melindungi kepentingannya dari
pengambilalihan yang dilakukan oleh pihak dalam.
Bacelius Ruru (2007) dalam Nur Hidayati (2010)memberikan pengertian GCG atau
tata kelola usaha adalah suatu mekanisme yang mengatur tentang tata cara pengelolaan
perusahaan berdasarkan rules yang menaungi perusahaan, seperti anggaran dasar (articles
of association) serta aturan-aturan tentang perusahaan (UUPT), dan aturan-aturan yang
mengatur tentang kegiatan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian,
sebenarnya good corporate governance bukan saja berkaitan dengan hubungan antara
perusahaan dengan pemiliknya (pemegang saham), tapi juga (dan terutama) dengan para
pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan (stakeholders).
Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 mendefiniskan
GCG adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility),
profesional (professional) dan kewajaran (fairness).
Adapun prinsip dari Corporate Governance yaitu, Sebagai lembaga intermediasi dan
lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut
prinsip keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank
berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values, sasaran usaha dan
strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability), berpegang pada

15
prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku
sebagai wujud tanggung-jawab bank (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak
manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fairness).
Dalam hubungan dengan prinsip tersebut bank perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Keterbukaan (Transparency)
a. Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat
dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan
haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang
bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendalian,
cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management),
sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistem dan
pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk
memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang
berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang
kebijakan tersebut.
2. Akuntabilitas (Accountability)
a. Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ
organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.
b. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai kompetensi
sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan
GCG.
c. Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan
bank.

16
d. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-
ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values),
sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki rewards and punishment system.
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
a. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada prinsip kehati-
hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan
yang berlaku.
b. Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik)
termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
4. Independensi (Independency)
a. Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder
manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan
kepentingan (conflict of interest).
b. Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan
dari pihak manapun.
5. Kewajaran (Fairness)
a. Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
b. Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta
mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.

Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009


bahwa prinsip-prinsip dalam GCG bahwa harus menerapkan prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), profesional (professional). kewajaran
(fairness). dan pertanggungjawaban (responsibility). Selain itu Prinsip dasar pelaksanaan
GCG ini juga dijelaskan dalam pedoman Good Governance Bisnis Syariah (GGBS).
Prinsip ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Keterbukaan
Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah/2: 282"...dan
transparankanlah (persaksikanlah) jika kalian saling bertransaksi...", dan berdasarkan

17
hadits yang menyatakan "... barang siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan
informasi yang diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk umat kami", maka semua
transaksi harus dilakukan secara transparan. Tranparansi (transparency) mengandung
unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah
diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis
syariah menjalankan bisnis secara objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
yang sesuai dengan ketentuan syariah. Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua pemangku
kepentingan sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi,
sasaran usaha dan strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan pengurus,
kepemilikan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian
internal, sistem dan pelaksanaan GGBS serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian
penting yang dapat mempengaruhi kondisi entitas bisnis syariah.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis syariah tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan organisasi sesuai dengan
peraturan perundangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan organisasi harus tertulis dan dikomunikasikan kepada semua pemangku
kepentingan. secara proporsional
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana tercermin
dalam surat al-Isra/17: 84

18
artinya "Katakanlah (Muhammad), setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya
masing-masing. Maka tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya". dan
dalam surat al-isra ayat 36

Artinya “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan, dan hati Nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabnnya". Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan
fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah
harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk
itu bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku kepentingan dan
masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan. Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-
nilai, dan strategi bisnis syariah.
b. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua elemen organisasi dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GGBS.
c. Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya sistem pengendalian yang efektif
dalam pengelolaan organisasi.
d. Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
organisasi yang konsisten dengan sasaran bisnis yang digeluti, serta memiliki
sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap elemen organisasi dan
semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis syariah dan pedoman prilaku
(code of conduct) yang telah disepakati.

19
f. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua prosedur dan mekanisme kerja
dapat menjamin kehalalan, tayib, ikhsan dan tawazun atas keseluruhan proses dan
hasil produksi
3. Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility), pelaku bisnis syariah
harus mematuhi peraturan perundangan dan ketentuan bisnis syariah, serta
melaksanakan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Tanggungjawab
atas perbuatan manusia dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya
direkam dalam catatan yang akan dicermatinya nanti, sebagaimana firman Allah Swt
dalam surat al-Isra/17: 14

artinya: "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ni sebagai penghitung
atas dirimu." Dengan pertanggungjawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat
terpelihara kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
pelaku bisnis yang baik (good corporate citizen). Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan bisnis syariah dan perundangan. Anggaran dasar
serta peraturan internal pelaku bisnis syariah (by-laws).
b. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi perjanjian yang dibuat termasuk tetapi
tidak terbatas pada pemenuhan hak dan kewajiban yang yang disepakati oleh para
pihak.
c. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung jawab sosial antara lain dengan
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar tempat
berbisnis, dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan dengan cara
membayar zakat, infak dan sadaqah.
4. Independensi
Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis syariah harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak tidak boleh saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait

20
dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap berpegang teguh pada kebenaran
meskipun harus menghadapi risiko. (Fushshilat/41: 30). Independen merupakan
karakter manusia yang bijak (ulul al-bab) yang dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak
16 kali, yang diantara karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap informasi
(mendengar perkataan) dan mengambil keputusan (mengikuti) yang terbaik (sesuai
dengan nuraninya tanpa tekanan pihak manapun). “ Oleh karena itu, maka:.
a. Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan harus menghindari terjadinya
dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas
dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ Perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan peraturan perundangan dan ketentuan syariah, tidak saling mendominasi
dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
c. Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur kesamaan perlakuan dan
kesempatan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah/5: 8

artinya: “Wahai orang-orang yangberiman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan


karena Allah, (Ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh,
Allah mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Fairness atau kewajaran
merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik
dalan skala individu maupun lembaga, hendaklan dilakukan sesuai kewajaran dan
21
kesetaraan sesuai dengan apa yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka
atau tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang
seimbang dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik di dunia maupun
di akhirat. Dalam usul fikih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari sabda
Rasulullah Saw, al-kharaj bidh-dhaman yang artinya bahwa usaha adalah sebanding
dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula dimengerti sebagai risiko yang
berbanding lurus dengan pulangan (return). Dalam melaksanakan kegiatannya, Pelaku
bisnis syariah harus senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku
kepentingan, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan pada pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
organisasi serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan.
c. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
pegawai, berkarir, dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin (gender) dan kondisi fisik.
d. Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawazun yaitu adil dalam pelayanan kepada
para nasabah atau pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka, serta memenuhi
semua kesepakatan dengan para pihak terkait dengan harga. Kualitas, spesifikasi
atau ketentuan lain yang terkait dengan produk yang dihasilkannya.

Dengan adanya penerapan prinsip ini secara baik maka hal ini akan menjadi
nilai tambah bagi perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya di masa
mendatang.

Konsep GCG pada intinya adalah: Pertama, internal balance antar organ
perusahaan RUPS, Komisaris, dan Direksi dalam hal yang berkaitan dengan struktur
kelembagaan dan mekanisme operasional ketika organ perusahaan tersebut. Kedua,
external balance, yaitu pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis
dalam masyarakat dan stakeholders.

22
Dari 13 prinsip GCG yang dirumuskan Komisi Nasional Kebijakan Corporate
Governance, delapan diantaranya menyangkut internal balance, seperti: pemegang
saham dan RUPS, Dewan Komisaris dan komite pendukungnya, direksi, sistem audit,
Sekretaris Perusahaan, keterbukaan, kerahasiaan, dan informasi orang dalam. Adapun
5 isu lainnya hanya disinggung secara singkat, yaitu pihak yang berkepentingan
(stakeholders), etika berusaha dan antikorupsi, donasi, kepatuhan pada peraturan
perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja yang sama.

Adapun Unsur-unsur Corporate Governance yaitu dari pengamatan diatas, maka


tampak terdapat unsur-unsur corporate governance yang berasal dari dalam
perusahaan serta unsur-unsur yang ada di luar perusahaan yang bisa menjamin
berfungsi nya Good Corporate Governance.

1. Corporate Governance - Internal Perusahaan

Unsur-unsur yang berasal dari dalam perusahaan adalah:

a. Pemegang saham

b. Direksi

c. Dewan komisaris

d. Manajer

e. Karyawan/serikat kerja

f. Sistem remunerasi berdasarkan kinerja

g. Komite audit

Unsur-unsur yang selalu diperlukan di dalam perusahaan, antara lain meliputi:

a. Keterbukaan dan kerahasiaan (disclosure)

b. Transparansi

c. Accountability

d. Fairness

e. aturan dari code of conduct


2. Corporate Governance – external perusahaan
Unsur yang berasal dari luar perusahaan adalah:

23
a. Kecukupan undang-undang dan perangkat hukum
b. Insvetor
c. Institusi penyedia informasi
d. Akuntan public
e. Institusi yang memihak kepentingan publik bukan golongan
f. Pemberi pinjaman
g. Lembaga yang mengesahkan legalitas

Unsur yang selalu diperlukan di luar perusahaan antara lain meliputi:

a. aturan dari code of conduct


b. fairness
c. accountability
d. jaminan hukum

Perilaku partisipasi pelaku corporate governance yang berada di dalam rangkaian


unsur-unsur tersebut (eksternal dan internal) menentukan kualitas corporate governance.

C. Stakeholders Theory
Teori ini pada awalnya muncul karena adanya perkembangan kesadaran dan
pemahaman bahwa perusahaan memiliki stakeholder, yaitu pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan. Ide bahwa perusahaan memiliki stakeholder ini
kemudian menjadi hal yang banyak dibicarakan dalam literatur-literatur manajemem baik
akademis maupun profesional. Studi yang pertama kali mengemukakan mengenai
stakeholder adalah Strategic Management: A Stakeholder Approach oleh Freeman (1984).
Sejak itu banyak sekali studi yang membahas mengenai konsep stakeholder. Konsep
tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum
dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan
masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam
pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai

24
secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk.,
2004).
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholder (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat,
analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi
oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah "Teori yang menyatakan
bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas
perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder
juga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat
memainkan peran secara langsung dalam suatu perusahaan.
Budimanta, Prasetijo, & Rudito (2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam
pendekatan stakeholder yaitu old-corporate relation dan new-corporate relation. Old-
corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara
terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam sebuah
perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan perusahaan dengan pihak di luar
perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan transaksional saja
tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan bersama. Pendekatan old-
corporate relation ini dapat menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri
dengan para stakeholder baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar
perusahaan. Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi
antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan hanya
menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial
masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun
berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan
kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar
perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada
kemitraan. Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama
membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan. Teori stakeholder
dapat dilihat dalam tiga pendekatan:

25
1. Deskriptif

Pendekatan deskriptif pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara


sederhana merupakan deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah
perusahaan beroperasi. Teori stakeholder dalam pendekatan deskriptif, bertujuan
untuk memahami bagaimana manajer menangani kepentingan stakeholder dengan
tetap menjalankan kepentingan perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan
energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap
pemilik perusahaan saja.

2. Instrumental

Teori stakeholder dalam pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu


strategi pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang
lebih baik adalah dengan memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini
didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008),
yang menunjukkan bahwa setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan
komitmennya terhadap pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki
kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak
memiliki komitmen. Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari
konsekuensi yang ditanggung perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan
hubungan stakeholder dan berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.

3. Normatif

Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau
kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan
memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan dan hal ini
menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak
para pemangku kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk
mengidentifikasi pedoman moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun
manajemen perusahaan .

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori stakeholder merupakan suatu teori
yang mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi
26
strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah
bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang
digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya kinerja dalam
finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh perusahaan. Corporate Sosial
Responsibility merupakan strategi perusahaan untuk memuaskan keinginan para
stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan
perusahaan maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan
penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan
mencapai laba.

Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya


beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya (pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat,
analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat
dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan
perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Pengungkapan tanggung
jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara perusahaan
dengan stakeholdernya. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber
ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang
memuaskan keinginan stakeholder.

Teori Stakeholder Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan


stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau
terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku
kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun
tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok
tersebut memengaruhi dan atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder termasuk di
dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public interest
groups, dan govermental bodies (Roberts, 1992).

Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk


memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh

27
karena itu, kekuatan stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya kekuatan yang dimiliki
stakeholder atas sumber tersebut. Kekuatan tersebut dapat berupa kemampuan untuk
membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses
terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau
kemampuan untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan
perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan memiliki pihak- pihak yang memiliki
kepentingan terhadap perusahaan. Pihak-pihak ini dapat meliputi investor dan pihak-pihak
non investor seperti pelanggan, karyawan, pemasok, masyarakat sekitar, dan pemerintah
(Robbins dan Coulter, 2007). Menurut teori ini, perusahaan memiliki kontrak dengan
stakeholdernya. Dengan demikian, stakeholder memegang peranan penting dalam menentukan
kesuksesan perusahaan. Tujuan utamanya adalah membantu manajer korporasi untuk
mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif
diantara keberadaan hubungan-hubungan dilingkungan perusahaan mereka serta menolong
manajer korporasi dalam meningkatkan nilai dari dampak aktivitas-aktivitas mereka dan
meminimalkan kerugian bagi stakeholdernya. Secara umum, Stakeholder dapat dikelompokkan
berdasarkan kekuatan, posisi,dan pengaruhnya. Adapun klasifikasi stakeholder adalah sebagai
berikut:

1. Stakeholder Utama (Primer)Stakeholder primer ini berhubungan langsung dengan pembuatan


kebijakan, program, dan proyek. Mereka merupakan penentu utama dalam kegiatan
pengambilankeputusan.
2. Stakeholder Pendukung (Sekunder)Stakeholder sekunder adalah pihak yang tidak berkaitan
langsung terhadap suatukebijakan, program, dan proyek. Namun stakeholder sekunder punya
keprihatinan dankepedulian sehingga ikut menyuarakan pendapat yang bisa mempengaruhi
sikapstakeholder utama dan keputusan legal pemerintah.
3. Stakeholder KunciStakeholder kunci adalah unsur eksekutif berdasarkan levelnya (legislatif
daninstansi) yang punya wewenang secara legal untuk mengambil keputusan.
Contohnya,stakeholder kunci suatu proyek di daerah kabupaten:
a. Pemerintah Kabupaten
b. DPR Kabupaten
c. Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan

28
Dalam paradigma stockholder, orientasi manajemen selalu tertuju kepada pemegang saham.
Alasannya adalah manajemen harus bertanggungjawab atasmandate yang telah diberikan untuk
mengelolah perusahaan pemegang saham. Olehkarena itu dalam paradigma stockholder,
pemegang saham adalah segala-segalanya bagi manajemen. Sedangkan dalam paradigma
stakeholder, manajemen dihadapkan pada banyak pihak, atau bisa dikelompokkan menjadi dua
yaitu stakeholder primer(pemegang saham, kreditor, pekerja, pemasok, penyalur, pelanggan, dan
pesaing) dan stakeholder sekunder (pemerintah, masyarakat, aktivis social, pendukung
bisnis,media massa dan pendapat umum). Dengan peralihan paradigma stockholder menjadi
stakeholder maka manajemenharus mematuhi prinsip-prinsip stakeholder, prinsip-prinsip tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Pelanggan
Pelanggan merupakan pembeli dan pemakai produk perusahaan. Pelanggan adalah pihak yang
sangat penting karena keberlangsungan perusahaan sangat bergantung padanya. Berikut ini
beberapa hal yang harus dilakukan oleh perusahaan sebagaiwujud tanggung jawab kepada
pelanggan :
a. Memberikan produk yang terbaik yang sesuai dengan tuntutan pelanggan.
b. Berlaku adil terhadap pelanggan dalam semua transaksi.
c. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kualitas lingkungan pelanggan dari produk dan
jasa perusahaan.
d. Menghormati pelanggan dalam memasarkan, menawarkan dan mengiklankan produk.
e. Menghormati integritas budaya pelanggan
2. Pekerja
Kepada pekerjaperusahaan juga memiliki tanggung jawab yaitu :
a. Memberikan imbalan dan pekerjaan yang dapat memperbaiki kondisikehidupan mereka.
b. Memberikan kondisi kerja yang melindungi kesehatan dan martabat pekerja.
c. Bersikap jujur dan terbuka dalam berkomunikasi dan memberikan informasi.
d. Mendengarkan saran, gagasan keluhan dan permintaan pekerja.
e. Mengajak bermusyawarah bila terjadi konflik.
f. Menghindari diskriminasi.
g. Mengembangkan diversifikasi pekerjaan dalam bisnis agar pekerja dapat lebih
bermanfaat.

29
h. Melindungi pekerja dari kecelakaan dan penyakit saat bekerja.
i. Membantu pekerja dalam mengembangkan pengetahuan serta keterampilanyang selaras
dan dapat dialihkan.
j. Peduli terhadap masalah pengangguran dalam membuat keputusan bisnis.
3. Pemegang Saham
Sebagai penghormatan atas kepercayaan, manajemen bertanggung jawab kepada pemegang
saham, yaitu :
a. Menerapkan manajemen yang professional serta tekun dalam bekerja gunamendapatkan
keuntungan yang wajar serta kompetitif.
b. Memberikan informasi yang sebenarnya kepada investor mengenai segala hal.
c. Melindungi, menghemat, dan menumbuhkan aset investor.
d. Menghormati permintaan, keluhan, saran, serta solusi dari investor.
4. Pemasok
Hubungan manajemen dengan pemasok dan subkontraktor harus dilandasi dengansaling
menghormati. Dan perusahaan mempunyai tanggung jawab :
a. Menerapkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam setiap aktivitas dengan pemasok.
b. Menjamin semua aktivitas terbebas dari bentuk pemaksaan dan proses yuridis yang tidak
perlu
c. Menciptakan stabilitas hubungan jangka Panjang dengan pemasok dalam bentuk
terjaganya kualitas, kontinuitas, bahan baku, dan keuntungan yangwajar.
d. Berbagi informasi dan melibatkan pemasok dalam rencana perusahaan.
e. Membayar tepat waktu sesuai dengan kesepakatan.
f. Mencari, pengutamakan dan mendukung pemasok dan subkontraktor yangmenghormati
martabak manusia.
5. Pesaing
Setiap perusahaan harus selalu menghormati persaingan dan mempunyai tanggung jawab
untuk hal-hal :
a. Mengembangkan pasar terbuka untuk perdagangan serta investasi.
b. Menciptakan perilaku persaingan yang menguntungkan secara lingkungan dansocial.
c. Saling menghormati antar pesaing.Menghindari pemberian gaji atau hadia yang tidak
masuk akal untuk menjaminkeuntungan yang kompetitif.

30
d. Menghormati hak milik intelektual dan produk.
e. Tidak mencuri gagasan entah itu penciptaan produk maupun inovasi.
6. Masyarakat
Perusahaan memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, oleh karena itu bisnisyang
dijalankan harus memperhatikan :
a. Menghormati hak asasi manusia dan lembaga-lembaga demokrasi.
b. Mengakui kewajiban sah pemerintah kepada masyarakat dan mendukungkebijakan serta
pelaksanaan public yang bertujuan mengembangkan manusiamelalui hubungan yang baik
antara perusahaan dan masyarakat.
c. Mengembangkan dan merangsang pembangunan berkelanjutan serta berperandalam
memelihara lingkungan dan konservasi sumber daya.
d. Mendukung keamanan, perdamaian, keanekaragaman dan keutuhan social.
e. Menghormati keutuhan budaya local.
f. Menjadi warga perusahaan yang baik dengan memberikan sumbangan karitatif,
kebudayaan, Pendidikan, serta partisipasi pekerja dalam masyarakat danmasalah sipil.

Perusahan berperan dalam memperbaiki kehidupan pelanggan, karyawan, dan


pemegang saham dengan berbagai kesejahteraan kepada mereka. Pemasok dan pesaing juga
mengharapkan agar perusahaan menghormati kewajibannya dalamsemnagat kejujuran dan
keadilan. Dan kepada masyarakat dima perusahaan berlokasi, perusahaan mempunyai
tanggung jawab dalam membentuk masa depan masyarakat tersebut.

D. Stakeholders Oriented Value (SOV)


Nilai pemangku kepentingan melibatkan penciptaan tingkat pengembalian yang optimal
bagi semua pemangku kepentingan dalam suatu organisasi. Ini adalah konsep yang lebih luas
daripada nilai pemegang saham yang lebih umum, yang biasanya hanya berfokus pada
memaksimalkan laba bersih atau arus kas. Konsep nilai pemangku kepentingan masih
menempatkan beberapa penekanan pada laba bersih atau arus kas, tetapi juga memasukkan
kebutuhan pemangku kepentingan lainnya, seperti karyawan, masyarakat setempat,
pemerintah, pelanggan, dan pemasok. Dengan demikian, nilai pemangku kepentingan
mungkin juga termasuk mencocokkan kontribusi amal yang dibuat oleh karyawan, mendanai

31
inisiatif "hijau" lokal, meminimalkan penggunaan sumber daya, atau mendukung rencana
tunjangan karyawan, meskipun hal itu tidak sepenuhnya diperlukan dari perspektif kompetitif.

Konsep nilai pemangku kepentingan cenderung menghasilkan laba bersih yang lebih
rendah, kecuali jika mengambil langkah-langkah yang disebutkan di atas menghasilkan begitu
banyak niat baik masyarakat sehingga penjualan bisnis benar-benar meningkat. Namun, ini
tidak biasanya terjadi. Sebaliknya, chief executive officer harus siap untuk membela
tindakannya kepada dewan direksi dalam membelanjakan dana di area yang lebih mungkin
menguntungkan pemangku kepentingan daripada pemegang saham.
Konsep nilai pemangku kepentingan memiliki manfaat ketika menetapkan strategi
perusahaan untuk jangka panjang, karena membangun dukungan di antara kelompok besar
yang mungkin bersedia membantu entitas pada saat situasi keuangannya menurun. Ini juga
dapat mengarah pada undang-undang yang menguntungkan yang memberi organisasi postur
kompetitif yang lebih baik daripada yang mungkin terjadi. Selanjutnya, hal itu dapat
menghasilkan citra merek perusahaan yang umumnya positif.

32
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Financial modelling adalah suatu kegiatan dalam suatu financial model ataupun
kegiatan membuat suatu model yang mampu menampilkan performa keuangan bisnis di
masa depan. Umumnya, model dari proses ini bisa dituangkan di dalam bentuk
spreadsheet. Financial modelling adalah suatu pembuatan rangkuman seluruh transaksi
perusahaan, yaitu pengeluaran dan pemasukan, yang dalam kata lain financial model
ataupun model keuangan.
Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa agency theory mendeskripsikan pemegang
saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Agency theory mengimplikasikan
adanya informasi asimetris antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah
pemegang saham) sebagai prinsipal.
stakeholder theory adalah "Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder
memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat
memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih
untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara
langsung dalam suatu perusahaan.
Nilai pemangku kepentingan melibatkan penciptaan tingkat pengembalian yang
optimal bagi semua pemangku kepentingan dalam suatu organisasi. Konsep nilai
pemangku kepentingan cenderung menghasilkan laba bersih yang lebih rendah, kecuali
jika mengambil langkah-langkah yang disebutkan di atas menghasilkan begitu banyak niat
baik masyarakat sehingga penjualan bisnis benar-benar meningkat. Konsep nilai pemangku
kepentingan memiliki manfaat ketika menetapkan strategi perusahaan untuk jangka
panjang, karena membangun dukungan di antara kelompok besar yang mungkin bersedia
membantu entitas pada saat situasi keuangannya menurun

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,Habib. 2008. Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Bumi Aksara

Aldira Maradit. (Mei-Agustus 2014). Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank
Syariah Dan Bank Konvensional. Yuridika: Volume 29 No 2

Ghozali, I dan A. Chariri, 2007. Teori Akuntansi. Badan Penerbit Undip: Semarang

http://stakeholder-ayuku.blogspot.com/2015/10/stakeholder-di-lingkungan-perusahaan.html

https://wahyudinsumpeno.wordpress.com/2012/07/23/teori-pemangku-kepentingan/

Huda,Nurul. 2009. Current Issues Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana

Jonathan R. Macey and Maureen O’Hara, The Corporate Governance Of Banks,


2003.www.ssrn.com

Mervin K. Lewis dan Latifa M. Algaoud. 2007. Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan Prospek,
Jakarta: Serambi

Prof.Gudama. 2014. Teori Organisasi. Yogyakarta: BPFE

Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika

Yunis, Hamid. 2007. “Corporate Governance For Bank”, dalam simon Archer dan Rifaat Ahmed
Abdel Karim (ed.), Islamic Finance: The Regulatory Challege, Singapore: John Wiley and Sons
(Asia) Pte Ltd

34

Anda mungkin juga menyukai