Anda di halaman 1dari 62

BAGIAN V

PRINSIP EKONOMI, KONSEP BISNIS, DAN


ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

PENGANTAR

Tujuan penulisan Bagian V untuk memahami pergeseran rumah


sakit di Indonesia dari lembaga sosial ke arah lembaga usaha dan
memahami konsep etika bisnis rumah sakit. Pemahaman ini
diperlukan untuk mencari bentuk rumah sakit yang tepat di masa
depan dan norma-norma yang dianut. Pembahasan dimulai dari kajian
mengenai industri farmasi yang merupakan komponen sektor
kesehatan yang secara tegas bersifat for-profit (Bab XIV). Satu hal
penting yang menjadi bahan perdebatan dalam kegiatan rumah sakit
dan obat; apakah layak sebuah organisasi atau orang menjadi kaya
karena menolong orang lain yang mengalami kesusahan?
Lebih lanjut, apakah keberadaan lembaga for-profit dalam
sektor kesehatan merupakan sesuatu yang tidak baik? Dalam hal ini
dibutuhkan indikator untuk menilai rumah sakit yang sedang berubah
dari lembaga sosial ke lembaga usaha yang sosial. Kebutuhan akan
indikator ini dibahas dalam Bab XV mengenai perubahan rumah sakit
dari lembaga sosial menjadi lembaga usaha tetapi mempunyai aspek
usaha, indikator, dan evaluasi ekonomi. Dalam hal ini perlu dicatat
bahwa kemungkinan terjadi konflik antarberbagai indikator.
Adanya konflik ini menimbulkan perenungan mendalam me-
ngenai etika profesi dan etika kelembagaan yang dibahas pada Bab
XVI mengenai etika bisnis rumah sakit. Sebagaimana diketahui,
dalam teori ekonomi, masalah profit ataupun insentif untuk profe-
sional merupakan hal yang wajar asalkan berada dalam batas-batas
230 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

norma masyarakat. Oleh karena itu, muncul berbagai peraturan hukum


yang mengatur masalah keuntungan dan keadaan monopoli agar
terjadi kewajaran. Tanpa adanya keuntungan ataupun insentif,
kehidupan ekonomi dapat berhenti karena menyalahi sifat manusia.
Dengan latar belakang keadaan nyata yang dilematis, Bab XVI
membahas berbagai pernyataan normatif dalam manajemen rumah
sakit. Memang akan ada pihak yang skeptis, apakah norma-norma
yang ada mampu mempengaruhi kehidupan nyata?
Dalam konteks pengembangan manajemen rumah sakit, analisis
normatif perlu dilakukan untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan
nyata sektor kesehatan. Sebagaimana kehidupan lain di masyarakat,
dalam kehidupan manusia yang semakin keras dan bersaing, norma-
norma yang berdasarkan moralitas masih harus dikembangkan. Jangan
sampai kehidupan nyata berjalan tanpa analisis normatif. Di sektor
kesehatan, banyak ahli sependapat bahwa pelayanan kesehatan seha-
rusnya bertujuan untuk tercapainya keadilan sosial dalam pembiayaan
dan pemberian pelayanan kesehatan. Ilmu ekonomi, khususnya yang
membahas masalah alokasi sumber daya dapat membantu sektor
kesehatan mencapai tujuan tercapainya keadilan sosial tersebut.
Bagian V 231

BAB XIV
INDUSTRI FARMASI, PROFIT, DAN ETIKA

Bab ini membahas industri farmasi yang merupakan kom-


plemen penting di sektor rumah sakit. Tanpa obat, rumah sakit akan
sulit melakukan kegiatan. Yang menarik, perilaku industri farmasi
sebenarnya mengacu pada memaksimalkan keuntungan. Perilaku ini
tentunya masuk ke dalam sektor rumah sakit yang merupakan sektor
dengan tradisi sosial kemanusiaan. Dalam hal ini pertanyaannya,
apakah ada pertimbangan etika dalam industri farmasi yang
memaksimalkan keuntungan?

14.1 Sifat Maksimalisasi Keuntungan Industri Farmasi

Dalam sektor kesehatan, industri farmasi mempunyai pengaruh


besar terhadap rumah sakit dan berbagai organisasi pelayanan kese-
hatan. Besarnya omzet obat dapat mencapai 50%-60% dari anggaran
rumah sakit. Obat merupakan bagian penting dalam kehidupan rumah
sakit, dokter, dan pasien. Oleh karena itu, perlu untuk memahami peri-
laku industri farmasi dalam konteks aplikasi ekonomi di rumah sakit.
Berdasarkan sifatnya obat-obatan ada yang mempunyai barang
substitusi, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh untuk masya-
rakat yang membutuhkan obat-obat pelangsing tubuh, terdapat produk
substitusi berupa peralatan fitnes untuk menjaga berat badan. Akan
tetapi, obat-obatan di rumah sakit banyak yang tidak mempunyai
barang substitusi dan merupakan barang komplemen untuk tindakan
medik. Sebagai contoh, operasi di ruang bedah membutuhkan obat-
obatan narkose. Dalam hal ini tidak ada pengganti untuk obat-obatan
narkose. Tindakan untuk menjaga keseimbangan elektrolit membutuh-
232 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

kan cairan infus. Tidak adanya barang susbtitusi menjadikan obat-


obatan sebagai barang yang harus dibeli oleh pasien yang ingin
sembuh dari suatu penyakit atau membutuhkan tindakan tertentu.
Sering timbul kasus tidak adanya obat pengganti atau tindakan
alternatif, akibatnya obat-obat tertentu yang bersifat menyelamatkan
jiwa (life-saving) justru sangat mahal karena memang tidak ada
pilihan lain.
Sebagai gambaran Gamimune®, sebuah obat berisi imuno-
globulin untuk pasien yang berada dalam keadaan kritis karena
mempunyai daya tahan rendah, mempunyai harga yang sangat mahal:
25cc seharga sekitar Rp 1.250.000,00 pada tahun 2001. Kebutuhan
dalam proses pengobatan tidak hanya 25cc, mungkin sampai berkali-
kali. Contoh lain, obat-obatan untuk AIDS sangat mahal, sehingga
tidak terjangkau oleh penderita dengan kemampuan ekonomi rendah.
Wajar jika keluarga pasien mengeluh karena mahalnya obat-obat di
rumah sakit yang seharusnya membutuhkan nilai kemanusiaan.
Dalam hal ini memang timbul kesan bahwa industri farmasi
memanfaatkan kesempatan pada saat manusia mengalami kemalangan
dan tidak mempunyai pilihan lain karena tidak ada obat pengganti
yang lebih murah. Para tenaga kesehatan yang berada di ICU atau OK
sering mengalami keadaan ketika dihadapkan pada pilihan yang harus
membeli obat mahal, keluarga pasien terpaksa harus menjual aset
keluarga, berhutang, ataupun yang paling drastis adalah menghentikan
proses penyembuhan karena tidak tersedianya sumber daya untuk
membeli obat atau membiayai proses penyembuhan di rumah sakit.
Dengan sifat tersebut maka obat merupakan barang ekonomi
strategis di rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa
keuntungan dari obat yang dijual merupakan hal paling mudah
dilakukan dibandingkan dengan keuntungan pada jasa lain, misalnya
pelayanan laboratorium, radiologi, pelayanan rawat inap, ataupun
pelayanan gizi. Walaupun sulit dibuktikan, dokter menerima berbagai
keuntungan dan fasilitas dari industri obat. Sementara itu, masyarakat
sering mengeluh tentang mahalnya harga obat yang dibutuhkan justru
pada saat orang sakit dan tidak mampu bekerja.
Tidak semua obat mempunyai sifat tersebut. Dalam hubung-
Bagian V 233

annya dengan dampak terhadap masyarakat, terdapat obat-obatan yang


mempunyai eksternalitas positif yang besar, misalnya obat-obatan
untuk menyembuhkan pasien yang terkena penyakit menular ataupun
untuk imunisasi. Untuk obat-obatan yang mempunyai eksternalitas,
sebagian negara mempunyai kebijakan menjadikannya sebagai obat
gratis yang dibiayai oleh pemerintah bagi masyarakat yang membu-
tuhkan.
Pada prinsipnya, industri farmasi di dunia merupakan sektor
yang berjalan seperti industri-industri lain. Dalam sifat ini memang
harus dipahami bahwa industri obat berjalan dengan sifat
memaksimalkan keuntungan, sejak dari pabrik, distributor hingga
apotek pengecer. Patut dicatat bahwa kinerja keuntungan industri
farmasi sangat besar, lebih besar dibandingkan rata-rata industri,
walaupun masih lebih rendah di banding dengan industri software.
Kasus obat Viagra® yang sangat mahal menunjukkan pola
memaksimalkan keuntungan. Pola ini diambil karena sampai saat ini
masih sedikit pengganti Viagra®. Dalam hal ini demand untuk Viagra®
bersifat inelastik dan ada unsur monopoli karena paten.
Menurut Folland dkk (2001) industri farmasi mempunyai nilai
pasar yang besar. Dua raksasa industri farmasi, Merck dan Pfizer
(pembuat Viagra®) berada pada ranking ke-10 terbesar di dunia, dan 7
lainnya berada pada top 50 tahun 1999. Di Indonesia, menurut laporan
Warta Ekonomi, jumlah pendapatan grup Kalbe Farma berada di
urutan ke-14 rangking pendapatan para konglomerat Indonesia di
tahun 1996.
Kompetisi sektor industri farmasi sangat tinggi, terutama untuk
obat-obatan yang tidak dilindungi lagi oleh hak paten. Di samping
memaksimalkan profit, beberapa hal menarik lain untuk dicatat.
Pabrik obat di dunia ternyata mempunyai penetapan harga yang
berbeda antarnegara. Hal ini tergantung pada kemampuan membayar,
tuntutan pemerintah yang menjadi pembeli besar obat, elastisitas
harga, dan keadaan sistem asuransi kesehatan.
Perilaku industri farmasi dalam mencari keuntungan ternyata
tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi. Sebuah gambaran mengenai
omzet dan keuntungan PT Kimia Farma Indonesia. Laba perusahaan
234 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

tidak turun walaupun Indonesia mengalami krisis ekonomi dan yang


terjadi justru kenaikan keuntungan yang cukup mencolok. Menarik
untuk diperhatikan bahwa laba bersih justru meningkat tinggi pada
saat krisis ekonomi. Logika normatif menyatakan bahwa pada saat
rakyat miskin menderita, seharusnya perusahaan tidak boleh untung
banyak dari kesakitan rakyat. Pernyataan yang penuh nilai ini ternyata
tidak ditemui di dunia nyata.

14.2 Mengapa Industri Farmasi Berbeda dengan Industri Lain?

Secara sifat, industri farmasi tidak berbeda dengan berbagai


industri yang mengandalkan pada penemuan teknologi tinggi. Pola
kerja untuk memproduksi obat pada industri farmasi dapat dibagi
menjadi dua periode. Periode pertama adalah penelitian dasar dan
pengembangan di laboratorium serta masyarakat. Periode kedua
adalah setelah peluncuran obat di masyarakat. Periode pertama
merupakan investasi yang mempunyai risiko tinggi berupa kegagalan
secara ilmiah. Sementara itu, periode kedua mempunyai risiko pula
dalam penjualan. Yang menarik pada periode kedua, undang-undang
paten melindungi industri farmasi dari pesaing (lihat Gambar 14.1)
Apabila masa paten selesai, maka pabrik obat lain boleh memproduksi
dalam bentuk obat generik sehingga pendapatan akan turun.
Mekanisme ini menimbulkan peluang bagi industri farmasi
untuk memperoleh untung banyak. Setelah menemukan obat baru dan
mempunyai hak paten, maka perusahaan farmasi dapat membuat tarif
untuk produk baru secara maksimal (lihat Bagian III). Tarif dapat
ditentukan setinggi-tingginya tanpa khawatir muncul persaingan.
Sebagai hasilnya adalah keuntungan luar biasa dapat diperoleh.
Clarkson (1996) menunjukkan bahwa industri farmasi merupakan
salahsatu industri yang paling menguntungkan. Keuntungan industri
farmasi berada pada ranking ke-4 setelah industri software, permi-
nyakan, dan makanan. Dibanding rata-rata industri, keuntungan
perusahaan farmasi lebih besar yaitu 13.27% dibanding dengan rata-
rata 10.19%.
Bagian V 235

Pendapatan Peluncuran obat


Fase 1. Biaya riset Fase 2. Pendapatan
dan pengembangan dari pasar

Paten berakhir

Pengeluaran

Sumber: Wildus , 2001

Gambar 14.1 Dua periode pengembangan dan penjualan obat baru

Mekanisme mendapat keuntungan ini dipengaruhi berbagai sifat


khas industri farmasi yang tidak dijumpai pada industri lain. Salahsatu
sifat tersebut adalah adanya Barriers to Entry yang akan
mempengaruhi harga obat. Hambatan untuk masuk ke industri farmasi
dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) regulasi obat; (2) hak paten; dan
(3) sistem distribusi.
Hambatan pertama masuk pada industri farmasi adalah aspek
regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di Amerika Serikat
regulator utama adalah Food and Drug Administration (FDA), sedang
di Indonesia dipegang oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM). Proses pengujian obat di Amerika Serikat (termasuk dalam
periode 1) berlangsung lama, bisa terjadi hingga 15 tahun dengan
proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula kimia baru
untuk menangani suatu penyakit, perusahaan obat harus melakukan uji
coba pada binatang untuk mengetahui daya racun jangka pendek dan
keselamatan obat. Selanjutnya, FDA akan memberikan persetujuan
melakukan uji klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai
dengan sekelompok kecil orang sehat dan berfokus pada dosis dan
keamanan obat. Tahap II akan diberikan kepada sejumlah orang yang
lebih banyak (sampai ratusan) yang mempunyai penyakit untuk
menguji efikasi obat (kemanjurannya). Tahap III akan dilakukan ke
236 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

ribuan pasien dengan berbagai latar belakang berbeda untuk menguji


efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci. Dapat dibayangkan
betapa berat dan mahal proses ini.
Faktor penghambat kedua adalah hak paten yang diberikan oleh
pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil menemukan obat
baru. Contoh yang paling hangat adalah hak paten untuk obat Viagra®
yang sangat menguntungkan karena pembelinya banyak dan harga
tinggi. Dengan adanya kebijakan paten maka perusahaan farmasi baru
harus mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset tinggi atau
memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada patennya lagi
dengan risiko banyak pesaing. Setelah sebuah obat habis waktu hak
patennya, perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi obat
serupa. Oleh karena itu, hambatan untuk masuk menjadi lebih rendah,
dan harga dapat turun. Obat-obat ini disebut generik yang dampak
terapinya sama dengan obat bermerek. Secara logika, paten memang

Sebuah pabrik mempunyai hak


eksklusif untuk memproduksi obat
karena mempunyai paten
Industri Farmasi satu
sumber

Masa paten
habis

Industri Farmasi banyak sumber

Setiap pabrik boleh untuk memproduksi obat yang


mempunyai campuran sama

Merek asli Merek


Generik

Gambar 14.2 Siklus hidup produk farmasi


Bagian V 237

ditujukan dalam usaha merangsang penelitian ilmiah untuk mene-


mukan obat-obatan baru. Secara diagram, Reuter Business Insight
menggambarkan life-cycle produksi obat pada Gambar 14.2.
Dalam siklus hidup ini terlihat bahwa terjadi saat ketika industri
farmasi menikmati masa monopoli, yaitu hanya ada sebuah pabrik
obat yang mempunyai hak menjual dan memproduksi obat karena
paten. Hak paten berlaku dengan masa 17 tahun, bahkan hingga 25
tahun. Dengan hak paten yang bersifat monopoli maka terdapat
kebebasan bagi pabrik menetapkan harga setinggi mungkin untuk
mendapatkan profit setinggi-tingginya.
Hambatan ketiga untuk masuk adalah sistem jaringan distribusi
dan pemasaran industri farmasi yang sangat kompleks. Jaringan
sistem distribusi dan pemasaran mempunyai ciri menarik yaitu
menggunakan konsep ‘detailling’, yaitu perusahaan farmasi dengan
melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan
dokter yang berpraktik di rumah sakit ataupun praktik pribadi.
Kegiatan detailing ini melibatkan banyak pihak dan mempunyai
berbagai nuansa termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan
situasi saling menguntungkan antara dokter dan industri farmasi.
Dalam komunikasi ini terbuka kemungkinan terjadi bentuk kolusi
antara dokter dan industri farmasi. Dengan bentuk pemasaran seperti
ini, akan sulit bagi pemain baru masuk dalam industri farmasi.
Di dalam masyarakat, sistem promosi dan pemasaran obat akan
menambah mahalnya harga obat. Berbagai hal tersebut terkait secara
kompleks sehingga sulit untuk menurunkan harga obat. Sebagai
contoh, kebijakan memperpendek waktu paten, atau memberi lisensi
kepada pabrik obat di negara sedang berkembang memproduksi obat
secara murah ditentang keras oleh perusahaan obat. Logika yang
dipergunakan adalah apabila kebijakan ini berjalan maka motivasi
melakukan penelitian obat baru akan rendah. Dengan logika ini
diperkirakan bahwa di dunia tidak akan ada penelitian baru mengenai
obat, kecuali yang disponsori pemerintah tanpa ada hak paten yang
optimal.
Pola pengembangan obat ini membuat industri farmasi tidak
banyak mengembangkan obat baru untuk penyakit-penyakit yang
238 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

diderita orang miskin. Pecoul dkk (1999) menyatakan bahwa dari


1.223 komposisi kimia baru untuk obat yang diproduksi dari tahun
1973 - 1996, hanya 13 yang ditujukan pemasarannya untuk penyakit-
penyakit tropis. Hal serupa dinyatakan oleh Webber dan Kramer
(1999) yang menyebutkan adanya investasi yang sangat rendah untuk
pengembangan obat TBC yang dibutuhkan banyak orang miskin.
Terlihat perusahaan obat tidak berani menanggung risiko untuk
pengembangan obat baru yang nilai komersialnya rendah.
Pertanyaan menarik, apakah dengan adanya obat-obatan
generik, maka obat-obat bermerek akan lebih murah dan kurang
diresepkan oleh dokter? Kebijakan obat generik ternyata tidak mampu
menekan biaya obat secara signifikan. Graboswski dan Vernon (1992)
melaporkan bahwa walaupun ada obat generik yang murah, produsen
obat tetap menaikkan harga. Dalam hal ini terdapat loyalitas dokter
terhadap merek-merek obat yang bukan generik. Hellerstein (1998)
melaporkan bahwa hanya 29% resep ditulis dengan obat generik di
Amerika Serikat. Keadaan ini dapat dipahami karena adanya teori
dokter sebagai agen pasien dalam memilih obat dan informasi. Dalam
teori agensi, para dokter tidak mendapat manfaat ekonomi dari
penghematan harga obat. Sementara itu, berdasarkan informasi, para
dokter tidak menerima informasi cukup mengenai efektivitas dan
harga obat generik. Seperti yang diduga, dokter yang berada dalam
sistem managed care lebih cenderung menulis obat generik. Hal ini
disebabkan oleh tekanan sistem managed care dengan daftar
formularium dan sistem insentif atau disinsentif untuk para dokter
dalam peresepan obat.
Hubungan industri farmasi dengan rumah sakit dan dokter
merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Industri farmasi
bahkan mempengaruhi rumah sakit pendidikan, fakultas kedokteran,
dan para peneliti (Angell, 2000; Martin dan Kasper, 2000;
Bodenheimer, 2000). Pengaruh industri farmasi terhadap rumah sakit
dan dokter dilakukan dengan pendekatan pemasaran canggih seperti
menggunakan konsep detailling tatap muka dan berbagai hal lain
termasuk mensponsori pertemuan-pertemuan ilmiah, jurnal, bahkan
penelitian-penelitian ilmiah.
Bagian V 239

Dilaporkan pula bahwa tenaga pemasaran perusahaan farmasi


mengirimkan hadiah-hadiah untuk mahasiswa kedokteran dan residen
di rumah sakit pendidikan. Angell dan Relman (2001) melaporkan
bahwa pada tahun 2000 perusahaan farmasi menghabiskan 8 miliar
dollar untuk menyenangkan dokter dengan memperkerjakan 83.000
tenaga pemasaran di Amerika Serikat. Di samping itu, perusahaan
farmasi memberikan 8 miliar dollar untuk obat-obatan sampel di
ruang praktik dokter. Di Indonesia, belum ada data seperti ini. Akan
tetapi secara pengamatan dapat dilihat bahwa kehidupan dokter dan
sektor rumah sakit dipengaruhi oleh industri farmasi dengan
memberikan berbagai hal yang menyenangkan. Semua kegiatan ini
tentunya dimasukkan dalam proses penetapan harga obat.
Walaupun tidak ditemukan data rinci, di Indonesia fenomena
hubungan dekat antara industri farmasi dan dokter serta rumah sakit
mempunyai gambaran serupa. Dalam pertemuan perhimpunan ahli,
seminar-seminar ilmiah, pertemuan manajemen rumah sakit, dan
berbagai penelitian klinik didanai oleh perusahaan farmasi. Menjadi
pertanyaan besar, apakah perilaku dokter dipengaruhi oleh industri
farmasi? Walaupun ada berbagai pengamatan, termasuk laporan
investigasi oleh majalah Tempo, tetapi belum dilakukan penelitian
serius mengenai hubungan dokter dan industri farmasi di Indonesia.

14.3 Apakah Terdapat Etika dalam Bisnis Farmasi?

Secara praktis harga obat memang sulit diturunkan. Di Indone-


sia keadaan menjadi lebih sulit karena pemerintah tidak mempunyai
wewenang mengendalikan harga obat seperti yang dinyatakan Kepala
BPOM Drs. Sampurno, MBA. Dinyatakan bahwa berbeda dengan
Pemerintah Italia atau Kanada yang mengatur harga obat yang beredar
di negara itu, atau India yang mengatur harga obat yang dianggap
sangat esensial, Indonesia tidak secara langsung mengatur harga obat
bermerek (branded). Indonesia hanya membuat program obat generik
yang harganya ditetapkan pemerintah (Kompas, 2001).
Dalam keadaan ini apa yang dapat dilakukan? Pendekatan
240 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

pertama adalah menekan harga obat mulai dari fase riset hingga
pemasaran. Penekanan ini dapat menggunakan berbagai bentuk,
termasuk pembiayaan riset oleh pemerintah atau masyarakat. Di
samping itu, diharapkan kerja sama antara perusahaan obat yang
mempunyai sistem produksi dan distribusi baik dengan pemerintah
untuk menyediakan obat murah terutama bagi masyarakat miskin
(Wildus 2001). Pendekatan ini sedang dilakukan oleh TB Alliance,
kelompok yang berusaha mengembangkan obat TB baru dengan dana
campuran dari berbagai sumber, pemerintah, masyarakat, dan industri
farmasi. Di samping itu, timbul usaha untuk memperpendek waktu
paten, tetapi hal ini ditentang keras oleh industri obat.
Pendekatan kedua adalah menggunakan pendekatan etika.
Dalam hal ini Burton dkk (2001) menyatakan bahwa harus ada nilai
normatif dalam bentuk etika yang dipunyai oleh sektor kesehatan
dalam mengendalikan biaya obat. Nilai-nilai tersebut akan hadir
apabila timbul kesadaran mengenai keterbatasan sumber daya untuk
pengadaan obat, rasa kemanusiaan untuk menolong orang yang sakit
dan sengsara, adanya hak pasien mendapatkan yang terbaik,
kepercayaan bersama, dan adanya kesadaran mengenai pemilihan obat
sebagai keputusan bersama. Apa yang diuraikan oleh Burton dkk
(2001) merupakan harapan normatif yang disampaikan untuk sektor
kesehatan dan industri farmasi. Banyak pihak yang skeptis terhadap
pendekatan normatif ini, tanpa suatu peraturan tegas. Pertanyaan
penting: apakah ada etika dalam industri farmasi?
Velasquez (1998) menguraikan sebuah contoh etika bisnis
perusahaan yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh Merck,
perusahaan obat raksasa. Pada tahun 1979, Dr. William Campbell,
seorang peneliti yang bekerja pada Merck and Co, menemukan bukti
bahwa salah satu obat binatang Ivermectin® mungkin dapat mem-
bunuh parasit yang menyebabkan penyakit river blindness di Afrika
dan Amerika Latin. Dr. Campbell dan timnya kemudian menghubungi
Dr. P. Roy Vagelos, Chairman Merck mengenai hal ini. Penemuan ini
menjadikan perdebatan di dalam Merck, apakah akan meneruskan
penelitian ini dan mencobakannya ke manusia. Para manajer yang
menentang menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu
Bagian V 241

membeli obat ini. Di samping itu, timbul pertanyaan mengenai


bagaimana ongkos distribusinya untuk mencapai penduduk miskin di
pedalaman? Di samping itu, risiko Merck akan rugi besar karena dapat
menghancurkan pasar obat binatang Ivermectin® yang mempunyai
omzet 300 juta $ setahun, jika versi manusia ini gagal.
Dalam perdebatan ini, muncul isu moral yang menyatakan
bahwa manfaat obat ini untuk manusia tidak dapat diabaikan. Per-
timbangan ini akhirnya mengalahkan aspek untung-rugi. Berdasarkan
usul tim peneliti, akhirnya Merck setuju mengembangkannya. Setelah
7 tahun bekerja keras, dengan biaya cukup besar obat tersebut dapat
diproduksi. Akan tetapi, tidak ada negara yang mau membeli, bahkan
WHO pun tidak. Padahal obat ini potensial untuk mengobati 85 juta
orang. Apa yang dibayangkan dalam perdebatan awal terjadi, terjadi
produksi tanpa ada pembeli. Akhirnya, Merck memutuskan mem-
berikan obat ini secara gratis untuk penderita yang potensial, bahkan
memberikan bantuan dalam distribusinya. Merck kemudian bekerja
sama dengan WHO, membentuk kelompok kerja internasional untuk
mendistribusikan obat ke penderita secara aman dan menjamin untuk
tidak dijual sebagai obat binatang. Pada tahun 1996, obat ini berhasil
menyembuhkan banyak orang hasil kerja sama antara Merck dan
berbagai negara serta lembaga sukarelawan.
Pertanyaan penting mengapa Merck mau menempuh risiko dan
kemudian membiayai berbagai hal yang tentunya mengurangi
profitnya? Dalam hal ini Dr. Vagelos menyatakan bahwa saat pertama
kali perusahaannya menduga bahwa salah satu obat untuk binatang
dapat mengobati manusia maka satu-satunya etika adalah harus
mengembangkannya. Namun, dikatakan lebih lanjut bahwa dunia
akan mengenang Merck dalam hal ini, sehingga nama Merck akan
menjadi kenangan baik. Tentunya dalam hal ini akan timbul pengaruh
positif untuk penjualan Merck di kelak kemudian hari.
Contoh kasus ini menunjukkan bahwa masih terdapat etika
bisnis yang dimiliki oleh Merck, sebuah perusahaan farmasi yang
terkemuka dengan keuntungan luar biasa. Memang pada jangka
pendek, seolah etika akan bertabrakan dengan tujuan bisnis untuk
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, dalam
242 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

jangka panjang etika dan profit akan berjalan bersama. Dengan kasus
ini, sebenarnya terdapat etika bisnis dalam perusahaan yang mencari
keuntungan.
Sebagai penutup secara ringkas dapat disebutkan bahwa industri
farmasi merupakan industri yang sama dengan industri lain dengan
tujuan memaksimalkan keuntungan. Ciri ini juga terjadi pada industri
peralatan rumah sakit yang menggunakan teknologi tinggi. Tujuan
industri sektor rumah sakit ini mempunyai indikator keuntungan
ataupun naik-turunnya harga saham industri tersebut. Dengan
demikian, perilaku industri farmasi dari pabrik hingga para detailman
adalah memaksimalkan keuntungan. Pertanyaan penting adalah: (1)
Apakah para dokter dan manajer rumah sakit yang berada dalam
sistem rumah sakit non-profit ataupun sosial akan berperilaku for-
profit pula, seperti industri farmasi?; (2) Apakah para manajer rumah
sakit dan dokter menggunakan obat sebagai alat untuk mendapatkan
pendapatan dan keuntungan setinggi-tingginya?; dan (3) Apakah
masih ada pertimbangan moral dan kaidah etika dalam sektor farmasi
di rumah sakit?
Bagian V 243

BAB XV
TRANSISI RUMAH SAKIT, INDIKATOR, DAN
EVALUASI EKONOMI

Dalam kegiatan yang berjalan bersama dengan industri farmasi


dan berbagai industri penunjang pelayanan kesehatan, sistem
manajemen rumah sakit berada pada dilema; apakah mengikuti pola
seperti masa rumah sakit misionaris, atau berpindah ke sistem yang
mencari keuntungan. Dalam hal ini timbul suatu keadaan yang relatif
lebih sulit dikelola apabila sebagian input untuk produksi di rumah
sakit bersifat mengutamakan profit, sementara rumah sakit berperilaku
tidak untuk mencari keuntungan.
Secara praktis akan timbul keganjilan, misalnya di rumah sakit
keagamaan, manajemen obat dan bahan habis pakai dilakukan
berdasarkan kaidah memaksimalkan keuntungan sementara misi
rumah sakit adalah menolong orang miskin. Andaikata rumah sakit
menekan harga obat atau bahkan mensubsidi (menjual obat di bawah
harga beli dari distributor), akhirnya rumah sakit keagamaan akan
kesulitan membiayai pelayanan bagi orang miskin karena biaya faktor
produksi tidak dapat ditekan dan tidak diperoleh subsidi. Hal ini
terjadi pula pada rumah sakit pemerintah.
Apakah rumah sakit kemanusiaan akan berpindah menjadi
lembaga usaha yang for-profit? Pertanyaan-pertanyaan ini memicu
timbulnya perubahan di berbagai rumah sakit dari suatu lembaga
sosial ke lembaga usaha. Dalam perubahan tersebut dibutuhkan berba-
gai indikator agar terdapat pedoman melakukan perubahan.
244 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

15.1 Pergeseran Rumah Sakit dari Lembaga Sosial ke Lembaga


Usaha yang Sosial

Pada akhir abad ke-20, pemerintah di berbagai negara kesulitan


untuk membiayai pelayanan kesehatan secara penuh. Menurut pakar
manajemen pelayanan kesehatan (Studin, 1995) dalam keadaan yang
menjauhi konsep welfare-state, terjadi suatu transisi pandangan yaitu
dari perencanaan rumah sakit yang berorientasi pelayanan kesehatan
masyarakat menjadi suatu perencanaan strategis yang menyerupai
perencanaan lembaga usaha. Keadaan ini dapat dilihat pada proses
otonomi rumah sakit seperti yang dibahas pada Bab IV.
Pada intinya terjadi berbagai transisi antara lain, sistem peren-
canaan rumah sakit berubah dari perencanaan yang birokratis tahunan
atau pelayanan organisasi sosial menjadi suatu proses perencanaan
yang disebut sebagai perencanaan strategis. Pada perencanaan ini
dikenal berbagai teknik yang dipergunakan pada perencanaan
perusahaan misalnya analisis Strength, Weakness, Opportunity dan
Threats (SWOT), serta penyusunan strategi bisnis.
Penyusunan rencana strategis ini membutuhkan ketrampilan
khusus yang dapat dipelajari dari buku-buku dan pelatihan manajemen
strategis. Hal lain yang diperlu diperhatikan adalah penggunaan istilah
needs untuk perencanaan. Dalam pendekatan needs (lihat Bab III),
maka perencanaan pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan tanpa membedakan
status ekonominya. Transisi pada aspek ini menggunakan konsep
demand, yaitu masyarakat dinilai mengenai kemauan dan kemam-
puannya mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan menggunakan
pendekatan demand ini maka ada berbagai kelompok masyarakat yang
mampu untuk membiayai sendiri, tetapi ada yang memerlukan subsidi
dari pemerintah atau bantuan lembaga sosial untuk memenuhi
kebutuhannya (needs) akan pelayanan kesehatan.
Pola penyakit dan kematian, atau yang disebut sebagai data
epidemiologi berubah menjadi data yang dapat dipergunakan untuk
pemasaran rumah sakit. Berbagai trend perkembangan penyakit
dipergunakan untuk melakukan peramalan akan prospek pasar
Bagian V 245

pengguna rumah sakit. Transisi ini mengenal istilah manajemen


produksi untuk menyebutkan pengembangan program rumah sakit di
masyarakat. Istilah kelompok masyarakat yang menggunakan rumah
sakit kemudian disebut sebagai customer.
Dalam perubahan ini berbagai prinsip dalam bisnis dipergu-
nakan oleh rumah sakit. Rumah sakit tidak hanya berorientasi pada
kesehatan masyarakat saja, tetapi juga harus memikirkan sistem bisnis
agar dapat tumbuh dan berkembang. Keadaan pada sebagian rumah
sakit daerah di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi bisnis tidak
diperhatikan sehingga terjadi kegagalan berkembang. Akibatnya,
seluruh fungsi rumah sakit menjadi terganggu. Transisi ini menye-
babkan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga usaha dengan
berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi dan manajemen yang dipergu-
nakan oleh badan-badan usaha lain (Kaluzny dkk., 1995; Mick, 1990).
Dampak ini menuntut adanya perubahan pada berbagai tatanan baku
yang secara tradisional sudah mengakar pada sistem pelayanan
kesehatan, termasuk yang dikelola oleh pemerintah. Transisi ini meng-
akibatkan rumah sakit menjadi lembaga yang mempunyai karakter
ekonomi sekaligus mempunyai karakter sosial. Dalam hal ini
dikhawatirkan apabila dampak tersebut tidak dikelola secara benar
akan terjadi kesimpangsiuran dan ketidaktepatan pola manajemen
yang dipakai. Transisi ini tidak harus dari satu ekstrim ke ekstrim lain.
Dalam hal ini diperlukan suatu kombinasi yang tepat antara orientasi
kesehatan masyarakat dan orientasi bisnis.

Lembaga usaha
yang berfungsi
sosial
Lembaga kemanusiaan Lembaga usaha komersial
yang bersifat non-profit bersifat for-profit

Gambar 15.1 Spektrum rumah sakit berbentuk lembaga kemanusiaan murni hingga
lembaga usaha komersial
246 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Sebagaimana diuraikan pada Bagian II, pada dasarnya sebuah


firma atau lembaga usaha diasumsikan mempunyai tujuan untuk
memaksimalkan keuntungan (for-profit). Akan tetapi, sebagian
lembaga usaha bertujuan tidak memaksimalkan untung (non-profit).
Di sinilah letak rumah sakit sebagai lembaga usaha non-profit.
Dengan menggunakan spektrum yang disusun oleh Dees (1999),
rumah sakit dapat dibedakan dari lembaga usaha yang mempunyai
motivasi campuran (rumah sakit berbentuk lembaga usaha non-profit),
sampai pada bentuk lembaga usaha profit. Di Indonesia, sulit mencari
rumah sakit yang benar
Bagian V 263

ilmu manajemen bahwa input dan struktur harus diatur dalam proses
yang baik untuk mencapai tujuan berupa hasil (yang dapat diukur)
dengan sebaik-baiknya (Drucker dan Eccles, 1998; Burrows dkk.,
1994).
Bersamaan dengan konsep ini Drummond dkk (1997)
mengembangkan metode evaluasi ekonomi untuk pelayanan kesehatan
yang sistematis. Dua hal penting dalam evaluasi ekonomi. Pertama
adalah evaluasi ekonomi berarti mencakup biaya dan hasil dari proses
yang menggunakan biaya tersebut. Kedua, evaluasi ekonomi selalu
mengandung kegiatan membandingkan antaralternatif-alternatif
pilihan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini Drummond dkk (1997)
menyatakan bahwa evaluasi ekonomi adalah “The comparative
analysis of alternative courses of action in terms of both their costs
and concequences”. Oleh karena itu, manfaat utama evaluasi ekonomi
adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan memban-
dingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang dipertimbangkan.
Gambar 15.5 berikut ini menunjukkan prinsip evaluasi ekonomi.
Gambar 15.5 memperlihatkan bahwa evaluasi ekonomi mem-
bandingkan pilihan antara berbagai alternatif. Dalam hal ini misalnya
terjadi perbandingan antara tindakan A dan pembanding B. Evaluasi
ekonomi dapat dipergunakan dalam pemahaman mengenai konsep
evaluasi tindakan atau teknologi kesehatan. Secara tradisional pada
sektor rumah sakit dan kesehatan pada umumnya, sering dilakukan

Hasil A
Biaya A Tindakan A

Pilihan
Hasil B
Pembanding
B
Biaya B

Gambar 15.5 Prinsip evaluasi ekonomi melakukan perbandingan antaralternatif


evaluasi untuk menguji efikasi atau efek dari obat, alat, dan prosedur
tindakan. Pengujian ini sering dilakukan dalam konteks memban-
264 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

dingkan dua tindakan. Hal ini dapat dibaca pada berbagai jurnal
kedokteran yang banyak melaporkan hasil penelitian evaluasi.
Evaluasi jenis ini lebih banyak mengukur hasil, bukan pada biaya
tindakan. Drummond dkk (1997) menggambarkan hal tersebut dengan
Tabel 15.2 di bawah ini.
Pada kotak 1A, 1B, dan 2 tidak ada perbandingan alternatif
(hanya ada satu tindakan atau program yang sedang dievaluasi). Sebe-
narnya evaluasi harus mempunyai arti membandingkan satu dengan
lainnya. Oleh karena itu, “evaluasi” dalam kotak ini sebenarnya bukan
evaluasi sesungguhnya, tapi lebih merupakan suatu gambaran. Pada
kotak 1A hanya hasil dari tindakan yang diperiksa, dan disebut

Tabel 15.2 Klasifikasi evaluasi ekonomi


Apakah biaya (input) dan hasil (output)
dari alternatif-alternatif diperiksa?
Tidak Ya
Tidak Menilai hasil Menilai biaya
saja saja
1A 1B 2
Evaluasi Evaluasi Evaluasi Sebagian
Sebagian Sebagian

Gambaran Gambaran Gambaran Hasil-biaya


Apakah ada
hasil biaya
perbandingan
antara dua Ya 3A 3B 4
atau lebih Evaluasi Evaluasi Evaluasi Ekonomi
alternatif Sebagian Sebagian Penuh

Uji efikasi Analisis Biaya Cost-minimization


atau analysis
efektivitas Cost-effectiveness
analysis
Cost-utility analysis
Cost-benefit analysis
sebagai gambaran hasil. Dalam kotak 1B karena hanya biaya yang
dilihat maka disebut sebagai gambaran biaya. Karena tidak melihat
Bagian V 265

pada hasil, maka tidak dapat disebut sebagai evaluasi ekonomi penuh.
Pada kotak 3A dan 3B terdapat perbandingan antara dua
alternatif tindakan kesehatan, tetapi tidak melakukan penghitungan
biaya. Pada kotak 3A tindakan ini disebut sebagai evaluasi efektivitas
yang banyak dilakukan dalam uji klinik. Dalam kotak 3B hanya biaya
yang dibandingkan sehingga disebut sebagai analisis biaya. Kotak 4
merupakan evaluasi ekonomi penuh dengan biaya dan hasil antar
alternatif dibandingkan. Dikenal empat jenis evaluasi ekonomi penuh
yaitu cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, cost-
utility analysis, dan cost-benefit analysis.

Analisis biaya minimalisasi (Cost Minimization Analysis)


Evaluasi ekonomi penuh jenis ini mempunyai ciri yaitu hasil
dari dua alternatif yang diukur adalah sama. Berdasarkan hal ini maka
komponen input atau biaya dari kedua alternatif akan dihitung untuk
mendapatkan data tindakan mana yang paling rendah biayanya.
Evaluasi ini banyak dilakukan pada berbagai tindakan bedah minor.
Sebagai contoh Russsel dkk (1977) meneliti perbadingan bedah sehari
untuk hernia dan hemoroid dibandingkan dengan teknik perawatan
saat ini.

Analisis biaya dan hasil guna (Cost Effectiveness Analysis)


Apabila keluaran (outcome) dari tindakan proyek tersebut tidak
sama, maka dilakukan pengukuran hasil dan biaya melalui metode
cost-effectiveness. Dalam hal ini hasil (outcome) diukur dengan
indikator status kesehatan yang alamiah, misalnya perpanjangan masa
kehidupan. Indikator status kesehatan lain misalnya; penyembuhan,
penghindaran dari kematian.

Analisis utilitas biaya (Cost Utility Analysis)


266 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Pengukuran ini membutuhkan data hasil dalam bentuk utilitas


atau kegunaan hidup. Dalam khasanah ekonomi kesehatan terdapat
berbagai metode untuk menghitung kegunaan hidup. Salah satu yag
paling yang populer adalah berdasarkan konsep Quality Adjusted Life
Years (QALY) dan untuk menghitung beban penyakit Disability
Adjusted Life Years (DALY). Perhitungan QALY berdasarkan kom-
binasi antara lama kehidupan dan mutu kehidupan. Dalam aplikasi di
rumah sakit, analisis ini penting untuk mempertimbangkan keputusan
penggunaan teknologi yang mahal bagi pasien-pasien yang sudah
dipastikan tidak mendapat manfaat banyak.

Analisis biaya dan keuntungan (Cost benefit Analysis)


Jika perhitungan biaya dan keluarannya menggunakan satuan
yang sama, biasanya dengan nilai uang, maka analisis yang dilakukan
adalah cost benefit analysis. Karena menggunakan ukuran yang sama
maka dapat menggunakan perbandingan benefit atau cost sebagai
satuannya.
Pemahaman mengenai evaluasi ekonomi ini menjadi dasar
untuk menentukan tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit bersifat
etis atau tidak. Namun, kesulitan yang sering dihadapi pada praktik
sehari-hari adalah tidak adanya data mengenai evaluasi ekonomi untuk
berbagai tindakan klinik ataupun peralatan teknologi kedokteran. Di
samping itu, penghitungan biaya evaluasi ekonomi merupakan satu
hal yang sangat sulit. Dapat dipahami bahwa evaluasi ekonomi dengan
menggunakan model Drummond (1997) ini masih jarang diperguna-
kan dalam pembuatan keputusan manajemen pada rumah sakit di
Indonesia.
Bagian V 267

BAB XVI
ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di


Indonesia bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep
usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi.
Dalam transisi ini pertanyaannya adalah, apakah ada yang dirugikan?
dan apakah ada pedoman etika yang dapat diikuti? Saat ini memang
timbul kekhawatiran mengenai akibat negatif dari transisi rumah sakit
ke arah lembaga usaha. Pertanyaan mengenai siapa yang dirugikan
atas perkembangan ini perlu dibahas untuk mencari usaha menga-
tasinnya. Pembahasan diawali dengan tinjauan konseptual mengenai
dasar keadilan dalam peningkatan efisiensi. Dari pembahasan
mengenai konsep dasar ini, berbagai ”kasus abu-abu” dalam rumah
sakit dianalisis untuk mencari jawaban akan pertanyaan penting:
adakah etika untuk bisnis di sektor rumah sakit?

16.1 Konsep Dasar untuk Keadilan

Dalam perubahan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga


usaha diperlukan suatu filosofi agar secara etika dapat dipertanggung-
jawabkan. Tujuan penting dalam perubahan rumah sakit adalah
peningkatan efisiensi dan penjaminan bagi orang miskin untuk
mendapatkan pelayanan rumah sakit. Dengan demikian perubahan
akan diukur dengan indikator ekonomi dan indikator lain termasuk
fungsi sosial rumah sakit. Dalam hal ini, pernyataan Pareto cit.
Friedman 1995 perlu diperhatikan bahwa perubahan kebijakan harus
berprinsip: tidak ada satu orang atau satu lembaga pun yang dirugikan.
268 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

“One allocation is defined as Pareto superior to another if and only if


it makes at least one person better off and no one worse off”.
Teori ekonomi mikro menyatakan bahwa model standar suatu
organisasi perusahaan adalah bersifat for profit. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan efisiensi di lembaga usaha for profit dilakukan dengan
berbagai usaha yaitu: (1) menjaga agar biaya produksi berada pada
tingkat mimimum; (2) menetapkan harga di atas unit cost; dan (3)
melebarkan penjualan (misalnya meningkatkan BOR dan berbagai
produk rumah sakit). Sementara itu, pengertian efisiensi dalam
organisasi non profit dapat berarti cara menghasilkan produk dan
tercapainya misi dengan biaya produksi atau operasional yang
serendah mungkin. Oleh karena itu, dalam transformasi lembaga
sosial menjadi lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial,
pertanyaan pentingnya adalah apakah ada kelompok masyarakat yang
dirugikan. Untuk membahas hal ini pemahaman mengenai model
utilitas di masyarakat perlu dipelajari. Model ini penting sebagai dasar
kebijakan transisi rumah sakit.
Pemahaman mengenai efisiensi Pareto ini terlihat pada Gambar
16.1 yang menggunakan model utilitas. Dalam model ini digambarkan
dunia terdiri atas 22 utilitas yang dibagi dua, untuk Jamhuri dan
Suroto. Batas efisiensi pembagian antara Jamhuri dan Suroto dibatasi
oleh kurva batas utilitas. Misalnya dimulai pada posisi awal A. Pada
titik ini Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya mempunyai 10 utilitas
(titik J1), sementara Suroto mempunyai 6 (titik S1). Total yang dimiliki
bersama adalah 16 utilitas. Dalam hal ini masih ada 6 utilitas yang
belum terpakai. Jumlah ini merupakan peluang peningkatan efisiensi
karena belum dikembangkan sampai batas lingkaran. Dalam hal ini
keadaan di titik A masih dapat ditingkatkan efisiensinya ke titik D, H.
atau B. Akan tetapi tidak dapat dikembangkan sampai titik R karena
berada di luar batas kurva.
Pada pengertian efisiensi menurut Pareto, maka perubahan dari
A ke B secara keseluruhan akan meningkatkan efiensi. Dalam
perubahan ini yang meningkat hanya Suroto, dari 6 menjadi 12 (titik
S2), sedangkan Jamhuri tidak mendapat keuntungan, tetap 10 utilitas
Bagian V 269

Utilitas milik
Jamhuri

J2 D
.R
.H
J1 A B

Kurve batas utilitas

S3 S1 S2
Utilitas milik Suroto

Gambar 16.1 Konsep efisiensi menurut Pareto

(titik J1). Perubahan dari A ke B ini masih disebut sebagai efisiensi


Pareto. Akan tetapi apabila keadaan berubah dari A ke D, maka hanya
Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya justru mendapat keuntungan,
berpindah dari titik J1 ke titik J2. Sementara Suroto berkurang utilitas,
dari titik S1 ke titik S3. Dalam hal ini berarti ada pihak yang dirugikan,
sehingga tidak memenuhi efisiensi Pareto. Perubahan ke titik H, dapat
menjadikan pembagian utilitas menjadi 11 untuk Jamhuri dan 11
untuk Suroto. Hal ini menjadikan pembagian yang merata.
Bagaimana aplikasi di rumah sakit? Perubahan dari lembaga
sosial birokrasi menjadi lembaga usaha yang sosial seharusnya
mengacu pada filosofi Pareto. Dalam hal ini tidak boleh ada pihak
yang dirugikan. Sebagai contoh, kebijakan Perjan harus mempunyai
efek efisiensi menurut Pareto. Apakah perubahan kebijakan menjadi
Perjan merugikan salah satu pihak? Misalnya orang miskin akan
270 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

kesulitan mendapatkan akses ke rumah sakit. Apabila kebijakan


menjadi Perjan mengurangi akses untuk orang miskin, berarti
perubahan menjadi Perjan tidaklah efisien menurut Pareto karena ada
pihak yang dirugikan.

Gambar 16.2 Pertumbuhan Benthamite dan Rawlsian.

Akan tetapi, ada yang tidak menggunakan efisiensi secara


Pareto. Mereka berpendapat bahwa yang penting adalah pertumbuhan.
Masyarakat harus berkembang, walaupun ada yang dirugikan. Paham
ini disebut Benthamite karena diusulkan oleh seorang ahli sosiologi
bernama Jeremy Bentham pada tahun 1789. Menurut Bentham dalam
peningkatan efisiensi yang penting adalah pertumbuhan dengan
adanya peningkatan efisiensi. Apabila ada pihak yang dirugikan bukan
menjadi masalah. Pemerataan merupakan hal lain yang tidak terkait
dengan efisiensi.
Pendapat yang mengambil efisiensi Pareto secara radikal adalah
paham Rawlsian, yang bersumber dari pendapat seorang filsuf John
Bagian V 271

Rawls. Pendapat ini menekankan mengenai keadilan sosial, dengan


harus mempunyai prinsip memperbaiki mereka yang paling sengsara
(Rice 1998). Hal ini berarti sistem pelayanan kesehatan harus
menempatkan pelayanan bagi yang paling menderita sebagai prioritas.
Dengan demikian dalam masalah ini terdapat dua kutub ekstrim:
pertama yang mengacu ke pertumbuhan (Benthamite), sedangkan
kutub kedua mengacu pada egalitarian (Rawlsian). Secara grafis
keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 16.2. Pada Benthamite, yang
penting adalah pertumbuhan dengan garis Benthamite bergeser ke
kanan untuk memperbesar efisiensi sumber daya. Sementara Rawlsian
menyatakan boleh bergeser ke kanan asal masih dalam cakupan
daerah yang diarsir, dengan berusaha membuat pembagian utilitas
seimbang (sesuai garis 45o) antara Suroto dan Jamhuri.

16.2 Berbagai “Kasus Abu-abu” dalam Rumah Sakit

Pembahasan model utilitas Pareto dapat dipergunakan untuk


menyiapkan perangkat etika rumah sakit sebagai lembaga usaha yang
mempunyai fungsi sosial. Pada saat ini bentuk rumah sakit di
Indonesia memang masih belum jelas, apakah berdasarkan konsep
lembaga usaha, ataukah berbentuk lembaga sosial. Dalam keadaan
yang belum jelas ini, wajar jika timbul berbagai kasus yang mungkin
dianggap normal di rumah sakit, tetapi apabila dibahas menggunakan
etika bisnis atau norma-norma ekonomi maka kasus-kasus tersebut
merupakan penyimpangan. Kasus-kasus tersebut sebagai berikut:
Kasus 1. Mengenai pengaturan jumlah dokter dan penempatan.
Di sebuah kota besar, berbagai rumah sakit swasta besar tidak
mempunyai satu jenis spesialis full-timer, walaupun sanggup untuk
mempunyainya dan membutuhkan keberadaannya secara full-timer.
Dalam pengaturan tenaga spesialis oleh pemerintah tidak ada
peraturan mengenai penempatan spesialis tersebut di rumah sakit
swasta. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa seluruh tenaga spesialis
tersebut berasal dari rumah sakit pendidikan pemerintah yang diatur
oleh perhimpunan spesialis tersebut, walaupun tanpa aturan tertulis.
272 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Patut dicatat bahwa tenaga spesialis tersebut sangat dibutuhkan oleh


berbagai tindakan medik yang membutuhkan pembedahan dan ICU.
Kasus 2. Penetapan tarif yang terlalu tinggi oleh spesialis.
Seorang direktur rumah sakit keagamaan mengeluh karena pasien SC
kelas III harus membayar jasa medik sebesar Rp2.000.000,00 untuk
dokternya. Jasa medik ini tidak bisa ditawar karena dokter ahli
kebidanan dan kandungan tersebut satu-satunya di wilayah tersebut.
Dalam kasus ini posisi direktur rumah sakit keagamaan berada pada
situasi yang sulit. Apabila tidak menyetujui tarif tersebut, maka dokter
yang bersangkutan tidak mau bekerja di rumah sakitnya. Akan tetapi,
apabila mengikutinya, maka rumah sakit keagamaan ini menjadi
mahal yang berarti berlawanan dengan misi sosialnya.
Kasus 3. Hubungan dokter dengan industri farmasi merupakan
keadaan yang diwarnai dengan berbagai motivasi ekonomi.
Konferensi-konferensi ilmiah para dokter dipengaruhi kuat oleh
industri farmasi. Konferensi-konferensi ilmiah menjadi ajang promosi
industri obat yang berusaha mempengaruhi pola peresepan dokter. Hal
yang menarik bahwa banyak diskusi atau sesi-sesi dalam pertemuan
ilmiah yang dibiayai oleh perusahaan farmasi dengan mekanisme
memberikan door-prize dan makan siang.
Kasus 4. Ketika tarif poli spesialis di rumah sakit pemerintah
murah yang jasa mediknya rendah, maka terjadilah peresepan yang
sangat tinggi dan menggunakan jasa apotek di luar rumah sakit. Hal
ini disebabkan oleh motivasi ekonomi untuk mendapat persentase dari
omzet penjualan obat. Walaupun tidak dapat dibuktikan secara ”hitam
di atas putih”, dokter mendapat keuntungan materi dari apotek yang
menjual obat yang diresepkan tersebut. Akibatnya, pasien yang ingin
membeli obat harus pergi ke apotek di luar rumah sakit yang ditunjuk
oleh dokter.
Kasus 5. Penjualan bahan dan alat yang diikutkan dengan
pelayanan. Seorang keluarga pasien mengeluh karena operasi bedah
tulang tidak dapat dilakukan sebelum pen-nya dibeli. Pembelian pen
tersebut terpisah dari biaya rumah sakit karena rumah sakit tidak
menyediakan langsung. Ketika pihak manajemen rumah sakit ditanya
mengenai masalah ini, jawabannya sangat sederhana karena dokter
Bagian V 273

bedah tulang mensyaratkan bahwa pen harus berasal dari dirinya.


Kasus 6. Angka bedah caesar di sebuah rumah sakit sangat
tinggi karena indikasi diperlonggar. Angka tersebut sangat tinggi
karena memang pasien menginginkan bedah SC tanpa indikasi medik,
dokter kebidanan dan kandungan juga tertarik melakukannya, serta
sistem manajemen rumah sakit mendorong mendapatkannya.
Kasus 7. Lingkungan fisik lembaga pelayanan kesehatan. Ham-
pir seluruh praktik bersalin, dokter, dan dokter gigi tidak memper-
hatikan masalah pencemaran lingkungan. Tempat-tempat praktik
jarang yang mempunyai sistem pembuangan limbah. Limbah praktik
diperlakukan sama dengan limbah rumah tangga. Berbagai rumah
sakit membuang limbah berbahaya (B3) dengan tidak menggunakan
instalasi limbah yang cukup baik. Akibatnya, limbah rumah sakit tidak
dapat dijamin untuk tidak membahayakan penduduk di sekitar
lingkungan rumah sakit.
Kasus-kasus tersebut patut dipertanyakan: apakah melanggar
etika dokter? Apabila dikaji kasus per kasus, terdapat berbagai praktik
terlarang secara ekonomi yang dipraktikkan. Kasus 1 terkait dengan
praktik-praktik kartel dan perilaku monopolistik. Dengan adanya
pengaturan jumlah dokter spesialis oleh perhimpunan profesi di
sebuah daerah, dipandang dari kacamata anggota maka akan terjadi
suatu jaminan pendapatan yang tinggi. Akan tetapi, dari kacamata
konsumen ataupun dokter spesialis lain yang menggunakan jasa
dokter spesialis tersebut akan terjadi keadaan yang berlawanan.
Masyarakat dan dokter lain akan kesulitan mendapatkan jasa, dan nilai
jasa menjadi tinggi karena pihak dokter spesialis tersebut dapat
berlaku sebagai penentu jasa (price-maker).
Kasus 2, dokter menetapkan tarif tinggi walaupun di rumah
sakit keagamaan karena perilaku monopolistik dengan sifat supply
tenaga spesialis yang inelastik. Jika rumah sakit keagamaan tadi tidak
mau memberikan tarif seperti yang diminta, maka tidak ada pilihan
kedua untuk mencari spesialis lain. Kasus ke-3 dan ke-4 yang dila-
kukan oleh dokter akan meningkatkan biaya obat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip efisiensi. Praktik-praktik hubungan antara dokter dan
perusahaan farmasi merupakan salah satu faktor penyebab tingginya
274 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

harga obat di pasar produk. Di samping itu, hubungan semacam ini


akan memicu supplier-induced-demand.
Penjualan pen oleh dokter merupakan praktik tidak terpuji
karena menghilangkan esensi dari hubungan kontraktual antara rumah
sakit dan pasien bahwa dokter akan bertindak atas nama pasien.
Kesulitan utama akan terjadi misalnya pada saat re-imburstment oleh
pihak asuransi kesehatan karena tentunya pen yang dibeli dari dokter
tidak mempunyai kuitansi. Di samping itu, kemungkinan (1) dokter
bedah tulang mengambil keuntungan yang tidak sepatutnya dalam
penjualan pen, karena ada faktor kerahasiaan antara pemasok pen dan
dokter; dan (2) masalah penghindaran pajak akibat praktik jual beli
yang tidak sepantasnya. Dalam hal ini dokter sebenarnya bukan
penjual barang, tetapi lebih sebagai penyedia jasa. Keadaan ini serupa
dengan penjualan obat oleh dokter pada daerah yang ada apoteknya.
Kasus ini menjadi sulit apabila ternyata harga pen yang dijual dokter
lebih murah dibanding melalui rumah sakit. Hal ini dapat
menunjukkan adanya inefisiensi dalam manajemen rumah sakit.
Kasus 6 merupakan salah satu dampak dari fenomena supplier-
induced-demand. Di beberapa rumah sakit angka kelahiran melalui
bedah Caesar (bedah SC) dapat mencapai 50% dari seluruh jumlah
kelahiran. Dalam hal ini berbagai pihak di rumah sakit menikmati
adanya bedah SC. Secara sadar atau tidak, berbagai komponen dalam
rumah sakit mengharapkan adanya lebih banyak SC. Lingkungan ini
ditambah oleh keinginan pasien merupakan tempat yang cocok untuk
melakukan SC walaupun tidak ada kebutuhan secara medik.
Kasus 7, merupakan kebalikan dari tugas rumah sakit sebagai
suatu lembaga yang seharusnya mampu memberikan eksternalitas
positif (good-externalities) dengan menyembuhkan berbagai penyakit,
khususnya penyakit menular. Apa yang terjadi justru semakin
meningkatnya kemungkinan eksternalitas negatif (bad externalities)
akibat rumah sakit mencemari lingkungan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan-tindakan
yang dinilai tidak baik dalam prinsip ekonomi ternyata dipraktikkan
dalam pelayanan kesehatan. Praktik melakukan tindakan yang tidak
baik ini kemungkinan dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar
Bagian V 275

karena memang tidak mengetahui konsep yang benar. Dalam diskusi


dengan seorang ahli anestesi, memang tidak ada pemahaman
mengenai apa yang disebut sebagai kartel. Yang dipahami oleh para
dokter adalah suatu semangat kebersamaan yang kuat, dapat
memberikan bantuan bagi yang sedang kesusahan, atau menggantikan
praktik apabila dokter yang bersangkutan sedang di luar kota untuk
belajar, konferensi atau menghadiri pertemuan sosial dan keluarga. Di
sebuah kota sistem tersebut dapat memberikan jaminan untuk ahli
yang senior atau yang akan memasuki masa pensiun. Dalam hal ini
memang terjadi suatu perbedaan pemahaman prinsip normatif
ekonomi yang menentang kartelisme dan rasa persaudaraan profesi.
Di sisi dokter, bentuk-bentuk yang mengarah pada kartel adalah
bentuk nyata dari kultur profesional yang menempatkan rasa
persaudaraan dan senioritas sebagai hal utama.
Dengan demikian, keadaan yang baik atau buruk dapat dilihat
sebagai sesuatu yang relatif, tergantung dari sudut pandangan mana
dilakukan. Pertanyaan yang sering timbul: apakah tidak terdapat
pedoman yang dapat diikuti oleh semua pihak yang terkait dengan
kasus di atas? Dalam hal inilah prinsip Pareto sangat penting untuk
dipergunakan. Dengan prinsip tersebut, pertanyaannya adakah sebuah
pihak yang dirugikan? Lebih khusus lagi, penganut Rawlsian akan
menanyakan apakah kasus-kasus di atas merugikan masyarakat yang
sudah menderita?
Ketika dokter atau rumah sakit melakukan penetapan tarif
terlalu tinggi, jelas bahwa mereka yang miskin akan semakin sulit
mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Demikian pula apabila harga
obat menjadi semakin mahal akibat tidak efisiennya sistem produksi
dan distribusi obat, maka masyarakat ekonomi lemah yang akan
dirugikan.
Ada pertanyaan menarik mengapa etika dokter cenderung tidak
mampu mengatasi permasalahan tersebut, atau pertanyaan lain
mengapa para ahli etika dokter tidak tertarik untuk membahas masalah
ini? Pertanyaan ini terjadi karena pada saat Seminar Internasional
Bioetika yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UGM dan
Harvard University pada pertengahan tahun 2000, ternyata tidak
276 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

banyak pembahasan mengenai kasus-kasus tersebut dari para ahli


etika. Dapat dikatakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi bagian
abu-abu dari etika.
Dalam seminar tersebut, seorang ahli etika Prof. Syamsuhidayat
mengungkapkan hal menarik dengan mengutip George Bernard Shaw
yang menyatakan: “Every profession is a conspiracy against the
public”. Menafsirkan pernyataan tersebut maka dapat diperkirakan
bahwa etika dokter sulit mencegah dokter mendapatkan keuntungan-
keuntungan ekonomi yang tidak wajar seperti yang terdapat pada
kasus-kasus di atas. Hal ini yang mendorong berbagai pengamat etika
mengusulkan adanya etika untuk lembaga pelayanan kesehatan. Etika
ini bersifat lebih luas daripada etika dokter, karena sebenarnya di
rumah sakit tidak hanya dokter yang mempunyai kegiatan dan interes
(Monagle dan Thomasma, 1998). Oleh karena itu, diperlukan etika
profesional dan etika kelembagaan.
Dalam membahas hubungan antara etika rumah sakit dan etika
professional Jacobalis (1993) menyatakan sebagai etika individual dan
etika institusional. Etika individual adalah etika profesi seperti etika
dokter, etika perawat, dan sebagainya yang mengatur perilaku pribadi
dan perilaku profesional pengemban profesi itu. Etika dokter adalah
etika profesi yang tertua, yang berawal pada sumpah Hippokrates (460
- 377 SM). Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) masih mengan-
dung unsur-unsur seperti dalam sumpah Hippokrates 2500 tahun yang
lalu. Konsep etika institusional relatif baru, yaitu konsep berperilaku
bagi suatu institusi atau dalam ikatan institusi. Etika rumah sakit
adalah salah satu etika institusional dalam layanan kesehatan. Etika
rumah sakit dapat dipilah dalam: (1) etika biomedik atau bioetika
(bioethics); dan (2) etika manajemen yang lebih banyak terkait dengan
aspek-aspek dalam manajemen dan administrasi.
Etika biomedik menyangkut masalah-masalah sekitar konsepsi,
reproduksi, kehamilan, kelahiran, hidup, penyakit, dan kematian
manusia. Istilah "bioetika" masih relatif baru. Orang yang pertama kali
mencetuskannya adalah Dr. Van Ransellaer Potten dalam bukunya
Bioethics, Bridge To The Future (1971). Bioetika menjadi sangat
mendesak diperhatikan dan dipelajari guna mencari pemecahan atas
Bagian V 277

dilema atau masalah yang timbul oleh perkembangan yang sangat


pesat dalam ilmu dan teknologi biologi dan kedokteran dalam
beberapa dekade terakhir. Perkembangan itu dalam banyak hal telah
mengubah sama sekali konsepsi dan persepsi tentang hidup dan mati
manusia, sehingga diperlukan peninjauan kembali tentang norma-
norma moral yang sudah dianggap mapan sebelumnya (Jacobalis,
1993).
Dalam ”kasus abu-abu” di atas, terlihat bahwa memang etika
profesi dokter tidak dapat menjadi pedoman untuk mencari
pemecahan akan kasus-kasus di atas. Untuk itu diperlukan etika lain
yaitu etika organisasi rumah sakit.

16.3 Perlukah Etika Bisnis Rumah Sakit?

Berbagai ahli menyatakan bahwa etika organisasi rumah sakit


saat ini mengalami perubahan besar. Bentuk lama etika organisasi
rumah sakit sering bersandar pada hubungan dokter dan pasien dalam
konteks sumpah dokter. Akan tetapi etika organisasi rumah sakit saat
ini sering membahas norma-norma yang diacu dalam manajemen
kegiatan sehari-hari rumah sakit. Norma-norma ini mencerminkan
bagaimana bisnis rumah sakit akan dijalankan sehingga pada akhirnya
rumah sakit dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Patut
dicatat bahwa rumah sakit sudah ada etika rumah sakit yang disebut
sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Etika Rumah Sakit
Indonesia (ERSI) dirumuskan dan dibina oleh PERSI, dan telah
disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sampai saat ini ERSI sudah berada
pada versi tahun 2001.
Dalam seminar di UGM untuk pertama kali di Indonesia
dilontarkan usulan untuk menyusun etika bisnis pelayanan kesehatan
(Trisnantoro, 2000). Disebutkan pada seminar tersebut bahwa bisnis
bersifat netral. Dengan mengacu pada konsep bisnis yang baik maka
diperlukan suatu etika bisnis sebagai komplemen dari etika
profesional. Etika bisnis yang berdasar dari etika sosial (misalnya oleh
Pareto) berusaha menjaga sistem pelayanan kesehatan menjadi lebih
278 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

baik dan melindungi mereka yang lemah.


Etika rumah sakit di Indonesia (ERSI) tidak secara eksplisit
menyebut sebagai etika bisnis rumah sakit. Hal ini memang masih
dalam suatu pengaruh persepsi masa lalu yang kuat bahwa bisnis
dianggap jelek. Buku ini menganut prinsip bahwa rumah sakit adalah
organisasi lembaga pelayanan yang memberikan pelayanan jasa
kesehatan untuk membuat orang menjadi sehat kembali, atau tetap
menjadi sehat dan bertambah sehat. Secara prinsip pemberian pela-
yanan, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan tidak berbeda dengan
lembaga pelayanan lain seperti lembaga pendidikan, hotel, ataupun
perpustakaan. Akan tetapi, berdasarkan jenis pelayanan, terdapat per-
bedaan antara pelayanan rumah sakit dan pelayanan hotel misalnya.
Dalam pelayanan hotel tidak ada unsur eksternalitas, dan nilai-
nilai penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara
tradisional oleh lembaga pelayanan kesehatan. Sifat khusus pelayanan
kesehatan menimbulkan kebutuhan akan norma-norma dalam men-
jalankan lembaga pelayanan kesehatan pada umumnya atau rumah
sakit pada khususnya. Berkaitan dengan ekonomi, etika bisnis
pelayanan kesehatan akan banyak menggunakan pernyataan-
pernyataan normatif.
Dengan demikian, etika organisasi rumah sakit merupakan etika
bisnis dengan sifat-sifat khusus. Etika bisnis didefinisikan oleh
Velasques (1998) sebagai studi mengenai standar moral dan
bagaimana standar tersebut dipergunakan oleh: (1) sistem dan
organisasi dengan masyarakat modern memproduksi dan mendistri-
busikan barang dan jasa, serta (2) orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah sebuah
bentuk dari etika terapan. Etika bisnis tidak hanya menganalisis
norma-norma moral dan nilai-nilai moral tetapi juga berusaha
memberikan kesimpulan pada berbagai lembaga, proses teknologi,
kegiatan dan usaha yang sering disebut sebagai “business”. Definisi
ini menyatakan bahwa etika bisnis mencakup lembaga dan orang-
orang yang bekerja di dalamnya.
Badarocco (1995) menyatakan bahwa kerangka berpikir etika
bisnis sering bersandar pada filosofi moral, sejarah bisnis, ilmu
Bagian V 263

ilmu manajemen bahwa input dan struktur harus diatur dalam proses
yang baik untuk mencapai tujuan berupa hasil (yang dapat diukur)
dengan sebaik-baiknya (Drucker dan Eccles, 1998; Burrows dkk.,
1994).
Bersamaan dengan konsep ini Drummond dkk (1997)
mengembangkan metode evaluasi ekonomi untuk pelayanan kesehatan
yang sistematis. Dua hal penting dalam evaluasi ekonomi. Pertama
adalah evaluasi ekonomi berarti mencakup biaya dan hasil dari proses
yang menggunakan biaya tersebut. Kedua, evaluasi ekonomi selalu
mengandung kegiatan membandingkan antaralternatif-alternatif
pilihan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini Drummond dkk (1997)
menyatakan bahwa evaluasi ekonomi adalah “The comparative
analysis of alternative courses of action in terms of both their costs
and concequences”. Oleh karena itu, manfaat utama evaluasi ekonomi
adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan memban-
dingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang dipertimbangkan.
Gambar 15.5 berikut ini menunjukkan prinsip evaluasi ekonomi.
Gambar 15.5 memperlihatkan bahwa evaluasi ekonomi mem-
bandingkan pilihan antara berbagai alternatif. Dalam hal ini misalnya
terjadi perbandingan antara tindakan A dan pembanding B. Evaluasi
ekonomi dapat dipergunakan dalam pemahaman mengenai konsep
evaluasi tindakan atau teknologi kesehatan. Secara tradisional pada
sektor rumah sakit dan kesehatan pada umumnya, sering dilakukan

Hasil A
Biaya A Tindakan A

Pilihan
Hasil B
Pembanding
B
Biaya B

Gambar 15.5 Prinsip evaluasi ekonomi melakukan perbandingan antaralternatif


evaluasi untuk menguji efikasi atau efek dari obat, alat, dan prosedur
tindakan. Pengujian ini sering dilakukan dalam konteks memban-
264 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

dingkan dua tindakan. Hal ini dapat dibaca pada berbagai jurnal
kedokteran yang banyak melaporkan hasil penelitian evaluasi.
Evaluasi jenis ini lebih banyak mengukur hasil, bukan pada biaya
tindakan. Drummond dkk (1997) menggambarkan hal tersebut dengan
Tabel 15.2 di bawah ini.
Pada kotak 1A, 1B, dan 2 tidak ada perbandingan alternatif
(hanya ada satu tindakan atau program yang sedang dievaluasi). Sebe-
narnya evaluasi harus mempunyai arti membandingkan satu dengan
lainnya. Oleh karena itu, “evaluasi” dalam kotak ini sebenarnya bukan
evaluasi sesungguhnya, tapi lebih merupakan suatu gambaran. Pada
kotak 1A hanya hasil dari tindakan yang diperiksa, dan disebut

Tabel 15.2 Klasifikasi evaluasi ekonomi


Apakah biaya (input) dan hasil (output)
dari alternatif-alternatif diperiksa?
Tidak Ya
Tidak Menilai hasil Menilai biaya
saja saja
1A 1B 2
Evaluasi Evaluasi Evaluasi Sebagian
Sebagian Sebagian

Gambaran Gambaran Gambaran Hasil-biaya


Apakah ada
hasil biaya
perbandingan
antara dua Ya 3A 3B 4
atau lebih Evaluasi Evaluasi Evaluasi Ekonomi
alternatif Sebagian Sebagian Penuh

Uji efikasi Analisis Biaya Cost-minimization


atau analysis
efektivitas Cost-effectiveness
analysis
Cost-utility analysis
Cost-benefit analysis
sebagai gambaran hasil. Dalam kotak 1B karena hanya biaya yang
dilihat maka disebut sebagai gambaran biaya. Karena tidak melihat
Bagian V 265

pada hasil, maka tidak dapat disebut sebagai evaluasi ekonomi penuh.
Pada kotak 3A dan 3B terdapat perbandingan antara dua
alternatif tindakan kesehatan, tetapi tidak melakukan penghitungan
biaya. Pada kotak 3A tindakan ini disebut sebagai evaluasi efektivitas
yang banyak dilakukan dalam uji klinik. Dalam kotak 3B hanya biaya
yang dibandingkan sehingga disebut sebagai analisis biaya. Kotak 4
merupakan evaluasi ekonomi penuh dengan biaya dan hasil antar
alternatif dibandingkan. Dikenal empat jenis evaluasi ekonomi penuh
yaitu cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, cost-
utility analysis, dan cost-benefit analysis.

Analisis biaya minimalisasi (Cost Minimization Analysis)


Evaluasi ekonomi penuh jenis ini mempunyai ciri yaitu hasil
dari dua alternatif yang diukur adalah sama. Berdasarkan hal ini maka
komponen input atau biaya dari kedua alternatif akan dihitung untuk
mendapatkan data tindakan mana yang paling rendah biayanya.
Evaluasi ini banyak dilakukan pada berbagai tindakan bedah minor.
Sebagai contoh Russsel dkk (1977) meneliti perbadingan bedah sehari
untuk hernia dan hemoroid dibandingkan dengan teknik perawatan
saat ini.

Analisis biaya dan hasil guna (Cost Effectiveness Analysis)


Apabila keluaran (outcome) dari tindakan proyek tersebut tidak
sama, maka dilakukan pengukuran hasil dan biaya melalui metode
cost-effectiveness. Dalam hal ini hasil (outcome) diukur dengan
indikator status kesehatan yang alamiah, misalnya perpanjangan masa
kehidupan. Indikator status kesehatan lain misalnya; penyembuhan,
penghindaran dari kematian.

Analisis utilitas biaya (Cost Utility Analysis)


266 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Pengukuran ini membutuhkan data hasil dalam bentuk utilitas


atau kegunaan hidup. Dalam khasanah ekonomi kesehatan terdapat
berbagai metode untuk menghitung kegunaan hidup. Salah satu yag
paling yang populer adalah berdasarkan konsep Quality Adjusted Life
Years (QALY) dan untuk menghitung beban penyakit Disability
Adjusted Life Years (DALY). Perhitungan QALY berdasarkan kom-
binasi antara lama kehidupan dan mutu kehidupan. Dalam aplikasi di
rumah sakit, analisis ini penting untuk mempertimbangkan keputusan
penggunaan teknologi yang mahal bagi pasien-pasien yang sudah
dipastikan tidak mendapat manfaat banyak.

Analisis biaya dan keuntungan (Cost benefit Analysis)


Jika perhitungan biaya dan keluarannya menggunakan satuan
yang sama, biasanya dengan nilai uang, maka analisis yang dilakukan
adalah cost benefit analysis. Karena menggunakan ukuran yang sama
maka dapat menggunakan perbandingan benefit atau cost sebagai
satuannya.
Pemahaman mengenai evaluasi ekonomi ini menjadi dasar
untuk menentukan tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit bersifat
etis atau tidak. Namun, kesulitan yang sering dihadapi pada praktik
sehari-hari adalah tidak adanya data mengenai evaluasi ekonomi untuk
berbagai tindakan klinik ataupun peralatan teknologi kedokteran. Di
samping itu, penghitungan biaya evaluasi ekonomi merupakan satu
hal yang sangat sulit. Dapat dipahami bahwa evaluasi ekonomi dengan
menggunakan model Drummond (1997) ini masih jarang diperguna-
kan dalam pembuatan keputusan manajemen pada rumah sakit di
Indonesia.
Bagian V 267

BAB XVI
ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di


Indonesia bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep
usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi.
Dalam transisi ini pertanyaannya adalah, apakah ada yang dirugikan?
dan apakah ada pedoman etika yang dapat diikuti? Saat ini memang
timbul kekhawatiran mengenai akibat negatif dari transisi rumah sakit
ke arah lembaga usaha. Pertanyaan mengenai siapa yang dirugikan
atas perkembangan ini perlu dibahas untuk mencari usaha menga-
tasinnya. Pembahasan diawali dengan tinjauan konseptual mengenai
dasar keadilan dalam peningkatan efisiensi. Dari pembahasan
mengenai konsep dasar ini, berbagai ”kasus abu-abu” dalam rumah
sakit dianalisis untuk mencari jawaban akan pertanyaan penting:
adakah etika untuk bisnis di sektor rumah sakit?

16.1 Konsep Dasar untuk Keadilan

Dalam perubahan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga


usaha diperlukan suatu filosofi agar secara etika dapat dipertanggung-
jawabkan. Tujuan penting dalam perubahan rumah sakit adalah
peningkatan efisiensi dan penjaminan bagi orang miskin untuk
mendapatkan pelayanan rumah sakit. Dengan demikian perubahan
akan diukur dengan indikator ekonomi dan indikator lain termasuk
fungsi sosial rumah sakit. Dalam hal ini, pernyataan Pareto cit.
Friedman 1995 perlu diperhatikan bahwa perubahan kebijakan harus
berprinsip: tidak ada satu orang atau satu lembaga pun yang dirugikan.
268 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

“One allocation is defined as Pareto superior to another if and only if


it makes at least one person better off and no one worse off”.
Teori ekonomi mikro menyatakan bahwa model standar suatu
organisasi perusahaan adalah bersifat for profit. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan efisiensi di lembaga usaha for profit dilakukan dengan
berbagai usaha yaitu: (1) menjaga agar biaya produksi berada pada
tingkat mimimum; (2) menetapkan harga di atas unit cost; dan (3)
melebarkan penjualan (misalnya meningkatkan BOR dan berbagai
produk rumah sakit). Sementara itu, pengertian efisiensi dalam
organisasi non profit dapat berarti cara menghasilkan produk dan
tercapainya misi dengan biaya produksi atau operasional yang
serendah mungkin. Oleh karena itu, dalam transformasi lembaga
sosial menjadi lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial,
pertanyaan pentingnya adalah apakah ada kelompok masyarakat yang
dirugikan. Untuk membahas hal ini pemahaman mengenai model
utilitas di masyarakat perlu dipelajari. Model ini penting sebagai dasar
kebijakan transisi rumah sakit.
Pemahaman mengenai efisiensi Pareto ini terlihat pada Gambar
16.1 yang menggunakan model utilitas. Dalam model ini digambarkan
dunia terdiri atas 22 utilitas yang dibagi dua, untuk Jamhuri dan
Suroto. Batas efisiensi pembagian antara Jamhuri dan Suroto dibatasi
oleh kurva batas utilitas. Misalnya dimulai pada posisi awal A. Pada
titik ini Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya mempunyai 10 utilitas
(titik J1), sementara Suroto mempunyai 6 (titik S1). Total yang dimiliki
bersama adalah 16 utilitas. Dalam hal ini masih ada 6 utilitas yang
belum terpakai. Jumlah ini merupakan peluang peningkatan efisiensi
karena belum dikembangkan sampai batas lingkaran. Dalam hal ini
keadaan di titik A masih dapat ditingkatkan efisiensinya ke titik D, H.
atau B. Akan tetapi tidak dapat dikembangkan sampai titik R karena
berada di luar batas kurva.
Pada pengertian efisiensi menurut Pareto, maka perubahan dari
A ke B secara keseluruhan akan meningkatkan efiensi. Dalam
perubahan ini yang meningkat hanya Suroto, dari 6 menjadi 12 (titik
S2), sedangkan Jamhuri tidak mendapat keuntungan, tetap 10 utilitas
Bagian V 269

Utilitas milik
Jamhuri

J2 D
.R
.H
J1 A B

Kurve batas utilitas

S3 S1 S2
Utilitas milik Suroto

Gambar 16.1 Konsep efisiensi menurut Pareto

(titik J1). Perubahan dari A ke B ini masih disebut sebagai efisiensi


Pareto. Akan tetapi apabila keadaan berubah dari A ke D, maka hanya
Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya justru mendapat keuntungan,
berpindah dari titik J1 ke titik J2. Sementara Suroto berkurang utilitas,
dari titik S1 ke titik S3. Dalam hal ini berarti ada pihak yang dirugikan,
sehingga tidak memenuhi efisiensi Pareto. Perubahan ke titik H, dapat
menjadikan pembagian utilitas menjadi 11 untuk Jamhuri dan 11
untuk Suroto. Hal ini menjadikan pembagian yang merata.
Bagaimana aplikasi di rumah sakit? Perubahan dari lembaga
sosial birokrasi menjadi lembaga usaha yang sosial seharusnya
mengacu pada filosofi Pareto. Dalam hal ini tidak boleh ada pihak
yang dirugikan. Sebagai contoh, kebijakan Perjan harus mempunyai
efek efisiensi menurut Pareto. Apakah perubahan kebijakan menjadi
Perjan merugikan salah satu pihak? Misalnya orang miskin akan
270 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

kesulitan mendapatkan akses ke rumah sakit. Apabila kebijakan


menjadi Perjan mengurangi akses untuk orang miskin, berarti
perubahan menjadi Perjan tidaklah efisien menurut Pareto karena ada
pihak yang dirugikan.

Gambar 16.2 Pertumbuhan Benthamite dan Rawlsian.

Akan tetapi, ada yang tidak menggunakan efisiensi secara


Pareto. Mereka berpendapat bahwa yang penting adalah pertumbuhan.
Masyarakat harus berkembang, walaupun ada yang dirugikan. Paham
ini disebut Benthamite karena diusulkan oleh seorang ahli sosiologi
bernama Jeremy Bentham pada tahun 1789. Menurut Bentham dalam
peningkatan efisiensi yang penting adalah pertumbuhan dengan
adanya peningkatan efisiensi. Apabila ada pihak yang dirugikan bukan
menjadi masalah. Pemerataan merupakan hal lain yang tidak terkait
dengan efisiensi.
Pendapat yang mengambil efisiensi Pareto secara radikal adalah
paham Rawlsian, yang bersumber dari pendapat seorang filsuf John
Bagian V 271

Rawls. Pendapat ini menekankan mengenai keadilan sosial, dengan


harus mempunyai prinsip memperbaiki mereka yang paling sengsara
(Rice 1998). Hal ini berarti sistem pelayanan kesehatan harus
menempatkan pelayanan bagi yang paling menderita sebagai prioritas.
Dengan demikian dalam masalah ini terdapat dua kutub ekstrim:
pertama yang mengacu ke pertumbuhan (Benthamite), sedangkan
kutub kedua mengacu pada egalitarian (Rawlsian). Secara grafis
keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 16.2. Pada Benthamite, yang
penting adalah pertumbuhan dengan garis Benthamite bergeser ke
kanan untuk memperbesar efisiensi sumber daya. Sementara Rawlsian
menyatakan boleh bergeser ke kanan asal masih dalam cakupan
daerah yang diarsir, dengan berusaha membuat pembagian utilitas
seimbang (sesuai garis 45o) antara Suroto dan Jamhuri.

16.2 Berbagai “Kasus Abu-abu” dalam Rumah Sakit

Pembahasan model utilitas Pareto dapat dipergunakan untuk


menyiapkan perangkat etika rumah sakit sebagai lembaga usaha yang
mempunyai fungsi sosial. Pada saat ini bentuk rumah sakit di
Indonesia memang masih belum jelas, apakah berdasarkan konsep
lembaga usaha, ataukah berbentuk lembaga sosial. Dalam keadaan
yang belum jelas ini, wajar jika timbul berbagai kasus yang mungkin
dianggap normal di rumah sakit, tetapi apabila dibahas menggunakan
etika bisnis atau norma-norma ekonomi maka kasus-kasus tersebut
merupakan penyimpangan. Kasus-kasus tersebut sebagai berikut:
Kasus 1. Mengenai pengaturan jumlah dokter dan penempatan.
Di sebuah kota besar, berbagai rumah sakit swasta besar tidak
mempunyai satu jenis spesialis full-timer, walaupun sanggup untuk
mempunyainya dan membutuhkan keberadaannya secara full-timer.
Dalam pengaturan tenaga spesialis oleh pemerintah tidak ada
peraturan mengenai penempatan spesialis tersebut di rumah sakit
swasta. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa seluruh tenaga spesialis
tersebut berasal dari rumah sakit pendidikan pemerintah yang diatur
oleh perhimpunan spesialis tersebut, walaupun tanpa aturan tertulis.
272 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Patut dicatat bahwa tenaga spesialis tersebut sangat dibutuhkan oleh


berbagai tindakan medik yang membutuhkan pembedahan dan ICU.
Kasus 2. Penetapan tarif yang terlalu tinggi oleh spesialis.
Seorang direktur rumah sakit keagamaan mengeluh karena pasien SC
kelas III harus membayar jasa medik sebesar Rp2.000.000,00 untuk
dokternya. Jasa medik ini tidak bisa ditawar karena dokter ahli
kebidanan dan kandungan tersebut satu-satunya di wilayah tersebut.
Dalam kasus ini posisi direktur rumah sakit keagamaan berada pada
situasi yang sulit. Apabila tidak menyetujui tarif tersebut, maka dokter
yang bersangkutan tidak mau bekerja di rumah sakitnya. Akan tetapi,
apabila mengikutinya, maka rumah sakit keagamaan ini menjadi
mahal yang berarti berlawanan dengan misi sosialnya.
Kasus 3. Hubungan dokter dengan industri farmasi merupakan
keadaan yang diwarnai dengan berbagai motivasi ekonomi.
Konferensi-konferensi ilmiah para dokter dipengaruhi kuat oleh
industri farmasi. Konferensi-konferensi ilmiah menjadi ajang promosi
industri obat yang berusaha mempengaruhi pola peresepan dokter. Hal
yang menarik bahwa banyak diskusi atau sesi-sesi dalam pertemuan
ilmiah yang dibiayai oleh perusahaan farmasi dengan mekanisme
memberikan door-prize dan makan siang.
Kasus 4. Ketika tarif poli spesialis di rumah sakit pemerintah
murah yang jasa mediknya rendah, maka terjadilah peresepan yang
sangat tinggi dan menggunakan jasa apotek di luar rumah sakit. Hal
ini disebabkan oleh motivasi ekonomi untuk mendapat persentase dari
omzet penjualan obat. Walaupun tidak dapat dibuktikan secara ”hitam
di atas putih”, dokter mendapat keuntungan materi dari apotek yang
menjual obat yang diresepkan tersebut. Akibatnya, pasien yang ingin
membeli obat harus pergi ke apotek di luar rumah sakit yang ditunjuk
oleh dokter.
Kasus 5. Penjualan bahan dan alat yang diikutkan dengan
pelayanan. Seorang keluarga pasien mengeluh karena operasi bedah
tulang tidak dapat dilakukan sebelum pen-nya dibeli. Pembelian pen
tersebut terpisah dari biaya rumah sakit karena rumah sakit tidak
menyediakan langsung. Ketika pihak manajemen rumah sakit ditanya
mengenai masalah ini, jawabannya sangat sederhana karena dokter
Bagian V 273

bedah tulang mensyaratkan bahwa pen harus berasal dari dirinya.


Kasus 6. Angka bedah caesar di sebuah rumah sakit sangat
tinggi karena indikasi diperlonggar. Angka tersebut sangat tinggi
karena memang pasien menginginkan bedah SC tanpa indikasi medik,
dokter kebidanan dan kandungan juga tertarik melakukannya, serta
sistem manajemen rumah sakit mendorong mendapatkannya.
Kasus 7. Lingkungan fisik lembaga pelayanan kesehatan. Ham-
pir seluruh praktik bersalin, dokter, dan dokter gigi tidak memper-
hatikan masalah pencemaran lingkungan. Tempat-tempat praktik
jarang yang mempunyai sistem pembuangan limbah. Limbah praktik
diperlakukan sama dengan limbah rumah tangga. Berbagai rumah
sakit membuang limbah berbahaya (B3) dengan tidak menggunakan
instalasi limbah yang cukup baik. Akibatnya, limbah rumah sakit tidak
dapat dijamin untuk tidak membahayakan penduduk di sekitar
lingkungan rumah sakit.
Kasus-kasus tersebut patut dipertanyakan: apakah melanggar
etika dokter? Apabila dikaji kasus per kasus, terdapat berbagai praktik
terlarang secara ekonomi yang dipraktikkan. Kasus 1 terkait dengan
praktik-praktik kartel dan perilaku monopolistik. Dengan adanya
pengaturan jumlah dokter spesialis oleh perhimpunan profesi di
sebuah daerah, dipandang dari kacamata anggota maka akan terjadi
suatu jaminan pendapatan yang tinggi. Akan tetapi, dari kacamata
konsumen ataupun dokter spesialis lain yang menggunakan jasa
dokter spesialis tersebut akan terjadi keadaan yang berlawanan.
Masyarakat dan dokter lain akan kesulitan mendapatkan jasa, dan nilai
jasa menjadi tinggi karena pihak dokter spesialis tersebut dapat
berlaku sebagai penentu jasa (price-maker).
Kasus 2, dokter menetapkan tarif tinggi walaupun di rumah
sakit keagamaan karena perilaku monopolistik dengan sifat supply
tenaga spesialis yang inelastik. Jika rumah sakit keagamaan tadi tidak
mau memberikan tarif seperti yang diminta, maka tidak ada pilihan
kedua untuk mencari spesialis lain. Kasus ke-3 dan ke-4 yang dila-
kukan oleh dokter akan meningkatkan biaya obat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip efisiensi. Praktik-praktik hubungan antara dokter dan
perusahaan farmasi merupakan salah satu faktor penyebab tingginya
274 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

harga obat di pasar produk. Di samping itu, hubungan semacam ini


akan memicu supplier-induced-demand.
Penjualan pen oleh dokter merupakan praktik tidak terpuji
karena menghilangkan esensi dari hubungan kontraktual antara rumah
sakit dan pasien bahwa dokter akan bertindak atas nama pasien.
Kesulitan utama akan terjadi misalnya pada saat re-imburstment oleh
pihak asuransi kesehatan karena tentunya pen yang dibeli dari dokter
tidak mempunyai kuitansi. Di samping itu, kemungkinan (1) dokter
bedah tulang mengambil keuntungan yang tidak sepatutnya dalam
penjualan pen, karena ada faktor kerahasiaan antara pemasok pen dan
dokter; dan (2) masalah penghindaran pajak akibat praktik jual beli
yang tidak sepantasnya. Dalam hal ini dokter sebenarnya bukan
penjual barang, tetapi lebih sebagai penyedia jasa. Keadaan ini serupa
dengan penjualan obat oleh dokter pada daerah yang ada apoteknya.
Kasus ini menjadi sulit apabila ternyata harga pen yang dijual dokter
lebih murah dibanding melalui rumah sakit. Hal ini dapat
menunjukkan adanya inefisiensi dalam manajemen rumah sakit.
Kasus 6 merupakan salah satu dampak dari fenomena supplier-
induced-demand. Di beberapa rumah sakit angka kelahiran melalui
bedah Caesar (bedah SC) dapat mencapai 50% dari seluruh jumlah
kelahiran. Dalam hal ini berbagai pihak di rumah sakit menikmati
adanya bedah SC. Secara sadar atau tidak, berbagai komponen dalam
rumah sakit mengharapkan adanya lebih banyak SC. Lingkungan ini
ditambah oleh keinginan pasien merupakan tempat yang cocok untuk
melakukan SC walaupun tidak ada kebutuhan secara medik.
Kasus 7, merupakan kebalikan dari tugas rumah sakit sebagai
suatu lembaga yang seharusnya mampu memberikan eksternalitas
positif (good-externalities) dengan menyembuhkan berbagai penyakit,
khususnya penyakit menular. Apa yang terjadi justru semakin
meningkatnya kemungkinan eksternalitas negatif (bad externalities)
akibat rumah sakit mencemari lingkungan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan-tindakan
yang dinilai tidak baik dalam prinsip ekonomi ternyata dipraktikkan
dalam pelayanan kesehatan. Praktik melakukan tindakan yang tidak
baik ini kemungkinan dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar
Bagian V 275

karena memang tidak mengetahui konsep yang benar. Dalam diskusi


dengan seorang ahli anestesi, memang tidak ada pemahaman
mengenai apa yang disebut sebagai kartel. Yang dipahami oleh para
dokter adalah suatu semangat kebersamaan yang kuat, dapat
memberikan bantuan bagi yang sedang kesusahan, atau menggantikan
praktik apabila dokter yang bersangkutan sedang di luar kota untuk
belajar, konferensi atau menghadiri pertemuan sosial dan keluarga. Di
sebuah kota sistem tersebut dapat memberikan jaminan untuk ahli
yang senior atau yang akan memasuki masa pensiun. Dalam hal ini
memang terjadi suatu perbedaan pemahaman prinsip normatif
ekonomi yang menentang kartelisme dan rasa persaudaraan profesi.
Di sisi dokter, bentuk-bentuk yang mengarah pada kartel adalah
bentuk nyata dari kultur profesional yang menempatkan rasa
persaudaraan dan senioritas sebagai hal utama.
Dengan demikian, keadaan yang baik atau buruk dapat dilihat
sebagai sesuatu yang relatif, tergantung dari sudut pandangan mana
dilakukan. Pertanyaan yang sering timbul: apakah tidak terdapat
pedoman yang dapat diikuti oleh semua pihak yang terkait dengan
kasus di atas? Dalam hal inilah prinsip Pareto sangat penting untuk
dipergunakan. Dengan prinsip tersebut, pertanyaannya adakah sebuah
pihak yang dirugikan? Lebih khusus lagi, penganut Rawlsian akan
menanyakan apakah kasus-kasus di atas merugikan masyarakat yang
sudah menderita?
Ketika dokter atau rumah sakit melakukan penetapan tarif
terlalu tinggi, jelas bahwa mereka yang miskin akan semakin sulit
mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Demikian pula apabila harga
obat menjadi semakin mahal akibat tidak efisiennya sistem produksi
dan distribusi obat, maka masyarakat ekonomi lemah yang akan
dirugikan.
Ada pertanyaan menarik mengapa etika dokter cenderung tidak
mampu mengatasi permasalahan tersebut, atau pertanyaan lain
mengapa para ahli etika dokter tidak tertarik untuk membahas masalah
ini? Pertanyaan ini terjadi karena pada saat Seminar Internasional
Bioetika yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UGM dan
Harvard University pada pertengahan tahun 2000, ternyata tidak
276 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

banyak pembahasan mengenai kasus-kasus tersebut dari para ahli


etika. Dapat dikatakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi bagian
abu-abu dari etika.
Dalam seminar tersebut, seorang ahli etika Prof. Syamsuhidayat
mengungkapkan hal menarik dengan mengutip George Bernard Shaw
yang menyatakan: “Every profession is a conspiracy against the
public”. Menafsirkan pernyataan tersebut maka dapat diperkirakan
bahwa etika dokter sulit mencegah dokter mendapatkan keuntungan-
keuntungan ekonomi yang tidak wajar seperti yang terdapat pada
kasus-kasus di atas. Hal ini yang mendorong berbagai pengamat etika
mengusulkan adanya etika untuk lembaga pelayanan kesehatan. Etika
ini bersifat lebih luas daripada etika dokter, karena sebenarnya di
rumah sakit tidak hanya dokter yang mempunyai kegiatan dan interes
(Monagle dan Thomasma, 1998). Oleh karena itu, diperlukan etika
profesional dan etika kelembagaan.
Dalam membahas hubungan antara etika rumah sakit dan etika
professional Jacobalis (1993) menyatakan sebagai etika individual dan
etika institusional. Etika individual adalah etika profesi seperti etika
dokter, etika perawat, dan sebagainya yang mengatur perilaku pribadi
dan perilaku profesional pengemban profesi itu. Etika dokter adalah
etika profesi yang tertua, yang berawal pada sumpah Hippokrates (460
- 377 SM). Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) masih mengan-
dung unsur-unsur seperti dalam sumpah Hippokrates 2500 tahun yang
lalu. Konsep etika institusional relatif baru, yaitu konsep berperilaku
bagi suatu institusi atau dalam ikatan institusi. Etika rumah sakit
adalah salah satu etika institusional dalam layanan kesehatan. Etika
rumah sakit dapat dipilah dalam: (1) etika biomedik atau bioetika
(bioethics); dan (2) etika manajemen yang lebih banyak terkait dengan
aspek-aspek dalam manajemen dan administrasi.
Etika biomedik menyangkut masalah-masalah sekitar konsepsi,
reproduksi, kehamilan, kelahiran, hidup, penyakit, dan kematian
manusia. Istilah "bioetika" masih relatif baru. Orang yang pertama kali
mencetuskannya adalah Dr. Van Ransellaer Potten dalam bukunya
Bioethics, Bridge To The Future (1971). Bioetika menjadi sangat
mendesak diperhatikan dan dipelajari guna mencari pemecahan atas
Bagian V 277

dilema atau masalah yang timbul oleh perkembangan yang sangat


pesat dalam ilmu dan teknologi biologi dan kedokteran dalam
beberapa dekade terakhir. Perkembangan itu dalam banyak hal telah
mengubah sama sekali konsepsi dan persepsi tentang hidup dan mati
manusia, sehingga diperlukan peninjauan kembali tentang norma-
norma moral yang sudah dianggap mapan sebelumnya (Jacobalis,
1993).
Dalam ”kasus abu-abu” di atas, terlihat bahwa memang etika
profesi dokter tidak dapat menjadi pedoman untuk mencari
pemecahan akan kasus-kasus di atas. Untuk itu diperlukan etika lain
yaitu etika organisasi rumah sakit.

16.3 Perlukah Etika Bisnis Rumah Sakit?

Berbagai ahli menyatakan bahwa etika organisasi rumah sakit


saat ini mengalami perubahan besar. Bentuk lama etika organisasi
rumah sakit sering bersandar pada hubungan dokter dan pasien dalam
konteks sumpah dokter. Akan tetapi etika organisasi rumah sakit saat
ini sering membahas norma-norma yang diacu dalam manajemen
kegiatan sehari-hari rumah sakit. Norma-norma ini mencerminkan
bagaimana bisnis rumah sakit akan dijalankan sehingga pada akhirnya
rumah sakit dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Patut
dicatat bahwa rumah sakit sudah ada etika rumah sakit yang disebut
sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Etika Rumah Sakit
Indonesia (ERSI) dirumuskan dan dibina oleh PERSI, dan telah
disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sampai saat ini ERSI sudah berada
pada versi tahun 2001.
Dalam seminar di UGM untuk pertama kali di Indonesia
dilontarkan usulan untuk menyusun etika bisnis pelayanan kesehatan
(Trisnantoro, 2000). Disebutkan pada seminar tersebut bahwa bisnis
bersifat netral. Dengan mengacu pada konsep bisnis yang baik maka
diperlukan suatu etika bisnis sebagai komplemen dari etika
profesional. Etika bisnis yang berdasar dari etika sosial (misalnya oleh
Pareto) berusaha menjaga sistem pelayanan kesehatan menjadi lebih
278 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

baik dan melindungi mereka yang lemah.


Etika rumah sakit di Indonesia (ERSI) tidak secara eksplisit
menyebut sebagai etika bisnis rumah sakit. Hal ini memang masih
dalam suatu pengaruh persepsi masa lalu yang kuat bahwa bisnis
dianggap jelek. Buku ini menganut prinsip bahwa rumah sakit adalah
organisasi lembaga pelayanan yang memberikan pelayanan jasa
kesehatan untuk membuat orang menjadi sehat kembali, atau tetap
menjadi sehat dan bertambah sehat. Secara prinsip pemberian pela-
yanan, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan tidak berbeda dengan
lembaga pelayanan lain seperti lembaga pendidikan, hotel, ataupun
perpustakaan. Akan tetapi, berdasarkan jenis pelayanan, terdapat per-
bedaan antara pelayanan rumah sakit dan pelayanan hotel misalnya.
Dalam pelayanan hotel tidak ada unsur eksternalitas, dan nilai-
nilai penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara
tradisional oleh lembaga pelayanan kesehatan. Sifat khusus pelayanan
kesehatan menimbulkan kebutuhan akan norma-norma dalam men-
jalankan lembaga pelayanan kesehatan pada umumnya atau rumah
sakit pada khususnya. Berkaitan dengan ekonomi, etika bisnis
pelayanan kesehatan akan banyak menggunakan pernyataan-
pernyataan normatif.
Dengan demikian, etika organisasi rumah sakit merupakan etika
bisnis dengan sifat-sifat khusus. Etika bisnis didefinisikan oleh
Velasques (1998) sebagai studi mengenai standar moral dan
bagaimana standar tersebut dipergunakan oleh: (1) sistem dan
organisasi dengan masyarakat modern memproduksi dan mendistri-
busikan barang dan jasa, serta (2) orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah sebuah
bentuk dari etika terapan. Etika bisnis tidak hanya menganalisis
norma-norma moral dan nilai-nilai moral tetapi juga berusaha
memberikan kesimpulan pada berbagai lembaga, proses teknologi,
kegiatan dan usaha yang sering disebut sebagai “business”. Definisi
ini menyatakan bahwa etika bisnis mencakup lembaga dan orang-
orang yang bekerja di dalamnya.
Badarocco (1995) menyatakan bahwa kerangka berpikir etika
bisnis sering bersandar pada filosofi moral, sejarah bisnis, ilmu
Bagian V 279

ekonomi modern dan berbagai disiplin ilmu yang menjadi tempat


bergeraknya. Donaldson dan Werhane (1999) melihat isu etika bisnis
sebagai hasil dari pemikiran filosofis mengenai kegiatan ekonomi
dalam masyarakat.
Lebih lanjut Velasques (1998) menyatakan bahwa ada tiga hal
yang dibahas dalam etika bisnis yaitu: (1) isu sistemik; (2) isu
korporat (lembaga usaha); dan (3) isu perorangan. Isu sistemik dalam
etika bisnis terkait dengan pertanyaan etis yang ada pada sistem
ekonomi, politik, hukum dan sistem sosial lain yang menjadi
lingkungan tempat beroperasinya bisnis. Dalam hal ini terkait dengan
aspek moral peraturan, undang-undang, struktur industri, dan berbagai
praktik sosial lain. Isu korporat (lembaga usaha) dalam etika bisnis
merupakan pertanyaan etika yang ditujukan kepada lembaga usaha
tertentu. Hal ini termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai moral
dalam kegiatan, kebijakan, praktik, dan struktur organisasi perusahaan
tertentu. Terakhir isu individual dalam etika bisnis terkait dengan
orang per orang dalam lembaga usaha. Hal ini terkait dengan aspek
moral keputusan direksi misalnya, tindakan, atau sikap dan perilaku
perorangan.
Dalam hal standar moral etika bisnis akan mengacu pada
perkembangan norma-norma masyarakat yang lazim. Hal ini terlihat
dalam sejarah kapitalisme di Amerika (Behrman, 1988). Dalam
perusahaan yang for-profit pun selalu ada etika yang menjadi dasar
bagi perusahaan untuk berjalan. Dalam konteks norma-norma
masyarakat, maka perusahaan yang memegang etika berdasarkan
norma tersebut berharap akan lebih diterima oleh lingkungan. Sebagai
contoh, norma-norma masyarakat saat ini sangat mengacu pada
kebersihan lingkungan. Sebuah perusahaan yang tidak memperhatikan
aspek lingkungan dalam kegiatannya akan berhadapan dengan
masyarakat. Dalam aspek hukum, perusahaan tadi mungkin tidak
melanggar, tetapi norma-norma masyarakat menyatakan bahwa
perusahaan mengganggu keseimbangan lingkungan. Akibatnya,
terjadi hambatan oleh masyarakat dalam operasional perusahaan
tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kasus ketika rumah sakit
membuang limbah mediknya secara tidak baik. Masyarakat yang
280 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

paham akan masalah tersebut pasti mengajukan protes.


Dalam masyarakat yang tertata baik, timbul suatu harapan
bahwa etika bisnis dan norma-norma masyarakat akan berjalan
seiring. Dalam konsep good governance, peraturan pemerintah
diharap dapat mengatur hubungan antara lembaga usaha dan
masyarakat secara benar. Diharapkan etika bisnis dalam isu sistemik
(Velasquez, 1998) dapat mendukung tercapainya good governance.
Dengan sepakatnya masyarakat dan lembaga usaha non-profit dan
yang for-profit, maka akan terjadi harmoni. Demikian pula bagi rumah
sakit for-profit, tentunya akan berusaha agar norma-norma masyarakat
tidak dilanggar. Sebagai gambaran, bagi masyarakat yang mampu,
norma-norma menyatakan bahwa membayar rumah sakit untuk proses
penyembuhannya adalah hal wajar. Apabila rumah sakit mendapat
keuntungan dari proses penyembuhan yang mereka lakukan,
masyarakat juga menilai wajar asal dalam batas-batas norma yang ada.
Akan tetapi, andaikata rumah sakit meningkatkan keuntungan
setinggi-tingginya dengan cara mengurangi biaya, misalnya tidak
memasang instalasi limbah yang baik, atau mengenakan tarif dokter
yang sangat tinggi, maka kemungkinan masyarakat akan menentang
rumah sakit tersebut.
Di dalam lembaga rumah sakit pelayanan diberikan tidak oleh
satu profesi saja, misalnya dokter, tetapi merupakan kerja sama dari
berbagai profesional. Sebagai gambaran, pelayanan rumah sakit
sehari-hari dilakukan oleh profesi dokter, perawat, dokter gigi, mana-
jer, akuntan, farmasis, hingga psikolog. Masing-masing profesi mem-
punyai etika sendiri-sendiri dengan etika dokter yang memang paling
menonjol dalam aplikasinya di rumah sakit. Etika dokter yang ber-
basis pada etika klinik memang sering ditafsirkan atau dipergunakan
sebagai dasar untuk etika rumah sakit. Akan tetapi sebenarnya etika
manajemen rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang lebih luas
dibandingkan dengan etika dokter, atau etika para profesional lain.
Djojosugito (1997) menyatakan bahwa para manajer (adminis-
trator) rumah sakit merupakan satu profesi yang memiliki etika
profesi. Etika profesi manajer rumah sakit berkaitan dengan etika
pelayanan kesehatan dan dengan etika biomedik. Problem etika
Bagian V 281

pelayanan kesehatan yang mempengaruhi etika administrator rumah


sakit adalah hal keadilan distributif. Ini dijabarkan sebagai keadilan
aksesibilitas anggota masyarakat terhadap pelayanan kedokteran di
rumah sakit. Dengan demikian memang etika manajer rumah sakit
sangat terkait dengan masalah ekonomi.
Weber (2001) dalam buku berjudul Business Ethics in Health
Care: Beyond Compliance berpendapat bahwa dalam menjalankan
etika, lembaga pelayanan kesehatan harus memperhatikan tiga hal: (1)
sebagai pemberi pelayanan kesehatan; (2) sebagai pemberi pekerjaan;
dan (3) sebagai warga negara. Weber menyatakan bahwa 3 hal ini
merupakan ciri-ciri organisasi pelayanan kesehatan yang membe-
dakannya dengan perusahaan biasa. Dasar etika bisnis pelayanan
kesehatan adalah komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dan
komitmen untuk menjaga hak-hak pasien.
Pelayanan kepada pasien dalam arti luas, tidak hanya pada
penanganan klinik. Rumah sakit sebagai contoh juga memberikan
pelayanan semacam hotel untuk menunjang penanganan klinik. Dalam
sisi ini instalasi rawat inap rumah sakit dapat diibaratkan sebagai hotel
yang memberikan pelayanan lebih. Dengan demikian, Weber (2001)
memberikan pernyataan bahwa etika bisnis rumah sakit adalah etika
kelembagaan yang akan menjadi pedoman bagi berbagai profesional
di rumah sakit. Dalam pembahasannya Weber (2001) lebih
menekankan etika bisnis rumah sakit sebagai etika lembaga usaha dan
etika individual di dalamnya. Weber tidak banyak membahas
mengenai etika sistemik yang berada pada lingkungan kerja rumah
sakit.
Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, manajer rumah
sakit akan berpikiran lebih luas dibandingkan para klinisi. Ada suatu
tarik ulur antara penanganan klinik dan pelayanan nonklinik yang
harus dipikirkan oleh manajer. Dalam penanganan klinik, manajer
rumah sakit harus memperhatikan pula mengenai kemampuan pasien,
keluhan, atau sumber subsidi bagi yang tidak mampu membayar.
Besarnya biaya proses penyembuhan juga merupakan hal penting
dalam etika pelayanan kesehatan. Dokter klinik seharusnya juga
memikirkan mengenai masalah pembiayaan pasien. Disamping itu,
282 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

masalah bangunan yang bersih dan bersifat manusiawi merupakan


bagian penting dari pelayanan untuk pasien. Dapat disimpulkan bahwa
lembaga pelayanan kesehatan tidak hanya memberi pelayanan klinik,
tetapi memberikan pelayanan menyeluruh yang seharusnya tidak
bertentangan dengan norma-norma masyarakat.
Rumah sakit sebagai organisasi yang memberikan pekerjaan
pada banyak orang harus memikirkan berbagai hal, misalnya terkait
dengan gaji dan kompensasi nonkeuangan, masalah merekrut dan
memberhentikan karyawan, menilai para staf, memberikan santunan
apabila ada musibah yang menimpa stafnya, memperhatikan masalah
keselamatan kerja para staf terutama yang terpapar langsung atau tidak
langsung pada berbagai risiko, memberlakukan kebijakan tidak
merokok untuk para staf, dan berbagai hal lain.
Sebagai bagian dari warga negara, rumah sakit harus
memikirkan fungsi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat
dan eksternalitas yang dimilikinya. Rumah sakit dapat memberikan
eksternalitas baik yang meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini rumah sakit layak diberi subsidi. Sebaliknya, rumah
sakit dapat memberikan eksternalitas buruk yang dapat menurunkan
status kesehatan masyarakat, misalnya mencemari lingkungan.
Dengan demikian, etika bisnis rumah sakit tidak hanya terbatas
pada mematuhi peraturan hukum, tidak terbatas pada etika
profesional, ataupun pada etika klinik. Etika bisnis rumah sakit akan
dipakai sebagai acuan bagi semua profesional yang berada di rumah
sakit. Dalam hal ini tentunya etika bisnis rumah sakit tidak akan
bertentangan dengan etika profesional yang ada. Bagi profesi manajer
pelayanan kesehatan, etika bisnis rumah sakit akan menjadi pegangan
dalam memutuskan atau menilai sesuatu hal. Berdasarkan buku Weber
(2001) sebagian etika bisnis rumah sakit berhubungan langsung
dengan prinsip-prinsip ekonomi yaitu: biaya dan mutu pelayanan,
insentif untuk pegawai, kompensasi yang wajar, dan eksternalitas.
Secara satu persatu, hal-hal tersebut akan dibahas.
Bagian V 283

Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan


Dalam kaitannya dengan besarnya biaya dan mutu pelayanan,
maka terdapat berbagai hal penting yang perlu diperhatikan dalam
etika bisnis rumah sakit: pelayanan kesehatan yang baik berarti
pelayanan yang terbukti cost-effective, pelayanan kesehatan yang lebih
mahal bukan berarti lebih baik, standar pelayanan minimal tertentu
harus diberikan pada semua pasien dari berbagai kelas, dan usaha-
usaha untuk mengendalikan biaya harus selalu dievaluasi dalam hal
pengaruhnya terhadap pasien. Terlihat bahwa etika bisnis mempunyai
dasar evaluasi ekonomi cost-effectiveness yang mengacu pada prinsip-
prinsip medik. Dengan demikian, etika bisnis dalam hal ini tidak
bertentangan dengan prinsip medik.
Pelayanan kesehatan mempunyai sifat yang harus diberikan
secara utuh, misalnya pemberian antibiotika seharusnya diberikan
dalam dosis yang tidak boleh dikurangi. Oleh karena itu, pasien
sebaiknya dianggap sebagai pihak yang memiliki pelayanan kese-
hatan, termasuk paket keseluruhan. Selain itu pasien dapat dianggap
tidak dilayani dengan baik jika mereka tidak mendapat seluruh potensi
manfaat pelayanan.
Saat ini sistem pelayanan kesehatan diharapkan menggunakan
prinsip evidence-based medicine. Dalam memilih terapi atau prosedur
diagnosis para dokter diharapkan menggunakan bukti-bukti yang
tepat. Dalam kaitannya dengan biaya dan etika bisnis rumah sakit
maka konsep evidence based medicine sangat relevan. Menurut Weber
(2001) disebutkan bahwa sebagai aturan umum, pelayanan yang
paling murah harus diberikan sampai ada bukti yang menunjukkan
bahwa pelayanan yang lebih mahal memberikan hasil yang bermakna.
Kemudian, apabila terjadi perbedaan biaya yang semakin besar antara
satu penanganan dan alternatifnya, maka semakin besar kebutuhan
akan bukti manfaatnya. Di samping itu, kebutuhan untuk memberikan
pelayanan bermutu dengan biaya paling rendah tidak berarti harus
merugikan kepentingan dan keselamatan staf rumah sakit.
Dalam hal perawatan pasien yang terkait dengan biaya maka
prinsip yang harus diacu antara lain: pelayanan kesehatan yang
284 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

disebut bermutu baik pada suatu tempat adalah yang tepat berdasarkan
kebutuhan pasien akan pelayanan medik dan biayanya. Pada saat
merawat pasien, rumah sakit sebaiknya mempunyai mekanisme untuk
secara rutin mengkaji mutu dan efektivitas biaya pelayanan para
pasien yang menggunakan sumber biaya besar. Di samping itu, selama
dirawat pasien sebaiknya diberi informasi secara teratur mengenai
biaya yang telah dipergunakan dan pelayanan yang mereka terima.
Dalam hal pemberian subsidi dan sumber dana bagi pasien yang
miskin, etika bisnis rumah sakit harus memperhatikan berbagai hal.
Komitmen rumah sakit untuk memberikan pelayanan bagi orang
miskin (tanpa memperhatikan kemampuan atau sumber pembiaya-
annya) tidak berarti masalah biaya merupakan hal yang tidak penting.
Bagi pasien yang disubsidi pun, faktor biaya harus diperhatikan
karena pemberi subsidi tidak berharap bahwa uang yang disum-
bangkan akan dipergunakan secara tidak efisien oleh rumah sakit.
Dalam hal ini komitmen rumah sakit untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi kepada semua orang mem-
butuhkan tindakan untuk mencari sumber pembiayaan bagi pasien
yang tidak mampu dan harus dicari secara bijaksana. Akan menjadi
ironi apabila untuk membiayai orang miskin, rumah sakit sendiri akan
menjadi tidak sehat keuangannya dan akan bangkrut. Disamping itu,
rumah sakit harus mempunyai dana yang dapat dipakai untuk
menanggung risiko jika ada pasien yang sangat membutuhkan biaya.

Keputusan manajemen dan kepentingan pasien


Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien para
manajer sering menghadapi keadaan harus membuat keputusan
yang juga terkait langsung dengan proses pelayanan klinik untuk
pasien. Sebagai contoh, dalam rapat tahunan untuk menyusun
anggaran rumah sakit, para manajer harus memutuskan alat apa yang
akan dibeli. Dalam keputusan ini akan terjadi perbandingan antara
cost dan efek dari pemberian alat. Adalah hal yang sangat tidak etis
apabila pembelian alat atau proyek pembangunan fisik dilakukan
tanpa dasar pertimbangan evaluasi ekonomi cost-effectiveness
Bagian V 285

yang mantap, bahkan hanya dipakai untuk mendapatkan komisi bagi


manajer yang memutuskan.
Keputusan mengenai kondisi pekerjaan dan perencanaan
sumber daya manusia harus dilakukan secara baik. Dalam hal ini
contohnya kasus jumlah dan mutu perawat. Disadari bahwa selama ini
jumlah perawat ternyata kurang. Akibatnya, mutu pelayanan dapat
menurun. Pertanyaan penting adalah sampai seberapa banyak jumlah
perawat yang ideal. Hal ini membutuhkan keputusan manajemen yang
terkait dengan biaya dan hasil perawatan.

Insentif keuangan untuk dokter


Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, tidak dapat
dihindari adanya insentif keuangan untuk dokter dan tenaga kesehatan
lain. Hal ini terutama terjadi pada sistem pembayaran fee-for-service
yaitu dokter dibayar berdasarkan tindakan yang dilakukan. Berbagai
hal penting yang perlu ditekankan dalam etika bisnis, pertama, insentif
keuangan untuk dokter sebaiknya tidak terlalu tinggi. Disadari
bahwa pernyataan normative ini masih sangat kabur karena tinggi
atau tidaknya masih tergantung pada jenis dokter spesialis, tempat dan
waktu tindakan medik, serta ada-tidaknya asuransi kesehatan.
Dalam hal ini peranan ikatan profesi dan lembaga konsumen
masyarakat dibutuhkan untuk mencari bagaimana standar insentif
yang tepat.
Hal penting kedua dalam etika bisnis, pemberian insentif
sebaiknya dilakukan berdasarkan kriteria mutu tertentu. Hal ini perlu
dipikirkan untuk mencegah adanya supplier-induced-demand. Harus
ada kriteria yang benar-benar jelas mengapa ada insentif untuk
tindakan yang dilakukan. Ketiga, insentif seharusnya dipergunakan
untuk mempengaruhi dokter agar berperilaku baik. Dalam suatu
sistem manajemen yang baik diharapkan ada suatu sistem insentif bagi
mereka yang berperilaku baik dan disinsentif (pengurangan penghar-
gaan) bagi yang kurang baik. Adalah suatu hal yang memprihatinkan
apabila dalam suatu sistem kompensasi dokter yang sering mening-
galkan pasien di rumah sakit untuk bekerja di tempat lain justru
286 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

mendapat kompensasi tinggi karena senioritas, bukan pada jumlah dan


mutu pekerjaan.

Rumah sakit sebagai tempat kerja


Sebagai layaknya lembaga tempat bekerja, rumah sakit harus
memberikan kompensasi bagi stafnya secara layak. Kompensasi dapat
berbentuk ukuran moneter atau nonmoneter. Sebagai bagian dari etika
bisnis, rumah sakit harus memberikan gaji dan pendapatan lain yang
cukup untuk sumber daya yang bekerja di rumah sakit. Dalam hal ini
nilai-nilai yang dipergunakan untuk menetapkan gaji bagi dokter, bagi
para perawat, dan tenaga nonmedik lain termasuk manajer merupakan
bagian dari etika bisnis rumah sakit. Adalah tidak etis untuk menggaji
perawat berdasarkan upah minimum pekerja, karena perawat
mempunyai risiko untuk menjadi sakit akibat tertular dan mempunyai
pola kerja shift yang merupakan risiko menjadi tidak sehat. Pada kasus
petugas bagian radiologi, ada tunjangan khusus dan pemberian
makanan tambahan untuk menghadapi risiko akibat radiasi.
Saat ini di rumah sakit pemerintah adalah hal biasa jika gaji dan
pendapatan perawat atau dokter rendah. Hal ini merupakan pengaruh
dari konsep misionarisme masa lalu dengan para perawat atau dokter
adalah pegawai misi yang memang bekerja bukan atas dasar
profesionalisme tapi berdasarkan motivasi surgawi. Dampak untuk
dokter adalah menjadikan dokter sebagai aparat pemerintah, bukan
profesional. Pendapatan dokter ditetapkan dengan standar gaji
pegawai negeri. Penetapan standar dengan cara ini mengakibatkan
perbedaan besar antara gaji yang diterima dan harapan para dokter
(Lihat Bab XII dan Bab XIII). Akibatnya, untuk mencari pendapatan
lain dokter pemerintah melakukan kerja sambilan di rumah sakit
swasta dan praktik pribadi dengan porsi yang sangat besar.
Hal serupa terjadi pada perawat yang sebagian memperoleh
pendapatan tidak hanya satu rumah sakit. Dalam hal ini rumah sakit
sebagai tempat bekerja berperilaku tidak etis dalam hal mengatur
pendapatan dokter dan perawat, yaitu memberikan kompensasi jauh di
bawah standar. Memang masalah penting dalam hal ini adalah berapa
Bagian V 287

standar pendapatan dokter. Tanpa standar pendapatan ini sulit bagi


rumah sakit dan para profesional melakukan penilaian mengenai
masalah ini.
Etika bisnis mengenai pendapatan direksi dan manajer rumah
sakit perlu untuk diperhatikan. Dalam kenyataan, merupakan
kelaziman apabila pendapatan direksi berhubungan dengan besarnya
revenue rumah sakit atau berdasarkan kinerja keuangan rumah sakit.
Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai budget maximiser oleh
Baumol (1967) dan sistem pendapatan direksi berdasarkan keun-
tungan yang diperoleh. Dalam hal ini memang berbagai hal perlu
dicermati yaitu, apakah etis untuk menerima dari penjualan obat,
ataupun persentase dari pendapatan bersih rumah sakit? Apakah etis
direksi mendapat bagian tertentu dari proyek pengembangan rumah
sakit? Dalam perilaku sales maximiser ini kemungkinan penyembuhan
pasien tidak begitu diperhatikan dibandingkan dengan jumlah uang
yang dibayarkan ke rumah sakit yang berarti adalah pendapatan
direksi. Dalam hal ini harus dipikirkan mengenai bagaimana etika
manajer dalam menerima kompensasi.
Sebagai tempat kerja, rumah sakit mempunyai berbagai kegiat-
an ataupun bahan dan peralatan yang dapat membahayakan tenaga
kerjanya, misalnya para staf yang bekerja di bagian radiologi ataupun
bangsal penyakit infeksi. Oleh karena itu, menjadi hal penting bahwa
rumah sakit harus mempunyai sistem keselamatan kerja yang baik
bagi karyawannya. Akan tetapi, menurut teori ekonomi sistem kese-
lamatan kerja mempunyai konsekuensi biaya yang akan menambah
biaya investasi dan operasional rumah sakit. Hal ini akan menjadikan
keuntungan menjadi lebih kecil ataupun beban rumah sakit menjadi
lebih besar.

Rumah sakit sebagai bagian dari warga negara


Dampak eksternalitas negatif rumah sakit perlu ditangani
sebagai bagian dari etika bisnis sebagai warga negara. Sistem limbah
rumah sakit harus baik, untuk mencegah dampak buruk terhadap
lingkungan kerja rumah sakit. Dengan pola berpikir ini, rumah sakit
288 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

tidak berbeda dengan organisasi lain yang mencemari lingkungan


seperti pabrik ataupun industri lain. Akan tetapi, disadari bahwa
pembangunan instalasi limbah rumah sakit membutuhkan biaya
investasi dan operasional yang cukup besar. Dalam hal ini banyak
rumah sakit yang tidak mampu membangunnya. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan sistem manajemen limbah yang memenuhi etika bisnis
rumah sakit, misalnya dengan mengkontrakkan pengolahan limbah ke
rumah sakit lain yang mampu dengan biaya yang lebih murah
dibanding dengan membangun sendiri. Model-model pengembangan
seperti ini berusaha mencocokkan nilai-nilai masyarakat dengan
kemampuan ekonomi rumah sakit.

Bagaimana rumah sakit di masa mendatang?


Secara normatif, etika bisnis rumah sakit diperlukan untuk
dirumuskan sebagai pedoman bagi semua profesi yang bekerja di
dalamnya. Dengan menggunakan etika bisnis, maka kasus abu-abu di
atas merupakan kasus yang termasuk tidak etis. Dapat disebutkan
bahwa antara etika bisnis rumah sakit dan prinsip-prinsip ekonomi
tidak ada perbedaan mendasar. Lebih lanjut, pengembangan etika
bisnis rumah sakit dapat dipergunakan sebagai alat pencegahan
kerugian ataupun munculnya risiko dari tuntutan hukum masyarakat.
Etika bisnis rumah sakit masih perlu dikembangkan dengan
berbagai kegiatan dan perlu dikaji dalam kaitannya dengan etika
profesional. Berbagai kegiatan tersebut antara lain penelitian, diskusi,
pendidikan, dan praktik langsung di rumah sakit. Diharapkan Komite
Etika Rumah Sakit akan mengembangkan pengkajian mengenai etika
bisnis rumah sakit. Etika bisnis penting pula untuk dikembangkan
sebagai suatu bahan pendidikan mahasiswa kedokteran, residen, dan
Program Pascasarjana Manajemen Rumah Sakit. Sebagai catatan,
dengan metode pendidikan khusus, etika bisnis perusahaan dapat
diajarkan pada pendidikan para manajer, misalnya di Harvard
Business School (Piper dkk., 1992). Dalam pendidikan berkelanjutan
untuk para manajer dan dokter spesialis atau tenaga kesehatan lain
dapat dilakukan berbagai kursus atau seminar mengenai etika bisnis
Bagian V 289

rumah sakit.
Etika bisnis secara konseptual dibutuhkan oleh manajer rumah
sakit untuk menjalankan pekerjaannya. Oleh karena itu, konsultan
khusus diperlukan dalam etika bisnis rumah sakit. Tujuan konsultan
ini adalah untuk: (1) memberitahukan pengambil keputusan mengenai
masalah-masalah etika bisnis rumah sakit; (2) memberi rekomendasi;
(3) memberikan opini lain dalam hal keputusan bisnis yang berat,
misalnya dalam pemutusan hubungan kerja, dan memberikan masukan
untuk peningkatan kinerja rumah sakit dari aspek etika. Pada
akhirnya, prinsip dasar etika bisnis akan sejalan dengan konsep dasar
bisnis yang harus hidup serasi dengan lingkungannya.
Di dalam rumah sakit diharapkan etika bisnis rumah sakit akan
mendukung gerakan ke arah good corporate governance rumah sakit
profit maupun non-profit. Di samping itu, bersama-sama dengan etika
dokter, etika bisnis rumah sakit akan mendukung pengembangan good
clinical governance pada pelayanan medik rumah sakit.

PENUTUP

Motif mencari keuntungan tidak dapat dihindari dari sistem


kesehatan termasuk rumah sakit. Kekuatan pasar adalah sesuatu yang
bertenaga dan tidak mungkin dilawan secara frontal. Kekuatan pasar
dan profit ini harus diatur dalam suatu sistem yang baik. Reformasi
pemerintahan bertujuan menghasilkan good-governance yang akan
mengatur berbagai hubungan antara lembaga pemerintah, masyarakat,
dan pihak swasta. Sementara itu, perusahaan-perusahaan berusaha
mengembangkan good corporate governance. Rumah sakit sebagai
lembaga usaha berusaha mengembangkan good corporate governance
dengan berbagai usaha, termasuk pengembangan indikator kinerja
yang menyeluruh. Dalam mendukung tercapainya good corporate
governance di rumah sakit, etika bisnis rumah sakit diperlukan secara
lebih luas. Etika bisnis pelayanan kesehatan yang banyak bersandar
pada analisis normatif dalam ekonomi akan menjadi pedoman para
profesional dalam sistem pelayanan kesehatan untuk bekerja sama
290 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

dengan lebih baik dan etis.


Namun, apakah para profesional di dalam sistem pelayanan
kesehatan memang mau menerima konsep bisnis dan etika bisnis
pelayanan kesehatan? Jika ya, apakah para direksi, manajer, tenaga
dokter serta seluruh profesi tenaga kesehatan lainnya mau
mengembangkan etika bisnis rumah sakit di samping etika profesional
masing-masing? Pertanyaan ini masih belum dapat dijawab saat ini.
Namun, berbagai pengembangan tercatat, misalnya pengembangan
pendidikan etika kedokteran dan etika bisnis rumah sakit. Di samping
itu, pada kelompok medik berkembang konsep good clinical
governance yang akan bergerak bersama dengan aplikasi good
corporate governance untuk meningkatkan mutu pelayanan dan akses
pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai