Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis
penyakit, juga sekaligus merupakan seorang Apoteker yang menyiapkan obat. Semakin
lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga
dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Dampak revolusi industri merambah dunia
farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di
bidang industri obat dan di bidang penyedia/peracik obat (apotek). Dalam hal ini keahlian
kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat
dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.

Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar
mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan.
Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk
menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.

Bahaya swamedikasi telah bayak dilaporkan para peneliti. Sebagai contoh, di
Australia dan Inggris ada kencenderungan untuk mengurangi biaya pengobatan dengan
mengganti status obat obat etikal menjadi obat bebas. Sayangnya, kecenderungan ini bukan
hanya mengurangi biaya, melainkan juga meningkatkan risiko salah pakai obat (medication
misuse). Gejala ini dilaporkan oleh N. Charupatanapong.










2


Sementara itu, peranan etiologi atas kesalahan pemakaian obat bebas telah di
identifikasi untuk banyak kondisi. Salah satu contoh adalah gagal ginjal dan penyakit ginjal,
yang bisa muncul karena pemakaian analgesik secara berlebihan. Pemakaian laksatif yang
berlebihan sebagai obat pencahar juga dapat menimbulkan gangguan cairan elektrolit tubuh.
Tidak jarang pula orang keracunan difenhidramin yang terdapat dalam antihistamin.
Pemakaian vitamin secara berlebihan adalah salah satu contoh penyalahgunaan pemakaian
obat bebas. Kecenderungan untuk hidup sehat dan keinginan untuk mencegah penyakit
membuat banyak orang tergiur meminum vitamin dan pelengkap makanan lainnya secara
berlebihan.

1.2 Tujuan
Agar Mahasiswa mengetahui bagaimana citra farmasi di Indonesia, lebih mengerti
segala bentuk kegiatan kefarmasian serta mengetahui fungsi dan peranannya sebagai
petugas kesehatan dan mampu memberikan informasi yang tepat , tentang penggunaan obat
kepada masyarakat sehingga tercapai hasil yang sebagaimana mestinya.













3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Citraan Farmasi
Kesehatan merupakan factor penting dalam usaha memajukan kesejahteraan bangsa,
sehingga usaha disektor kesehatan merupakan hal yang mutlak diperhatikan, dalam hal ini
obat merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari masalah kesehatan. Penyediaan obat
yang memadai dapat menunjang keberhasilan usaha pemerintah dibidang kesehatan.
Kini banyak sekali perusahaan atau organisasi dan orang-orang yang mengelolanya
sangat sensitif menghadapi publik-publik mereka yang kritis. Dalam suatu penelitian
terhadap seratus top eksekutif, lebih dari 50% menganggap penting sekali untuk memelihara
publik yang baik. Sekarang ini banyak sekali perusahaan atau organisasi memahami sekali
perlunya memberi perhatian yang cukup untuk membangun suatu citra yang menguntungkan
bagi suatu perusahaan tidak hanya dengan melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan
publik negatif. Dengan perkataan lain, citra perusahaan adalah fragile Commodity (komoditas
yang rapuh atau mudah pecah). Namun kebanyakan perusahaan juga meyakini bahwa citra
perusahaan yang posotif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka
panjang.

Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang
disampaikan perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi
tersebut dapat dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat
mencapai target sasaran yang telah ditentukan. Salah satu cara untuk menyampaikan pesan-
pesan tersebut adalah melalui personal selling. Cara yang dilakukannya yaitu mencari dan
mengembangkan pelanggan baru serta menyampaikan informasi mengenai produk dan jasa
perusahaan.

Citra memegang peran yang penting dalam sebuah profesi. Citra dihasilkan dari
akumulasi pengalaman masyarakat terhadap suatu profesi. Ketika masyarakat merasa puas,
merasa terbantu dan profesi tersebut memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka
masyarakat akan memberi kepercayaan yang tinggi terhadap profesi tersebut, hasil akhirnya
citra profesi tersebut akan tinggi, begitu juga sebaliknya.



4

Lalu bagaimana dengan Citra Apoteker?

Mari kita lihat di Kanada. Studi yang dilakukan di Kanada tahun 2003 oleh CFP
(Canadian Foundation for Pharmac) mengenai persepsi pasien terhadap apotek menyatakan
persepsi pasien bahwa apoteker menduduki peringkat no 2 untuk kriteria siapa yang paling
bertanggung jawab terhadap kesehatan seorang pasien (lihat gambar bawah). Hal ini
menggambarkan betapa kuatnya persepsi dan kepercayaan masyarakat selaku konsumen
mengenai mengenai apoteker di Kanada.

Bagimana dengan di Australia. Studi Roy Morgan Research (2010),mengenai persepsi
masyarakat Australia terhadap urutan profesi kesehatan yang paling ramah, Perawat
menempati posisi pertama, Apoteker menempati posisi ke-2 (kenaikan 1% di banding tahun
2009) dan dokter menempati posisi yang ke-3 (penurunan 3% dibanding tahun 2009).
Selama 4 tahun berturut-turut posisi tersebut tidak mengalami perubahan.

No Profesi
Satuan %
2005 2007 2008 2009 2010
1 Perawat 89 91 89 89 89
2 Apoteker 84 85 86 84 85
3 Dokter 79 81 79 82 79
4 Guru 74 78 78 76 73
Sumber: Roy Morgan Research, 2010

Ternyata Hasil survey Roy Morgan Research tidak jauh berbeda dengan survey yang
dilakukan Gallup Polls. Gallup Polls melakukan surveynya terhadap masyarakat Amerika,
dari hasil surveynya, untuk kategori profesi yang paling ramah dan paling memegang etik,
apoteker menempati posisi yang ke-2, perawat menempati posisi yang pertama, sedangkan
dokter menempati posisi yang ke-3. Hasil survey dari Gallup Polls ternyata untuk urutan 4
teratas tidak mengalami perubahan dalam beberapa tahun, ada perubahan persentase tapi
urutan tidak mengalami perubahan.


5


Sumber: www.gallup.com
Pertanyaan yang muncul kemudian Lalu bagaimana dengan persepsi masyarakat
terhadap apoteker di Indonesia?, apakah persepsi masyarakat terhadap apoteker sudah
sebaik persepsi masyarakat mengenal apoteker di Kanada, Australia dan Amerika.

Pada beberapa kesempatan bertemu dengan teman sejawat baik formal maupun
informal saya masih sering mendengar keluhan bahwa PP 51/2009 cenderung membelenggu
kebebasan apoteker. Para teman sejawat tersebut berargumentasi bahwa keharusan apoteker
berada di apotek, misalnya, membuat apoteker tidak lagi bisa nyambi cari objekan
padahal take home pay seorang apoteker yang berpraktek sepenuh hari tidak sepadan
dengan waktu yang dikorbankan. Ada juga argumentasi lain, terutama dari mereka yang
sudah mapan, bahwa keharusan tersebut terlalu mengada-ada karena buktinya selama ini
tanpa apotekerpun apotek dapat beroperasi dengan baik. Dan masih banyak lagi argumentasi
lain yang pada prinsipnya tidak setuju dengan pengaturan praktek kefarmasian dalam PP
51/2009 khususnya di sektor pelayanan. Dalam menjawab keberatan para sejawat diatas saya
biasanya menggunakan pendekatan spiritual bahwa pada hakekatnya praktek kefarmasian
adalah konsekuensi logis dari memilih apoteker sebagai profesi, yang notabene tidak lepas
dari unsur pengabdian. Seseorang yang menyandang jabatan publik sebagai apoteker dan
kosekuen mengemban amanahnya tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk mematuhi
PP 51/2009.



6

Meskipun tidak persis sama, tapi bisa juga dianalogikan dengan keharusan seorang
notaris membacakan akte sebelum ditandatangai dihadapan kliennya. Dalam konteks ini, sang
notaris tidak pernah mendelegasikan pembacaan akte dan penjelesannya kepada orang lain.
Tapi untuk urusan mengonsep atau membuat draft akte bisa saja sang notaris mendelegasikan
kepada orang lain. Makna yang tersirat adalah, klien harus menunggu atau datang kembali
lain waktu bila notaris tidak ada ditempat. Sesuai dengan definisinya, Apoteker adalah
seorang sarjana farmasi yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi apoteker.
Jabatan publik sebagai apoteker dengan sendirinya akan melekat kepada mereka yang telah
selesai menempuh pendidikan apoteker dan mengucapkan sumpah. Seorang apoteker yang
akan menjalankan praktek kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi apoteker dan
memiliki surat ijin praktek atau surat ijin kerja.
Akan tetapi, seorang apoteker masih mempunyai kebebasan memilih untuk tidak
menjalankan praktek kefarmasian sepanjang yang bersangkutan bekerja diluar area praktek
kefarmasian. Mudahnya, bila ada apoteker yang menjadi dosen, bekerja di Badan POM atau
Depkes, bekerja di industri farmasi tetapi bukan sebagai penanggungjawab produksi atau
quality control mereka terbebas dari aturan PP 51/2009.

Begitu juga bagi mereka yang menjadi pegawai bank atau pegawai pajak. Apalagi
bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Jadi jelaslah bahwa bahwa
praktek kefarmasian adalah domain bagi apoteker yang konsekuen untuk menjalankan
amanah profesinya. Dengan mengelaborasi secara kontekstual seperti tersebut diatas maka
rasanya saya yakin bahwa sejawat yang keberatan dengan PP 51/2009 sebenarnya adalah
mereka yang selama ini sudah mapan dengan mata pencahariannya tetapi mengkapitalisasi
ijazah apotekernya di apotek. Bagi mereka aturan dalam PP 51/2009 memang akan mengusik
zona kenyamanannya. Tapi tidak demikian bagi sejawat yang benar-benar menjiwai makna
keprofesian dan secara sadar memahami makna lafal sumpah/janji yang mereka ucapkan
sewaktu dilantik sebagai apoteker. Oleh sebab itu ijinkanlah saya menggarisbawahi bahwa PP
51/2009 memang hanya ditujukan bagi apoteker yang akan berpraktek. Bagi sejawat yang
tidak setuju dengan PP 51/2009, sejawat masih tetap berhak menyandang jabatan publik
sebagai apoteker namun tidak diperkenankan menyelenggarakan praktek kefarmasian. Bila
sejawat melanggar, maka akan terkena sangsi sebagaimana tertuang dalam pasal 198 UU
36/2009 tentang kesehatan.



7

2.2 Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap
Perubahan Zaman

2.2.1 Pandangan Masyarakat terhadap Apoteker
Menurut Drs. M. Dani Pratomo, Apt, MM sebagai ketua IAI (ikatan apoteker
Indonesia) tahun 2005 mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
apa tugas apoteker yang sebenarnya. Ini dikarenakan di Indonesia penggunaan obat sudah
terlalu mudah diakses oleh masyarakat padahal obat yang sesungguhnya adalah racun yang
memerlukan pengaturan yang tepat. Menurut pandangan beliau juga apoteker tidak dilatih
sesuai dengan pekerjaan yang sebenarnya sesuai pharmaceutical care untuk menghadapi
pasien. Sehingga mereka kurang begitu terampil ketika lulus.

Di Indonesia masyarakat umum mengenal apoteker sebagai tenaga kedua setelah
dokter. Ini terbukti dengan anggapan dan pendapat masyarakat yang mengutarakan bahwa
apoteker memiliki kerja sebagai penerjemah resep, orang yang mempersiapkan obat dan
penjaga apotek Padahal apoteker telah diakui sebagai profesi layaknya dokter gigi, dokter,
perawat dan dokter hewan. Sebuah profesi pastilah memiliki kualifikasi untuk bekerja secara
professional dan mempunyai undang-undang yang mendukung pekerjaannya. Bila
dibandingkan dengan keadaan tersebut, maka ini menjadi suatu masalah besar bagi farmasi
untuk diselesaikan.
2.2.2 Farmasi di Masa yang Akan Datang
BPOM adalah badan resmi di Indonesia yang berhak memberi ijin untuk beredarnya
produk obat, obat herbal, makanan dan minuman yang boleh beredar di Indonesia. Namun
dalam sebagian besar pertimbangan untuk regulasi dan pemilihan kepalanya yang ada di
lembaga tersebut bukanlah orang farmasi. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh menteri
kesehatan yang diwakili oleh profesi kedokteran. Sehingga farmasi Indonesia terasa belum
bebas sepenuhnya dan diakui sebagai profesi yang mampu berkembang walaupun banyak
berdiri pabrik-pabrik besar farmasi di negara ini. Sisi psikologi untuk mendukung farmasi
dari sisi kepemimpinan dan interaksi dengan orang lain.Karena pencitraan profesi ini
tidaklah berhasil jika hanya ditinjau dari satu sisi saja. Seorang apoteker haruslah
mengusahakan pembelajaran seumur hidup untuk mengikuti kemajuan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Serta mempertimbangkan aspek nine star of pharmacist yang


8

diajarkan di fakultas farmasi universitas airlangga bahwa farmasi adalah juga sebagai care
giver, decision maker, communicator, leader, manager, life long learner, teacher, researcher
dan pharmapreneur.
2.2.3 Farmasi dalam paradigma ontologis
Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam
ilmu pengetahuan.Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada mulanya
hanya ada satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat yang memang hanya mempersoalkan
hal-hal yang umum, abstrak dan universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan hidup yang konkret, positif praktis dan pragmatis.
Melihat kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus
menurut objek studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan humaniora, ilmu
pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan alam.Sedangkan secara
kualitatif jenis-jenis ilmu pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis
sampai pada yang praktis teknologis.
Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat dilepaskan
dari kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang pondasinya
dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan filsafat alam.
Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia.
Oleh karena manusia itu memang merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri,
maka mungkin juga diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai
dengan tingkah yang lain-lain yang bukan manusia, melainkan yang khusus bagi manusia,
yaitu tindakan-tindakan yang terdorong oleh kehendaknya diterangi oleh budinya (moralnya).
Sedangkan dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat
alam dicari inti alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada
umumnya, dan apa hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam
ini merupakn ada yang tidak mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya.Segala isi alam
dengan adanya sendiri itu mungkin banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah sesuatu
yang mempunyai kedudukan istimewa, yang menyelidiki semua itu : Manusia (Human
Being).


9

Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu
sebagai Pure Sciences yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika.Keempat ilmu alam itu
merupakan kerangka dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman
seperti ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain sebagainya.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam;
Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika.Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya
merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan.Secara historis ilmu farmasi
dikembangkan dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya
pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang
diagnosis.
Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia,
biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti
pertanian, teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.
2.2.4 Farmasi dalam paradigma epistemologi
Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis.Farmasi secara
teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri
dari farmasi fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial.Selanjutnya farmasi praktis
terdiri dari dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.
Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis,
dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi
bahan baku obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan
makanan-minuman. Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan
produk farmasi moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri
obat tradisional yang memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai
bahan baku yang menghasilkan obat Fitofarmaka, baik industri farmasi maupun industri obat
tradisional kesemuanya berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur,
harga terjangkau dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.
Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi
(farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan
pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya).Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi
pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan


10

kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap masyarakat dan tenaga-tenaga paramedis, dan
monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan terhadap penderita (pasien).Peranan
farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan berorientasi
pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis, tepat pasien,
tepat indikasi, dan harga terjangkau.
Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu
sama lain dalam satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat
tanpa kecuali. Farmais/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian
diikat oleh sebuah etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).
2.2.5 Farmasi dalam paradigma etika
Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada
bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas,
yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi
hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan
bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu
menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan
kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang
layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.
Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain
menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah
kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi.Hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-
obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat
terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.
Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan
pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada
kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan
yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah
cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi
kini dan masa datang.Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif


11

dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat
manusia.Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan
tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya.Setiap keputusan
yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung
dimensi etika.Khusus dalam bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi
bahwa sarana pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana
farmasis/apoteker harus ada di tempat.
Di lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi baik
negeri maupun swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI tahun 2006 tercatat 60
perguruan tinggi di Indonesia yang mengelola pendidikan farmasi dengan jumlah luaran
kurang lebih 20.000 Apoteker hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan
ini tidak justru karena pangsa pasarnya yang memang cukup banyak diminati. Akan tetapi,
kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat turut mendorong dalam mengembangkan
kefarmasian di segala bidang













12

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang disampaikan
perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi tersebut dapat
dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat mencapai target sasaran
yang telah ditentukan
Ada pun pendapat dari Roy Morgan Research, dan Gallup Polls

Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap
Perubahan Zaman
1. Pandangan Masyarakat terhadap Apoteker
2. Farmasi dalam paradigma ontologis
3. Farmasi di Masa yang Akan Datang
4. Farmasi dalam paradigma epistemologi
5. Farmasi dalam paradigma etika


NO
Profesi
Satuan %
2005 2007 2008 2009 2010
1 Perawat 89 91 89 89 89
2 Apoteker 84 85 86 84 85
3 Dokter 79 81 79 82 79
4 Guru 74 78 78 76 73


13






















14

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2011. Profesi Farmasi di Indonesia
dalam google. Jakarta:http://www.google.com.
11 November 2011 pukul 21.00 WIB.
Anonimus. 2011. Sejarah Farmasi Dunia dalam
google. Jakarta:http://www.google.com. 11
November 2011 pukul 21.30 WIB.
Afdhal, Ahmad Fuad. 2011. Farmasi Sosial. Jakarta :
Samitra Media Utama.
Noor, Wildan Alfian. 2011. Farmasi Masa Depan
Dalam Dengan Prinsip Moderate dan Open Mind
Terhadap Perubahan Zaman dalam google.
Jakarta:http://www.google.com. 11 November
2011 pukul 22.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai