1, Mei 2015
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan
kertamukti nomor 5 Pisangan Ciputat, yardi@uinjkt.ac.id
Abstrak
Peran apoteker di Indonesia sebagaimana halnya di dunia telah bergeser dari peran yang
berorientasi produk menjadi peran yang berorientasi pasien. Apoteker komunitas sebagai kelompok
apoteker dengan jumlah paling besar terhadap jumlah apoteker total, memegang peranan yang
penting dan kritis dalam membantu masyarakat/pasien memperoleh outcome terapi yang optimal.
Akan tetapi peran apoteker komunitas ini masih banyak dipertanyakan dewasa ini. Beberapa berita
di media massa melaporkan bahwa peran apoteker komunitas masih sangat minim, jauh dari kondisi
ideal. Banyak apoteker yang tidak hadir di tempat praktek mereka. Fungsi profesional mereka
digantikan oleh tenaga teknis kefarmasian. Apoteker komunitas diharapkan dapat meningkatkan
peran mereka bagi masyarakat sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, baik standar
internasional maupun standar nasional yang diterbitkan oleh kementrian kesehatan Republik
Indonesia. Melalui praktek profesi yang mengacu pada standar yang ada, apoteker komunitas dapat
menjadi profesi kesehatan yang ikut berkonstribusi bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan yang tentunya memiliki peran penting
undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
1
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dilihat dari segi jumlah, apoteker komunitas memegang peranan yang sangat strategis.
Data terakhir yang dipublikasikan oleh direktorat jenderal kefarmasian dan alat kesehatan
komunitas atau yang juga dikenal dengan apotek yakni sebanyak 22.629 buah yang tersebar di
seluruh Indonesia. 2 Jumlah ini jika dibandingkan terhadap jumlah apoteker secara keseluruhan
yang saat ini teregistrasi pada komite farmasi nasioanal kementrian kesehatan yang berjumlah
54.921 orang, artinya apoteker yang melakukan praktek profesinya di sarana pelayanan
kesehatan komunitas sebanyak 41,20%. 3 Besaran persentase ini adalah asumsi minimal bahwa
pada satu apotek setidaknya terdapat satu orang apoteker pengelola apotek sebagaimana yang
disyaratkan pada izin pendirian apotek. Persentase ini tentunya bisa lebih besar apabila
mengikutsertakan jumlah apoteker pendamping yang ada pada sebagian apotek, terutama
apotek-apotek yang besar. Dengan persentase sebesar ini, maka peran apoteker komunitas
dalam memelihara serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tentu sangat diharapkan.
Yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah sudah sebesar apakah peran apoteker
komunitas sebagai salah satu profesi kesehatan ikut andil dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat? Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab berdasarkan beberapa fakta
berikut. Masih terdapat berita di beberapa media massa yang mempertanyakan peran ini.
Padang Express online memberitakan bahwa “ banyak apoteker langgar aturan” dimana banyak
apoteker yang tidak memenuhi aturan PP no 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian.
Mereka tidak menyediakan ruangan bagi apoteker dan asisten apoteker untuk memberikan
pelayanan yang maksimal pada masyarakat. Poin penting lainnya yang juga disebutkan oleh
media ini adalah bahwa tidak sedikit apoteker yang hanya menjual izin prakteknya pada pemilik
apotek, apoteker hanya menerima fee setiap bulannya. 4 Surat kabar online lainnya yakni Jurnal
sumatra dalam salah satu beritanya juga menyebutkan bahwa “sebagian besar apotek di
Sukabumi tanpa apoteker”. Gabungan perusahaan farmasi kota sukabumi mencatat dari 50
padahal kehadiran tenaga profesional tersebut sangat dibutuhkan.5 Sementara surat kabar
129
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
online di Sulawesi selatan dan Sulawesi barat, Antara news.com memberitakan “ Kadis
kesehatan: perlu optimalkan peran tenaga apoteker”. Kepada dinas mengatakan bahwa dari
sekitar 400 apotek yang tersebar di 24 kabupaten/kota di Sulawesi selatan, lebih banyak yang
melayani konsumen atau pasien adalah asisten apoteker, padahal yang utamanya sebenarnya
adalah apoteker.6 Penelitian yang dilakukan terhadap apotek di kota Denpasar menyebutkan
bahwa tingkat kehadiran apoteker di wilayah Denpasar utara, Denpasar timur, Denpasar selatan,
Denpasar barat, Kuta utara dan Kuta selatan masih sangat rendah yakni sebesar 26,64%. 7
Beberapa fakta tersebut di atas tentunya mencoreng kinerja dari apoteker sabagai sebuah
profesi kesehatan khususnya apoteker komunitas. Kinerja seperti ini tentunya bertentangan
dengan apa yang dijelaskan oleh PP 51 tahun 2009 seperti yang disebutkan sebelumnya. Bahwa
di dalam PP tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kesehatan pasien.
8
Ada dua kata yang perlu digaris bawahi pada penjelasan ini yakni pelayanan langsung dan
bertanggung jawab. Pelayanan langsung mengharuskan bahwa apoteker komunitas hadir secara
fisik selama jam layanan apotek agar mereka dapat memberikan pelayanan langsung yang
dimaksud secara bertanggung jawab sesuai dengan sumpah profesi yang pernah diucapkannya.
Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab masih rendahnya peran apoteker
komunitas saat ini. Sarana pelayanan kesehatan komunitas/apotek saat ini banyak dimiliki oleh
pemilik modal. Kepemilikan apoteker terhadap apoteker sekitar 10%.9 Tingkat kepemilikan
yang rendah ini berdampak pada rasa memiliki apoteker yang rendah pula terhadap tempat
130
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
Permasalahan lain yang muncul karena kondisi ini adalah kompensasi gaji yang tidak memadai
menyebabkan apoteker komunitas enggan untuk bisa hadir secara penuh waktu di apotek yang
menjadi tanggung jawabnya. Idealnya pada satu apotek dengan waktu operasional rata-rata 2
shif, memerlukan apoteker minimal 2 orang yang akan selalu hadir pada tiap shif selama waktu
operasional.
mempublikasikan standar praktek farmasi melalui Good Pharmacy Practice (GPP) yang
merupakan panduan cara melakukan praktek farmasi yang baik bagi apoteker yang ada di
komunitas maupun yang ada di rumah sakit. Panduan ini didesain bagi apoteker untuk secara
bertahap memenuhi kebutuhan apoteker untuk dapat melakukan asuhan kefarmasian bagi
pasien. 10 Melalui pelaksanaan asuhan kefarmasian yang bertanggung jawab, pasien diharapkan
dapat memperoleh manfaat yang paling optimal dari pengobatan yang sedang mereka jalani.
Obat merupakan bagian yang penting dan kritis dalam pelayanan kesehatan. Obat
merupakan komponen yang esensial dalam penanganan penyakit. Manfaat potensial dari obat
sering tidak terealisasi. Ada gap antara efikasi yang terlihat dalam pengujian klinis obat dengan
keefektifan aktual dalam praktek klinis. Alasan munculnya gap ini termasuk masalah dengan
pemilihan obat dan dosis, pemberian obat yang tidak tepat, serta kurangnya kepatuhan pasien
terhadap obat yang telah diresepkan serta interaksi obat-obat / obat-makanan. Disamping
masalah klinis yang terkait dengan masalah terkait obat (Drug Related Problem/ DRP), terdapat
juga masalah biaya. Masyarakat kita sebagian besar masih termasuk kedalam
131
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
masyarakat yang sensitif terhadap harga. Terdapat masyarakat yang terpaksa menghentikan
butuhkan. Permasalahan yang sebetulnya dapat diatasi atau diminimalisir dengan kehadiran
apoteker pada apotek. Masalah lain yang juga terjadi adalah adanya obat ilegal, obat substandar
serta obat palsu yang beredar di tengah masyarakat seperti kasus vaksin palsu yang belakangan
ini menjadi pembicaraan ramai di tengah masyarakat baik di tingkat lokal maupun pada tingkat
nasional.
Apoteker merupakan profesional kesehatan yang terdidik dan terlatih dengan khusus
yang disertifikasi oleh otoritas negara. Apoteker memiliki peran dalam manajemen distribusi
obat kepada konsumen dan bertugas dalam upaya-upaya yang tepat untuk memastikan
penggunaannya yang aman dan berkhasiat. Dewasa ini terjadi peningkatan pemahaman bahwa
peran apoteker dalam hal penyediaan obat saja pada masyarakat atau pasien tidak cukup.
Diperlukan peran lebih dari apoteker agar pasien mendapatkan manfaat terbaik dari tujuan
pengobatan. Untuk menjawab kebutuhan terkait dengan obat ini, apoteker memiliki tanggung
jawab yang lebih besar untuk mendapatkan outcome penggunaan obat. Sebagai profesional
kesehatan, apoteker memegang peranan yang penting dalam meningkatkan akses masyarakat
terhadap kesehatan dalam mempersempit gap antara benefit potensial obat dan benefit
aktualnya. Dengan bertambah kompleks dan beragamnya peran apoteker dalam sistem
Ada enam komponen yang terdapat dalam misi mulia praktek kefarmasian yang
tercantum dalam GPP yang perlu dipahami dan tentunya dilaksanakan oleh apoteker agar
hehadiran profesi ini dapat berkonstribusi terhadap peningkatan kesehatan dan membantu
pasien dengan masalah kesehatan yang sedang mereka hadapi dengan menggunakan obat
132
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
dengan cara yang terbaik. Keenam komponen tersebut adalah: 1. Selalu ada bagi pasien dengan
atau tanpa membuat janji terlebih dahulu; 2.Mengidentifikasi dan mengelola masalah terkait
berbahaya dari obat; 6. Penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya kesehatan
yang terbatas.
Karena produk dan jasa perawatan kesehatan tersedia dari apoteker, beberapa masalah dapat
penanganan yang tidak tersedia dari apoteker dapat dirujuk ke profesi kesehatan atau sarana
yang tepat seperti rumah sakit. Hal ini harus dilakukan dalam kolaborasi yang baik diantara
banyak aspek proses penggunaan obat, masing-masing aspek penting dalam upaya memperoleh
outcome yang baik dari pengobatan. Ini dimulai dengan jaminan integritas rantai suplai obat.
Juga termasuk jaminan peresepan obat yang tepat sehingga regimen dosis dan sediaan tepat;
yang tidak diinginkan yang diketahui dan diprediksi, termasuk alergi dan kontraindikasi lain;
Komponen penting lain dalam misi ini adalah membantu pasien untuk mengerti akan
pentingnya menggunakan obat secara benar, termasuk waktu yang tepat untuk minum obat,
makanan atau obat lain yang harus dihindari ketika minum suatu obat dan harapan apa yang
dimiliki ketika menggunakan suatu obat. Monitoring pengobatan untuk menilai keefektifan
133
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
dan efek obat yang tidak diinginkan juga merupakan hal yang penting dari proses penggunaan
obat.
nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian ini diterbitkan guna menjawab
pernah diterbitkan sepuluh tahun sebelumnya yakni keputusan menteri kesehatan Republik
Dalam standar pelayanan kefarmasian yang terakhir diterbitkan ini disebutan bahwa
pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua hal, yakni : kegiatan yang bersifat manajerial
berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai serta
pelayanan farmasi klinis. Bila dijabarkan lebih lanjut, kedua peran tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi :
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pemusnahan
f. Pengendalian
134
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
a. Pengkajian resep
b. Dispensing
d. Konseling
Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
Swamedikasi atau self medication dedifinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat
oleh seseorang untuk mengobati penyakit atau gejala-gejala penyakit yang dikenali sendiri.
tindakan sederhana, pasien biasanya dapat menangani dengan cara mereka sendiri atau dengan
Seiring dengan meningkatnya taraf hidup serta perbaikan dalam tingkat pendidikan,
kesadaran yang juga diiringi oleh meledaknya informasi terkait dengan produk- produk
kesehatan dari berbagai sumber seperti internet, media massa cetak dan elektronik,
satu sarana layanan kesehatan yang paling mudah dijangkau oleh masyarakat menjadi tempat
yang mereka harapkan dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah kesehatan
mereka. Dengan keberadaan apoteker di apotek setiap saat, tentunya profesi ini dapat
swamedikasi.
Data riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa angka swamedikasi yang
dilakukan masyarakat Indonesia termasuk tinggi yakni sebesar 35,2%. Rerata sediaan obat yang
disimpan hampir 3 macam. Dari 35,2% rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi rumah
tangga yang menyimpan obat keras 35,7% dan antibiotika 27,8%. Adanya obat keras dan
antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan bahwa penggunaan obat yang tidak rasional.
13
Apoteker dapat mengambil peran dalam memberi edukasi kepada masyarakat tentang
penggunaan obat secara rasional. Apoteker punya tanggung jawab untuk melindungi
masyarakat dari bahaya penggunaan obat keras dan antibiotika yang tidak tepat.
Dalam menghadapi masyarakat yang memerlukan saran untuk mengatasi minor ailment
yang sedang mereka alami, seyogyanya apoteker komunitas menjadi profesi kesehatan yang
paling mudah ditemui sebagaimana yang terjadi di beberapa negara maju dimana eksistensi
apoteker dalam kaitannya dengan minor ailment sudah sangat diakui. Di beberapa negara
bagian Kanada misalnya, apoteker sudah eksis membantu pasien dalam pengobatan penyakit
ringan tersebut. Beberapa penyakit yang dikategorikan ke dalam minor ailment tersebut antara
lain : alergi rinitis, dermatitis alergi kontak, ketombe, dismenorea, dispepsia, infeksi jamur pada
kulit, herpes simpleks, akne ringan, sakit kepala ringan, eksema ringan sampai sedang, urtikaria
ringan, nyeri sendi ringan, nyeri otot ringan, gangguan tidur ringan, hidung tersumbat, mual,
136
JMI. Vol.12 No.1, Mei 2015
kesembuhan penyakit, obat juga dapat menimbulkan efek samping baik yang ringan, sedang
sampai berat profesional, maka penggunaan obat memerlukan kehati-hatian dan pengawasan
dari tenaga. Apoteker dalam hal ini apoteker komunitas sebagai tenaga profesional kesehatan
yang fokusnya adalah obat memilki tanggung jawab besar agar obat yang digunakan oleh
masyarakat dapat membawa kesembuhan bagi mereka. Apoteker sangat diharapkan andilnya
dalam melindungi masyarakat dari efek merugikan yang dapat timbul dari penggunaan obat
yang tidak benar. Peran apoteker komunitas perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Pengawasan dari instansi pemerintah yang berwenang perlu ditingkatkan agar apoteker
Referensi
1. Presiden RI. UU nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan. Oktober 2014.
2. Binfar kemenkes RI: aplikasi pemetaan sarana kefarmasian; 2016. Tersedia dari:
http://apif.binfar.depkes.go.id/
3. Komite farmasi nasional kemenkes RI: Jumlah apoteker teregistrasi; 2016. Tersedia dari :
http://stra.depkes.go.id/
4. Padang ekspress: Banayak apotek langgar aturan;2014. Tersedia dari :
http://www.padangekspres.co.id/
5. Independent newspapaer, Jurnal Sumatra: Sebagian besar apotek di Sukabumi tanpa
apoteker; 2015. Tersedia dar : http://www.jurnalsumatra.com/
6. Antaranews.com: Kadis kesehatan: Perlu optimalisasi tenaga apoteker; 2012. Tersedia di :
http://www.antaranews.com/
7. Gunawan R, Putra IP, Purbandika, IM, et al. Tingkat kehadiran apoteker serta pembelian
obat keras tanpa resep dokter di apotek. Jurusan Farmasi FMIPA UDAYANA 2011; P 19
8. Presiden RI. PP nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. September 2009.
9. Joint FIP/WHO. Guidelines on GPP: Standardrs for quality of pharmacy services. World
health Organization.2011. P 1-5.
10. Brata C, Marjadi B, Schneider CR, et al. Information gathering for self medication via
Indonesian community pharmacies: a cross sectional study. BMC health services research.
2015.
11. Kemenkes RI: Permenkes nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek; Juli 2014.
12. Ferguson J. The role of pharmacist in self care and self medication. WHO and FIP. 1994.p
1-11.
13. Litbang Kemenkes RI: Riset kesehatan dasar 2013.2013: p 40-49
137