Ujian Semester Genap Liturgi Inkulturasi
Ujian Semester Genap Liturgi Inkulturasi
LITURGI INKULTURASI
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.
1.1.
1.2. Gereja, Kebudayaan Manggarai, dan Dere Serani: Selayang Pandang1
Misionaris Eropa memasuki wilayah Manggarai sekitar awal abad 20. Penyebaran
agama katolik di Flores bagian timur memang sudah terjadi beberapa abad sebelumnya,
tepatnya pada abad 16. Para misionaris Eropa hingga akhir abad 18 masih takut memasuki
Manggarai karena takut menghadapi orang Islam (sejak abad 16-19, orang Bima dan Gowa
bergantian menguasai Manggarai). Selain itu, kondisi geografis menyulitkan para misonaris
ini. Penyebaran agama katolik oleh para misionaris baru terjadi sekitaran awal abad 20. Pada
awal penyebaran ajaran agama, seni dan ritual khas Manggarai ditolak dan dilarang karena
dianggap sebagai penyembahan berhala. Ketika misionaris katolik datang ke Manggarai,
bahasa resmi dalam liturgi adalah bahasa Latin. Semua hal berbau liturgi dilangsungkan
dengan menggunakan bahasa Latin ini. Aturan penggunaan bahasa Latin digalakan secara
ketat dan tanpa kompromi. Hal ini tentu saja berpengaruh besar terhadap gereja-gereja,
termasuk gereja Manggarai, yang tidak terikat dengan bahasa latin. Mereka harus tunduk dan
1
Yohanes S. Lon dan Fransiska Widyawati, “Adaptasi dan Transformasi Lagu Adat dalam Liturgi Gereja
Katolik di Manggarai Flores”, Jurnal Kawistara, 10:1 (Ruteng: April 2020), hlm. 17-31
taat terhadap aturan ini. hal ini menyebabkan perayaan liturgi menjadi kaku dan asing.
Pewartaan menjadi tidak tepat sasar karena umat tidak memahami bahasa Latin dengan baik.
Sampai dengan tahun 70an, kehadiran Dere Serani menjadi fenomena penting dalam
perkembangan Gereja Katolik Manggarai. Liturgi Latin-Romawi yang kaku dan asing diubah
menjadi liturgi berwarna dan dinamis. Walaupun ada beberapa perbedaan konteks, waktu, isi,
dan makna dalam beberapa lagu, Dere Serani tetap menjadi ikon bagaimana Gereja berwajah
barat masuk di dalam kebudayaan lokal. Dere Serani adalah simbol Gereja yang masuk di
dalam budaya lokal. Dere Serani menjadi pembentuk identitas kekatolikan dan
kemanggaraian di wilayah Manggarai. Dengan Dere Serani, budaya lokal masuk ke dalam
ruang sakral baru, ke dalam wilayah agama/Gereja katolik.
Ada beberapa perubahan penting yang dibawa oleh para misionaris Eropa, terutama
misionaris Belanda ke dalam gereja Manggarai. Salah satu perubahan itu menyata dalam
buku nyanyian liturgis, Dere Serani. Dalam pembahasan ini, kelompok akan menyinggung
penggunaan Dere Serani dalam perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi. Pembahasan
tentang penggunaan ini juga kemudian akan meluas kepada pembahasan tentang makna di
balik penggunaan Dere Serani secara umum dan, secara khusus, kelompok akan menyertakan
beberapa lagu untuk kemudian ditelisik makna dan isinya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Dere Serani menjadi elemen lokal-
tradisional yang dimasukkan ke dalam perayaan liturgi Gereja. Dere Serani, secara sederhana
dapat dikatakan sebagai pelengkap/tambahan dalam perayaan liturgi/misa. Lagu-lagu Dere
Serani biasanya dinyanyikan pada saat doa atau upacara sakral lainnya, misalnya pada saat
misa, doa rosario pada bulan Maria, doa bersama pada upacara-upacara penting orang katolik
Manggarai, atau pada waktu upacara adat orang Manggarai oleh pria dan wanita secara
bersama-sama, bersahut-sahutan atau tunggal. Ada beberapa elemen lokal-tradisional yang
dipakai dalam Dere Serani dan dibawakan saat-saat tertentu tadi. Elemen lokal-tradisional
yang utama dalam Dere Serani ialah bahasa. Semua lagu dalam Dere Serani menggunakan
bahasa Manggarai. Ini mengingat tujuan awalnya demi inkulturasi gereja katolik dan budaya
Manggarai dan secara khusus agar perayaan liturgi tidak menjadi asing bagi umat katolik
Manggarai. Elemen ini lantas menjadi elemen kunci dan paling kentara dalam Dere Serani.
Penggunaan bahasa Manggarai dalam Dere Serani menjadi indikator paling kuat inkulturasi
Gereja Katolik dengan budaya Manggarai, khususnya pada upacara atau perayaan tertentu di
atas.
Pada awal penggunaannya, Dere Serani memang menjadi sebuah ironi. Lagu-lagu
Dere Serani hasil adaptasi berbeda secara konteks, isi, waktu, teologi, dan makna dengan
lagu-lagu asli adat Manggarai. Tetapi, secara umum, Dere Serani tetap berwajah kental
Manggarai. Dere Serani dimaknai sebagai penguat identitas orang Manggarai di hadapan
Gereja katolik dari dulu sampai sekarang. Penggunaan bahasa Manggarai dan seni musik
khas dan ikonik Manggarai menjadi penanda identitas orang Manggarai. Ke-Manggarai-an
tampak jelas dalam elemen-elemen kunci Dere Serani.
b) Lagu Adat dan Lagu Liturgi dalam Dere Serani: Kesamaan Makna Simbolis dan
Teologis
2
Ibid., hlm. 23
Oh hatiku Sedih penderitaan anakmu
Oh jiwaku Menderita demi menebus jiwa
Sedih dan kesepian Sedih dan dukalah hatiku
Sedih dan dukalah hatiku
Jika ditelisik lebih dalam, apa yang hendak diangkat oleh penulis lagu pertama (lagu
lokal) di atas berkaitan dengan penderitaan hidupnya. Ia mengeluhkan nasib buruk yang
menimpanya. Penderitaan ini kemudian menjadi simbol dan dasar penulisan lagu ”Mori ga
Kristus”. Adaptasi lagu lokal di atas ke dalam lagu Gereja dibuat bukan hanya ketertarikan
penulis lagu Gereja akan irama dan warna lagu lokal di atas, tetapi lebih dari pada itu, ada
kesamaan makna di antara kedua lagu ini. “Penderitaan” menjadi kata kunci dari kesamaan
makna kedua lagu ini. lebih dari pada itu, kesamaan makna ini juga, jika ditilik lebih dalam
lagi, ada dalam tataran teologis. Orang yang menderita dalam lagu lokal di atas tidak hanya
mengeluhkan nasib buruknya. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih berkuasa
dari dia untuk menghilangkan penderitaannya. Lagu kedua juga memiliki makna teologis
yang sama: harapan akan datangnya Tuhan untuk menyelamatkan umat-Nya. Hanya Tuhan
yang Mahakuasa yang mampu melenyapkan penderitaan umat-Nya.
3. KEMUNGKINAN INKULTURASI
Salah satu kekayaan budaya Manggarai turun-temurun adalah Nenggo. Nenggo adalah
lagu adat-budaya Manggarai yang berisikan go’et (peribahasa Manggarai) dan memiliki arti
yang sangat mendalam. Nenggo kebanyakan dinyanyikan atau dibawakan saat upacara-
upacara formal-tradisional orang Manggarai. Tetapi, dalam penarapannya secara turun-
temurun, Nenggo juga dinyanyikan dalam situasi informal dan bukan pada saat upacara adat,
misalnya dinyanyikan oleh orang tua untuk anaknya sebelum tidur. Nenggo juga terkadang
dinyanyikan oleh para orang tua di kala sedang duduk santai bersama dalam suatu waktu.
Lirik dalam nenggo biasanya mudah dihafal lantaran go’et yang dipakai dalam nenggo belum
terlalu banyak beredar di kalangan masyarakat. Lirik nenggo sendiri biasanya berkisah
tentang pengalaman hidup manusia Manggarai. Pengalaman hidup ini tidak lain seputar
kesedihan, kegembiraan, dll., orang-orang Manggarai.
Hemat kelompok, nenggo bisa menjadi salah satu kemungkinan inkulturasi antara
budaya dan Gereja. Nenggo, dilihat dari penjelasan sebelumnya, sangat adaptif dan adaptabel.
Hal ini lantaran nenggo dibawakan atau dinyanyikan dalam berbagai situasi. Oleh karena itu,
kemungkinan nenggo dibawakan sebagai bagian dari liturgi Gereja Katolik Manggarai adalah
sangat besar. Seperti halnya Dere Serani, nenggo, yang adalah elemen lokal-tradisional, bisa
dijadikan sebagai tambaha/pelengkap dalam perayaan liturgi atau dalam doa-doa bersama
lainnya dalam masyarakat Manggarai. Lebih lanjut, seperti telah disebutkan sebelumnya,
nenggo adalah hasil refleksi orang Manggarai atas kehidupan mereka. Sebagai hasil refleksi,
nenggo, sehubungan dengan kemungkinan inkulturasi, bisa dibawakan sebagai ‘pengantar’
persembahan pada saat liturgi persembahan dalam misa kudus, atau dibawakan pada saat-saat
tertentu sesuai dengan konteks nenggo. Contoh nenggo di bawah ini kiranya mempertegas
apa yang disampaikan kelompok.
Secara sederhana, lirik nenggo ini menceritakan kehidupan manusia yang sementara.
Dunia adalah tempat singgah manusia (lino senggo oh lino senggo). Karena kesementaraan
ini, manusia dituntut untuk hidup lebih baik. Hidup baik yang dimaksud di sini merujuk pada
relasi di antara manusia itu sendiri, dengan alam, dan, kalau dimasukkan dalam tataran
teologis, dengan Tuhan. Banyak masalah muncul dalam kehidupan manusia, entah masalah
yang ditimbulkan oleh diri sendiri, maupun masallah yang muncul dari luar. Dalam tataran
simbolis serentak teologis, lirik ini menjadi salah satu lirik yang bisa dibawakan oleh
masyarakat Manggarai sebagai bentuk refleksi atas kesalahan manusia dan harapan akan
kebaikan atau keselamatan yang datang. Lantas, lirik dalam nenggo bisa dibawakan atau
dinyanyiakan saat pengakuan dosa dalam liturgi ekaristi atau dalam upacara-upacara religius
lainnya sebagai bentuk penyesalan manusia (Manggarai) atas dosa dan kesalahan mereka.
4. PENUTUP
Inkulturasi menjadi salah satu komponen penting dalam menyatukan Gereja, budaya,
dan masyarakat dalam budaya bersangkutan. Inkulturasi menjadi penentu perkembangan
penyebaran ajaran Gereja Katolik dan perkembangan iman masyarakat sendiri, tanpa
menafikan budaya yang ada. Dere Serani menjadi indikator paling kentara dalam inkulturasi
Gereja dan budaya Manggarai. Dere Serani dalam perayaan-perayaan liturgi atau dalam
upacara-upacara keagamaan lainnya mempengaruhi keterlibatan umat, dan pada gilirannya,
berpengaruh pada eksistensi Gereja Katolik di Manggarai. Dere Serani memberikan warna
tersendiri dalam perayaan liturgi umat katolik Manggarai. Dengan dere serani umat menjadi
tidak asing lagi dengan perayaan liturgi. Ke-Manggarai-an dalam perayaan ini berpengaruh
baik terhadap kuantitas dan kualitas partisipasi umat dalam mengikuti perayaan liturgi.