Teori keagenan/agency theory mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka
sendiri. Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah
atau peningkatan investasi di perusahaan, sedangkan para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa
kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
Sebaliknya Agen pun memenuhi tuntutan Prinsipal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi. Sehingga
bila tidak ada pengawasan yang memadai maka agen dapat memainkan beberapa kondisi perusahan agar
seolah-olah target tercapai. Cermainan tersebut bisa atas prakarsa dari principal ataupun inisiatif Agent sendiri.
Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi aturan, misalnya piutang yang tidak mungkin tertagih yang
tidak dihapuskan dan pengakuan penjualan yang tidak semestinya, yang berdampak pada besarnya nilai aktiva
dalam Neraca yang “mempercantik” laporan keuangan walaupun bukan nilai yang sebenarnya. Atau bisa juga
dengan melakukan income smoothing (membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun kelihatan
perusahaan meraih keuntungan, padahal kenyataannya perusahaan mengalami kerugian atau laba turun.
B. KONSEP TEORI KEAGENAN
Konsep agency theory mendasarkan pada hubungan antara principal sebagai pemilik atau pemegang
saham, sedangkan manajemen sebagai agen. Principal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada
agen untuk bertindak atas nama principal , sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh principal
untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah
diamanahkan oleh principal kepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan
kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak
kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa
keuntungan, return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi
optimal bila kontrak dapat fairness (mencapai keadilan) yaitu mampu menyeimbangkan antara principal dan
agen yang secara sistematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
insentif imbalan khusus yang memuaskan dari principal ke agen. Inti dari agency theory adalah pendesainan
kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan principal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan
(Scott,1997).
menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
1. Asumsi tentang sifat manusia, Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality),
dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
2. Asumsi tentang keorganisasian, Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetri& Information (AI) antara
prinsipal dan agen.
3. Asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjualbelikan.
Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Principal sebagai pemilik modal
mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional
perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun
agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat
strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi
wewenang dari principal selaku pemilik perusahaan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prin&ipal dan agen yang saling bertolak belakang
namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan
saling tarik-menarik pengaruh dan kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai
penyedia informasi bagi principal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat
menghambat principal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak
transparan, sedang di lain pihak principal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang
karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak
terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan
konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen
diasumsikan sebagai orang ekonomi (homo economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan
kepentingannya masing-masing.
C. AGENCY THEORY DALAM PRAKTIK AKUNTANSI DAN APLIKASINYA PADA PENGELOLAAN
PERUSAHAAN
Teori keagenan memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam menyediakan informasi
setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan pasca keputusan. Peranan ini sering diasosiasikan dengan
peran pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana seorang agen melapor kepada prinsipal tentang kejadian-
kejadian di masa lalu. Inilah yang memberi akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai
umpan balik menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting dalam menguatkan atau mengoreksi
harapan-harapan sebelumnya. Informasi mengenai hasil dari suatu keputusan seringkali merupakan masukan
kunci dalam pengambilan keputusan berikutnya. Akuntansi idealnya menyediakan jasa yang sama bagi investor,
dengan memungkinkan mereka untuk menyesuaikan strategi investasi mereka sepanjang waktu.
Dari model ini dan perluasannya dapat diambil beberapa pengertian. Perluasan ini sebagian besar
berhubungan dengan cara kedua belah pihak tersebut berbagi risiko dan informasi. Misalnya, para pemilik yang
menghindari risiko diasumsikan menanggung risiko bisnis, sementara para manajer bertindak sebagai agen-
agen yang netral terhadap risiko yang dimaksud. Dengan menggunakan teori keagenan yang sama, jika
manajemen bersikap tidak membedakan terhadap risiko sedangkan pemilik menghindari risiko, maka
manajemenlah dan bukan pemilik yang akan menanggung risiko tersebut. Ini merupakan keadaan saling
mempengaruhi penghindaran risiko relatif antara manajer dan pemilik perusahaan yang menciptakan sebagian
dari masalah-masalah yang paling menarik dalam teori keagenan untuk para akuntan. Informasi yang dimaksud
merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga memberi akuntan peran penting dalam
2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai
kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada di dalam
perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal sangat
jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal
ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi
oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih
banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan
agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan
kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional
behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk
kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan.
Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelola perusahaan cenderung
lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan. Contoh nyata yang
dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan karena pihak agensi memiliki informasi keuangan
daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan
kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan
(discretionary power).
Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga kemahasiswaan.
Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk mengelola organisasi
menjadi agen yang idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluarga. Namun, terkadang pengurus
lembaga kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus lebih memilih
melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.
Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Wetson dan Brigham (1994), bahwa
masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu:
1. Antara pemegang saham dan manajer
2. Antara pemegang saham dan kreditur
Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka
dapat diasumsikan bahwa manajer-pemilik akan mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki
kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan juga dalam bentuk
kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka
mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan
kepada pihak luar, maka pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer
mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena jatahnya
atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja
manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di
perusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Hampir mustahil bagi
perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang
optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.
Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai
alat untuk melakukan rekayasa.Perbedaan kepentingan antara principal dan agen atau yang disebut Agency
problem ini, salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric Information".
Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan
yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-
tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. moral Hazard, merupakan permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. adverse Selection, merupakan suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu
keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau
terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan didefinisikan
sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan
kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Ada tiga jenis utama dari
biaya keagenan, yaitu:
1. pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit
2. pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara membatasi perilaku manajerial yang tidak diinginkan
3. biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham dikenakkan pembatasan, seperti
persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahn tertentu, membatasi kemampuan
manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham.
Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku manajerial, biasanya akan ada
kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham karena tindakan manajerial yang tidak pantas. Si sisi lain,
biaya keagenan akan berlebihan jika pemegang saham berusaha untuk memastikan bahwa setiap tindakan
manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, jumlah optimal biaya keagenan yang
harus ditanggung oleh pemegang saham harus ditentukan.
E. CARA MENGHADAPI MASALAH KEAGENAN
Ada dua posisi kunci untuk menghadapi konflik-konflik agency pemegang saham dan manager. Pada
keadaan ekstrim, manajer perusahaan bertindak sepenuhnya berdasarkan perubahan harga saham. Dalam hal
ini, biaya agen akan rendah karena manajer memiliki insentif besar untuk memaksimalkan kesejahteraan
pemegang saham, hal tersebut tentu akan sangat sulit, oleh karena itu, dalam keadaan tersebut menyewa
manajer berbakat di bawah ikatan kontrak karena pendapatan perusahaan akan dipengaruhi oleh peristiwa
ekonomi yang tidak berada di bawah kendali manajerial. Pada keadaan ekstrim lainnya, pemegang saham dapat
memonitor setiap tindakan manajerial, tapi ini akan sangat mahal dan tidak efisien. Solusi optimal terletak di
antara ekstrim, di mana kompensasi eksekutif terkait dengan kinerja, tetapi beberapa pemantauan juga
dilakukan.
Dalam rangka memotivasi para manajer dan pemegang saham agar berperilaku dalam sikap yang
memajukan tujuan perusahaan, Burdett dapat memberikan rekomendasi kepada de'an direksi, yaitu:
1. Penilaian terhadap kinerja manajer dibuat dengan kontrak yang jelas sehingga memotivasi agen
bekerja dengan kepentingan terbaik principal
2. Principal memberikan pilihan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang dan agen diberikan
keleluasan dengan batasan yang menguntungkan kepentingan para pemegang saham.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik atau masalah keagenan, maka ada beberapa hal yang
harus dilakukan, diantaranya:
1. Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan
fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis dan kritis. Hal ini
harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal.
2. Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan
terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk
8terpilih9. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut,
tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang
lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan.
3. Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan
monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan dapat diketahui dan diberikan
sanksi tanpa kompromi. Pelaku penyimpangan tersebut harus diumumkan pada publik dan melakukan
kontrol agar tidak terjadi “permainan” sehingga pelaku tersebut bisa lolos dari sanksi yang sesuai.
Pelaku yang terbukti bersalah diberikan hukuman sehingga dapat menimbulkan efek jera dan bagi
yang lain agar tidak berani melakukan hal yang sama. Hal yang sama juga diperlakukan pada
pegawai/pejabat yang berprestasi, selain diberi penghargaan, juga diumumkan pada publik sehingga
dapat menjadi contoh bagi pegawai/pejabat yang lain.
Masalah Penelitian
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR)
dengan indikator indeks Global Reporting Initiative (GRI) G4 terhadap manajemen laba dengan proksi
discretionary accruals; variabel kontrol leverage, size dan ROA?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) dengan
indikator indeks Global Reporting Initiative (GRI) G4 terhadap manajemen laba dengan proksi discretionary
accruals; variabel kontrol leverage, size dan ROA.
Landasan Teori
berbeda dengan Healy dan Wahlen (1999) yang memaknai manajemen laba sebagai sebuah langkah yang
dilakukan saat para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam mendisklosur laporan keuangan dan
dengan sengaja mengubah transaksi yang berkaitan dengan laporan keuangan sehingga para pemangku
kepentingan merasa perlu mengetahui kinerja keuangan perusahaan mendapatkan informasi yang tidak
benar. Hal ini mengakibatkan terpengaruhnya keputusan stakeholder tersebut sebagai akibat dari
angka – angka akuntansi yang dilaporkan.
Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
H1 : Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel independen CSR, variabel dependen manajemen laba dan variabel
kontrol leverage, size dan ROA. Variabel CSR diukur dengan menggunakan pengungkapan informasi yang
disampaikan perusahaan yang dinilai dengan menggunakan indeks GRI 4. Nilai CSR diperoleh dari jumlah
item pengungkapan yang diungkapkan oleh perusahaan didalam laporan tahunannya dibagi dengan jumlah
item keseluruhan. Sampel yang digunakan sebanyak 23 perusahaan pertambangan yang terdaftar pada
Bursa Efek Indonesia pada kurun waktu 2011 – 2015. Dan menggunakan analisis regresi linier berganda.
Hasil Penelitian
Hasil uji simultan (uji F) menunjukkan nilai signifikansi F sebesar 0,000. Hal tersebut berarti bahwa
model pengujian regresi dengan menggunakan variabel independen csr, leverage, size dan ROA dan
variabel dependen manajemen laba (DA) dapat dikatakan fit. Angka ketergantungan dari nilai keseleuruhan
variabel bebas terhadap variabel terikat adalah sebesar 35,1%. Nilai ini dikatakan nilai yang cukup rendah
untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dan variabel dpenden yang digunakan dalam
pengujian. Sehingga dapat diduga bahwa, ada variabel indpenden lain yang nilainya lebih dapat
menjelaskan tentang variabel dependen Discretionary Accrual.
Hasil uji parsial dalam penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada pengaruh dari Variabel CSR
terhadap manajemen laba, sehingga hasil studi ini menolak H1.Akan tetapi dari ketiga variabel kontrol
leverage, size, dan ROA, hanya ROA yang menunjukkan adanya pengaruh terhadap manajamen laba,
sedangkan leverage dan size tidak.
Pengungkapan informasi mengenai aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan (CSRD) diukur dengan
menggunakan Index Global Reporting Initiative (GRI) G4 yang terdiri dari 91 aspek. Dari beberapa aspek
yang terdapat dalam panduan pelaporan GRI 4, ditemukan bahwa baru sedikit aspek yang diungkapkan
oleh perusahaan – perusahaan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan manajemen laba, semua aspek
tersebut sangatlah wajib diungkapkan karena perusahaan berusaha untuk mendapatkan citra positif dari
masyarakat. Dari kategori ekonomi misalnya, aspek keberadaan pasar sangat sedikit diungkapkan.
Sedikitnya pengungkapan yang dilakukan ini dikarenakan tidak adanya aturan yang mengatur dengan jelas
apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan.
Penelitian ini mendukung penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Arief dan Ardiyanto (2014) yang
berpendapat bahwa pengungkapan CSR tidak memiliki pengaruh terhadap manajemen laba (DAC).
Manajemen laba dilakukan melalui pengelolaan akrual laporan keuangan perusahaan, yang dilakukan
dengan menaikkan atau menurunkan laba. Manajer yang memiliki self-interest terhadap perusahaan
umumnya mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan melalui pelaksanaan dan
pengungkapan CSR demi mendapatkan pengakuan atas prestasi pribadi manajer. Namun, hasil penelitian
ini tidak menunjukkan adanya dukungan atas hubungan empiris antara pengungkapan CSR dengan
tindakan manajemen laba manajer perusahaan.
Hasil pengujian terhadap variabel kontrol yaitu leverage, size dan ROA, menunjukkan bahwa hanya
ROA satu-satunya yang berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa ketika
perusahaan semakin dapat menciptakan laba yang tinggi melalui aset yang dimilikinya, maka semakin tinggi
kemungkinan perusahaan untuk melakukan manajemen laba dengan meningkatkan laba yang dilaporkan.