Anda di halaman 1dari 2

Menggali pengalaman Kekatolikan…

Kelas XI

Inkulturasi, Sebuah Proses Pertobatan

Indonesia hingga saat ini masih dipandang sebagai “negara misi”. Pantaslah inkulturasi menjadi
salah satu hal penting dalam pewartaan Injil. Inkulturasi ini secara nyata masih terekam dalam
liturgi suci. Paling pertama dari bentuk inkulturasi dalam liturgi adalah penggunaan bahasa
vernakular setempat dalam Misa kudus. Tentu bahasa Latin sebagai bahasa resmi masih
dipertahankan hingga saat ini dalam ritus Roma. Terdapat pula bentuk inkulturasi lainnya dalam
arsitektur Gereja dan pakaian Misa. Satu yang tak kalah penting adalah rupa-rupa nyanyian
dalam Misa. Di Indonesia, nyanyian inkulturasi liturgi ini tak lepas dari sosok Paul Widyawan.
Dalam memainkan perannya sebagai musikus liturgi, nama Paul tak pernah lepas dari Pusat
Musik Liturgi (PML) yang resmi berdiri pada 11 Juli 1971.

Wajah pribumi Dalam buku Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia tahun 1957-2007, Romo
Karl-Edmund Prier, SJ, menceritakan soal gagasan berdirinya PML dari oborolan berkala dengan
Paul sejak tahun 1967. Dalam pertemuan berkala ini, kedua tokoh musik liturgi Indonesia ini
punya satu pemikiran: agar memajukan musik Gereja lebih profesional. Ada upaya untuk
membuat eksperimen lagu liturgi baru sesuai cita-cita liturgi di Indonesia. Cita-cita ini
didasarkan atas keprihatinan Romo Prier dan Paul terkait liturgi pada “zaman pra-sejarah PML”.
Memang di zaman itu, ada upaya berbagai pihak untuk mengembangkan musik Gereja dalam
bahasa pribumi. Hal ini sudah dimulai Mgr. Van Bekkum, SVD di Manggarai, Pater Vincent
Lechovic, SVD di Timor, dan Mgr. Albertus Soegijapranata di Jawa. Akan tetapi usaha tersebut
tidak ditangani secara profesional dan tidak berkelanjutan. Sejak kehadiran Romo Prier di
Indonesia tahun 1964, umat Katolik Indonesia masih terpaku pada nyanyian Gregorian. Tidak
salah dengan genre lagu ini, cuma sulit dan seringkali “menyiksa” umat. “Bagi saya hal ini
semacam kemunduran liturgi karena tahun 1962-1963 saat betugas di Kolese Stella Matutina di
Feldkirch, Austria, angin pembaharuan liturgi sudah terasa. Tetapi di Indonesia itu tidak
nampak,” ungkapnya. Keprihatinan ini diungkapkan dalam usahanya untuk ingin mengaktifkan
lagi organis, dirigen, dan orang-orang yang terlatih secara profesional. Ada harapan juga bahwa
liturgi Indonesia harusnya berwajah pribumi, mengena di kedalaman hati umat. Banyak tradisi
musik tradisional dan kekayaan budaya Indonesia sudah menjadi nilai utama mengembangkan
liturgi yang berwajah nusantara. Paul seorang figur yang sangat antusias ketika diundang oleh
Romo Prier untuk memberi nafas baru pada musik liturgi. Paul menyadari bahwa wajah
nusantara

Bab 2. Sifat-Sifat Gereja 49


liturgi Gereja ini bisa dikuatkan lewat musik dan lagu tradisional. Dengan begini kekhawatiran
dan kecemasan umat beriman di mana menduduki peran utama dalam liturgi juga teratasi. Di
buku Perjalanan Musik Gereja, Paul menyebutkan bahwa musik liturgi hendaknya mengabdi
pada kepentingan umat. Musik liturgi senantiasa mendorong partisipasi umat secara aktif dalam
perayaan liturgi. Hal ini bukan berarti musik liturgi semakin miskin sehubungan dengan sifat
massal dari umat, sebaliknya harus semakin bermutu dan berkesan. “Oleh karena itu, potensi di
kalangan umat perlu dilibatkan dan musik inkulturasi dapat menjawab kebutuhan hal ini,” tulis
Paul.

Pendalaman Diskusikan dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut


ini!

1) Jelaskan Gereja yang katolik?


2) Apa itu inkulturasi dalam Gereja?
3) Mengapa Gereja Katolik Indonesia mendukung inkulturasi?
4) Inkulturasi apa saja yang tampak dalam Gereja Katolik Indonesia?
5) Apakah inkulturasi sesuai dengan sifat kekatolikan Gereja yang universal?

Setelah berdiskusi dalam kelompok, laporkan hasil diskusi kelompokmu di kelas, dan kelompok
lain dapat menanggapinya!

Anda mungkin juga menyukai