Anda di halaman 1dari 32

Distinction dalam Gereja : Penggunaan Preferensi

Musikal untuk Mempertahankan dan Menarik Anak


Muda dalam Ibadah di Gereja

PRA-PROPOSAL

PENGKAJIAN SENI

untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar magister


dalam bidang Seni, Pengkajian Musik Barat
Shirley Tiurina
NIM 2121405412

PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN

PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

2022
BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1. LATAR BELAKANG

Musik adalah bagian dari kehidupan manusia, dan ikut berkembang


mengikuti kebudayaan manusia. Musik tidak hanya sekedar hiburan, musik juga
menunjukkan identitas individu. Seseorang mendengarkan musik tidak hanya untuk
mencari hiburan, tetapi juga untuk mengekspresikan diri, yang membedakan kita
dari individu atau kelompok lain. Oleh karena itu, preferensi musik menjadi salah
satu aspek yang mempengaruhi aktivitas seseorang termasuk dalam kehidupan
bergereja. Sebagai umat Kristen, musik dan gereja adalah satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan, karena musik dianggap mampu membantu jemaat dalam
menghayati jalannya ibadah.

Seiring berjalannya waktu, terjadi perkembangan budaya, termasuk


preferensi musik. Perkembangan preferensi musik juga mempengaruhi jenis musik
ibadah yang disukai. Barna.com, sebuah lembaga penelitian swasta di California,
AS, melakukan survey terhadap 919 umat Kristen berusia dewasa di Amerika
Serikat, dan hasil survey menunjukkan bahwa 65% lansia lebih menyukai musik
himne gereja, sedangkan untuk generasi Milenial1 hanya sekitar 38%, dan sisanya
lebih menyukai lagu yang lebih ramai (lively) dan lagu-lagu Karismatik
(Barna.com, 2020). Selain itu, di AS muncul fenomena dimana banyak sekali umat
yang mulai meninggalkan gereja, terutama anak muda. Hampir 2/3 anak muda di
AS menyatakan mereka mulai berhenti rutin ibadah ke gereja di usia 18 hingga 22
tahun (Meyer, 2019).

Kondisi ini membuat gereja menggunakan beragam cara untuk menarik


perhatian dan mempertahankan umatnya. Salah satunya adalah menggunakan
preferensi musik yang disukai anak muda, yaitu menggunakan musik pop atau yang
biasa disebut musik Kristen kontemporer, dan menggunakan alat-alat musik
modern dengan konsep musik pop. Usaha menggunakan musik pop dalam ibadah,

1
Gen-Y atau Generasi Milenial adalah sekelompok orang yang lahir pada tahun 1981-1996 dan
berusia antara 25-40 tahun pada 2021

1|Pascasarjana ISI Yogyakarta


menarik perhatian remaja dan anak muda untuk kembali beribadah. Sunny Yoon,
dalam artikelnya menyatakan bahwa anak-anak muda lebih tertarik dengan gereja
yang menggunakan musik kontemporer dalam kegiatan ibadahnya (Yoon, 2016),
dan gereja-gereja ini memang lebih disukai oleh anak muda. Seperti di Australia, di
mana Hillsong dan gereja-gereja karismatik, yang menggunakan musik sebagai
sentral, lebih menarik perhatian anak muda dan imigran baru Australia. Sebagian
besar jemaat di gereja-gereja tersebut adalah orang-orang berusia di bawah 30
tahun. Salah seorang jemaat di sana mengungkapkan mereka senang beribadah di
gereja pantekosta karena menyenangkan, memukau, dan merasakan lebih banyak
kehidupan dan energy di dalamnya (Jpnn.com, 2019).

Berbeda dengan Amerika Serikat yang anak mudanya cenderung


meninggalkan gereja. Remaja dan anak muda di Indonesia masih tetap rutin
mengikuti ibadah minggu. Bilangan Research melakukan survey terhadap 4.095
generasi muda Kristen (15 – 25 tahun) yang tersebar di 42 kota dan kabupaten di
seluruh Indonesia, dan hasilnya menunjukkan 91,8% (Irawan,2022). Namun
meskipun masih rutin ibadah, remaja-remaja tersebut cenderung lebih senang
menghadiri gereja yang lebih modern dan menghibur ketimbang gereja
konvensional. Mereka yang jemaat gereja konvensional juga senang beribadah di
gereja karismatik.

Gereja-gereja besar yang mengikuti perkembangan musik sesuai zamannya


memang banyak disukai oleh anak muda, mereka yang ikut ibadah di gereja ini
mengatakan bahwa praise and worship2 dan musiknya cocok dengan semangat
anak muda, dan membuat mereka merasa semakin dekat dengan Tuhan (Kresna,
2019). Gereja-gereja karismatik seperti Tiberias, GBI, dan GKII memiliki gaya
ibadah yang lebih menarik dan membebaskan jemaatnya dalam mengekspresikan
diri ketika beribadah, seperti berdiri, melompat-lompat, atau tepuk tangan. Musik
full band sebagai pengiring ibadah, dan adanya pemimpin pujian, dan juga tari-
tarian seperti tarian Sufi menambah suasana semakin seperti konser. Mereka juga

2
Praise and worship adalah ibadah pujian dan penyembahan di mana jemaat bernyanyi memuji
dan menyembah Tuhan. Praise and Worship tidak memiliki liturgi yang kaku seperti ibadah
umum, dan biasanya hanya berisi menyanyi bersama yang dipimpin oleh Worship Leader.
Umumnya lagu yang dinyanyikan adalah lagu Kristen Kontemporer yang diiringi dengan band.

2|Pascasarjana ISI Yogyakarta


sering mengadakan event dan kegiatan yang menarik perhatian masyarakat,
terutama anak muda. Seperti Jakarta Praise Community Church (JPCC), sebuah
gereja beraliran kharismatik yang berlokasi di Mall Kota Kasablanka, Tebet,
Jakarta Selatan, mengadakan konser bertajuk ‘More Than Enough’. Konser ini
mendapat respon positif dan dihadiri sebanyak tak kurang dari 6000 orang
(Merdekawan, 2015). Bahkan, mereka juga mengikuti teknologi masa kini, seperti
gereja Tiberias yang mulai mengadakan ibadah Metaverse (Gereja Tiberias
Indonesia, 2022). Ibadah yang bertajuk konser, dan kegiatan yang melibatkan
teknologi modern, membuat anak muda lebih senang bergereja di gereja karismatik
ketimbang gereja konvensional.

Sementara itu di gereja-gereja konvensional, terutama gereja-gereja Kristen


Protestan yang menganut aliran Lutheran dan Calvinist, masih melakukan
perdebatan karena adanya pandangan-pandangan yang berbeda terhadap musik
kontemporer dan konsep musik pop di dalam Ibadah. Seperti Gereja Kristen
Indonesia bagian Barat (GPIB) dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) sendiri, sebagai
anggota dari PGI yang menganut aliran Calvinist, memiliki cara yang berbeda
dalam menghadapi anak muda. GPIB masih tetap mempertahankan untuk
menggunakan alat musik himne klasik seperti Piano dan Organ, dan sangat
membatasi penggunaan band dan musik pop di dalam ibadah. Di GPIB, musik pop
hanya dinyanyikan di luar ibadah, atau ketika ada acara di luar ibadah umum.
Majelis GPIB, terutama mereka yang generasi berusia 50 tahun ke atas, memandang
bahwa musik ibadah tidak bisa mengikuti selera musik masa kini, karena tujuan
ibadah adalah untuk menyenangkan hati Tuhan, bukan untuk manusia, jadi
seharusnya anak muda diajarkan agar menyadari bahwa musik ibadah berbeda
dengan musik yang didengar sehari-hari.

Sedangkan GKI masih lebih mengikuti zaman Meskipun sama-sama masih


menggunakan himne klasik, namun bukan berarti tidak bisa menyanyikan lagu pop
di dalam ibadahnya. Bahkan, di ibadah-ibadah besar seperti perayaan Paskah atau
Natal, GKI bisa menggunakan lagu pop untuk 1 atau 2 segmen, selama lagu tersebut
masih sesuai dengan koridor ideologi GKI. Untuk menarik perhatian anak muda,
GKI membuka wadah bernama ignite GKI, sebuah platform yang mewadahi anak
muda GKI yang ingin mengekspresikan diri melalui tulisan, video, dan musik

3|Pascasarjana ISI Yogyakarta


himne yang diaransemen secara pop modern. Di masa pandemic ini, Ignite juga
mengadakan ibadah online yang lagu-lagunya lebih umum dan petugasnya
didominasi anak muda. Namun, berkaitan dengan musik pop, memang masih ada
pro dan kontra di kalangan jemaat. Steven Ananta Nugraha, pemusik dan Tenaga
Pengerja Gereja (TPG) di GKI Pondok Indah, Jakarta Selatan, menyatakan bahwa
saat ini, kontroversi penggunaan alat musik mana yang boleh dan tidak boleh
digunakan masih terus bergulir, dan sikap GKI masih berada di tengah antara
mempertahankan ‘tradisi lama’ dan mengikuti perkembangan musik yang ada.
Steven berpendapat bahwa tidak ada salahnya mengikuti ‘tradisi lama’ atau
mengikuti perkembangan masa kini, yang pasti setiap pihak harus saling terbuka
terhadap yang lain, agar terhindar dari generation gap. Gereja seharusnya
merangkul generasi muda yang bersemangat dalam bermusik, dan memberi mereka
kesempatan untuk mengapresiasi musik gereja seluas-luasnya sembari membekali
mereka mengenai fungsi audiomental, dan memberikan alternatif pada generasi
muda agar mereka tetap bisa mengapresiasi musik, namun tanpa menghilangkan
identitas diri sebagai Gereja Kristen Indonesia (Nugraha, 2015).

Adanya permasalahan preferensi musik di dalam gereja membuat


munculnya acara Konsultasi Nasional Musik Gereja (KONAS MUGER) Pada
tahun 2014 yang lalu. Di acara ini, para peserta menggumuli bersama-sama seputar
musik gereja. Ada beberapa pokok yang dibahas, dan salah satunya adalah
Penggunaan Musik Pop Rohani/musik gereja kontemporer dalam peribadahan
(PGI,2014). Di dalam acara tersebut, Pdt. Rachel S.H. Daulay, seorang pendeta dan
dosen dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta menyatakan bahwa
musik Modern di gereja-gereja muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap
musik sebelumnya, baik secara musikalitas maupun dari segi teologis. Selain itu,
beliau juga menyatakan bahwa terkadang gereja sekarang menggunakan musik
modern bukan hanya karena makna teologis, tetapi juga untuk mengejar trend agar
tidak ditinggal oleh kaum muda. Beliau juga menyatakan bahwa gereja perlu
membuka diri terhadap musik dan lagu modern, tapi juga harus kritis agar tidak
melawan dogma gereja (Virgianti, 2014).

Berkaitan dengan alat musik modern, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyatakan bahwa alat musik ada

4|Pascasarjana ISI Yogyakarta


beraneka ragam dan membantu jemaat meresapi pujian-pujian terhadap Tuhan,
sehingga tidak masalah jika menggunakan alat musik lain, seperti gitar. Tetapi tidak
disarankan menggunakan alat musik yang berisik, seperti drum, karena akan
mengganggu ibadah itu sendiri (Virgianti, 2014).

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang ini, penulis melihat adanya sebuah permasalahan, yaitu
adanya persaingan untuk mempertahankan dan menarik perhatian anak muda untuk
ibadah di gereja yang dilakukan oleh Gereja Karismatik, GKI, dan GPIB dengan
preferensi musik. Permasalahan berikutnya adalah kecenderungan anak muda untuk
melayani di gereja yang menggunakan musik pop, dan adanya pandangan yang
berbeda terkait apakah gereja perlu menggunakan preferensi musik anak muda di
dalam ibadah atau tidak. Ketiga hal ini merupakan permasalahan yang akan dibahas
di dalam penelitian ini.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian


sebagai berikut :

- Apa yang menyebabkan adanya perbedaan preferensi musikal antara GKI,


GPIB, dan gereja Karismatik?
- Mengapa masing-masing Gereja memiliki perbedaan preferensi musikal
dalam menarik minat anak muda dan mempertahankan anak muda?
- Bagaimana cara masing-masing gereja mempertahankan preferensi
musikalnya masing-masing dalam persaingannya menarik simpati anak
muda untuk beribadah di gereja?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan penulis, maka tujuan melakukan


penelitian ini yaitu :

- Mengetahui penyebab adanya perbedaan preferensi musikal antara GKI,


GPIB, dan gereja Karismatik

5|Pascasarjana ISI Yogyakarta


- Mengetahui penyebab masing-masing Gereja memiliki perbedaan
preferensi musikal dalam menarik minat anak muda dan mempertahankan
anak muda
- Melihat cara masing-masing gereja mempertahankan preferensi musikalnya
masing-masing dalam persaingannya menarik simpati anak muda untuk
beribadah di gereja

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

- Memberikan pengertian terhadap masing-masing pihak, baik gereja


Karismatik maupun gereja Tradisional, tentang preferensi ibadah di dalam
gereja
- Membuka pandangan baru bagi gereja dalam memahami kaum muda di
gereja.
- Menyumbangkan karya ilmiah untuk Persatuan Gereja Indonesia sebagai
organisasi yang menaungi gereja-gereja di Indonesia

6|Pascasarjana ISI Yogyakarta


BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, peneliti telah melakukan kajian pustaka


untuk mencari penelitian-penelitian yang sudah ada berkaitan dengan musik gereja,
preferensi, dan persaingan antar gereja. Penelitian-penelitian yang ditemukan
adalah sebagai berikut :

Morel (2021) mengidentifikasi pola konsumsi dan selera musik masyarakat


di provinisi Minas Gerais, Brazil. Dia menggunakan teori Cultural Omnivore yang
digagas oleh Peterson. Cutlural omnivore merujuk pada individu terdidik dari kelas
menengah yang memiliki selera yang luas mulai dari budaya pop hingga budaya
tinggi (Peterson, dalam Morel, 2021). Penelitian ini menunjukkan bahwa keluasan
selera omnivores termasuk genre kelas atas dan pop. Meski begitu, musik gospel
menjadi genre yang kurang diapresiasi oleh para omnivore. Sedangkan mereka yang
univore secara umum memiliki modal budaya yang sedikit, pendidikan yang lebih
rendah, dan pemasukkan di bawa UMR dengan usia yang lebih bervariasi (18-72).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka yang memiliki pendidikan dan
pemasukkan lebih tinggi memiliki preferensi yang jauh lebih luas dibandingkan
mereka yang pendidikan dan pemasukannya lebih rendah.

Preferensi musik juga dibahas di dalam penelitian Lorenzo-Quiles (2020).


Penelitian ini melihat bagaimana preferensi musik siswa terstruktur, apa saja tipe
utama musik yang mereka dengarkan, dan bagaimana gender dan umur memprdiksi
preferensi musik individu. Berdasarkan penelitian tersebut, hasil dari kuesioner
terbagi menjadi 3. Pertama, berdasarkan struktur preferensi musik, ternyata musik
dengan gaya Mellow (gospel, pop, romantic, dan soundtracks) lebih banyak dipilih
oleh para partisipan ketimbang lagu-lagu rock. Terkait dengan usia, hasilnya tidak
konklutif. Berdasarkan Levitin (2011, berdasarkan Lorenzo Quiles, 2020, 11)
periode usia 18-20 adalah masa terbatas di mana seseorang mengakusisi prefernsi
musik baru, dan mulai mengubah preferensi menjadi selera musik, yang mana akan
menjadi preferensi musik yang bertahan lama (Soares-Quadros, 2018, dalam

7|Pascasarjana ISI Yogyakarta


Lorenzo-Quile, 2020,11). Akhirnya, berdasarkan gender, hasil penelitian
menunjukkan bahwa perempuan lebih menyukai musik pop dan musik ringan,
sedangkan laki-laki lebih menyukai musik ritimik dan yang lebih rumit

Ackermann (2022) melakukan penelitian melalui sudut pandang yang


berbeda, yaitu bagaimana selera musik mempengaruhi ketidaksukaan seseorang
terhadap genre musik tertent, dan berdasarkan variable-variabel tertentu seperti
estetika musik sesoerang, pengalaman, perilaku, pandangan, dan keyakinan
seseorang. Dari hasil tersebut, terdapat 5 poin utama yang ditemukan untuk
mendeskripsikan ketidaksukaan seseorang terhadap musik, yaitu musiknya sendiri,
lirik, performance, artis, dan orang-orang yang mendengarkan musik tersebut.
Secara umum, partisipan tidak secara eksplisit menggunakan fungsi untuk
mendeskripsikan ketidaksukaan mereka.

Namun, fungsi dari ketidaksukaan musik terlihat berdasarkan penjelasan


partisipan terhadap bagaimana mereka tidak menyukai dan memilih untuk tidak
mendengarkan musik tersebut. Pertama, untuk musik yang disukai, terdapat peran
besar yang dimainkan oleh ekspresi identitas. Selain itu, partisipan juga tidak
menyukai musik yang mereka anggap buruk, dan cenderung menolak karya tersebut
sebagai musik atau menyebutnya sebagai noise (suara rebut), dan mengkritik musik
tersebut sembari menekankan pengetahuan mereka terhadap musik yang menurut
mereka musik yang bagus dan baik. Dari hal ini, terlihat bahwa modal budaya
seseorang mempengaruhi selera musik dan musik yang tidak disukai seseorang.
Penelitian ini masih terbatas hanya umur dan gender, dan belum termasuk
demografis lainnya, sehingga masih perlu dikaji lebih dalam, terkait dengan
pendidikan, dan variable sosial lainnya.

Ardekani (2016) melakukan penelitian tentang selera musik di Tehran dan


melihat bagaimana urbanisme memilih suara musiknya sendiri) Ardekani
melakukan penelitian dilatarbelakangi oleh bagaimana selera musik dapat berubah,
dan bagaimana perubahan ini mampu mendemonstrasikan diri di dalam kelompok
kelas sosial dan ruang sosial (sekolah, mall, café, dll. Dari hasil penelitian tersebut,
Ardekani menyebutkan bahwa selera musik adalah bentuk perbedaan yang
didasarkan oleh modal budaya, dan merupakan indikator dari perbedaan gaya

8|Pascasarjana ISI Yogyakarta


hidup, pola pikir, identitas, dan kelompok sosial. Berdasarkan hasil wawancara
Ardekani juga disebutkan bahwa perbedaan umur mempengaruhi tempat mana
yang mereka datangi untuk bersosialisasi. Dalam hal ini, Ardekani menyimpulkan
bahwa secara musical, ruang urban terbentuk untuk menciptakan perbedaan
kelompok sosial berdasarkan preferensi dan selera musik. Perbedan preferensi
musik mempengaruhi gaya hidup yang ada di dalam masing-masing ruang urban.

Perbedaan selera musik menghasilkan perbedaan, yang disebut sebagai


distinction. Terkait hal ini, Herve Glevarec dan Michel Pinet (2012) melakukan
penelitian terkait dengan distinction selera musik di Prancis. Glevarec ingin
menguji apakah selera musik dan ketidaksukaan terhadap suatu musik bisa
mempengaruhi toleransi seseorang terhadap genre musik lain atau tidak. Dari data
ini, Glevarec mengimplementasikan klasifikasi hirarkis untuk mendemonstrasikan
tablature berdasarkan selera. Dari data-data yang dianalisis, Glevarec menemukan
bahwa negativitas akibat dari adanya perbedaan selera sangat relatif tergantung dari
nilai yang dianut. Logika terhadap negaitvitas selera hanya berlaku untuk individual
yang lebih tua dari kelas atas dan kelas pekerja, dan terhadap anak-anak muda, yang
secara kuat dikarakterisasikan melalui logika indiferensiasi, yaitu berupa
penolakan, dan tidak sampai berupa tindakan negatif.

Distinction tidak hanya melahirkan perbedaan pandangan, namun juga


berpotensi membuat seseorang membenci suatu kelompok. Hal ini dilakukan
Rebecca Williams (2013) dengan meneliti hubungan antara fandom (sekumpulan
penggemar), media, dan intertekstualitas. Penelitian ini melihat bagaimana kaitan
antara intertekstualitas dalam fandom Twilight dan kegiatan musical yang berkaitan
dengan fandom tersebut, kemudian melihat bagaimana proses munculnya anti-fan
terhadap fandom Twilight yang dianggap ikut-ikutan menyukai band Muse, yang
mana salah satu lagunya menjadi soundtrack film Twilight.

Williams melihat bahwa keberadaan musik di dalam film mampu


menambah preferensi jenis musik seseorang, dari yang awalnya tidak mengenal
band tersebut, menjadi menyukai band dan musik tersebut, karena musik tersebut
membuat mereka teringat akan film favorit mereka, yaitu Twilight. Di sisi lain,
adanya keberaadaan fans baru yang dianggap sebagai interloping fans oleh mereka

9|Pascasarjana ISI Yogyakarta


yang fans Muse sejak lama, menghasilkan distinction dalam bentuk penolakan.
Mereka yang fans Muse sejak lama cenderung menolak para penggemar Muse yang
berasal dari film Twilight sebagai pecinta musik Muse, dan dianggap hanya ikut-
ikutan, dan menciptakan apa yang disebut sebagai ‘Anti Fans’.

Penelitian ini menunjukkan fenomena bagaimana fans berpindah dari objek


satu ke objek lainnya, menjadi fans di antara kedua objek atau lebih. Penelitian ini
juga menemukan fenomena di mana fans musik berusaha untuk mencegah
seseorang berpindah dari satu fandom ke fandom lainnya, dalam hal ini adalah
bagaimana sikap para penggemar band Rock Muse terhadap penggemar Twligiht
dengan menyebut mereka sebagai inter-fandom ketimbang fans Muse.

Selera musik tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, tetapi juga


dalam kehidupan beragama. Aarons (2018) melihat pengaruh identitas agama dan
praktek agama terhadap preferensi selera musik. Penelitian ini didasarkan oleh teori
berdasarkan perspektif batasan simbolik (Lamont, 1992) dan evaluasi dalam
menjaga aturan moral (Lamont,2012). Aarons melakukan survey berbentuk
kuesioner dengan menggunakan model Survey Budaya Sehari-hari masyarakat
Australia (Australian Everyday Cultures Survey atau disingkat AEC). Kuesioner
ini disebarkan kepada 5000 orang dewasa kebangsaan Australia. Dari penelitian
tersebut, terdapat 2 arahan dalam hasil penelitian ini, yaitu hasil yang mengarah ke
sosiologi konsumsi budaya, dan hasil yang mengarah ke sosiologi agama. Dari
sudut pandang konsumsi budaya, pola yang dihasilkan menujukkan bahwa
partisipan cenderung bersifat omnivore (Peterson and Simkus, 1992) dan
merupakan konsumen lagu-lagu high-brow atau elit. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa secara sosiologis, hanya denominasi tertentu yang
mempengaruhi sikap ketika menghadapi dunia sekuler.

Morant Williams dan Omotayo O. Banjo (2013) melakukan penelitian


untuk mengetahui alasan pendengar musik Kristen terikat dengan lagu-lagu
Kristen. Secara spesifik, Williams dan Banjo berfokus pada bagaimana lokasi sosial
mempengaruhi hubungan pendengar dengan lagu Kristen yang dirasialisasikan
seperti Musik Kristen Kontemporer (Contemporary Christian Music, disingkat
CCM) dan lagu Gospel.

10 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Dari kelompok CCM, sebagian besar kesulitan yang mereka alami adalah
masa transisi, di mana mereka mengalami transisi berpindah dari satu tempat ke
yang lain, adanya perubahan status finansial, dan juga hubungan keluarga dan
teman yang buruk. Sebagian lagi mengalami kesulitan dalam transisi ketika orang
tua mereka bercerai dan mereka terpaksa hidup dengan orang tua tunggal.
Sementara itu, kelompok gospel cenderung menceritakan beban hidup yang mereka
alami akibat kondisi tertentu. Seperti seorang mahasiswa yang menceritakan
kondisi keuangan ibunya yang bermasalah dan sangat ingin membantu ibunya,
namun tidak diperbolehkan oleh ibunya dan harus fokus kuliah.

Berkaitan dengan motivasi mendengarkan musik, kelompok CCM


mengatakan bahwa mereka sering mendegnarkan lagu CCM karena merasa
terkoneksi dengan Tuhan. Mereka merasa bahwa lagu tersebut seolah-olah mampu
merasakan komunikasi dari Tuhan. Sebagian dari mereka yang mengenal musik
sebagai alternative dari musik sekuler, menyukai lagu ini sebagai alternative yang
positif karena liriknya yang membangkitkan semangat. Untuk kelompok Gospel,
sebagian sering mendengar musik gospel sebagai penegak gaya hidup mereka. Lagu
gospel membantu mereka menjaga jalur mereka di jalan Tuhan, mengingatkan
mereaka bagaimana mereka harus hidup, dan menegur jika mereka tidak berada di
jalan yang benar. Mereka yang mendengarkan lagu gospel merasakan kenyamanan
ketika mendengarkan lagu gospel, dan merasa menemukan kelegaan di dalamnya.

Masih berkaitan dengan CCM, Sunny Yoon (2016) melakukan penelitian


terkait CCM dari sudut pandang anak muda di Korea. Berkurangnya kelompok
muda di gereja-gereja Korea membuat kelompok ibadah pemuda mengadopsi
budaya pop ke dalam gereja, termasuk menggunakan musik gereja kontemporer
(Contemporary Christian Music/CCM). Yoon menyatakan bahwa sebagian besar
anak muda merasa lebih nyaman dengan ibadah yang menggunakan musik
kontemporer Kristen dibandingkan ibadah dengan lagu himne tradisional, karena
mereka lebih merasakan emosi dan kedekatan yang lebih mendalam dengan Tuhan
lewat musik kontemporer. Namun, hal yang kurang dari musik Kristen kontemporer
adalah kurangnya symbol hermeneutika teologi di dalam lirik-lirik musik
kontemporer, sehingga pemahaman pemuda Kristen di gereja-gereja besar tentang

11 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
teologi Kristen masih sangat kurang. Perlu adanya pendekatan pengajaran teologi
yang dikombinasikan dengan musik kontemporer Kristen agar pemuda Kristen
dapat mendalami iman Kristen tidak hanya sebatas lirik dan lagu, tapi juga lewat
pengetahuan teologis.

Conner (2017) melakukan penelitian yang membahas tentang bagaimana


gereja-gereja besar (megachurch) mengadopsi budaya-budaya sekuler, dan
menerapkannya di dalam gereja. Perkembangan megachurch yang semakin pesat
dipengaruhi oleh pemanfaatan budaya-budaya sekuler, khususnya penggunaan
musik Rock. Musik di dalam megachurch sangat mirip dengan musik pop dan rock
yang tersebar di pasar musik sekuler, namun telah diubah sesuai dengan kebutuhan
gereja. Penelitian ini berfokus bagaimana cara gereja memilih budaya sekuler,
khususnya musik Rock, dan bagaimana gereja mengubah budaya tersebut agar
sesuai dengan aturan gereja.

Conner melakukan analisis data berdasarkan teori Co-option, teori


postmodernisme, dan teori budaya industri yang dicetuskan oleh Adorno. Lewat
hasil penelitian tersebut, Conner menemukan bahwa megachurch sebenarnya
bagian dari budaya sekuler, namun sekaligus juga terpisah dari budaya sekuler.
Budaya sekuler yang digunakan bertujuan untuk penginjilan ketimbang hiburan
semata. Penggunaan budaya sekuler yang dibentuk ulang oleh megachurch
menunjukkan bagaimana ketertarikan gereja untuk memahami budaya pop sekuler.

Hal ini juga termasuk dalam musik Rock. Megachurch modern tidak secara
total mengubah bentuk musik Rock, namun hanya melemahkan budaya referensi
Rock saja sembari menguatkan unsur keagamaan. Mereka tetap memakai semangat
masa muda dan pemberontakan yang ada di dalam musik Rock, namun unsur lain
seperti lirik, pakaian, dan cara menyanyikannya disesuaikan dengan kodrat gereja.
Johnson (2018) mencaritahu bagaimana gaya penyembahan musik di dua
gereja Megachurh di Afrika. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh hasil penelitian
yang dilakukan Johnson pada tahun 2003 dan 2009 terhadap gereja-gereja
megachurch Afrika-Amerika di Los Angeles. Johnson melakukan penelitian
tersebut melalui observasi terhadap beberapa gereja Megacrhuch, yaitu ‘First
African Methodist Episcopal’ (FAME) dan ‘The West Angeles Church of God In

12 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Christ’ (COGIC). Dalam hasil observasinya, Johnson melihat bahwa gereja FAME,
masih mempertahankan liturgi-liturgi tradisional yang ada. Selama ibadah minggu,
mereka masih menggunakan paduan suara yang diiringi oleh band kecil atau 1 alat
musik, umumnya piano dan organ. Sedangkan gereja COGIC, yang dianggap
sebagai gereja Protestan di Amerika yang memiliki pertumbuhan jemaat tercepat
sejak akhir tahun 1980, musik dan penyembahannya sangat kuat dan dinamis. Hal
ini terlihat di mana gereja tersebut memiliki 10 paduan suara, 4 tim penyembahan,
4 vocal group kecil, dan juga kelompok penyembahan lain bebrasis seni, seperti tim
penari bendera, tim penari liturgis, dan tim drama.

Terdapat 3 perbedaan karakteristik musik yang dimainkan di COGIC, yaitu


penggunaan himne tradisional, kehadiran musik nontradisonal untuk gereja
pantekosta, dan lebih banyak program acara mingguan di gereja. Dari penelitian ini,
Johnson melihat bahwa pengaruh sistem yang ada di kedua Megachurch ini terletak
pada posisi mereka sebagai gereja yang memimpin dalam hal penyembahan musik
kontemporer, dan adanya pengaruh pemimpin gereja yang ingin mempertahankan
musik himne tradisional, sehinggal muncul dualitas iman dan budaya di dalam
gereja tersebut.

Tonsing (2020) mengeksplor isu dinamis mengenai respon emosional


terhadap lagu Kristen dan elemen-elemen apa yang dimainkan di dalam lagu
sehingga dapat menyentuh emosi. Bagi banyak orang Kristen, musik adalah pusat
dari pengalaman beriman dan memuji Tuhan. Tetapi pengalaman yang dirasakan
setiap orang berbeda-beda. Sebagian orang merasakan kehadiran Tuhan sehingga
bisa meneteskan air mata, sedangkan sebagian tidak merasakan apapun. Oleh
karena itu, Tonsing melakukan penelitian untuk mencaritahu penyebab mengapa
seseorang bisa sampai menangis saat mendengarkan lagu Kristen tertentu,
sedangkan sebagian lagi tidak merasakan apapun.

Dari penelitian ini, Tonsing melihat bahawa secara umum, orang-orang


menyukai musik yang popular di masa mudanya. Mereka mencari musik yang
cocok dengan gaya mereka, dan mendengarkannya terus hingga di masa tua.
Beberapa lagu juga memiliki emosi tertentu karena memiliki memori yang khas
bagi pendengarnya, dan biasanya memori tersebut berkaitan dengan orang terdekat

13 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
pendengar. Hal ini termasuk dalam musik himne Kristen. Musik memberikan emosi
tertentu karena adanya pengaruh eksternal, seperti kata dan nada, dan juga pengaruh
internal, seperti memori. PenelitianTonsing memberikan kontribusi baru terkait
dengan permasalahan emosi ketika beribadah, yaitu terkait gaya beribadah dan
preferensi musikal tiap jemaat individu.

Tepera (2017) membuat disertasi tentang bagaimana musik yang disukai


menentukan posisi seseorang dalam sosisologi agama (Tepera, 2017). Penelitian ini
melihat dan mengeksplor hubungan antara musik dan identitas agama seseorang
dalam ranah Musik Kristen Kontemporer (Christian Contemporary Music,
disingkat CCM). Penelitian ini didasari oleh teori Praktik Budaya yang dicetuskan
oleh Bourdieu, untuk melihat bagaimana seseorang menyukai sebuah musik, dan
mengaitkannya dengan modal yang dimiliki. Tepera juga menggunakan teori
Distinction yang juga dicetuskan oleh Bourdieu, untuk melihat bagaimana reaksi
masyarakat, dalam hal ini adalah anggota gereja, ketika melihat anak muda atau
umat Kristen yang lebih menyukai dan cenderung menyanyikan CCM ketimbang
lagu himne tradisional.

Dari hasil penelitian tersebut, Tepera menemukan bahwa hal yang membuat
mereka menyukai lagu CCM adalah, selain karena sering didengarkan ketika
ibadah, mereka juga sering mendengarkannya di luar lingkup gereja, seperti radio
dan playlist YouTube. Mereka mendengarkannya di mobil, di kantor, dan rumah
mereka. Hal ini membuat musik CCM menjadi seolah-olah menyatu dalam
kehidupan mereka, dan membantu mengatur emosi mereka dalam kehidupan
sehari-hari melalui musik. Selain itu, mereka juga sering mendengar musik CCM
bersama orang tederkat, untuk meningkatkan hubungan sosial mereka lewat
menyanyi dan mendengarkan lagu bersama. Di saat yang bersamaan, praktik
mendengarkan musik CCM juga memiliki konsekuensi. Bourdieu mengatakan
bahwa selera merupakan pemicu terjadinya distinction yang juga menjadi senjata
antar kelas untuk melakukan kekerasan simbolik. Industri musik mengkonstruksi
gereja-gereja lokal untuk membuat kelas-kelas yang memarginalkan dan
mengekslkusikan diri berdasarkan musik mereka.

14 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Keith (2013) meninjau peran musik di dalam pengalaman beribadah di gerja
pantekosta dan karismatik. Keith dalam disertasinya melakukan penelitian
eksploratori terhadap peran musik di gereja-gereja pantekosta dan karismatik di
daerah rural dan kota-kota kecil di Amerika Serikat. Dia melihat, dalam ibadah
pantekosta dan karismatik, ada sebuah kekuatan dalam musik ibadah ini yang jelas
terlihat. Sebagaian karena ciri khas gereja itu sendiri yang menekankan musik di
dalam ibadahnya, atau bisa juga karena musik di dalam ibadah tersebut terasa lebih
keras, dan lebih terlihat sebagai konser musik rock ketimbang ibadah gereja pada
umumnya yang non-karismatik. Dari kondisi ini, Keith ingin mencari tahu
darimana asalnya kekuatan musik di dalam kondisi ini? Apakah musik sebenarnya
mampu membangkitkan kekuatan tersebut, atau cara manusia mengaitkan diri
dengan musik tersebut yang menimbulkan sebuah kekuatan?

Keith berfokus pada persepsi peran musik dalam pengalaman religious dan
perannya dalam penyembahan dan pujian. Keith melihat bahwa adanya ekspektasi
budaya, atau keyakinan yang kuat, menjadi pemicu dan penjaga kebiasaan
beribadah seperti ini. Mereka setuju bahwa Tuhan berada di dalam puji-pujian,
ketika jemaat sedang melakukan penyembahan, Tuhan akan berada ditengah-
tengah mereka, dan momen itu ditandai dengan kemunculan trance atau yang
mereka sebut dengan ‘hadirnya’ roh kudus, yang bisa membuat jemaat merasa ingin
menari dan melompat-lompat. Mereka mengatakan bahwa musik adalah hal kedua
setelah Firman Tuhan, namun Keith melihat bahwa hal yang terjadi adalah
sebaliknya. Mereka cenderung mengutamakan musik, dan bahkan musik sering
menggantikan posisi ritual lainnya di dalam ibadah.

Pranoto (2021) melakukan penelitian untuk memahami keterlibatan


Generasi Z (Gen-Z) di dalam Megachurch di Indonesia. Penelitian ini didasari oleh
adanya fenomena di mana berkurangnya anak muda yang terlibat di dalam
pelayanan di gereja, terutama mereka yang berlatar belakang keturunan Tionghoa.
Pranoto melihat bahwa anak muda cenderung tidak aktif di gereja setelah mereka
lulus dari sekolah dan mulai memasuki perguruan tinggi. Oleh karena itu, Pranoto
berfokus untuk meneliti anak muda generasi Z (Gen-Z), yaitu mereka yang saat itu
berusia 18-25 tahun.

15 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Penelitian ini menemukan bahwa strategi dan usaha keras gereja di dalam
pelayanan dan penginjilan terhadap anak muda masa kini mempengaruhi Gen-Z
terkait dalam karakteristik gerejawi mereka. Karakteristik ini mempengaruhi
bagaimana Gen-Z berkegiatan, mengahadapi tantangan, dan bagaimana tindakan
mereka mempengaruhi kehidupan sekitarnya. Pranoto juga menemukan adanya
faktor-faktor menonjol yang mempengaruhi keterlibatan Gen-Z dalam beribadah,
yaitu interaksi dalam komunitas, menguatkan rasa tanggung jawab, dan bagaimana
Gereja mengangkat spiritualias anak muda, terutama dalam konteks ini, Gen-Z
dengan latar belakang keturunan Tionghoa.

Teori

1. Teori Distinction

Penelitian ini melihat bagaimana preferensi musik mempengaruhi pilihan


seseorang dalam beribadah di suatu gereja, sehingga menghasilkan suatu
persaingan dalam rangka untuk mempertahankan atau berusaha meningkatkan
kehadiran jemaat di dalam gerejanya. Persaingan ini didasari oleh adanya
perbedaan preferensi musik, dan kasus ini berkaitan dengan teori distinction yang
dicetuskan oleh Pierre Bourdieu.

Teori distinction adalah teori yang dicetuskan oleh Pierre Bourdieu. Dalam
bukunya Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984), Bourdieu
menjelaskan bagaimana hubungan antara kelas, budaya, karya seni, dan selera di
dalam masyarakat Prancis. Dia menggunakan data-data sosiologis dan menemukan
gagasan bahwa selera bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan hasil
dari produk pendidikan dan sosialisasi. Selama ini, selera dianggap sebagai sesuatu
yang alami, karena selera adalah bagian dari ilussio, sesuatu yang ‘terlibat di dalam
permainan sosial dan menghasilkan permainan itu sendiri’ (hal.86).

Secara definisi, selera merupakan disposisi yang dimiliki untuk bisa


membedakan dan mengapresiasi sesuatu. Dalam surveynya terhadap selera makan,
hobi, kebiasaan, dan hal apa yang disukai atau tidak disukai, Bourdieu melihat
bahwa ketertarikan seseorang terhadap sesuatu memiliki korelasi dengan latar
belakang seseorang dan tingkat pendidikannya (hal. 11-17).

16 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Menurut perspektif Bourdieu, selera memiliki fungsi sosial sebagai
disposisi yang dimiliki untuk bisa membedakan dan mengapresiasi sesuatu. Selera
merupakan praktik yang diorientasikan oleh habitus kelas dan cenderung mengikuti
operasi praktis habitus kelas itu sendiri. Karena itu di dalam teori Distinction,
Bourdieu mendefinisikan selera secara spesifik sebagai keahlian praktis (practical
mastery) yang dihasilkan dari distribusi yang membuat seseorang merasakan ( to
sense ) dan mengintuisi ( intuit ) apa yang membuat seseorang bisa menempati
posisi tertentu di ruang sosial atau tidak.

Dalam pengertian tersebut selera mengimplikasikan suatu prinsip


pembedaan yang menyatukan sekaligus memisahkan, di mana prinsip pembedaan
tersebut berakar pada kondisi eksistentensi kelas secara khusus. Karenanya, selera
menyatukan semua yang merupakan produk dari kondisi eksistensi kelas yang sama
dan memisahkan semua yang berasal dari kondisi eksitensi kelas yang berbeda.
Dalam hal ini selera merupakan afirmasi praktis dari perbedaan- perbedaan yang
berkerja menurut logika penolakan dan negasi terhadap selera yang berbeda (hal.
56)

Berkaitan dengan seni, berdasarkan pandangan Bourdieu, seni di dalam


suatu kelompok sosial, berfungsi sebagai penanda posisi sosial seseorang. Selain
itu, perjuangan seseorang ketika menciptakan sebuah seni, merefleksikan
perjuangan gaya hidup kelompok tersebut (hal.57-60). Perbedaan kelas atas dan
kelas bawah ketika berhadapan dengan seni adalah sebuah fungsi eksklusivitas dan
hubungannya di dalam dunia sosial. Bagi kelas bawah, seni bersifat fungsional.
Seni ada untuk menghibur dan mudah dipahami, tanpa harus mencari tahu latar
belakang proses seni dibuat, atau latar belakang penciptanya. Sebagai contoh,
ketika membaca novel Barat, seseorang tidak perlu bersusah payah memahami
secara mendalam sejarah Barat. Sementara itu, seni yang diciptakan untuk kalangan
atas memiliki kualitas yang langka dan sulit untuk dipahami (hal.174-176). Dari
kondisi ini, dapat dikatakan bahwa seni kelas atas (high brow) mengutamakan
hubungan estetika dan pengalaman yang ada di dalam karya seni tersebut, seni kelas
bawah (low brow) diciptakan untuk memiliki fungsi tertentu (hal.1-7).

17 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Perbedaan ini terjadi karena adanya selera tentang kebutuhan seseorang.
Setiap kelas sosial memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, rumah
yang besar adalah sesuatu yang mewah bagi anggota kelas bawah, namun
merupakan kebutuhan mendasar bagi mereka yang kelas atas. Kondisi ini membuat
seseorang, yang merupakan anggota kelompok sosial tertentu, memiliki keinginan
untuk memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan latar belakangnya, dan cenderung
tidak menyukai selera dari kelompok sosial yang bukan bagian dia. Seperti
bagaimana kelas bawah lebih menghargai makanan yang terlihat sederhana
ketimbang makanan yang terlalu mewah, dan kelas bawah yang menolak makanan
sederhana dan lebih menghargai makanan kelas atas (hal.372-381).

Oleh karena itu, selera adalah bentuk praktik dan hasil dari perbedaan kelas
antara kelas sosial yang ada dan habitus. Selera dapat berfungsi sebagai modal di
arena budaya dan sosial, karena dapat menunjukkan habitus yang dibentuk sejak
lama. Tindakan sosial yang kita lakukan sehari-hari, seperti makanan apa yang akan
kita makan, restoran mana yang kita datangi, buku apa yang menarik untuk dibaca,
dan musik apa yang enak didengar, secara sosial dipandu oleh selera individu dan
berfungsi untuk menguatkan posisi sosial seseorang.

Klasifikasi seni ‘high brow’ dan ‘low brow’ yang dicetuskan oleh Bourdieu
mengundang kritik dan kontroversi. Kondisi ini membuat munculnya penelitian-
penelitian yang berusaha untuk menyingkirkan istilah seni pop sebagai produk
sosial. Dalam penelitiannya tentang musik sakral (sacred music) di Amerika,
Stephen Marini (2003) berusaha mendiskusikan musik pop sebagai budaya industri
berdasarkan pemikiran Adorno dan Horkheimer tentang Dialectic of Enlightment.
Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa budaya industri merupakan
standarisasi dari budaya yang muncul di abad ke-19 dan 20. Menurut mereka
berdua, musik, dan karya seni lainnya, sebenarnya sangat kurang dalam
menghasilkan profit. Namun, munculnya kapitalisme di dalam abad ke-19 dan 20
memaksa seni agar diciptakan untuk pasar. Hal ini membuat perubahan fungsi seni,
yang tadinya mengekspresikan kebenaran dan keindahan, menjadi pasar untuk
menghasilkan uang. Berkaitan dengan industri musik gospel, musik tersebut hanya
dianggap sebagai ‘aksesoris mahal’ di dalam kehidupan sosial beragama (hal.313).

18 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Penelitian tersebut mendukung sudut pandang Bourdieu tentang fungsi seni,
yang di dalam distinction menyatakan bahwa karya seni yang diproduksi secara
massal akan berkurang makna estetiknya, dan lebih dirancang agar bisa difungsikan
oleh banyak orang (Bourdieu, 1984:442). Meski begitu, Marini menolak pandangan
tersebut karena dia ingin meletakan musik di dalam jantung agama sebagai sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan ketimbang hanya jadi objek kapitalisme (Marini, 2003).

Distinction di dalam seni dan agama biasanya dikaitkan dengan Alkitab dan
aksesoris identitas agama. Dalam Material Christianity: Religion and Popular
Culture in America, McDanell (1995) menjelaskan bahwa di dalam Gereja terjadi
pembiasan antara Firman dan Khotbah, dan materialitas. Di dalam kehidupan gereja
Katolik, Alkitab, air suci, diekspresikan sebagai benda yang memiliki hubungna
langsung dengan Tuhan. Namun, mereka cenderung mengabaikan barang religious
yang diproduksi secara massal, seperti pembatas buku dengan ayat, kalung dan
gelang berlambang Salib yang dijual di toko buku Kristen, dan melabelinya dengan
sebutan karya seni inferior (hal.165).

Di dalam hal ini, terjadi distinction tentang karya seni yang diproduksi
massal dan yang eksklusif di dalam gereja. Di mana para kaum intelektual gereja
menganggap bahwa karya seni yang diproduksi massal tidak memiliki makna
religious. Meski begitu, hal tersebut disangkal oleh McDanell, karena pengalaman
agama setiap orang berbeda-beda, di mana ada beberapa orang yang mengalami
pengalaman spiritual tertentu karena menemukan pembatas buku dengan ayat
Alkitab, atau tidak sengaja mendengar musik pop rohani yang sesuai dengan
permasalahan dia saat ini, dan membuat produk massal tersebut memiliki makna
yang jauh lebih mendalam dari yang para produser tersebut bayangkan (hal.222).

19 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
BAB 3

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian mixed method dengan pendekatan studi


kasus, di mana penelitian ini menggunakan metode penelitian melalui pengumpulan
dan data lapangan berupa sikap atau perilaku manusia dan kata-kata, baik secara
lisan maupun tulisan, yang nantinya akan dianalisis. Pendekatan ini digunakan
untuk mendapat informasi mengenai pendapat dan sudut pandang jemaat, pendeta,
dan majelis terkait dengan preferensi msuik yang ada di dalam gereja masing-
masing.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilakukan di 3 gereja, yang terdiri dari 1 gereja karismatik,
dan 2 dari gereja tradisional. Gereja karismatik yang akan menjadi lokasi penelitian
ini adalah Jakarta Praise Community Church (JPCC) yang berlokasi di Mall Kota
Kasblanka, Tebet, Jakarta Selatan. Gereja ini dipilih karena merupakan salah satu
megachurch beraliran karismatik yang memiliki pertumbuhan jemaat yang pesat.
Selain itu, lokasinya yang berada di dalam Mall juga mempermudah penjangkauan
jemaat dari berbagai kalangan, baik dari gereja tradisional, maupun gereja
karismatik.
Untuk gereja tradisional, ada dua gereja yang akan menjadi lokasi
penelitian. Pertama adalah GPIB Gideon, Kelapadua, Depok, dan yang kedua
adalah GKI Gejayan, Yogyakarta. GPIB Gideon dipilih menjadi lokasi penelitian,
karena merupakan salah satu gereja tradisional beraliran kalvinis yang masih tetap
bertahan dengan menggunakan buku nyanyian himne saja, baik di ibadah umum,
ibadah anak, ibadah remaja, maupun ibadah pemuda. GPIB Gideon juga tetap
mempertahankan gaya ibadah yang lebih konvensional, dengan menggunakan
piano sebagai alat musik utama. Sedangkan GKI Gejayan dipilih menjadi lokasi
berikutnya, karena meskipun GKI Gejayan merupakan gereja tradisional dan juga
beraliran kalvinis, namun mereka lebih terbuka akan budaya-budaya baru. Di dalam
ibadahnya, mereka menggunakan buku nyanyian sebagai acuan utama, namun
mereka juga menggunakan lagu-lagu pop di beberapa segmen, meskipun hanya 1

20 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
atau 2 lagu. Gaya ibadah mereka juga lebih modern, di mana pemusik tidak hanya
piano atau organ saja, namun bisa dalam bentuk band atau chamber music. Gaya
aransemennya juga lebih modern, tergantung jenis lagu ibadahnya.
Penelitian akan dilakukan sejak Juni 2022 hingga April 2023, di mana di
dalam kurun waktu Juni hingga Desember 2022, peneliti akan berusaha
membangun rapport terhadap calon narasumber dengan mengikuti kegiatan
peribadahan dan kegiatan gereja yang berkaitan dengan musik di sana. Kemudian
pada Januari hingga April 2023, peneliti akan mulai mengumpulkan data primer
berupa hasil wawancara, dan data sekunder berupa hasil deskriptif dari kuesioner
yang disebarkan kepada remaja dan pemuda yang beribadah di JPCC, dan
kumpulan dokumentasi serta statistik kehadiran pemuda di ketiga gereja tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan mixed method


melalui metode deskriptif. Penelitian ini berfokus pada penggunaan preferensi
musikal yang dilakukan gereja untuk menarik perhatian dan mempertahankan
remaja dan pemuda di Gereja. Untuk itu, guna mendapatkan gambaran awal sebagai
informasi, peneliti akan mengunakan kuesioner Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah survey melalui kuesioner, dan melakukan wawancara.

a) Survey melalui kuesioner

Kuesioner sebagai bagian dari pendekatan kuantitatif dilakukan untuk


mengumpulkan pendapat dari para pemuda dan remaja yang melayani dan
menghadiri ibadah gereja Karismatik, baik jemaat karismatik itu sendiri
maupun simpatisan yang berasal dari gereja Tradisional terkait dengan motivasi
beribadah dan pelayanan di gereja Karismatik. Target participant adalah anak
muda yang merupakan jemaat gereja tradisional, berusia 15-25 tahun, namun
sering beribadah dan bergereja di gerej Karismatik. Isi kuesioner adalah
beberapa pertanyaan seperti intensitas beribadah di tiap gereja, dan apa saja
faktor yang membuat remaja dan pemuda lebih sering untuk beribadah di Gereja
Karismatik.

21 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
b) Analisis Dokumen

Selain melakukan survey kuesioner, peneliti juga akan mengumpulkan


data sekunder berupa kajian-kajian dokumen sebagai pendukung data dalam
penelitian ini. Data-data tersebut merupakan dokumen statistik kehadiran
jemaat, foto, dan video yang berkaitan dengan ibadah, atau kegiatan non-ibadah
yang berada di dalam GPIB Gideon, GKI Gejayan, dan JPCC. Data akan
diambil dari warta jemaat dan juga dari arsip yang dimiliki oleh ketiga gereja
tersebut. Hasil dari pengumpulan data yang diambil akan menjadi informasi
tambahan bagi peneliti, sehingga peneliti dapat lebih jelas melihat kondisi dari
jemaat-jemaat di ketiga gereja tersebut.

c) Wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan membangun rapport
dengan ke-9 narasumber tersebut, untuk membantu kelancaran proses
penelitian ini. Peneliti juga mengajukan izin kepada tiap-tiap gereja agar lebih
lancar dalam melakukan wawancara dan pengumpulan data sekunder.
Wawancara akan direkam dengan menggunakan alat perekam dalam bentuk
suara melalui HP, dan alat tulis untuk menulis hal-hal yang penting. Hasil dari
rekaman tersebut nantinya akan ditulis menjadi sebuah verbatim.Peneliti juga
akan menggunakan HP untuk mengambil dokumentasi kegiatan wawancara dan
foto para narasumber, yang nantinya akan ditaruh di dalam lampiran.

Wawancara dilakukan untuk mendalami hasil dari survey kuesioner.


Wawancara dilakukan terhadap 9 orang. Dari setiap gereja akan dipilih 3
narasumber, yang masing-masing terdiri dari 1 pendeta, 1 majelis atau pengurus
komisi musik gereja, dan 1 perwakilan salah satu remaja dan pemuda di gereja
tersebut. 9 orang yang diwawancara tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pendeta (Pdt) Carolina Hale Montolalu. Pdt. Hale adalah seorang


pendeta sekaligus Ketua Majelis Jemaat di GPIB Gideon Kelapadua,
Depok. Beliau dipilih karena merupakan Ketua Majelis Jemaat,
yang mengepalai seluruh bidang organisasi di GPIB Gideon.
b. Penatua (Pnt) Agustintje Mamangkey-Tinungki. Pnt. Mamangkey
adalah jemaat, penatua, dan Ketua 3 di GPIB Gideon Depok. Alasan

22 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Pnt. Mamangkey dipilih menjadi narasumber adalah karena beliau
adalah salah seorang salah satu Pelaksana Harian Majelis Jemaat
(PHMJ) yang menjabat sebagai ketua 3, yaitu PHMJ yang berfokus
membina SDM Gereja, dan Pelayanan Kategorial (PELKAT) Anak,
Teruna, Gerakan Pemuda, Kaum Perempuan, Kaum Bapak, dan
Lansia.
c. Nadia Priskilla Wekes, jemaat GPIB Gideon sekaligus anggota
Gerakan Pemuda GPIB Gideon. Nadia dipilih karena beliau adalah
jemaat tetap di GPIB Gideon yang juga aktif ikut beribadah di
gereja-gereja Karismatik.
d. Pdt. Ratna Indah Widhiastuty, Pdt. Ratna merupakan salah satu
pendeta di GKI Gejayan. Beliau dipilih karena sering menjadi
pendeta pembina di dalam kegiatan-kegiatan pemuda GKI Gejayan,
dan juga pada April 2022 kemarin menjadi pendeta pembina di acara
Etnik GKI Gejayan, yang mengawasi rencana peribadahan dan
pemilihan musik di GKI Gejayan.
e. Ribka, S.Si-Teol, jemaat, pegawai gereja, dan juga salah satu
pengurus Komisi Musik Gereja di GKI Gejayan. Beliau dipilih
karena selain latar belakangnya yang seorang sarjana Teologi, Ribka
juga merupakan pengurus Komisi Musik Gereja yang bertugas
membantu jadwal petugas pemusik, dan membantu pemilihan lagu
ibadah yang akan dinyanyikan.
f. Risto Luturmas, SKp, simpatisan, song leader, worship leader di
GKI Gejayan. Risto dipilih menjadi narasumber karena meskipun
beliau aktif di GKI Gejayan, namun dia juga aktif mengikuti ibadah
di gereja Karismatik, seperti GBI Keluarga Allah, Jogja.
g. Ps. Jeffrey Rahmat, Pendeta dan pendiri JPCC. Beliau dipilih karena
saat ini beliau menjabat sebagai Gembala Sidang yang memimpin
semua komunitas dan kegiatan di JPCC.
h. Oryza Adhisurya, salah satu pemimpin Komsel (Komunitas Sel) di
JPCC. Beliau dipilih karena beliau adalah pempimpin di komsel,
yang berfungsi tidak hanya memimpin sharing di dalam komunitas,

23 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
namun juga menjadi pembina anggota komsel yang ingin menjadi
pelayan di JPCC.
i. Ruth Lidya, simpatisan dan anggota komsel di JPCC. Beliau dipilih
karena beliau adalah simpatisan, atau non jemaat yang sebenarnya
berasal dari gereja koncensional, namun aktif beribadah dan komsel
di JPCC. Ruth juga aktif melayani sebagai penyambut tamu di dalam
ibadah di JPCC.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti akan mengajukan izin kepada tiap-


tiap gereja agar lebih lancar dalam melakukan wawancara dan pengumpulan
data sekunder . Setelah itu, peneliti akan membangun rapport dengn ke-9
narasumber tersebut, untuk membantu kelancaran proses penelitian ini. Peneliti
juga. Wawancara akan direkam dengan menggunakan alat perekam dalam
bentuk suara melalui HP, dan alat tulis untuk menulis hal-hal yang penting.
Hasil dari rekaman tersebut nantinya akan ditulis menjadi sebuah verbatim.
Peneliti juga akan menggunakan HP untuk mengambil dokumentasi kegiatan
wawancara dan foto para narasumber, yang nantinya akan ditaruh di dalam
lampiran.

Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini bersifat semi terstruktur,


dengan meliputi beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak harus
ditanya secara berurutan, dan lebih mengikuti alur pembicaraan berdasarkan
paparan dari narasumber. Namun, pertanyaan yang diutamakan adalah sebagai
berikut:

1. Bagaimana sikap dan pandangan anda terhadap musik pop dalam


ibadah gereja?
2. Menurut anda apakah gereja dengan ibadah yang lebih modern dan
menggunakan musik pop lebih menarik anak muda?
3. Apa yang membuat gereja ini mempertahankan gaya beribadah
tradisional? (Khusus untuk GPIB Gideon)
4. Apa yang membuat gereja ini mencoba gaya ibadah yang lebih
modern? (Khusus untuk GKI Gejayan)

24 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
5. Menurut anda, mengapa anak muda lebih banyak beribadah di gereja
ini? (Khusus untuk JPCC)

4. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, maka analisis data akan dilakukan dan


disesuaikan dengan konsep dan teori yang digunakan. Analisis dalam penelitian ini
akan terbagi dua, yaitu analisis deskriptif dan triangulasi.

Untuk hasil data dari kuesioner dan analisis dokumen, peneliti akan
menggunakan analisis deskriptif. yaitu mengambil hasil kuesioner berdasarkan data
yang didapat dari partisipan, dan menjelaskannya secara naratif. Hasil dari data
tersebut akan disesuaikan dengan konsep yang digunakan.

Sedangkan untuk hasil wawancara, peneliti akan menggunakan triangulasi


dengan cara sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan kuesioner dengan data hasil


wawancara.
2. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang dari posisi atau jabatan yang berbeda-beda.
3. Membandingkan hasil wawancara dengan fenomena yang terjadi selama ini
berdasarkan hasil analisis dokumen.

25 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
LAMPIRAN

Rancangan Kuesioner

Data Demografis

1. Inisial :
2. Usia :
3. Gender :
4. Jemaat di Gereja :
5. Status di Gereja tersebut :
a. Simpatisan (non aktivis)
b. Simpatisan (aktivis)
c. Jemaat (non aktivis)
d. Jemaat (aktivis)
e. Majelis
f. Pendeta

Pertanyaan Kuesioner

1. Seberapa sering anda beribadah di Gereja asal anda?


a. Tidak Pernah
b. Jarang (1 kali sebulan)
c. Kadang-kadang ( 2-3 kali sebulan)
d. Sering (4-5 kali sebulan)
2. Saya menyukai genre musik klasik di dalam peribadahan
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
3. Menurut saya, musik gereja yang hanya dimainkan dengan piano dan organ
sudah terlalu kuno
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin

26 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
4. Menurut saya, piano lebih pantas digunakan dalam beribadah ketimbang
menggunakan full band
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
5. Saya menyukai musik pop
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
6. Saya suka mendengarkan lagu himne yang diaransemen dengan genre pop
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
7. Menurut saya, boleh saja apabila menggunakan musik pop selama lagu yang
digunakan adalah lagu himne gereja
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
8. Gereja saya seharusnya bisa mengikuti perkembangan zaman, terutama dalam
bermusik
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
9. Gereja yang baik adalah gereja yang terbuka dengan perkembangan masyarakat
yang terjadi
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
10. Saya menyukai musik pop karena ingin terlihat berbeda dari orang tua saya
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin

27 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
11. Saya menyukai musik pop lebih dari musik klasik
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
12. Saya lebih menyukai musik himne dengan gaya pop ketimbang himne yang
dimainkan dengan cara klasik
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
13. Musik Gereja harus berbeda dengan musik pop masa kini
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin
14. Saya lebih suka ibadah dengan gaya ibadah di Gereja Karismatik ketimbang di
Gereja Tradisional
a. Ya
b. Tidak
c. Mungkin

28 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Daftar Pustaka

Jurnal, Disertasi, dan Buku


Aarons, H. (2021). Moral Distinction: Religion, musical taste and the moral cultural
consumer. Journal of Consumer Culture, 21(2), 296–316.
https://doi.org/10.1177/1469540518787584
Ackermann T-I, Merrill J (2022) ‘Rationales and functions of disliked music: An
in- depth interview study’. PLoS ONE 17(2): e0263384.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0263384
Bourdieu, P. (1986), Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.
London: Routledge & Kegan Paul
Conner, C. P. (2017). Contemporary christian rock music in the megachurch: The
megachurch and popular secular culture (Order No. 10635759). Available
from ProQuest Dissertations & Theses Global: The Humanities and Social
Sciences Collection. (1984553091). Retrieved from
https://www.proquest.com/dissertations-theses/contemporary-christian-
rock-music-megachurch/docview/1984553091/se-2?accountid=25704
Glévarec, H, Pinet,M (2012) ‘Tablatures of musical tastes in contemporary France:
distinction without intolerance’, Cultural Trends, 21:1, 67-88,
DOI:10.1080/09548963.2012.641776
Johnson,B.J. (2018) ‘When We All Get Together: Musical Worship in Two African
American Megachurches;, Liturgy, 33:4, 43-51, DOI:
10.1080/0458063X.2018.1478587
Keith, S. D. (2013). The perceived role of music in the pentecostal and charismatic
worship experience. (Order No. 1553877, University of Louisiana at
Lafayette). ProQuest Dissertations and Theses, 123. Retrieved from
https://www.proquest.com/dissertations-theses/perceived-role-music-
pentecostal-charismatic/docview/1524709459/se-2
Lorenzo-Quiles O, Soares-Quadros JF,Jr., Abril JE (2020) Musical preferences of
Brazilian high school students. PLoS ONE 15(9): e0239891.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0239891
Marini,S.A. (2003). Sacred Song in America: Religion, Music, and Public Culture
Urbana:University of Illinois Press

McDannell, C.(1995). Material Christianity: Religion and Popular Culture in


America, NewHaven: Yale University Press

Morel, A,P., Carvalho de Rezende, D., & Silva de Oliveira, A. (2021).


‘Consumption and social distinction in the cultural field of music: Revista
brasileira de marketing’. REMark, 20(4), 362-392.
doi:http://dx.doi.org/10.5585/remark.v20i4.17619

29 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Pranoto, I. (2021). Understanding the church involvement of generation Z adults
within megachurches in indonesia (Order No. 28412506). Available from
ProQuest Dissertations & Theses Global: The Humanities and Social
Sciences Collection. (2512336665). Retrieved from
https://www.proquest.com/dissertations-theses/understanding-church-
involvement-generation-z/docview/2512336665/se-2?accountid=25704
Shaker, Reza & Halsall, Jamie. (2016). ‘Tracing musical tastes in Tehran: How
urbanism selects its sound’ Cogent Social Sciences. 2. 1132093.
10.1080/23311886.2015.1132093.
Tepera, C. S. (2017). "Faith comes by hearing": A sociological analysis of christian
contemporary music and aural piety (Order No. 10287166). Available from
ProQuest Dissertations & Theses Global: The Humanities and Social
Sciences Collection. (1950524737). Retrieved from
https://www.proquest.com/dissertations-theses/faith-comes-hearing-
sociological-analysis/docview/1950524737/se-2?accountid=25704
Tönsing, J.G., (2020), ‘“That song moves me to tears” – Emotion, memory and
identity in encountering Christian songs’, HTS Teologiese
Studies/Theological Studies 76(3),a5618.
https://doi.org/10.4102/hts.v76i3.5618
William, R. (2013): “Anyone who Calls Muse a Twilight Band will be Shot on
Sight”: Music, Distinction, and the “Interloping Fan” in the Twilight
Franchise, Popular Music and Society, 36:3, 327-342
Williams, K.M. & Banjo,O. O, (2013) ‘From Where We Stand:Exploring Christian
Listeners’ Social Location and Christian Music Listening’, Journal of
Media and Religion, 12:4, 196-216, DOI: 10.1080/15348423.2013.845027
Yoon, S. (2016). ‘Tuning in Sacred: Youth Culture and Contemporary Christian
Music’. International Review of the Aesthetics and Sociology of Music,
47(2), 315–342. http://www.jstor.org/stable/44234974
Berita Online
Barna.com,2020. ‘Christian Millennials Are Most Likely Generation to Lean
Toward Charismatic Worship’, https://www.barna.com/research/worship-
preferences/
Gereja Tiberias Indonesia.’Ibadah Metaverse’.
https://www.tiberias.or.id/metaverse
Irawan D, Handi, A. Putra, Cemara. ‘Gereja Sudah Tidak Menarik bagi Kaum
Muda’.https://bilanganresearch.com/gereja-sudah-tidak-menarik-bagi-
kaum-muda.html

30 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a
Jppn.com,2019.’Hillsong dan Gereja Pantekosta di Australia Menarik Lebih
Banyak Anak Muda, https://www.jpnn.com/news/hillsong-dan-gereja-
pantekosta-di-australia-menarik-lebih-banyak-anak-muda
Kresna, Mawa,2019. ‘Ke Mega Church demi Dahaga Iman yang Ekspresif’,
https://tirto.id/ee12
Merdekawan, Guntur. 2015. ‘Apresiasi Tinggi, Konser JPCC Disaksikan Ribuan
Penonton’. https://musik.kapanlagi.com/berita/apresiasi-tinggi-konser-
jpcc-disaksikan-ribuan-penonton-960681.html
Meyer, Holly, 2019. ‘What new LifeWay Research survey says about why young
adults are dropping out of church’.
https://www.tennessean.com/story/news/religion/2019/01/15/lifeway-
research-survey-says-young-adults-dropping-out-church/2550997002/
Nugraha,Steven A, 2015, ‘Musik Gereja dengan Pendekatan Masa Kini’,
https://gkipi.org/musik-gereja-dengan-pendekatan-masa-kini/
PGI, 2014. ‘Pokok-pokok Rekomendasi Konas Muger 2014’,
https://pgi.or.id/pokok-pokok-rekomendasi-konas-muger-2014/
Virgianti, Kartika, 2014. ‘Musik Modern di Gereja Akibat Ada Ketidakpuasan
Kaum Muda’, https://www.satuharapan.com/read-detail/read/musik-
modern-di-gereja-akibat-ada-ketidakpuasan-kaum-muda
Virgianti, Kartika, 2014. ‘Yewangoe: Nyanyian Gereja Buat Umat Lebih Hayati
Ibadah’, https://www.satuharapan.com/read-detail/read/yewangoe-
nyanyian-gereja-buat-umat-lebih-hayati-ibadah

31 | P a s c a s a r j a n a I S I Y o g y a k a r t a

Anda mungkin juga menyukai