UAS 9B Agus Rianto - Manajemen Hukum Asuransi Dan Kesehatan
UAS 9B Agus Rianto - Manajemen Hukum Asuransi Dan Kesehatan
MATA KULIAH
DOSEN:
Prof. Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH.
NIM : 71220076
Kelas : 9B
Dalam dunia kesehatan saat ini masalah hukum seringkali terjadi berkaitan dengan adanya
pengaduan maupun pelanggaran hukum dalam praktik kesehatan yang dialami baik oleh pasien
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga kesehatan sebagai pihak yang
memberikan pelayanan medis. Berbagai regulasi perundang- undangan dan Peraturan Menteri
Kesehatan yang mengatur tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan sudah diberlakukan,
antara lain :
- Undang-undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit - PMK 269 /2008 tentang
Rekam Medik
- PMK 290 /2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (InformedConsent)
Pertanyaan :
1. Coba jelaskan kelima Prinsip dalam asuransi kaitannya dengan trilogi perundang-
undangan Tentang Hukum Kesehatan, Praktik Kedokteran dan Rumah Sakit , apakah
prinsip Subrograsi (Subrogration Principle) pengalihan hak untuk menuntut pihak ke 3
penyebab kerugian dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap korban yang
mengalami mal praktik?
JAWAB :
Prinsip-prinsip asuransi.
Prinsip-prinsip asuransi adalah pedoman dasar yang harus diterapkan dalam kegiatan
usaha asuransi. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak yang
terlibat dalam kegiatan usaha asuransi, yaitu pemegang polis, tertanggung, dan penanggung.
Prinsip insurable interest ini berarti bahwa pemegang polis harus memiliki kepentingan yang
dapat diasuransikan atas objek yang diasuransikan. Kepentingan ini dapat berupa kepentingan
ekonomi, kepentingan moral, atau kepentingan sosial.
Dalam hukum kesehatan, prinsip insurable interest ini diatur dalam Pasal 1 angka 11
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan
bahwa insurable interest adalah kepentingan yang wajar dan dapat dibuktikan yang dimiliki
oleh seseorang terhadap objek asuransi.
2. Prinsip indemnity.
Indemnity adalah mekanisme penggantian keuangan yang cukup untuk menggantikan
posisi tertanggung pada posisi keuangan yang sama setelah terjadi kerugian sebagaimana dia
nikmati sesaat sebelum terjadi kerugian.
Prinsip indemnity ini berarti bahwa penanggung hanya berkewajiban untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh tertanggung. Ganti rugi yang diberikan oleh penanggung tidak
boleh melebihi kerugian yang diderita oleh tertanggung.
Dalam hukum kesehatan, prinsip indemnity ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
perusahaan asuransi kesehatan berkewajiban untuk memberikan penggantian biaya pelayanan
kesehatan yang wajar dan sesuai dengan manfaat yang tercantum dalam polis.
Hal ini berarti bahwa pemegang polis harus memberikan informasi yang benar dan
lengkap kepada penanggung, sedangkan penanggung harus memberikan informasi yang
lengkap dan akurat kepada pemegang polis.
Dalam hukum kesehatan, prinsip utmost good faith ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
pemegang polis dan perusahaan asuransi kesehatan berkewajiban untuk memberikan informasi
yang lengkap dan akurat.
4. Prinsip cessibiltas
Prinsip cessibiltas ini berarti bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian asuransi
dapat dialihkan kepada pihak lain. Hal ini berarti bahwa pemegang polis dapat mengalihkan
haknya kepada pihak lain, sedangkan penanggung dapat mengalihkan kewajibannya kepada
pihak lain.
Dalam hukum kesehatan, prinsip cessibiltas ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
3
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian asuransi kesehatan dapat dialihkan kepada pihak
lain.
5. Prinsip subrogasi
Subrogasi merupakan Hak setiap orang setelah mengganti rugi tertanggung di bawah
kewajiban hukum untuk berdiri di posisi tertanggung dan mengambil alih hak tertanggung dan
guna mendapatkan ganti rugi dari pihak lain ( pihak lain yang menyebabkan dan seharusnya
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi ).
Prinsip subrogasi ini berarti bahwa penanggung berhak untuk menggantikan kedudukan
tertanggung terhadap pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
tertanggung.
Dalam hukum kesehatan, prinsip subrogasi ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menyatakan bahwa
perusahaan asuransi kesehatan berhak untuk menggantikan kedudukan tertanggung terhadap
pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh tertanggung.
Ketiga undang-undang ini saling berkaitan dan saling melengkapi dalam mengatur
tentang hukum kesehatan di Indonesia. Prinsip-prinsip asuransi yang telah disebutkan di atas
juga turut ditegaskan dalam ketiga undang-undang ini.
dunia, suami ini akan mengalami kerugian ekonomi. Oleh karena itu, suami ini memiliki
insurable interest atas istrinya.
2. Prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap korban mal praktik.
Prinsip subrogasi menyatakan bahwa penanggung berhak untuk menggantikan kedudukan
tertanggung terhadap pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
tertanggung. Dalam kasus mal praktik, penanggung adalah perusahaan asuransi yang
menanggung risiko kerugian akibat mal praktik. Jika tertanggung menderita kerugian
akibat mal praktik, penanggung akan memberikan penggantian biaya kepada tertanggung.
Selanjutnya, penanggung dapat menggunakan hak subrogasinya untuk menuntut ganti rugi
kepada pihak ketiga yang bertanggung jawab atas mal praktik, yaitu dokter atau rumah
sakit.
Pertanyaan :
JAWAB :
BPJS Kesehatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang bertanggung jawab
menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia. JKN adalah
program asuransi kesehatan yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia.
Kedudukan BPJS Kesehatan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia sangat
penting. BPJS Kesehatan berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam
mewujudkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau.
1. Asas perikemanusiaan.
Prinsip perikemanusiaan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti
bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang layak. BPJS Kesehatan berperan
untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata dan
terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk masyarakat miskin dan rentan.
2. Asas keseimbangan.
Prinsip keseimbangan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus dilakukan secara seimbang antara aspek kesehatan perorangan
dan kesehatan masyarakat. BPJS Kesehatan berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan
memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang komprehensif, baik pelayanan kesehatan
perorangan maupun pelayanan kesehatan masyarakat.
3. Asas manfaat.
Prinsip manfaat dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
6
BPJS Kesehatan berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan manfaat
pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.
4. Asas perlindungan.
Prinsip perlindungan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus melindungi masyarakat dari risiko kesehatan. BPJS Kesehatan
berperan untuk mewujudkan prinsip ini dengan memberikan jaminan pembiayaan pelayanan
kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk masyarakat miskin dan rentan.
5. Asas keadilan.
Prinsip keadilan dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia berarti bahwa
pembangunan kesehatan harus adil bagi seluruh masyarakat. BPJS Kesehatan berperan untuk
mewujudkan prinsip ini dengan memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata dan
terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau
politik.
Dengan mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada, BPJS Kesehatan
dapat meningkatkan peranannya dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. BPJS
Kesehatan dapat menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan masyarakat dalam
mewujudkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau bagi seluruh
penduduk Indonesia.
Pertanyaan :
3. Coba kita perbandingkan dan analisis hak-hak pasien berdasarkan Pasal 52 UU No.29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan hak pasien berdasarkan UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
JAWAB :
Perbandingan Hak Pasien Berdasarkan Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan Hak Pasien Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang hak pasien,
yaitu sebagai berikut:
Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak
konsumen, yaitu sebagai berikut:
ANALISIS :
Berdasarkan perbandingan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak pasien
berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran dan hak konsumen
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki beberapa
persamaan dan perbedaan.
Persamaan.
Persamaan antara hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:
1. Kedua hak tersebut mengatur tentang hak untuk menerima informasi yang benar, jelas,
dan jujur.
2. Kedua hak tersebut juga mengatur tentang hak untuk mendapatkan barang atau jasa
yang sesuai dengan perjanjian.
3. Kedua hak tersebut juga mengatur tentang hak untuk mengajukan pengaduan atas
barang atau jasa yang cacat atau rusak.
Perbedaan
Perbedaan antara hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran dan hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:
1. Hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran lebih
spesifik, yaitu mengatur tentang hak pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Hak konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
lebih umum, yaitu mengatur tentang hak konsumen dalam mendapatkan barang atau
jasa.
9
KESIMPULAN
Hak pasien berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran dan hak
konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan dua
hal yang berbeda, tetapi memiliki hubungan yang saling berkaitan. Hak pasien berdasarkan UU
No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran merupakan bagian dari hak konsumen
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hak-hak tersebut penting untuk dilindungi karena pasien merupakan pihak yang rentan
dan tidak memiliki kemampuan untuk memahami secara penuh tentang tindakan medis yang
akan dilakukan. Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak pasien, diharapkan pasien
dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman.
Pertanyaan :
JAWAB :
Indikasi operasi tonsilektomi pada kasus tersebut sudah tepat, yaitu untuk mengatasi
pembengkakan amandel yang menyebabkan obstruksi saluran napas. Namun, pemberian dosis
ether yang berlebihan menyebabkan pasien mengalami keracunan ether. Keracunan ether dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk gagal napas, gagal jantung, dan kematian.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa ahli anestesi dalam kasus ini
telah melakukan kesalahan dalam memberikan dosis ether. Kesalahan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
1. Ketidaktahuan ahli anestesi tentang dosis ether yang aman untuk pasien.
2. Kesalahan perhitungan dosis ether.
3. Kesalahan dalam pemberian ether, misalnya terlalu cepat atau terlalu lambat.
10
Untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang, perlu dilakukan upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan para tenaga kesehatan, khususnya ahli
anestesi. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan pengawasan terhadap praktik kedokteran,
termasuk pemberian dosis obat anestesi.
ANALISA KASUS
Indikasi Operasi
Indikasi operasi tonsilektomi pada kasus tersebut sudah tepat, yaitu untuk mengatasi
pembengkakan amandel yang menyebabkan obstruksi saluran napas.
1. Ketidaktahuan ahli anestesi tentang dosis ether yang aman untuk pasien.
2. Kesalahan perhitungan dosis ether.
3. Kesalahan dalam pemberian ether, misalnya terlalu cepat atau terlalu lambat.
4. Kurangnya komunikasi antara ahli anestesi dan tim bedah.
5. Minimnya rekomendasi Pencegahan.
Peningkatan Pengawasan.
Rumah sakit harus memiliki sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa
prosedur standar pemberian anestesi diikuti oleh para tenaga kesehatan. Sistem pengawasan
tersebut harus mencakup monitoring pemberian dosis obat anestesi, observasi pasien selama
dan setelah operasi, serta pelaporan dan analisis insiden terkait anestesi.
KESIMPULAN
Kasus operasi tonsilektomi yang berujung fatal akibat kesalahan anestesi merupakan
contoh nyata dari pentingnya penerapan praktik kedokteran yang aman dan berkualitas.
Dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, menstandarkan prosedur
anestesi, dan meningkatkan pengawasan, diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus serupa
di masa mendatang.
Pertanyaan :
5. Pada saat ini terdapat pergeseran paradigma dalam hubungan interpersonal di dalam
hukum kesehatan, yang sebelumnya berdasarkan pola hubungan vertikal paternalistik
menjadi pola hubungan horizontal kontaktual. Konsekuensi dari hubungan horizontal
kontaktual munculnya inspanning verbintenis yaitu adanya hubungan hukum antara 2
(dua) subjek hukum dan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Adanya
Inspanning verbintenis dikarenakan objek transaksi adalah upaya penyembuhan yang
hasilnya tidak pasti dampaknya dan karenanya upaya tersebut dilakukan dengan kehati-
hatian. Coba kita jelaskan disertai contoh kasus.
JAWAB :
Hukum kedokteran merupakan bagian inti atau bagian terpenting dari hukum kesehatan
yang di dalamnya mengatur hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan antara dokter
dengan pasien adalah hubungan seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan
vertikal paternalistik di mana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk
mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien.
Dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian
tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih demokratis yaitu
hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi. Di Indonesia masalah pertanggungjawaban
dokter baik di bidang perdata maupun di bidang pidana mulai banyak dibicarakan baik di
kalangan praktisi maupun teoritisi hukum. Maka, perkembangan hukum kedokteran di
Indonesia harus diselaraskan dengan politik hukum nasional. Artinya, ke depan hukum
12
kedokteran di Indonesia harus merupakan consensus antara ahli hukum dan ahli kedokteran
sehingga akan lebih fleksibel di dalam proses perkembangannya serta dapat seirama dengan
pembangunan di bidang lainnya.
Pola paternalistik adalah pola hubungan antara ayah (dalam hal ini dokter) dan anak
(dalam hal ini pasien), di mana dokter sebagai father knows best, pasien kedudukannya di
bawah dokter (vertikal).
Pola hubungan horizontal kontraktual merupakan hubungan hukum antara dokter dan
pasien di mana kedudukan antara pasien dan dokter sederajat atau sejajar di mana adanya rasa
saling menghormati hak dan kewajiban para pihak baik dokter maupun pasien.
Hubungan hukum tersebut di atas merupakan transaksi terapeutik yang didasarkan pada
perjanjian. Dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil (Resultaat Verbintenis) atau
13
kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan, melainkan perjanjian tersebut berupa upaya
atau usaha (Inspanning Verbintenis) semaksimal mungkin dari dokter dalam upayanya
melakukan penyembuhan terhadap pasiennya secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang layak. Transaksi terapeutik merupakan kegiatan dalam penyelenggaraan
praktik pelayanan kesehatan berupa pemberi pelayanan kesehatan secara individu yang
didasarkan rasa keahlian dan keterampilan, serta ketelitian. Jika dikaitkan dengan pelayanan
kesehatan berupa pengobatan tradisional, pengobatan tradisional itu merupakan bagian dari
kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung
penyelenggaraannya, yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung
jawabnya.
Dengan demikian, hubungan hukum antara pengobatan tradisional dengan pasien dapat
terjadi karena perjanjian. Perjanjian antara pengobat tradisional dengan pasien ini bersifat
timbal balik, dalam arti bahwa perjanjian tersebut akan melahirkan prestasi dari masing-masing
pihak, dengan lahirnya prestasi / kewajiban yang harus dilakukan masing-masing pihak maka
lahirlah hak – hak yang harus diterima oleh para pihak. Dengan demikian maka hubungan
hukum yang timbul antara pengobatan tradisional dengan pasien dalam pelayanan kesehatan
haruslah tunduk pada ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam BW (
Buegerlijk Wetboak ). Bahwa dalam perjanjian terapeutik yang terjadi pada pengobatan
tradisional ini merupakan perikatan usaha (inspanning verbintenis), perikatan yang didasarkan
dari usaha (pemeliharaan, perawatan, pengabdian) guna mencapai suatu tujuan tertentu dalam
bidang pengobatan tradisional, bukan merupakan hasil dari perjanjian tersebut dalam hal ini
kesembuhan kesehatan pasien.
Hubungan pengobatan tradisional dengan pasien secara yuridis dapat diartikan sebagai
kontrak. Kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu
hal (solis). Dilihat dari segi transaksi terapeutik, pihak pertama dalam hal ini pengobatan
tradisional adalah pihak yang memberikan pelayanan, sedangkan pihak yang kedua dalam hal
ini pasien adalah pihak yang menerima kontrak pelayanan tersebut. Pasien datang kepada
pengobatan tradisional sebagai bentuk rasa percaya untuk diberikan suatu pelayanan kesehatan,
sedangkan pengobatan tradisional menerima kedatangan pasien tersebut dan bersedia untuk
memberikan pelayanan kesehatan. Hubungan Hukum antara pasien dengan pengobatan
14
Dalam transaksi terapeutik, seseorang (calon pasien) yang merasa kesehatannya terdapat
gangguan mendatangi tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pengobatan tradisional. Dengan
adanya tindakan tersebut berarti adanya rasa percaya dengan pengobatan tradisional yang
dituju. Pasien yang mendatangi pengobatan tradisional menyampaikan keluhan terhadap
penyakit yang diderita, pengobatan tradisional harus memberikan informasi yang jelas
mengenai metode pengobatan, tindakan pengobatan maupun hal-hal yang harus dilakukan
pasien untuk mendukung penyembuhan dari pihak pasien. Jika pasien terdapat rasa kecocokan
dengan metode pengobatan tradisional yang diberikan maka di sini terdapat hak pasien untuk
menyatakan persetujuan. Dengan demikian terdapat kesamaan kehendak antara para pihak
maka timbullah kesepakatan. Kecakapan untuk membuat perikatan, maka dapat disimpulkan
bahwa, kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri,
sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Berarti, tidak
kewenangan hanya menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu, dan
orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak.
Suatu hal tertentu, Dalam pasal 1333 BW dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit tertentu jenisnya. Dihubungkan
dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah suatu yang perlu
ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat
dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan oleh sikap
saling percaya antara pengobatan tradisional dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan
yang dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan
pengobatan tradisional. Standar pelayanan pengobatan tradisional ini dapat dilihat dari
pengobatan tradisional tersebut sudah memiliki izin atau tidak memiliki izin. Pemberian izin
ini kewenangan dari pemerintah kota/kabupaten hal ini tercantum dalam pasal 6 huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan
tradisional. Dengan diberikannya izin tersebut pemerintah menganggap bahwa klinik / tenaga
pengobatan tradisional tersebut memiliki keahlian dan kompetensi di bidangnya sesuai dengan
standar yang sudah diberikan pemerintah. Kasus yang diperbolehkan, hal ini tidak disebutkan
secara tegas dalam Undang-undang, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut pasal
1335 BW dan 1337 BW. Dari pasal yang sudah dijelaskan di atas, jika ditafsirkan secara
contrario dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang diperbolehkan adalah sebab
yang tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang
dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, sebagai
contoh tindakan pengguguran kandungan atau aborsi dengan alasan apa pun merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, sebagai contoh adalah tindakan pengguguran kandungan.
Pengguguran kandungan dilarang oleh Undang-undang, pengguguran kandungan tersebut
diperbolehkan jika alasan untuk melakukan tindakan tersebut sesuai dengan Pasal 75 Undang-
undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
15
Upaya Hukum Akibat Tindakan Mal praktik Yang Dilakukan Oleh Pengobat
Tradisional.
Mal praktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata
“practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Perbuatan malpractice menurut kamus Inggris
Horrby dan Black menekankan pada tindakan lalai (negligence, neglost of duty), berbeda jauh
dari Couglin yang menekankan pada 3 isi yang terdiri dari perbuatan yang sengaja salah
(intention wrong doing), perbuatan menyimpang yang tidak sah menurut hukum (illegal
practice), dan perbuatan salah yang tidak etis (unethical practice).
Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka
sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian untuk
mengganti kerugian yang timbul. Seseorang korban yang dalam hal ini adalah pasien, dari
tindakan tersebut mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga adalah hal yang
sudah wajar jika mereka yang dirugikan tersebut mendapatkan imbalan berupa ganti rugi dari
pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut. Hal tersebut merupakan perlindungan
hukum bagi pasien dalam hal terdapat kerugian dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
Dalam hukum perdata, terdapat konsep atau pengaturan mengenai perbuatan melanggar
hukum. Perbuatan melanggar hukum atau disebut juga dengan onrechmatige daad merupakan
perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk
perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
melanggar hukum yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
berlanjut yang dilakukan oleh Agus Suyanto yang akibatnya anggota tubuh Tri Diana
Widyowati mengalami 50% (lima puluh persen) kelumpuhan.
Dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, bahwa terdapat hubungan hukum yang terjadi
antara Tri Diana Widyowati (selanjutnya disebut sebagai pasien) dan agus suyanto (selanjutnya
disebut sebagai pengobatan tradisional). Dalam kasus ini perikatan yang timbul dari perjanjian
terapeutik merupakan perikatan usaha (inspaningverbentenis), yang merupakan suatu perikatan
di mana debitur (pengobatan tradisional) berkewajiban dengan suatu usaha (pemeliharaan,
perawatan, pengabdian) guna mencapai suatu tujuan tertentu. Kewajiban dari pengobatan
tradisional bukanlah keharusan adanya hasil kesembuhan dari pasien, melainkan upaya/usaha
yang dilakukan oleh Agus Suyanto sebagai pengobatan tradisional haruslah sesuai dengan
standar profesi. Pengobatan tradisional berkewajiban untuk mematuhi standar pelayanan dan
standar prosedur operasional sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang
nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan nomor:
1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Adapun
ketentuan mengenai standar profesi tersebut ditetapkan oleh asosiasi pengobatan tradisional
yang mengeluarkan rekomendasi atas penerbitan izin praktik pengobatan tradisional yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam hal ini, walaupun terdapat perjanjian antara pasien dan pengobatan tradisional,
namun dalam perjanjian tersebut tidak diatur mengenai akibat dari kelalaian yang disebabkan
oleh pengobatan tradisional terhadap pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien di Rumah
Sakit Angkatan Darat (RSPAD) yang mendiagnosa bahwa ditemukan urat syaraf pada tengkuk
leher menuju kepala atau jaringan otak mengalami memar atau pecah akibat dari pemijitan
secara berlanjut yang dilakukan oleh pengobatan tradisional, yang mengakibatkan pasien
mengalami kelumpuhan 50% anggota tubuh, mengindikasikan adanya tindakan mal praktik
yang dilakukan oleh pengobatan tradisional terhadap pasien. Atas tindakannya tersebut, Agus
Suyanto selaku pengobatan tradisional tidak memenuhi unsur kedua dalam pemberian
pelayanan kesehatan berdasarkan Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
yakni “ Keterampilan tersebut secara empiris dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.”, dan dalam hal ini pengobatan tradisional
tidak dapat mempertanggungjawabkan keterampilannya melalui teknik pemijatan yang telah
menyebabkan anggota badan pasien 50% lumpuh.
Bertambah buruknya kondisi kesehatan pasien pasca dilakukannya suatu tindakan oleh
pengobat tradisional, akan memberikan asumsi bagi pasien bahwa telah terjadi mal praktik atau
tindakan kelalaian yang dilakukan oleh pengobatan tradisional dan kondisi tersebut pun
menjadi dasar bagi pasien untuk mengajukan gugatan terhadap pengobatan tradisional tersebut.
17
Dalam hal pasien bermaksud untuk mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi, maka
pasien harus membuktikan pengobatan tradisional tidak memenuhi kewajibannya yang timbul
dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual). Pasien akan kesulitan membuktikan
di mana letak wanprestasi yang dilakukan oleh pengobatan tradisional sekali pun pengobatan
tradisional sudah menjanjikan bahwa pengobatan yang dilakukan oleh pengobatan tradisional
kepada pasien akan mendapatkan hasil kesembuhan 100% dari penyakit yang diderita. Tolak
ukur pada kasus ini tidak dapat dilihat dari sisi hasil kesembuhan yang akan didapat oleh
pasien, melainkan dari usaha yang dilakukan oleh pengobatan tradisional.
Berdasarkan Pasal 58 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
disebutkan bahwa Setiap orang berhak menuntut ganti rugi kepada seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dalam hal ini pasien dapat
mengajukan gugatan dengan dasar perbuatan melanggar hukum, pasien harus dapat
membuktikan bahwa pengobatan tradisional melanggar unsur-unsur yang terdapat 1365 BW,
yakni (1) apakah perbuatannya melanggar undang-undang, (2) apakah perbuatannya melanggar
hak subjektif orang lain, (3) apakah perbuatannya bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, (4) apakah perbuatannya bertentangan dengan kesusilaan atau kehati-hatian yang
sepatutnya dalam masyarakat. Bahwa transaksi terapeutik ini termasuk dalam perikatan usaha,
dilihat dari sisi pembuktian, Agus Suyanto selaku pengobatan tradisional harus membuktikan
bahwa ia cukup berusaha untuk mencapai tujuannya (bukan hasilnya, tetapi usaha yang
dibebankan).
Hal ini berkaitan dengan pembuktian yang harus dibuktikan oleh pasien di dalam
persidangan. Pihak pengobatan tradisional harus membuktikan melalui dalil-dalilnya bahwa ia
melakukan tindakannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur
operasional, sedangkan Pihak pasien harus dapat membuktikan di mana letak tindakan
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pengobatan tradisional, sekali pun nantinya
majelis hakim yang memeriksa perkaralah yang berhak untuk menjatuhkan beban pembuktian
kepada para pihak.
Jika pengobatan tradisional terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum atau pun
melakukan mal praktik terhadap pasien, maka pengobatan tradisional dapat di pertanggung
gugatkan. Bentuk tanggung gugat pengobatan tradisional adalah mengganti kerugian materiil
akibat perbuatan dari pengobatan tradisional yang merugikan pasien. Dari perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pengobatan tradisional tidak hanya menimbulkan
kerugian materiil tetapi dapat menimbulkan kerugian immaterial. Kerugian materiil yaitu
kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita dan dapat dihitung secara pasti oleh pihak yang
dirugikan, sedangkan kerugian immaterial adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan
akan diterima oleh pihak yang dirugikan di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan
keuntungan yang mungkin diterima oleh pihak yang dirugikan di kemudian hari.
Adapun bentuk tanggung gugat pengobatan tradisional dalam perkara di atas adalah
berupa ganti rugi. Bentuk ganti rugi tersebut tidak hanya berbentuk pembayaran sejumlah uang
tetapi dapat juga berupa barang/jasa yang sejenis atau setara nilainya atau berupa perawatan
kesehatan untuk mengembalikan kondisi pasien. Bentuk ganti rugi tersebut dapat juga dalam
18
bentuk tanggung jawab pengobatan tradisional untuk mengobati pasien di tempat pengobatan
lain atau pun pengobatan secara medis. Pengobatan tradisional bertanggung jawab atas biaya
yang timbul dari pengobatan secara medis, termasuk biaya dokter, biaya rumah sakit maupun
biaya obat yang dibutuhkan.
KESIMPULAN
Dilihat dari putusan-putusan hakim terkait gugatan perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan tenaga kesehatan dan dilihat pula dari cara membuktikan pengobatan tradisional
dalam melakukan tindakannya sudah memenuhi pengobatan standar profesi, standar pelayanan
dan standar prosedur operasional, gugatan dari pasien yang dirugikan / dilanggar haknya,
mayoritas putusan tersebut tidak terbukti karena ter kendala dengan sulitnya pembuktian
adanya perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian diperlukannya peraturan menteri
kesehatan terkait standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur untuk pengobatan
tradisional secara teknis dan terperinci. Terkait hal tersebut pemerintah juga melakukan
pendaftaran terkait standar prosedur pengobatan tradisional khususnya pengobatan tradisional
dengan keterampilan agar terdapat keterbukaan informasi terkait standar profesi pengobatan
tradisional dan dapat dipahami lebih jelas oleh masyarakat atau pasien.
19
Pertanyaan :
JAWAB :
Terdapat perbedaan di antara ke tiga produk hukum tersebut. Perbedaan tersebut terlihat
dari jumlah pasal berikut isi dari Undang-undang tersebut pada Undang-undang No.90
tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan terdapat 17 pasal yang membahas tentang
kesehatan dan disahkan oleh pejabat Presiden Indonesia, Djuanda. Undang-undang No.23
tahun 1992 tentang kesehatan memuat 90 pasal dan disahkan oleh Presiden Indonesia,
Soeharto. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, sebagai Undang-undang
20
terbaru tentang kesehatan, memuat 205 Pasal terkait bidang kesehatan dan disahkan oleh
Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perkembangan tentang hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia terlihat dari jumlah
pasal dan isi Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan dari ke 3 produk hukum
Undang-undang kesehatan tersebut. Undang-undang No.90 tahun 1960 tentang pokok-
pokok kesehatan mengatur bidang kesehatan melalui 17 pasal. Dalam Undang-undang
tersebut telah dipahami bahwa kesehatan merupakan hak warga negara dan mereka berhak
pula dilibatkan dalam upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi
kesehatan yang tercantum dalam Undang-undang tersebut masih terlalu sederhana karena
hanya membatasi kesehatan sebagai kesehatan badan, rohani ( mental ) dan sosial, dan
bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Upaya kesehatan
berupa upaya preventif, promotif, Kuratif dan rehabilitatif telah mulai dibahas dalam
Undang-undang ini dan pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk :
Kompetensi :
Kualifikasi medis mengharuskan setiap orang untuk memiliki tingkat kualifikasi medis
tertentu yang sesuai dengan kualifikasi yang harus mereka peroleh selama pelatihan
medis. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah kompetensi terendah atau tertinggi dari
tenaga medis yang sama, melainkan rata-rata kompetensi dokter (kompetensi wajar).
Selain itu, dokter harus memiliki izin medis yang diperoleh dari otoritas kesehatan untuk
bertindak sebagai praktisi. Otorisasi formal diperoleh dengan memperoleh “surat
otorisasi” (atau nantinya sebagai sertifikat pendaftaran), sedangkan otorisasi substantif
diperoleh dengan memperoleh izin praktik.
Kewenangan :
Tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan mustahil pelayanan kesehatan dapat diberikan. Dalam
UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009 mendefinisikan tenaga kesehatan sebagai: “setiap orang
yang bergerak di bidang kesehatan dan yang melalui pelatihan di bidang kesehatan
mempunyai pengetahuan dan/atau keterampilan yang memerlukan izin untuk memberikan
jenis pelayanan kesehatan tertentu”. Segala sesuatu yang berkaitan dengan tenaga
kesehatan, mulai dari proses rekrutmen, penempatan dan pelaksanaannya, hingga
tanggung jawab pekerjaannya secara keseluruhan, diatur oleh pemerintah.
Pelayanan Kesehatan :
Tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan mustahil pelayanan kesehatan dapat diberikan. Dalam
UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009 mendefinisikan tenaga kesehatan sebagai: “setiap orang
yang bergerak di bidang kesehatan dan yang melalui pelatihan di bidang kesehatan
mempunyai pengetahuan dan/atau keterampilan yang memerlukan izin untuk memberikan
jenis pelayanan kesehatan tertentu”. Segala sesuatu yang berkaitan dengan tenaga
kesehatan, mulai dari proses rekrutmen, penempatan dan pelaksanaannya, hingga
tanggung jawab pekerjaannya secara keseluruhan, diatur oleh pemerintah.
Pembinaan :
Pemerintah mengatur perencanaan, perolehan, penggunaan, pelatihan dan pemantauan
berkualitas tinggi terhadap petugas kesehatan secara berurutan pelaksanaan pelayanan
kesehatan. aturan desain, personel, pemanfaatan, pengembangan dan pengendalian
kualitas Kesehatan ini diatur dengan peraturan pemerintah. Begitulah peraturannya tenaga
kesehatan diatur dengan undang-undang.
Pengawasan :
22
KESIMPULAN
Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara dan menjadi kewajiban bagi negara
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara. Kesehatan juga dipahami sebagai salah
satu indikator kesejahteraan sebagaimana amanat Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Seluruh upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sudah seharusnya diberikan secara adil dan merata, tanpa diskriminasi, dan
berkesinambungan guna terpenuhinya kualitas sumber daya manusia yang baik. Dengan
sumber daya manusia yang baik maka harapannya bangsa Indonesia ke depan memiliki
ketahanan nasional dan daya saing yang semangkin tinggi.
Bagi tenaga kesehatan, pemahaman yang baik terhadap hukum kesehatan dapat
menjamin perlindungan profesi selama melakukan tindakan profesional sejalan dengan kode
etik profesi dan hukum yang berlaku. Begitu pula lagi penegak hukum, pemahaman yang baik
tentang hukum kesehatan dapat memberikan gambaran yang utuh terkait kasus-kasus hukum
di bidang kesehatan yang sedang ditanganinya agar mampu memberikan pandangan hukum
dan keputusan hukum yang berkeadilan.