Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN TATA KELOLA:

KONSEP, PRINSIP, DAN PRAKTIK DI INDONESIA

Disusun oleh:

Rizki Gigih Apriati (C4C018002)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
PURWOKERTO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut organisasi
untuk mengambil langkah strategis agar organisasi dapat terus berkembang
dengan baik sesuai dengan perubahan yang terjadi. Perubahan untuk
menjadi lebih baik, tidak akan terlepas dari sejumlah tantangan yang akan
terus menghadang, apalagi di era yang penuh dengan persaingan dan
ketidakpastian. Berdasarkan konsep persaingan berbasis waktu maka siapa
yang cepat dia yang menang, baik lebih cepat dalam menawarkan produk
baru dari pesaingnya (fast to market) maupun kecepatan merespon
permintaan pelanggan terhadap produk yang telah ada (fast to product).
Oleh karena itu organisasi yang ingin terus berkembang harus merespon
dengan cepat tantangan-tantangan yang ada.
Tingkat persaingan yang tinggi harus dihadapi perusahaan
dengan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang dapat membedakan
dengan pesaingnya. Dengan adanya perbedaan tersebut berarti perusahaan
telah memiliki keunggulan kompetitif. Namun, tujuan dari organisasi
seharusnya tidak hanya sampai pada keunggulan kompetitif saja tetapi
keunggulan kompetitif tersebut sifatnya berkelanjutan atau tidak hanya
sementara sehingga dikatakan perusahaan memiliki keunggulaan
kompetitif yang berkelanjutan.
Untuk membentuk keunggulan yang kompetitif, maka semua
komponen dalam perusahaan harus melakukan kerja keras dan kreativitas
ekstra agar mampu menjawab tantangan usaha ini, yaitu dengan salah satu
cara membentuk dan melakukan proses internalisasi budaya perusahaan
yang kuat dan sehat kepada seluruh insan perusahaan.
Good Corporate Governance (GCG) merupakan unsur penting
di industri perbankan mengingat risiko dan tantangan yang dihadapi oleh
industri perbankan yang semakin meningkat. Penerapan GCG secara
konsisten akan memperkuat posisi daya saing perusahaan, memaksimalkan
nilai perusahaan, mengelola sumberdaya dan risiko secara lebih efisien dan
efektif, yang pada akhirnya akan memperkokoh kepercayaan pemegang
saham dan stakeholders.
Satu dekade terakhir merupakan masa keemasan yang
signifikan bagi Bank Mandiri. Pertumbuhan perusahaan yang kian pesat
menjadikan Bank plat merah ini sebagai salah satu bank terbesar di tanah
air. Bank Mandiri kembali memperoleh pengakuan internasional atas
konsistensi penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance/GCG). Dalam Corporate Governance Asia (CGA) Annual
Recognition Award 2012, Bank Mandiri meraih The Best of Asia CGA.
Penghargaan ke-4 kalinya berturut-turut sejak 2009 itu diserahkan
Publisher CGA Aldrin Monsod kepada Direktur Compliance and Human
Capital Bank Mandiri Ogi Prastomiyono di Hong Kong.
Tahun ini, CGA juga memberikan penghargaan Asian Corporate
Director Recognition Award kepada Direktur Utama Bank Mandiri
Zulkifli Zaini atas konsistensi dan dedikasinya menerapkan GCG di
perusahaan sebagai etos kerja.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Keagenan (Theory Agency)


Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah
satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori
organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di
antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Salah satu pihak
(principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit,
dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan
bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal
(dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Menurut Belkaoui
(2011:188), teori agensi mungkin berawal dengan adanya penekanan pada
kontrak sukarela yang timbul di antara berbagai pihak organisasi sebagai
suatu solusi yang efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini
berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan sebagai suatu
“penghubung (nexus) kontrak” melalui pernyataan oleh Jansen dan
Meckling yang menyatakan bahwa perusahaan adalah “cerita fiksi legal
yang berfungsi sebagai penghubung atas serangkaian hubungan kontrak
antara individu.”
Berdasarkan teori keagenan, perusahaan adalah suatu legal fiction
yang berperan penting dalam proses mengarahkan tujuan-tujuan individu
yang berbeda ke keseimbangan dalam kerangka hubungan kontraktual.
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan (agency
relationship) sebagai berikut:
"an agency relationship as a contract under which one or more
persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform
some service on their behalf which involves delegating some decision
making authority to the agent" (p.85).
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau
lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan
suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen
membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak
tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai
dengan kepentingan prinsipal.
Teori keagenan didasarkan pada pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian (ownership and control). Pemisahan antara pemilikan dan
pengendalian dapat merupakan bentuk efisien dari perusahaan dalam
kerangka perspektif "serangkaian kontrak" perusahaan merupakan
serangkaian kontrak yang mencakup cara dimana input diproses untuk
menghasilkan output dan cara dimana hasil dari output dibagi diantara
input. Dalam perspektif 'nexus of contracts' ini, kepemilikan perusahaan
merupakan konsep yang tidak relevan dan fungsi manajemen adalah
mengawasi kontrak-kontrak diantara faktor-faktor dan memastikan
keberlangsungan perusahaan.
Menurut Eisenhardt (1989) dalam Emirzon (2007), Teori keagenan
dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi
keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan
bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest),
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara
principal dan agent. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai
barang komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-
masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.
Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk
mensejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat.
Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan
ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi,
pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian terdapat dua
kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing
pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat
kemakmuran yang dikehendaki.
Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan
antara prinsipal dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu
penyebab agency problems adalah adanya asymmetric information.
Asymmetric Information adalah ketidakseimbangan informasi yang
dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal tidak memiliki informasi
yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya, agen memiliki lebih banyak
informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara
keseluruhan (Widyaningdyah, 2001).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut
adalah:
1. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak
melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-
benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi
sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang
terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan
pembagian kerja yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas
tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu
(principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent) yang
melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua
permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt,
1989 dalam Darmawati, 2005). Pertama adalah masalah keagenan yang
timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal
dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal
bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar
dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat
memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua
adalah masalah pembagian resiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen
memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dengan demikian, prinsipal
dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda dikarenakan
adanya perbedaan preferensi resiko.
Menurut Hendriksen dan Breda (2000:221), menyatakan bahwa
teori keagenan memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama
dalam menyediakan informasi setelah suatu kejadian yang disebut sebagai
peranan pascakeputusan. Peranan ini sering diasosiasikan dengan peran
pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana seorang agen melapor kepada
prinsipal tentang kejadian-kejadian dimasa lalu. Inilah yang memberi
akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai
umpan balik menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting
dalam menguatkan atau mengoreksi harapan-harapan sebelumnya.

B. Hubungan Prinsipal dan Agen


1. Pemegang Saham dan Manajemen
Teori keagenan merupakan dasar teori yang digunakan dalam
pemahaman konsep good corporate governance. Hubungan keagenan
dalam teori agensi muncul karena adanya hubungan kerja antara pihak
yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang
menerima wewenang (agen) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja
sama dimana prinsipal mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan
kepada agen dalam mengelola kekayaan investor (Brigham dan Houston,
2004). Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan
wewenang pengelolaan tersebut akan memperoleh keuntungan dengan
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Menurut Dwiyanti (2010), manajer sebagai pengelola perusahaan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa
yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham atau investor).
Oleh sebab itu, manajer mempunyai kewajiban memberikan informasi
mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Informasi yang diberikan
oleh manajer dapat dilakukan dengan mengungkapkan informasi akuntansi
seperti laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan digunakan oleh
berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan. Namun yang paling
berkepentingan dengan laporan keuangan perusahaan adalah para
pengguna eksternal (di luar manajemen) karena pengguna laporan
keuangan eksternal berada dalam kondisi ketidakpastian. Sedangkan para
pengguna internal (manajemen perusahaan) mempunyai kontak langsung
dengan perusahaan dan mengetahui peristiwa yang terjadi terhadap
perusahaan sehingga tingkat ketergantungan terhadap informasi akuntansi
tidak sebesar para pengguna eksternal.
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja
demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak
manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada
pemegang saham.
2. Pemegang Saham Publik dan Pemegang Saham Pengendali
Masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen
perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut.
Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi
berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka
berusaha untuk mengambil keuntungan dari beban yang ditanggung oleh
pemegang saham. Cara yang dilakukan pihak manajemen adalah dalam
bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk kesenangan dan
fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Jensen
(1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan dapat
terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan
manajer, dan (2) antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu
perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh
pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer–pemilik tersebut
akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki
kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan
perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif.
Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka
mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan
menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka pertentangan
kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer mungkin
saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan
pemegang saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang
sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja
manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas
eksekutif, karena sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang
saham lainnya.
3. Kreditur dan Manajemen
Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima
uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan
pendapatan pemegang saham bergantung pada besaran laba
perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan kemampuan
perusahaan untuk membayar kembali utangnya, dan pemegang saham
lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk memperoleh
kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek - proyek
yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka
kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek
mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat
dari ketidakmampuan pemegang saham untuk memenuhi
kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur
melakukan pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu
pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi
dalam proyek baru.Konflik antara pemegang saham dengan pihak
manajemenWalaupun telah dilakukan kontrak kerja yang sah antara pihak
principal dan agent,namun di sisi lain pihak agent memiliki pengetahuan
yang lebih banyak mengenai perusahaan (full information) dibandingkan
dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal. Pengetahuan yang
lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan dengan pengetahuan
yang dimiliki oleh pihak principal ini membuatterbentuknya suatu asimetri
information atau asymetric information.
Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya
konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989)
mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada
umunya mementingkan diri sendiri (self interest ), (2) manusia memiliki
daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang( bounded
rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yangdihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan
reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan
(Muh.Arief Ujiyantho). Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat
memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen
laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.
4. Pemangku Kepentingan Lainnya dan Manajemen
Menurut Van der Stede (2007), tata kelola perusahaan merujuk pada
seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa
perusahaan diarahkan dan dikelola untuk menciptakan nilai bagi
pemiliknya sementara secara bersamaan memenuhi tanggung jawab
kepada para pemangku kepentingan lain (misalnya karyawan, pemasok,
masyarakat pada umumnya). Banyak mekanisme, termasuk dewan direksi,
auditor eksternal, penilaian tata kelola perusahaan, hak pemegang saham
suara, dan ancaman pengambilalihan, dapat memiliki efek tata kelola
perusahaan.
C. Peran Tata Kelola dan Tata Kelola Bisnis Untuk Mengatasi Konflik
Kepentingan
Masalah-masalah keagenan dapat diatasi dengan tata kelola
perusahaan(corporate governance).Corporate Governance dapat
didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka
atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan.Berdasarkan teori keagenan, ada 2 macam corporate
governance yaitu “bad” dan “good” (Armstrong, 2009).Bad corporate
governance berarti perusahaan mengalami konflik keagenan yang serius
antara pemegang saham dan manajer, serta biaya kontrak.Sedangkan good
corporate governance berarti perusahaan dapat mengurangi konflik
keagenan antara pemegang saham dan manajer, serta biaya kontrak.
Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai struktur,
sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-pihak internal maupun
eksternal yang berkaitan dengan perusahaan sebagai upaya untuk
memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam
jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan:
 Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran
dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder
lainnya.
 Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
 Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut dengan pengukuran kinerjanya.

D. Definisi dan Prinsip Dasar Tata Kelola


Setiap perusahaan harus memberikan kepastian atas penerapan
prinsip atau asas GCG di setiap aspek bisnisnya. Menurut KNKG (2006),
prinsip-prinsip GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai
kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan
pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Transparansi
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan
harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak
hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan,
tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan
lainnya.Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu,
memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah
diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tetapi tidak terbatas
pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham
pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan
dan perusahaan lainnya, sistem manajemen resiko, sistem
pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan
GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak
mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia
jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola
secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan
dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.Pedoman
pokok pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab
masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan dan semua
karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai
perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan.
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua pihak perusahaan yang
berkepentingan dan semua karyawan mempunyai kemampuan
sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam
pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian
internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan,
serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and
punishment system).
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap pihak
perusahaan yang bersangkutan dan semua karyawan harus berpegang
pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah
disepakati.
3. Responsibilitas
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen.Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang
pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan
perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan
antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan
terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan
pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan
tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain.Pedoman pokok pelaksanaannya:
a. Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus
menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan
kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara
obyektif.
b. Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi
dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau
melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran (fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.Pedoman pokok
pelaksanaannya:
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan
pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses
terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam
lingkup kedudukan masing-masing.
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar
kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan
kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya
secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, gender, dan kondisi fisik.

E.
BAB III

PENUTUP

A. Kasus (PT. Bank Mandiri, Tbk)


Implementasi prinsip GCG tidak terlepas dengan implementasi tata
kelola pemerintahan yang baik (good government governance). Di era
globalisasi tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh
kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good governance sendiri dapat
diartikan sebagai terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik.
Jika kondisi good governance dapat dicapai maka negara yang bersih dan
responsif (clean and responsive state) akan terujud, semaraknya
masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggung jawab.
Kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG dirasakan
sangat kuat dalam industri perbankan. Situasi eksternal dan internal
perbankan semakin kompleks dan risiko kegiatan usaha perbankan kian
beragam. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik
tata kelola perusahaan yang sehat di bidang perbankan. Pelaksanaan GCG
sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk
berkembang dengan baik dan sehat.
Tata kelola perusahaan (corporate governance) yang buruk dapat
menyebabkan terjadinya fraud (kecurangan) sebagaimana yang terjadi
pada beberapa bank di Indonesia. Dalam beberapa kasus, fraud
menyebabkan kerugian pada bank yang jumlahnya cukup besar sehingga
bank tersebut dapat ditutup atau dilikuidasi, diantaranya adalah bank
Asiatic dan bank Dagang Bali yang dilikuidasi pada tahun 2005.
Penutupan atau likuidasi akibat fraud tersebut sangat merugikan
stakeholders antara lain pemerintah dan investor.
Oleh karena itu perlu dipahami mengenai prinsip-prinsip dan
praktik GCG pada sektor perbankan. Dan perlu dilakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap praktik corporate governancepada lembaga
perbankan. Dan sejauh mana efektivitas praktik corporate governance
dalam menekan jumlah fraud pada sektor perbankan.

Implementasi Good Corporate Governance

Komisaris dan Direksi Bank Mandiri berkomitmen untuk


menegakkan sistem perbankan yang sehat dan kuat di Indonesia dan
mentransformasi Bank Mandiri menjadi bank publik terkemuka (Blue
Chip Company) di kawasan Asia Tenggara (Regional Champion Bank).
Manajemen berkeyakinan bahwa penerapan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance (GCG) merupakan salah satu prasyarat mutlak
dalam proses transformasi ini. Penerapan prinsip secara baik akan
meningkatkan kepercayaan investor dan merupakan nilai tambah bagi para
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.
Bank Mandiri percaya bahwa penerapan prinsip-prinsip dan
praktek-praktek terbaik GCG yang konsisten akan memberikan manfaat
baik bagi Bank maupun para pemangku kepentingan lainnya dengan:
1. Meningkatnya kesungguhan manajemen dalam menerapkan prinsip-
prinsip keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi,
kewajaran dan kehati-hatian dalam pengelolaan Bank.
2. Meningkatnya kinerja Bank, efisiensi dan pelayanan kepada
stakeholders.
3. Mempermudah perolehan dana pembiayaan yang lebih murah yang
pada akhirnya akan meningkatkan shareholder’s values.
4. Meningkatnya minat dan kepercayaan investor.
5. Terlindunginya Bank dari intervensi eksternal dan tuntutan hukum.
6. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya
di Indonesia.
Pembentukan Komite Good Corporate Governace
Bank Mandiri telah menyadari pentingnya penerapan GCG
sebelum dikeluarkannya PBI No.8/4/PBI/2006. Hal ini terbukti dengan
telah dibentuknya Komite Good Corporate Governance di level Komisaris
pada tanggal 18 Juli 2005. Pembentukan Komite GCG di level Komisaris
sejalan dengan tugas Komisaris dalam melakukan pengawasan atas
jalannya pengurusan perseroan oleh Direksi termasuk memantau
efektivitas implementasi GCG beserta praktek-praktek terbaik.
Sosialisasi Good Corporate Governace
Sosialisasi prinsip-prinsip dan praktek-praktek terbaik GCG serta
kebijakan terkait lainnya, seperti corporate values dan corporate
behaviours dilaksanakan kepada seluruh jajaran Bank Mandiri melalui
berbagai cara, antara lain sosialisasi secara langsung melalui Forum
Sosialisasi di Kantor Pusat, kunjungan ke wilayah-wilayah, dalam
training/workshop, focus group, maupun sosialisasi melalui media, seperti
buletin internal Bank Mandiri, intranet Bank Mandiri yang dapat diakses
oleh seluruh pegawai Bank Mandiri, dan melalui Knowledge-Based
Management System (KMS). Dalam sosialisasi kepada Unit Kerja Kantor
Pusat dan Wilayah, seluruh anggota Komite GCG terlibat secara langsung
dalam menyiapkan dan menyampaikan materi sosialisasi. Tujuan
sosialisasi adalah agar seluruh jajaran Bank dapat memahami dan
melaksanakan prinsip-prinsip dan praktek-praktek terbaik GCG dalam
menjalankan tugas.
Selain sosialisasi kepada pihak internal, sosialisasi dilakukan pula
kepada pemangku kepentingan lainnya, antara lain melalui forum-forum
Corporate Governance seperti Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG), diskusi rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan
BUMN dan seminar GCG berskala nasional maupun internasional.
Disamping itu, sosialisasi dilakukan juga melalui pemuatan materi
GCG dalam Laporan Tahunan Bank Mandiri, situs Bank Mandiri, forum
investor, dan media komunikasi lainnya sehingga diharapkan pelaksanaan
GCG di Bank Mandiri dapat mudah diketahui oleh seluruh pemangku
kepentingan.
Prinsip-Prinsip GCG di Bank Mandiri
a. Keterbukaan (Transparency)
 Bank mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta dapat diakses oleh
stakeholders sesuai dengan haknya.
 Informasi tersebut meliputi visi, misi, sasaran usaha, strategi Bank,
kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang
saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif,
pengelolaan risiko, sistem pengawasan dan pengendalian intern,
status kepatuhan, sistem dan implementasi GCG serta informasi
dan fakta material yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal.
 Prinsip keterbukaan itu tetap memperhatikan ketentuan rahasia
bank, rahasia jabatan dan hak-hak pribadi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
 Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada
stakeholders yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan
tersebut. Bank Mandiri menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan
(BAPEPAM-LK), Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya,
serta mengumumkan kepada publik mengenai terjadinya suatu
peristiwa, informasi atau fakta material yang dapat mempengaruhi
harga atau nilai efek atau keputusan investasi pemodal secara tepat
waktu dan obyektif berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Akuntabilitas (Accountability)
 Bank menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing
organ Bank yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan
strategi Bank dan menetapkan kompetensi kepada organ tersebut
sesuai tanggung jawab masing-masing.
 Dalam pengelolaannya, Bank menetapkan check and balance
system.
 Bank juga memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran berdasarkan
ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan
(corporate values), sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki
reward and punishment system.
 Bank meyakini bahwa semua organ organisasi Bank mempunyai
kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami
perannya dalam implementasi GGC.
c. Tanggung Jawab (Responsibility)
 Bank berpegang pada prinsip kehatihatian (prudential banking
practices) dan menjamin kepatuhan terhadap peraturan yang
berlaku.
 Bank sebagai good corporate citizen peduli terhadap lingkungan
dan melaksanakan tanggung jawab sosial secara wajar.
d. Independensi (Independency)
 Bank menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh
stakeholders manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan
sepihak serta terbebas dari benturan kepentingan (conflict of
interest).
 Bank mengambil keputusan secara obyektif dan bebas dari segala
tekanan dari pihak manapun.
e. Kewajaran (Fairness)
 Bank memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
 Bank memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi
kepentingan Bank serta mempunyai akses terhadap informasi
sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Dalam rangka menerapkan prinsip kewajaran (Fairness) Bank
Mandiri memperhatikan hak-hak dan perlakuan yang sama terhadap
semua pemegang saham sesuai dengan klasifikasi. Sebagai perusahaan
publik, Bank memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas,
yang antara lain diwujudkan dalam:
1) Memberikan hak kepada pemegang saham yang mewakili
sekurang-kurangnya 1/10 bagian dari jumlah saham dengan hak
suara yang sah yang telah dikeluarkan oleh Perseroan untuk
mengajukan usulan.
2) Jika terdapat transaksi benturan kepentingan sesuai dengan
Peraturan Bapepam No. KEP-32/PM/2000 tentang Perubahan
Peraturan No. IX.E.1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi
Tertentu, maka harus disetujui oleh para Pemegang Saham
Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu
dalam RUPS.
3) Apabila terdapat transaksi material sesuai dengan Peraturan
Bapepam No. KEP-02/ PM/2001 tentang Perubahan Peraturan No.
IX.E.2 Tentang Transaksi Material, maka harus disetujui terlebih
dahulu oleh RUPS.
Struktur Corporate Governance
Struktur Corporate Governance di Bank Mandiri adalah sebagai berikut:
1. Komisaris
Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemegang saham,
Komite Nominasi dan Remunerasi merekomendasikan calon Komisaris.
Dari rekomendasi tersebut pemegang saham memilih Komisaris dalam
RUPS melalui proses yang transparan. Demikian pula pemberhentian
Komisaris hanya bisa dilakukan oleh pemegang saham dalam RUPS.
2. Komisaris Independen
Keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk dapat
mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif
dan menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara
berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas
dan Stakeholders lainnya. Selaku Komisaris Independen dan Pihak
Independen harus dapat terlepas dari benturan kepentingan (conflict of
interest).
Dalam rangka mendukung pelaksanaan GCG Bank, pemegang
saham dalam RUPS menetapkan Komisaris Independen dengan jumlah
dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan guna menjalankan tugas pengawasan terhadap Bank dan
kelompok usaha Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha Bank.
3. Komite-komite Di Bawah Komisaris
Dalam menjalankan tugasnya, Komisaris membentuk komite-
komite:
a. Komite Audit, membantu Komisaris dalam pengawasan atas hal-
hal yang terkait dengan informasi keuangan, sistem pengendalian
internal dan efektivitas pemeriksaan oleh auditor eksternal dan
internal.
b. Komite Nominasi dan Remunerasi, membantu Komisaris dalam
menjalankan fungsi pengawasan atas hal-hal yang terkait dengan
penetapan kualifikasi dan proses nominasi serta remunerasi
Komisaris, Direksi dan para pejabat eksekutif.
c. Komite Kebijakan Risiko membantu Komisaris dalam menjalankan
fungsi pengawasan kebijakan risiko usaha.
d. Komite GCG, membantu Komisaris dalam memberikan
rekomendasi arah kebijakan implementasi prinsip-prinsip GCG.
4. Direksi
Seperti halnya pemberhentian Komisaris, pemberhentian Direksi
hanya bisa dilakukan oleh pemegang saham dalam RUPS. Karena Bank
Mandiri adalah suatu Badan Usaha Milik Negara yang telah Terbuka,
Anggaran Dasar Bank mengatur bahwa pengangkatan Direksi oleh
RUPS harus disetujui oleh pemegang saham Dwiwarna Seri A (Negara
Republik Indonesia). Lebih lanjut Anggaran Dasar mengatakan bahwa
hanya pemegang saham Dwiwarna Seri A yang berhak mengajukan
pencalonan kepada RUPS. Penunjukan tersebut efektif setelah Direksi
terpilih lulus fit and proper test Bank Indonesia.

Kode Etik dan Perilalu di PT Bank Mandiri


Manajemen Bank Mandiri bertekad untuk menerapkan nilai-nilai
kebersamaan sebagai berikut:
1. Trust/Kepercayaan: Membangun keyakinan dan sangka baik di antara
stakeholders dalam hubungan yang tulus dan terbuka berdasarkan
kehandalan.
2. Integrity/Integritas: Setiap saat berpikir, berkata dan berperilaku
terpuji, menjaga martabat serta menjunjung tinggi kode etik profesi.
3. Professionalism/Profesionalisme: Berkomitmen untuk bekerja tuntas
dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung
jawab.
4. Customer focus/Fokus pada pelanggan: Senantiasa menjadikan
pelanggan sebagai mitra utama yang saling menguntungkan untuk
tumbuh secara berkesinambungan. Fokus pada pelanggan merupakan
salah satu nilai utama yang melandasi sikap insan Bank Mandiri untuk
senantiasa membina hubungan baik dengan pelanggan serta langgeng
dan berkesinambungan. Pelanggan eksternal maupun internal Bank
Mandiri merupakan mitra yang akan kita dukung untuk terus maju dan
tumbuh secara konsisten dari waktu ke waktu. Untuk itu fokus pada
pelanggan kita wujudkan dalam perilaku yang inovatif, proaktif dan
cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan serta mengutamakan
kepentingan dan kepuasan pelanggan.
5. Excellence/Kesempurnaaan: Mengembangkan dan melakukan
perbaikan di segala bidang untuk mendapatkan nilai tambah optimal
dan hasil terbaik secara terus menerus.
Dalam menjalankan kegiatan usaha, Bank Mandiri menghadapi
berbagai risiko usaha dan untuk mengurangi risiko usaha tersebut Bank
Mandiri menerapkan prinsip kehati-hatian, salah satunya melalui
penerapan prinsip Know Your Customer/Anti Money Laundering
(KYC/AML). Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan prinsip KYC/AML merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kebijakan dan prosedur Bank secara keseluruhan dengan memasukkan
unsur-unsur yang meliputi pengawasan oleh pengurus Bank,
pendelegasian wewenang, pemisahan tugas dan tanggung jawab, sistem
pengawasan intern dan pelatihan karyawan.
Secara berkesinambungan Bank Mandiri terus melakukan
penyempurnaan terhadap Customer Information Files (CIF) untuk
meningkatkan keakurasian dan kelengkapan data nasabah agar sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia dan standar internasional.
Selain itu juga Bank Mandiri saat ini telah mengembangkan dan
memiliki sistem informasi yang memadai untuk dapat mengidentifikasi,
menganalisis, memantau dan menyediakan laporan mengenai transaksi
pencucian uang yang dilakukan oleh nasabah kepada pihak otoritas. Secara
umum, penerapan prinsip KYC/AML di Bank Mandiri saat ini mendapat
penilaian dari pihak otoritas dengan peringkat cukup baik dan sistem
informasi manajemen dikategorikan baik.

Anda mungkin juga menyukai