Anda di halaman 1dari 8

A.

JUDUL

“ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM KEBIJAKAN STRATEGIS BPJS


KESEHATAN DITINJAU DARI PELAYANAN KESEHATAN DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI VERIFIKATOR KETIKA TERJADI
KECURANGAN (FRAUD)”

B. LATAR BELAKANG
Masih adanya di beberapa Fasilitas Kesehatan yang tidak
melaksanakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan baik.
Salah satunya pelayanan Kesehatan kepada peserta JKN yang mengakses
pelayanan Kesehatan di fasilitas Kesehatan, khususnya di rumah sakit.
Beberapa kasus yang ditemukan adalah fraud layanan Kesehatan
kepada peserta. Ditemukan peserta JKN diberikan obat secara berkala. Obat
diberikan sebanyak 3 hari dengan alasan obat ditanggung BPJS Kesehatan
sebanyak 3 hari. Belum lagi fraud Standard of Care atau bisa dikatakan mal
praktik.
Salah satu permasalahan yang timbul atas kasus tersebut adalah
permasalahan bentuk pertanggungjawaban hukum. BPJS Kesehatan sebagai
penyelenggara jaminan Kesehatan bertanggung jawab memberikan kepastian
pelayanan Kesehatan yang komprehensif kepada pesertanya saat
mengakses layanan Kesehatan hingga proses klaim biaya pengobatan dari
rumah sakit.
Ketika pasien mengalami kerugian, baik secara materil maupun non
materil. Batasan, bentuk dan aspek pertanggungjawaban seperti apa yang
dapat dimintakan oleh peserta JKN, ketika peserta JKN menuntut secara
hukum kepada BPJS Kesehatan. Perkembangan pengetahuan masyarakat
dan dinamika yang terjadi di lapangan, manajemen BPJS Kesehatan harus
aktif dan melakukan mitigasi risiko akan kerentenan akan gesekan
permasalahan hukum kedepannya.
C. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang
ada dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah BPJS Kesehatan bisa dimintakan pertanggungjawaban
secara hukum ketika kualitas layanan Kesehatan yang diberikan
merugikan peserta JKN (Fraud)? Dan sejauh mana bentuk
pertanggungjawaban hukum yang bisa dipertanggungjawabkan
atas kebijakan strategis BPJS Kesehatan?
2. Bagaimana perlindungan hukum untuk verifikator BPJS Kesehatan
ketika terjadi kelalaian atau kecurangan (Fraud)?

D. REFERENSI HUKUM
1. Undang – undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN)
2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
5. Permenkes No. 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kecurangan (FRAUD) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap
Kecurangan (FRAUD) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
6. Peraturan BPJS Kesehatan No. 6 Tahun 2020 tentang Sistem
Pencegahan Kecurangan dalam Program JKN
E. DOKUMEN PENDUKUNG
1. Hasil Kredensialing fasilitas Kesehatan
2. Perjanjian Kerja Sama antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas
kesehatan.
3. Komitmen rumah sakit tentangh pelayanan Kesehatan yang baik
4. Surat pernyataan benturan kepentigan.
5. Dokumen – dokumen dalam penyelesaian kasus Fraud di rumah sakit
Semen Padang.
F. LANDASAN HUKUM
1. Pasal 35 angka (1) dan (2) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, disebutkan mengenai kewenangan dokter.
2. Bentuk pertanggung jawaban BPJS Kesehatan ditinjau dari pelayanan
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 37 UU BPJS, dimana BPJS
Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan pelaporan
keuangan yang telah di audit akuntan publik kepada Presiden dan
tembusan kepada DJSN.
3. Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada
Pasal 92 dan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019
Pasal 3, ayat (1); Lampiran, BAB III. Dimana BPJS Kesehatan harus
membangun sistem pencegahan kecurangan (FRAUD) Bersama
stakeholder dan FKRTL. Sistem tersebut harus dilakukan secara
sistematis, terstruktur dan komprehensif dengan memaksimalkan segala
sumber daya yang ada.
4. Klausul perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit
mengenai hak dan kewajiban masing – masing pihak. Dimana
pertanggung jawaban mengerucut kepada pemenuhan tanggung jawab
manajerial masing – masing pihak ketika terjadi kecurangan.
G. Analisa Hukum
BPJS Kesehatan sebagai badan hukum yang diberikan Amanah oleh
Undang – undang untuk menyelenggarakan system jaminan sosial
berbasis kontribusi peserta untuk mengelola dana Amanah. Kepastian
peserta JKN mendapatkan kualitas pelayanan yang baik di fasiltas
Kesehatan merupakan tanggung jawab BPJS Kesehatan.
Tanggung jawab (Verantwoordelijke) (Prof. Arifi Soeria, 1986:250)
adalah kewajiban untuk memikul pertanggungjawaban hingga memikul
kerugian bila dituntut baik dalam kaitan hukum maupun dalam
administrasi. Istilah pengertian pertanggungjawaban secara yuridis,
dimana pertanggungjawaban seseorang dapat dituntut, diperkarakan, dan
dipersalahkan dan menerima beban beban sebagai akibat sendiri atau
akibat perbuatan orang lain dan menimbulkan kerugian pada orang lain
atau tidak optimalnya kebijakan strategis dalam sistem pelayanan
Kesehatan dan sistem pencegahan kecurangan yang dibangun oleh BPJS
Kesehatan sebagai badan hukum pengelola jaminan Kesehatan.
Makna pertanggungjawaban BPJS Kesehatan, dapat dilihat adanya
suatu pertanggungjawaban secara hukum yang sangat berbeda yaitu
pertanggungjawaban umum yang timbul karena hukum (peraturan
perundang – undangan, perikatan dan lain – lain) dan
pertanggungjawaban hukum dimana seseorang bebas dari segala bentuk
pertanggungjawaban karena tidak diatur dalam hukum.
Sedangkan BPJS Kesehatan Bersama fasilitas Kesehatan melakukan
perikatan dalam bentuk perjanjian kerja sama. BPJS Kesehatan
memastikan peserta JKN mendapatkan kualitas pelayanan yang baik yang
dituangkan dalam perjanjian kerja sama. Di dalam proses kredensialing
dan klausul perjanjian mengerucut pertanggungjawaban manajerial dari
para pihak.
Verifikator dalam hal ini bagian dari manajerial BPJS Kesehatan
bertugas untuk memverifikasi kelayakan pelayanan Kesehatan yang telah
diberikan kepada peserta JKN sekaligus memastikan peserta JKN
mendapatkan kualitas pelayanan yang bermutu saat mengakses layanan
Kesehatan di fasilitas Kesehatan.
BPJS Kesehatan telah membangun sistem pencegahan kecurangan
melalui kebijakan Peraturan BPJS Kesehatan No. 6 Tahun 2020 tentang
Sistem Pencegahan Kecurangan dalam Program JKN. Hal ini telah sesuai
dengan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan pada Pasal 92 dan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019
Pasal 3, ayat (1); Lampiran, BAB III. Dimana BPJS Kesehatan harus
membangun sistem pencegahan kecurangan (Fraud) Bersama
stakeholder dan FKRTL. Sistem tersebut harus dilakukan secara
sistematis, terstruktur dan komprehensif dengan memaksimalkan segala
sumber daya yang ada.
Namun BPJS Kesehatan belum mengakomodir secara spesifik bentuk
pertanggungjawaban hukum terhadap perlindungan hukum bagi peserta
JKN ketika menjadi korban dari oknum yang melakukan kecurangan.
Akibat hukum akan terjadi, verifikator yang telah menyetujui klaim
pelayanan Kesehatan karena unsur cause (sebab – akibat) dari fungsi
organisasi. sehingga mengakibatkan kerugian bagi peserta JKN maupun
verifikator yang melekat fungsi organisasi dari kebijakan strategis.

Sesuai pasal 1 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen, dimana terdapat hak absolut dan hak relative. Hal ini diartikan
adanya upaya kepastian hukum dalam memberikan perlindungan hukum
kepada konsumen. Dalam hal ini peserta JKN adalah konsumen dari
program JKN itu sendiri.
Ketika terjadi kerugian yang mengakibatkan adanya akibat hukum,
manajemen dalam kebijakan strategis harus memberikan perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum refresif.
H. ANALISA RESIKO
Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan pada suatu kehendak bebas dan
pilihan bebas dengan adanya suatu perjanjian yang dibuat atas suatu jabatan
yang melekat pada organ/badan. Jika dihubungkan dengan fungsi organisasi
dan sistem hukum maka pertanggungjawaban bersumber dari penggunaan
wewenang yang diterima dari sumbernya, Tindakan atas Prakarsa sendiri dan
Tindakan pribadi dari oknum.
Dalam ilmu hukum dikenal dua hal yang dijadikan dasar
peratatanggungjawaban yaitu Rechmatigheid dan Doelmatigheid.
Rechmatigheid sendiri berhubungan dengan pertanyaan sampai mana
pelaksanaan tugas sesuai aturan atau prosedur yang telah ditetapkan atau
masih berlaku. Ketika terjadi kecurangan (Fraud), BPJS Kesehatan baru
mengakomodir perlindungan hukum preventif hanya bersifat administratif. Hal
ini dapat dilihat dari klausul dalam perjanjian berupa teguran tertulis hingga
pemutusan kerja sama. Ketika kecurangan bersifat Perdata dan Pidana
terjadi, standar operasional belum maksimal mengakomodir aturan atau
prosedur dalam hal upaya mitigasi risiko, perlindungan hukum preventif dan
refresif serta klausul dalam perjanjian. Ketika terjadi tuntutan, penegak hukum
akan melihat Kembali Rechmatigheid dan Doelmatigheid serta ruang
tanggung jawab sebagai accountability, Obligation dan Cause (sebab-akibat)
teori kausalitas.

I. KESIMPULAN
1. Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak berlaku
sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Belum terdapat klausul
khusus di dalam perjanjian dengan fasilitas Kesehatan terkait hubungan
hukum, akibat hukum para pihak ketika terjadi tuntutan perdata, pidana
dan administrasi. Salah satunya, ketika terjadi mal praktik atau
kecurangan yang dilakukan Tindakan atas Prakarsa sendiri dan Tindakan
pribadi dari oknum.yang mengakibatkan kerugian bagi peserta JKN.
2. BPJS Kesehatan belum mengakomodir pembuatan suatu juknis, aturan
atau standar operasional dalam hal upaya mitigasi risiko, perlindungan
hukum preventif dan refresif terhadap peserta JKN. Juknis yang ada baru
mengakomodir tuntutan dari eksternal yang bersifat tuntutan administrasi.
Hal ini akan beresiko akan tejadinya tuntutan hukum (Perdata atau
pidana). Apabila kecurangan yang terjadi mengakibatkan kerugian bagi
peserta.
3. Sesuai pasal 1 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dimana terdapat hak absolute dan hak relative peserta JKN.
Pada tingkat keluhan peserta di FKTP, BPJS Kesehatan masih minim
menyediakan wadah atau kanal layanan pengaduan serta alur prosedur
pelayanan pengaduan. Hal ini berbanding terbalik dengan FKRTL, sudah
lengkap mengakomodir ketentuan alur prosedur pengaduan (Petugas
PPID). Hal ini membuat Peserta JKN tidak tahu akan melapor ke mana
ketika terjadi keluhan di FKTP.
4. Sistem pencegahan kecurangan yang ada sekarang masih sebatas
pencegahan kecurangan terkait pelayanan kesehatan yang berkaitan
pengajuan verifikasi klaim. Ketika kecurangan terjadi dan mengakibatkan
kerugian bagi peserta JKN (Hingga meninggal dunia, cacat fisik,mal
praktik dll) bisa jadi BPJS Kesehatan sebagai pelayanan publik akan
diminta peratatanggungjawab.
5. BPJS Kesehatan belum memiliki National Health Database dari setiap
peserta JKN yang telah mengakses layanan kesehatan. Sebagai tolak
ukur pengukuran kualitas mutu layanan Kesehatan.

J. REKOMENDASI
1. BPJS Kesehatan membuat suatu juknis, aturan atau standar operasional
dalam hal upaya mitigasi risiko, perlindungan hukum preventif dan refresif
terhadap peserta JKN. Ketika terjadi perselisihan hukum, para penegak
hukum akan melihat terlebih dahulu Rechmatigheid dan Doelmatigheid.
Rechmatigheid sendiri berhubungan dengan pertanyaan sampai mana
pelaksanaan tugas sesuai aturan atau prosedur yang telah ditetapkan
atau masih berlaku (Peratatanggungjawab).
2. Memperjelas Kembali dalam klausul perjanjian tentang Rechmatigheid
dan Doelmatigheid serta ruang tanggung jawab sebagai accountability,
Obligation dan Cause (sebab-akibat) dari teori kausalitas.
3. BPJS Kesehatan harus memiliki National Health Database Record, suatu
sistem informasi terpadu terkait Riwayat Kesehatan pasien di fasilitas
Kesehatan yang pernah dikunjungi pasien sebelumnya. Sistem yang berisi
Riwayat alergi obat, Riwayat diagnose,hasil labor dan pemeriksaan medis
dari faskes perujuk. Tujuannya dokter memiliki pertimbangan dalam
menegakkan diagnose secara komprehensif, upaya mitigasi risiko
(Preventif) terhadap perlindungan kepada pasien akibat kurang tepatnya
penanganan Tindakan medis. Disamping itu sistem National Health
Database Record memudahkan verifikator dalam memverifikasi klaim,
karena Riwayat Kesehatan pasien lengkap terekam dalam suatu sistem
database. BPJS Kesehatan sendiri memiliki data penunjang yang lengkap
dalam pengambilan suatu kebijakan strategis dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan Kesehatan.
4. BPJS Kesehatan lebih memperhatikan Kembali pelayanan kepada peserta
JKN. Khususnya pengaduan peserta terhadap layanan di FKTP. Agar hak
dan perlindungan hukum kepada peserta terjamin dan peserta
mendapatkan kepastian layanan Kesehatan yang bermutu.
5. BPJS Kesehatan harus membangun sistem pencegahan kecurangan
suatu juknis, aturan atau standar operasional dalam hal upaya mitigasi
risiko, perlindungan hukum preventif dan refresif terhadap hak peserta
JKN dan perlindungan hukum verifikator. Langkah upaya mitigasi risiko
terakhir dari BPJS Kesehatan sebelum memasuki ranah hukum (Perdata,
Pidana atau administratif). Ketika sudah memasuki ranah hukum,
kredibilitas BPJS Kesehatan dalam hal ini verifikator, akan dipertanyakan
oleh publik. BPJS Kesehatan dapat meminta kepada akuntan publik atau
pihak eksternal lainnya untuk memberikan masukan terhadap sistem
pencegahan kecurangan.

Anda mungkin juga menyukai