Anda di halaman 1dari 159

KARYA MUSIK DAERAH SEBAGAI USAHA PENGEMBANGAN

EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA


DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Disusun oleh:

John Ariyo Putra


NIM: 041124015

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

orang yang sangat aku cintai, kedua orang tuaku dan adik-adikku:

Ayah dan Ibu, Eriya, Wiro serta Adhe Panudi

dari mereka aku belajar mencintai dan dicintai,

dari mereka aku belajar tentang kerasnya hidup,

dari mereka aku belajar pantang menyerah dalam hidup,

dan dari mereka aku belajar tentang hidup.

iv
MOTTO

“Untuk terus maju, kadang-kadang cahaya terbaik bagi perjalanan itu mungkin saja

berupa hasil dari pengurungan niat”.

(Rubin, 2004: 18)

v
vi
vii
ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “KARYA MUSIK DAERAH SEBAGAI USAHA


PENGEMBANGAN EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA DI
KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK”. Penulis memilih judul ini didasari oleh suatu
keinginan untuk menyumbangkan metode evangelisasi baru melalui karya musik daerah
kepada Keuskupan Agung Pontianak. Selain itu penulis juga merasa sudah waktunya
kaum muda bergerak berangkat dari tradisi kebudayaan dan kesenian daerah menuju
kematangan iman di tengah kemajuan zaman yang semakin modern. Bertitik tolak pada
alasan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pewarta untuk
mewartakan Kabar Baik sekaligus usaha pendekatan terhadap kaum muda.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana evangelisasi baru dapat
terjadi terhadap kaum muda melalui karya musik daerah. Dalam pengkajian masalah ini
diperlukan data yang berkaitan langsung dengan judul sebagai sumber bahasan utama
dan penulis menggunakan metode analisis interpretatif dan studi pustaka. Di samping
itu wawancara juga digunakan dalam usaha mendapatkan data yang berkaitan dengan
kaum muda, karya musik daerah dan evangelisasi serta tradisi kesenian yang ada di
Keuskupan Agung Pontianak agar memperoreh gagasan yang penting dalam tulisan ini.
Data yang telah didapatkan ini akan dipergunakan sebagai acuan sekaligus melihat
peluang untuk dilaksanakannya pewartaan melalui karya musik daerah atau musik
inkuturasi.
Sebagai metode pewartaan yang menggunakan karya musik daerah untuk
sebuah sarana, metode pewartaan ini tidak lepas juga dengan budaya dan tradisi
kesenian daerah di Kalimantan Barat. Karya musik daerah yang menjadi pokok bahasan
terdiri dari tiga bagian yaitu musik asli yang berbahasa Dayak Kanayatn dan diiringi
alat musik asli daerah Kalimantan, musik pop yang berbahasa Dayak Kanayatn namun
diiringi dengan alat musik campuran diantaranya adalah suling dan peralatan band
dengan segenap ciri kontemporer, dan bagian terakhir adalah musik Inkulturasi Gerejani
dimana musik ini merupakan hasil lokakarya Pusat Musik Liturgi Yogyakarta di
beberapa daerah pedalaman Kalimantan yang mengangkat gaya khas musik asli daerah
ke dalam musik Gerejani/ musik liturgi. Evangelisasi Baru melalui karya musik daerah
ini penulis wujudkan dalam sebuah pertemuan katekese. Dalam tulisan ini penulis
menggunakan Katekese Umat model Shared Christian Praxis (SCP). Namun penulis
menyatakan bahwa model katekese model SCP ini bukan satu-satunya yang
dimaksudkan dalam tulisan ini, dalam proses selanjutnya pasti ada katekese model lain
yang ditemukan, tentunya sesuai dengan situasi umat.

viii
ABSTRACT

The title of this thesis is “TRADITIONAL MUSIC AS AN


CONTRIBUTION FOR DEVELOPMENT OF NEW EVANGELIZATION FOR THE
YOUTH IN ARCHDIOCESE OF PONTIANAK”. The writer chose the title based on a
concern to contribute an evangelization method by means of traditional music for the
Archdiocese of Pontianak. Beside this, the writer also felt that it is high time for youth
to enrich the maturity of faith based on the tradition of the native culture and art in the
midst of modern world. Therefore, the thesis is meant to help catechists in proclaiming
the Good News as well as their approach to the youth.
The main problem of the thesis concerns about how the new evangelization
can be implemented into the youth by means of traditional music. In examining the
problem, the writer used the methods of interpretative analysis and bibliographical
study. The writer also used the interview method to gather some data implementation
youth, about traditional music and evangelization, as well as about traditional art that is
present in the Archdiocese of Pontianak in order to gain some important ideas for this
writing. The data are used as reference of this thesis and at once to see the chances upon
evangelization by means of traditional and inculturated music.
An evangelization method using traditional music as the medium, is not
separated from the culture and traditional art in West Borneo. Traditional music, which
is the main idea of the thesis, consists of three parts. Firstly, the original music using the
language of Dayak Kanayatn accompanied by Borneo traditional music instruments,
secondly, the pop music using the same language but accompanied by traditional music
instruments such as flutes together with western pop instruments; and thirdly the
liturgical inculturative music. The last one is the effort of the Pusat Musik Liturgi
Yogyakarta (Yogyakarta Liturgical Music Center) that has organized a couple of
workshops on about the original styles of traditional music in some rural places in
Borneo in order to create new liturgical inculturative songs out of it. The writer
implemented this new method of evangelization by using traditional music in a
catechetical lesson, using the Shared Christian Praxis (SCP) in this thesis. But the
author also mentioned that the Shared Christian Praxis (SCP) is not the only way for
implementing the idea, but there are still other catechetical methods according to the
local situation and condition.

ix
KATA PENGANTAR

Dengan segenap hormat dan kerendahan hati, penulis menghaturkan segala puji

dan syukur yang tiada terkira kepada Yesus Kristus, Sang Cinta yang memberi

cintaNya tanpa henti karena rahmat dan kasih-Nya telah memampukan penulis untuk

menyelesaikan skripsi yang berjudul KARYA MUSIK DAERAH SEBAGAI USAHA

PENGEMBANGAN EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA DI

KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK.

Penulis mengakui ketika awal menulis skripsi ini banyak hal suka duka yang

dilalui. Kesulitan yang sangat terasa ketika penulis mengumpulkan sumber-sumber data,

namun karena kecintaan terhadap musik serta ide-ide dan usulan-usulan cemerlang dari

berbagai pihak terutama Dosen Pembimbing Skripsi, akhirnya kesulitan itu tidak berarti

apa-apa. Memang tidak banyak seluk-beluk yang penulis ketahui tentang musik, namun

karena cinta dan perjuangan keras sedikit demi sedikit penulis juga tahu mengenai

musik. Namun di balik semua itu penulis sangat menyadari bahwa nuansa studi

kateketik yang penulis jalani selama empat tahun setengah ini pun sungguh merasuk ke

dalam pribadi penulis. Penulis merasa studi kateketik ini merupakan dasar untuk

mengembangkan ilmu-ilmu lainnya termasuk ilmu-ilmu yang tidak terumuskan dalam

kurikulum.

Penulis mulai memberi perhatian besar terhadap karya musik daerah ketika

duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Saat itu penulis merasa ada sesuatu dari

karya musik (khususnya di Kalimantan Barat) daerah ini yang harus diperjuangkan dan

dipertahankan; misalnya keaslian musiknya. Saat ini penulis berusaha agar karya musik

x
daerah tersebut berguna bagi kaum muda Gereja, selain sebagai barang komersial.

Langkah awal penulis untuk menanggapi keprihatinan tersebut yaitu dengan menulis

skripsi tentang karya musik daerah. Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (PML) telah

memulai memanfaatkan peluang terhadap adanya media pewartaan dalam budaya

setempat yaitu karya musik, mengapa tidak penulis maupun siapa saja yang dapat

melanjutkan karya tersebut dengan caranya masing-masing.

Pergulatan penulis selama kurang lebih lima tahun studi di kampus IPPAK

tercinta ini telah memampukan penulis untuk melihat dunia secara lebih luas lagi. Dari

sisi ilmu, tak terbilang ilmu yang penulis peroleh, tak terbilang cinta dan perhatian yang

penulis alami baik selama studi maupun saat penyusunan skripsi. Penulis merasa dengan

menulis skripsi ini berarti inilah equilibrium dari semua ilmu yang didapat baik formal

maupun non formal dan sekaligus awal untuk menapaki lembar-lembar kosong yang

harus penulis isi dalam lembaran hidup ini. Sebagai ungkapan yang tiada berarti apa-apa

dibandingkan cinta yang telah penulis dapatkan, izinkanlah penulis haturkan rasa syukur

dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mengembangkan penulis:

1. Romo Karl-Edmund Prier, S.J., Lic.Phil., selaku dosen pembimbing utama yang

senantiasa memberikan perhatian, semangat, menyediakan waktu khusus,

mengusulkan ide-ide dan saran-saran serta membimbing penulis selama proses

pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

2. Romo Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan begitu banyak perhatian dan pendampingan bagi penulis selama

skripsi maupun proses studi yang penulis jalani di kampus ini. Lepas dari itu, beliau

juga selalu menjadi tempat akhir penulis ketika kekurangan dana.

xi
3. Bapak P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si., selaku dosen penguji yang telah

memberikan banyak perhatian dan pendampingan bagi penulis selama proses studi

yang penulis jalani di kampus ini maupun saat penulis menyusun skripsi.

4. Romo Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J., selaku Kaprodi IPPAK yang selalu memberi

dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Namun lebih

daripada itu, terima kasih karena telah menjadi sosok yang demikian dekat dan

berarti, layaknya orang tua bagi penulis. Terima kasih untuk semua kesempatan,

bimbingan, perhatian, serta kepercayaan yang Romo berikan sehingga penulis dapat

menjadi seperti sekarang ini.

5. Segenap staf dosen, sekretariat dan perpustakaan, karyawan piket dan parkir Prodi

IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma,

yang telah begitu melimpahi penulis dengan ilmu, perhatian, dukungan, bimbingan

serta senyuman yang selalu menguatkan penulis menjalani proses studi di kampus

ini.

6. Sahabat-sahabat mahasiswa, terkhusus angkatan 2004. Kita telah melalui pahit getir

selama studi di IPPAK, bersama jatuh dan bersama bernyanyi, bersama tertawa dan

bersama terluka. Jadikan ini sebagai kenangan terindah yang takkan pernah

terlupakan sampai kita tua nanti hingga kita terlahir kembali di suatu saat. Terima

kasih atas warna-warni indah yang kalian berikan dalam hidup penulis. Selamanya

akan penulis simpan sebagai kenangan terindah yang menghiasi taman hati penulis.

Sampai jumpa di lain kesempatan.

7. Teman-teman di Paduan Suara Pradnyawidya pimpinan Sara Lea, takkan pernah

terlupakan semua alunan nada yang pernah menggema dalam batin, seolah

xii
mengingatkan bahwa terdapat satu masa di mana kita bernyanyi bersama

melantunkan ungkapan syukur yang melimpah kepada-Nya.

8. Teman-teman kos V’Men yang pernah penulis kenal. Terima kasih untuk semua

kebersamaan yang telah dilalui bersama, penulis tidak akan mampu menjalani

semuanya tanpa bantuan dan kehadiran teman-teman kos V’Men. Segenap canda

dan tawa, suka dan duka sangat menguatkan bagi penulis. Semoga hidup

mempertemukan kita lagi dalam satu kesempatan.

9. Yasinta yang selalu memberi dorongan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi

ini secepatnya, menjadi editor penulis secara langsung. Penulis mengakui

peranannya sangat besar dalam proses penulisan skripsi ini karena tanpa dia dan

tanpa semangatnya kemungkinan besar penulis akan selalu bermalas-malasan di kos.

10. Keluarga penulis yang sangat penulis cintai, andai terdapat kata yang mampu

melukiskan betapa kalian sungguh berarti dalam hidup penulis, karena dari kalian

semuanya berawal dan kepada kalianlah penulis akan selalu terinspirasi.

11. Seluruh staf Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan not angka dalam bentuk komputerisasi.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini telah

menjadi bagian berarti dalam hidup penulis serta memampukan penulis

menyelesaikan studi ini.

Penulis sungguh menyadari bahwa penulis memiliki keterbatasan dalam

pengetahuan, pengalaman, serta pemahaman yang menyebabkan penyusunan skripsi

ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan

kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini.

xiii
xiv
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………. iv
MOTTO ………………………………………………………………...... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………. vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………… vii
ABSTRAK ……………………………………………………………….. viii
ABSTRACT ……………………………………………………………… ix
KATA PENGANTAR …………………………………………………… x
DAFTAR ISI …………………………………………………………....... xv
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………… xix
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………... 1
A. Latar Belakang …………………………..................................... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………… 11
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………. 11
D. Manfaat Penulisan…………………………………………........ 11
E. Metode Penulisan …………………………………………......... 12
F. Sistematika Penulisan ………………………………………...... 12
BAB II. KAUM MUDA DAN KARYA MUSIK DEWASA INI ............ 14
A. Kesadaran Diri Gereja sebagai Umat Allah dalam Dokumen
Lumen Gentium ……………………………………………........ 14
B. Gambaran Umum Kaum Muda ………………………………… 18
1. Ciri-ciri kaum muda ………………………………………... 20
a. Segi biologis ……………………………………………. 21
b. Segi psikologis ……………………………………......... 22
c. Segi sosial ……………………………………………… 23

xv
2. Perkembangan iman kaum muda ………………………….. 24
a. Tahap I: proyektif intuitif (usia 4-8 tahun) …………….. 25
b. Tahap II: Mistis literal (usia 6-7 tahun
dan 11-12 tahun) ……………………………………….. 25
c. Tahap III: Sistem konvensional (usia 12 tahun-dewasa).. 25
d. Tahap IV: Refleksi individuatif (usia 17-18 tahun dan
20-22 tahun) ……………………………………………. 26
e. Tahap V: Iman yang konjungtif (usia 30an) …………… 26
f. Iman yang diuniversalkan ……………….……………... 27
C. Kaum Muda di Keuskupan Agung Pontianak ............................. 27
D. Karya Musik Dewasa Ini ............................................................. 29
E. Musik Bagi Kaum Muda ............................................................. 31
F. Karya Musik Daerah Kalimantan Barat ....................................... 34
G. Pengertian Evangelisasi Baru ....................................................... 37
1. Pengertian umum …………………………........................... 37
2. Pengertian berdasarkan Kitab Suci ………………………… 40
3. Pengertian berdasarkan Dokumen Gereja ……………......... 41
H. Isi Evangelisasi Baru …………………………………………… 43
I. Metode Evangelisasi Baru ……………………………………... 46
J. Pewartaan Injil di Zaman Modern dalam
Evangelii Nuntiandi ……………………………………………. 48

K. Kebudayaan dan Iman Memiliki Pengaruh Terhadap


Evangelisasi: Sebuah Tinjauan Kritis John Mansford Prior …… 51

BAB III. EVANGELISASI


BARU MELALUI KARYA MUSIK
DAERAH …………………………………………………........ 56
A. Evangelisasi dalam Karya Musik Daerah Merupakan Sebuah
Usaha Dialog ……………………………………….................... 56
B. Evangelisasi Baru Dilakukan Di Keuskupan Agung Pontianak
dan Tantangan yang Dihadapi …………………........................ 61
1. Motivator yang memberdayakan …………………………... 61
2. Pintu masuk evangelisasi melalui kebudayaan …………….. 63
3. Evangelisasi melalui musik ……………………………........ 65

xvi
C. Karya Musik Daerah Sebagai Pintu Masuk Dalam Evangelisasi 67

1. Peluang evangelisasi ……………………………………….. 67


2. Realitas dan harapan dalam evangelisasi …………………... 69
D. Contoh Karya Musik Dan Analisisnya ………………………… 72
1. Aspek-aspek lagu yang akan dianalisis ……………………. 73
a. Musik …………………………………………………... 73
b. Syair ……………............................................................. 74
c. Musik sebagai evangelisasi ………….............................. 75
2. Analisis Karya Musik …………………............................... 78
a. Musik asli ……………………………………………… 78
1) Penjelasan judul lagu ………………………............. 81
2) Musik ………………………………………………. 81
3) Syair …………………………………………........... 82
4) Musik sebagai evangelisasi ……………………........ 84
b. Musik pop ……………………………………………… 84
1) Penjelasan judul lagu ………………………………. 86
2) Musik ………………………………………………. 87
3) Syair ……………………………………………....... 88
4) Musik sebagai evangelisasi ……………………........ 89
c. Musik Inkulturasi Gerejani …………………………...... 90
1) Penjelasan judul lagu ………………………………. 91
2) Musik ………………………………………………. 92
3) Syair ……………………………………………....... 93
4) Musik sebagai evangelisasi ……………………........ 94
E. Contoh Katekese Melalui Karya Musik Daerah ……………… 95
1. Contoh katekese ……………………………………………. 95
2. Identitas ……………………………………………………. 95
3. Pemikiran dasar ……………………………………………. 97
4. Pengembangan langkah-langkah …………………………… 98
5. Penutup …………………………………………………….. 107

xvii
BAB IV. PENUTUP ……………………………………………………… 109
A. Kesimpulan …………………………………………………..... 110
B. Saran/ Usulan ............................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..... 115
LAMPIRAN
Lampiran 1: Hasil Wawancara 1 ....................................................... (1)
Lampiran 2: Hasil Wawancara 2 ....................................................... (2)
Lampiran 3: Hasil Wawancara 3 ....................................................... (3)
Lampiran 4: Surat Permohonan Data Kaum Muda ........................... (4)
Lampiran 5: Lampiran Surat Permohonan ........................................ (5)
Lampiran 6: Hasil Wawancara 4 ....................................................... (6)
Lampiran 7: Hasil Wawancara 5 ....................................................... (7)
Lampiran 8: Hasil Wawancara 6 ....................................................... (8)
Lampiran 9: Hasil Wawancara 7 ....................................................... (9)
Lampiran 10: Hasil Wawancara 8 ..................................................... (10)
Lampiran 11: Program Evangelisasi Melalui Karya Musik Daerah.. (11)

xviii
DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan kepada

Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik

Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/ 1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner

Gereja, 7 Desember 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II

kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang

katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu

Ilahi, 18 November 1965.

EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI tentang

Evangelisasi dalam Dunia Modern, 8 Desember 1975.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam dunia

Modern, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh

Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.

xix
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964.

RN : Rerum Novarum, Ensiklik Paus Leo XIII mengenai kondisi kelas

kerja, Mei 1891.

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang

Liturgi Suci, 4 Desember 1963.

C. Singkatan Lain

Bdk : Bandingkan

CU : Credit Union

Dkk : Dan kawan-kawan

GD-F : Generasi Dayak Foundation, komunitas yang bergerak di bidang

pengumpulan dan penyaluran bantuan terhadap anak-anak miskin di

Ketapang, Kalimantan Barat.

GKE : Gereja Kristen Evangeli

GNOTA : Gerakan Nasional Orang Tua Asuh

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Pendidikan Agama

Katolik

KAP : Keuskupan Agung Pontianak

Komkat : Komisi Kateketik

Komkep : Komisi Kepemudaan

Komsos : Komisi Sosial

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

xx
MM : Maelzel Metronome, alat pengukur kecepatan (tempo)

OMK : Orang Muda Katolik

PIA : Pembinaan Iman Anak

PIOD : Pembinaan Iman Orang Dewasa

PIR : Pembinaan Iman Remaja

PKPKM : Pedoman Karya Patoral Kaum Muda

PML : Pusat Musik Liturgi

SAV : Studio Audio Visual

SCP : Shared Christian Praxis, metode dalam berketekese

STFT : Sekolah Tinggi Filsafat Teologi

STKAT : Sekolah Tinggi Kateketik

UGM : Universitas Gajah Mada

UNY : Universitas Negeri Yogyakarta

USD : Universitas Sanata Dharma

xxi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang abad-21 perkembangan dunia bergerak sangat cepat, baik di

bidang teknologi, ilmu pengetahuan, struktur masyarakat dunia, kebudayaan maupun

paradigma-paradigma baru dalam memandang dunia. Perubahan-perubahan inilah

yang lama-kelamaan memicu munculnya tema-tema dalam kehidupan seputar

masalah keadilan, hak asasi manusia, kemerdekaan, demokrasi, emansipasi,

solidaritas, lingkungan dan pluralitas. Hal ini merupakan sebuah tanda bahwa adanya

hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan

lingkungannya. Di sisi lain manusia sadar bahwa selain adanya hubungan dirinya

dengan sesamanya dan makhluk hidup beserta lingkungan sekitarnya, ada hubungan

manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hubungan yang satu ini terkadang kurang

disadarinya karena terkalahkan oleh permasalahan di seputar kehidupan manusia.

Sejak zaman para nabi, zaman Yesus Kristus dan diteruskan hingga sekarang telah

diusahakan dalam pewartaan yaitu membuka jalan pada manusia dalam hubungannya

dengan Sang Pencipta.

Beranjak lebih jauh lagi bahwa pewartaan bukanlah seperti yang

dimaksudkan demikian: pewartaan selalu berhubungan dengan yang rohani, berbicara

tentang masalah surga, semua perkataan yang selalu berhubungan dengan yang ilahi,

pewartaan lebih-lebih merupakan pengungkapan iman secara konkret dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini karya Roh lebih diutamakan dibandingkan

dengan karya manusia itu sendiri. Apa itu karya Roh dan apa itu karya manusia?

Karya Roh berupa suatu kebaikan, kesejahteraan, kedamaian serta ketenteraman yang
2

harus dimiliki dan diwujudkan bersama sedangkan karya manusia berupa suatu

tindakan untuk mewujudkan karya Roh. Tidak mungkin karya manusia terjadi tanpa

karya Roh namun karya Roh dapat terwujud dalam diri manusia yang berkehendak

baik serta menyerahkan diri seutuhnya kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu

penerangan dan dorongan Roh Kudus dibutuhkan baik dalam si pewarta maupun

dalam orang yang mendengarkan Injil (Gal 1:9). Berpangkal dari 2 Kor 4:5, St.

Paulus menyebutkan “Bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus

sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus”. Segala

perhatian diarahkan kepada Kristus, khususnya kepada tindakan penyelamatan Allah

dalam Kristus. Berbicara dalam konteks ini, mewartakan berarti membawakan orang

kehadapan peristiwa keselamatan Allah sendiri. Artinya orang-orang yang mau dan

tergerak untuk ‘dibawa’ dalam keselamatan Allah dengan sendirinya akan mengalami

suka cita yang menjadi cita-cita dalam jemaat bersama sejak jemaat perdana

terbentuk yaitu damai sejahtera hadir dan menyelimuti orang-orang yang percaya.

“Paulus memiliki keyakinan bahwa manusia diselamatkan hanya karena iman kepada

Yesus Kristus” (Gal 2:6).

1. Evangelisasi

Evangelisasi tidak dapat dimengerti dengan hanya menyebut satu kata:

evangelisasi berarti pewartaan. Evangelisasi dimengerti dengan beranjak dari

kenyataan bahwa karya-karya dari evangelisasi haruslah nampak terlebih dahulu dan

setelah itu dapat dinamakan evangelisasi (Jacobs, 1992: 108). Memang dapat

dimengerti juga bahwa evangelisasi berarti pewartaan, namun pewartaan yang

bagaimana dan bagaimana bentuk pewartaannya?


3

Evangelisasi merupakan suatu upaya bersama sebagai orang beriman

untuk menyalurkan pengalaman imannya kepada masyarakat di sekitarnya dalam

terang Roh Kudus. Oleh karena itu evangelisasi merupakan suatu bentuk kesaksian

hidup. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kesaksian merupakan tugas perutusan

Kristiani. Kesaksian ini mengisyaratkan integrasi dari berbagai aspek kehidupan,

keluarga, dan persekutuan umat Gereja (EN 41). Kesaksian hidup merupakan aspek

evangelisasi yang paling mendasar dan dari sinilah pergerakan karya evangelisasi

dapat terwujud nyata dalam kehidupan sehari-hari umat beriman. Kesaksian hidup

menuntut pribadi untuk berani keluar dalam dirinya sendiri dan ikut memberikan

kesaksian hidup bagi yang lainnya setelah dirinya menerima suatu kesaksian akan

keselamatan dari Allah.

Jika ditelaah sedikit ke dalam, dalam praxisnya, evangelisasi menuntut

beberapa hal yang bukan hanya berkaitan dengan akibat positif namun akibat negatif

juga dapat terjadi. Akibat negatif bisa saja ditimbulkan karena minimnya atau

sempitnya pengertian/ pemahaman akan evangelisasi tersebut. Misalnya saja ketika

evangelisasi hanya dipahami sebagai misi. Begitu sempitnya sehingga dengan

pemahaman seperti ini segala kegiatan dan tindakan dilakukan juga hanya sebatas

untuk mencapai tujuan tertentu saja yaitu lebih mementingkan kuantitas (Suharso &

Retnoningsih, 2005: 116). Menurut Suharyo, 1995: 58, ada tiga tahap inisiasi ke

dalam iman yang berkaitan dengan evangelisasi yaitu, pra-evangelisasi: usaha

menumbuhkan minat terhadap masalah-masalah hidup dan iman sebagai persiapan

untuk mendengarkan warta kristiani, evangelisasi: merupakan pewartaan iman

kristiani yang dasar, katekese: pengajaran mengenai pokok-pokok iman.

Evangelisasi memang menuntut pengetahuan baik dari sisi pewarta

maupun dari sisi umat itu sendiri. Pintu masuk bagi Umat Allah untuk lebih fokus
4

memberikan diri masuk lebih dalam lagi dalam evangelisasi; Sakramen Inisiasi

(Pembaptisan, Krisma dan Ekaristi) menawarkan sebuah gerbang indah untuk

memulai hidup baru berdasarkan sabda-sabda dan pengetahuan yang diterima dari

buah-buah evangelisasi. Perlu disadari juga kajian mengenai Umat Allah oleh Konsili

Vatikan II yang dinyatakan, “Umat Allah sangat dipentingkan, khususnya untuk

menekankan bahwa Gereja pertama-tama bukanlah sebuah oraganisasi manusiawi

melainkan perwujudan karya Allah yang konkret” (LG 9 bdk. KWI, 1996: 333).

Kekhususan Umat Allah dalam menanggapi sebuah evangelisasi justru terlihat dari

bagaimana cara memahami sebuah warta keselamatan dengan caranya masing-

masing dan di sini pula letak kekhasannya sebagai Umat Allah yang selalu dihidupi

oleh sabda kehidupan atau sabda keselamatan. Dengan caranya masing-masing dapat

terlihat misalnya dalam kehidupan berkeluarga (bagi yang telah berkeluarga), dalam

kehidupan pertemanan (bagi yang belum berkeluarga), dalam kehidupan biara (bagi

para religius), dan dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

2. Kaum muda

Dalam tulisan ini yang menjadi sasaran utama adalah kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak. Mengapa kaum muda? Mengapa kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak? Penulis mengatakan bahwa kaum muda identik dengan

generasi fresh. Dalam kotbahnya pada hari Minggu tanggal 21 November 2006 saat

misa Ekaristi Kaum Muda di gereja St. Antonius Kotabaru, Romo Gandhi, SJ

mengatakan, “Kaum muda adalah tonggak awal bergeraknya Gereja menuju

kedewasaan. Kaum muda diharapkan mampu yang pertama ialah menggerakkan

dirinya sendiri untuk membangun situasi diri sendiri kemudian berani keluar dari

diri”. Berhubungan dengan ungkapan bahwa kaum muda adalah generasi fresh
5

dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Romo Gandhi tadi dapat dikatakan bahwa

kaum muda benar-benar memiliki andil yang lebih besar terhadap situasi luar yang

melingkupi gerak kaum muda itu sendiri. Berbagai cara yang dilakukan dalam

pendekatan dengan situasi kaum muda dewasa ini misalnya dengan cara camping

rohani, out bond, rekoleksi kaum muda dan sebagainya.

Realitas yang terjadi bahwa kaum muda sendiri yang menggerakan dirinya

dapat terlihat di sebuah desa kecil Taize, di Pegunungan Burgundi beberapa mil dari

garis demarkasi yang membelah Prancis menjadi dua. Kaum muda berdatangan dari

berbagai negara baik perorangan maupun kelompok dengan satu tujuan yaitu ingin

mendapatkan keheningan dan pengalaman baru bersama saudara-saudara dari negara

yang berbeda (Olivier, 2003:107). Kaum muda memiliki harapan untuk memperoleh

sesuatu dengan apa yang dilakukannya dan dengan apa yang diusahakan dengan

sekuat kemampuannya. Sebuah keinginan yang terpendam pasti menuntut sebuah

penyelesaian bahwa harus segera mencapai sesuatu. Keinginan keras inilah yang

mendorong kaum muda dalam usahanya untuk segera melakukan sesuatu dan

memenuhi keinginannya tersebut. Inilah sifat asli kaum muda, yaitu keinginan untuk

terus memandang keluar untuk melihat sebuah kebahagiaan.

Sebuah pertanyaan yang cukup kritis yang dilontarkan oleh Oliver

Clement (2003: 10) dalam bukunya yang berjudul Taize, Mencari Makna Hidup yaitu

“Mengapa setiap tahun beribu-ribu orang muda dari kelima benua terus saja datang

ke Taize, tak kunjung henti mengadakan ziarah, minggu demi minggu”? Dibutuhkan

tanggapan serius untuk menanggapi pertanyaan tersebut. Kaum muda adalah sebuah

sosok ketika dalam masanya selalu memiliki pengharapan dimana pengharapan

tersebut tidak lain adalah untuk memberi warna di masa itu. Banyak hal yang harus
6

dilakukan oleh kaum muda dan salah satu warna cerah yang terus dihidupi ialah

ketika harus sampai di sebuah desa kecil Taize, Prancis.

Orang-orang muda sangat haus akan yang mutlak. Dan tidak dapat

diragukan, dewasa ini banyak orang muda/ kaum muda mengunjungi biara-biara

walau hanya sekedar ingin tahu kehidupan di dalamnya. Namun dari maksudnya yang

terdalam mungkin ada pertanyaan yang sedikit mengganjal, mengapa? Karena

mereka sedang mencari Allah? Yang mereka temukan di biara-biara terlebih-lebih

adalah rasa misteri, kedamaian, dan kedalaman – segala sesuatu yang tidak terdapat

dalam masyarakat-masyarakat tempat kita hidup (Oliver, 2003: 28). Keinginan kaum

muda dalam masanya memang masih berupa pencarian hidup. Banyak hal yang

ditawarkan baik yang berifat khas duniawi dan fantastis maupun dalam beberapa

yang berurusan dengan kekudusan. Tidak heran apa saja yang dapat dicoba senantiasa

terus dilakukan, dan sekali lagi ini demi memberi warna di masa mudanya serta

dalam pencariannya. Dengan alasan seperti ini jugalah maka penulis memilih kaum

muda sebagai fokus dalam tulisan ini.

3. Musik

Salah satu yang paling dekat dengan kaum muda dan tidak mungkin tidak

ada dari salah satu kaum muda yang mengenalnya yaitu musik. Melalui musik, apa

saja dapat diungkapkan. Berbagai macam perasaan contohnya saja sedih, senang,

marah, benci, sayang, cemburu, bosan, terharu dan sebagainya. Seperti yang

diungkapkan dalam istilah seni pada umumnya bahwa suatu karya seni paling baik

dinilai menurut ukuran atau pertimbangan estetis, yaitu bersifat ekspresif atau tidak

ekspresif, dapat atau tidak dapat menimbulkan emosi estetis para pemirsa (Gie, 1996:

45). Kekhasan seni memang yang pertama terletak pada unsur estetisnya, mengenai
7

sisi penghargaan maupun sebuah prestasi hanya merupakan sebuah pendukung sebab

dalam unsur estetis ini mementingkan sebuah ekspresi yang mendalam dari sebuah

estetika sehingga menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dan pada akhirnya

sebuah perasaan estetis yang merupakan sebuah emosi dari si penanggap timbul

sebagai sebuah bentuk respon penting untuk memberi penilaian suatu karya seni.

Musik merupakan salah satu unsur yang terdapat pada karya seni. Hampir

semua panca indera memainkan peranan penting di dalamnya. Musik menuntut

tanggapan dari masing-masing bagian panca indera, misalnya dalam penglihatan.

Musik menampilkan seni tentang ruang dimana terdapat cahaya, warna, gerak dan

tarikan garis-garis sebagai mediumnya. Panca indera yang lainnya ialah pendengaran.

Pendengaran ini berkaitan langsung dengan melodi dan syair. Musik menampilkan

suara yang dihasilkan langsung oleh alat-alat yang keberadaan musik tersebut. Dalam

pendengaran ini musik tidak lupa menampilkan kata atau syair. Kata merupakan

bentuk ekspresif langsung dari sebuah nada. Ungkapan berupa kata ini dapat

menunjukan sekaligus mendukung nada dalam menunjukan berbagai karakter

manusia atau situasional berbagai macam peristiwa hidup. Masih dalam lingkup ini

pula, musik memberikan paduan antara penglihatan dan pendengaran. Terciptanya

nada dan gerak merupakan sebuah unsur seni paduan yang memberikan warna baru

untuk sebuah esensi seni yang ekspresif (Gie, 1996: 54-57).

Melihat begitu banyaknya peran musik dalam hidup dengan memberikan

ruang khusus pada diri personal, ada kemungkinan bahwa warna-warni hidup

terbangun karenanya. Kaum muda yang ekspresif akan selalu menghiasi hidupnya

dengan musik. Namun dengan mengatakan seperti ini bukan berarti musik digemari

oleh semua orang terkhusus kaum muda, tidak. Tidak semua dari kaum muda

menyukai musik, namun tidak selamannya pula dari kaum muda yang tidak
8

menggemari musik untuk bertindak mengambil langkah agar menghindari musik.

Ibarat pepatah para penikmat musik kebanyakan, “hidup tanpa musik adalah hampa”.

Sekedar mengenal ‘kulit luarnya’ saja sudah cukup bagi orang-orang yang tidak

gemar akan musik, apalagi untuk mereka yang menjadikan musik sebagai bagian

hidupnya.

4. Evangelisasi dalam karya musik

Evangelisasi bagi kaum muda melalui musik sebagai pintu masuknya

sangat memungkinkan bahwa Kabar Gembira akan cepat dan mudah ditangkap atau

dipahami. Kaum muda umumnya telah mengenal musik dengan berbagai jenisnya.

Memang perlu diakui bahwa dunia musik telah merambah dimana-dimana hingga ke

pelosok daerah bahkan musik merupakan salah satu adat-istiadat/ kebiasaan

masyarakat setempat dengan peralatan musiknya masing-masing. Contohnya saja di

Kalimantan Barat. Berbagai karya musik telah dihasilkan. Beranjak dari gaya musik

daerah di Kalimantan, para komposer menciptakan lagu-lagu yang kurang lebih

memiliki gaya khas Kalimantan.

Dewasa ini blantika musik daerah telah diwarnai dengan berbagai hasil

ciptaan lagu-lagu yang cukup digemari oleh masyarakat setempat. Inspirasi lirik dari

lagu-lagu daerah tidak jauh dari seputar masalah dan kejadian dalam kehidupan

sehari-hari dan tidak sedikit pula lagu-lagu hasil ciptaan mengangkat adat istiadat

daerah setempat. Oleh karena inilah karya musik daerah merupakan salah satu karya

musik yang digemari. Evangelisasi melalui lagu-lagu daerah merupakan salah satu

cara yang digunakan dalam pendekatan terhadap kaum muda dengan maksud utama

agar Kabar Gembira dapat sampai kepada kaum muda.


9

Evangelisasi dalam pengertian alkitabiah khususnya Perjanjian Baru

dimengerti sebagai Kabar Gembira yang didasarkan pada apa yang dimaksud Paulus

dalam pewartaan tentang Kristus dan rencana keselamatan Allah. Kabar Gembira

dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan istilah kesaksian, dalam bahasa Yunani

kuno martyria. Dikatakan oleh Jacobs (1992: 108) bahwa kesaksian selalu berarti

pengakuan, dengan itu maka “saksi” mempunyai arti yang khas misioner.

Komposer asal Kalimantan Barat yang telah berkarya kurang lebih sepuluh

tahun, Alpino telah memberikan sebuah kesaksian hidup dalam beberapa karyanya

(mis. Ka’ Patamuan, Ka’ Radio, dan Baru’ Tumalam). Dia juga telah membagikan

pengalaman dan pergulatan batinnya dalam menghadapi tantangan dalam dirinya

sendiri maupun tantangan dalam kehidupan bermasyarakat dan selain itu ungkapan

syukur serta permohonan tidak luput dari tema lirik beberapa lagu-lagunya. Misalnya

berikut ini kutipan refren dari salah satu judul lagu yang memiliki tema tentang

penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan dengan judul Jubata:

Ka’ Kita’ Jubata kami bapadah


Ka’ Kita Jubata kami bapinta’
Uba’atn barat niti maraga nang manyak rintangan

(PadaMu Tuhan kami mengadu


PadaMu Tuhan kami memohon
Memikul beban berat di sepanjang jalan yang banyak rintangan)

Karya musik memang tidak jauh dari pengungkapan oleh apa yang sedang

dirasakan dan ada yang menjadi acuan norma dalam kehidupan sehari-hari, misalnya

pengungkapan rasa bersalah di hadapan Tuhan dan merasa telah berdosa karena

melalaikan kepentingan bersama dan hanya mementingkan kepentingan sendiri dan

contoh yang lain misalnya, seorang anak muda mengungkapkan rasa sayangnnya
10

kepada kekasihnya. Kemudian dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebuah

prosesi kegiatan di ladang dilukiskan dengan sebuah lantunan lagu.

Sebuah kesaksian hidup sangat berarti dan memiliki nilai seni ketika

diungkapkan melalui sebuah lagu. Kesaksian hidup yang memiliki nilai seni

merupakan wujud daya kreativitas manusia yang tidak hanya memandang dari sisi

luar/ harafiahnya saja namun mencoba menggali sejauh mana sebuah kesaksian hidup

dapat terungkapkan dengan memperhatikan nilai-nilai seni yang ada.

Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak mendapat tempat khusus

dalam tulisan ini. Sebagai salah satu dari kaum muda di Keuskupan Agung

Pontianak, penulis merasa ada suatu hal yang harus dilakukan untuk menyemangati

serta mengembangkan sisi hidup rohaninya. Penulis merasa ini perlu dilakukan

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ialah karena faktor ekonomi, sosial, dan

agama.

Faktor ekonomi menuntut setiap keluarga yang berkekurangan bekerja

keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tingkat pendidikan di Sekolah Dasar

bagi anak-anak terpaksa digantikan dengan kerja keras di ladang/ sawah atau mencari

kerja di luar daerah. Begitu juga yang terjadi pada kaum mudanya. Dalam hal ini

yang terpenting adalah uang dan kebutuhan keluarga, sisi hidup rohani menjadi

terabaikan. Faktor sosial dalam masyarakat mempengaruhi pola hidup orang-orang

tertentu dan menjadi sebuah kebiasaan. Misalnya, pagi hari noreh (mengumpulkan

lateks dari pohon karet), siang hari menjual hasil olahan pada penadah. Pada sore

hingga malam hari hasil dari penjualan karet ini dipergunakan untuk mabuk-

mabukan, sisanya untuk membeli kebutuhan keluarga. Lain hal dengan faktor agama;

disebabkan kekurangan tenaga, Gereja Katolik sering kehilangan anggotanya yang

pindah ke agama lain karena merasa kurang diperhatikan.


11

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kaum muda Keuskupan Agung Pontianak menanggapi karya

musik dewasa ini?

2. Sejauh mana karya musik daerah mengembangkan evangelisasi baru bagi

kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak?

3. Apa relevansi dan peran karya musik daerah terhadap perkembangan

evangelisasi baru dalam Gereja zaman sekarang?

C. Tujuan Penulisan

1. Memberikan gambaran mengenai tanggapan kaum muda secara umum dan

secara khusus kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tentang karya

musik dewasa ini.

2. Karya musik daerah mengembangkan evangelisasi di Kalimantan Barat sejauh

ada dukungan dari pihak Gereja setempat serta adanya kemauan dan usaha

para pewarta dalam mendukung perkembangan evangelisasi baru.

3. Memaparkan relevansi dan peran karya musik daerah terhadap perkembangan

evangelisasi baru dalam Gereja zaman sekarang.

D. Manfaat Penulisan

1. Menumbuhkan kesadaran baru bagi kaum muda bahwa sebuah karya musik

dapat membantu dalam menumbuh-kembangkan iman kepada Yesus Kristus.

2. Memberikan sumbangan gagasan dan pemikiran serta motivasi bagi para

katekis, hierarki dan para pemimpin umat akan pentingnya sebuah

evangelisasi baru melalui karya musik.


12

3. Bagi penulis sendiri, membangun kesadaran dan paradigma baru mengenai

arti sebuah evangelisasi beserta cara yang dapat digunakan dalam evagelisasi

tersebut.

E. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analitis

interpretatif, serta studi pustaka. Artinya penulis mendasarkan tulisannya pada studi

kepustakaan atau literer, baik melalui tulisan-tulisan ilmiah, berupa buku, majalah

buletin, maupun ajaran-ajaran Gereja serta Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru. Dengan kata lain, penulis mengumpulkan mengolah dan menganalisa, serta

menginterpretasi masalah-masalah sehubungan dengan tema dalam pembahasan

skripsi ini berdasarkan tulisan-tulisan dan teori-teori yang relevan. Selain itu, penulis

juga menggunakan metode wawancara untuk memperoleh data.

F. Sistematika Penulisan

Bab I berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sitematika penulisan.

Bab II berisikan kaum muda dan karya musik dewasa ini, diuraikan dalam

beberapa pokok diantaranya adalah kesadaran diri Gereja sebagai umat Allah dalam

dokumen Lumen Gentium, gambaran umum kaum muda, kaum muda di Keuskupan

Agung Pontianak, karya musik dewasa ini, musik bagi kaum muda, karya musik

daerah Kalimantan Barat; pengertian evangelisasi baru; pengertian umum, pengertian

berdasarkan Kitab Suci, pengertian berdasarkan dokumen Gereja, isi evangelisasi

baru, metode evangelisasi baru, pewartaan Injil di zaman modern dalam Evangelii
13

Nuntiandi, kebudayaan dan iman memiliki pengaruh terhadap evangelisasi: sebuah

tinjauan kritis John Mansford Prior.

Bab III terdapat beberapa pokok penting yang diuraikan dalam bab ini,

yaitu: evangelisasi dalam karya musik daerah merupakan sebuah usaha dialog,

evangelisasi baru dilakukan di Keuskupan Agung Pontianak dan tantangan yang

dihadapi, karya musik daerah sebagai pintu masuk dalam evangelisasi, contoh karya

musik dan analisisnya: aspek-aspek lagu yang dianalisis; analisis karya musik.,

contoh katekese melalui melalui karya musik daerah.

Bab IV merupakan bagian terakhir dalam tulisan ini, penulis akan

memberikan kesimpulan dan saran kepada para katekis dan staf komisi di Keuskupan

Agung Pontianak, sanggar-sanggar seni di Keuskupan Agung Pontianak, dan kaum

muda di Keuskupan Agung Pontianak.


14

BAB II

KAUM MUDA DAN KARYA MUSIK DEWASA INI

A. Kesadaran Diri Gereja sebagai Umat Allah dalam Dokumen Lumen Gentium

Dewasa ini Gereja telah memandang dirinya sebagai sebuah tanda

keselamatan dan sarana untuk mempertemukan umat manusia dengan Allah. Gereja

tidak lagi memandang, jika adanya keselamatan hanya ada di dalamnya namun

Gereja lebih terbuka bahwa keselamatan terjadi jika adanya sebuah pertobatan dan

perubahan cara hidup. Gereja disebut suatu “misteri dan sakramen untuk menandai

kesatuan unsur lahiriah dan rohani, unsur manusiawi dan ilahi, sehingga dapat

menjadi tanda dan sarana untuk mempertemukan manusia dengan Allah dan

mempersatukan umat manusia” (Heuken, 2004: 202).

Hadirnya Gereja dalam sejarah umat manusia tidak lepas dari peran aktif

Yesus Kristus yang ikut menyejarah bersama perkembangan iman dan umat manusia

itu sendiri. Ketika Kristus hadir di dunia dan ikut menyejarah bersama umat manusia,

Dia membangun Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang Ia bangun inilah yang

merupakan pondasi awal berdirinya Gereja. Gereja muncul dan berkembang dengan

disemangati Kerajaan Allah dimana Kristus sendirilah sebagai pribadi hadir di

dalamnya dan Roh Kudus menyatukan serta membimbing perjalanan Gereja menuju

keselamatan umat manusia. Walaupun demikian, keselamatan bukan hanya terjadi

dalam Gereja saja namun keselamatan tetap terjadi sekalipun di luar organisasi

hierarkis Gereja itu sendiri atau dengan kata lain, unsur-unsur pengudusan dan

kebenaran serta keselamatan tetap terjadi dimanapun selain dalam “Gereja Kristus”

(Heuken, 2004: 202).


15

Berbicara mengenai Gereja berarti ikut juga memberikan definisi apa yang

dimaksud dengan “Gereja”. Berikut arti Gereja ditinjau dari sisi asal katanya:

Kata “Gereja” yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para
misionaris Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin
ecclesia, yang ternyata berasal dari bahasa Yunani, ekklesia. Kata Yunani
tersebut sebetulnya berarti ‘kumpulan’ atau ‘pertemuan’ atau ‘rapat’.
Namun Gereja atau ekklesia bukan sembarang kumpulan, melainkan
kelompok orang yang sangat khusus. Untuk menonjolkan kekhususan itu
dipakailah kata asing itu. Kadang-kadang dipakai “jemaat” atau “umat”.
Itu tepat juga. Perlu diingat bahwa jemaat ini sangat istimewa. Maka
barangkali lebih baik memakai kata “Gereja” saja, yakni ekklesia. Kata
Yunani itu berasal dari kata yang berarti ‘memanggil’. Gereja adalah umat
yang dipanggil Tuhan. Itulah arti sesungguhnya kata “Gereja” (KWI,
1996: 332).

Dari asal kata inilah dapat diartikan bahwa Gereja merupakan jemaat atau

umat yang terpanggil; terpanggil dalam hal apa? Tentunya dalam karya penyelamatan

yang telah dimulai oleh Yesus Kristus sendiri terhadap umat manusia. Ketika

berbicara mengenai peran, maka dapat dikatakan bahwa “umat-lah” yang memiliki

peran lebih banyak dalam Gereja. Dalam Konsili Vatikan II (LG 9) menyebutkan

bahwa “Umat Allah” sangat dipentingkan, khususnya untuk menekankan bahwa

Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan

karya Allah yang konkret. Inilah bukti bahwa Allah benar-benar mengasihi dan

memanggil umatNya. Memang Gereja dikatakan dengan kata “umat Allah” sedikit

“kabur”, tetapi kata ini dipakai agar Gereja tidak dilihat secara yuridis dan

organisatoris melulu karena Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan

yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham.

Sebuah kalimat, “umat Allah” digunakan untuk melihat bahwa Gereja

tidak hanya dipandang secara yuridis dan organisatoris melulu melainkan Gereja

dipandang sebagai bagian terpenting dari “umat” yang diselamatkan oleh Allah,

seperti yang diungkapkan di atas. Dalam pandangan Dokumen Gereja, Gaudium et


16

Spes (GS) berkaitan dengan hal ini, Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah

keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Dengan demikian

Konsili juga mau menekankan bahwa Gereja “mengalami dirinya sungguh erat

berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1). Sekaligus jelas pula

ditegaskan lagi bahwa Gereja itu sebenarnya majemuk: “Dari bangsa Yahudi

maupun kaum kafir Allah memanggil suatu bangsa, yang bersatu-padu bukan

menurut daging, melainkan dalam Roh” (LG 9). Konsili Vatikan II melihat Gereja

dalam rangka sejarah keselamatan, tetapi tidaklah berarti bahwa Gereja hanyalah

lanjutan bangsa Israel saja. Ketangan Kristus memberikan arti yang baru kepada umat

Allah.

Seperti yang ditegaskan dalam LG 9 tadi bahwa Gereja itu adalah

majemuk. Tidak memandang dan membedakan bangsa, suku, ras, golongan, bahasa

dan sebagainya. Gereja menyatukan seluruh umatNya dalam suasana “Kegembiraan

dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang sekarang, terutama kaum miskin dan

siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan

kecemasan para murid kristus juga” (GS 1). Inilah yang disebut dengan pergulatan

hidup manusia, dimana manusia mencoba berjuang untuk terus dapat memberi arti

yang lebih baik dalam hidupnya sehingga apa yang diterimanya sejak awal mula

hidup yaitu suatu hidup yang penuh arti haruslah dengan usaha dan kerja keras

berusaha memberi ruang kepada hidup itu agar tetap bermakna.

Manusia dari dulu hingga saat ini terus bergulat dengan hidupnya untuk

menemukan nilai yang sesuai dengan arah hidupnya. Terkadang manusia ingin agar

hidup itu seimbang dengan lingkungan dimana ia berada namun kadang-kadang

lingkungan itu sendiri yang karena kejahilan manusia lainnya akhirnya tidak

bersahabat dan mendukung proses penyesuaian manusia dengan lingkungannya dan


17

terjadilah suatu hal yang tidak diinginkan; misalnya saja terjadi bencana alam.

Memang, dalam hal ini rahasia batinnya sendiri coba ia selami namun apabila telah

menemukannya terkadang ia menjadi ragu dan kemudia tidak tahu kemana

seharusnya ia harus mengarahkannya. Dalam semua pergulatan inilah sebenarnya

umat Allah itu sendiri sadar akan keberadaannya sebagai makhluk yang universal.

Dimana yang seharusnya menjadi tindakan makhluk universal itu ialah mampu

membentuk tata kenegaraannya, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik

mengabdi manusia, dan membantu masing-masing perorangan maupun setiap

kelompok, untuk menegaskan serta mengembangkan martabatnya sendiri.

Kesadaran diri Gereja sebagai umat Allah dalam hal ini memiliki arti yang

luas dimana Gereja bukanlah lagi menyangkut perorangan namun ketika berbicara

mengenai Gereja berarti melibatkan juga dalam berbicara mengenai dunia, karena

Gereja ada dalam dunia dan Gereja pula bagian dari dunia. Inilah sifat universal

dalam Gereja. Gereja menerima apa yang diberikan oleh dunia padanya dan Gereja

memiliki hak untuk menolak segala bentuk tindak kejahatan yang disebabkan oleh

umat manusia dalam dunia itu sendiri dan Gereja memiliki hak untuk memperbaiki

sisi negatif dalam dunia tersebut.

Gereja sebagai umat Allah yang terpanggil serta terdorong oleh iman

berusaha untuk mengenali setiap peristiwa dalam hidupnya dan tuntutan-tuntutan

serta aspirasi-aspirasi yang dirasakan bersama pada zaman sekarang ini. Mencoba

mengenai isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah (GS 11). Sedikit demi

sedikit Gereja menyelami arti kehadirannya di tengah-tengah dunia dan zaman

sehingga apa yang dikatakan mengenai Gereja sadar akan kehadirannya di tengah

dunia memiliki peran aktif semakin nyatalah bahwa umat Allah dan bangsa manusia

yang mencakupnya saling melayani dengan demikian semakin nyata lagi perutusan
18

Gereja sebagai misi yang bersifat religius dan justru karena itu juga Gereja memiliki

sifat manusiawi.

Sifat manusiawi yang tergambarkan dalam diri Gereja telah muncul sejak

dahulu yaitu katika Yesus mengawali karyaNya dengan mewartakan kabar bahagia,

yakni kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berabad-abad lamanya dijanjikan dalam

Alkitab: “Waktunya telah genap, dan Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).

Dengan ini pulalah maka Gereja berusaha menampakkan misteri keselamatan yang

ada di dalamnya. Kabar Bahagia inilah yang disebut sebagai wujud dari kehadiran

Kristus bagi umat manusia, maka sangat diharapkan adanya tanggapan dari umat itu

sendiri (LG 5).

B. Gambaran Umum Kaum Muda

Sebutan terhadap kaum muda sebenarnya bukan hanya mengandung arti

bahwa seseorang dalam hitungan umur yang dianggap belum dewasa. Dengan

pengertian seperti ini hanya ketidakjelasan yang memberikan gambaran tentang kaum

muda. Kaum muda disebut sebagai “kaum muda” dalam pengertian berdasarkan umur

yaitu dengan umur yang terbentang dari 15-24 tahun, dalam tahap pertumbuhan fisik

dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral serta religius (Shelton, 2000: 57).

Berdasarkan perkembangannya dalam tahap ini, sisi perkembangan yang paling

menonjol ialah diri kaum muda itu sendiri. Ia akan berusaha menunjukan siapa

dirinya dan komunitasnya beserta kemampuan/ keterampilan yang dimiliki.

Seorang penulis yang giat dalam pembinaan kaum muda, Tangdilintin

(2008: 5) dalam pendapatnya, ia menyebutkan istilah kaum muda dengan “muda-

mudi” dengan batasan yang ia berikan sebagai berikut:


19

Muda mudi dimaksudkan kelompok umur sexennium ketiga dan keempat


dalam hidup manusia (kurang lebih 12-24 tahun). Bagi yang bersekolah,
usia ini sesuai dengan usia Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi.
Ditinjau dari segi sosiologis, seringkali patokan usia di atas perlu
dikoreksi dengan unsur status sosial seseorang dalam masyarakat tertentu
(sama dengan kedewasaan psikologis). Status sosial yang dimaksudkan
ialah hak dan tugas orang dewasa yang diberikan kepada seseorang yang
sesuai dengan tata kebiasaan masyarakat tertentu. Status sosial ini sering
sejalan dengan status berdikari di bidang nafkah/ dan atau status
berkeluarga. Unsur usianya masih dalam jangkauan usia muda-mudi, bisa
dianggap sudah dewasa dan sebaliknya orang yang sudah melampaui usia
masih dianggap muda-mudi.

Status kaum muda yang diberikan kepada kaum muda itu sendiri tidaklah

sesuai apabila dalam usianya yang masih muda ia hanya berpangku tangan atau

menurut pepatah: ibarat katak yang terus berbunyi menunggu hujan turun dari langit.

Sebaliknya, dalam batasan umur untuk ukuran orang dewasa bahkan tua namun

apabila dalam memandang hidup penuh dengan optimis dan bersemangat serta mau

bekerja keras inilah yang pantas dikatakan sebagai kaum muda, generasi fresh. Romo

Gandhi, S.J. (pendamping kaum muda di Paroki St. Antonius Kotabaru 2005-2006)

selalu mengharapkan bahwa kaum muda benar-benar memiliki andil yang lebih besar

terhadap situasi luar yang melingkupi gerak kaum muda itu sendiri. Berbagai cara

yang dilakukan dalam pendekatan dengan situasi kaum muda dewasa ini misalnya

dengan cara camping rohani, out bond, rekoleksi kaum muda dan sebagainya.

Realitas yang terjadi bahwa kaum muda sendiri yang menggerakan dirinya

dapat terlihat di sebuah desa kecil Taize, di Pegunungan Burgundi beberapa mil dari

garis demarkasi yang membelah Prancis menjadi dua. Kaum muda berdatangan dari

berbagai negara baik perorangan maupun kelompok dengan satu tujuan yaitu ingin

mendapatkan keheningan dan pengalaman baru bersama saudara-saudara dari negara

yang berbeda (Olivier, 2003:107). Kaum muda memiliki harapan untuk memperoleh

sesuatu dengan apa yang dilakukannya dan dengan apa yang diusahakan dengan
20

sekuat kemampuannya. Sebuah keinginan yang terpendam pasti menuntut sebuah

penyelesaian bahwa harus segera mencapai tujuan. Keinginan keras inilah yang

mendorong kaum muda dalam usahanya untuk segera melakukan sebuah usaha dan

memenuhi keinginannya. Inilah sifat asli kaum muda, yaitu keinginan untuk terus

memandang keluar untuk melihat sebuah kebahagiaan.

1. Ciri-ciri kaum muda

Ciri-ciri kaum muda tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitarnya.

Mulai dari pola hidup, cara-cara dalam pergaulan, keterlibatan dalam masyarakat,

hingga yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menjadi ciri khusus

yang menandakan dirinya adalah kaum muda. Kaum muda berkembang setaraf

dengan pola pikir dan kesadaran mereka akan kebutuhan serta peran yang akan selalu

disandangnya ketika dalam lingkungan orang dewasa dan akan disesuaikannya ketika

berada dalam lingkungannya sendiri (Shelton, 1988: 34).

Beberapa tahun yang lalu Komisi Kepemudaan KWI mengadakan

pertemuan dengan para penanggungjawab kaum muda di Syantikara Yogyakarta

tahun 1997. Dalam pertemuan tersebut Komisi Kepemudaan KWI (1999: 4)

mengungkapkan bahwa kaum muda dengan batasan-batasan umurnya yaitu:

Kaum muda adalah mereka yang berusia 13 sampai 35 tahun dan belum
menikah, sambil tetap memperhatikan situasi dan kebiasaan masing-
masing daerah. Kaum muda tersebut mencakup jenjang usia remaja,
taruna dan pemuda.

Dengan melihat begitu banyaknya batasan-batasan usia yang diberikan

dan semuanya menunjukan tidak ada kesamaan untuk batasan ini maka baiklah,

batasan yang diberikan oleh Komisi Kepemudaan KWI ini menjadi patokan dasar

untuk menentukan batasan usia kaum muda baik dari segi psikologisnya,
21

sosiologisnya, biologisnya. Pada usia ini secara umum kaum muda sedang memasuki

masa pancaroba dan ada yang mulai memasuki masa dewasa dan pada usia ini, kaum

muda mengalami perkembangan kemampuan kognitif, afektif serta kemampuan

beraktivitas yang pesat. Di sinilah tempat dan saatnya untuk membangun dan

mengembangkan watak dan kepribadian serta termasuk eksplorasi seluruh bakat yang

ada.

Dikatakan bahwa masa muda adalah masa yang menentukan, baik itu

masa depan, kehidupannya, keluarganya, dalam masyarakat dan bahkan bangsa dan

negara dapat ditentukan olehnya. Pada masa muda ini pula segala tanggungjawab

mulai lebih memberikan sebuah makna tersendiri. Arah hidup harus mereka tentukan

sendiri. Terdapat masa-masa yang menentukan kaum muda dalam kehidupannya

sehari-hari yang dipengaruhi oleh segi-segi baik itu segi biologis, psikologis, maupun

segi sosiologisnya. Penjelasan selanjutnya akan dipaparkan berikut ini:

a. Segi biologis

Perkembangan kaum muda dilihat dari segi biologis ini adalah

perkembangan yang dapat diamati secara langsung atau dengan kata lain dalam

perkembangan dari segi biologis ini pula lebih menunjukan perkembangan jasmani.

Namun sejauh ini perkembangan fisik dan segi biologis Perkembangan fisik kaum

muda dapat dilihat pada tungkai dan tangan, otot-otot tubuh berkembang pesat, tetapi

pada kepalanya masih mirip dengan anak-anak. Sedangkan perkembangan hormon di

dalam tubuhnya membuat mereka lebih menyadari diri sebagai pria atau wanita.

Mereka merasakan daya tarik jenis lain. Mereka mulai mengalami perasaan jatuh

cinta dengan segala romantiknya.


22

Hal terpenting di sini untuk menunjukan ciri-ciri lebih mengarah pada

kaum muda adalah bagaimana terlihat dalam pertumbuhan/ perubahan pada setiap

anggota tubuhnya seperti yang dipaparkan di atas.

b. Segi psikologis

Segi psikologis lebih-lebih mengedepankan bagaimana perkembangan

kaum muda misalnya dilihat dari sisi perkembangan emosional dan sosial. Kaum

muda akan menunjukan sifat-sifat yang mengarah pada kepedulian terhadap sesama

dan lingkungan. Telah dijelaskan diatas tadi bahwa pada tahap ini kaum muda mulai

mencari-cari berbagai makna daam kehidupannya termasuk arti cinta, sinta ekslusif

maupun cinta universal. Mereka mulai memahami perasaan lawan jenisnya dan dapat

merasakan jatuh cinta beserta mencoba menemukan romantiknya saat-saat

berpacaran.

Seorang ahli psikologi, Hurlock (1990: 272) mengemukakan pendapatnya

tentang masa dewasa sebagai berikut:

Masa dewasa, yaitu periode yang paling panjang dalam masa kehidupan,
umumnya dibagi atas tiga periode yaitu: masa dewasa dini, dari umur 18
sampai 35 tahun, masa dewasa pertengahan atau “setengah umur”, dari 35
tahun sampai 60 tahun dan masa dewasa akhir atau usia lanjut dari usia 60
tahun hingga mati. Masa dewasa dini adalah masa pencarian kemantapan
dan masa produktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan
ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa
ketergantungan, perubahan-perubahan nilai-nilai, kreativititas dan
penyesuaian pada pola hidup baru.

Pada masa dewasa dini, orang muda mulai menemukan dan mengambil

tanggungjawab pribadi untuk mengarahkan hidup mereka sendiri. Perkembangan

emosi dan afeksi mulai dibina untuk semakin matang baik untuk menyesuaikan
23

dengan lingkungan dimana kesehariannya maupun untuk membina perasaan agar

mampu percaya diri.

Masa muda merupakan masa genting bagi perkembangan kognitif

(Shelton 1988: 66-67). Refleksi kognitif memungkinkan orang muda untuk

menyimak sejarah hidup mereka sendiri secara lebih langsung. Orang muda harus

mencari, menghadapi masalah-masalah, dan menyusun pemikiran mereka dalam

suatu sistem berpikir yang lebih utuh untuk memberi arti pribadi. Oleh karena inilah

orang muda biasanya seringkali mengambil jarak terhadap dirinya sendiri.

Melihat situasi seperti di atas dapat dikatakan kaum muda adalah manusia

yang sedang berada dalam fase belajar untuk menjadi pribadi manusia yang dewasa.

Dengan kata lain setiap orang muda harus mampu menangkap situasi hidup dengan

cara yang khas dan berprinsip.

c. Segi sosial

Kaum muda akan terlihat sangat kontras dengan masa kecil yang telah

dilaluinya atau dengan masa dewasa yang belum dilalui karena dilihat dari segi sosial,

kaum muda adalah manusia yang penuh dengan ketegangan dan pergolakan demi

mencari identitas dirinya, mencari dukungan dan menunjukan identitasnya.

Timbulnya dorongan untuk berdiri sendiri, menentukan pilihannya sendiri,

mengambil sikap dalam keputusannya sendiri, menjadikannya sebagai pribadi yang

ingin otonomi sambil memperluas jangkauan pergaulannya sehari-hari. Mereka mulai

sadar bahwa lingkungan pergaulannya dalam keluarga dirasa sudah terlalu sempit.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kaum muda merupakan sosok pribadi yang

selalu berkobar-kobar, penuh dinamika, penuh gairah. Seringkali bagi kebanyakan

kaum muda tidak menyenangi yang dinamakan “berdiam diri”. Sifat unik sebagai
24

petualang hidup terus dihidupi untuk mencari dan membentuk pribadi serta

identitasnya. Kaum muda selalu terbuka akan segala hal, termasuk tantangan-

tantangan dalam hidupnya. Dan satu hal lagi sifat kaum muda yang paling menonjol

yaitu ingin selalu mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya dan ingin

membuktikan bahwa dirinya “bisa”. Mereka kurang bisa menerima segala sesuatu

ditentukan oleh orang lain.

2. Perkembangan Iman Kaum Muda

Berbicara mengenai iman sudah barang tentu memberikan porsi besar

untuk siapa yang diimani tersebut dan dalam hal ini tidak lain adalah Yesus Kristus.

Iman adalah proses aktif dan dinamis yang memainkan peranan sentral dalam

membentuk tanggapan yang diambil dalam menanggapi kehidupan. Artinya iman

adalah cara seseorang untuk melihat dirinya sendiri dalam hubungan dengan orang

lain berdasarkan arti dan maksud yang dimengerti bersama. Maka iman adalah

keterlibatan yang manusia buat bagi orang lain, kelompok dan jemaat. Di dalam

keterlibatan itu ada kepercayaan yang dalam untuk berbagi dalam nilai-nilai bersama.

Nilai-nilai itu adalah cita-cita yang secara dalam merasuki harapan, pandangan dan

rasa manusia untuk mencapai tujuan.

Shelton (1988: 55-56) mengemukakan pendapat Fowler dalam teorinya

bahwa “untuk mencapai iman yang benar-benar mantap seseorang harus melewati

tahap-tahap yang tidak sangat mudah bahkan dibutuhkan sebuah perjuangan untuk

melewati proses sulit dan tidak jarang menemui derita. Orang muda tampak sedang

berusaha meninggalkan tahap ketiga dan memasuki tahap keempat (lihat di bawah,

pada butir c-d), suatu proses yang biasanya diliputi keraguan dan penderitaan”. Ada

enam teori Fowler yang dikemukakan oleh Shelton (1988: 55-56) yaitu:
25

a. Tahap I: proyektif intuitif (usia 4-8 tahun)

Dalam usia ini anak-anak mengalami kesulitan dalam menentukan sebab

akibat, melepaskan kenyataan dari khayalan dan memahami urutan berbagai

peristiwa. Oleh karena itu tantangan yang muncul pada tahap ini ialah untuk

mengembangkan pemusatan perhatian yang lebih sadar mengenai masa depan.

b. Tahap II: mistis literal (usia 6-7 tahun hingga 11-12 tahun)

Di usia seperti ini, argumentasi secara sederhana dan mengembangkan

kategori-kategori untuk mengklasifikasikan berbagai penglaman. Lingkungan mulai

dikuasai secara konkret karena mereka belum memiliki kemampuan abstraksi dan

refleksi. Tuhan dilihat sebagai sesuatu yang setia dan tidak dipersoalkan. Tetapi dunia

tetap saja tidak pasti dan dalam berbagi cara, mereka tidak berdaya. Dalam

kepercayaan dan keagamaan mereka dapat menemukan rasa aman.

c. Tahap III: sistem konvensional (usia 12 tahun hingga dewasa)

Kaum muda memandang dunia dari sudut interpersonal. Gagasan-gagasan,

harapan-harapan dan pandangan orang lain diinternalisasi untuk mendukung identitas

mereka yang sedang tumbuh. Pandangan orang lain sangat penting untuk

pembentukan sistem nilai mereka sendiri. Di sinilah simbol memiliki arti tersediri

bagi mereka. Simbol dimengerti sebagai sesuatu yang lebih daripada sekedar

penampilan benda fisiknya, atau nama yang digunakannya seperti misalnya “Tuhan”.

Di sini, kualitas pribadi simbol sangat diperhatikan. Jadi Yesus Kristus dapat menjadi

sahabat dan teman yang dapat mereka hubungi. Inilah yang mengakibatkan hubungan

mereka dengan Tuhan menjadi lebih personal.


26

d. Tahap IV: refleksi individuatif (usia 17-18 tahun hingga 20-22 tahun)

Selain usia yang telah ditentukan tersebut di atas, pada tahap ini dapat juga

terjadi pada usia 30-an atau 40-an tahun. Di usia ini seseorang mulai memandang

iman yang semakin “menjadi milik sendiri”. Iman bukan hanya personal namun lebih

konstan dan koheren. Mereka tidak hanya merasa hanya merasa butuh memperdalam

refleksi imannya, tetapi juga butuh keterbukaan pada pengalaman masa kini dan

mendatang. Mereka harus mulai menganggap serius beban pertanggungawaban atas

keterlibatan, gaya hidup, iman dan juga tingkah laku mereka.

e. Tahap V: iman yang konjungtif (usia 30-an)

Tahap ini muncul dari pengalaman hidup yang semakin mendalam yang

mencakup penderitaan, kehilangan dan ketidakadilan. Dalam tahap ini pula seseorang

menyadari pentingnya persahabatan dan loyalitas serta bermasyarakat yang semakin

luas; masyarakat tempat mereka menemukan arti. Namun mereka juga menyadari

pentingnya keterbukaan terhadap masa depan yang tidak menentu. Oleh kerena itu

mereka juga terlibat dalam masalah-masalah politik dan etika yang semakin dalam,

tahap ini merupakan hasil renungan seseorang dalam interaksi mereka dengan orang

lain dan dengan kondisi hidup mereka sendiri.

Berbagai gambaran tentang kaum muda telah terungkapkan yang meliputi

aspek-aspek: biologis, psikologis, sosiologis dan perkembangan imannya. Tidak ada

sesuatu hal yang diungkapkan di sini merupakan sesuatu yang mutlak terjadi pada

kaum muda. Gambaran tadi sekiranya menjadi pegangan bagi para pembimbing kaum

muda ketika berhadapan dengan komunitas orang muda dan sekali lagi dikatakan

gambaran tersebut bukanlah sesuatu yang tidak berubah. Setiap saat pasti mengalami

perubahan, maka perlu pengamatan dimana kaum muda itu berada, sehingga akan
27

lebih memadai antara tujuan pembinaan dan kebutuhan, baik yang dirasakan maupun

kebutuhan yang sesungguhnya.

f. iman yang diuniversalkan

Sebuah keinginan dari dalam yaitu ingin melayani orang lain terjadi dalam

tahap ini. Semangat keterlibatan untuk memburu cinta dan keadilan. Dengan iman

seseorang berusaha menjelaskan “yang transenden” serta membantu menerangkan

kodrat mereka dalam hubungannya dengan rahmat istimewa. Terdapat “rahmat luar

biasa” yang merupakan manifestasi tak terduga dan tak terselami dari keprihatinan

Allah dan umat-Nya akan cinta dan semangat mereka. Pribadi-pribadi yang telah

berhasil mencapai tahap ini misalnya Ibu Theresa dan Martin Luther King. Mereka

telah memperlihatkan semangat besar dan keterlibatan untuk tuntutan cinta dan

keadilan.

C. Kaum Muda di Keuskupan Agung Pontianak

Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tidak berbeda jauh dengan

gambaran umum kaum muda seperti yang telah diutarakan di atas. Namun sebagai

fokus utama dalam tulisan ini, kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tentu

memiliki sesuatu atau ciri-ciri tertentu yang dapat dikatakan kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak sedikit “berbeda” dengan kaum muda secara umum

atau kaum muda yang ada di beberapa tempat misalnya di Keuskupan Agung

Semarang, kaum muda di Paroki St. Antonius Kotabaru Yogyakarta atau kaum muda

di Lingkungan Yohanes Paulus Tukangan. Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana

kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak secara umum dan ciri khas kaum muda

di Keuskupan Agung Pontianak berkaitan dengan pembahasan dalam tulisan ini.


28

Seorang Pastor Paroki Menjalin, di Keuskupan Agung Pontianak, P.

Iosefus Erwin, OFM.Cap [Lampiran 6: (6)]. Beberapa pokok acuan untuk pertanyaan

dalam wawancara ini sebagai berikut:

o Keadaan Paroki sekarang dan kaum mudanya

o Program Paroki yang berkaitan dengan kaum muda dan tanggapan kaum muda

terhadap program tersebut

o Keterlibatan kaum muda (di Lingkungan, Stasi dan Paroki)

Dalam wawancara ini beliau mengatakan bahwa untuk sekarang Paroki

mengalami peningkatan, terutama dalam keterlibatan kaum muda dalam kegiatan

menggereja dan sebut saja kegiatan-kegiatan tersebut ialah pendalaman iman di setiap

lingkungan yang kebanyakan dipimpin oleh kaum muda, dialog berbagai masalah

yang diangkat seputar kaum muda, dan beberapa petugas pastoral dari paroki diambil

dari kaum muda demi kelancaran urusan pastoral yang ada di paroki. Program-

program dari paroki yang diharapkan mampu memberdayakan kaum muda adalah

rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK), rekoleksi pada Pendamping Iman Anak (PIA)

tiap lingkungan, sarasehan, turne. Berkaitan dengan keterlibatan kaum muda, beliau

mengatakan bahwa kaum muda di Parokinya memiliki potensi-potensi yang dapat

diandalkan dan potensi-potensi tersebut nampak ketika dalam beberapa kegiatan yang

diselenggarakan. Di sebagaian besar dalam lingkungan kaum muda menjadi promotor

untuk beberapa kegiatan misalnya PIA (Pendampingan Iman Anak), lomba-lomba

ketika bertepatan hari raya Natal dan Tahun Baru, Paskah dan beberapa acara-acara

yang bersifat insidental.

Memang perlu diakui tidak ada yang tidak mungkin juga hal ini terjadi

pada Paroki-paroki atau tempat-tempat lain yang ada di Keuskupan Agung Pontianak.

Hal ini menunjukan bahwa di sinilah sebuah letak nilai-nilai positif yang ada pada
29

kaum muda di Keuskupan ini, sebuah gambaran masa depan yang cerah. Namun

masih banyak yang harus dibenahi berkaitan dengan masa depan kaum mudanya.

Sebut saja hal-hal negatif yang sampai sekarang menjadi kebiasaan adalah kebiasaan

minum-minuman keras. Beberapa kejadian yang akhirnya menimbulkan perkelahian

sering terjadi. Kebanyakan hal-hal negatif ini terjadi pada orang muda Dayak.

Dalam Odop (2006: 11) mengutip pendapat P. Zacharias Lintas Pr,

seorang Pastor Paroki di Ketapang, Kalimantan Barat bahwa perubahan memang

sudah banyak terjadi dari macam-macam segi di tanah Kalimantan Barat ini, terutama

pada penduduk asli. Masyarakat Dayak sebenarnya sadar akan perubahan yang

sedang terjadi namun perubahan yang bagaimana? Dalam arti tertentu mereka juga

merasakan bahwa perubahan membawa suatu perkembangan baru dalam kehidupan.

Tetapi ada sebuah keyakinan bahwa mereka belum bisa mengatakan perubahan

macam apa yang sedang terjadi, mereka juga tidak bisa mengatakan apakah dampak

positif atau negatifnya terhadap kehidupan mereka.

D. Karya Musik Dewasa Ini

Dewasa ini musik tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia pada

umumnya. Berbagai bentuk karya musik menjadi santapan sehari-hari bagi para

penggemarnya, sebut saja berikut ini aliran-aliran musik pop, rock, underground,

klasik, reggae, jazz, keroncong, folksong, campur sari dan masih banyak lagi yang

lainnya. Karya-karya musik ini menawarkan berbagai macam situasi yang mungkin

sesuai dengan situasi penikmatnya sehingga dapat menarik perhatian kemudian

dikonsumsi. Memang perlu diakui bahwa musik dapat masuk di mana saja dalam

setiap sendi-sendi kehidupan manusia serta dalam seluruh alam pikiran manusia.

Musik dapat dikatakan sebagai bahasa kedua setelah bahasa baku yang digunakan
30

manusia sehari-harinya seperti bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris dan

lainnya. Seperti yang ditegaskan oleh Karl Edmund Prier (2004: 3) berkaitan dengan

hal ini yaitu “Bahasa musik melampaui batas bahasa, kebudayaan, bahkan agama”.

Dengan demikian musik dapat juga dikatakan sebagai bahasa universal setiap umat

manusia. Melampaui batas bahasa manusia karena musik dengan berani memberikan

warna-warni kehidupan yang belum tentu mampu terungkapkan dengan bahasa yang

telah baku digunakan oleh manusia.

Sekelompok musikus ternama berasal dari Irlandia yaitu Westlife dengan

bangga menyebutkan motto mereka dalam bermusik “Music will be a part in my

life”. Dalam setiap album yang dikeluarkan, motto ini selalu menghiasi cover.

Berbeda dengan Armand Maulana sang vokalis kelompok band Gigi, dalam

kesempatan yang sama mengatakan “Musik tidak akan berakhir selagi raga masih

merasakannya”. Ungkapan-ungkapan seperti inilah yang mampu membuktikan

bahwa sebuah karya musik dapat melampaui bahasa, kebudayaan bahkan agama.

Sebuah contoh yang dapat diberikan penulis mengenai musik mampu melampaui

agama. Perlu diakui bahwa ajaran agama sedikit sekali yang berani

mengumandangkan tentang perdamaian namun dengan musik, perdamaian dengan

bebas dikumandangkan bahkan bukan hanya dari kalangan agama saja yang

mendengar ungkapan tersebut namun dari aliran sosial – politik, dan budaya ikut

mendengar. Dengan demikian selain ungkapan: musik dapat malampaui bahasa

manusia, musik juga merupakan ungkapan kebebasan manusia untuk berkspresi serta

menunjukan siapa dirinya dan lingkungannya berkaitan dengan situasi yang sedang

terjadi atau yang belum diketahui oleh manusia.


31

E. Musik Bagi Kaum Muda

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ketika berbicara tentang musik, dalam

definisinya kiranya nanti dapat sedikit banyak memberi pemahaman tentang apa yang

dimaksud dengan musik. Berikut arti musik itu sendiri dalam beberapa bahasa,

bahasa Jerman: musik; bahasa Belanda: muziek; bahasa Inggris: music; bahasa

Prancis: musique; dan dalam bahasa Italia: musica. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,

musik diartikan sebagai sebuah seni susun nada atau seni suara atau seni tata suara

(Heru Kasida, 1991:188). Selain itu musik juga didefinisikan sebagai cabang seni

yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat

dimengerti dan dipahami manusia. Musik itu sendiri berasal dari kata muse, yaitu

salah satu dewa dalam mitologi Yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu pengetahuan

(Banoe, 2003: 288).

Musik adalah bahasa internasional, bahasa dunia. Hampir semua orang

mampu menikmati musik tanpa harus mengerti arti kata-kata sebuah lagu. Sebuah

pertanyaan yang tidak mungkin tidak dapat dijawab oleh semua orang, apakah kaum

muda gemar musik? Hampir di seluruh dunia ini tidak seorang pun yang tidak

mengenal ‘musik’. Mengenai apa musik itu secara lebih dalam lagi mungkin tidak

semuanya tahu namun yang pasti sebagian besar masyarakat di seluruh dunia ini tidak

ada yang tidak mengenal musik.

Hobi dan bakat musik akan tumbuh dan terus berkembang jika selalu

diatih dan diminati. Orang yang berbakat dalam musik sudah barang tentu hobi

dengan musik namun orang yang hobi dalam musik belum tentu memiliki bakat

dalam musik. Namun darimana asal sebuah hobi dan bakat musik tersebut? Sesuatu

yang kedengarannya menarik belum tentu dapat dikatakan dengan musik namun

walaupun demikian musik merupakan gabungan dari berbagai suara yang dihasilkan
32

oleh berbagai sumber pula kemudian direspon oleh pendengaran manusia, inilah yang

dikatakan bunyi. Bunyi ini sampai di telinga manusia dan diterima oleh alat respon

dalam sistem kerja otak di sinilah sebuah pilihan akan terjadi. Aneka ragam bunyi ini

tadi selalu diterima oleh setiap manusia dalam situasi yang berbeda dan oleh karena

inilah pengalaman dalam mengenal sebuah bunyi menjadikan seseorang terlihat lain

dari yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Tri Harjono (1999: 43-45) berikut

ini:

Setiap orang mempunyai pengalaman dan kemampuan persepsi sensorik


yang berbeda-beda dalam mendengarkan bunyi, dan juga setiap orang
mempunyai perspektif yang berbeda-beda dalam mempersepsi bunyi itu.
Oleh karenanya, dengan pengalaman dan pengetahuan yang memadai
memungkinkan orang mampu mempersepsi secara partikular dan dengan
pendengarannya ia mampu membedakan aneka ragam bunyi.

Demikianlah setiap peristiwa bunyi memang memberikan rangsangan

berupa perspektif yang berbeda-beda bagi setiap orang, karenanya dengan

memberikan warna tersendiri dalam bunyi ini akan membantu seseorang untuk dapat

membedakan jenis bunyi apa yang sedang didengarkannya. Cara kerja musik dalam

memberikan rangsangan selalu terungkapkan dengan ungkapan, “musik dapat

dirasakan namun dapat dipahami, dapat dikenali namun tidak sepenuhnya dapat

diterangkan” (Tri Harjono, 1999: 54-56). Pendengar musik dapat menangkap apa

yang hendak disampaikan oleh penciptanya, meskipun tidak sepenuhnya dapat

menerangkan maksudnya.

Bagaimana dengan kaum muda dalam memberikan respon pada musik?

“Sebagai seorang muda, saya mengalami perkembangan hidup yang tidak mudah,

yaitu proses belajar tentang apa hidup itu” (Oliver, 2003: 9). Arti hidup yang dicari

oleh kaum muda pada masa ini berbagai macam dan salah satunya dengan musik.

Bagi kaum muda tertentu musik merupakan tempat eksplorasi ekspresi pertama dan
33

tempat dimana arti hidup itu diketemukan. Dengan musik mereka segala bentuk

ekspresi sangat mudah dan bebas diekspresikan, dan biasanya pada masa muda

seperti ini sebagian ekspresi yang terungkapkan selalu berkaitan dengan emosional.

Dimana Emosional merupakan ungkapan kejujuran hati tentang perasaan (Heru

Kasida, 1991: 133), di sinilah dan masa inilah seseorang kadang berada di atas situasi

emosi namun terkadang berada di bawahnya. Seseorang dikatakan kadang berada di

atas emosi maksudnya ialah ketika energi tentang perasaan terasa lebih dominan

terhadap akal sehat namun karena ia berpikir dirinya tidak mungkin dikuasai oleh

perasaan maka ia berusaha agar tidak dikuasai oleh perasaan. Lain halnya dengan

yang disebut berada di bawah emosi. Ketika perasaan terasa lebih dominan namun

karena seseorang tidak mampu mengusai sang perasaan tersebut maka demikianlah

terjadi dengan apa yang dinamakan terbawa perasaan atau dikuasai oleh perasaan.

Pada saat inilah, situasi yang membawa seseorang terhadap emosi dirinya akan

berusaha mencari wadah untuk mengungkapkan semua yang sedang dialaminya dan

salah satunya adalah musik. Namun tidak jarang hal-hal negatif juga menjadi tempat

pelarian yang utama dalam hal ini. Di sini kontrol dan bimbingan dari orang yang

lebih dewasa masih sangat dibutuhkan terutama dalam bimbingan pengendalian

emosi.

Dikatakan sekali lagi, apakah kaum muda gemar musik? Tidak semuanya

kaum muda gemar dengan musik, karena “musik merupakan tiruan seluk beluk hati

dengan melodi dan irama” (Prier, 2004: 41) dan tidak semuanya kaum muda

menyukai dengan melodi atau irama tersebut. Karena dalam musik, sedikit banyak

dibutuhkan sebuah ketertarikan dan rasa ingin tahu sehingga menimbilkan hobi. Hobi

menuntut seseorang untuk mengenal secara lebih dekat. Namun jika ditanyakan,
34

apakah kaum muda mengenal musik? Sebagian besar kaum muda pasti mengenal

musik.

F. Karya Musik Daerah Kalimantan Barat

Karya musik di Kalimantan Barat dapat dikatakan tidak berbeda jauh

dengan karya-karya musik yang terdapat di Pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya.

Masing-masing daerah ingin memberikan warna tersendiri dalam karya musiknya.

Terlihat sebagian besar karya musik di Pulau Jawa dewasa ini lebih menonjolkan seni

musik/ karya musik kontemporernya atau sering disebut dengan musik campur sari.

Di daerah Flores, Maluku Papua dan yang lainnya, karya musik yang berkembang

dari karya musik khas daerah hingga kontemporernya. Demikian juga yang terjadi

pada karya musik di daerah Kalimantan Barat; karya musik yang berkembang dewasa

ini selain karya-karya kontemporer karya musik khas daerah juga masih terus

dikembangkan. Seperti yang terjadi di beberapa komunitas pemerhati dan

pengembang musik-musik khas daerah atau tradisional di beberapa daerah di

Kalimantan Barat ini sebut saja Sanggar Enggang Borneo di Singkawang, Sanggar

Effata di Pontianak, Dhendo Band di Pontianak dan Kamuda’ Diri’ di Darit–

Pahauman. Tidak sedikit juga beberapa kegiatan-kegiatan insidental yang dilakukan

oleh Komunitas Dayak se-Kalimantan setiap tahun di Yogyakarta berkaitan dengan

pelestarian adat istiadat serta karya seni musik. Di Kalimantan Barat sendiri yang

terjadi setiap tahun pada tanggal 27 April dirayakan pesta panen atau disebut Naik

Dango. Dalam perayaan ini berbagai karya seni yang ada di Kalimantan Barat

dipertunjukan, termasuk seni musik baik khas daerah/ tradisional atau karya musik

kontemporer. Perbedaan langsung yang dapat dilihat dari sebuah karya khas daerah

dengan karya kontemporernya ialah dalam penggunaan alat musik, bahasa, dan tema
35

lagu berdasarkan penjelasan Masdi [Lampiran 2: (2)]. Berikut ini akan dipaparkan

perbedaan karya musik khas daerah dengan karya musik kontemporer:

Alat musik Bahasa Tema

Musik khas Gong, dau (sejenis Bahasa Dayak Syukur dan berterima

daerah gong kecil), tuma’ kasih: panen, kelahiran,

(sejenis gendang), perjalanan pulang;

suling bambu, sapeq. permohonan:

kesembuhan,

keselamatan dalam

perjalanan; untuk

mengiringi tarian:

Ngayau, Perang, Naik

Dango dan lain-lain.

Musik Seperangkat drum; Bahasa Dayak Kehidupan sosial

kontemporer gitar: bass, melodi, dan bahasa masyarakat, percintaan/

pengiring; keyboard, Indonesia. kasih sayang: muda-

tamborin, suling, dau, mudi dan orang tua; doa

gong. dan lain-lain.

Perkembangan karya musik di daerah Kalimantan Barat lebih nampak

pada lagu-lagu yang diciptakan oleh musisi-musisi asli Kalimantan Barat, khususnya

lagu-lagu profan yang bergaya dan berbahasa Kalimantan. Berbagai tema yang

ditawarkan dalam lagu-lagu tersebut misalnya tentang kisah hidup seseorang atau

sekelompok orang, kisah awal mula suatu kebiasaan/ adat istiadat, kisah percintaan
36

dan kasih sayang, tentang doa syukur, permohonan dan berterima kasih, tentang

kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat dan lain sebagainya. Setiap lagu pasti

memberikan makna yang sangat mendalam dalam mendeskripsikan situasi yang

dialami dan hal inilah kadang sangat membantu para penikmat lagu-lagu tersebut.

Misalnya dalam lagu yang berjudul Jubata karya Alpino DJ dalam bahasa Dayak

Kanayatn yang merupakan musik kontemporer berikut ini [Lampiran 7: (7)]:

Bahasa Dayak Kanayatn Bahasa Indonesia


Jubata Tuhan

Udah sa’ari sa’ari agi’ Lewat sehari satu hari lagi


Nana’ badiapm kami bajalatn Tak berhenti kami berjalan
Takadang jantu’ barang dah latih Terkadang jatuh karena lelah

Uba’atn barat niti maraga Memikul beban berat sepanjang


Nang manyak rintangan (2x) perjalanan
Yang banyak rintangan (2x)
Reff:
Ka’ Kita’ Jubata kami bapadah Reff:
Ka’ Kita Jubata kami bapinta’ PadaMu Tuhan kami mengadu
Irikng langkah kami o.. Jubata biar PadaMu Tuhan kami memohon
salamat Temani langkah kami ya Tuhan agar
selamat
Dangar doa kami Jubata nang adil
Jauhatn kami dari cobaan Dengarlah doa kami Tuhan yang adil
Antatlah kami mang barakatNyu Jauhkan kami dari cobaan
Antarlah kami dengan berkatMu
Biar kami sampe salamat ka’ dunia
salama idup (2x) Agar kami sampai selamat di dunia
Selama hidup

Sebuah karya musik seperti lagu yang berjudul Jubata tersebut sudah

barang tentu dapat memberikan inspirasi juga bagi siapa saja yang ingin lebih

mendekatkan diri pada Sang Penciptanya, apalagi ditambah dengan alunan lambat

penuh harapan dan ketukan 4/4 seolah-olah memberi kekuatan serta pengharapan

bagi umat manusia. Isi lagu ini menceritakan kisah perjalanan hidup manusia yang
37

penuh beban penderitaan. Sepanjang perjalanan hidupnya “sang manusia” ini selalu

berharap akan mendapat kenyamanan dan ia tahu pasti bahwa apa yang menjadi

harapannya tersebut pasti akan menjadi kenyataan karena ia percaya bahwa Tuhan-

lah yang pasti memberikan semuanya itu.

Tidak berbeda jauh mencoba menghayati lagu yang berjudul Jubata di

atas ketika mencoba menyanyikan lagu-lagu lainnya karena pada akhirnya akan

sampai pada sebuah pepatah Latih yang mengatakan “Bene cantat bis orat” atau

menyanyi itu berdoa dua kali, yang berarti menyanyi itu lebih bernilai daripada

berdoa jika ada hati di dalamnya (Sudiarja, 2007: 27). Perlu diakui bahwa dalam

menyanyikan atau mengiringi atau menciptakan sebuah lagu mestinya ada sebuah

keterlibatan sisi diri sendiri atau sering disebut penjiwaan di dalamnya karena hal ini

pun dapat membantu diri sendiri untuk ikut dan terlibat secara langsung dalam

suasana lagu tersebut.

G. Pengertian Evangelisasi Baru

1. Pengertian umum

Istilah evangelisasi telah lama dikenal di kalangan Gereja Protestan.

Namun dalam kalangan Gereja Katolik, istilah evangelisasi sendiri masih tergolong

baru. Evangelisasi diartikan sebagai tugas Gereja di tanah-tanah misi dan pengertian

ini untuk zaman sekarang masih sangat sempit. Dalam Sinode Para Uskup tahun 1974

mengartikan evangelisasi secara lebih luas yakni keseluruhan kegiatan pewartaan

dan kenabian Gereja. Kegiatan pewartaan dana kenabian tersebut sudah barang tentu

berkaitan dengan berbagai sendi kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan juga dalam

EN 9 di bawah ini:
38

Lapisan-lapisan umat manusia yang harus diubah: kriteria penilaian umat


manusia, nilai-nilai yang menentukan, bidang-bidang minat, garis-garis
pemikiran, sumber-sumber inspirasi, model-model kehidupan, yang
bertentangan dengan Sabda Allah dan rencana penyelamatan. Bagi Gereja
yang menjadi soal bukan hanya mewartakan Injil dalam kawasan
geografis yang lebih luas atau jumlah manusia yang lebih banyak, tetapi
juga bagaimanakah mempengaruhinya dan menjungkirbalikannya dengan
kekuatan Injil.

Demikian pula dalam penjelasan berikut: Evangelisasi berarti setiap

kegiatan Gereja yang bertujuan untuk mengubah dunia sesuai dengan kehendak

Tuhan, pencipta dan penebus (Adisusanto, 2000: 29). Evangelisasi yang dikenal

sekarang akan lebih nampak dan terasa serta dapat terlibat langsung di dalamnya

misalnya yang terdapat dalam Pembinaan Iman Anak (PIA), Pembinaan Iman Remaja

(PIR), Pembinaan Iman Orang Dewasa (PIOD).

Memang tidak sedikit yang masih belum cukup memahami arti

evangelisasi. Sebagai akibatnya evangelisasi hanya diartikan sebagai pewartaan untuk

menambah jumlah komunitas. Evangelisasi hanya dipahami sebagai jalan untuk

menambah kuantitas. Segala usaha yang dilakukan termasuk material yang diberikan

sebagai alat pendukung agar orang-orang tertentu mau dan tertarik mengikuti ‘ajakan’

si pewarta. Memang akhirnya banyak yang tertarik dan mengikuti namun segi

kedewasaan iman berbanding terbalik dengan motivasi untuk ikut di dalamnya. Hal

ini terjadi pada sebagaian besar penduduk di pedalaman Kalimantan Barat, menurut

penulis beberapa aliran/ sekte dari Gereja Protestan yang lebih banyak berperan di

dalamnya. Inilah salah satu contoh penerapan evangelisasi secara sempit dan hanya

terbatas pada misi.

Demikianlah evangelisasi dapat dimengerti sebagai suatu proses yang

mencakup keseluruhan penyebaran Kabar Gembira. Di dalam proses ini ada usaha ke

dalam dan ke luar, yaitu usaha dimana umat beriman semakin berkembang secara
39

terus menerus dalam memperdalam imannya dan memberi kesaksian di dalam hidup

mereka pula (Heuken, 1991: 313). Pengertian ini ditegaskan lagi oleh Mgr. Suharyo

dengan mengistilahkan evangelisasi baru sebagai suatu upaya pembaharuan yang

lebih bersemangat dengan berbagai cara, wujud dan metode mengenai paham

evangelisasi yang telah diusahakan (Komkat KWI , 1995: 60).

Evangelisasi baru dimengerti sedikit lain ketika berada dalam konteks

Gereja Eropa. Evangelisasi diartikan sebagai upaya re-evangelisasi di wilayah-

wilayah yang sudah berkembang kekristenannya tetapi mengalami kemunduran atau

penurunan. Secara umum tantangan evangelisasi di Gereja Barat adalah sekularisasi

dan hal inilah yang menuntut re-evangelisasi. Namun re-evangelisasi tersebut tidak

menutup kemungkinan ketika melihat keadaan di Gereja Timur. Tantangan

evangelisasi di sana ialah dengan adanya sinkretisme dan persoalanan sosial politik.

Salah satu contoh re-evangelisasi yang telah dilakukan di Gereja Timur ialah di

Timor Timur. Karena begitu hebatnya kerusuhan yang mengguncang sehingga

mengakibatkan kekurang-yakinan umat beriman akan imannya pada Kristus. Segala

doa dan peribadatan terasa sia-sia sehingga akhirnya beberapa nyawa anggota

keluarga dan sanak saudara harus melayang, tidak ada yang melindungi. Sebelumnya

di Timor Timur ini merupakan tanah misi para misionaris dari Portugal dan Belanda.

Disebutkan tadi di atas dalam sinode tentang evangelisasi dunia modern

pada tahun 1974, evangelisasi baru juga merupakan suatu upaya pembumian antara

warta Injil dan kebudayaan. Pewartaan Kabar Gembira semakin ditekankan agar

mampu berdialektika dengan berbagai macam ragam budaya yang sangat plural di

Asia.
40

2. Pengertian berdasarkan Kitab Suci

Istilah evangelisasi dalam Kitab Suci sudah barang tentu menunjuk pada

pengertian alkitabiah dari evangelisasi tersebut. Dalam Perjanjian Baru paling

nampak bagaimana evangelisasi menjadi titik sentralnya. Di dalam surat-surat Paulus

disamping kata karyssein (mewartakan), Paulus juga menggunakan kata eyanggelion

(Kabar Gembira) dan eyanggelizes (pewarta Kabar Gembira) untuk pewartaan pokok

(Jacobs, 1992: 103). Dalam surat-surat Paulus tersebut pewartaan pokok yang

dimaksud adalah mengenai wafat dan kebangkitan Kristus, dan pelaksanaan karya

keselamatan Allah. Semua itu terangkum di dalam Kabar Gembira yang dimaksudkan

Paulus untuk diwartakan (Rm 1:1-9;16:2;16:10;16:11-28).

Istilah Yunani eu-anggelion atau kabar gembira dapat disamakan dengan

istilah Ibrani besora yang berarti berita tetang kemenangan (2 Sam 18:20-22) dan

istilah ini digunakan dalam Deutero Yesaya (Yes 40:9 52:7). Kata eu-anggelizomai

yang berarti memberitakan kabar baik sendiri digunakan dan lazim muncul pada

Lukas dan Surat Paulus, sedangkan pada Markus dan Matius (kecuali Mat 11:15)

tidak diketemukan (Jcobs, 1992: 101).

Didasari penjelasan di atas, evangelisasi dalam kerangka pengertian

alkitabiah khususnya Perjanjian Baru dapat dimengerti sebagai Kabar Gembira.

Kabar Gembira ini jika didasarkan pada apa yang dimaksud Paulus adalah pewartaan

tentang Kristus dan rencana keselamatan Allah. Kemudian jika diamati lebih dalam

lagi kabar gembira di dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan istilah kesaksian,

yang dalam bahasa Yunani martys (saksi), martyria (kesaksian). Dikatakan oleh

Jacobs (1992: 108) bahwa kesaksian selalu pengakuan, dengan itu maka kata ‘saksi’

mempunyai arti yang khas misioner. Dari hal tersebut istilah keryssein dan

eyanggelizes di dalam Lukas mempunyai fungsi kerangka kesaksian. Kesaksian


41

tersebut menyangkut fakta dan lebih berarti “menyatakan” atau “menegaskan”

tentang suatu ‘warta’ (Luk 8:1 dan Kis 20:26; 26:22).

Hal tersebut di atas semakin memperjelas istilah evangelisasi atau

pewaartaan Kabar Gembira di dalam Perjanjian Baru yang mempunyai arti luas.

Jacobs (1992: 95) sendiri memperkuat gagasannya berkaitan dengan ini dengan

mengungkapkan dengan menekankan bahwa evangelisasi dalam kerangka arti atau

maksud misi.

3. Pengertian berdasarkan dokumen Gereja

Konsili Vatikan II memang banyak membawa perubahan dalam tubuh

Gereja di dunia. Beberapa perubahan yang terjadi misalnya, Gereja sedikit banyak

ditentukan oleh misteri Ekaristi (Prier, 2004: 4) yang menyatakan bahwa, “Liturgi

bukan pertama-tama bersifat sebagai kebatian/ penyembahan Allah oleh manusia,

tetapi terutama karya Allah yang menyelamatkan pada orang beriman. Liturgi adalah

ungkapan iman sebagai jawaban pada sapaan oleh Allah. Oleh karena itu hendaknya

liturgi dirayakan secara sederhana dan jelas; disamping pewartaan dari Kitab Suci

diperlukan juga homili” (SC 33-36, 50-52, 54). Namun ini merupakan perubahan

yang terjadi dalam tata cara liturgi, perubahan lain yang terjadi setelah Konsili

Vatikan II yaitu pada tahun 1974 dimana Paus Paulus VI mengeluarkan Ekshortasi

Apostoliknya yang berjudul Evangelii Nuntiandi tentang Pewartaan Injil dalam Dunia

Modern. Ensiklik ini dikeluarkan untuk menanggapi Sidang Umum Ketiga Sinode

Para Uskup tahun 1974 yang bertemakan “Evangelisasi” atau “Pewartaan Injil”

(Hardawiryana bdk. Konsili Vatikan II, 1993: 1).

Gereja pada hakekatnya merangkum keseluruhan dan kepenuhan upaya-

upaya keselamatan, namun tidak selalu dan tidak segera bertindak atau dapat
42

bertindak memakai semua upaya itu, melainkan dalam kegiatannya mencoba

melaksanakan rencana Allah mengalami tahap-tahap awal dan langkah-langkah (AG

6). Ditambahkan lagi dalam EN bahwa seluruh umat Katolik hendaknya

memperbaharui karya pewartaan Injil pada masa sekarang ini, agar Injil mampu

berdialog dengan kebudayaan dan secara konkret mampu menjawab pengharapan dan

keprihatinan manusia. Paus Paulus VI sendiri mempunyai maksud dalam

mengeluarkan Evangelii Nuntiandi yaitu agar dapat “Membawa Kabar Baik kepada

segala tingkat kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil merubah umat manusia dari

dalam dan membuatnya menjadi baru” (EN 18).

Evangelisasi merupakan suatu pewartaan misioner yang bertujuan

mengawali suatu perkembangan iman akan Kristus (AG 6). Memang pengertian

evangelisasi sendiri memiliki arti yang luas. Evangelisasi tidak cukup hanya diberi

pengertian hanya sebatas ‘pewartaan’ saja namun pewartaan menurut pendapat

beberapa Dokumen Gereja. Evangelisasi dapat dikatakan sebagai sebuah rahmat,

karena semua orang dapat mendapat pewartaan dan menjadi pewarta di zamannya

serta dapat memiliki Warta tersebut, Warta yang dimaksud ialah Yesus Kristus yang

menjadi pokok pewartaan. Oleh sebab inilah evangelisasi dapat juga disebut sebagai

upaya bersama orang beriman untuk menyalurkan pengalaman imannya kepada

masyarakat di sekitarnya dalam terang karya Roh Kudus, maka evangelisasi

merupakan suatu bentuk kesaksian hidup. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa

kesaksian merupakan tugas perutusan Kristiani. Kesaksian ini mengisyaratkan

integrasi dari berbagai aspek perikehidupan, keluarga, dan persekutuan umat Gereja

(EN 41).

Seperti yang telah dikatakan tadi di atas bahwa evangelisasi memiliki

pengertian yang luas. Evangelisasi dapat berarti upaya untuk memberikan kesaksian
43

injili pada semua umat manusia, di samping itu juga dapat dimengerti sebagai upaya

pembinaan untuk membentuk dan mengembangkan iman umat akan Kristus.

Evangelisasi dalam arti sempit dimengerti pula sebagai upaya pewartaan awal, namun

tidak sebatas itu evangelisasi terlebih juga merupakan suatu upaya yang sampai

membawa umat kepada pertobatan dan pembabtisan. Arti yang lebih luas lagi,

evangelisasi merupakan upaya pembaharuan dan peresapan warta injili di dalam

warisan budaya umat manusia. Evangelisasi dapat disimpulkan sebagai suatu upaya

pewartaan Injil dengan memberikan kebebasan pada pewarta dalam memilih model,

metode dan sarana sehingga tujuan tercapai yaitu sampai pada pertobatan total.

H. Isi Evangelisasi Baru

Pertama-tama yang perlu ditegaskan bahwa evangelisasi selalu berpusat

pada Kristus, memberitakan keselamatan dan pembebasan hingga dapat membawa

kepada sikap pertobatan (EN 31, 34). Ditegaskan kembali oleh Paus Paulus VI “Bagi

Gereja, evangelisasi berarti membawa Kabar Gembira ke dalam semua lapisan umat

manusia, dan melalui pengaruhnya mengubah umat manusia dari dalam dan

memperbaharuinya...” (EN 18). Evangelisasi baru memiliki hubungan erat juga

dengan sendi kehidupan dan hubungan antar umat beriman dalam masyarakat. Oleh

karena inilah maka evangelisasi tidak cukup hanya berbicara akan suatu hal yang

ilahi saja namun aspek dalam kehidupan nyata umat manusia harus diikut-sertakan,

dan berkaitan dengan ini ada beberapa unsur pokok yang menjadi isi dalam

evangelisasi sebagai berikut:

o Kesaksian langsung yang dapat dilihat dalam praktek evangelisasi ialah dalam

pewartaan Injil. Memberikan kesaksian bahwa dalam sabdaNya yang menjadi

daging, Allah telah menciptakan semua hal dan telah memanggil umat manusia ke
44

dalam hidup kekal (EN 26). Allah sebagai Bapa mengasihi semua orang. Allah

adalah Cinta Kasih yang memelihara semua orang, menghendaki agar mereka

semua merupakan satu keluarga dan saling menghadapi dalam sikap

persaudaraan (GS 2, 24). Evangelisasi mewartakan tentang kasih persaudaraan

terhadap semua orang terhadap tentang kemampuan untuk memberikan dan

mengampuni dan tanda-tanda yang menghadirkan Kristus sebagai Sakramen (EN

28). Ditegaskan lagi oleh Mgr. Suharyo, Pr, bahwa “Evangelisasi baru dapat

berkembang kalau orang-orang beriman baik secara pribadi maupun bersama

dalam Gereja secara keseluruhan mampu memberi kesaksian tentang pengalaman

akan Allah yang membuahkan kegembiraan dan keselamatan umat manusia”

(Komkat KWI, 1995: 62).

o Evangelisasi berpusat pada pewartaan Kerajaan Allah atau dengan kata lain pusat

pewartaan dalam evangelisasi adalah Yesus Kristus dengan segala wujud

pengalaman kemanusiaanNya di dunia. Gereja berperan, dan perannya yaitu

membantu ziarah pertobatan umat manusia menuju rencana Allah melalui

kesaksian, mengusahakan kemajuan manusia, warta pembebasan dan perdamaian

sebagai komitmen demi realitas-realitas transenden untuk keselamatan eskatologis

(RN 20). Evangelisasi memperhitungkan interaksi yang terus menerus antara Injil

dan Hidup manusia yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam

kehidupan sosial (EN 29). Ditegaskan lagi oleh Heryatno (1994: 22-32) bahwa

“Gereja sungguh mewartakan Injil bila evangelisasi yang dilakukan berpusat

pada kebutuhan penyempurnaan manusia lebih-lebih mereka yang tertindas dan

miskin, sehingga dialog hidup dengan kondisi aktual yang dihadapi orang-orang

miskin dan tertindas menjadi medan komunikasi iman dan komunikasi perjuangan
45

hidup”. Oleh sebab inilah maka evangelisasi merangkum warta yang menyerukan

nilai-nilai cinta kasih dan menjunjung kemajuan, martabat kehidupan manusia,

sebagai warta pembebasan. Pembebasan tersebut tidak hanya sebatas dimensi

yang bersifat ekonomis, politis, sosial dan budaya melainkan mencakup seluruh

manusia dalam segala segi, selaras dan mencakup keterbukaan terhadap Yang

Mutlak, bahkan terhadap yang Ilahi (EN 33 ).

o Evangelisasi dewasa ini juga memuat dimensi dialog dengan agama-agama lain,

karena evangelisasi tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan dialog itu sediri.

Dialog dengan agama lain merupakan sebuah karya kesaksian untuk

menghadirkan kasih keselamatan Kristus kepada semua orang (RN 55). Begitu

juga evangelisasi baru dapat mendorong kepada kegiatan ekumene yang mendasar

tentang kesaksian yang harmonis tentang Kristus, dengan itu maka dipupuk

kerukunan dalam keberagaman antar anggota Gereja dan komunitas Gereja (RN

50). Dalam hal ini Gereja dituntut pula untuk menhadiran kesaksian mengenai

keterbukaan dengan agama-agama lain. Dimensi dialog juga menghadirkan

suasana evangelisasi dalam persaudaraan di tengah pluraritas yang ada. Seperti

yang diungkapkan Adisusanto, (2000: 31) bahwa “evangelisasi harus membawa

Gereja keluar dari dirinya sendiri, sejauh mengabdi kemanusiaan dan membawa

orang serta segala sesuatu ke warta keselamatan. Evangelisasi bukan usaha

memperbaiki nama baik Gereja yang mungkin telah tercemar dan juga bukan

propaganda untuk memperoleh anggota baru”. Memang dalam hal ini

evangelisasi terlebih dahulu harus mencari essensi iman Kristiani dan

pengungkapannya sehingga mampu menyapa setiap orang dalam masing-masing

latar belakang kebudayaan yang ada zaman sekarang.


46

I. Metode Evangelisasi Baru

Sinode Para Uskup tahun 1974 telah menghasilkan warna baru dalam

evangelisasi. Dalam jangka waktu yang cukup lama, evangelisasi hanya dianggap

sebagai tugas Gereja di tanah-tanah misi, namun sekarang dinyatakan sebagai tugas

perutusan Gereja (Adisusanto, 2000: 28), dengan kata lain, setiap umat beriman

Kristiani telah mendapat warisan perutusan dalam evangelisasi. Kemudian ditegaskan

lagi oleh Paus Paulus VI dalam kutipan pada EN 14:

Sungguh menggembirakan dan membawa penghiburan, bahwa pada akhir


sidang yang besar di tahun 1974 itu kita mendengar kata-kata yang
gemilang ini; “kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa tugas
mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan tugas hakiki Gereja”.
Tugas dan misi ini makin mendesak dalam masyarakat yang dewasa ini
mengalami perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam.
Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat serta panggilan yang
sebenarnya, identitas Gereja yang paling mendalam.

Perlu diakui dan seharusnya menjadi semangat umat beriman Kristiani

bahwa “mewartakan Injil merupakan identitas Gereja yang paling mendalam”. Bukan

tidak mungkin lagi bagi setiap orang untuk mampu mewujudkan identitas tersebut

serta menjadikannya kebanggaan tersendiri.

Berawal dengan terlebih dahulu menjadikan evangelisasi sebagai identitas

diri (identitas Gereja) maka dari sinilah beranjak sebuah kreativitas dalam

mewujudkan Kabar Gembira di tengah umat beriman bahkan kepada semua orang-

orang. Evangelisasi baru yang telah diutarakan sebelumnya juga memuat berbagai

kebaharuan, yaitu kebaharuan semangat, ungkapan dan terutama metodenya.

Pembaharuan tersebut terletak dimana wajah Injil mampu menyapa setiap orang

zaman sekarang dari dalam dan memperbaharuinya baik melalui semangat Injil,

ungkapan maupun metode yang digunakan untuk mewartakan Injil tersebut. Bagi

Gereja sarana untuk mewartakan Injil adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik
47

(EN 41). Sebuah kesaksian hidup yang otentik mengartikan sebuah pengalaman asli

yang dimiliki umat Kristen yang dimaknai dalam terang injili, karena “Tidak seorang

pun dapat mencapai seluruh kebenaran melulu bersadasarkan suatu pengalaman

perorangan yang sederhana, maksudnya: tanpa penjelasan yang memadai tentang

amanat Kristus, ‘jalan, dan kebenaran, dan kehidupan’ (Yoh 14:6).

Melalui kesaksian hidup yang otentik ini pula Gereja menghadirkan

hidupnya bersama Kristus untuk memperbaharui dalam diri manusia. Metode

evangelisasi yang ditawarkan akhirnya selalu berkaitan dengan kesaksian hidup

dimana hubungan baik langsung maupun tidak langsung akan memberi warna

tersendiri di dalamnya. Kesaksian merupakan kegiatan yang memuat unsur

komunikasi. Di dalam komunikasi ada dua jenis, yaitu komunikasi obyektif dan

komunikasi eksistensial. Komunikasi obyektif berarti proses manusia berdialog

dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat secara keseluruhan dengan

pribadinya. Sedangkan komunikasi eksistensial adalah proses berdialog dari pribadi

manusia dengan sebuah kebenaran personal yang bersifat trasendental.

Hal itu dapat dapat dikatakan bahwa kesaksian hidup dari evangelisasi

baru ini haruslah pula mengantar manusia pada komunikasi eksistensial, dimana

orang tersapa hatinya untuk sampai pada pertobatan hati akan makna kerahiman

Allah.

Dunia saat ini adalah dunia yang semakin mengarah pada peradaban semu,

sebab dimana-mana identitas asli manusia yaitu komunikasi lewat kata-kata sedikit

banyak telah tergantikan dengan peradaban simbol atau lambang (Iswarahadi, 2007).

Tidak menutup kemungkinan bahwa zaman simbol dan lambang ini dapat membawa

dampak negatif dan positif bagi siapa saja. Misalnya saja hal negatif yang
48

ditimbulkan karena ini ialah semakin berkurangnya budaya komunikasi antarpersonal

secara langung dan lebih-lebih dalam keseharian bahasa pengungkapan setiap negara

dan daerah-daerah. Ketika berbicara mengenai evangelisasi, peradaban simbol atau

lambang lebih-lebih dilihat dari segi positif. Namun dengan tegas Paus Paulus VI

menyampaikan, “hal tersebut haruslah mendorong evangelisasi menuju kepada

kebaharuan untuk mempergunakan sarana-sarana modern, yang telah dihasilkan oleh

peradaban sekarang ini untuk menyampaikan Injil (EN 42). Dalam peradaban yang

lebih memainkan peran lambang atau simbol ini sangat mendukung model-model

atau metode dalam cara penyampaian atau penyajian evangelisasi baru dan juga

dalam katekese, karena dalam hal ini, proses katekese pun lebih banyak

menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang. Tidak perlu melihat terlalu jauh

mengenai katekese dan evangelisasi. Menurut faham Gereja zaman sekarang dan

sesuai dengan Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi ( EN 18), evangelisasi meliputi

seluruh pewartaan dan kesaksian Gereja tentang Kabar Gembira, dan dalam arti ini

katekese merupakan salah satu bentuk evangelisasi (Adisusanto, 2000: 33).

J. Pewartaan Injil Di Zaman Modern Dalam Evangelii Nuntiandi

Keadaan dunia saat ini memang pantas dikatakan dengan “zaman

modern”, Karena segala sesuatu dan berkat perkembangan serta kemajuan pola

pikirnya, manusia mampu menciptakan alat-alat teknologi dimana hasil penciptaan

tersebut tidak lain demi tujuan untuk mempermudah aktivitas hidup dengan demikian

memiliki kebanggaan tersendiri. Aktivititas dunia di zaman modern juga tidak jauh

dari usaha untuk melihat orientasi ke depan dan berusaha mengurangi tingkat

kesulitan sesedikit mungkin dan berani melihat ke depan dengan segala resikonya.

Namun aktivitas dunia di zaman modern juga harusnya tidak dapat tidak
49

meninggalkan sisi religius manusia. Mencoba mendengarkan bisikan dan rencana

Allah di tengah hiruk-pikuknya arus di zaman tersebut.

Ensiklik Bapa Suci Paulus VI mengenai Karya Pewartaan Injil Pada

Zaman Modern (Evangelii Nuntiandi) yang diterbitkan pada tanggal 8 Desember

1975 dengan tegas menyatakan “Tak dapat diragukan lagi bahwa usaha untuk

mewartakan Injil kepada umat manusia pada zaman sekarang ini, yang didukung oleh

suatu pengharapan namun sekaligus juga kerapkali diliputi perasaan tertekan karena

ketakutan dan kecemasan, merupakan suatu pelayanan yang diberikan kepada jemaat

Kristen dan juga kepada seluruh umat manusia” (EN 1). Tidak dapat dipungkiri lagi

jika aktivitas dalam mewartakan Injil di tengah-tengah zaman seperti sekarang ini,

beberapa tantangan bahkan sandungan sekalipun pasti akan dihadapi. Namun jika

yakin dan percaya dalam pengharapan terhadap Sang Warta yaitu Yesus Kristus

sendiri maka niscaya sebuah pewartaan Injil akan dirasakan sebuah tanggungjawab

hanya kepada Allah dan bukan kepada manusia.

Realitas zaman modern saat ini telah membuktikan bahwa perilaku dan

daya pikir manusia telah berubah dari zaman ke zaman. Seorang penulis buku asal

Kalimantan Barat mengatakan, “Dunia berubah setiap saat, tawaran yang paling tepat

adalah anda berubah mengikuti perkembangan zaman atau anda tererosi ke dalam

perubahan itu” (Odop, 2006: 36). Tidak menutup kemungkinan ketika mengalami

perubahan-perubahan seperti ini beberapa bagian masyarakat akan ikut mengikuti

dalam perubahan tersebut namun ada bagian masyarakat yang akan bertahan dalam

perubahan tersebut karena dengan satu alasan yaitu mempertahankan kebiasaan-

kebiasaan yang telah lama dilakukan. Manusia secara personal sudah pasti akan terus

berpikir untuk dirinya, apa yang akan terjadi pada saya hari esok?
50

Gereja tidak akan pernah diam dan menjadi penonton, sekalipun

perubahan demi perubahan terjadi. Gereja dengan sadar mengambil peran aktif yaitu

dengan memberikan peluang bagi para “pewarta” untuk memberitakan Kabar Baik

kepada semua umat manusia di zamannya. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan

dalam EN: “Justru inilah yang ingin kami lakukan di sini, pada akhir Tahun Suci ini

dimana selama itu Gereja, yang ‘berusaha mewartakan Injil kepada segala bangsa’,

mempunyai satu tujuan tunggal untuk memenuhi tugasnya sebagai utusan Kabar Baik

Yesus Kristus – Kabar Baik yang diwartakan melalui dua perintah pokok:

Kenakanlah manusia baru dan Berdamailah dengan Allah” (EN 2).

Apa yang dikatakan sebagai “kenakanlah manusia baru” (Ef 4:24; Kol

3:10; Gal 3:27) dan “berdamailah dengan Allah” (2Kor 5:20) merupakan sebuah

harapan dalam sebuah pewartaan bagi umat manusia pada zamannya, dimana

pewartaan pertama-tama ditujukan lebih-lebih kepada mereka yang tidak pernah

mendengar Kabar Baik Yesus, atau kepada anak-anak. Namun tidak kalah pentingnya

hal ini pula ditujukan kepada bagi banyak orang yang telah dibaptis tetapi hidup di

luar kehidupan Kristen serta untuk orang-orang sederhana yang tentu mempunyai

iman namun pengetahuan yang tidak sempurna mengenai dasar-dasar iman (EN 52).

Di sinilah letak tantangan para pewarta dalam mewartakan Kabar Baik. Di

satu sisi para pewarta harus berusaha menghidupi semangat injili mereka secara

personal sehingga merasa semakin dekat dengan Allah dan dalam bidang

pengetahuan tentang dasar-dasar iman serta cara hidup Kristiani namun dari sisi lain

pula para pewarta dengan semangat dan kerja keras berusaha mengabarkan Kabar

Baik, memberikan pemahaman tentang cara hidup Kristiani dan dasar-dasar iman

Kristiani, namun realitas zaman dan situasi kehidupan para umat-lah terlebih dahulu

yang harus dihadapi oleh para pewarta.


51

K. Kebudayaan dan Iman Memiliki Pengaruh Terhadap Evangelisasi: Sebuah

Tinjauan Kritis John Mansford Prior

Dalam pandangan berdasarkan Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes,

Kehidupan manusia dalam sepanjang sejarahnya yang diesensikan dalam kebudayaan

ialah adanya peradaban dari zaman ke zaman. Dalam praksisnya kebudayaan yang

dimaksudkan ialah segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan

mengembangkan berbagai bakat-pembawaan jiwa-raga, berkaitan dengan penguasaan

alam semesta dengan pengetahuan yang ada disertai jerih payah sehingga kehidupan

sosial dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat lebih manusiawi melalui

kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga yang ada menjadi semakin terwujudkan

dan terungkapkan serta terlestarikan pengalaman-pengalaman rohani dan aspirasi-

aspirasi melalui karya-karya agar berguna bagi kemajuan banyak orang, bahkan bagi

segenap umat manusia.

Secara tegas pemahaman mengenai perkembangan arti kebudayaan

dijelaskan berikut ini:

Oleh karena itu mau tidak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi
historis dan sosial, dan istilah “kebudayaan” seringkali mengandung arti
sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang
kemacam-ragaman kebudayaan. Sebab dari pelbagai cara menggunakan
bermacam-macam hal, menjalankan pekerjaan dan mengungkapkan diri,
menghayati agama dan membina tata susiala, menetapkan undang-undang
dan membentuk lembaga-lembaga hukum, memajukan ilmu pengetahuan
serta kesenian, dan mengelola keindahan, munculah pelbagai kondisi
hidup yang umum serta pelbagai cara menata nilai-nilai kehidupan.
Begitulah dari tata hidup yang diwariskan munculah pusaka nilai-nilai
yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah
lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang
menampung manusia dari bangsa dan zaman manapun, dan yang menjadi
sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta
masyarakat (GS 53).
52

Tentang kebudayaan ini pula John Prior memberi penjelasan bahwa

dimensi historis kebudayaan menjadi awal dan tanda kehadiran umat manusia di

dunia ini. Mengenai apa dan bagaimana yang dilakukan oleh manusia dengan

sesamanya telah mengaktifkan peran dimensi sosiologis. Dengan kata lain kedua

dimensi ini yaitu dimensi historis dan dimensi sosiologi tidak dapat dipisahkan atau

tidak dapat berdiri sendiri. Hal inilah yang membangun adanya kebudayaan dimana

dalam kebudayaan itu merupakan keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam

sejarah dan diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup

organisasi sosial, ekonomi, agama, keercayaan, kebiasaan, hukum seni, teknik dan

ilmu. Melalui hal inilah kebudayaan dapat mencakup rohani maupun materi, baik

potensi-potensi maupun keterampilan, kepandaian membuat/ mencapai sesuatu.

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai pikiran atau akal budi (Suharso

& Retnoningsih, 2005: 94), atau dengan kata lain kebudayaan merupakan unsur

pribadi dalam kehidupan manusia beserta hubungannya dengan lingkungannya. Kata

“iman” jika dilihat dari pengertian Suharso dan Retnoningsih, (2005: 177) adalah

keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau singkatnya

memiliki iman berarti memiliki ketetapan hati. Namun dalam pemahaman lain

tentang iman disebutkan dalam Konsili Vatikan II: “Kepada Allah yang

menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikianlah

manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan

mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah

yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu yang

dikaruniakan olehNya” (DV 5). Inilah yang menunjukkan adanya bukti kedekatan

manusia dengan Penciptanya. Demikianlah mengenai kebudayaan serta iman


53

memiliki dua sisi yang berbeda namun kiranya memiliki pengaruh yang sama dalam

proses evangelisasi.

Pemahaman sebuah kebudayaan menurut Kircberger & Mansford Prior,

(1996: 298) dalam hal ini berkaitan dengan aktivitas masyarakat lokal yang

cenderung agraris adalah kebudayaan kosmik yaitu mencakupi seluruh tatanan alam,

sosial dan simbolik. Tatanan kosmik ini tidak tertutup. Ada bahasa-bahasa tertentu

yang hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja dan ini

disebut dengan bahasa roh. Dunia kosmik memiliki keyakinan dan cara tersendiri

dalam pengungkapan situasi diri kepada Yang Ilahi; dunia kosmik juga menganggap

agama merupakan sebuah unsur yang terpisah dari kehidupan ekonomi dan politik.

Dalam aturan dunia kosmik, setiap kegiatan, bernafaskan roh para leluhur yang

menghadirkan gaya hidup transenden-imanen, di dalam dan di balik segala sesuatu.

Setiap benda, kejadian atau pribadi mempunyai arti dalam keseluruhan; keseluruhan

yang menggambarkan yang khusus, dan yang khusus hanya dapat dipahami dalam

keseluruhan tata kosmik.

Gambaran singkat mengenai dunia kosmik dalam masyarakat agraris ini

tepat sekali menunjuk pada kehidupan masyarakat petani tradisional. Inilah

kehidupan yang sungguh-sungguh spiritual (kudus) karena segala sesuatu adalah

hierophany, yaitu sebuah penampakan diri Yang Mahakudus. Namun di balik

kehidupan yang benar-benar menampakan sisi spiritual, masyarakat petani tradisional

juga sungguh-sungguh material (sekular). Disebut bersifat material karena kehidupan

terpusatkan pada siklus kehidupan yang didukung oleh siklus pertanian. Dimensi

sakral dari seluruh kehidupan diungkapkan dalam mitos dan ritual, dalam kebiasaan-

kebiasaan petani dan hukum keluarga, dalam arsitektur yang rapuh dan simbolik

(Kircberger & Mansford Prior, 1996: 298).


54

Pola kehidupan masyarakat yang cenderung sakramental inilah yang

memicu adanya arus pemikiran transenden-imanen, hingga akhirnya nilai-nilai

kultural yang dimiliki tertutup terhadap nilai-nilai Alkitabiah.

Pengertian sakramental di sini memiliki arti searah dengan pengertian


sakramental dalam Gereja Katolik. Dijelaskan berdasarkan SC 60 bahwa
sakramentali menandakan karunia-karunia, khususnya yang bersifat
rohani, yang diperoleh berkat permohonan Gereja. Perbedaan antara
sakramen dan sakramentali ialah bahwa sakramen menyangkut Gereja
seluruhnya dan merupakan pelaksanaan diri Gereja dalam bidang
perayaan; sedangkan sakramentali selalu bersifat khusus, merupakan
perwujudan doa Gereja bagi orang tertentu, entah pribadi entah kelompok.
Oleh karena itu sakramentali disebut juga bentuk doa permohonan Gereja
yang konkret (KWI, 1996: 443-444).

Namun hal ini dengan catatan bahwa melihat nilai kebudayaan sangat

penting dan memiliki makna tersendiri dalam kehidupan masyarakat tertentu maka

sebuah pertanyaan muncul, bagaimana para warga masyarakat menanggapi “rahmat”

yang diberikan oleh Yang Ilahi?

Kircberger & Mansford Prior, (1996: 298) menjelaskan, sedemikian

eratnya hubungan antara masyarakat dengan dunia transenden inilah yang

menciptakan sebuah arus dimana dalam pemahaman dunia kosmik, manusia

menyadari kehadiran Yang Ilahi serta sifat transenden-nya melalui pemahaman

dalam seluruh akal budi dalam sifat imanen-nya. Hal inilah yang disebut dengan

kekristenan masyarakat secara spontan telah terinkulturasi dengan religiositas dari

agama kosmik.

Pertemuan yang tidak seimbang antara nilai dan pola pikir dari

kebudayaan asli yang lisan dan nilai kultural yang muncul bersama modernisasi

menghasilkan sejenis sekularisme yang pada gilirannya pasti akan melahirkan

fundamentalisme keagamaan (Kircberger & Mansford Prior, 1996: 298). Berawal dari

“ketimpangan” inilah maka perlu langsung ditegaskan bahwa dalam masyarakat


55

seperti ini sebuah situasi yang mendukung adanya evangelisasi baru. Evangelisasi

baru akan terlaksana apabila orang miskin dan pinggiran yang merupakan unsur

utama dalam masyarakat terbuka terhadap nilai-nilai transenden.

Lebih jauh lagi Kircberger & Mansford Prior, (1996: 304-305)

menjelaskan bahwa dewasa ini, dalam masa perubahan sosial yang pesat Gereja perlu

memunculkan nilai-nilai kultural kemudian menarik nilainya dalam makna Alkitab.

Di sinilah letak tugas para pewarta, yaitu mereka berusaha sebisa mungkin

menghadirkan suasana kultural di tengah masyarakat namun tetap mengarah pada

Allah. Tidak seperti yang terlihat dalam fakta yang terjadi dalam sebagian masyarakat

pedalaman, para pewarta berusaha menghilangkan unsur-unsur kultural itu sendiri

dan menggantikannya dengan unsur-unsur Alkitabiah dengan alasan unsur-unsur

kultural itu sendiri saat ini dipandang menyesatkan. Tugas lain dari para pewarta ialah

menentukan kesempatan dan kemungkinan-kemungkinan, dan penuh dengan

semangat berusaha mencapai tujuan pewartaan Kabar Baik dalam kerjasama dengan

semua orang yang berkehendak baik. Selain itu menyatukan nilai-nilai pokok dari

kebudayaan lokal, kebudayaan modern dan Alkitab.

Gereja memelihara dan mengembangkan hal tersebut yang sungguh

manusiawi di dalam kebudayaan. Faktanya memang sangat terasa dalam beberapa

kali diadakan ibadat, misa, dalam nyanyiannya yang dikemas dalam satu paket

inkulturasi. Promotor utama yang telah jelas terlihat hasilnya dalam bidang ini ialah

Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, beberapa kali mengadakan lokakarya di sebagian

besar daerah di Indonesia.


56

BAB III

EVANGELISASI BARU

MELALUI KARYA MUSIK DAERAH

A. Evangelisasi dalam Karya Musik Daerah Merupakan Sebuah Usaha Dialog

Kata “dialog” sering dijumpai ketika memainkan peran dalam sebuah

drama atau sandiwara. Sebuah naskah yang mengharuskan komunikasi dua arah

disebut dialog dan dalam komunikasi satu arah disebut monolog. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (Suharso & Retnoningsih, 2005:122), kata “dialog” berarti

percakapan di sandiwara, cerita dan sebagainya. Namun sebuah kata “dialog” ini

tidak hanya terbatas dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau

pengertian dalam naskah cerita atau drama; sebuah pengertian luas mengenai kata

“dialog” sering diperuntukan bagi dua kubu atau lebih dalam mencari solusi

pemecahan masalah agar tidak terjadi pertentangan/ perselisihan. Pengertian lain

mengenai kata “dialog” ini juga sering dijumpai dalam kelompok-kelompok diskusi,

misalnya “dialog antar umat beragama” yang sering diadakan oleh salah satu

komunitas yang ada di Yogyakarta: Inter Fidei, komunitas yang menyediakan

peluang bagi berbagai agama untuk melakukan sharing atau diskusi tentang agama.

Pengertian lain lagi mengenai dialog ini secara khusus ketika kedua unsur

berbeda saling bertemu yaitu dalam unsur evangelisasi dan sebuah karya musik

daerah. Dalam hal ini, dialog dimaksudkan bahwa ketika terwujud evangelisasi dalam

sebuah karya musik daerah maka saat itu juga terjadi dialog kebudayaan dimana

unsur luar yaitu evangelisasi yang lebih mengarah pada pewartaan Kabar Baik dapat

diterima oleh masyarakat melalui karya musik. Proses diterimanya pewartaan Kabar
57

Baik inilah yang disebut dialog karena dalam proses ini masyarakat (umat) akan

berusaha mencari dan menemukan nilai-nilai dari sebuah karya musik.

Dalam rangka ini, evangelisasi secara umum telah lama dilakukan di tanah

Borneo (Kalimantan) oleh para misionaris dari Belanda pada tahun 1905. Pada

awalnya (awal abad ke-20) Vikaris Apostolik Batavia meminta tenaga dari

kelompok-kelompok religius di Nederland. Kelompok religius pertama kali yang

bersedia menerima tanggungjawab atas Prefektur Apostolik Borneo ini adalah para

biarawan Kapusin Propinsi Belanda. Pada tanggal 30 November 1905 enam orang

misionaris Kapusin menetap di Singkawang. Menyusul pula para misionaris dari

komunitas biara-biara lain seperti biarawan MTB, biarawati SFIC keduanya dari

Belanda. Kemudian menyusul lagi misionaris suster-suster KFS dari Etten-Belanda.

Pada tahun 1926 Kongregasi MSF (Misionaris Keluarga Kudus) mengambil alih

pelayanan pastoral di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yang kemudian

pada 12 Mei 1938 menjadi Prefektur Apostolik Banjarmasin (Heuken, 2004: 219).

Pada awalnya evangelisasi yang dilakukan dengan maksud mewartakan

Injil serta usaha menambah kuantitas jemaat Kristiani; tidak dapat dipungkiri bahwa

inilah tugas Gereja ketika berada di tanah-tanah misi sekitar tahun 1905-1918. Tanah

Kalimantan mengalami masa awal evangelisasi pada tahun ini dimana para misionaris

pergi dari daerah satu ke daerah yang lainnya dengan tujuan mengenalkan sekaligus

menawarkan Kabar Gembira bagi masyarakat di Kalimantan.

Evangelisasi secara terang-terangan dipahami sebagai pewartaan Kabar

Baik kepada orang-orang non-kristiani dengan tujuan pertobatan (Adisusanto, 2000:

28). Pengertian seperti ini tergolong masih sempit. Sinode Para Uskup sedunia pada

tahun 1974 melahirkan sebuah amanat dalam Evangelii Nuntiandi, paham dan praksis

evangelisasi yaitu keseluruhan kegiatan pewartaan dan kenabian Gereja di antaranya


58

ialah pembaharuan umat manusia, kesaksian, pemakluman secara terbuka, kesetiaan

batin, masuk ke dalam persekutuan, penerimaan tanda-tanda dan prakarsa kerasulan

(Adisusanto, 2000: 29).

Beberapa karya musik daerah menjadi wujud nyata dari evangelisasi

tersebut. Suatu hal baru terjadi yaitu dimana dalam kebudayaan terdapat unsur baru

yang masuk, kebudayaan tersebut tidak lagi disebut dengan kebudayaan yang tampil

asli daerah tertentu namun digantikan dengan kebudayaan baru. Tidak dapat

dipungkiri pula bahwa esensi setiap kebudayaan asli sudah pasti selalu nampak dalam

budaya baru tersebut. Secara langsung kemungkinan besar setiap orang tidak akan

merasa bahwa pewartaan yang dilakukan melalui karya musik yang menyangkut

musik dan lirik ini memiliki tujuan akhir yaitu perubahan pola hidup dan akhirnya

menuju pertobatan.

Seorang ahli dalam bidang musik liturgi, Rm Prier, S.J. memberi

gambaran bahwa sebuah karya musik merupakan salah satu dari wujud sebuah karya

seni dimana kekuatan utamanya ialah mampu mengangkat, mengolah dan

menggetarkan perasaan seseorang sehingga bukan hanya berhenti pada perasaan saat

itu saja namun perasaan itu mampu memberi warna tersendiri yang lain dari perasaan

awal karena telah diekspresikan atau telah diungkapkan dalam sisi yang berbeda.

Karya musik bukan hanya mampu mengolah (mengekspresikan) perasaan saja namun

sebuah karya musik dapat serta merta memberikan suasana baru dalam pengalaman

seseorang. Pengalaman suka dan duka, untung dan malang, sukses dan gagal

merupakan pengalaman manusia yang sering dijumpai dalam sisi kehidupannya.

Pengalaman-pengalaman ini mampu ditampilkan secara “lain” dalam karya musik.

Selanjutnya beliau menegaskan lagi bahwa “sebuah karya musik dapat menggetarkan

asosiasi seseorang”. Maka kecil kemungkinan jika sebuah karya musik dikatakan
59

sebagai usaha mempertobatkan atau mungkin usaha kristenisasi dan lain sebagainya.

Tentu saja pewartaan model ini sangat erat kaitannya dengan kebudayaan setempat

baik yang berkaitan dengan bahasa dan tutur katanya maupun pola hidup masyarakat

sehari-hari.

Hasil wawancara [Lampiran 1: (1)] yang belum lama ini penulis lakukan

dengan seorang “panyangahatn” atau orang yang dituakan dan pembawa doa ketika

upacara adat dalam masyarakat adat Dayak yaitu Bapak Masdi di pedalaman

Kalimantan Barat menunjukan bahwa pada masyarakat pedalaman di Kalimantan

Barat ritus syukur atas panen selalu didahului dengan “nyangahatn” yaitu doa yang

dilantuntan dalam nyanyian. Pelantun doa ini biasanya seorang ahli dan orang yang

dituakan dalam masyarakat. Peralatan yang diperlukan dalam melantuntan doa ini

adalah dua potong besi. Selama doa dilantunkan, besi ini akan dibunyikan sendiri

oleh si pendoa untuk mengiringi doa. Berikut adalah contoh doa yang diungkapkan

dalam nyanyian, atau dalam masyarakat Dayak pedalaman Kalimantan Barat disebut

“nyangahatn” :

Dalam bahasa Kanayatn Dalam bahasa Indonesia & (makna)

Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh... Satu dua tiga empat lima enam tujuh...

Ooo..Kita’ Jubata.. Ya Tuhan..

Sambil nentekng baliukng Sambil memegang beliung (seperti kapak)

Muraatn baras banyu Menabur beras berkat

Nyarahatn ka’ palatar Memberikan persembahan

Bagole’ man tampukng tawar Mohon ampunan dalam iringan air suci

Bapipis man seap manok Buang segala yang jahat


60

Panyugu nungkatatn roas poe’ Mengangkat kehidupan kembali dari

kematian

Tingkobakng nyangahatn ka’ saka Saat panenan ini kita kembali untuk

bersama

Ooo..Kita’ Jubata’aaa...

Bentuk doa dengan model dinyanyikan ini sudah berkembang sejak zaman

dahulu, jenisnya di antaranya adalah “baliatn” yaitu upacara doa penyembuhan orang

sakit secara besar-besaran; “notokng” yaitu upacara mendoakan kepala orang-orang

yang telah dipenggal sebagai lambang kekuasaan, keperkasaan dan kedewasaan;

“nyangahatn baroah” yaitu doa syukur atas panen/ beras baru; “nyangahatn babore”

yaitu doa untuk kesembuhan orang sakit secara sederhana; “nyangahatn batalah”

yaitu upacara doa untuk memberi nama pada bayi dan sebagai lambang diterimanya

seseorang dalam anggota masyarakat; dan masih banyak lagi jenis doa-doa lainnya

yang cara penyampaiannya dinyanyikan [Lampiran 3: (3)] Melihat beberapa

kenyataan yang terjadi dalam masyarakat asli ini memungkinkan terjadinya

evangelisasi dalam bentuk karya musik daerah, karena hal ini juga telah menjadi

kebiasaan masyarakat dengan sesuatu kebiasaan yang baik. Oleh karena itu penulis

menyebutkan bahwa dalam evangelisasi melalui karya musik ini merupakan dialog

batin seseorang dengan pengalaman dalam karya musik.


61

B. Evangelisasi Baru Dilakukan di Keuskupan Agung Pontianak dan

Tantangan yang Dihadapi

1. Motivator yang memberdayakan

Keuskupan Agung Pontianak yang terletak tidak jauh dari pusat Kota

Khatulistiwa ini ternyata telah melahirkan beberapa ahli dalam bidang keteketik

misalnya Afra Siawarjaya; pernah studi kateketik di IPPAK (STKAT). Ahli dalam

bidang lingkungan hidup: P. William Chang, OFMCap. Beliau pernah studi S-1

bidang filsafat di STFT St. Yohanes Pematangsiantar tahun 1988, menyelesaikan S-2

tahun 1993 bidang moral di Fakultas Teologi Universitas Gregoriana Roma, dan

tahun 1996 menyelesaikan studi S-3 bidang moral di Accademia Alfonsiana, Instituto

Superiore di Teologia Morale, Universitas Lateran Roma. Sekarang menjabat sebagai

ketua Komsos Keuskupan Agung Pontianak. P. Firminus Anjiu, OFMCap seorang

yang memiliki perhatian besar terhadap musik daerah. Saat ini beliau berkarya di

Paroki Pemangkat, Kalimantan Barat. Sebagai seorang imam sekaligus musisi, beliau

berusaha memberdayakan siapa saja yang memiliki bakat di bidang musik. Beberapa

hasil karyanya menjadi favorit masyarakat, misalnya lagu yang berjudul Janji Alok

Tahi Gigi. Hal ini perlu menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi sebuah motivasi

untuk mampu juga melakukan hal-hal yang mendukung perkembangan iman umat

khususnya di Keuskupan Agung Pontianak.

Kesaksian hidup sehari-hari beberapa tokoh religius dan awam dalam

umat beriman ternyata telah membawa umat beriman lebih mendalam. Di sinilah

letak sebuah kekuatan kesaksian bahwa kesaksian yang merupakan sebuah pengakuan

hidup dalam artian misioner (Jacobs, 1992: 108) ternyata mampu memberi daya pada

umat beriman lainya untuk terus berkembang dalam imannya. Kesaksian hidup

lainnya misalnya saja yang dilakukan oleh Tain Matheus dan teman-teman yang
62

mendirikan “GD-f” (Generasi Dayak foundation) sebuah organisasi amal untuk

membantu meningkatkan pendidikan anak-anak Dayak di Kalimantan. Memang

masih sedikit dari mereka dalam memberikan bantuan namun ini sangat berharga bagi

yang dibantu. Apa yang telah mereka lakukan ini tidak berbeda jauh dengan

spiritualitas Ibu Theresa yang pernah mengungkapkan “Kita tidak bisa berbuat yang

lebih besar namun perbuatan-perbuatan kecil yang kita lakukan dengan cinta”

(Beding, 1989: 255).

Evangelisasi di tanah Borneo/ Kalimantan ini akan lebih nampak ketika

telah berada di tengah-tengah umat dan masyarakat pada umumnya. Berbagai bentuk

evangelisasi terjadi di sini, misalnya beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Tim

Pewartaan di tiap Paroki, beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para katekis

keuskupan dan katekis paroki dalam usaha pemberdayaan umat, para seniman yang

merefleksikan hidupnya kemudian menuangkan karya seninya dalam bentuk lagu,

puisi, teater dan karya seni ukir/ lukis/ pahat lainnya. Kegiatan-kegiatan yang telah

nampak di antaranya adalah baik itu kegiatan secara berkelanjutan atau insidental di

antaranya ialah pendalaman iman, syukuran dalam pesta panen “Naik Dango”, dan

pentas seni.

Berangkat dari evangelisasi yang telah dilakukan dalam tubuh Gereja

dewasa ini, dapat dilihat bahwa evangelisasi yang dilakukan di Keuskupan Agung

Pontianak dalam berbagai bentuk, baik yang telah terprogram oleh seksi pewartaan di

Paroki maupun yang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok musisi tanah

Borneo ini. Melalui syair dan nada serta isi keseluruhan lagu-lagu yang telah

dibuatnya menunjukkan bahwa ada sebuah kesaksian, pembaharuan hidup dan

kesetiaan batin seperti yang telah diungkapkan oleh Paus Paulus VI dalam EN 24:
63

Evangelisasi atau penginjilan, seperti telah kami kemukakan, adaah


suatu proses yang kompleks, yang terdiri dari macam-macam unsur:
pembaharuan kemanusiaan, kesaksian, pewartaan yang eksplisit,
ketaatan batin, masuk dalam jemaat, menerima tanda-tanda,
berinisiatif dalam merasul...

2. Pintu masuk evangelisasi melalui kebudayaan

Evangelisasi tidak hanya terjadi apabila ada seorang pewarta yang

memberi kesaksian atau melalui ibadat atau Perayaan Ekaristi. Banyak hal yang

mendukung terjadinya evangelisasi, dan di antaranya ialah berkaitan dengan adat-

istiadat daerah setempat. Harus diakui bahwa tanah Kalimantan kaya akan tradisi

peninggalan nenek moyang pada zaman dahulu. Terkait dengan peninggalan tersebut

di antaranya ialah cerita rakyat. Penulis merasa ada beberapa dari cerita rakyat di

Kalimantan Barat yang memiliki kemiripan jalan cerita dengan Kitab Suci Kristiani.

Misalnya saja dalam cerita yang berjudul “Bujakng Nyangko” (nama seorang tokoh

dalam cerita tersebut) memiliki kemiripan jalan cerita dengan Kisah Penciptaan (Kej

1) atau cerita lainnya yang berjudul “Dara Itapm” (nama seorang tokoh dalam cerita

tersebut) juga memiliki kemiripan jalan cerita dengan Kisah Adam dan Hawa.

Berlatar-belakang kemiripan dan pengertian nilai kehidupan yang hampir sama inilah

seorang Pendeta dari GKE Singkawang-Kalbar pada tahun 1978-1979 yaitu Pendeta

Hermann Vierling memotori sebuah penelitian terhadap cerita-cerita rakyat di

pedalaman Kalimantan Barat. Hasil penelitian yang belum sempat diterbitkan ini

merupakan bukti sebuah pembaharuan Evangelisasi dalam Gereja Kristen di

Kalimantan Barat melalui kekayaan tradisi cerita rakyat nenek moyang orang Dayak.

Pendeta Vierling dan timnya berusaha mengangkat cerita rakyat dalam terang Injil

Kristus dengan maksud me-relevan-kan carita tersebut dalam kehidupan masyarakat

Kalimantan Barat dan menjadikan Kristus sebagai Pokok Iman yang paling utama.
64

Namun sayang hasil penelitian yang sedemikian bermanfaat ini kurang mendapat

tanggapan, baik dari pihak Gereja Kristen Protestan maupun dari Gereja Katolik dan

akhirnya penelitian ini hanya berhenti sebatas penelitian saja tanpa ada tindak lanjut

dari pihak Gereja hingga saat ini.

Penulis mengadakan wawancara dengan beberapa orang tokoh (Topan,

Erwin dan Eriya) yang dapat memberikan penjelasan seputar evangelisasi di

Keuskupan Agung Pontianak. “Evangelisasi baru yang dilakukan melalui karya

musik daerah dapat dikatakan belum pernah dilakukan dalam tubuh Keuskupan

Agung Pontianak. Ini merupakan hal baru dan benar-benar evangelisasi baru jika hal

ini dapat dilaksanakan dalam Gereja Keuskupan Agung Pontianak” [Lampiran 7: (7)].

Gereja di Keuskupan Agung Pontianak memang suatu saat pasti akan membutuhkan

pembaharuan sedikit demi sedikit terutama pada kaum muda. Dengan melihat situasi

dunia modernisasi dewasa ini ada ketakutan sendiri kepada kaum muda akan terus

mengikuti perkembangan gaya hidup tanpa penyaringan terlebih dahulu terhadap

modernisasi yang diterima. Dalam PKPKM (Pedoman Karya Patoral Kaum Muda)

Komkep KWI 1999: 4 disebutkan bahwa “kaum muda harus dipandang sebagai

pribadi yang sedang berkembang. Mereka memiliki ciri khas dan kunikan yang tak

tergantikan, kualitas, bakat dan minat yang perlu dihargai. Mereka mempunyai

perasaan, pola pikir, tata nilai dan pengalaman tertentu serta masalah dan kebutuhan

yang perlu dipahami”. Dalam rangka membangun jati diri kaum muda inilah proses

evangelisasi baru melalui karya musik daerah sangat diharapkan perkembangan iman

serta bakat dan kemampuan kaum muda dapat terus terpelihara dan

diperkembangkan. Karna sekali lagi “kaum muda adalah harapan dan masa depan

Gereja dan masyarakat” (Komkep KWI, 1999: 1). Namun hal ini masih dalam

lingkup harapan. Masih banyak kaum muda yang membutuhkan bantuan untuk
65

bangkit melihat ke depan. Seperti yang diungkapkan oleh Pastor Paroki Menjalin

Keuskupan Agung Pontianak Pastor Erwin, OFMCap berikut:

“Memang tidak menutup kemungkinan masih banyak kaum muda yang


terjebak dalam zaman. Ikut arus modernitas tanpa mampu memilah mana
yang baik dan mana yang buruk. Dan sangat disesalkan terdapat beberapa
kelompok pemuda yang menganggap minum-minuman beralkohol (arak,
tuak..) adalah kebudayaan, hingga mereka tidak mampu menguasai diri
dan akhirnya mabuk. Banyak akibat yang ditimbulkan karena ini: meneror
masyarakat, memalak, mencuri, bahkan saling bunuh” [Lampiran 6: (6)].

Pada umumnya kaum muda seperti yang digambarkan di atas terjadi pada

kaum muda yang kurang bahkan tidak berpendidikan atau karena faktor ekonomi. Di

tempat asal penulis sendiri pun sering ditemui keadaan-keadaan seperti ini. Faktor

paling dominan yang mempengaruhi kaum muda seperti ini adalah faktor ekonomi.

Faktor ekonomi menuntut anggota keluarga untuk semuanya aktif mencari uang.

Sejak usia anak-anak, dalam diri mereka telah ditanamkan bagaimana caranya

mencari uang, dan tentu pendidikan akan dikesampingkan. Ini merupakan salah satu

keprihatinan yang sebetulnya membutuhkan tanggapan serius dari Gereja setempat di

Keuskupan Agung Pontianak. Sejauh yang penulis ketahui, untuk keprihatinan

semacam ini masih kurang tanggapan dan tindakan nyata dari Gereja. Unit-unit usaha

masyarakat masih kurang memadai untuk memberi solusi terhadap permasalahan ini

misalnya Credit Union, beasiswa GNOTA, beasiswa paroki dan lain-lain.

3. Evangelisasi melalui musik

Evangelisasi secara umum telah dilakukan, namun perjalanan evangelisasi

itu sendiri bukanlah suatu hal yang mudah. Masih banyak yang harus dibenahi untuk

perkembangan ke arah yang dituju tersebut. Dan cara untuk melakukan pembenahan

tersebut bisa saja melalui cara yang saat ini selalu up to date, yaitu melalui musik.
66

Berkaitan dengan ini penulis memberi sedikit sumbangan mengenai cara evangelisasi

yang dimaksudkan; evangelisasi melalui karya musik daerah. Dalam

mengembangkan sisi hidup rohani di Keuskupan Agung Pontianak melalui

evangelisasi dalam karya musik ini beberapa tantangan harus dihadapi. Seorang

pemudi anggota aktif Komunitas Sanggar Enggang Borneo, Eriya Putri [Lampiran 8:

(8)] mengutarakan beberapa tantangan di antaranya ialah kaum muda sedikit yang

berminat dalam mengembangkan karya musik untuk sebuah evangelisasi secara

langsung, masih sedikitnya motivator-motivator dan motor-motor yang berani

memberikan gagasannya kepada kaum muda untuk mengembangkan karya musik

daerah, tingkat kesadaran umat akan sebuah karya musik masih membutuhkan sebuah

motivasi langsung dan bimbingan; para musisi daerah lebih banyak mementingkan

keuntungan dalam pemasaran daripada memberikan sebuah kesaksian hidupnya

secara langsung di tengah umat. Dalam hal ini berbeda dengan apa yang telah

diselenggarakan Sanggar Efata dan Enggang Borneo yaitu memberikan pelatihan

serta mengajak umat untuk lebih mengenal imannya terhadap Jubata (Tuhan) secara

lebih dekat melalui pertunjukan-pertunjukan seni di antaranya ialah seni musik dan

teater.

Hampir senada juga seperti yang diungkapkan oleh Nikita, penyanyi cilik

lagu-lagu rohani asal Jakarta yang sekarang mulai tumbuh menjadi seorang remaja

ketika dalam wawancara dengan UTUSAN “Motivasi Niki dalam bernyanyi bukan

untuk mencari uang atau agar terkenal namun Tuhan memberikan talenta, mengapa

tidak dikembalikan padaNya?”. Di sisi lain kepentingan komersial dari sebuah karya

sangatlah penting. Sisi komersial ini mau tidak mau menjadi salah satu pendukung

terciptanya sebuah karya. Dan komersial di sini lebih dimaksudkan sebagai sebuah

keuntungan, prestise, atau sebagai sebuah kebanggaan yang sedikit berlebihan.


67

Namun masih sangatlah sedikit ditemui Nikita-Nikita lainnya pada musisi-musisi di

daerah Kalimantan Barat. Ini adalah sebuah harapan, harapan penulis dan mungkin

banyak orang yang ingin agar imannya berkembang seiring hasil karya ciptanya.

C. Karya Musik Daerah Sebagai Pintu Masuk dalam Evangelisasi

1. Peluang evangelisasi

Pluralitas agama dan budaya di Indonesia ini menghantar masing-masing

pribadi untuk berani menetapkan sebuah pilihan, apalagi dewasa ini arus globalisasi

memberikan penawaran dalam berbagai bentuk yang sangat menggiurkan. Sebut saja

tawaran-tawaran tersebut ialah sebuah fasilitas internet yang mengundang seseorang

untuk lebih tahu lagi semua informasi yang ada di sekitarnya dan di seluruh dunia,

program-program televisi dalam sebuah kuis berhadiah ratusan ribu hingga jutaan

rupiah dan sebagainya.

Melihat kenyataan zaman saat ini, dapat dianggap kurang pas jika sebuah

evangelisasi dilakukan hanya atas dasar sebuah misi kristenisasi atau berakhir pada

sebuah “pertobatan” dengan mengikuti agama tertentu (Adisusato, 2000: 28). Dalam

EN 11, secara lebih jelas evangelisasi diterangkan sebagai sebuah pewartaan dan

kesaksian Gereja tentang Kabar Gembira melalui kata-kata, tindakan-tindakan dan

eksistensinya kepada semua umat manusia dari segala golongan, dengan tujuan

terjadinya perubahan batin manusia yang terwujud dalam pembaharuan hidupnya.

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan jika sebuah evangelisasi dilakukan

melalui sebuah pintu masuk kaum muda pada umumnya dan salah satunya

evangelisasi melalui sebuah karya musik. Shelton (1988: 83-84) pernah

mengungkapkan bahwa sebuah pintu masuk ini dapat dipahami dimana mereka

merasa memiliki kekuatan besar sehingga dengan berani bertindak atas dasar
68

kebebasan bagi mereka (Shelton, 1988: 83-84). Pada masa ini mereka juga pasti

mengalami kekosongan namun mereka akan mencoba mengisi kekosongan tersebut

dengan berbagai kegiatan dan tentu dengan teman sebayanya. Sarana untuk mengisi

kekosongan menurut mereka akan lebih mudah dalam bermusik, berolah raga, dan

berkomunikasi dalam dunia maya atau sering disebut dengan internet (Shelton, 1988:

69).

Evangelisasi yang dikembangkan melalui karya musik sebagai pintu

masuknya memberikan peluang bagi para pewarta agar lebih mengenal dunia musik

selain dunia kaum muda dan sisi kerohaniannya. Seorang sosok penyanyi cilik

pelantun lagu-lagu rohani yang kini telah menginjak usia remaja yaitu Natasha Nikita

telah membuktikan bahwa pewartaan melalui sebuah karya musik mampu

membangun dan mengembangkan sisi kehidupan rohani seseorang maupun dirinya

sendiri. Dia mengatakan “Aku tidak pernah marah sama Tuhan sebab Dia sangat

mencintai Niki dan kita. Rasanya malah selalu dekat dengan Tuhan Yesus. Buktinya

kalau Niki lagi ada masalah, lalu berdoa, ya masalah tidak langsung hilang, tetapi aku

merasa bahagia, tenteram dan selalu ditemaniNya”.

Apa yang menjadi pendapat dan pengalaman Nikita merupakan sebuah hal

yang sangat memberi inspirasi bagi siapa saja yang tergerak hatinya untuk mengenal

secara lebih dekat siapa Yesus Kristus dan kasih yang diberikanNya kepada manusia

melalui karya musik. Memang perlu dipahami bahwa evangelisasi tidak dapat terjadi

dengan begitu saja, ibarat hujan turun dari langit. Namun evangelisasi terjadi melalui

proses. Penulis menggambarkan sebuah harapan yang terjadi apabila evangelisasi

terjadi melalui karya musik. Dan sekali lagi ini merupakan sebuah harapan yang

sewaktu-waktu dapat terwujud.


69

2. Realitas dan harapan dalam evangelisasi

Ketika dalam suatu kesempatan kaum muda mengekspresikan dirinya

melalui karya seni, sebut saja seni musik; seni lukis; seni tari; seni peran dan berbagai

macam kesenian lainnya maka ini adalah sebuah kesempatan dimana pintu masuk

untuk sebuah evangelisasi melalui karya musik terbuka lebar. Dalam masyarakat suku

Dayak di Kalimantan Barat, setiap tahun yaitu sekitar bulan April diadakan pesta

syukur atas panen padi baru yang sering disebut “Naik Dango”. Naik Dango ini

diadakan setelah semua rangkaian berladang hingga panen. Rangkaian berladang

biasanya dimulai pada bulan Juni dan diakhiri pada bulan April. Rangkaiannya

sebagai berikut: persiapan menanam, saat menanam, masa panen, dan penyimpanan

hasil panen. Pesta Naik Dango ini diadakan karena masyarakat suku Dayak sangat

menghargai padi/ beras. Bagi mereka padi/ beras adalah awal kehidupan. Jubata

memberikan padi kepada manusia untuk diolah, maka padi sangat memiliki nilai

luhur bagi masyarakat Dayak. Tidak heran jika disetiap rumah masyarakat suku

Dayak asli terdapat lumbung padi dan benihnya yang diikat kemudian disimpan pula

ke dalam lumbung tersebut. Seorang tokoh adat Dayak yaitu Malahia dalam sebuah

situs berkaitan dengan ini menegaskan, “Bagi sebagian masyarakat perkotaan, padi

atau beras hanyalah sekadar barang kebutuhan sehari-hari, komoditas yang dapat

dibeli asalkan ada uang. Tetapi, bagi masyarakat Dayak Kanayatn atau juga petani

pada umumnya, padi dan beras bukanlah semata-mata produksi dan komoditas,

melainkan rahmat ilahi yang harus disyukuri” (Malahia, 2008: 12). Dalam rangka

semangat mensyukuri berkat Ilahi inilah maka Pesta Syukur Naik Dango diadakan

dan setiap desa sudah pasti mendapat giliran untuk menjadi koordinator sekaligus

tuan rumah dalam acara. Naik Dango secara harfiah diartikan sebagai awal masuknya

padi ke lumbung-lumbung petani. Padi disimpan sebagai persediaan sampai panen


70

berikutnya dan memohon pada Jubata agar panen berikut lebih baikdan manusia

terhindar dari malapetaka. Naik Dango ini dapat juga dikatakan sebagai sebuah

sistem ketahanan pangan. Namun sebuah keprihatinan penulis dan juga mungkin

masyarakat luas lainnya, lumbung-lumbung padi kini hampir menjadi sebuah sejarah.

Sebagai seorang putera daerah asli, penulis seriing mendengar pendapat bahwa

membuat lumbung padi sangat merepotkan. Bagi penulis pendapat seperti itu

sangatlah salah besar. Ini adalah adat istiadat nenek moyang dan harus dilestarikan,

bahkan ini bisa menjadi sumber komoditas bidang pariwisata pendapatan asli daerah.

Di sisi lain namun dalam dalam fokus yang sama, sebuah kebanggaan

penulis sebagai kaum muda Dayak sekaligus pengikut Kristus. Pesta syukur panen

yang biasanya diadakan di tempat asalnya di Kalimantan Barat diadakan juga setiap

tahun di Yogyakarta. Karena mengingat kota ini merupakan perkumpulan para

mahasiswa dan pelajar yang berasal dari Kalimantan. Di tahun 2008 yang lalu yakni

tanggal 16-18 Oktober 2008 telah diadakan Pesta Syukur dengan format acara

“Gawai Dayak se-Kalimantan.” Tema gawai Dayak kali ini ialah “Originalitas

Kehidupan Anak Bangsa Dalam Harmoni Budaya Sebagai Cerminan Identitas

Bangsa”. Koordinator gawai Dayak yaitu Samuel Billy [Lampiran 10: (10)] seorang

mahasiswa asal Melawi Kalimantan Barat mengungkapkan bahwa inti diadakannya

acara ini ialah mengucap syukur atas karunia dan penyertaan Jubata (Tuhan) selama

proses menyiapkan lahan hingga panen.

Selama berlangsungnya acara Gawai Dayak se-Kalimantan ini, banyak

mahasiswa dan pelajar yang terlibat di dalamnya khususnya mahasiswa dan pelajar

yang berasal dari Kabupaten Melawi (pihak penyelenggara). Hal ini merupakan

sebuah wujud persatuan dan kesadaran kaum muda di Kalimantan Barat untuk

berpartisipasi dalam pelestarian budaya walaupun bukan berada di tempat asalnya.


71

Berbagai macam acara seni dan kerajinan serta masakan daerah hingga karnaval

budaya. Setiap rangkaian acara yang akan dimulai selalu diawali dengan upacara adat

terlebih dahulu begitu juga pada akhir acara yaitu dengan “nyangahatn palataratn”

(berdoa di miniatur lumbung padi) disertai dengan memotong ayam jago merah.

Rangkaian acara yang termasuk dalam acara seni ialah lomba Pop Singer, festival tari

dan seni menghias pondok pameran ala rumah adat; termasuk acara keterampilan

ialah lomba membersihkan beras, lomba masakan khas, lomba permainan rakyat.

Dalam rangkaian acara ini juga diadakan karnaval budaya dimana rute yang dilalui:

start dari GOR UNY (melewati Jl.Afandi,Jl.Adi Sucipto,Jl. Cik Ditiro,Bundaran

UGM, Sagan) hingga finish di GOR UNY.

Keceriaan dan rasa memiliki serta rasa persatuan dan kesatuan terlahir

seiring berjalannya acara ini. Identitas asli dalam budaya ini takkan pernah

tergantikan dengan dihadirkannya secara langsung seorang pembawa doa opening

dan closing ceremony dari Kalimantan Barat. Hal ini menandakan bahwa sedemikian

eratnya hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Jubata). Semua larut dalam setiap

acara yang disajikan oleh panitia. Ketika menghadiri acara ini, spontan penulis

merasa seperti berada di kampung halaman sendiri. Beberapa orang yang hadir juga

mengungkapkan rasa yang sama. Acara ini juga membuat kerinduan yang dalam akan

indahnya suasana kampung halaman. Namun sebagai seorang orang Dayak asli,

penulis merasa ada yang kurang dalam acara ini; semua ciri khas Kalimantan telah

terungkapkan dalam setiap sesi acara dari kesenian hingga kuliner. Penulis merasa

esensi dari identitas setiap kesenian yang disajikan bukan lagi menyajikan sesuatu

yang asli namun telah tercampur baur dengan budaya lain. Contohnya saja dalam

mengiringi tari-tarian (tari babore, tari perang, tari bahanyi, tari bujakng nyangko

turutn ka’ langit dan ada beberapa tari-tarian lainnya). Alat musik yang digunakan
72

selain dau, sapeq, agukng, ganakng, digunakan juga tamtam, simbal, gitar bass, dan

gitar solo. Memang secara audio dan visual akan terlihat meriah dan hidup namun

unsur keaslian dalam kesenian ini telah terlupakan dengan mencampur-baurkan alat

musik dalam mengiringi tarian.

Dengan melihat kenyataan seperti ini, bukan berarti evangelisasi melalui

karya musik daerah tidak dapat dilaksanakan. Fokus evangelisasi dalam karya musik

adalah karya musik dan kaum muda, hal yang berkaitan dengan hilangnya esensi

dasar merupakan tanggungjawab generasi muda di Kalimantan Barat. Evangelisasi

tetap dilaksanakan sambil memperhatian unsur-unsur keaslian alat dan musik daerah.

D. Contoh Karya Musik dan Analisisnya

Arti musik didefinisikan oleh Koch N., (1997: 1197) ialah “musik adalah

seni mengungkapkan rasa melalui nada”. Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan

Tuhan yang dilengkapi dengan akal budi tentu memiliki rasa terhadap sesuatu. Rasa

terhadap sesuatu tersebut diungkapkannya dalam sebuah nada. Contohnya di

pedalaman Kalimantan; seorang ibu menidurkan anaknya dengan bernyanyi,

sekumpulan orang di ladang (aleatn : Bhs Dayak) bernyanyi sambil bekerja dan

sebagainya. Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Schlling (1997). Dia

mengungkapkan “musik adalah irama dan harmoni dari alam semesta sejauh

disadari” (Schilling, 1997: 1197). Alam semesta tempat bernaungnya makhluk-

makhluk hidup dikatakan merupakan irama yang harmoni. Contohnya, matahari

bersinar siang dan malam, perputaran bumi pada porosnya, tiupan angin dan

sebagainya. Lain halnya dengan pengungkapan musik menurut Zwahr (2003: 4997),

dia mengatakan “musik merupakan hubungan nada dalam jangka waktu”. Jika musik

dikatakan hubungan nada dalam jangka waktu artinya sebuah nada terjadi tidak
73

begitu saja dan pada saat itu saja namun membutuhkan waktu. Itu sebabnya jangka

waktu mempengaruhi terjadinya nada.

Berikut penulis akan membahas tiga jenis lagu sesuai dengan isi tulisan ini

yaitu bagaimana sebuah karya musik dapat dikatakan sebagai pintu masuk dalam

evangelisasi baru bagi kaum muda Kristiani khususnya dan secara umum bagi siapa

saja yang tergerak hatinya, membawanya pada pengalaman baru sehingga sedikit

demi sedikit dengan sebuah penghayatan yang mendalam dapat memberi perubahan

positif dalam hidupnya.

1. Aspek-aspek lagu yang akan dianalisis

a. Musik

Berkaitan dengan pemahaman manusia akan arti sebuah musik, Pono

Banoe: 2003 menjelaskan terdapat beberapa jenis musik yang sering digunakan,

contohnya musik klasik yaitu musik masa lampau yang selalu memperhatikan tata

tertib penyajiannya, musik instrumental yaitu permainan musik tanpa vokal.

Berkaitan dengan musik pop rohani, seorang ahli musik liturgi Romo Prier, SJ

mengatakan “lagu pop rohani diciptakan untuk keperluan seperti devosi bersama/

perorangan, pertemuan, pentas, hiburan, meditasi, katekese dan lain-lain (Prier, 2008:

99). Masih banyak jenis-jenis musik lainnya yang diciptakan khusus untuk tujuan

tertentu. Seperti yang diungkapkan filsuf Yunani, Aristoteles berikut “keteraturan

yang muncul dalam perpaduan unsur-unsur musik mencerminkan suatu keindahan

yang jujur, dan dengan kata lain “musik merupakan suatu tiruan seluk beluk hati

dengan menggunakan melodi dan irama” (Prier, 2004: 41).

Musik dikatakan baik apabila memiliki unsur-unsur melodi, ritme, dan

harmoni. Melodi merupakan unsur pokok, artinya melodi merupakan bagian


74

terpenting dalam sebuah karya musik. berkaitan dengan ini Pono Banoe (2003: 233)

menegaskan, “sebuah karya musik untuk dinyanyikan atau dimainkan dengan pola

dan bentuk tertentu”. Sifat asli musik haruslah selalu nampak yaitu musik dapat

membahasakan semua yang tidak dapat diungkapkan dan musik melampaui semua

lapisan dan golongan dalam masyarakat, dengan kata lain musik merupakan suatu

bahasa yang bersifat universal. Hal kedua yang penting dalam sebuah musik adalah

ritme. Dalam sebuah musik ritme atau sering juga disebut irama diartikan sebagai

derap atau langkah teratur yang menandakan sebuah lagu memiliki pola dan keadaan

atau sesuatu yang teratur gerak atau langkahnya disebut ritmis. Ritme dapat juga

diartikan sebagai unsur waktu dalam musik, panjang-pendeknya nada menurut pola

tertentu. Selanjutnya hal ketiga yang penting dalam sebuah musik ialah harmoni.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Suharso & Retnoningsih, 2005: 165), kata

harmoni diartikan sebagai suatu keselarasan atau serasi. Dalam musik, harmoni

adalah gabungan nada baik secara selaras (konsonan) maupun secara janggal

(disonan) untuk mengungkapkan suatu kehendak.

b. Syair

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Suharso & Retnoningsih, 2005:

509) syair diartikan dalam artian sastra yang berarti puisi lama yang tiap-tiap bait

umumnya terdiri atas dua/ empat/ enam larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang

sama. Berkaitan dengan pantun, seni tradisional Dayak mengenal pantun sebagai

bahasa untuk mengungkapkan nasehat atau sindiran. Secara umum pantun terdiri dari

dua bagian yaitu bagian pertama kalimat dalam bahasa khiasan dan bagian kedua

untuk menunjuk arti yang sebenarnya. Dalam bidang musik, syair merupakan sebuah

ungkapan bahasa manusia untuk untuk ide-ide tertentu dalam mengilustrasikan


75

keadaan/ suasana yang sedang terjadi maupun yang masih menjadi impian, angan-

angan atau cita-cita atau pun sebuah harapan. Dalam musik, syair merupakan bahasa

kebebasan manusia untuk mengungkapkan dirinya. Syair merupakan unsur yang

menyertai lagu atau sering disebut dengan vokal. Syair bukanlah unsur utama dalam

karya musik namun melalui syair, sebuah lagu akan berbicara langsung tentang

pengungkapan sesuatu. Sebuah syair dalam musik dikatakan bagus atau indah dan

bermutu apabila pemilihan kata dan bentuk bahasa seutuhnya dapat dipahami oleh

manusia. Kata-kata atau kalimat lagu tersebut hendaknya kata-kata baku atau standar

bahasa Indonesia atau bahasa dimana kelompok/ golongan orang-orang tertentu dapat

mengerti.

c. Musik sebagai evangelisasi

Setiap hasil sebuah karya musik sudah pasti memiliki arti dan tujuan

tertentu yang terlahir sejak terciptanya sebuah karya. Arti dan tujuan inilah yang

memberi jawaban pada setiap orang bahwa di situlah letak isi karya musik dan mau

berbicara apa karya musik tersebut. Misalnya dalam lagu-lagu Taize. Prier memberi

gambaran tentang lagu-lagu Taize biasanya dipakai dalam ibadat alternatif yang

disebut Ibadat Taize. Ibadat ini tanpa kotbah dan banyak kata-kata namun dengan

banyak lagu dan keheningan, dengan iringan unik (biola, seruling, gitar) yang

menciptakan suasana segar dan indah, meski sederhana (Prier, 2008: 97). Karya

musik yang tercipta dalam lagu-lagu Taize merupakan salah satu contoh pewartaan

langsung melalui musik dan syair. Hal inilah yang dimaksud evangelisasi melalui

karya musik. Lagu-lagu Taize yang diciptakan telah berhasil membawa manusia ke

dunia “transenden”; syair berbicara di dalam hati. Hal ini pun karena didukung
76

dengan pembawaan dalam setiap lagu Taize yang diulang-ulang, agar mudah dihafal

dan membantu masuk dalam keheningan.

Masih ada beberapa karya musik lainnya yang mirip dengan lagu Taize

dengan kemampuannya membawa seseorang ke dalam keheningan untuk “bertemu”

dengan Yang Ilahi. Misalnya saja lagu Gregorian, lagu Rawaseneng, dan lagu

Gedono. Lagu Gregorian tidak memiliki pola ritme tertentu karena sangat

dipengaruhi suku kata dalam syair sehingga terkesan nadanya terseret-seret; lagu

Rawaseneng secara singkat dapat dikatakan sebagai semi-gregorian; sedangkan lagu

Gedono merupakan semi-gregorian namun dinyanyikan dua atau tiga suara dengan

iringan sebuah Zithera/ sitar khusus dalam mengiringi nyanyian ini (Prier, 2008: 95-

97). Beberapa karya musik yang diciptakan ini mampu menarik perhatian banyak

orang dan khususnya kaum muda yang selalu rindu akan suatu hal baru, berkaitan

dengan penghayatan imannya. Kaum muda berusaha menemukan cara-cara dalam

menghayati imannya. Beberapa hal yang sering ditemui dalam kehidupan konkret

dewasa ini beberapa diantaranya ialah dalam ibadat Taize, Persekutuan Doa

Karismatik dan ziarah ke Gedono walau hanya untuk mendengarkan para Suster

Trapis melantunkan ibadat harian. Dari sekian banyak individu yang tertarik akan hal

ini, sebagian besar adalah kaum muda. Pewartaan secara tidak langsung pun terjadi

pada setiap orang yang melihat dan mendengarkan. Hal ini dapat terjadi karena

didukung oleh suasana di sekitar, misalnya para Suster Trapis bernyanyi dari hati,

tempatnya jauh dari keramaian sehingga suasana sunyi dan teduh sangat terasa.

Dengan diiringinya nyanyian ini dengan alat musik khusus yaitu zhitera sangat

membantu para Suster Trapis untuk lebih menghayati setiap syair yang terucapkan.

Melihat peluang pewartaan dewasa ini, besar kemungkinan pewartaan

dikemas dalam sebuah karya musik. Dengan adanya pemikiran dari penulis ini, bukan
77

berarti sebelumnya pewartaan yang dilakukan tidak melalui sebuah media; beberapa

kelompok atau lembaga dalam masyarakat telah menyelenggarakan pendidikan musik

sejak dini. Sebut saja Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, Enggang Borneo Singkawang

Kalimantan Barat, Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta yaitu pewartaan yang

dilakukan melalui media audio visual dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam SC

115 disebutkan:

Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar


di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan
para religius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya
dan di sekolah-sekolah Katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti
itu hendaknya para pengajar Musik Liturgi disiapkan dengan saksama.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan
Lembaga-lembaga Musik Liturgi tingkat lebih lanjut. Para pengarang lagu
dan para penyanyi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat
kesempatan untuk pembinaan Liturgi yang memadai.

Adanya dukungan dari pihak Gereja seperti ini memberi motivasi bagi

Lembaga-lembaga Gereja untuk terus meningkatkan karya pelayanannya dalam

bidang pewartaan. Bukan hanya hanya Lembaga-lembaga yang ada yang berperan

dalam hal ini, namun semangat untuk memberi kesaksian dalam umat Kristiani juga

tertanam pada diri secara personal, walaupun unsur komersial dari sebuah karya

kadang lebih dominan daripada palayanan semata. Peran orang tua dalam keluarga

sangatlah diperlukan untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan anak agar

berkembang dalam imannya kepada Yesus Kristus.


78

2. Analisis Karya Musik

Analisis karya musik ini dilakukan dengan melihat tiga bagian pokok yang

telah dijelaskan sebelumnya pada bagian E poin 1 (satu), yaitu dengan

memperhatikan segi musik (melodi; ritme; dan harmoni), syair, dan evangelisasi

karya musik. Analisis yang dilakukan ini sangat sederhana karena penulis hanya

memberi porsi pada bagian terpenting dalam sebuah karya musik atau lagu dan yang

berkaitan dengan tulisan ini. Karya musik yang dianalisis juga terdiri dari tiga bagian

yaitu musik asli (dalam bahasa Dayak Kanayatn – Kalimantan Barat), musik pop

(dalam bahasa Dayak Kanayatn – Kalimantan Barat), dan musik inkulturasi Gerejani

(bahasa Indonesia – Loko PML di Tering 1985).

a. Musik Asli (dalam bahasa dan musik asli Dayak Kanayatn – Kalimantan Barat)

Dendo Babore

žžžžžžžžžžžžžžž
Suling Š‹”│‹ ” Š 6 │Š ”‹”│Š . . ‹”ŠŠ │ 6 6 . Š 6 5 6 5│

žžžžš
Š . 5 6 5 6 5 . .‘


Vokal ‘‹‹‹‹” │‹”Š ŠŠ │‹”ŠŠŠ │Š │

žžž
 ŠŠ 5 │6 .3 5 6 │6 5 6 5 .5│ 5 5 5│ 5
ÊÉ·
žžžžžžžžžžžžž
Suling ŠŠ│6 .5 6 Š │5 . Š │ 
ÊÉ·

žžžžžžžžž
Vokal ŠŠŠŠ 5│  │  │5 .│

žžžžžž
│      ‘
ÊÉÉ·
79

  žžžžžž
Suling ‹ ”Š  ‹Š ŠŠŠŠ Š ‘
ÊÉ·

Dendo Babore

Diri bagalah seko’ samuanya dalapm surak bere’ sarabehnya

Ngincaknga’ topokng ba salepang muka’ ransa’ nyambah ka’ bale diri’ ka’ binua

Baru’ babore banyumang baras banyu ame kana jukat disangka dimareho

Baru bacuci mang amutn panetekatn ai’ alapm diri pereneatn

Baru boh diri’ batawar batampuknga’ tawar diri’ nawari muha ame nang masapm

Ame boh diri’ kana etokng karunia diri nawari’ boh ampakng bere bagalah-galah

Baru’ boh diri’ badarah manta’ darah ece’ diri’ naraha’ luka’ matamuan

Kade’nya rompokng boh tambah diri nang nambalnya, ame boh diri’ katitakng-

bakatitakng

Baru’ babadi baamutn diri’ nang basasah diri’ nasaha’ miang saganap miang

Udah basasah boh dirinya sagala sedokng sagala balis sadalapm badatnnya

Baru babadi diri’ baik-baik diri’ baongko dinya banar-banar

Mangke ba diri’ sabente boh nyawa sapuas nyawa makatn saradakng radakng

sabatakng radakng

Udah babadi diri’ nang bapupu baru nang baaluatn man barasa’ kuning
80

Tihakng maraga diri’ boh dinya gonsokng-gonsokng maraga dango tagemakng

gemakng maraga aya’

Dendo Babore (Lantunan Doa)

Kita berlari bersama dalam sorak-sorai kegembiraan

Membawa bekal di depan altar persembahan

Lalu berdoa dengan beras berkat agar tidak terhindar marabahaya

Lalu membersihkan diri dengan tetesan embun pagi kita semuanya

Lalu kita “membersihkan” diri agar jangan sampai terlihat muka muram

Jangan sampai kita terhitung dari salah satu orang yang melakukan kesalahan

Lalu kita berpikiran jernih untuk membersihkan luka yang telah mengering

Jika kita mampu memperbaiki yang rusak dalam diri, jangan merasa berbangga hati

Lalu basahkan diri dengan embun untuk membersihkan segenap duri

Cucikan diri dari segala yang jahat dan iblis yang merasuk dalam jiwanya

Setelah melakukan secara bersama, jagalah dirinya

Satu hal dalam diri kita, satu nyawa ketika bersantap bersama satu tempat ketika

dalam persaudaraan

Bersama dalam persaudaraan kita saling mengingatkan dalam “beras kuning”


81

Penopang jalan hidup jadi penuntun menuju jalan kebenaran walau harus melewati

rintangan

1) Penjelasan judul lagu

Lagu ini berjudul Dendo Babore. Dendo Babore dalam bahasa Dayak

Kanayatn berarti Lantunan Doa. Dilihat dari asal katannya, “dendo” dalam bahasa

Dayak Kanayatn sering diartikan sebagai nyanyian. Pada zaman dahulu ketika orang

tua akan menidurkan anaknya, hal yang sering dilakukan ialah menyanyikan sebuah

lagu. Kegiatan orang tua seperti ini disebut “ngadendo” atau dalam bahasa Indonesia

disebut bernyanyi. Ngadendo yang sering dilakukan bukan seperti lagu-lagu zaman

sekarang yang kaya akan syair dan memperhatikan bagus tidaknya dalam nada.

Ngadendo kadang-kadang hanya terdiri dari satu kalimat saja yang diulang secara

terus menerus bahkan kadang-kadang ngadendo hanya berupa gumaman yang sedikit

dipoles dengan nada. Berikut contoh syair dalam ngadendo, “tidur ba tidur otohha

uwe’ (apa’) ka’ uma’a...” artinya “tidurlah anakku tidur ibu bapak mau ke ladang”.

Kata “babore” sendiri berarti doa. Misalnya babore ka’ uma (doa di ladang), babore

batalah (doa/ upacara memberi nama pada bayi), babore ka’ saka (doa di tempat

sakral) dan masih banyak lagi babore atau upacara doa ini dilakukan dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat adat Dayak.

2) Musik

Kembali pada lagu “Dendo Babore”. Lagu Dendo Babore (lantunan doa)

ini merupakan sebuah ungkapan doa seorang “Panyangahatn” (pendoa) dalam bahasa

lisan yang tidak langsung menunjukan arti sebenarnya melainkan menunjuk pada

sebuah makna. Sekilas ketika mendengarkan lagu Dendo Babore ini maka kesan
82

pertama yang muncul adalah lagu ini tidak ada keteraturannya dalam bentuk

kalimatnya. Namun inilah ciri khas dendo/ musik tradisional Dayak Kanayatn dengan

melodinya yang berpindah-pindah dan gaya khas pentatonik (do-re-mi-sol-la)

mendominasi di dalamnya.

Lagu Dendo Babore ini dapat dikatakan kurang memperhatikan simetri

kalimat. Dalam melagukan syair hanya sekedar menumpang pada iringan dan nada-

nada pokok sehingga lagu ini terkesan dinyanyikan dengan semaunya oleh penyanyi.

Namun walau demikian tidak menghilangkan gaya pentatonis lagu ini sendiri.

Jangkauan wilayah nada (ambitus) memiliki keteraturan berkisar antara 1 oktaf. Bagi

orang yang pertama kali mendengar lagu ini, sudah pasti akan memberi tanggapan

bahwa lagu ini tidak memiliki keindahan. Namun bagi penulis sendiri lagu ini sangat

indah dan enak di dengar karena merupakan ungkapan kejujuran dari hati seseorang.

Selanjutnya hal ketiga yang penting dalam sebuah musik ialah harmoni.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Suharso & Retnoningsih, 2005: 165), kata

harmoni diartikan sebagai suatu keselarasan atau serasi. Prier, (2009: 4)

menambahkan, “harmoni merupakan hubungan antara nada yang konsonan dan

disonan secara normal dalam akord. Dalam musik penatonis akord tidak digunakan”.

Bagitu juga yang terjadi pada lagu Dendo Babore; karena musik bersifat pentatonis

maka dalam hal harmoni tidak diperhatikan. Oleh karena itu, pada lagu Dendo

Babore ini mengabaikan simetrisitas kalimat.

3) Syair

Syair pada lagu Dendo Babore merupakan bahasa asli suku Dayak

Kanayatn di Kalimantan Barat. Telah diungkapkan di atas sebelumnya bahwa syair

dalam lagu ini adalah bahasa lisan yang dipakai sehari-hari dalam masyarakat.
83

Kalimat demi kalimat dalam syair ini tidak menunjuk langsung pada arti

sesungguhnya namun mempunyai makna lain; nilai-nilai keteraturan dalam hidup.

Keteraturan yang dimaksud ialah keteraturan dan keseimbangan hubungan antar

individu, individu dengan lingkungannya dan individu dengan roh-roh nenek moyang

serta individu dengan Sang Pencipta (Jubata). Misalnya saja pada penggalan bait lagu

Dendo Babore berikut ini:

Diri bagalah seko’ samuanya dalapm surak bere’ sarabehnya


Ngincaknga’ topokng ba salepang muka ransa’ nyambah ka’ bale diri’ ka’
binua
Baru’ babore banyumang baras banyu ame kana jukat disangka dimareho
Baru bacuci mang amutn panetekatn ai’ alapm diri pereneatn
Baru boh diri’ batawar batampuknga’ tawar diri’ nawari muha ame nang
masapm
Ame boh diri’ kana etokng karunia diri nawari’ boh ampakng bere
bagalah-galah
Baru’ boh diri’ badarah manta’ darah ece’ diri’ naraha’ luka’ matamuan
Kade’nya rompokng boh tambah diri nang nambalnya, ame boh diri’
katitakng bakatitakng
Terjemahan:
Kita berlari bersama dalam sorak-sorai kegembiraan
Membawa bekal di depan altar persembahan
Lalu berdoa dengan beras berkat agar tidak terhindar marabahaya
Lalu membersihkan diri dengan tetesan embun pagi kita semuanya
Lalu kita “membersihkan” diri agar jangan sampai terlihat muka muram
Jangan sampai kita terhitung dari salah satu orang yang melakukan
kesalahan
Lalu kita berpikiran jernih untuk membersihkan luka yang telah
mengering
Jika kita mampu memperbaiki yang rusak dalam diri, jangan merasa
berbangga hati

Dari penggalan lagu Dendo Babore ini jelas nampak hubungan yang

saling memberikan makna satu dengan yang lainnya hingga ditemukanlah kejernihan

hati untuk terus melangkah dalam meniti hidup.

Dengan melihat lagu Dendo Babore ini, tidak mutlak jika dikatakan

menjadi seorang penyanyi haruslah seorang yang memiliki suara indah. Namun

karena bernyanyi dari hati dengan segala kepolosan maka inti sebuah lagu pasti akan
85

žžžž
Vokal 5 6│ŠŠ ŠŠ”Š│6 5 . . 3 5│6 6 . 6 6 6│3 2 . .

žžžžž
1 2│3 3 .3 5 5 3 5│6 . . ”Š│ 1 6 5 . 6 .5 3│1 . . ║
žž
 ”Š 

Pama Jubata Tuhan Yang Maha Tinggi

Asa ..dua..talu..ampat..lima..anam.. tujuh… Satu..dua..tiga..empat..lima..enam..tujuh...

Aao..Pama Jubata, kami bapamang ka’ Kita Ya..Tuhan Yang Maha Tinggi, kami bernyanyi

nang adel padaMu yang adil

Aao..Pama Jubata, lapasatn kami nang idup Ya..Tuhan Yang Maha Tinggi, bebaskan kami dari

jara kesengsaraan hidup

Mataari tarabit ka’ Timur Matahari terbit di Timur

Ia tinyalapm ka’ arah Barat Ia tenggelam ke arah Barat

Miakng ari kami basyukur Setiap hari kami bersyukur

Nyambah Jubata ngababahatn diri Sembah Tuhan dalam kerendahan diri

Anam ari waktu karaja Enam hari waktu kerja

Ka tujuh ari diri’ badiapm Hari ke tujuh kita istirahat

Ngucapatn syukur ka’ ari dimare’ Ucap syukur atas hari yang diberi

Mare tonoatn man barakatNya Beri persembahan dalam berkatNya

Ajari kami adel ka’ Talino Ajar kami untuk adil terhadap umat manusia

Ina’ mamihak ka’ sabaya diri’ Tidak memihak terhadap sesama

Ajari kami bacuramin ka’ saruga Ajar kami untuk bercermin ke surga

Tapi basengat ka’ Kita o Jubata Namun kami bernafas hanya padaMu ya Tuhan
86

1) Penjelasan judul lagu

Lagu yang berjudul “Pama Jubata” ini merupakan buah karya Muderus M.

Bagayo dan dinyanyikan oleh Ella Beltra di bawah naungan Galaherang Studio,

Pontianak Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Kalimantan Barat mengartikan kata

“Pama”, sesuatu yang lebih dan sangat besar/ agung dari segalanya namun memiliki

kesucian dan kemurnian dan hanya ada satu Pama, yaitu Pama Jubata atau Tuhan

Yang Maha Tinggi. Kata Pama hanya disebutkan khusus untuk Jubata (Tuhan).

Begitu besar dan agung namaNya (Jubata) sehingga hampir tak terucapkan kata untuk

“Pama Jubata” untuk menyebut Tuhan dalam bahasa Dayak karena manusia

memandang dirinya tidak layak untuk Pama Jubata itu sendiri. Dalam kehidupan

sehari-hari kata “Pama Jubata” digantikan hanya dengan menyebut “Jubata” atau

“Nek Jubata”. Seorang Muderus pencipta lagu ini sengaja memberi judul pada

karyanya dengan “Pama Jubata” karena melihat peran Pama Jubata dalam setiap sisi

kehidupan masyarakat Dayak sangat besar; dari berladang hingga urusan antar

individu maupun hubungan manusia dengan makhluk yang diyakini hidup di alam

lain namun dekat dengan kehidupan masyarakat. Pama Jubata digambarkan sebagai

penghubung dari semua sisi kehidupan masyarakat. Tanpa Pama Jubata kehidupan

tidak akan terjadi karena hidup berasal dariNya. Dengan kata lain Pama Jubata

adalah segalanya, satu dan tak ada duanya. Pama Jubata memiliki segalanya dan

manusia tidak punya apa-apa maka manusia harus barusaha dan bekerja keras namun

manusia harus memelihara dan menghargai apa yang telah diberikan oleh Sang Pama.
87

2) Musik

Pada saat mendengarkan lagu ini, seperti musik pop pada umumnya lagu

Pama Jubata memberi sentuhan yang lembut dan seolah-olah dialami sendiri oleh

pendengar baik suasana maupun isi lagu. Menurut Meyers (2003), musik pop

merupakan “musik yang berkembang dari Rock n’ Roll tahun 1955-an dan kemudian

diperkembangkan oleh group asal Inggris (The Beatles dan Rolling Stones). Dalam

arti harafiah termasuk di sini semua musik hiburan yang disebarkan oleh media massa

diantaranya adalah lagu pop, folklove komersial, operet, musical, musik country,

musik dansa, lagu klasik yang dipopkan dan jazz” (Zwahr, 2003: 5820).

Karakter musik pop hadir dalam nuansa lagu Pama Jubata dimana

dijelaskan oleh musikologi Theodore W. Adorno yang dikutip oleh Nipa dkk. dalam

artikel majalah GONG berikut:

Musik pop memiliki karakter dasar: seluruh strukturnya tidak bisa


menghindar dari standardisasi baik secara kompositorik (kord sederhana,
melodi dengan tingkat tangga nada terbatas, pola ritme sederhana, banyak
repetisi, dan seterusnya) maupun tema lirik (yang berkisar tentang
pengalaman cinta, persoalan rumah tangga, ratapan, dan pengalaman
kehidupan cinta pada umumnya). Ini berbeda dengan musik serius yang
mengutamakan detail pada keseluruhan bangunan komposisi (Nipa, Nusa,
Pandhuagie., F.G. & Hapsari, Dhian, 2006: 12).

Demikian juga pada lagu Pama Jubata. Kesederhanaan musik menjadi

pemikat utama bagi penikmat lagu-lagu pop. Apalagi musik yang ada pada lagu ini

terdengar ringan namun sangat menyentuh. Inilah hal dasar dan utama mengapa

musik pop lebih populer dan lebih banyak digemari khalayak masyarakat mulai dari

muda maupun tua, pria dan wanita hingga status dan golongan dalam masyarakat

yang cenderung pluralitas karena bermodal kesederhaan musik dan syairnya. Namun

di sisi lain, lagu pop akan sangat mudah dilupakan oleh masyarakat karena ada lagu-
84

didapatkan. Dengan lagu Dendo Babore ini juga mau mangungkapkan bahwa karya

musik daerah asli merupakan sebuah karya seni yang sederhana namun bernilai

tinggi.

4) Musik sebagai evangelisasi

Salah satu alasan penulis memilih lagu ini karena dalam lagu ini

terkandung nilai pewartaan secara tidak langsung namun masyarakat suku Dayak

Kanayatn telah tahu makna dan isi lagu ini. Tujuan akhir dari lagu ini jika dilihat dari

isi dan maknanya ialah agar manusia berani memperbaiki hidup; membuang jauh niat

jahat, membangun persaudaraan dan akhirnya melangkah dalam hati yang jernih.

Pewartaan dalam Gereja Katolik juga memiliki tujuan akhir yang tidak jauh berbeda

dengan apa yang manjadi tujuan lagu ini.

b. Musik Pop (dalam bahasa Dayak Kanayatn – Kalimantan Barat)

Pama Jubata


Suling 0 5 . . │6 . . │6 . . . │0 Š ”‹│ 3 .2 . . 1│1 . .
ÊÉ·
žžžž
Š ”‹ ”Š” ”Š”‹”Š Š
    ÊÉÉÉÉ·
žžžžžžžž
      ‘

žžžžžžžž
Vokal 5 6 │Š . . ŠŠŠŠ│6 5 . . 6 . Š│Š ŠŠ Š” ŠŠ│6 5 . .
Ê·Ê
žžžž
3 5│. . 5 5 3 5│3 1 . . 6 . Š│6 5 6 . 5 3│1 . .

žžž
Suling 6│6 . . 5 3 2│3 3 3 3 3 │3 . .
88

lagu pop yang baru dan lebih bagus serta akan terasa hebat jika lebih tahu secepat

mungkin perkembangannya, apalagi sampai memilikinya.

Lagu Pama Jubata tidak lepas dari gaya pentatonik (do-re-mi-sol-la), yang

berarti melodinya berpindah-pindah. Gaya pentatonik ini menggambarkan suasana

musik yang cenderung elemental (sederhana). Untuk orang-orang tertentu yang tidak

menyukai musik pentatonik, lagu Pama Jubata ini akan cepat membosankan. Namun

karena syairnya termasuk dalam takaran memiliki nilai yang tinggi maka hal ini juga

yang menjadi pendukung dalam lagu ini agar lebih diminati banyak orang.

Seperti pada lagu Dendo Babore, lagu Pama Jubata ini juga merupakan

lagu pentatonik sehingga keharmonian lagu diabaikan namun karena lagu Pama

Jubata merupakan lagu pop, gaya pentatonik dalam lagu ini dibumbui dengan akord

tambahan harmonis. Lagu yang memiliki gaya pentatonik memiliki tingkat kesulitan

yang tinggi sehingga susah untuk dinyanyikan dengan iringan band.

3) Syair

Seperti yang telah terungkap sebelumnya tadi bahwa syair pada lagu Pama

Jubata ini memiliki nilai tinggi dan syarat akan makna. Secara keseluruhan dalam isi

syairnya mengungkapkan bahwa Jubata/ Nek Jubata (Tuhan) adalah sumber

segalanya dan Jubata pula tempat semua pengaduan dan pengharapan, seperti yang

terungkap pada bait terakhir:

Ajari kami adel ka’ Talino


Ina’ mamihak ka’ sabaya diri’
Ajari kami bacuramin ka’ saruga
Tapi basengat ka’ Kita o Jubata

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Ajar kami untuk adil terhadap umat manusia
89

Tidak memihak terhadap sesama


Ajar kami untuk bercermin ke surga
Namun kami bernafas hanya padaMu ya Tuhan

Penggalan bait lagu ini mengungkapkan sebuah ungkapan penyerahan diri

manusia pada kebijaksanaan Jubata. Manusia digambarkan sebagai seseorang yang

perlu diberitahu tentang hidup dan hubungannya dengan yang lain hingga

hubungannya dengan Jubata. Jubata dalam lagu ini diibaratkan sebagai sebagai

seorang Guru Pembimbing yang menuntun siswanya agar tidak salah jalan.

Syair lagu Pama Jubata ini bagi penulis sangat menyentuh hati. Ini adalah

sebuah doa, sebuah ungkapan ketulusan hati dan kepolosan diri manusia apa adanya

di hadapan Tuhan (Sang Pama Jubata). Apa yang menjadi pengalaman Muderus

(pencipta lagu Pama Jubata) juga dapat menjadi pengalaman orang lain yang

mendengarkannya. Suasana yang ditonjolkan sejak awal dalam lagu ini membawa

penikmatnya seolah-olah dalam suasana doa tradisional orang Dayak dalam

mengungkapkan syukur dan permohonannya di tengah-tengah sawah atau di dalam

lumbung padi dengan mengucapkan kata-kata “Asa.. dua.. talu.. ampat.. lima.. anam..

tujuh...” sambil membuat bunyi-bunyian dari dua besi yang diadu. Seorang tokoh

dalam masyarakat adat Dayak yaitu Pak Tuha Jamel, begitu beliau sering dipanggil,

berkaitan dengan ini menjelaskan: “Hitungan ini menandakan sebuah hitungan

keramat yang diyakini orang suku Dayak sampai ketujuh manusia dapat mencapai

saruga (Surga) dan bertemu dengan Jubata” [Lampiran 1: (1)].

4) Musik sebagai evangelisasi

Manusia tidak selamanya mampu mengandalkan kemampuannya sendiri.

Untuk berpikir dan mendapat inspirasi dalam sebuah karya manusia membutuhkan
90

pencerahan dan pencerahan itu hanya datang dari Tuhan apabila manusia memintanya

dalam doa dan manusia tidak dapat mengingkari jika semua yang ada padanya berasal

dari Yang Kuasa, Allah Bapa. Namun jika manusia mau berusaha maka ia pasti

mendapatkannya.

Dalam lagu Pama Jubata ini manusia diajak untuk mengenal secara lebih

dekat lagi siapa sebenarnya Jubata (Tuhan) yang selalu bermurah hati pada manusia.

Manusia ditantang untuk tidak mengandalkan kekuatannya sendiri namun hanya

Jubata yang menjadi sumber segalanya. Pada bait terakhir lagu tersebut diungkapkan

falsafah masyarakat suku Dayak yaitu “adel ka’ talino, bacuramin ka’ saruga,

basengat ka’ Jubata”. Masyarakat bisa hidup rukun dan seimbang dengan alam karena

campur tangan Jubata, dalam kesehariannya manusia bertindak atas dasar perbuatan

baik yang tercermin di surga dan hal ini pun dalam tuntunan Jubata, hingga manusia

bernafas atas campur tangan Jubata. Jubata yang menghendaki semuanya, manusia

pelakunya.

Lagu Pama Jubata ini memang khusus diciptakan dalam bentuk lagu pop.

Lagu ini juga merupakan hasil karya seni yang diolah berdasarkan pengalaman

sehari-hari. Maka dapat dikatakan bahwa lagu Pama Jubata memberi pesan khusus

pada manusia agar tidak bertindak semaunya. Hidup ada aturannya dan semuanya itu

takkan pernah ada tanpa ada Sang Pama Jubata.

c. Musik Inkulturasi Gerejani (bahasa Indonesia – Loko PML di Tering 1985)

Hujan Rahmat di Ladang

1 = F 4/4


1 1 │ 1 . 1 1 2 1Æ│Á . 1 3 2 │ 3 . 3 3 2 1 │1 . . . │
Ê·
91

Bagai ladang yg kering menan –ti - Kan a – ir hu – jan.

Ki –ni ladang me – ra – na menghijau da - un – da – un – nya.


3 . . . 2│5 5 3 2 . 1 │ 3 2 3 . 2 │3 2 1 1 . 1 │
ÊÉÉ·Ê·Ê·
Ji - wa ha - us me – rin - dukan Dikau Tuhan, sum-

Ji - wa ha - us t’lah meng–hirup Dikau Tuhan, sum-


1 3 2 . 2 │ 3 2 1 1 . │2 1 3 2 1 │ 1 . . ‘
Ê·Ê·Ê·ÊÉÉÉ·
Ber i - man, pengha - rap-an dan cin - ta.

Ber ke –hi - dup – an ji – wa dan ra - ga.

1) Penjelasan judul lagu

Lagu “Hujan Rahmat di Ladang” merupakan sebuah lagu inkulturasi hasil

lokakarya di Tering, Kalimantan Timur. Prier menyebutkan “istilah inkulturasi berarti

suatu interaksi budaya lama dengan budaya baru yang kemudian mengalami

transformasi” (Prier, 2007: 5). Sebuah perjumpaan budaya terjadi dalam lagu ini.

Menurut Giancarlo Collet dikutip oleh Prier, inkulturasi merupakan suatu proses yang

berlangsung terus dimana injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan

religius-budaya sedemikian rupa hingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-

unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya

tersebut”. Singkatnya, inkulturasi merupakan suatu proses timbal balik antara budaya

setempat dengan “budaya” Gereja berupa pewartaan dan ungkapan iman dalam

ibadat. Lagu Hujan Rahmat di Ladang merupakan inkulturasi musik liturgi, dan

mengenai ini sekali lagi Prier menegaskan “inkulturasi musik liturgi ini merupakan

usaha menciptakan bentuk-bentuk musik baru yang bermutu tinggi dan luhur; yang

mengena pada orang beriman yang mengikuti perayaan iman sehingga dalam

inkulturasi musik ini menjadi sebuah ungkapan iman” (Prier, 2007: 5).
92

Pemilihan judul oleh pencipta lagu ini tidak lepas dari latar belakang

situasi bercocok tanam di ladang. Pada dasarnya semua petani sangat mendambakan

lahan yang ditanami subur hingga padi tumbuh sesuai dengan yang diharapkan.

Suasana yang digambarkan ketika membaca judul lagu ini secara harafiah ialah

sebuah harapan petani agar hasil kerja kerasnya mendapat hasil yang memuaskan dan

harapan ini hanya ditujukan pada Sang Pemberi Harapan, Jubata (Tamai Tingai/

Tuhan dalam bahasa Dayak Kenyah). Dalam pengertian nilai, “hujan rahmat di

ladang” ditujukan pada belas kasih Tuhan yang tiada hentinya seperti petani memberi

kesuburan di ladang petani sehingga menghasilkan padi yang melimpah.

2) Musik

Lagu hasil lokakarya Pusat Musik Liturgi (PML) ini termasuk lagu yang

sangat sederhana dan mudah dipahami; karena lagu ini dinyanyikan dengan tempo

yang santai yaitu dengan kecepatan tempo M.M. 69-72 atau dengan kata lain tempo

andante ini menjadikan suasana dalam lagu ini terasa santai dan ringan, mirip dengan

orang yang berjalan dengan santai. Suasana musik seperti ini terdapat pada bait

pertama dalam lagu ini. Namun berbeda dengan bait yang kedua, di bait yang kedua

ini tempo dinaikkan menjadi moderato M.M. 84-88. Sesuai dengan isi syair bait dua

Paul Widyawan ingin lagu Hujan Rahmat di Ladang dinyanyikan lebih cepat dan

lebih hidup namun terdapat sedikit marcato atau tekanan; mirip dengan derap langkah

orang berbaris.

Aransemen lagu ini sungguh diperhatikan oleh Bapak Paul Widyawan.

Dalam membawakan lagu ini beliau mengatakan, “indahkanlah kontras antara bait

satu dan pada bait dua sesuai dengan isi syairnya. Meski bait satu lambat, namun

jagalah agar tidak mati; dengan memakai busur (selama kurang lebih dua birama).
93

Bait dua tidak hanya lebih cepat tetapi juga sedikit marcato” (Team Pusat Musik

Liturgi, 1992: 1156).

3) Syair

Telah diungkapkan bahwa lagu Hujan Rahmat di Ladang merupakan lagu

yang sangat sederhana dan ringan namun sarat akan makna. Pencipta syair (pantun)

lagu ini, Murti Sri Sadono (1985: 693) ingin mengajak umat untuk lebih berani

memiliki sebuah pengharapan dan cinta kepada Tuhan. Diungkapkan pada kalimat

pertama bait pertama “bagai ladang yang kering menantikan air hujan”. Dan

diungkapkan lagi pada kalimat kedua bait pertama dengan perbandingan terbalik

“jiwa haus merindukan Dikau Tuhan, sumber iman, sumber pengharapan dan cinta”

(Team Pusat Musik Liturgi, 2006: 693). Begitu juga yang terjadi pada kalimat bait

kedua. Sebuah suasana yang terjadi pada sisi kalimat pertama dan kalimat yang

kedua.

Pada kalimat pertama (bait pertama dan bait kedua), pencipta syair lagu

Hujan Rahmat di Ladang ini ingin menampilkan suasana/ pemandangan ladang yang

hampa; ladang yang kering, ladang yang tanahnya tandus dan tanamannya hampir

mati. Ladang ini membutuhkan sumber air agar tanaman yang ada di dalamnya bisa

tumbuh hidup dan berbuah. Hanya satu yang menjadi sumber pengharapan pada

ladang yang kerung nan tandus ini yaitu turunnya hujan demi kesuburan lahan.

Sebuah situasi kehidupan manusia yang hampa terlukiskan pada kalimat

kedua (bait pertama dan bait kedua). Di sini penyair ingin melukiskan hidup manusia

yang sebenarnya apabila jauh dari Sang Penciptanya. Manusia akan mengalami

kekeringan jiwa, dia akan terus haus. Dia dapat hidup, namun hidup yang hampa-lah

yang akan menjadi miliknya, bukan hidup yang sebenarnya. Manusia yang memiliki
94

pengharapan akan berani mengatakan (pada kalimat kedua bait kedua) “Dikau Tuhan

sumber kehidupan jiwa dan raga”. Namun bagi manusia yang tidak berpengharapan,

apalagi cinta dia akan membiarkan hidup apa adanya, menunggu belas kasihan dan

tanpa usaha.

Lagu Hujan Rahmat di Ladang ini memang sarat akan nilai. Nilai

kehidupan yang terkandung di dalamnya mengatakan bahwa hidup manusia akan sia-

sia tanpa ada campur tangan dari Tuhan dan hanya Tuhan saja yang mampu

memberikan segalanya asalkan manusia mau berusah. Manusia diajak agar selalu

setia kepada Sang Penciptanya agar kekeringan jiwa takkan pernah terjadi.

4) Musik sebagai evangelisasi

Manusia digambarkan dalam syair lagu ini memiliki hubungan yang

sangat erat. Walau terlihat jauh dengan digambarkan Tuhan sebagai Pengharapan

namun Tuhan adalah Cinta dimana manusia berharap dan dengan kekuatan cintaNya

maka manusia mendapatkan pengharapan tersebut. Penyair ingin menunjukan kepada

umat bahwa hanya dalam Tuhan pengharapan dan cinta itu ada. Di kala hidup terasa

kering dan hampa, kepada siapa lagi tempat peraduan manusia? Di sini penyair telah

menunjukan kepada siapa seharusnya umat berharap, yaitu hanya pada Tuhan;

sumber dari segala sumber pengharapan dan cinta.

Lagu ini merupakan pewartaan langsung pada umat. Sangat cocok jika

diolah dalam sebuah pertemuan katekese. Jika diambil sebuah tema dalam lagu ini,

penulis mengusulkan tema misalnya, “Panen Melimpah di Atas Ladang Kering”.

Penulis mempunyai pemikiran bahwa situasi tema sesuai dengan siatuasi masyarakat

agraris di Kalimantan Barat. Harapan akan tumbuh pada sebuah ladang yang kering
95

jika ada sebuah usaha dan yakin serta percaya hanya pada Tuhan sumber

pengharapan tersebut.

E. Contoh Katekese Melalui Karya Musik Daerah

1. Contoh Katekese

Karya tulis yang berjudul “Karya Musik Daerah Sebagai Usaha

Pengembangan Evangelisasi Baru Bagi Kaum Muda di Keuskupan Agung

Pontianak” ini penulis wujud-nyatakan dalam bentuk proses katekese dimana

proses ini merupakan interpretasi dari tulisan-tulisan sebelumnya dan berkaitan

dengan fakta-fakta yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak. Dalam contoh

katekese ini penulis akan menggunakan model Katekese Umat yaitu Shared

Christian Praxis (SCP). Berikut ini adalah lima langkah dalam SCP menurut

Thomas H. Groome (1990) dikutip oleh Sumarno (2006: 18-22) yaitu:

Langkah nol (awal), pemusatan aktivitas; langkah pertama,


mengungkap pengalaman hidup peserta; langkah kedua, mendalami
penalaman hidup peserta; langkah ketiga, menggali pengalaman iman
Kristiani; langkah keempat, menerapkan iman Kristiani dalam situasi
peserta konkret, langkah kelima, mengusahakan suatu aksi konkret.

Penulis menggunakan model ini karena selain mengolah pengalaman

peserta model SCP ini lebih sistematis sehingga mampu menghantar dan

mengarahkan seseorang (peserta) agar mampu menemukan nilai-nilai baru yang

dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup. Berikut ini adalah contoh sebuah

katekese.

2. Identitas

a. Pelaksana : John Ariyo

b. Tema : Menanggapi tantangan di masa muda


96

c. Tujuan : Bersama Pendamping, peserta menggali suka-duka dalam

hidup, tidak berhenti karena gagal namun berani menatap ke

depan sehingga dengan mengikuti pertemuan ini peserta

mampu mengaktualisasikan dirinya di dalam Gereja maupun

dalam masyarakat melalui lagu-lagu inkulturasi liturgi

sebagai jalan awal menuju pertobatan.

d. Peserta : Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Menjalin,

Kalbar

e. Tempat : Aula Pastoran

f. Hari/ tanggal : -

g. Waktu : Pukul 16.00 – 17.30 WIB

h. Metode : Sharing Pengalaman, diskusi, tanya jawab, informasi.

i. Sarana : CD audio lagu Hujan Rahmat di Ladang, CD audio

instrumen sapeq, CD audio instrumen Songbirds At Sunrise -

Desert Sunrise, Teks lagu Hujan Rahmat di Ladang, teks

Mat 13:1-9 (Perumpamaan Tentang Seorang Penabur), teks

pertanyaan panduan.

j. Sumber bahan :

o Mat 13:1-9

o Madah Bhakti no 693, Hujan Rahmat di Ladang

o Bergant, Dianne dan Karris J, Robert. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian

Baru. Yogyakarta: Kanisius


97

3. Pemikiran Dasar

Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak khususnya telah mengenal

kebiasaan masyarakat petani tradisional di pedalaman yaitu berladang, dan arti

berladang itu sendiri pun tahu yaitu menanami dan memelihara lahan dengan padi

atau tanaman pendukung lainnya. Namun tidak semuanya tahu bagaimana proses

berladang. Tidak mengherankan jika ditanya pasti ada yang tidak tahu salah satu cara

dalam proses berladang di masyarakat pedalaman dan sistem gotong royong yang

digunakan. Proses perladangan masyarakat asli di Kalbar terdiri dari tahapan-tahapan

proses yang teratur dan sudah diturunkan dari nenek moyang mereka zaman dahulu.

Pertama adalah pencarian lahan. Lahan yang dipilih adalah lahan yang termasuk

lahan muda (udas) yaitu lahan yang memang belum pernah disentuh atau lahan yang

telah “ditidurkan”/ diistirahatkan selama satu tahun, kemudian alternatif kedua adalah

pada lahan tua (karebet) yaitu lahan yang telah beberapa tahun tidak difungsikan

sebagai lahan perladangan. Melalui proses pengolahan klasik: penebangan (nabakng),

pengeringan (ngarangke), pembakaran (nunu), pembersihan (nyimak), penanaman

(nugal), pemeliharaan (ngarumput), tiba waktunya panen (bahanyi). Pada proses

pembakaran, para petani ini membuat jarak lima sampai tujuh meter antara lahan

ladang dan lahan yang tidak digunakan. Hal ini untuk menghindari kebakaran dan

ketika tiba waktu pembakaran beberapa orang ditempatkan di tiap sudut ladang untuk

menjaga agar nyala api tidak membakar di luar ladang.

Pada Mat 13:1-9 diceritakan perumpamaan yang mirip dengan cerita

petani sebelumnya. Perikop ini mengisahkan tentang seorang penabur. Sebagian besar

benih yang ditaburkannya mengalami gagal tumbuh. Ada tiga bagian benih yang

gagal tumbuh karena tidak jatuh pada media yang semestinya untuk pertumbuhan.

Sebut saja, benih yang pertama jatuh di pinggir jalan lalu benihnya dimakan burung.
98

Benih yang kedua jatuh pada batu-batu dan tidak banyak tanah di situ dan akhirnya

mati. Benih yang ketiga jatuh di atas semak duri. Benih ini dapat tumbuh namun

ketika semak duri semakin besar menghimpitnya hingga mati. Namun pada benih

yang keempat, ia jatuh dan tumbuh pada tanah yang subur. Ia mampu berbuah mulai

dari tiga puluh kali lipat, enam puluh kali lipat, hingga seratus kali lipat. Begitulah

ajaran Yesus dalam sebuah perumpamaan ini sebetulnya mau mengajak umatNya

agar dalam mendengarkan Sabda Tuhan tidak setengah-setengah melainkan

diamalkan dalam pikiran, hati sampai pada tindakan. Sebuah semangat totalitas yang

dibutuhkan dalam menanggapi ajaran yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.

Dari pertemuan ini sebuah harapan muncul pada umat sekalian. Benih

yang tumbuh dan berbuah akan menghasilkan panenan yang melimpah. Begitulah

kiranya yang terjadi pada umat Allah. Berbekal semangat totalitas, tidak ada yang

tidak mungkin dilakukan.

4. Pengembangan Langkah-langkah

a. Langkah I: Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta

1) Membagikan teks lagu “Hujan Rahmat di Ladang” dan memberikan kesempatan

pada peserta untuk membaca/ menyanyikan teks tersebut secara pribadi.

2) Pendamping dan peserta menyanyikan bersama lagu Hujan Rahmat di Ladang:

Hujan Rahmat di Ladang

1 = F 4/4


1 1 │ 1 . 1 1 2 1Æ│Á . 1 3 2 │ 3 . 3 3 2 1 │1 . . . │
Ê·
Bagai ladang yg kering menan –ti - Kan a – ir hu – jan.

Ki –ni ladang me – ra – na menghijau da - un – da – un – nya.


99


3 . . . 2│5 5 3 2 . 1 │ 3 2 3 . 2 │3 2 1 1 . 1 │
ÊÉÉ·Ê·Ê·
Ji - wa ha - us me – rin - dukan Dikau Tuhan, sum-

Ji - wa ha - us t’lah meng–hirup Dikau Tuhan, sum-


1 3 2 . 2 │ 3 2 1 1 . │2 1 3 2 1 │ 1 . . ‘
Ê·Ê·Ê·ÊÉÉÉ·
Ber i - man, pengha - rap-an dan cin - ta.

Ber ke –hi - dup – an ji – wa dan ra - ga.

3) Penceritaan kembali isi lagu. Pedamping meminta satu hingga tiga orang untuk

mencoba menceritakan kembali secara singkat tentang isi pokok dari lagu

tersebut.

4) Intisari lagu Hujan Rahmat di Ladang

Pemilihan judul oleh pencipta lagu ini tidak lepas dari latar belakang situasi

bercocok tanam di ladang. Pada dasarnya semua petani sangat mendambakan lahan

yang ditanami subur hingga padi tumbuh sesuai dengan yang diharapkan. Suasana

yang digambarkan ketika membaca judul lagu ini secara harafiah ialah sebuah

harapan petani agar hasil kerja kerasnya mendapat hasil yang memuaskan dan

harapan ini hanya ditujukan pada Sang Pemberi Harapan, Tamai Tingai/ Tuhan dalam

bahasa Dayak Kenyah. Dalam pengertian nilai, “hujan rahmat di ladang” ditujukan

pada belas kasih Tuhan yang tiada hentinya seperti petani memberi kesuburan di

ladang petani sehingga menghasilkan padi yang melimpah.

5) Pengungkapan pengalaman: peserta diajak untuk mendalami lagu dengan

tuntunan pertanyaan sebagai berikut:

a) Sebutkan pada bagaian mana dalam lagu tersebut yang menunjukan sebuah

kesusahan yang membutuhkan pertolongan segera!


100

b) Ceritakanlah pengalaman teman-teman ketika menghadapi kesulitan-kesulitan

dalam mencapai sesuatu!

6) Arah rangkuman

Manusia digambarkan dalam syair lagu ini memiliki hubungan yang sangat

erat. Walau terlihat jauh dengan digambarkan Tuhan sebagai Pengharapan namun

Tuhan adalah Cinta dimana manusia berharap dan dengan kekuatan cintaNya maka

mansia mendapatkan pengharapan tersebut. Penyair ingin menunjukan kepada umat

bahwa hanya dalam Tuhan pengharapan dan cinta itu ada. Di kala hidup terasa kering

dan hampa, kepada siapa lagi tempat peraduan manusia? Di sini penyair telah

menunjukan kepada siapa seharusnya umat berharap, yaitu hanya pada Tuhan;

sumber dari segala sumber pengharapan dan cinta.

b. Langkah II: Mendalami pengalaman hidup peserta

1) Peserta diajak untuk merefleksikan hasil sharing pengalaman dan Lagu Hujan

Rahmat di Ladang dengan pertanyaan panduan sebagai berikut:

a) Bagaimana proses jalan keluar yang ditawarkan dalam lagu Hujan Rahmat di

Ladang?

b) Apa yang teman-teman lakukan untuk menemukan solusi atau jalan keluar ketika

dalam permasalahan?

2) Dari jawaban yang telah diungkapkan oleh peserta, pendamping memberikan arah

rangkuman sebagai berikut:

Hidup memang membutuhkan sebuah totalitas dalam perjuangannya. Tidak

ada yang tidak mungkin terwujud jika sebuah harapan disertakan dalam usaha kerja

keras. Lagu Hujan Rahmat di Ladang merupakan sebuah bukti kekuatan cinta Sang
101

Pencipta kepada umatNya. Ia tidak akan sampai meninggalkan umatNya terjatuh

dalam keterpurukan dosa dan kesalahan dan Ia pasti menerima umatNya dengan

segala apa yang dimiliki, sekalipun itu penuh dengan dosa. Jika Allah saja melakukan

tindakan cinta dan memberi harapan kepada hidup manusia, mengapa tidak kita pun

berusaha di dunia ini untuk membalas cinta itu dan dengan sepenuh hati menaruh

harapan pada Tuhan, Sang Pencipta kita?

c. Langkah III: Menggali pengalaman iman Kristiani

1) Salah seorang peserta dimohon bantuannya untuk membacakan langsung dari

Kitab Suci (Mat 13:1-9) dan peserta yang lain ikut membaca dalam hati pada

lembar fotocopy teks Kitab Suci yang telah dibagikan sebelumnya.

2) Peserta diberi waktu sebentar untuku hening sejenak sambil secara pribadi

merenungkan dan menanggapi pembacaan Kitab Suci dengan dibantu beberapa

pertanyaan, sebagai berikut:

a) Ayat manakah yang menunjukan sebuah usaha seorang penabur pada perikop

tersebut?

b) Apa kesulitan dan tantangan si penabur dalam perikkop tersebut?

c) Sikap seperti yang ditanamkan oleh Yesus sebagai seorang Penabur Sejati kepada

para muridnya? Dan sikap apa yang seharusnya yang ada pada kita sebagai

murid-murid Yesus?

3) Peserta diajak untuk sendiri mencari dan menemukan pesan inti dari Mat 13:1-9

sehubungan dengan tiga pertanyaan di atas.

Sementara peserta mencari hingga menemukan jawaban pesan inti dari perikop

sambil diiringi musik instrumen sapeq.


102

4) Pendamping memberikan tafsir dari Injil Mat 13:1-9 dan menghubungkannya

dengan tanggapan peserta dalam hubungan dengan tema dan tujuan, sebagai

berikut:

Perikop ini memaparkan kegiatan seseorang yang sedang menaburkan

benihnya di suatu tempat, kemungkinan di ladang. Namun jika dilihat pada

keseluruhan ayat 4, 5, 6, 7, dan 8, tidak menutup kemungkinan bahwa penabur ini

menaburkan benih-benihnya di sebuah ladang dimana mulai ditumbuhi tumbuhan

semak, banyak bebatuan dan dekat dengan jalan namun ia memiliki lahan yang subur.

Ayat 4 merupakan kegiatan pertama kali si penabur menaburkan benihnya.

Namun sangat disayangkan benih yang telah ditaburkan gagal jatuh di tempat yang

bisa mendukung pertumbuhannya; benih tersebut jatuh di pinggir jalan. Burung-

burung berdatangan kemudian memakan benih-benih tersebut. Sebuah makna yang

terkandung dalam perumpamaan ayat 4 ini ialah setiap orang yang mendengarkan

firman tentang Kerajaan Allah namun tidak mengerti tentang apa yang dimaksudkan.

Godaan datang dan merampas semua yang ditaburkan dalam hati orang tersebut.

Ayat 5 diceritakan dalam perumpamaan penabur menaburkan untuk kedua

kali benih-benihnya. Kegagalan terjadi lagi. Benih-benih yang ditaburkan bukannya

jatuh pada media yang dapat menumbuhkan benih tersebut namun jatuh di tanah yang

banyak bebatuan. Benih ini dapat tumbuh namun karena tanahnya tipis dan banyak

bebatuan, ketika matahari terbit tanaman itu menjadi layu dan kering karena tidak

memiliki akar. Ayat 5 ini memiliki makna orang yang mendengarkan firman dan

segera menanggapinya dengan menerima serta bergembira. Namun karena tidak

berakar maka iman seseorang ini akan cepat goyah.

Ayat 7 diceritakan bahwa benih yang ditaburkan jatuh di tengah semak

berduri. Terdapat sebuah makna bahwa orang yang mendengarkan firman dikatakan
103

akan mudah tergoda dengan harta benda serta kekayaan duniawi. Hal ini juga yang

menyebabkan goyahnya iman karena telah dikalahkan oleh nafsu duniawi.

Ayat 8 sangat menguntungkan bagi benih yang jatuh pada tanah subur,

sehingga benih-benih ini dapat tumbuh hingga menghasilkan buah yang melimpah.

Penginjil Matius (Mat 13:1-9) mencatat tanggapan orang-orang berupa sikap

dan tindakan terhadap pewartaan Yesus,terutama pada Injil Matius yang menjadi

fokus dalam tulisan ini. Mat 13:1-9 menceritakan tentang evangelisasi serta

tanggapan orang terhadapnya. Ajaran Yesus berupa perumpamaan ini sekaligus

sebagai wejangan dilakukan di dalam perahu dan orang banyak mendengarkanNya di

sepanjang pantai (ayat 1-3). Orang banyak inilah yang merupakan sasaran pewartaan

Yesus. Telah diungkapkan sebelumnya tadi bahwa perumpamaan ini mengenai benih

(ayat 4-9) yang memperlawankan tiga macam benih yang sia-sia dan satu macam

yang menghasilkan banyak buah. Benih tadi sia-sia karena jatuh ke tanah yang buruk:

di jalanan (ayat 4), tanah yang keras (ayat 5), dan diantara duri-duri (ayat 7). Tetapi

benih yang jatuh di tanah yang bagus (ayat 8) menghasilkan buah yang banyak.

Perumpamaan menggunakan pengulangan untuk menciptakan suatu pola

pengharapan dan pada akhirnya mengubah pola untuk menekankan pokok yang

sesungguhnya dari cerita. Ini menjelaskan mengapa pewartaan Yesus mengenai

Kerajaan Allah tidak diterima secara universal dan menyemangati mereka yang

menerimanya untuk tetap menghasilkan buah-buah buah-buah pekerjaan baik. Benih

yang tumbuh dalam tanah yang baik akan menerima hasil yang melimpah.
104

d. Langkah IV: Menerapkan iman Kristiani dalam situasi peserta konkret

1) Pengantar

Dalam pembicaraan kita sebelumnya tadi kita telah menemukan sikap-sikap

mana yang dibuat oleh Yesus yang seharusnya menjadi tuntunan sikap kita dalam

hidup keseharian. Yasus telah memberikan contoh secara langsung sikap yang baik

dan sikap yang tidak baik dalam menyambut kedatangan Kerajaan Allah dalam hati

kita. Hendaknya yang kita lakukan ialah menjadi seperti apa yang diharapkan oleh

Yesus yaitu berani bersikap siap sedia dan terbuka terhadap kedatangan Kerajaan

Allah.

2) Sebagai bahan refleksi agar kita dapat semakin menghayati dan menyandarkan

diri pada Allah satu-satunya pedoman, harapan dan cinta bagi langkah hidup kita

dalam menapaki jati diri yang seutuhnya. Kita akan melihat situasi konkret dunia

sekitar kita dengan mencoba merenungkan pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut:

a) Apa artinya Allah sebagai pedoman, harapan dan cinta dalam hidup kita sehari-

hari dan dalam diri kita sebagai kaum muda harapan Gereja?

b) Sikap-sikap apa yang perlu diperjuangkan untuk mewujudkan “Allah sebagai

pedoman, harapan dan cinta” kepada kita sebagai harapan Gereja?

Saat hening diiringi dengan “Hujan Rahmat di Ladang” dari CD audio yang

telah dipersiapkan sebelumnya untuk mengiringi renungan secara pribadi.

Kemudian peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan hasil renungan

pribadinya.

3) Sebagai bahan renungan dalam langkah konfrontasi ini, pendamping memberikan

arah rangkuman singkat dari hasil renungan-renungan pribadi peserta, sebagai

berikut:
105

4) Arah rangkuman dalam situasi peserta:

Sebagai pedoman, harapan dan cinta dalam hidup kita, Allah senantiasa tidak

akan pernah melupakan kita umatNya; walau dalam situasi terburuk apapun. Justru

dalam kelemahan dan keterpurukan kita inilah Allah mengangkat kita dan

memberikan cintaNya serta harapan agar kita mampu melanjutkan hidup dengan

berpedomankan padaNya. Kita tentunya mampu menunjukan siapa diri kita dengan

segala keterbatasannya kepada siapa saja, baik itu bakat dan kemampuan yang kita

miliki hingga harapan serta tindakan nyata untuk Gereja. Kita tidak perlu berpikiran

yang tinggi sebagai usaha untuk Gereja namun tindakan kecil dengan tulus dilakukan

untuk Gereja dan sesama memiliki nilai lebih kepadaNya.

e. Langkah V: Mengusahakan suatu aksi konkret

1) Pengantar

Teman-teman yang terkasih dalam Yesus Kristus, setelah kita menggali

pengalaman kita melalui sebuah lagu yang berjudul Hujan Rahmat di Ladang,

tentunya hingga saat ini kita telah mempunyai sebuah pegangan sikap; tentunya sikap

baru untuk mengembangkan diri kita. Di awal pertemuan tadi kita telah menggali

pengalaman saat kita dalam kesulitan melalui lagu Hujan Rahmat di Ladang. Tidak

ada manusia yang luput dari kesulitan namun manusia juga pasti mampu menemukan

solusi atau jalan keluarnya. Selain itu melalui lagu Hujan Rahmat di Ladang kita

belajar dalam sharing-sharing sehingga kita semakin tahu bagaimana proses

berladang orang-orang di Pedalaman Kalimantan Barat. Seluruh prosesnya pun kita

ketahui dalam sharing dengan sesama hingga akhirnya kita menemukan sesuatu hal

yang kiranya berguna untuk kita ke depan. Kita semakin menghargai kerja keras

petani; terlebih hasil olahannya yaitu padi/ beras. Seperti nenek moyang kita yang
106

sangat menghargai padi sebagai sumber yang melambangkan kehidupan, mengapa

tidak kita pun ikut melakukan apa yang telah menjadi kebiasaan tersebut.

Melalui lagu Hujan Rahmat di Ladang, kita diajak untuk merenungkan siapa

sebenarnya diri kita di setiap sisi kesuksesan maupun dalam kegagalan. Melalui lagu

itu pula mau mengajarkan kita bahwa tiada yang mampu memberikan kasih

pengharapan dan cinta pada manusia walau bersalah padaNya selain Tuhan Allah

Sang Harapan Sejati.

2) Memikirkan niat-niat dan bentuk keterlibatan yang baru (secara pribadi,

kelompok atau bersama) agar lebih meningkatkan iman serta pelayanan dalam

Gereja dan sesama.

Berikut adalah pertanyaan penuntun untuk membantu peserta membuat niat-niat

(perlu diperhatikan: niat dibuat bukan sekedar niat yang akan berhenti karena

hanya sekedar niat namun niat yang dibuat berbentuk niatan yang sederhana

(tidak muluk-muluk) namun konkret dan dapat langsung dilakukan:

a) Niat apa yang hendak kita lakukan agar kita mampu menjadi penabur bagi Tuhan

dan memampukan umat beriman menuju metanoia?

b) Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan niat-niat tersebut?

Selanjutnya peserta diberi kesempatan dalam suasana hening memikirkan

sendiri-sendiri tentang niat-niat pribadi/ kelompok/ bersama yang akan

dilakukan. Sambil merumuskan niat tersebut; agar peserta pun dibantu dalam hal

konsentrasi, pendamping membunyikan instrumen “songbirds at sunrise-desert

sunrise”.

Niat-niat yang telah selesai dibuat oleh peserta langsung dibicarakan dalam

kelompok tersebut tentang perencanaan sekaligus pelaksanaannya secara singkat.


107

5. Penutup

a. Setelah selesai merumuskan niat-niat, kemudian pendamping mengajak

peserta sekali lagi menyanyikan lagu Hujan Rahmat di Ladang.

b. Kesempatan hening sejenak untuk merenungkan isi lagu tersebut. Sementara

itu lilin (dan salib) dapat diletakkan di tengah peserta kemudian dinyalakan.

c. Kesempatan doa umat spontan yang diawali oleh pendamping yang

dihubungkan dengan kebutuhan peserta dalam niat-niat sebelumnya. Setelah

itu doa umat disusul secara spontan oleh para peserta. Akhir doa umat ditutup

dengan doa penutup dari pendamping yang merangkum keseluruhan proses

katekese ini.

d. Doa Penutup:

Tuhan Yesus Kristus Sang Harapan dan Cinta, di sini kami sebagai orang

yang senantiasa membutuhkan tuntunanMu mengucap syukur karena hingga

saat ini kami masih merasakan hangatnya cintaMu. Engkau telah

menyadarkan kami akan sebuah harapan dan cinta yang Kau berikan melalui

lagu Hujan Rahmat di Ladang. Engkau begitu mengerti mengenai apa yang

sedang kami alami, terutama dalam kesusahan dan saat keringnya iman kami

seperti ladang kering nan tandus yang haus akan hujan rahmatMu. Mampukan

kami agar semakin menghargai usaha para petani dan warisan kebudayaan

nenek moyang kami yang tak ternilai harganya. Semoga kami semakin

menjadi penabur yang setia di ladangMu sehingga selalu menghasilkan buah

yang melimpah saat panen. Dan kami tahu ya Tuhan, kami tidak akan berarti

apa-apa tanpa ada campur-tanganMu dalam hidup dan karya kami. Segalanya

kami serahkan melalui PuteraMu yang hidup dan berkuasa kini dan sepanjang

segala masa. Amin.


108

e. Pertemuan selesai, pendamping membuat rencana pertemuan selanjutnya yang

disetujui bersama.
109

BAB IV

PENUTUP

Dengan berakhirnya tulisan ini bukan berarti berakhir pula pemikiran serta

ide-ide untuk mengembangkan evangelisasi, namun penyelesaian tulisan ini

merupakan langkah awal dalam proses evangelisasi, terutama di Keuskupan Agung

Pontianak. Penulis mengakui bahwa untuk mendapatkan data tertulis yang berkaitan

dengan evangelisasi, kaum muda beserta karya musik daerah di Keuskupan Agung

Pontianak ini sangatlah tidak mudah. Beberapa dari narasumber yang penulis hubungi

bersikap acuh tak acuh. Namun bukan berarti data tidak didapatkan, narasumber lain

dengan setia memberi masukan demi masukan yang sangat berarti. Penulis melihat

kenyataan ini dalam sebuah keprihatian, yaitu bagaimana caranya sebuah lembaga

membuat suatu dokumentasi tertulis sebagai bukti adanya aktivitas dan kreativitas

serta melatih kematangan pribadi agar dapat menghargai orang lain yang

membutuhkan bantuan.

Evangelisasi baru melalui karya musik daerah merupakan sebuah metode

pewartaan baru di Keuskupan Agung Pontianak. Sebagai sesuatu yang baru tentunya

metode ini sudah pastinya akan menuai berbagai tanggapan baik posisif maupun

negatif dari berbagai pihak. Namun sebagai seorang calon katekis profesional,

tanggapan berupa kritik dan saran sudah pastinya akan semakin memperkaya dan

mengembangkan diri agar lebih mengoptimalkan sebuah karya dan pelayanan. Dalam

tulisan ini, kaum muda sebagai fokus utama sekaligus sebagai subyek dalam

keseluruhan proses. Dikatakan sebagai subyek karena kaum muda itulah yang

diharapkan menjadi penggerak utama dalam mengembangkan iman umat melalui

karya musik daerah yang sudah tidak asing lagi terdengar di telingan umat. Namun
110

terlepas dari itu, penulis juga sangat mengharapkan dukungan berupa materil dan

spirituil dari pimpinan dan dewan Gereja setempat. Oleh karena itu, pada bagian

Penutup ini penulis akan memberikan saran atau usulan kepada pihak-pihak terkait

untuk semakin memperjelas isi tulisan ini dan sebelumnya membuat kesimpulan

keseluruhan.

A. Kesimpulan

Setiap daerah memang kaya akan karya seninya. Secara khusus tulisan ini

telah membahas mengenai karya seni (musik) yang berkaitan dengan budaya yang

ada di Kalimantan Barat. Peran serta setiap komunitas seni sangat mendukung

berkembangnya bakat dan minat tiap pribadi yang ada di Keuskupan Agung

Pontianak, Kalimantan Barat. Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak adalah

fokus dalam tulisan ini. Fakta-fakta yang membuktikan peran serta mereka dalam

melestarikan budaya setempat terlihat ketika diadakannya lokakarya komposisi lagu

liturgi inkulturatif oleh Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta di beberapa daerah

Kalimantan seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur tahun 1984, 1985,

dan 1987. Di Kalimantan Barat (Sanggau, Putusibau, Nyarumkop) tahun 1989 dan

2001.

Berbagai kegiatan diselenggarakan juga menjadi tanda pro-aktif kaum

muda di dalamnya, misalnya diselenggarakannya Gawai Dayak di Yogyakarta setiap

satu tahun sekali, menjadi anggota komunitas sanggar seni, dan dalam seminar-

seminar budaya. Terlebih dalam bidang seni musik. Pihak Gereja pun memberi

dukungan (walau masih bersifat personal/ individu) dengan menyediakan diri sebagai

motivator dan penggerak kaum muda yang berbakat dalam bidang musik. Namun

usaha lokakarya Pusat Musik Liturgi Yogyakarta dalam mengangkat musik daerah
111

dalam Gereja juga memiliki peran yang amat penting dalam sebuah musik

inkulturasi. Penulis melihat peluang yang sangat bagus untuk sebuah evangelisasi

baru melalui karya musik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis berharap

iman umat di Keuskupan Agung Pontianak semakin berkembang dengan pewartaan

melalui musik yang tidak asing di telinga mereka.

Ciri pewartaan yang menjadi harapan di sini ialah umat semakin berani

menatap masa depannya tanpa keraguan akan sebuah kegagalan karena yakin dan

percaya bahwa Allah (Jubata) beserta mereka. Langkah awal yang akan penulis ambil

untuk memperkenalkan evangelisasi melalui karya musik dengan membuat katekese

yang berpangkal pada inkulturasi dimulai di lingkungan atau kring-kring dalam

paroki penulis sendiri, tentunya dengan berkoordinasi dengan katekis-katekis yang

ada.

Sebagai sebuah cara baru dalam pewartaan, tentunya ini akan

membingungkan umat. Namun penulis yakin, tidak ada yang tidak bisa dilakukan

asalkan disertai dengan usaha dan kerja keras serta doa mohon penyelenggaran Allah

karena tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Evangelisasi baru melalui karya musik

daerah ini sudah pasti tidak lepas dari unsur sarana sekaligus sumber utamanya yaitu

musik daerah. Usaha menumbuhkan metode evangelisasi baru ini dilakukan sejauh

ada dukungan dari Gereja setempat dan kemauan pelaksana (katekis) metode ini

sendiri.

Dilihat peranan musik yang begitu besar dalam kehidupan manusia,

apalagi hingga menjadi sebuah sarana sekaligus sumber bahan untuk menuju

metanoia, jelaslah sudah bahwa musik sangat relevan dan mampu menjadi media

yang sempurna dalam mengembangkan tingkat religius seseorang atau komunitas

tertentu. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika pengalaman dalam hidup diangkat
112

dalam syair lagu sehingga menjadi sebuah kesaksian hidup yang mampu menguatkan

serta memberi motivasi pada setiap orang. Kesaksian hidup akan menarik dan

memiliki nilai seni ketika diungkapkan melalui sebuah lagu. Kesaksian hidup yang

memiliki nilai seni merupakan wujud daya kreativitas manusia yang tidak hanya

memandang dari sisi luar/ harafiahnya saja namun mencoba menggali sejauh mana

sebuah kesaksian hidup dapat terungkapkan dengan memperhatikan nilai-nilai seni

yang ada. Tidak lepas dari itu, masyarakat di pedalaman Kalimantan sangat dekat

dengan alam sehingga hubungannya dengan alam seperti dua saudara kandung. Bagi

masyarakat Dayak, alam adalah segalanya, kehidupan ada di sana. Di sinilah nilai-

nilai seni dan budaya terlahir. Masih berkaitan dengan alam, masyarakat pedalaman

mengenal Sang Pencipta yaitu Jubata (Tuhan) sebagai sumber kehidupan dan

segalanya. Kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan dari nenek moyang pun menjadi

tanda bahwa ada hubungan erat masyarakat dengan alam. Misalnya dalam rumah

Betang/ Rumah Panjang terkandung nilai kebersamaan; dalam prosesi berladang

terkandung nilai kebersamaan, kekompakan, religius dan lainnya.

Akhirnya penulis hanya mampu menuliskan bahwa alam semesta dengan

segala isinya telah disediakan utuh oleh Jubata (Sang Pencipta), manusia hanya

bertugas memanfaatkannya dengan segala daya kreativitasnya, bukan merusak namun

menjaga dan mengembangkannya.

B. Saran/ Usulan

1. Bagi Para Katekis dan Staf Komisi di Keuskupan Agung Pontianak

a. Mampu mengembangkan metode berkatekese di tengah umat, misalnya

dengan mengangkat inkulturasi Dayak sebagai sarana dan sumber berkatekese

seperti yang dimaksud dalam tulisan ini.


113

b. Mengembangkan inkulturasi dalam Gereja. Mengingat inkulturasi merupakan

hal penting dalam rangka menyentuh hati umat dengan budaya mereka sendiri

terutama yang berkaitan dengan bahasa dan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang

telah terpola. Dan dalam hal ini, model pewartaan katekis, “masuk melalui

pintu mereka dan keluar melalui pintu kita”.

c. Pewartaan iman pada hakikatnya adalah kesaksian iman, maka si pewarta

perlu merefleksikan imannya sambil menaruh perhatian bagaimana peserta

komunikasi iman menghayati pokok iman yang mau ditawarkan sampai

akhirnya bagaimana kedua pihak berusaha mengarah dan mencapai apa yang

seharusnya. Di sini juga proses internalisasi patut mendapat perhatian.

d. Bagi para staf komisi di Keuskupan Agung Pontianak, agar membuat

dokumentasi kegiatan baik secara tertulis, video maupun audio secara

lengkap. Hal ini dianggap penting karena dapat digunakan sebagai acuan

dalam refleksi dan evaluasi untuk kegiatan ke depan. Alasan lain, agar orang

lain yang membutuhkan dokumentasi kegiatan (seperti penulis) untuk

keperluan tertentu dapat segera diberikan.

2. Bagi Sanggar-sanggar Seni di Keuskupan Agung Pontianak

a. Memberikan peluang secara lebih luas lagi kepada kaum muda untuk

mengembangkan bakat dalam bidang seni, misalnya dengan mengadakan

festival atau lomba seni dan budaya ataupun melatih kelompok/ orang yang

berminat.

b. Membuat dokumentasi kegiatan baik secara tertulis, video maupun audio

secara lengkap. Hal ini dianggap penting karena dapat digunakan sebagai

acuan dalam refleksi dan evaluasi untuk kegiatan ke depan. Alasan lain, agar
114

orang lain yang membutuhkan dokumentasi kegiatan (seperti penulis) untuk

keperluan tertentu dapat segera diberikan.

3. Bagi Kaum Muda di Keuskupan Agung Pontianak

a. Memiliki rasa tanggungjawab terhadap kesenian (misalnya musik) daerah

sehingga bukan hanya lagu pop yang diminati dan diperdalam namun lagu dan

musik yang daerah asli juga seharusnya yang utama untuk dipelajari sekaligus

dinikmati; misalnya dapat diperdalam/ dipelajari di sanggar seni.

b. Bagi kaum muda yang berbakat di bidang seni, dapat membuat lagu tentang

kesaksian pengalaman beserta pergulatan hidupnya dalam hubungan dengan

Yang Ilahi agar pengalaman yang telah digubah ini memberi cerminan bagi

orang lain.

c. Kaum muda adalah “agent of change”. Kaum muda harus berani menyadari

hal ini secara positif. Sebagai pembaharu mereka harus mampu membuat

pembaharuan dan perkembangan terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu

kemudian pembaharuan demi perubahan sosial dalam masyarakat.


115

DAFTAR PUSTAKA

Adisusanto, F.X. (2000). Katekese Dalam Konteks Pastoral Gereja (Seri Puskat
370).Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.
NN. http://www.equator-news.com. accessed on June 21, 2008.
Beding, Bosko. (1989). Ibu Teresa Karya dan Orang-orangnya. Ende: Nusa Indah.
Bergant, Dianne & Karris J., Robert. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius.
Darmawijaya., St. (1993). Evangelisasi Baru: Memperbaharui Masyarakat Dengan
Injil. Majalah Rohani. Hal 340-348.
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (1992). Catechesi Tradendae
(Penyelenggaraan Katekese). Jakarta: Depdokpen KWI.
Gie, The Liang. (1996). Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB.
Hassan Shadily. (1991). Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Hassan Shadily & Tim. (1980). Ensiklopedia Indonesia Jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru–
Van Hoeve dan Elsevier Publising Projects.
Kasida, Heru. (1991). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Widya Karya.
Heryatno Wono Wulung, F.X. (1994). Menuju Suatu Katekese di antara Kelompok
Bawah. Umat Baru, 220, 22-32.
Heuken., A. (2004). Ensiklopedi Gereja. Yogyakarta: CLC.
Hurlock, Elizabet B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jacobs, T. (1992). Dasar-dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru.
(Tanggapan The Withkanp). Orientasi Baru. Hal 45-136.
Kirchberger, Georg & Mansford Prior, John. (1996). Iman dan Trasformasi Budaya.
Ende: Nusa Indah.
Koch N., Chr. (1997). Musik in Geschichte and Gegenwart. Vol 6, Kassel.
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Pontianak. (2007). Bangkit dan Bergeraklah:
Bersama Kita Membangun Hidup Sosial yang Harmonis (Kompak
Menuju Masa Depan). Pontianak: Komkat KAP. Hal 16-22.
Komisi Kateketik KWI. (1995). Katekese Umat dan Evangelisasi Baru. Yogyakarta:
Kanisius.
___________. (1997). Upaya Pengembangan Katekese di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Kepemudaan KWI. (1999). Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda. Jakarta.
Konferensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi. Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana,
Penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966).
Malahia. http://www. equator.com. accessed on June 12, 2008(a).
___________. http://malahiacorner.blogspot.com. Accessed on June 21, 2008(b).
Mangunhardjana, A.M. (1985). Membimbing Rekoleksi. Yogyakarta: Kanisius.
Nipa, Nusa., Pandhuagie., F.G. & Hapsari, Dhian. (2006). Musik Pop: Kapital,
Kapital, Kapital. GONG, 86, Hal. 6-15.
Odop, Nistains. (2006). Dayak Berubah atau Mati. Pontianak: Smart Borneo.
Olivier, Clement. (2003). Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: Kanisius.
116

Paulus, F.S. http://putrarinyuakngcalahborneo.blogspot.com. accessed on April 23,


2008.
Paus Paulus VI. (2003). Evangelii Nuntiandi. (Sri Murtini, pembahasan mata kuliah
Analisis Sosial Semester VI, IPPAK-USD). Jakarta: Dokpen KWI
(Dokumen asli diterbitkan tahun 1974).
Pono Banoe. (2003). Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Prier, Karl-Edmund. (2004). Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
___________. (2007). Liturgi II. Diktat Mata Kuliah Liturgi II Untuk Mahasiswa
Semester II, Fakultas Ilmu Pendidikan Agama, Univarsitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
___________. (2008). Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia Tahun
1957–2007. Yogyakarta: PML A-79.
Hasto, F., Rosariyanto. (2001). Bercermin Pada Wajah-wajah Keuskupan (Mgr.
Hieronymus Bumbun, OFMCap). Yogyakarta: Kanisius.
Rubin, Ron. (2004). Kata-kata Bijak Bagi Pemimpi dan Pelaku. Jakarta: BIP
Gramedia.
Schilling, F.W.E. (1997). Musik in Geschichte and Gegenwart. Vol 6, Kassel.
Shelton, M. Charles. (1988). Menuju Kedewasaan Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Stefanus. http://www.mozaikdayak.com. accessed on November 27, 2008.
Sudiardja, A. (2007). Cantat Bene Bis Orat. Majalah Rohani. Hal 27-31.
Suharso & Retnoningsih, Ana. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Edisi Lux). Semarang: Widya Karya.
Suharyo, Ignasius. (1995). Katekese Umat dan Evangelisasi Baru. Yogyakarta:
Kanisius.
Sumarno Ds., M. (2006). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama
Katolik Paroki. Diktat Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan
Pendidikan Agama Katolik Paroki untuk Mahasiswa Semester V,
Fakultas Ilmu Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Tangdilintin, Philips. (2008). Pembinaan Generasi Muda Dengan Proses Manejerial
Vosram. Yogyakarta: Kanisius.
Team Pusat Musik Liturgi. (1992). Madah Bakti Suplemen, Buku Kor Campur Jilid I.
Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Tri Harjono, Al. (1999). Musik Sebagai Revelasi Ilahi. Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan.
___________. (2006). Madah Bakti: Edisi 2000 sesuai TPE baru. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi.
Vierling H., Netty Lampe & Sudarto. (1981). HasilPenelitian Adat-Istiadat di
Tolong, Sebatik dan Kepayang (Cerita Nenek Moyang). Singkawang:
Laporan.
Vierling H. (1983a). Cerita Rakyat dalam Cahaya Injil Kristus. Singkawang:
Laporan Penelitian.
___________. (1983b). Cerita Kristen (Majus Amasa). Singkawang: Laporan
Penelitian.
Zwahr, Annete. (2003). Meyers Taschenlexikon Mannheim: Vol 15, hal 4997.
Lampiran 1: Hasil wawancara 1
Syair Nyangahatn Baroah (doa syukur untuk panen pertama)

Nama responden : Eriya Putri


Status responden : - Mahasiswi Akademi Keperawatan Singkawang
- Anggota Sanggar Enggang Borneo Singkawang
Waktu wawancara : Pkl 17:16 WIB, 03 Agustus 2008: via Telephone
Topik wawancara : Contoh salah satu syair upacara/ doa syukur

Dalam bahasa Kanayatn Dalam bahasa Indonesia & (makna)


Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh... Satu dua tiga empat lima enam tujuh...
Ooo..Kita’ Jubata.. Ya Tuhan..
Sambil nentekng baliukng Sambil memegang beliung (seperti kapak)
Muraatn baras banyu Menabur beras berkat
Nyarahatn ka’ palatar Memberikan persembahan
Bagole’ man tampukng tawar Mohon ampunan dalam iringan air suci
Bapipis man seap manok Buang segala yang jahat
Panyugu nungkatatn roas poe’ Mengangkat kehidupan kembali dari
kematian
Tingkobakng nyangahatn ka’ saka Saat panenan ini kita kembali untuk
bersama
Ooo..Kita’ Jubata’aaa...

(1)
Lampiran 2: Hasil wawancara 2
Perbedaan musik khas daerah dan musik kontemporer

Nama responden : Masdi


Status responden : - Tetua suku Dayak Kanayatn
- Pembawa doa (Panyangahatn) dalam upacara adat
Waktu wawancara : Pkl 19:03 WIB, 10 Juli 2008: via Telephone
Topik wawancara : Perbedaan musik khas daerah Kalimantan Barat dengan
musik kontemporer.

Alat musik Bahasa Tema


Musik khas Gong, dau (sejenis Bahasa Dayak Syukur dan berterima
daerah gong kecil), tuma’ kasih: panen, kelahiran,
(sejenis gendang), perjalanan pulang;
suling bambu, sapeq. permohonan:
kesembuhan,
keselamatan dalam
perjalanan; untuk
mengiringi tarian:
Nyayau, Perang, Naik
Dango dan lain-lain.
Musik Seperangkat drum; Bahasa Dayak Kehidupan sosial
kontemporer gitar: bass, melodi, dan bahasa masyarakat, percintaan/
pengiring; keyboard, Indonesia. kasih sayang: muda-
tamborin, suling, dau, mudi dan orang tua; doa
gong. dan lain-lain.

(2)
Lampiran 3: Hasil wawancara 3
Bentuk doa suku asli Kalimantan Barat

Nama responden : Masdi


Status responden : - Tetua suku Dayak Kanayatn
- Pembawa doa (Panyangahatn) dalam upacara adat
Waktu wawancara : Pkl 18:54 WIB, 11 Juli 2008: via Telephone
Topik wawancara : Bentuk doa suku asli Kalimantan Barat dan cara
penyampaiannya

Bentuk doa dengan model dinyanyikan ini sudah berkembang sejak zaman dahulu,
jenisnya di antaranya adalah “baliatn” yaitu upacara doa penyembuhan orang sakit
secara besar-besaran; “notokng” yaitu upacara mendoakan kepala orang-orang yang
telah dipenggal sebagai lambang kekuasaan, keperkasaan dan kedewasaan;
“nyangahatn baroah” yaitu doa syukur atas panen/ beras baru; “nyangahatn babore”
yaitu doa untuk kesembuhan orang sakit secara sederhana; “nyangahatn batalah”
yaitu upacara doa untuk memberi nama pada bayi dan sebagai lambang diterimanya
seseorang dalam anggota masyarakat; dan masih banyak lagi jenis doa-doa lainnya
yang cara penyampaiannya dinyanyikan.

(3)
Lampiran 4: Surat Permohonan Data Kaum Muda

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (IPPAK)
Jl. Ahmad Jazuli 02, tromolpos 75 Yogyakarta 55002
Telp. (0274) 589035, 541642 – Fax (0274) 541641

Hal : Permohonan Informasi/ Data Kaum Muda KAP


Lamp : 3 lembar

Kepada Yth.
Pimpinan KOMSOS
Keuskupan Agung Pontianak
Di tempat

Dengan hormat,
Saya mengucapkan banyak terima kasih karena telah menanggapi permohonan
bantuan informasi seputar kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak untuk kelengkapan
data Skripsi (S1) beberapa hari yang lalu sehingga saya mengajukan surat Permohonan
Informasi/ Data Kaum Muda KAP secara resmi.
Dalam surat ini, saya memohon bantuan kepada P. William Chang, OFMCap dan
saudara-saudari di Komsos KAP untuk memberikan informasi seputar Kaum Muda dan
kegiatannya yang diorganisir oleh pihak Komsos maupun di luarnya, namun apabila ada.
Adapun informasi yang saya butuhkan tersebut dan data diri, terlampir di halaman
sebaliknya.
Akhir kata sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas
respon positif dari P. William Chang, OFMCap dan saudara-saudari yang melayani di
bidang Komsos KAP. Semoga Tuhan Selalu Memberkati.
Yogyakarta, 13 November 2008

Mengetahui, Hormat saya

Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ John Ariyo


Kepala Program Studi IPPAK NIM: 041124015

(4)
Lampiran 5: Lampiran surat permohonan

Kaum Muda
Bidang Bentuk dokumentasi
o Kegiatan-kegiatan o Bidang musik Berupa buku, atau
Komsos KAP yang o Bidang pelatihan Berupa tulisan/ artikel,
berkaitan dengan o Bidang pembinaan atau
(kaum muda))* o Bidang pemberdayaan Berupa foto-foto/ gambar
o .... Atau berupa apa saja ...

o Kegiatan-kegiatan di o Bidang musik Berupa buku, atau


luar perencanaan o Bidang pelatihan Berupa tulisan/ artikel,
Komsos KAP yang o Bidang pembinaan atau
berkaitan dengan o Bidang pemberdayaan Berupa foto-foto/ gambar
(kaum muda))* o .... Atau berupa apa saja ...

Pandangan dan Praksis Gereja di KAP atas Kegiatan yang Dilaksanakan dan
Perencanaan Komsos KAP terhadap Kaum Muda Di Masa Yang Akan Datang
o Pandangan Gereja di o Pandangan dan praksis o Perencanaan Komsos
KAP terhadap Gereja KAP terhadap KAP terhadap kaum
perkembangan karya perkembangan muda di KAP dalam
musik daerah (musik evangelisasi di KAP bidang pemberdayaan
khas daerah dan musik
kontemporer)
o Sejauh mana karya
musik daerah itu
diberdayakan
o Sejauh mana karya
musik daerah tersebut
dipergunakan dalam
gereja (inkulturasinya)

Keterangan:
)* : Fokus dalam skripsi adalah musik, kaum muda, dan evangelisasi namun jika
dokumentasi yang ada kurang berhubungan dengan yang di maksud, penulis
anggap dapat dipergunakan (apapun hasil dokumentasi yang ada) atau dengan
kata lain penulis terbuka dengan dokumentasi yang ada.

Mohon diberitahukan kepada penulis seberapa besar ongkos (biaya) dalam rangka
menyiapkan informasi ini agar dengan segera pula penulis berikan gantinya.

(5)
Lampiran 6: Hasil Wawancara 4

Nama responden : P. Iosefus Erwin, OFMCap


Status responden : Pastor Paroki Menjalin, Keuskupan Agung Pontianak
Waktu wawancara : Pkl 16:04 WIB, 14 Oktober 2008: via Telephone
Topik wawancara : Pendapat kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak

Kaum muda memang memiliki keunikan tersendiri. Banyak unsur yang melekat
pada kaum muda: kaum muda yang kreatif, kaum muda yang bersemangat, kaum
muda yang ikut-ikutan, pendiam, hingga kaum muda yang tidak tahu kemana arah
hidupnya. Namun demikian kaum muda lebih memiliki kesadaran ketika berhadapan
dengan kebudayaannya: adat istiadat dan kesenian daerah. Mereka tidak rela jika
kebudayaan mereka punah begitu saja. Pasti ada saja cara tertentu yang mereka
lakukan untuk melestarikan kebudayaan tersebut. Misalnya dengan mengadakan
festival/ perlombaan tingkat anak-anak hingga dewasa, week end budaya, Perayaan
Ekaristi dalam bahasa daerah. Kaum muda yang kurang memiliki kesadaran akan
budayanya ini terlebih menunjuk pada kaum muda yang berlatarbelakang keluarga
ekonomi kelas atas...orientasi mereka lebih pada bisnis, namun pendidikan kurang.
Acara week end budaya: dialog budaya Kalbar, permainan tradisional, pentas cerita
nenek moyang.

(6)
Lampiran 7: Hasil Wawancara 5

Nama responden : Fr. Victor Topan, Pr


Status responden : - Frater Projo Keuskupan Agung Pontianak (sedang studi)
- Ketua Komite Rakyat
- Pembimbing komunitas Binua Diri’
Waktu wawancara : 22 November 2008: via Email (topandayak@gmail.com)
Topik wawancara : - Pendapat kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak
- Sejauh mana KAP memberdayakan kaum muda dan
sanggar-sanggar beserta musisi daerah di Kalbar
- Sejauh mana pemanfaatan musik sebagai sarana
evangelisasi

Jika disinggung mengenai kaum muda maka secara spontan saya langsung berpikir
tentang, siapa sebenarnya kaum muda? Saya melihat bahwa dalam kaum muda
bersemayam sebuah semangat yang menantangnya untuk berani keluar dari
belenggu dirinya sendiri. Kaum muda ingin menunjukan siapa sebenarnya dirinya di
mata orang lain dan apa sebenarnya keunggulan yang dimilikinya. “Binua Diri”
merupakan sebuah gumpalan semangat dari para kaum muda Dayak untuk
mengungkapkan ekspresi yang dimiliki serta usaha mempertahankan adat
istiadatnya. Selain itu, “Binua Diri” terbentuk karena atas dasar keprihatinan
generasi muda Dayak atas kebudayaan Dayak sendiri yang lama-kelamaan semakin
terkontaminasi oleh budaya luar. Visi “Binua Diri” adalah “back to basic”... yang
berarti mengembalikan budaya seperti sediakala dan mempertahankan naturalistik
alam Kalimantan. Kaum muda di KAP merupakan mahasiswa dan pelajar yang
datang dari berbagai daerah pedalaman Kalbar (PMKRI). Seorang moderator kaum
muda di KAP adalah Pastor Markus Soje, Pr. PMKRI mengadakan kegiatan: latihan
pembinaan, camping rohani, pelatihan kepemimpian, live in – tema “lingkungan
hidup”.
OMK pada tingkat SMU-SMP diserahkan pada Pastor Paroki masing-masing.
Namun terjadi discommunication: terdapat beberapa Pastor Paroki yang kurang
peduli terhadap OMK/ kaum muda. Mereka hanya diserahi tugas jaga parkir
digereja.
Secara struktural dapat dikatakan masih kurang namun secara personal ada beberapa
yang memberi perhatian khusus terhadap sanggar-sanggar dan musisi-musisi hingga
secara langsung terjun ke dalamnya. Beberapa dari mereka adalah: P. Lousius
Ginting, OFMCap, P. Firminus Anjiu, OFMCap dan P. Markus Soje, Pr.
Kaum muda belum pernah menggunakan musik sebagai media atau sumber bahan
untuk memperdalam imannya. Inilah tugas ke depan Gereja di KAP untuk lebih
memberi perhatian khusus kepada kaum mudanya dengan mencoba memberi ruang
khusus untuk mengembangkan diri dan imannya melalui karya musik daerah.
Secara tidak langsung beberapa musisi di Kalbar telah memberikan ekspresinya
dengan menunjukan hubungan manusia dengan Tuhannya melalui karya-karyanya
(Alpino DJ, Intan, dll).

(7)
Lampiran 8: Hasil Wawancara 6

Nama responden : Eriya Putri


Status responden : - Mahasiswi Akademi Keperawatan Singkawang
- Anggota Sanggar Enggang Borneo
Waktu wawancara : 26 Oktober 2008: via Email (ria.cute@yahoo.co.id)
Topik wawancara : Pendapat kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak

Kaum muda di KAP sebagian besar memiliki keberanian untuk berani menampilkan
diri dengan segudang ekspresinya. Mereka tidak memandang batasan golongan,
suku atau ras maupun agama...baginya, semangatlah yang terpenting serta
kekompakan. Sejauh pengamatan saya dan yang saya alami saat ini, kaum muda
lebih cocok berkiprah di bidang seni dan pengembangan budaya. Mereka akan lebih
santai dan bebas mengungkapkan ekspresinya dalam bidang itu.
Kegiatan Sanggar Enggang Borneo: Mengadakan Festival Tari-tarian Daerah
Kalimantan Barat, Mengikuti Lomba model gaya Daerah(busana).
Tari-tarian binaan Sanggar Enggang Borneo: Tari Antu, Tari Dara Itapm, Tari
Notokng, Tari Bahuma.
Jadwal pelatihan Sanggar Engang Borneo: Dua Minggu satu kali (intensif), satu
minggu sekali apabila ada event-event tertentu.

(8)
Lampiran 9: Hasil Wawancara 7

Nama responden : P. Meriko, OFMCap


Status responden : Rektor SMU Seminari Menengah Nyarumkop, Kalimantan
Barat
Waktu wawancara : 22 November 2008: via Email (meriko63@yahoo.co.id)
Topik wawancara : Pendapat kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak

Kaum muda identik dengan keceriaan, ekspresi semangat yang tinggi dan
kebebasan. Persepsi saya mengenai kaum muda dewasa ini yaitu kaum muda tidak
mau adanya kekangan yang akhirnya membuat mereka tidak merasa bebas. Kaum
muda ingin dipahami dan mereka kadang-kadang dalam menyampaikan maksudnya
dengan cara yang berlebihan maksudnya agar harapan tersebut cepat terealisasi.
Sifat kaum muda terbuka terhadap masukan dan cenderung menentang apabila tidak
sesuai dengan keinginan. Contohnya saja: demonstrasi dan unjuk rasa yang sering
kita lihat di TV, kebanyakan adalah kaum muda dan kaum pulalah yang menjadi
motornya. Hal ini merupakan bukti ketidakterimaan kaum muda terhadap sesuatu
yang dianggapnya tidak sesuai dengan visinya.

(9)
Lampiran 10: Hasil Wawancara 8
Pesta Syukur Panen

Nama responden : Samuel Billy


Status responden : Koordinator Gawai Dayak 2008 di Yogyakarta
Waktu wawancara : 07 Desember 2008, pkl 10:30-11:04
Topik wawancara : Gawai Dayak di Yogyakarta

Pesta Syukur Panen: Inti diadakannya acara ini ialah mengucap syukur atas karunia
dan penyertaan Jubata (Tuhan) selama proses menyiapkan lahan hingga panen.
Gawai artinya: pesta; pesta syukur.
Gawai Dayak se-Kalimantan diadakan dengan maksud melestarikan budaya Dayak,
mempersatukan para mahasiswa dan pelajar yang berdomisili di Yogyakarta,
memberi motivasi kepada para mahasiswa dan pelajar dalam menuntut ilmu serta
mengembangkan bakat.

(10)
Lampiran 11: Program evangelisasi melalui karya musik daerah

Perencanaan dalam suatu kegiatan dinilai sangat penting karena sebuah


perencanaan merupakan modal awal untuk menuju kesuksesan harapan yang dituju.
Membuat perencanaan berarti menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan visi dan
misi yang akan dicapai. Beberapa hal pendukung visi dan misi agar dapat terlaksana dengan
baik diantaranya ialah materi, sarana, sumber bahan, dan metode. Berkaitan dengan subjek
pelaksana perencanaan, hal yang paling dituntut ialah profesionalitas dalam mengolah
perencanaan menjadi sebuah kegiatan yang sarat dengan isi yang berkualitas.
Perencanaan kegiatan dapat disusun melalui suatu program. Program merupakan
landasan untuk menentukan isi dan urutan kegiatan yang akan dilaksanakan. Program ini
bersifat menyeluruh yang memuat seluruh kegitan. Karenanya program mempunyai peranan
penting untuk kemantapan dan kelancaran dalam suatu pelaksanaan kegiatan
(Mangunhardjana, 1986: 16-17).
Sebagai wujud nyata “evangelisasi melalui karya musik daerah” ini, penulis
membuat suatu perencanaan pertemuan katekese bersama kaum muda di Keuskupan Agung
Pontianak. Program ini sangat dipentingkan karena melalui program dapat memperjelas
suatu arah dan tujuan dalam kegiatan sehingga pendamping maupun peserta dapat
melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Oleh karena itu terkait dengan penyusunan program ini, akan dipaparkan beberapa hal
diantaranya adalah pengertian program, tujuan program, pemikiran dasar penyusunan
program dan usulan tema, penjabaran program serta contoh persiapan katekese.

A. Pengertian Program
Program pembinaan diartikan sebagai prosedur yang dijadikan landasan untuk
menentukan isi dan urutan acara-acara pembinaan yang akan dilaksanakan, demikian
menurut pengertian Mangunhardjana (1986: 16). Tangdilintin 2008: 114 menyebutkan
bahwa “program adalah rencana yang sudah mencantumkan sasaran yang ingin dicapai
beserta semua perangkat pendukung demi kesuksesan sebuah kegiatan”. Menurut
pemahaman penulis, program merupakan rencana kegiatan yang disusun secara sistematis
untuk memudahkan pelaksana kegiatan dalam melaksanakan rencana yang telah tercantum
dalam program tersebut. Melalui program ini, para pendamping mampu membuat
perencanaan selanjutnya dengan membandingkannya dengan refleksi dan evaluasi kegiatan
selanjutnya.

B. Tujuan Program
Pertemuan katekese akan terasa mengalir dan hidup tentunya hal ini disebabkan
oleh perencanaan yang baik. Program kegiatan sangat membantu menentukan arah dan
tujuan yang akan dicapai serta dapat dijadikan patokan untuk mengukur keberhasilan atau
kegagalan suatu kegiatan.
Proses pembuatan program memiliki tujuan untuk memperjelas arah dan tujuan
katekese serta mempermudah pelaksanaan katekese. Selain itu program juga berguna
sebagai pedoman refleksi dan evaluasi pelaksanaan kegiatan ke depan. Bagi para pewarta
(katekis) yang ada di Keuskupan Agung Pontianak, pembuatan program ini bertujuan:
1. Membangun kesadaran kritis dalam situasi kaum muda saat ini.
2. Memperjelas dan mengarahkan proses kegiatan katekese yang mengangkat karya musik
daerah sebagai sumber bahasan utama.
3. Mempermudah para pendamping (katekis) untuk melakukan pendekatan terhadap kaum
muda sehingga tahu situasi dan harapan kaum muda dalam pertemuan katekese.

(11)
C. Pemikiran Dasar Penyusunan Program
Kaum muda zaman sekarang menghadapi tantangan dalam usaha menghayati
panggilannya masing-masing. Bermacam-macam tawaran yang menggiurkan setiap saat
hadir dalam situasi konkret kaum muda. Mereka dihadapkan dalam situasi “memilih”.
Memilih untuk apa? Tentunya memilih hal-hal yang bersifat kenikmatan, kemudahan, life
style, dan lain sebagainya. Dalam hal inilah dituntut sebuah komitmen dalam hidup agar
berbagai macam pilihan dalam hidup sekarang ini tidak serta merta menjadi pilihan utama.
Inilah tantangan zaman sekarang yang harus dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda bisa
saja terjebak ke dalam “dunia hitam” atau dunia kehancuran karena mengambil semua
tawaran yang diberikan oleh dunia. Namun kaum muda juga bisa lebih optimis dalam
melewati tantangan demi tantangan dalam hidupnya karena yakin ada penyertaan dari Yang
Ilahi.
Program katekese ini disusun dalam rangka menggali dan mengembangkan iman
kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak melalui karya musik daerah dalam situasi
zaman saat ini. Melalui pertemuan katekese ini diharapkan kaum muda mampu menemukan
visi hidupnya serta mampu mengembangkan hidup beriman dalam dirinya sendiri maupun
dimana saja dirinya berada. Melalui pertemuan katekese ini pula diharapkan iman kaum
muda di Keuskupan Agung Pontianak semakin dewasa dan mereka semakin peduli pada
seni dan tradisi daerah di Kalimantan Barat. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis
menawarkan usulan tema yang kiranya dapat membantu pemandu katekese dalam mengolah
pertemuan. Adapun usulan tema tersebut ialah: “Menghayati Pribadi yang Terpanggil
dalam Realitas Seni dan Budaya Daerah”.

D. Penjabaran Usulan Tema


Penulis membuat penjabaran dari usulan tema menjadi beberapa sub tema dan sub
tema ini dijabarkan ke dalam beberapa judul pertemuan. Berikut penjabaran tema dan sub
tema:
Tema : Menghayati pribadi yang terpanggil dalam realitas seni dan budaya
daerah.
Tujuan : Peserta semakin menghayati bahwa diriya merupakan pribadi yang
terpanggil dalam realitas seni dan budaya daerah di Kalimantan
Barat.
Sub tema pertama : Menanggapi tantangan di masa muda.
Tujuan sub tema : Bersama Pendamping, peserta menggali suka-duka dalam
hidupnya sebagai dasar untuk menjalani masanya, tidak
berhenti karena gagal namun berani menatap ke depan
sehingga dengan mengikuti pertemuan ini peserta mampu
mengaktualisasikan dirinya di dalam Gereja maupun dalam
masyarakat melalui lagu-lagu inkulturasi liturgi sebagai jalan
awal menuju pertobatan.
Sub tema kedua : Karya musik daerah sebagai identitas diri.
Tujuan sub tema : Bersama pendamping, peserta menggali pengalaman serta
potensi yang ada pada kaum muda dalam bidang musik
daerah sehingga mampu mengembangkan nilai-nilai seni
yang ada di Kalimantan Barat sehingga mampu menghayati
pribadi yang terpanggil dalam hidup sehari-hari.
Sub tema ketiga : Pintu masuk evangelisasi baru melalui karya musik daerah.
Tujuan sub tema : Bersama pendamping, peserta semakin mengenal dan

(12)
mendalami makna karya musik daerah sebagai salah satu cara
untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan kesempatan
untuk lebih tahu karya musik daerah melalui sharing sehingga
peserta mampu menemukan nilai yang terkandung dalam
karya musik daerah itu sendiri.
Sub tema keempat : Menjumpai Tuhan (Jubata) dalam Budaya dan Tradisi Kalbar.
Tujuan sub tema : Bersama pendamping, peserta menghayati setiap pengalaman
dalam hidup sehari-hari (misalnya dalam proses berladang,
syukuran panen, bacalek (tolak bala/ mengusir roh-roh
pembawa penyakit dan lain-lain), saat mengalami kasih
Tuhan dalam pengalaman tersebut sehingga kehadiranNya
lebih nyata dirasakan.
Sub tema kelima : Pertobatan dan Pembaharuan.
Tujuan sub tema : Bersama pendamping, peserta semakin sadar pada
kelalaiannya dalam hidup sehari-hari (misalnya dalam
pergaulan, di lingkungan masyarakat adat, tanggungjawab
sebagai kaum muda Gereja dan lain sebagainya) dan mampu
memilih yang terbaik dalam hidupnya sehingga pertobatan
melalui perbuatan konkret dapat terlaksana.

(13)
E. Penjabaran Program
Tema : Menghayati pribadi yang terpanggil dalam realitas seni dan budaya daerah.
Tujuan : Peserta semakin menghayati bahwa diriya merupakan pribadi yang terpanggil dalam realitas seni dan
budaya daerah di Kalimantan Barat.

No Sub Tema Tujuan sub tema Judul Tujuan pertemuan Materi Metode Sarana Sumber bahan
pertemuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. Menanggapi Bersama Membangun Bersama o Yesus o Sharing o Teks Kitab o Surip Stanislaus.
tantangan di Pendamping, budaya anti pendamping, mengubah o Refleksi Suci Mat (2006).
masa muda peserta menggali miras peserta semakin hukum balas pribadi 5:45 Hentikan
suka-duka dalam (minuman menyadari bahwa dendam o Informasi o 2 helai Kekerasan!:
keras) dan masa muda perlu menjadi o Tanya syal/ Kalahkan
hidupnya sebagai
kekerasan diisi dengan hal-hal hukum kasih. jawab saputangan Kejahatan
dasar untuk positif (mis. o Makna hidup o Alat dengan
menjalani Terlibat di sanggar- positif penghalan Kebaikan.
masanya, tidak sanggar seni) o Kasih Allah g (ember/ Jakarta: LBI.
berhenti karena sehingga dapat diberikan gayung o Tim APP
gagal namun berani menemukan cara kepada dll) Keuskupan
menatap ke depan positif untuk semua orang, o Teks lagu Agung
sehingga dengan mengisi masa muda. Allah Kasih, Pontianak.
mengikuti menerbitkan Pokoknya (2003). Kompak
pertemuan ini matahari dan Nyocok, Menuju Masa
peserta mampu hujan bagi Sagalas Depan: Dengan
mengaktualisasikan orang benar Mempertahanka
dan tidak n dan
dirinya di dalam benar Menghargai
Gereja maupun Perbedaan.
dalam masyarakat Pontianak: Tip
melalui lagu-lagu APP KAP.
inkulturasi liturgi

(14)
sebagai jalan awal
menuju pertobatan.
2. Karya musik Bersama Menggali Bersama o Tradisi o Sharing o Teks lagu: o Cerita legenda
daerah pendamping, nilai-nilai pendamping, kesenian o Diskusi Jubata, Dara Itapm
sebagai peserta menggali religius peserta menggali daerah kelompok Jubata (diceritakan
identitas diri. pengalaman serta dalam karya nilai-nilai yang o Mengenal o Refleksi Nele secara lisan).
musik terkandung dalam lebih jauh pribadi Niatnyu,
potensi yang ada
daerah karya musik daerah alat musik o Informasi Pama
pada kaum muda baik dari segi musik daerah o Tanya Jubata
dalam bidang maupun alat Kalimantan jawab o Teks
musik daerah musiknya sehingga Barat pertanyaan
sehingga mampu peserta semakin o Tanggapan panduan
mengembangkan yakin bahwa kritis kaum o Gitar
nilai-nilai seni mereka mempunyai muda o Peralatan
yang ada di kekayaan dalam terhadap musik asli:
Kalimantan Barat. bidang seni musik. karya musik agukng,
daerah dau,
solekng,
ganakng,
tuma,
sapeq
3. Pintu masuk Bersama Bersoraklah Bersama o Kriteria o Sharing o Gitar/ o Kitab Suci (Mrk
evangelisasi pendamping, dan puji pendamping, memilih lagu o Diskusi keyboard 2:13-17)
baru melalui peserta semakin namaNya! peserta menemukan o Menganalisis kelompok o VCD o Tim Pusat
karya musik mengenal dan makna di setiap lagu pilihan o Informasi Player/ Musik Liturgi.
syair-syair dan o Membuat o Tanya komputer (2006). Madah
daerah. mendalami makna
nada-nada yang keputusan jawab + speaker Bakti:sesuai
karya musik daerah terlantunkan dalam o Analisis o Teks lagu: TPE Baru.
sebagai salah satu sehingga mereka memilih lagu ada kao ka Yogyakarta:
cara untuk menemukan cara radio, PML
mendekatkan diri baru dalam memilih Jubata,
pada Sang Pencipta

(15)
dan kesempatan lagu yang disukai. Terima
untuk lebih tahu Kasih
karya musik daerah Tuhan,
melalui sharing Guntur
sehingga peserta Mandayu
o Teks Kitab
mampu Suci Mrk
menemukan nilai 2:13-17
yang terkandung
dalam karya musik
daerah itu sendiri.
4. Menjumpai Bersama Beras baru, o Bersama o Berladang o Sharing o Teks Kitab o Vierling, H.
Tuhan pendamping, semangat pendamping, bagi orang o Informasi Suci Luk (1983a). Cerita
(Jubata) peserta menghayati baru peserta menggali Dayak o Tanya 24:13-35 Rakyat dalam
dalam setiap pengalaman nilai yang o Permenungan jawab o Lilin+Salib Cahaya Injil
terkandung proses terhadap o Renungan o Teks
Budaya dan dalam hidup Kristus.
berladang bagi makna pribadi pertanyaan
Tradisi sehari-hari masyarakat religius penuntun
Singkawang:
Kalbar. (misalnya dalam pedalaman dalam proses o Slide Laporan
proses berladang, Kalimantan Barat berladang proses Penelitian.
syukuran panen, sehingga peserta o Tuhan hadir berladang o Kitab Suci (Luk
bacalek (tolak bala/ semakin dalam o Video 24:13-35
mengusir roh-roh menghidupi semangat Audio:
pembawa penyakit semangat yang ada beras baru Naik
dan lain-lain), saat dalam proses Dango,
mengalami kasih berladang tersebut Bebutie
Tuhan dalam dan mampu Begerangi
pengalaman mengaplikasikanny e
a dalam hidup
tersebut sehingga sehari-hari.
kehadiranNya lebih
nyata dirasakan.

(16)
5. Pembaharuan Bersama Berani Bersama o Realitas o Sharing o Teks lagu o Kitab Suci (Luk
di tengah pendamping, menjadi pendamping, kaum muda o Informasi Jubata, 11:1-13)
arus zaman peserta mampu “agen peserta menyadari saat ini o Tanya Panggung o Komisi
mengungkapkan pembaharu” bahwa realitas di o Apa yang jawab Sandiwara Kateketik
permasalahan- di tengah tengah arus zaman sudah kaum o Renungan o Gitar Keuskupan
arus zaman membutuhkan muda mulai pribadi o VCD Agung
permasalahan tanggungjawab dalam diri o Menonton Player/ Pontianak.
sekarang ini yang mereka (kaum dan pada film komputer (2007). Kompak
ada pada kaum muda) sebagai Gereja? + speaker Menuju Masa
muda dan agen-agen o Tindakan o Musik Depan.
sekitarnya serta pembaharu dalam nyata kaum instrumen Pontianak:
mampu bidang seni dan muda dalam (Kitaro) Komkat KAP.
memberikan solusi budaya daerah serta Gereja dan o Teks o Tangdilintin,
konkret sebagai tanggungjawab masyarakat pertanyaan Philips. (2008).
tanda bahwa ada iman pada Gereja sebagai agen panduan Pembinaan
pembaharuan dan pada Kristus pembaharu o Teks Kitab Generasi Muda:
dalam diri kaum sehingga kaum Suci Luk dengan proses
muda semakin 11-1:13 manejerial
muda. mengenal jatidiri vosram.
mereka yang Yogyakarta:
seutuhnya. Kanisius.

(17)
Contoh katekese

A. Identitas
1. Pelaksana : John Ariyo
2. Tema : Berani menjadi agen pembaharu di tengah arus zaman
3. Tujuan : Bersama pendamping, peserta menyadari bahwa realitas di tengah
arus zaman membutuhkan tanggungjawab mereka (kaum muda)
sebagai agen-agen pembaharu dalam bidang seni dan budaya
daerah serta tanggungjawab iman pada Gereja dan pada Kristus
sehingga kaum muda semakin mengenal jatidiri mereka yang
seutuhnya.
4. Peserta : Orang Muda Katolik (OMK) se-Paroki Menjalin,
Kalbar
5. Tempat : Gedung Serba-guna Paroki
6. Hari/ tanggal : -
7. Waktu : Pukul 16.00 – 17.30 WIB
8. Metode : Sharing, tanya jawab, informasi, renungan pribadi,
menonton
9. Sarana : Teks lagu Jubata, Panggung Sandiwara, gitar, VCD Player/
komputer + speaker, musik instrumen (Kitaro), teks
pertanyaan panduan, teks Kitab Suci Luk 11:1-13.
10. Sumber bahan:
a. Kitab Suci Perjanjian Baru: Luk 10:28-42.
b. Komisi Kateketik Keuskupan Agung Pontianak. (2007). Kompak Menuju Masa
Depan. Pontianak: Komkat KAP.
c. Tangdilintin, Philips. (2008). Pembinaan Generasi Muda: dengan proses
manejerial vosram. Yogyakarta: Kanisius.
d. Bergant, Dianne & Karris J., Robert. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius.

B. Pemikiran Dasar
Dengan pesatnya perkembangan teknologi khususnya media elektronik
(dunia cyber), seolah-olah menghapus semua tembok penghalang yang membatasi
manusia satu dengan yang lainnya dan manusia dengan dunia luar. Individu di
Kalimantan Barat dapat dengan bebas dan mudah mendapat informasi tentang segala
sesuatu yang terjadi di seluruh belahan dunia. Tetapi sayang, informasi yang
diterima banyak yang bernuansa kekerasan, penipuan, dan lain sebagainya.
Informasi ini dapat dengan mudah diperoleh melalui media elektronik, media cetak
maupun dalam pengalaman sehari-hari yang dijumpai secara langsung. Namun
dalam hal ini, media informasi tidak dapat dipersalahkan. Di sinilah peran individu
dalam memilih dan memilah serta memproses sendiri segala bentuk informasi yang
diperoleh. Menerima yang baik dan menjadikan yang jahat sebagai dasar untuk
bertindak kebaikan.
Gereja telah lama merintis mengenai upaya menghadapi situasi seperti
yang terlukiskan di atas, misalnya dalam Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium et
Spes dan Ensiklik Paus Paulus VI: Evangelii Nuntiandi. Dalam lembaga-lembaga

(18)
Gereja pun berupaya semaksimal mungkin memberikan solusi agar para umat Allah
tidak larut dalam kenikmatan dunia. Sehubungan dengan ini pula, sebagai tindak
lanjut katekese umat yang berangkat dari pengalaman sehari-hari peserta, pewartaan
melalui karya musik menjadi salah satu solusinya. Kaum muda di Paroki Menjalin
diharapkan mampu mengolah pengalaman sehari-hari melalui karya musik daerah
yang menjadi media dalam katekese ini.
Dalam pertemuan ini kaum muda dituntut untuk berani mengungkapkan
segala bentuk pengalaman dalam hidupnya ketika menghadapi arus zaman sehingga
mereka semakin menyadari bahwa realitas di tengah arus zaman ini sangat
membutuhkan tanggungjawabnya sebagai kaum muda sekaligus sebagai agen-agen
pembaharu dalam bidang seni budaya serta memiliki keberanian untuk memeberi
kesaksian iman di tengah-tengah masyarakat.

C. Langkah-langkah
Catatan:
Langkah-langkah dalam katekese ini dikembangkan berdasarkan:
Tangdilintin, Philips. (2008). Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manejerial
Vosram. Yogyakarta: Kanisius. Hal 159-162.

1. Introduksi
Teman-teman yang terkasih dalam Yesus Kristus, selamat sore. Terima kasih
telah menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama di sini. Sore ini kita akan mendalami
sebuah lagu yang berjudul Jubata buah karya dari Alpino. Kita akan belajar dari isi lagu ini
dan melihat sejauh mana pengalaman pribadi kita tersentuh oleh syair dalam lagu ini.
Secara keseluruhan syair lagu ini menceritakan pengalaman seseorang yang
menyerahkan hidup seutuhnya pada Jubata (Sang Pencipta). Jubata digambarkan sebagai
sosok yang memberikan segalanya dan memberikan keteduhan hati bagi yang percaya
padaNya. Sebagai manusia yang kerapkali tersentuh oleh kenikmatan duniawi hingga pada
“dunia hitamnya” sudah selayaknya kembali pada Yang Kuasa Sang Pemberi Hidup agar
diberi pengampunan olehNya.
Dalam pertemuan ini kita juga akan mengolah pengalaman pribadi dalam
sharing bersama. Tidak ada pengalaman yang salah dan tidak ada pengalaman yang labih
dari yang lain. Dengan saling berbagi kita akan menemukan solusi untuk permasalahan
hidup kita. Namun yang lebih utama, dalam pertemuan ini diharapkan kita semakin teguh
dalam iman dan pengharapan.
Teman-teman yang terkasih, marilah kita ikuti proses selanjutnya.

2. Pendamping membuka dengan tanda salib dan dilanjutkan dengan doa pembuka.
Allah Bapa di surga, syukur dan terima kasih kami haturkan padaMu karena
pada sore hari kami Kau kumpulkan kembali dalam kasih persaudaraan Orang Muda Katolik
se-paroki Menjalin. Bantu kami dalam pertemuan ini, cerahkan pikiran kami dan bukalah
hati kami agar kami mampu melihat dunia luar dengan kaca mata kritis seturut pandangan
kaum muda. Semoga kami mampu menemukan jati diri kami yang seutuhnya berkat
rencanaMu yang tak berkesudahan dalam hidup kami kini dan sepanjang segala masa.
Amin.

(19)
3. Lagu dinyanyikan bersama dengan diiringi gitar yang dimainkan oleh salah satu peserta.
Bahasa Dayak Kanayatn Bahasa Indonesia
Jubata Tuhan

Udah sa’ari sa’ari agi’ Lewat sehari satu hari lagi


Nana’ badiapm kami bajalatn Tak berhenti kami berjalan
Takadang jantu’ barang dah latih Terkadang jatuh karena lelah

Uba’atn barat niti maraga Memikul beban berat sepanjang


Nang manyak rintangan (2x) perjalanan
Yang banyak rintangan (2x)
Reff: Reff:
Ka’ Kita’ Jubata kami bapadah PadaMu Tuhan kami mengadu
Ka’ Kita Jubata kami bapinta’ PadaMu Tuhan kami memohon
Irikng langkah kami o.. Jubata biar Temani langkah kami ya Tuhan agar
salamat selamat

Dangar doa kami Jubata nang adil Dengarlah doa kami Tuhan yang adil
Jauhatn kami dari cobaan Jauhkan kami dari cobaan
Antatlah kami mang barakatNyu Antarlah kami dengan berkatMu

Biar kami sampe salamat ka’ dunia Agar kami sampai selamat di dunia
salama idup (2x) Selama hidup

4. Peserta diajak untuk membaca dalam hati lirik demi lirik dalam syair lagu tersebut.
Merenungkan suasana yang terjadi dalam lagu tersebut dan mencoba mencari pesan
secara pribadi di dalamnya.
Untuk lebih membantu peserta mendalami syair lagu, pendamping memberikan
beberapa pertanyaan panduan:
a. Kalimat mana yang paling menarik dan menantang pada lagu tersebut? Mengapa?
b. Pesan apa yang mau disampaikan dalam lagu tersebut?
c. Setujukah anda dengan maksud/ isi dari lagu tersebut?
Jika tidak setuju, apa pendapat anda. Jika anda setuju, jelaskan mengapa demikian.
d. Apa yang mungkin bisa kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita/ harapan dalam lagu
tersebut?
Peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil kemudian mensharingkan temuannya secara
pribadi tadi setelah itu kembali dalam kelompok besar. Beberapa dari peserta
mensharingkan hasil sharingnya dalam kelompok kecil tadi dalam kelompok besar.

5. Pencerahan
Pendamping meminta salah satu peserta untuk membacakan perikop Kitab Suci dari Luk
11:1-13. Sementara peserta yang lain menyimak dengan masing-masing teks yang
telah dibagikan.

(20)
Pendamping menjelaskan isi dan maksud Kitab Suci Luk 11:1-13 kemudian
memberi sebuah perbandingan dengan isi lagu Jubata beserta beberapa pengalaman
peserta hasil sharing tadi.

Teman-teman yang terkasih dalam Yesus Kristus. Kita telah sharing


tentang pengalaman kita dan kita pun telah menemukan isi lagu Jubata yaitu adanya
hubungan searah antara manusia dengan penciptanya. Sebagai manusia atau
dikatakan juga sebagai makhluk sosial, kita tidak lepas dari hubungan satu dengan
yang lainnya. Manusia memiliki ketergantungan dengan manusia lain. Hubungan
manusia dengan Penciptanya juga tidak lepas dari ini; manusia sangat tergantung
pada Allah Sang Pencipta. Salah satu bukti yang menunjukan bahwa manusia
memiliki ketergantungan serta adanya hubungan di dalamnya adalah ketika manusia
mengalami kesedihan atau keputusasaan, dimana manusia menemui jalan buntu.
Kepada siapa lagi dia akan mengadu selain pada Tuhan.
Dalam Kitab Suci (Luk 11:1-13) kita juga diajarkan bagaimana membina
suatu hubungan dengan Allah melalui sebuah doa. Para murid menyadari hubungan
yang benar kepada Bapa (dan kepada Yesus) harus dicari dalam doa. Yesus, seperti
Yohanes Pembaptis, harus memiliki pandangan yang jelas mengenai doa yang
mengalir dari perutusanNya. Menjawab pertanyaan para murid, Ia mewahyukan Doa
Bapa Kami. Di sini latar belakangnya adalah kesempatan doa. Yesus selalu memulai
doaNya pada Allah dengan kata “Bapa” (Ibrani: Abba); doa terlebih dahulu bagi
pemuliaan nama Allah di bumi dan pemenuhan dari pendirian kerajaanNya.
Kemudian beralih pada kebuthan para murid. Ucapan perlindungan terus-menerus
oleh Tuhan dari hari ke hari dan bantuannya menghadapi “percobaan akhir” pada
akhir zaman. Dalam Doa Bapa Kami ini merupakan ungkapan yang merumuskan
pengampunan Tuhan bagi kita seperti kita terhadap orang lain.
Seperti halnya dalam syair lagu Jubata, manusia berusaha untuk
menghadirkan Tuhan (Jubata) dalam setiap peristiwa hidupnya. Kerapuhan manusia
jelas terlukiskan dalam syair tersebut dan manusia tidak dapat berbuat apa-apa jika
tanpa campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Isi lagu ini menceritakan kisah
perjalanan hidup manusia yang penuh beban penderitaan. Sepanjang perjalanan
hidupnya manusia selalu berharap akan mendapat kenyamanan dan ia tahu pasti
bahwa apa yang menjadi harapannya tersebut pasti akan menjadi kenyataan karena
ia percaya bahwa Tuhan-lah yang pasti memberikan semuanya itu. Inilah sisi hidup
manusia yang memiliki ketergantungan dengan Tuhan, Sang Penciptanya.
Adanya hubungan manusia dengan dengan Allah ini menjadi tanda
bahwa di sinilah peran Allah yang sebenarnya dalam setiap sisi kehidupan umat
manusia. Dan perlu diingat, Allah tidak akan pernah lupa pada umatNya walau dia
mengalammi situasi apapun dalam hidupnya; Allah tetap setia. Bagaimana manusia
membalas kesetiaan itu? Inilah tantangan bagi kita yang harus diwujudkan sebagai
umatNya dalam hal kesetiaan pada Allah.

6. Pengendapan
Teman-teman yang terkasih dalam Yesus Kristus, dalam perjalanan selama proses
ini mari kita merenung sejenak.

(21)
Pendamping memberikan pertanyaan penuntun agar permenungan peserta dapat
terbantu. Permenungan ini diiringi dengan musik instrumen Kitaro.
o Siapakah Tuhan bagi anda?
o Apa yang anda lakukan untuk menghadirkan Tuhan dalam hidup anda?

7. Aktualisasi
Pendamping mengajak peserta untuk memikirkan niat-niat dan bentuk
keterlibatan yang baru (secara pribadi, kelompok atau bersama) agar lebih
meningkatkan iman serta pelayanan dalam Gereja dan sesama.Berikut adalah
pertanyaan penuntun untuk membantu peserta membuat niat-niat (perlu
diperhatikan: niat dibuat bukan sekedar niat yang akan berhenti karena hanya
sekedar niat namun niat yang dibuat berbentuk niatan yang sederhana namun
konkret dan dapat langsung dilakukan:
a. Niat apa yang hendak kita lakukan agar kita mampu menjadi agen pembaharu
dalam bidang seni dan budaya serta dalam Gereja?
a) Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan niat-niat
tersebut?

Pendamping menampung niat-niat usulan para peserta kemudian membicarakannya dalam


forum secara terbuka.

(22)

Anda mungkin juga menyukai