Anda di halaman 1dari 23

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH

MANAJEMEN ASURANSI DAN HUKUM KESEHATAN

DOSEN:
Prof. Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH.

Nama Mahasiswa : Agus Rianto

NIM : 71220076

Kelas : 9B

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN


KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA
BANDUNG
2023
1

UJIAN AKHIR SEMESTER


Mata kuliah : Asuransi & Hukum Kesehatan
Hari, Tanggal : Senin, 27 November 2023
Kls/Konsentrasi : 9- B / Manajemen Rumah sakit
Waktu : Take Home
Dosen : Prof. Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH.

Dalam dunia kesehatan saat ini masalah hukum seringkali terjadi berkaitan dengan adanya
pengaduan maupun pelanggaran hukum dalam praktik kesehatan yang dialami baik oleh pasien
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga kesehatan sebagai pihak yang
memberikan pelayanan medis. Berbagai regulasi perundang- undangan dan Peraturan Menteri
Kesehatan yang mengatur tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan sudah diberlakukan,
antara lain :
- Undang-undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit - PMK 269 /2008 tentang
Rekam Medik
- PMK 290 /2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (InformedConsent)

Pertanyaan :

1. Coba jelaskan kelima Prinsip dalam asuransi kaitannya dengan trilogi perundang-
undangan Tentang Hukum Kesehatan, Praktik Kedokteran dan Rumah Sakit , apakah
prinsip Subrograsi (Subrogration Principle) pengalihan hak untuk menuntut pihak ke 3
penyebab kerugian dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap korban yang
mengalami mal praktik?

JAWAB :

Prinsip-prinsip asuransi.
Prinsip-prinsip asuransi adalah pedoman dasar yang harus diterapkan dalam kegiatan
usaha asuransi. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak yang
terlibat dalam kegiatan usaha asuransi, yaitu pemegang polis, tertanggung, dan penanggung.

Ada lima prinsip asuransi yang berlaku di Indonesia, yaitu:


1. Prinsip insurable interest.
Insurable Interest adalah hak untuk mengasumsikan yang timbul dari suatu hubungan
keuangan antara tertanggung dengan objek yang diasumsikan dan diakui secara hukum (
Recognized at Law ) yang diasumsikan bukan objeknya tetapi suatu hubungan keuangan.
2

Prinsip insurable interest ini berarti bahwa pemegang polis harus memiliki kepentingan yang
dapat diasuransikan atas objek yang diasuransikan. Kepentingan ini dapat berupa kepentingan
ekonomi, kepentingan moral, atau kepentingan sosial.

Dalam hukum kesehatan, prinsip insurable interest ini diatur dalam Pasal 1 angka 11
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan
bahwa insurable interest adalah kepentingan yang wajar dan dapat dibuktikan yang dimiliki
oleh seseorang terhadap objek asuransi.

2. Prinsip indemnity.
Indemnity adalah mekanisme penggantian keuangan yang cukup untuk menggantikan
posisi tertanggung pada posisi keuangan yang sama setelah terjadi kerugian sebagaimana dia
nikmati sesaat sebelum terjadi kerugian.
Prinsip indemnity ini berarti bahwa penanggung hanya berkewajiban untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh tertanggung. Ganti rugi yang diberikan oleh penanggung tidak
boleh melebihi kerugian yang diderita oleh tertanggung.

Dalam hukum kesehatan, prinsip indemnity ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
perusahaan asuransi kesehatan berkewajiban untuk memberikan penggantian biaya pelayanan
kesehatan yang wajar dan sesuai dengan manfaat yang tercantum dalam polis.

3. Prinsip utmost good faith


Asuransi yang satu ini merupakan positif untuk secara sukarela mengungkapkan semua
fakta secara akurat dan lengkap terhadap risiko yang diasumsikan apakah diminta atau tidak.
Jadi calon tertanggung harus menyampaikan kondisi yang lengkap dan akurat.
Prinsip utmost good faith ini berarti bahwa para pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha
asuransi harus bertindak dengan ietikad baik.

Hal ini berarti bahwa pemegang polis harus memberikan informasi yang benar dan
lengkap kepada penanggung, sedangkan penanggung harus memberikan informasi yang
lengkap dan akurat kepada pemegang polis.
Dalam hukum kesehatan, prinsip utmost good faith ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
pemegang polis dan perusahaan asuransi kesehatan berkewajiban untuk memberikan informasi
yang lengkap dan akurat.

4. Prinsip cessibiltas
Prinsip cessibiltas ini berarti bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian asuransi
dapat dialihkan kepada pihak lain. Hal ini berarti bahwa pemegang polis dapat mengalihkan
haknya kepada pihak lain, sedangkan penanggung dapat mengalihkan kewajibannya kepada
pihak lain.

Dalam hukum kesehatan, prinsip cessibiltas ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
3

hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian asuransi kesehatan dapat dialihkan kepada pihak
lain.

5. Prinsip subrogasi
Subrogasi merupakan Hak setiap orang setelah mengganti rugi tertanggung di bawah
kewajiban hukum untuk berdiri di posisi tertanggung dan mengambil alih hak tertanggung dan
guna mendapatkan ganti rugi dari pihak lain ( pihak lain yang menyebabkan dan seharusnya
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi ).
Prinsip subrogasi ini berarti bahwa penanggung berhak untuk menggantikan kedudukan
tertanggung terhadap pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
tertanggung.

Dalam hukum kesehatan, prinsip subrogasi ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
perusahaan asuransi kesehatan berhak untuk menggantikan kedudukan tertanggung terhadap
pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh tertanggung.

Trilogi perundang-undangan tentang hukum kesehatan.

Trilogi perundang-undangan tentang hukum kesehatan adalah tiga undang-undang yang


mengatur tentang hukum kesehatan di Indonesia, yaitu:

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen, termasuk hak-hak
konsumen dalam bidang kesehatan.

2. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.


Undang-undang ini mengatur tentang praktik kedokteran, termasuk hak dan kewajiban dokter,
pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


Undang-undang ini mengatur tentang rumah sakit, termasuk hak dan kewajiban rumah sakit,
pasien, dan tenaga kesehatan.

Ketiga undang-undang ini saling berkaitan dan saling melengkapi dalam mengatur
tentang hukum kesehatan di Indonesia. Prinsip-prinsip asuransi yang telah disebutkan di atas
juga turut ditegaskan dalam ketiga undang-undang ini.

Contoh penerapan prinsip-prinsip asuransi dalam hukum kesehatan

Berikut adalah beberapa contoh penerapan prinsip-prinsip asuransi dalam hukum


kesehatan:
1. Prinsip insurable interest.
Seorang suami memiliki asuransi jiwa atas nama istrinya. Suami ini memiliki kepentingan
ekonomi atas istrinya, yaitu untuk mendapatkan nafkah dari istrinya. Jika istrinya meninggal
4

dunia, suami ini akan mengalami kerugian ekonomi. Oleh karena itu, suami ini memiliki
insurable interest atas istrinya.

2. Prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap korban mal praktik.
Prinsip subrogasi menyatakan bahwa penanggung berhak untuk menggantikan kedudukan
tertanggung terhadap pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
tertanggung. Dalam kasus mal praktik, penanggung adalah perusahaan asuransi yang
menanggung risiko kerugian akibat mal praktik. Jika tertanggung menderita kerugian
akibat mal praktik, penanggung akan memberikan penggantian biaya kepada tertanggung.
Selanjutnya, penanggung dapat menggunakan hak subrogasinya untuk menuntut ganti rugi
kepada pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik, yaitu dokter atau rumah
sakit.

Penerapan prinsip subrogasi dalam perlindungan terhadap korban mal praktik


memiliki beberapa manfaat, yaitu:
a. Korban mal praktik dapat segera mendapatkan penggantian biaya Penanggung akan
memberikan penggantian biaya kepada tertanggung, sehingga tertanggung tidak perlu
mengeluarkan biaya sendiri untuk membayar pengobatan dan perawatan. Hal ini
penting karena korban mal praktik sering kali mengalami kerugian finansial yang cukup
besar akibat mal praktik.
b. Korban mal praktik tidak perlu menanggung risiko kegagalan tuntutan.
c. Penanggung memiliki sumber daya yang lebih besar untuk menuntut ganti rugi kepada
pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik. Korban mal praktik tidak perlu
menanggung risiko kegagalan tuntutan, karena penanggung yang akan menanggung
risiko tersebut.
d. Mendorong peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
e. Penerapan prinsip subrogasi dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan, karena pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik akan lebih
berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan. Pihak ketiga tersebut akan
mengetahui bahwa mereka dapat dituntut oleh penanggung jika mereka melakukan mal
praktik.

Penerapan prinsip subrogasi juga memiliki beberapa tantangan, yaitu:


a. Penanggung harus memiliki cukup bukti untuk menuntut ganti rugi.
b. Penanggung harus memiliki cukup bukti untuk membuktikan bahwa pihak ketiga yang
bertanggung jawab atas mal praktik. Hal ini dapat menjadi tantangan karena mal praktik
tidak selalu mudah dibuktikan.
c. Proses tuntutan ganti rugi dapat memakan waktu yang lama.
d. Proses tuntutan ganti rugi dapat memakan waktu yang lama, sehingga korban mal
praktik mungkin harus menunggu lama untuk mendapatkan penggantian biaya.
e. Pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik mungkin tidak memiliki
kemampuan finansial untuk membayar ganti rugi
f. Pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik mungkin tidak memiliki
kemampuan finansial untuk membayar ganti rugi. Hal ini dapat menyebabkan korban
mal praktik tidak mendapatkan penggantian biaya secara penuh.
5

Meskipun terdapat tantangan, penerapan prinsip subrogasi tetap dapat memberikan


manfaat yang signifikan bagi korban mal praktik. Prinsip subrogasi dapat membantu korban
mal praktik untuk mendapatkan penggantian biaya dan mendorong peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan.

Pertanyaan :

2. Coba analisis kedudukan BPJS Kesehatan dalam pembangunan kesehatan masyarakat


Indonesia yang berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan,
dan keadilan.

JAWAB :

Kedudukan BPJS Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia.

BPJS Kesehatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang bertanggung jawab
menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia. JKN adalah
program asuransi kesehatan yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia.
Kedudukan BPJS Kesehatan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia sangat
penting. BPJS Kesehatan berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam
mewujudkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau.

Berdasarkan asas-asas pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia, yaitu


perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, dan keadilan, kedudukan BPJS
Kesehatan dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Asas perikemanusiaan.
Prinsip perikemanusiaan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti
bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang layak. BPJS Kesehatan berperan
untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata dan
terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk masyarakat miskin dan rentan.

2. Asas keseimbangan.
Prinsip keseimbangan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus dilakukan secara seimbang antara aspek kesehatan perorangan
dan kesehatan masyarakat. BPJS Kesehatan berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan
memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang komprehensif, baik pelayanan kesehatan
perorangan maupun pelayanan kesehatan masyarakat.

3. Asas manfaat.
Prinsip manfaat dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
6

BPJS Kesehatan berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan manfaat
pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.

4. Asas perlindungan.
Prinsip perlindungan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus melindungi masyarakat dari risiko kesehatan. BPJS Kesehatan
berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan jaminan pembiayaan pelayanan
kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk masyarakat miskin dan rentan.

5. Asas keadilan.
Prinsip keadilan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus adil bagi seluruh masyarakat. BPJS Kesehatan berperan untuk
mewujudkan prinsip ini dengan memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata dan
terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau
politik.

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan BPJS Kesehatan


dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia sangat penting. BPJS Kesehatan
berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan akses dan
mutu pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia,
berdasarkan asas-asas pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia.

Tantangan dan Peluang BPJS Kesehatan.


BPJS Kesehatan menghadapi beberapa tantangan dalam mewujudkan peranannya
sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau.

Tantangan tersebut antara lain:


1. Persepsi masyarakat yang kurang baik tentang BPJS Kesehatan.
2. Beberapa masyarakat memiliki persepsi yang kurang baik tentang BPJS Kesehatan,
misalnya terkait dengan lamanya waktu antrian, kualitas pelayanan, dan biaya
administrasi. Persepsi yang kurang baik ini dapat menghambat upaya BPJS Kesehatan
untuk meningkatkan ke pesertaan dan pemanfaatan program JKN.
3. Kurang optimalnya integrasi antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas pelayanan
kesehatan.
4. Integrasi antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan penting untuk
memastikan bahwa peserta JKN dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau. Namun, integrasi ini belum berjalan secara optimal di
beberapa daerah.
5. Kurang meratanya cakupan dan manfaat JKN.
6. Cakupan dan manfaat JKN masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini
dapat menghambat upaya BPJS Kesehatan untuk mewujudkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia.

Di samping tantangan, BPJS Kesehatan juga memiliki beberapa peluang untuk


meningkatkan peranannya dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia.
7

Peluang tersebut antara lain:


1. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan kesehatan.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan kesehatan dapat
mendorong peningkatan ke pesertaan JKN. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai upaya,
misalnya melalui edukasi dan sosialisasi tentang program JKN.
2. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat meningkatkan kepuasan peserta JKN dan
mendorong pemanfaatan program JKN. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai upaya,
misalnya melalui peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan dan peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan.
3. Peningkatan dukungan pemerintah dan masyarakat.
Peningkatan dukungan pemerintah dan masyarakat dapat membantu BPJS Kesehatan untuk
mengatasi tantangan dan mencapai tujuannya. Dukungan ini dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk, misalnya melalui penyediaan anggaran yang memadai dan peningkatan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan kesehatan.

Dengan mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada, BPJS Kesehatan
dapat meningkatkan peranannya dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. BPJS
Kesehatan dapat menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan masyarakat dalam
mewujudkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau bagi seluruh
penduduk Indonesia.

Pertanyaan :

3. Coba kita perbandingkan dan analisis hak-hak pasien berdasarkan Pasal 52 UU No.29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan hak pasien berdasarkan UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.

JAWAB :

Perbandingan Hak Pasien Berdasarkan Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan Hak Pasien Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.

1. Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran.

Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang hak pasien,
yaitu sebagai berikut:

1. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.


2. Meminta pendapat dokter lain.
3. Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis.
4. Menolak tindakan medis.
5. Mendapat isi rekam medis.

2. Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


8

Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak
konsumen, yaitu sebagai berikut:

1. Menerima barang dan/atau jasa yang sesuai dengan perjanjian.


2. Menerima informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
3. Memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar yang dijanjikan.
4. Dilindungi dari barang dan/atau jasa yang tercemar atau berbahaya bagi kesehatan,
keselamatan, dan lingkungan.
5. Mengajukan pengaduan atas barang dan/atau jasa yang cacat atau rusak.
6. Meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita.

ANALISIS :

Berdasarkan perbandingan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak pasien
berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran dan hak konsumen
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki beberapa
persamaan dan perbedaan.

Persamaan.
Persamaan antara hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Kedua hak tersebut mengatur tentang hak untuk menerima informasi yang benar, jelas,
dan jujur.
2. Kedua hak tersebut juga mengatur tentang hak untuk mendapatkan barang atau jasa
yang sesuai dengan perjanjian.
3. Kedua hak tersebut juga mengatur tentang hak untuk mengajukan pengaduan atas
barang atau jasa yang cacat atau rusak.

Perbedaan
Perbedaan antara hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran lebih
spesifik, yaitu mengatur tentang hak pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
lebih umum, yaitu mengatur tentang hak konsumen dalam mendapatkan barang atau
jasa.
9

KESIMPULAN

Hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran dan hak
konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan dua
hal yang berbeda, tetapi memiliki hubungan yang saling berkaitan. Hak pasien berdasarkan UU
No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran merupakan bagian dari hak konsumen
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan pengaturan


yang lebih spesifik tentang hak pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Hak-hak
tersebut antara lain hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis,
hak untuk meminta pendapat dokter lain, hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan
medis, hak untuk menolak tindakan medis, dan hak untuk mendapatkan isi rekam medis.

Hak-hak tersebut penting untuk dilindungi karena pasien merupakan pihak yang rentan
dan tidak memiliki kemampuan untuk memahami secara penuh tentang tindakan medis yang
akan dilakukan. Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak pasien, diharapkan pasien
dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman.

Pertanyaan :

4. Silahkan analisis kasus Penyimpangan dalam praktik kedokteran/ Medical malpractice


berikut ini :
Contoh : Operasi tonsilektomi - Korban meninggal di atas meja operasi setelah dilakukan
operasi. - Penyebab kematian karena dosis yang berlebihan dari erther ahli anasthesinya,
sedangkan indikasi untuk operasi sudah tepat.

JAWAB :

Kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai medical malpractice karena terdapat


penyimpangan dalam praktik kedokteran yang menyebabkan kematian pasien. Penyimpangan
tersebut adalah pemberian dosis ether yang berlebihan oleh ahli anestesi.

Indikasi operasi tonsilektomi pada kasus tersebut sudah tepat, yaitu untuk mengatasi
pembengkakan amandel yang menyebabkan obstruksi saluran napas. Namun, pemberian dosis
ether yang berlebihan menyebabkan pasien mengalami keracunan ether. Keracunan ether dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk gagal napas, gagal jantung, dan kematian.

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa ahli anestesi dalam kasus ini
telah melakukan kesalahan dalam memberikan dosis ether. Kesalahan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:

1. Ketidaktahuan ahli anestesi tentang dosis ether yang aman untuk pasien.
2. Kesalahan perhitungan dosis ether.
3. Kesalahan dalam pemberian ether, misalnya terlalu cepat atau terlalu lambat.
10

Untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang, perlu dilakukan upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan para tenaga kesehatan, khususnya ahli
anestesi. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan pengawasan terhadap praktik kedokteran,
termasuk pemberian dosis obat anestesi.

Berikut adalah beberapa rekomendasi untuk mencegah terjadinya kasus serupa:


1. Ahli anestesi harus menjalani pelatihan yang memadai tentang dosis obat anestesi,
termasuk dosis ether.
2. Rumah sakit harus memiliki prosedur standar untuk pemberian obat anestesi, termasuk
dosis ether.
3. Rumah sakit harus memiliki sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa
prosedur standar tersebut diikuti oleh para tenaga kesehatan.
4. Dengan adanya upaya-upaya tersebut, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya
kesalahan dalam pemberian obat anestesi, sehingga dapat mencegah terjadinya
kematian pasien.

ANALISA KASUS

Indikasi Operasi
Indikasi operasi tonsilektomi pada kasus tersebut sudah tepat, yaitu untuk mengatasi
pembengkakan amandel yang menyebabkan obstruksi saluran napas.

Penyimpangan dalam Praktik Kedokteran


Penyimpangan dalam praktik kedokteran pada kasus ini adalah pemberian dosis ether
yang berlebihan oleh ahli anestesi. Kesalahan tersebut menyebabkan pasien mengalami
keracunan ether dan meninggal di atas meja operasi.

Faktor Penyebab Kesalahan Anestesi

Kesalahan anestesi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:

1. Ketidaktahuan ahli anestesi tentang dosis ether yang aman untuk pasien.
2. Kesalahan perhitungan dosis ether.
3. Kesalahan dalam pemberian ether, misalnya terlalu cepat atau terlalu lambat.
4. Kurangnya komunikasi antara ahli anestesi dan tim bedah.
5. Minimnya rekomendasi Pencegahan.

Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan.


Ahli anestesi harus menjalani pelatihan yang memadai tentang dosis obat anestesi,
termasuk dosis ether. Pelatihan tersebut harus mencakup pengetahuan tentang farmako kinetik
dan farmakodinamik ether, serta efek samping dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya.
11

Standarisasi Prosedur Anestesi.


Rumah sakit harus memiliki prosedur standar untuk pemberian obat anestesi, termasuk
dosis ether. Prosedur tersebut harus disusun berdasarkan rekomendasi dari lembaga-lembaga
terkait dan harus diikuti oleh semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam pemberian anestesi.

Peningkatan Pengawasan.
Rumah sakit harus memiliki sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa
prosedur standar pemberian anestesi diikuti oleh para tenaga kesehatan. Sistem pengawasan
tersebut harus mencakup monitoring pemberian dosis obat anestesi, observasi pasien selama
dan setelah operasi, serta pelaporan dan analisis insiden terkait anestesi.

KESIMPULAN

Kasus operasi tonsilektomi yang berujung fatal akibat kesalahan anestesi merupakan
contoh nyata dari pentingnya penerapan praktik kedokteran yang aman dan berkualitas.
Dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, menstandarkan prosedur
anestesi, dan meningkatkan pengawasan, diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus serupa
di masa mendatang.

Pertanyaan :

5. Pada saat ini terdapat pergeseran paradigma dalam hubungan interpersonal di dalam
hukum kesehatan, yang sebelumnya berdasarkan pola hubungan vertikal paternalistik
menjadi pola hubungan horizontal kontaktual. Konsekuensi dari hubungan horizontal
kontaktual munculnya inspanning verbintenis yaitu adanya hubungan hukum antara 2
(dua) subjek hukum dan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Adanya
Inspanning verbintenis dikarenakan objek transaksi adalah upaya penyembuhan yang
hasilnya tidak pasti dampaknya dan karenanya upaya tersebut dilakukan dengan kehati-
hatian. Coba kita jelaskan disertai contoh kasus.

JAWAB :

Hukum kedokteran merupakan bagian inti atau bagian terpenting dari hukum kesehatan
yang di dalamnya mengatur hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan antara dokter
dengan pasien adalah hubungan seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan
vertikal paternalistik di mana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk
mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien.

Dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian
tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih demokratis yaitu
hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi. Di Indonesia masalah pertanggungjawaban
dokter baik di bidang perdata maupun di bidang pidana mulai banyak dibicarakan baik di
kalangan praktisi maupun teoritisi hukum. Maka, perkembangan hukum kedokteran di
Indonesia harus diselaraskan dengan politik hukum nasional. Artinya, ke depan hukum
12

kedokteran di Indonesia harus merupakan consensus antara ahli hukum dan ahli kedokteran
sehingga akan lebih fleksibel di dalam proses perkembangannya serta dapat seirama dengan
pembangunan di bidang lainnya.

Pola paternalistik adalah pola hubungan antara ayah (dalam hal ini dokter) dan anak
(dalam hal ini pasien), di mana dokter sebagai father knows best, pasien kedudukannya di
bawah dokter (vertikal).
Pola hubungan horizontal kontraktual merupakan hubungan hukum antara dokter dan
pasien di mana kedudukan antara pasien dan dokter sederajat atau sejajar di mana adanya rasa
saling menghormati hak dan kewajiban para pihak baik dokter maupun pasien.

Inspanning Verbintenis adalah kesepakatan atau persetujuan untuk melakukan upaya


maksimal dalam melaksanakan apa yang telah disepakati, sedangkan Resultaat Verbintenis
adalah kesepakatan yang akan memberikan hasil yang konkrit yaitu sesuai dengan apa yang
telah disepakati.

Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Pengobatan Tradisional Dalam Praktik


Pengobatan Tradisional.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 1076/


MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan tradisional, pengobat tradisional
adalah orang yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif). Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan nomor: 1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional, Pengobatan tradisional diklasifikasikan dalam jenis keterampilan, ramuan,
pendekatan agama dan supranatural. Hubungan Pengobatan tradisional dengan pasien terdapat
2 (dua) pola hubungan, yakni pola hubungan vertikal dan pola hubungan horizontal yang
kontraktual. Dalam hal hubungan vertikal, melihat dari sisi kedudukan pengobatan tradisional
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna jasa
pelayanan kesehatan. Adapun hubungan horizontal kontraktual, kedudukan antara penerima
jasa layanan kesehatan dan pemberi jasa layanan kesehatan mempunyai kedudukan yang sama.
Pemberi dan penerima layanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban masing-masing, sebagai
contoh pemberi pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan informasi terkait
metode / cara pengobatan tradisional sesuai dengan keahliannya sedangkan penerima jasa
pelayanan kesehatan memiliki hak untuk persetujuan apakah metode tersebut dapat dilakukan
oleh pemberi pelayanan jasa kesehatan. Soejono Soekanto mengemukakan pendapatnya yang
menyatakan bahwa:

““Hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan


hukum keperdataan, di mana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan
penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan
penyakit pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan
hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang
sederajat”

Hubungan hukum tersebut di atas merupakan transaksi terapeutik yang didasarkan pada
perjanjian. Dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil (Resultaat Verbintenis) atau
13

kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan, melainkan perjanjian tersebut berupa upaya
atau usaha (Inspanning Verbintenis) semaksimal mungkin dari dokter dalam upayanya
melakukan penyembuhan terhadap pasiennya secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang layak. Transaksi terapeutik merupakan kegiatan dalam penyelenggaraan
praktik pelayanan kesehatan berupa pemberi pelayanan kesehatan secara individu yang
didasarkan rasa keahlian dan keterampilan, serta ketelitian. Jika dikaitkan dengan pelayanan
kesehatan berupa pengobatan tradisional, pengobatan tradisional itu merupakan bagian dari
kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung
penyelenggaraannya, yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung
jawabnya.

Dengan demikian, hubungan hukum antara pengobatan tradisional dengan pasien dapat
terjadi karena perjanjian. Perjanjian antara pengobat tradisional dengan pasien ini bersifat
timbal balik, dalam arti bahwa perjanjian tersebut akan melahirkan prestasi dari masing-masing
pihak, dengan lahirnya prestasi / kewajiban yang harus dilakukan masing-masing pihak maka
lahirlah hak – hak yang harus diterima oleh para pihak. Dengan demikian maka hubungan
hukum yang timbul antara pengobatan tradisional dengan pasien dalam pelayanan kesehatan
haruslah tunduk pada ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam BW (
Buegerlijk Wetboak ). Bahwa dalam perjanjian terapeutik yang terjadi pada pengobatan
tradisional ini merupakan perikatan usaha (inspanning verbintenis), perikatan yang didasarkan
dari usaha (pemeliharaan, perawatan, pengabdian) guna mencapai suatu tujuan tertentu dalam
bidang pengobatan tradisional, bukan merupakan hasil dari perjanjian tersebut dalam hal ini
kesembuhan kesehatan pasien.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 1076/MENKES/SK/ VII/2003 tentang


penyelenggaraan pengobatan tradisional, hubungan hukum antara pengobatan tradisional
dengan pasien secara eksplisit terkandung dalam Pasal 15 ayat (1) dan (3), dapat ditafsirkan
bahwa hubungan hukum antara pengobatan tradisional dengan pasien dalam pelayanan
kesehatan merupakan hubungan hukum keperdataan yang didasarkan pada kesepakatan para
pihak. Pengobatan tradisional harus memberikan informasi terkait metode pengobatannya dan
pasien diberikan hak persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan pengobatan tradisional,
artinya adalah apa yang dikehendaki oleh pasien, dikehendaki pula oleh pengobatan tradisional.
Pasien harus percaya dengan metode-metode yang digunakan pengobatan tradisional dalam
pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk penyembuhan pasien, demikian pula pengobatan
tradisional harus mempercayai keluhan-keluhan yang diutarakan oleh pasien agar pengobatan
tradisional mengetahui tindakan yang harus dilakukan dalam pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan kondisi pasien.

Hubungan pengobatan tradisional dengan pasien secara yuridis dapat diartikan sebagai
kontrak. Kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu
hal (solis). Dilihat dari segi transaksi terapeutik, pihak pertama dalam hal ini pengobatan
tradisional adalah pihak yang memberikan pelayanan, sedangkan pihak yang kedua dalam hal
ini pasien adalah pihak yang menerima kontrak pelayanan tersebut. Pasien datang kepada
pengobatan tradisional sebagai bentuk rasa percaya untuk diberikan suatu pelayanan kesehatan,
sedangkan pengobatan tradisional menerima kedatangan pasien tersebut dan bersedia untuk
memberikan pelayanan kesehatan. Hubungan Hukum antara pasien dengan pengobatan
14

tradisional merupakan perjanjian terapeutik, dalam hubungan tersebut terdapat hubungan


kontraktual, dalam perjanjian tersebut juga harus memenuhi unsur syarat sah perjanjian yang
ada dalam pasal 1320 BW, yaitu Kesepakatan para pihak, Kecakapan untuk membuat
perikatan, suatu hal tertentu dan kaidah yang diperbolehkan. Kesepakatan para pihak, yang
dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan atau penipuan
(Pasal 1321 BW).

Dalam transaksi terapeutik, seseorang (calon pasien) yang merasa kesehatannya terdapat
gangguan mendatangi tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pengobatan tradisional. Dengan
adanya tindakan tersebut berarti adanya rasa percaya dengan pengobatan tradisional yang
dituju. Pasien yang mendatangi pengobatan tradisional menyampaikan keluhan terhadap
penyakit yang diderita, pengobatan tradisional harus memberikan informasi yang jelas
mengenai metode pengobatan, tindakan pengobatan maupun hal-hal yang harus dilakukan
pasien untuk mendukung penyembuhan dari pihak pasien. Jika pasien terdapat rasa kecocokan
dengan metode pengobatan tradisional yang diberikan maka di sini terdapat hak pasien untuk
menyatakan persetujuan. Dengan demikian terdapat kesamaan kehendak antara para pihak
maka timbullah kesepakatan. Kecakapan untuk membuat perikatan, maka dapat disimpulkan
bahwa, kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri,
sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Berarti, tidak
kewenangan hanya menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu, dan
orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak.

Suatu hal tertentu, Dalam pasal 1333 BW dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit tertentu jenisnya. Dihubungkan
dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah suatu yang perlu
ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat
dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan oleh sikap
saling percaya antara pengobatan tradisional dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan
yang dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan
pengobatan tradisional. Standar pelayanan pengobatan tradisional ini dapat dilihat dari
pengobatan tradisional tersebut sudah memiliki izin atau tidak memiliki izin. Pemberian izin
ini kewenangan dari pemerintah kota/kabupaten hal ini tercantum dalam pasal 6 huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan
tradisional. Dengan diberikannya izin tersebut pemerintah menganggap bahwa klinik / tenaga
pengobatan tradisional tersebut memiliki keahlian dan kompetensi di bidangnya sesuai dengan
standar yang sudah diberikan pemerintah. Kasus yang diperbolehkan, hal ini tidak disebutkan
secara tegas dalam Undang-undang, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut pasal
1335 BW dan 1337 BW. Dari pasal yang sudah dijelaskan di atas, jika ditafsirkan secara
contrario dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang diperbolehkan adalah sebab
yang tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang
dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, sebagai
contoh tindakan pengguguran kandungan atau aborsi dengan alasan apa pun merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, sebagai contoh adalah tindakan pengguguran kandungan.
Pengguguran kandungan dilarang oleh Undang-undang, pengguguran kandungan tersebut
diperbolehkan jika alasan untuk melakukan tindakan tersebut sesuai dengan Pasal 75 Undang-
undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
15

Upaya Hukum Akibat Tindakan Mal praktik Yang Dilakukan Oleh Pengobat
Tradisional.

Mal praktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata
“practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Perbuatan malpractice menurut kamus Inggris
Horrby dan Black menekankan pada tindakan lalai (negligence, neglost of duty), berbeda jauh
dari Couglin yang menekankan pada 3 isi yang terdiri dari perbuatan yang sengaja salah
(intention wrong doing), perbuatan menyimpang yang tidak sah menurut hukum (illegal
practice), dan perbuatan salah yang tidak etis (unethical practice).

Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka
sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian untuk
mengganti kerugian yang timbul. Seseorang korban yang dalam hal ini adalah pasien, dari
tindakan tersebut mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga adalah hal yang
sudah wajar jika mereka yang dirugikan tersebut mendapatkan imbalan berupa ganti rugi dari
pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut. Hal tersebut merupakan perlindungan
hukum bagi pasien dalam hal terdapat kerugian dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan.

Dalam hukum perdata, terdapat konsep atau pengaturan mengenai perbuatan melanggar
hukum. Perbuatan melanggar hukum atau disebut juga dengan onrechmatige daad merupakan
perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk
perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
melanggar hukum yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.

Berdasarkan Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada putusan


nomor 740/Pdt.G/2010/PN.Surabaya, menerangkan kasus posisi pada pokoknya bahwa Tri
Diana Widiowati adalah pasien pada klinik/griya terapi pengobatan alternatif stroke, vertigo
dan migrain yang dipimpin oleh Agus Suyanto. Pada saat konsultasi, Tri Diana Widyowati
menceritakan keluhan yang diderita olehnya kepada Agus Suyanto. Berdasarkan konsultasi
tersebut Agus Suyanto memastikan bahwa penyakit yang diderita oleh Tri Diana Widyowati
adalah vertigo. Dari hasil komunikasi tersebut dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Agus
Suyanto, Agus Suyanto memberikan alternatif pengobatan menurut keahliannya kepada Tri
Diana Widyowati dengan 2 (dua) alternatif cara pengobatan yaitu pengobatan secara rawat inap
atau rawat jalan. Mereka membuat kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian sebanyak 3
(tiga) halaman yang berisikan klausul-klausul kesepakatan, Bahwa setelah menjalankan terapi
pengobatan tradisional, Tri Diana Widyowati mengalami kemunduran kesehatan anggota
tubuhnya, anggota tubuhnya mengalami 50% (lima puluh persen) kelumpuhan setelah berobat
ke klinik/griya Agus Suyanto. Tri Diana Widyowati berobat ke Rumah Sakit Angkatan Darat
(RSPAD) ternyata setelah di diagnosa secara medis ditemukan urat syaraf pada tengkuk leher
menuju kepala atau jaringan otak mengalami memar atau pecah akibat dari pemijitan secara
16

berlanjut yang dilakukan oleh Agus Suyanto yang akibatnya anggota tubuh Tri Diana
Widyowati mengalami 50% (lima puluh persen) kelumpuhan.

Pengobatan tradisional berkewajiban untuk mematuhi standar pelayanan dan standar


prosedur operasional sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang nomor 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan nomor:
1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Adapun
ketentuan mengenai standar profesi tersebut ditetapkan oleh asosiasi pengobatan tradisional
yang mengeluarkan rekomendasi atas penerbitan izin praktik pengobatan tradisional yang
dikeluarkan oleh pemerintah.

Dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, bahwa terdapat hubungan hukum yang terjadi
antara Tri Diana Widyowati (selanjutnya disebut sebagai pasien) dan agus suyanto (selanjutnya
disebut sebagai pengobatan tradisional). Dalam kasus ini perikatan yang timbul dari perjanjian
terapeutik merupakan perikatan usaha (inspaningverbentenis), yang merupakan suatu perikatan
di mana debitur (pengobatan tradisional) berkewajiban dengan suatu usaha (pemeliharaan,
perawatan, pengabdian) guna mencapai suatu tujuan tertentu. Kewajiban dari pengobatan
tradisional bukanlah keharusan adanya hasil kesembuhan dari pasien, melainkan upaya/usaha
yang dilakukan oleh Agus Suyanto sebagai pengobatan tradisional haruslah sesuai dengan
standar profesi. Pengobatan tradisional berkewajiban untuk mematuhi standar pelayanan dan
standar prosedur operasional sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang
nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan nomor:
1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Adapun
ketentuan mengenai standar profesi tersebut ditetapkan oleh asosiasi pengobatan tradisional
yang mengeluarkan rekomendasi atas penerbitan izin praktik pengobatan tradisional yang
dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam hal ini, walaupun terdapat perjanjian antara pasien dan pengobatan tradisional,
namun dalam perjanjian tersebut tidak diatur mengenai akibat dari kelalaian yang disebabkan
oleh pengobatan tradisional terhadap pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien di Rumah
Sakit Angkatan Darat (RSPAD) yang mendiagnosa bahwa ditemukan urat syaraf pada tengkuk
leher menuju kepala atau jaringan otak mengalami memar atau pecah akibat dari pemijitan
secara berlanjut yang dilakukan oleh pengobatan tradisional, yang mengakibatkan pasien
mengalami kelumpuhan 50% anggota tubuh, mengindikasikan adanya tindakan mal praktik
yang dilakukan oleh pengobatan tradisional terhadap pasien. Atas tindakannya tersebut, Agus
Suyanto selaku pengobatan tradisional tidak memenuhi unsur kedua dalam pemberian
pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
yakni “ Keterampilan tersebut secara empiris dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.”, dan dalam hal ini pengobatan tradisional
tidak dapat mempertanggungjawabkan keterampilannya melalui teknik pemijatan yang telah
menyebabkan anggota badan pasien 50% lumpuh.

Bertambah buruknya kondisi kesehatan pasien pasca dilakukannya suatu tindakan oleh
pengobat tradisional, akan memberikan asumsi bagi pasien bahwa telah terjadi mal praktik atau
tindakan kelalaian yang dilakukan oleh pengobatan tradisional dan kondisi tersebut pun
menjadi dasar bagi pasien untuk mengajukan gugatan terhadap pengobatan tradisional tersebut.
17

Dalam hal pasien bermaksud untuk mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi, maka
pasien harus membuktikan pengobatan tradisional tidak memenuhi kewajibannya yang timbul
dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual). Pasien akan kesulitan membuktikan
di mana letak wanprestasi yang dilakukan oleh pengobatan tradisional sekali pun pengobatan
tradisional sudah menjanjikan bahwa pengobatan yang dilakukan oleh pengobatan tradisional
kepada pasien akan mendapatkan hasil kesembuhan 100% dari penyakit yang diderita. Tolak
ukur pada kasus ini tidak dapat dilihat dari sisi hasil kesembuhan yang akan didapat oleh
pasien, melainkan dari usaha yang dilakukan oleh pengobatan tradisional.

Berdasarkan Pasal 58 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
disebutkan bahwa Setiap orang berhak menuntut ganti rugi kepada seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dalam hal ini pasien dapat
mengajukan gugatan dengan dasar perbuatan melanggar hukum, pasien harus dapat
membuktikan bahwa pengobatan tradisional melanggar unsur-unsur yang terdapat 1365 BW,
yakni (1) apakah perbuatannya melanggar undang-undang, (2) apakah perbuatannya melanggar
hak subjektif orang lain, (3) apakah perbuatannya bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, (4) apakah perbuatannya bertentangan dengan kesusilaan atau kehati-hatian yang
sepatutnya dalam masyarakat. Bahwa transaksi terapeutik ini termasuk dalam perikatan usaha,
dilihat dari sisi pembuktian, Agus Suyanto selaku pengobatan tradisional harus membuktikan
bahwa ia cukup berusaha untuk mencapai tujuannya (bukan hasilnya, tetapi usaha yang
dibebankan).

Hal ini berkaitan dengan pembuktian yang harus dibuktikan oleh pasien di dalam
persidangan. Pihak pengobatan tradisional harus membuktikan melalui dalil-dalilnya bahwa ia
melakukan tindakannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur
operasional, sedangkan Pihak pasien harus dapat membuktikan di mana letak tindakan
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pengobatan tradisional, sekali pun nantinya
majelis hakim yang memeriksa perkaralah yang berhak untuk menjatuhkan beban pembuktian
kepada para pihak.

Jika pengobatan tradisional terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum atau pun
melakukan mal praktik terhadap pasien, maka pengobatan tradisional dapat di pertanggung
gugatkan. Bentuk tanggung gugat pengobatan tradisional adalah mengganti kerugian materiil
akibat perbuatan dari pengobatan tradisional yang merugikan pasien. Dari perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pengobatan tradisional tidak hanya menimbulkan
kerugian materiil tetapi dapat menimbulkan kerugian immaterial. Kerugian materiil yaitu
kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita dan dapat dihitung secara pasti oleh pihak yang
dirugikan, sedangkan kerugian immaterial adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan
akan diterima oleh pihak yang dirugikan di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan
keuntungan yang mungkin diterima oleh pihak yang dirugikan di kemudian hari.

Adapun bentuk tanggung gugat pengobatan tradisional dalam perkara di atas adalah
berupa ganti rugi. Bentuk ganti rugi tersebut tidak hanya berbentuk pembayaran sejumlah uang
tetapi dapat juga berupa barang/jasa yang sejenis atau setara nilainya atau berupa perawatan
kesehatan untuk mengembalikan kondisi pasien. Bentuk ganti rugi tersebut dapat juga dalam
18

bentuk tanggung jawab pengobatan tradisional untuk mengobati pasien di tempat pengobatan
lain atau pun pengobatan secara medis. Pengobatan tradisional bertanggung jawab atas biaya
yang timbul dari pengobatan secara medis, termasuk biaya dokter, biaya rumah sakit maupun
biaya obat yang dibutuhkan.

KESIMPULAN

Hubungan hukum antara Pengobatan Tradisional dengan Pasien adalah Perjanjian


Terapeutik di mana para pihak melakukan transaksi dalam bidang pelayanan jasa kesehatan
didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan di bidang Pengobatan
Tradisional. Dalam perjanjian terapeutik harus memenuhi unsur syarat sah nya perjanjian yang
ada dalam Pasal 1320 BW.

Di mana dalam tindakan pengobatan tradisional tersebut terdapat tindakan-tindakan


yang tidak memenuhi standar profesi pengobatan tradisional, sehingga pasien dapat
mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 1365
BW jo Pasal 1371 BW dan pengobatan tradisional juga bertanggung gugat atas tindakan yang
dilakukan melanggar hukum sepanjang gugatan yang dilakukan oleh pasien tersebut terbukti
di dalam persidangan sesuai dengan pembuktian yang diatur di dalam pasal 1865 BW. Pasien
lebih memahami bahwa hubungan hukum antara tenaga kesehatan dalam hal ini pengobatan
tradisional dengan pasien adalah hubungan hukum perjanjian terapeutik dengan demikian
melahirkan aspek hukum Inspanning Verbintenis sehingga objek dari perjanjian tersebut
adalah usaha dari pengobatan tradisional dengan berusaha semaksimal mungkin
menyembuhkan pasien dengan keahlian nya sehingga bukan suatu janji hasil yang pasti
diterima pasien berupa kesembuhan terhadap penyakitnya (Resultaats Verbintenis).

Dilihat dari putusan-putusan hakim terkait gugatan perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan tenaga kesehatan dan dilihat pula dari cara membuktikan pengobatan tradisional
dalam melakukan tindakannya sudah memenuhi pengobatan standar profesi, standar pelayanan
dan standar prosedur operasional, gugatan dari pasien yang dirugikan / dilanggar haknya,
mayoritas putusan tersebut tidak terbukti karena ter kendala dengan sulitnya pembuktian
adanya perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian diperlukannya peraturan menteri
kesehatan terkait standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur untuk pengobatan
tradisional secara teknis dan terperinci. Terkait hal tersebut pemerintah juga melakukan
pendaftaran terkait standar prosedur pengobatan tradisional khususnya pengobatan tradisional
dengan keterampilan agar terdapat keterbukaan informasi terkait standar profesi pengobatan
tradisional dan dapat dipahami lebih jelas oleh masyarakat atau pasien.
19

Pertanyaan :

6. Bagaimanakah menurut saudara perkembangan Hukum Kesehatan dewasa ini terutama


di Indonesia dikaitkan dengan pengaturan lex spesialis fokus ke norma keprofesian:
kompetensi, kewenangan, pelayanan kesehatan, pembinaan dan pengawasan.

JAWAB :

Sejak beberapa dekade terakhir, hukum kesehatan mengalami perkembangan secara


bertahap. Perkembangan ini dipengaruhi berbagai aspek yang terkait kebutuhan
masyarakat untuk hidup secara sehat. Kemajuan di berbagai bidang sosial, ekonomi,
politik, bahkan teknologi telah banyak mempengaruhi kehidupan di tengah-tengah
masyarakat. Kemajuan ini mendorong terjadinya pergeseran paradigma masyarakat
terhadap kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang baik. Masyarakat semangkin kritis
akan kebutuhannya, termasuk di dalamnya kesadaran akan hak pelayanan kesehatan yang
baik. Perbedaan persepsi yang dipahami antara praktisi kesehatan dan masyarakat
penerima pelayanan kesehatan dapat berujung pada mispersepsi di antara kedua belah
pihak. Oleh karenanya hukum kesehatan menjadi hal yang penting untuk dipahami, untuk
mendudukkan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam upaya pelayanan
kesehatan.

Perkembangan hukum kesehatan di Indonesia di inisiasi pada tahun 1982 di Jakarta


dengan dimulainya pembentukan kelompok studi hukum kedokteran pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo. Pada tahun 1983
di Jakarta di bentuk lah perhimpunan untuk hukum kedokteran Indonesia ( PERHUKI ).
Kemudian perhimpunan tersebut berubah menjadi perhimpunan hukum kesehatan
Indonesia ( PERHUKI ) pada kongres 1 PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.

Perkembangan hukum kesehatan tidak dapat terlepas dari perkembangan hukum


kesehatan positif yang berlaku. Undang-undang kesehatan telah tiga kali di
Implementasikan dalam tiga produk hukum berupa Undang-undang.
Undang-undang tersebut adalah :

a. Undang-undang No.90 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan.


b. Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan.
c. Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Terdapat perbedaan di antara ke tiga produk hukum tersebut. Perbedaan tersebut terlihat
dari jumlah pasal berikut isi dari Undang-undang tersebut pada Undang-undang No.90
tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan terdapat 17 pasal yang membahas tentang
kesehatan dan disahkan oleh pejabat Presiden Indonesia, Djuanda. Undang-undang No.23
tahun 1992 tentang kesehatan memuat 90 pasal dan disahkan oleh Presiden Indonesia,
Soeharto. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, sebagai Undang-undang
20

terbaru tentang kesehatan, memuat 205 Pasal terkait bidang kesehatan dan disahkan oleh
Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono.

Perkembangan tentang hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia terlihat dari jumlah
pasal dan isi Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan dari ke 3 produk hukum
Undang-undang kesehatan tersebut. Undang-undang No.90 tahun 1960 tentang pokok-
pokok kesehatan mengatur bidang kesehatan melalui 17 pasal. Dalam Undang-undang
tersebut telah dipahami bahwa kesehatan merupakan hak warga negara dan mereka berhak
pula dilibatkan dalam upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi
kesehatan yang tercantum dalam Undang-undang tersebut masih terlalu sederhana karena
hanya membatasi kesehatan sebagai kesehatan badan, rohani ( mental ) dan sosial, dan
bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Upaya kesehatan
berupa upaya preventif, promotif, Kuratif dan rehabilitatif telah mulai dibahas dalam
Undang-undang ini dan pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk :

a. Pencegahan dan pemberantasan penyakit.


b. Pemulihan kesehatan.
c. Penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat.
d. Pendidikan tenaga kesehatan.
e. Perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan.
f. Penyelidikan-penyelidikan.
g. Pengawasan.
h. Lain-lain usaha yang diperlukan.

Perkembangan hukum kesehatan dewasa ini di Indonesia dikaitkan dengan pengaturan


terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu dari segi:

Kompetensi :
Kualifikasi medis mengharuskan setiap orang untuk memiliki tingkat kualifikasi medis
tertentu yang sesuai dengan kualifikasi yang harus mereka peroleh selama pelatihan
medis. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah kompetensi terendah atau tertinggi dari
tenaga medis yang sama, melainkan rata-rata kompetensi dokter (kompetensi wajar).
Selain itu, dokter harus memiliki izin medis yang diperoleh dari otoritas kesehatan untuk
bertindak sebagai praktisi. Otorisasi formal diperoleh dengan memperoleh “surat
otorisasi” (atau nantinya sebagai sertifikat pendaftaran), sedangkan otorisasi substantif
diperoleh dengan memperoleh izin praktik.

Dengan izin resmi, operasi kedokteran dapat dilakukan di puskesmas di bawah


pengawasan direktur lembaga dengan surat tugas, di bawah pengawasan seorang pendidik,
di samping belajar di lembaga pelayanan kesehatan atau pelatihan profesi. Begitu pula
dengan seseorang yang mempunyai kekuatan material mempunyai kuasa penuh untuk
melakukan praktik kedokteran, karena SIP dokter menurut UU Praktik Kedokteran Nomor
29/2004 hanya berlaku pada satu tempat kegiatan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
dokter tidak diperbolehkan memberikan pelayanan atau tindakan medis di tempat lain di
seluruh Indonesia.
21

Kewenangan :
Tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan mustahil pelayanan kesehatan dapat diberikan. Dalam
UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009 mendefinisikan tenaga kesehatan sebagai: “setiap orang
yang bergerak di bidang kesehatan dan yang melalui pelatihan di bidang kesehatan
mempunyai pengetahuan dan/atau keterampilan yang memerlukan izin untuk memberikan
jenis pelayanan kesehatan tertentu”. Segala sesuatu yang berkaitan dengan tenaga
kesehatan, mulai dari proses rekrutmen, penempatan dan pelaksanaannya, hingga
tanggung jawab pekerjaannya secara keseluruhan, diatur oleh pemerintah.

Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 mengatur masalah ini, yaitu: a)


Pemerintah mengatur perencanaan, perolehan, penggunaan, pengembangan dan
pengendalian mutu tenaga kesehatan sehubungan dengan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan; dan b) Perencanaan, perolehan, penggunaan, pengembangan dan pengendalian
mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan
pemerintah. Untuk menjamin tambahan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan
kewajiban tenaga kesehatan serta tanggung jawabnya terhadap masyarakat, maka
penyelenggara pelayanan kesehatan diatur tersendiri dalam undang-undang.

Pelayanan Kesehatan :
Tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan mustahil pelayanan kesehatan dapat diberikan. Dalam
UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009 mendefinisikan tenaga kesehatan sebagai: “setiap orang
yang bergerak di bidang kesehatan dan yang melalui pelatihan di bidang kesehatan
mempunyai pengetahuan dan/atau keterampilan yang memerlukan izin untuk memberikan
jenis pelayanan kesehatan tertentu”. Segala sesuatu yang berkaitan dengan tenaga
kesehatan, mulai dari proses rekrutmen, penempatan dan pelaksanaannya, hingga
tanggung jawab pekerjaannya secara keseluruhan, diatur oleh pemerintah.

Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 mengatur masalah ini, yaitu: a)


Pemerintah mengatur perencanaan, perolehan, penggunaan, pengembangan dan
pengendalian mutu tenaga kesehatan sehubungan dengan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan; dan b) Perencanaan, perolehan, penggunaan, pengembangan dan pengendalian
mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan
pemerintah. Untuk menjamin tambahan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan
kewajiban tenaga kesehatan serta tanggung jawabnya terhadap masyarakat, maka
penyelenggara pelayanan kesehatan diatur tersendiri dalam undang-undang.

Pembinaan :
Pemerintah mengatur perencanaan, perolehan, penggunaan, pelatihan dan pemantauan
berkualitas tinggi terhadap petugas kesehatan secara berurutan pelaksanaan pelayanan
kesehatan. aturan desain, personel, pemanfaatan, pengembangan dan pengendalian
kualitas Kesehatan ini diatur dengan peraturan pemerintah. Begitulah peraturannya tenaga
kesehatan diatur dengan undang-undang.

Pengawasan :
22

Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu tinggi


dan adil serta tidak diskriminatif. Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab
atas pemberian layanan kesehatan seperti yang disebutkan di atas. Kontrol aplikasi
Layanan kesehatan disediakan oleh negara bagian, kota regional dan hadirin Selain itu,
pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.

KESIMPULAN

Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara dan menjadi kewajiban bagi negara
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara. Kesehatan juga dipahami sebagai salah
satu indikator kesejahteraan sebagaimana amanat Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Seluruh upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sudah seharusnya diberikan secara adil dan merata, tanpa diskriminasi, dan
berkesinambungan guna terpenuhinya kualitas sumber daya manusia yang baik. Dengan
sumber daya manusia yang baik maka harapannya bangsa Indonesia ke depan memiliki
ketahanan nasional dan daya saing yang semangkin tinggi.

Perkembangan hukum kesehatan yang terjadi dari waktu ke waktu merupakan


konsekuensi logis dari meningkatnya kebutuhan dan tantangan dalam bidang kesehatan.
Hukum yang ada selalu mengikuti perkembangan dari objek yang diaturnya. Sehingga tidak
heran terkadang hukum tertinggal dari kejadian yang memerlukan pengaturannya. Oleh
karenanya menjadi penting bagi seluruh pihak baik tenaga kesehatan, aparat hukum,
pemerintah, bahkan masyarakat senantiasa mengikuti perkembangan hukum kesehatan yang
berlaku.

Bagi tenaga kesehatan, pemahaman yang baik terhadap hukum kesehatan dapat
menjamin perlindungan profesi selama melakukan tindakan profesional sejalan dengan kode
etik profesi dan hukum yang berlaku. Begitu pula lagi penegak hukum, pemahaman yang baik
tentang hukum kesehatan dapat memberikan gambaran yang utuh terkait kasus-kasus hukum
di bidang kesehatan yang sedang ditanganinya agar mampu memberikan pandangan hukum
dan keputusan hukum yang berkeadilan.

Bagi pemerintah, mengikuti perkembangan hukum yang berlaku menjadi masukan


dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan tanpa bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat juga memiliki kepentingan untuk memahami
hukum kesehatan karena terkait dengan hak dan kewajibannya dalam bidang kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai