Anda di halaman 1dari 9

UJIAN SEMESTER GENAP

LITURGI INKULTURASI

NAMA-NAMA ANGGOTA KELOMPOK:


Florianus Krisstian Patut (19.75.6571)
Edith Erian Dita (19.75.6549)
Basilio M. N Sila (19.75.6537)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK


LEDALERO - MAUMERE
2020/2021
DERE SERANI DALAM PERAYAAN LITURGI GEREJA
(Tilikan atas Inkulturasi Gereja Katolik dan Kebudayaan Manggarai)

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

‘Neka hemong kuni agu kalo!’

Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memiliki begitu banyak kekayaan budaya.


Ungkapan sekaligus seruan dalam bahasa Manggarai di atas adalah satu dari sekian banyak
kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh manusia Manggarai. Ungkapan atau seruan di atas
serentak menjadi bahan dan basis utama kelompok sebagai pengantar dalam tulisan ini.
Secara sederhana, kalimat berbahasa Manggarai di atas berarti ‘jangan sekali-sekali
melupakan kampung halaman’. Kampung halaman bukan saja berarti ‘kampung tempat
tinggal’ secara harafiah. ‘Kampung halaman’ dalam konteks ini memiliki pengertian yang
sangat beragam. Tetapi, pada intinya, pengertian lain dari kampung halaman ini merujuk
pada adat-istiadat-budaya. Melalui seruan di atas, setiap orang Manggarai diajak, bahkan
diwajibkan untuk selalu ingat akan latar belakngnya sebagai orang Manggarai yang memiliki
adat, budaya, serta norma tertentu dalam menjalani keseharian hidup. Mansuia Manggarai
diajak untuk selalu melestarikan adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang
Manggarai terdahulu, kapan dan di mana saja ia berada.

Kekayaan-kekayaan budaya ini diwariskan secara turun-temurun dan tetap dijaga


keasliannya hingga sekarang ini. Manusia Manggarai sampai sekarang ini masih memegang
teguh adat dan budaya mereka. Kita, secara khusus orang Manggarai, masih dapat melihat
begitu banyak ritual adat yang dilaksanakan dengan penuh khidmat. Di pelosok-pelosok
daerah di Manggarai, masih sering didendangkan lagu-lagu adat saat acara-acara kebudayaan,
sebut saja dalam acara Penti, wagal, dll. Dalam acara-acara adat ini, nuansa adat lokal
(nyanyian, tarian, dll.) masih sangat kental. Seni musik, seni tari, dan seni berbahasa, dipakai
untuk aneka kepentingan masyarakat dalam keseharian hidup sebagai individu dan
komunitas.

Lalu, bagaimana dengan Gereja yang muncul kemudian? Bagaimana eksistensi


budaya berhadapan dengan eksistensi Gereja? Bagaimana Gereja menanggapi kebudayaan
lokal Manggarai? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika banyak orang bertanya tentang
Gereja dan kebudayaan-kebudayaan lokal. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab oleh
kelompok dalam tulisan ini. Kelompok mencoba mengangkat tema besar seni musik dan
bahasa dalam kebudayaan Manggarai. Spesifikasi tema ini mengerucut pada pembahasan
tentang Dere Serani. Sekadar untuk diketahui, Dere Serani bukan merupakan sebuah ritus-
formal orang Manggarai. Kelompok membahas tentang Dere Serani karena di dalamnya
terdapat beberapa unsur penting yang menandakan inkulturasi antara Gereja Katolik dan
budaya Manggarai. Beberapa unsur penting ini, termasuk di dalamnya bahasa lokal-adat
orang Manggarai dan seni musik khas Manggarai, juga di masukkan dalam Dere Serani yang
dipakai juga dalam ritus-ritus adat-budaya orang Manggarai. Jadi, pembahasan tentang Dere
Serani dalam Gereja katolik akan sedikit berbeda dengan pembahasan tentang ritus-formal
orang Manggarai, tetapi, untuk ditekankan sekali lagi, perhatian kelompok tetap (juga)
terarah kepada tema besar inkulturasi. Pembahasan lebih lanjut dan komprehensif mengenai
Dere Serani akan dibahas kelompok setelah menyinggung sedikit tentang Gereja dan
kebudayaan serta hubungan keduanya dari awal sampai sekarang ini.

1.
1.1.
1.2. Gereja, Kebudayaan Manggarai, dan Dere Serani: Selayang Pandang1

Misionaris Eropa memasuki wilayah Manggarai sekitar awal abad 20. Penyebaran
agama katolik di Flores bagian timur memang sudah terjadi beberapa abad sebelumnya,
tepatnya pada abad 16. Para misionaris Eropa hingga akhir abad 18 masih takut memasuki
Manggarai karena takut menghadapi orang Islam (sejak abad 16-19, orang Bima dan Gowa
bergantian menguasai Manggarai). Selain itu, kondisi geografis menyulitkan para misonaris
ini. Penyebaran agama katolik oleh para misionaris baru terjadi sekitaran awal abad 20. Pada
awal penyebaran ajaran agama, seni dan ritual khas Manggarai ditolak dan dilarang karena
dianggap sebagai penyembahan berhala. Ketika misionaris katolik datang ke Manggarai,
bahasa resmi dalam liturgi adalah bahasa Latin. Semua hal berbau liturgi dilangsungkan
dengan menggunakan bahasa Latin ini. Aturan penggunaan bahasa Latin digalakan secara
ketat dan tanpa kompromi. Hal ini tentu saja berpengaruh besar terhadap gereja-gereja,
termasuk gereja Manggarai, yang tidak terikat dengan bahasa latin. Mereka harus tunduk dan

1
Yohanes S. Lon dan Fransiska Widyawati, “Adaptasi dan Transformasi Lagu Adat dalam Liturgi Gereja
Katolik di Manggarai Flores”, Jurnal Kawistara, 10:1 (Ruteng: April 2020), hlm. 17-31
taat terhadap aturan ini. hal ini menyebabkan perayaan liturgi menjadi kaku dan asing.
Pewartaan menjadi tidak tepat sasar karena umat tidak memahami bahasa Latin dengan baik.

Beberapa misionaris menyadari hal dan mulai mempelajari bahasa Manggarai.


Kendala bahasa merupakan kendala paling pelik dan besar yang dihadapi para misionaris kala
itu. Lantas, usaha untuk mempelajari bahasa Manggarai dan menerjemahkan doa-doa bahasa
Latin ke dalam bahasa Manggarai dilaksanakan oleh beberapa misionaris yang adaptif.
Sehubungan dengan transformasi lagu adat Manggarai, sejak tahun 1930-an, sembari tetap
menerjemahkan lagu-lagu Latin ke dalam bahasa Manggarai, para misionaris memberanikan
seniman lokal untuk menciptakan lagu berbasis lagu adat menjadi lagu misa dan liturgi
lainnya ( Verheijen, 1938:1; Jenadut, 2002: 46). Lagu-lagu pertama yang berhasil diciptakan
adalah lagu “Doing koe ga” dan lagu “Mori ga Kristus”, yang diciptakan oleh P. Manti. Pada
tahun 1953 -1962, ada 49 lagu lokal baru diadaptasi dan diciptakan menjadi lagu Gereja. Ini
adalah periode di mana banyak lagu diciptakan. Ini juga adalah periode di mana Dere Serani
(secara sederhana, Dere Serani berarti lagu-lagu kudus/gereja) dibuat. Pada tahun 1954, Dere
Serani dicetak kedua kalinya dengan isi sebanyak 94 lagu yang terdiri dari 77 lagu
terjemahan dan 17 lagu asli Manggarai. Semua pencapaian ini tidak terlepas dari usaha keras
uskup pertama di Manggarai, Wilhemus van Bekkum.

Sampai dengan tahun 70an, kehadiran Dere Serani menjadi fenomena penting dalam
perkembangan Gereja Katolik Manggarai. Liturgi Latin-Romawi yang kaku dan asing diubah
menjadi liturgi berwarna dan dinamis. Walaupun ada beberapa perbedaan konteks, waktu, isi,
dan makna dalam beberapa lagu, Dere Serani tetap menjadi ikon bagaimana Gereja berwajah
barat masuk di dalam kebudayaan lokal. Dere Serani adalah simbol Gereja yang masuk di
dalam budaya lokal. Dere Serani menjadi pembentuk identitas kekatolikan dan
kemanggaraian di wilayah Manggarai. Dengan Dere Serani, budaya lokal masuk ke dalam
ruang sakral baru, ke dalam wilayah agama/Gereja katolik.

2. DERE SERANI DALAM PERAYAAN LITURGI

Ada beberapa perubahan penting yang dibawa oleh para misionaris Eropa, terutama
misionaris Belanda ke dalam gereja Manggarai. Salah satu perubahan itu menyata dalam
buku nyanyian liturgis, Dere Serani. Dalam pembahasan ini, kelompok akan menyinggung
penggunaan Dere Serani dalam perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi. Pembahasan
tentang penggunaan ini juga kemudian akan meluas kepada pembahasan tentang makna di
balik penggunaan Dere Serani secara umum dan, secara khusus, kelompok akan menyertakan
beberapa lagu untuk kemudian ditelisik makna dan isinya.

2.1. Penggunaan Dere Serani dalam Terang Inkulturasi


Sekadar catatan awal, pada bagian ini, kelompok akan menjelaskan tentang waktu dan
tempat, formulasi, dan beberapa hal lain terkait penggunaan Dere Serani ini, baik secara
tersirat, maupun tersurat. Mengenai beberapa hal, seperti formulasi dan makna, akan dibahas
pada bagian berikutnya.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Dere Serani menjadi elemen lokal-
tradisional yang dimasukkan ke dalam perayaan liturgi Gereja. Dere Serani, secara sederhana
dapat dikatakan sebagai pelengkap/tambahan dalam perayaan liturgi/misa. Lagu-lagu Dere
Serani biasanya dinyanyikan pada saat doa atau upacara sakral lainnya, misalnya pada saat
misa, doa rosario pada bulan Maria, doa bersama pada upacara-upacara penting orang katolik
Manggarai, atau pada waktu upacara adat orang Manggarai oleh pria dan wanita secara
bersama-sama, bersahut-sahutan atau tunggal. Ada beberapa elemen lokal-tradisional yang
dipakai dalam Dere Serani dan dibawakan saat-saat tertentu tadi. Elemen lokal-tradisional
yang utama dalam Dere Serani ialah bahasa. Semua lagu dalam Dere Serani menggunakan
bahasa Manggarai. Ini mengingat tujuan awalnya demi inkulturasi gereja katolik dan budaya
Manggarai dan secara khusus agar perayaan liturgi tidak menjadi asing bagi umat katolik
Manggarai. Elemen ini lantas menjadi elemen kunci dan paling kentara dalam Dere Serani.
Penggunaan bahasa Manggarai dalam Dere Serani menjadi indikator paling kuat inkulturasi
Gereja Katolik dengan budaya Manggarai, khususnya pada upacara atau perayaan tertentu di
atas.

2.2. Dere Serani dan Pemaknaannya


a) Pemaknaan secara umum

Pada awal penggunaannya, Dere Serani memang menjadi sebuah ironi. Lagu-lagu
Dere Serani hasil adaptasi berbeda secara konteks, isi, waktu, teologi, dan makna dengan
lagu-lagu asli adat Manggarai. Tetapi, secara umum, Dere Serani tetap berwajah kental
Manggarai. Dere Serani dimaknai sebagai penguat identitas orang Manggarai di hadapan
Gereja katolik dari dulu sampai sekarang. Penggunaan bahasa Manggarai dan seni musik
khas dan ikonik Manggarai menjadi penanda identitas orang Manggarai. Ke-Manggarai-an
tampak jelas dalam elemen-elemen kunci Dere Serani.

b) Lagu Adat dan Lagu Liturgi dalam Dere Serani: Kesamaan Makna Simbolis dan
Teologis

Untuk menjelaskan tentang kesamaan makna simbolis dan teologis, serentak


menjelaskan tentang pemaknaan secara khusus dan spesifik dari Dere Serani, kelompok
menyertakan dua buah judul lagu, yakni lagu berjudul ‘O Nai go’ dan ‘Mori ga Kristus’.2
Lagu ‘Mori ga Kristus’ merupakan lagu yang diadaptasi dari lagu pertama ‘O Nai ga’.
Lagu adat/lokal Lagu liturgi/Gereja
O Nai go Mori ga Kristus
O nai go o o Mori ga Kristus Emag i o oo
Némba tana Nia amego, Mori ga
Ndéréng tana lé Nia amego o
Lingot para kilo Mori sambe ga
Élang élang a Ame go o weong weleng nai ge
Élang nai go Elang elang ta
O todo lamung go Elang nai go yo
Para mbaru ga Dopo da’at no anak a
Todo lamung para mbaru ga Dopo daat no anak a
Nai go Nai go o Dopo daat sambe wakar a Naigo
Wéléng wéléng nai gé Weong weleng nai go
Weong weleng nai ge e..
Terjemahan bebas
O hatiku Terjemahan bebas
Tanah menjadi kering Dimana Bapaku, Tuhanku
Tanah memerah Dimana Bapaku
Rumah menjadi hampa Tuhan selamatkanlah
Oh hatiku Bapaku hatiku sedih
Oh hatiku Cepatlah
Pintu rumah ditumbuhi jamur Bersegeralah

2
Ibid., hlm. 23
Oh hatiku Sedih penderitaan anakmu
Oh jiwaku Menderita demi menebus jiwa
Sedih dan kesepian Sedih dan dukalah hatiku
Sedih dan dukalah hatiku
Jika ditelisik lebih dalam, apa yang hendak diangkat oleh penulis lagu pertama (lagu
lokal) di atas berkaitan dengan penderitaan hidupnya. Ia mengeluhkan nasib buruk yang
menimpanya. Penderitaan ini kemudian menjadi simbol dan dasar penulisan lagu ”Mori ga
Kristus”. Adaptasi lagu lokal di atas ke dalam lagu Gereja dibuat bukan hanya ketertarikan
penulis lagu Gereja akan irama dan warna lagu lokal di atas, tetapi lebih dari pada itu, ada
kesamaan makna di antara kedua lagu ini. “Penderitaan” menjadi kata kunci dari kesamaan
makna kedua lagu ini. lebih dari pada itu, kesamaan makna ini juga, jika ditilik lebih dalam
lagi, ada dalam tataran teologis. Orang yang menderita dalam lagu lokal di atas tidak hanya
mengeluhkan nasib buruknya. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih berkuasa
dari dia untuk menghilangkan penderitaannya. Lagu kedua juga memiliki makna teologis
yang sama: harapan akan datangnya Tuhan untuk menyelamatkan umat-Nya. Hanya Tuhan
yang Mahakuasa yang mampu melenyapkan penderitaan umat-Nya.

3. KEMUNGKINAN INKULTURASI
Salah satu kekayaan budaya Manggarai turun-temurun adalah Nenggo. Nenggo adalah
lagu adat-budaya Manggarai yang berisikan go’et (peribahasa Manggarai) dan memiliki arti
yang sangat mendalam. Nenggo kebanyakan dinyanyikan atau dibawakan saat upacara-
upacara formal-tradisional orang Manggarai. Tetapi, dalam penarapannya secara turun-
temurun, Nenggo juga dinyanyikan dalam situasi informal dan bukan pada saat upacara adat,
misalnya dinyanyikan oleh orang tua untuk anaknya sebelum tidur. Nenggo juga terkadang
dinyanyikan oleh para orang tua di kala sedang duduk santai bersama dalam suatu waktu.
Lirik dalam nenggo biasanya mudah dihafal lantaran go’et yang dipakai dalam nenggo belum
terlalu banyak beredar di kalangan masyarakat. Lirik nenggo sendiri biasanya berkisah
tentang pengalaman hidup manusia Manggarai. Pengalaman hidup ini tidak lain seputar
kesedihan, kegembiraan, dll., orang-orang Manggarai.
Hemat kelompok, nenggo bisa menjadi salah satu kemungkinan inkulturasi antara
budaya dan Gereja. Nenggo, dilihat dari penjelasan sebelumnya, sangat adaptif dan adaptabel.
Hal ini lantaran nenggo dibawakan atau dinyanyikan dalam berbagai situasi. Oleh karena itu,
kemungkinan nenggo dibawakan sebagai bagian dari liturgi Gereja Katolik Manggarai adalah
sangat besar. Seperti halnya Dere Serani, nenggo, yang adalah elemen lokal-tradisional, bisa
dijadikan sebagai tambaha/pelengkap dalam perayaan liturgi atau dalam doa-doa bersama
lainnya dalam masyarakat Manggarai. Lebih lanjut, seperti telah disebutkan sebelumnya,
nenggo adalah hasil refleksi orang Manggarai atas kehidupan mereka. Sebagai hasil refleksi,
nenggo, sehubungan dengan kemungkinan inkulturasi, bisa dibawakan sebagai ‘pengantar’
persembahan pada saat liturgi persembahan dalam misa kudus, atau dibawakan pada saat-saat
tertentu sesuai dengan konteks nenggo. Contoh nenggo di bawah ini kiranya mempertegas
apa yang disampaikan kelompok.

"‌Lino Senggo oh Lino Senggo, ramen lejong o ae.


Oh ia cap le a  kap le a , le ca meter o ae"

Secara sederhana, lirik nenggo ini menceritakan kehidupan manusia yang sementara.
Dunia adalah tempat singgah manusia (lino senggo oh lino senggo). Karena kesementaraan
ini, manusia dituntut untuk hidup lebih baik. Hidup baik yang dimaksud di sini merujuk pada
relasi di antara manusia itu sendiri, dengan alam, dan, kalau dimasukkan dalam tataran
teologis, dengan Tuhan. Banyak masalah muncul dalam kehidupan manusia, entah masalah
yang ditimbulkan oleh diri sendiri, maupun masallah yang muncul dari luar. Dalam tataran
simbolis serentak teologis, lirik ini menjadi salah satu lirik yang bisa dibawakan oleh
masyarakat Manggarai sebagai bentuk refleksi atas kesalahan manusia dan harapan akan
kebaikan atau keselamatan yang datang. Lantas, lirik dalam nenggo bisa dibawakan atau
dinyanyiakan saat pengakuan dosa dalam liturgi ekaristi atau dalam upacara-upacara religius
lainnya sebagai bentuk penyesalan manusia (Manggarai) atas dosa dan kesalahan mereka.

4. PENUTUP
Inkulturasi menjadi salah satu komponen penting dalam menyatukan Gereja, budaya,
dan masyarakat dalam budaya bersangkutan. Inkulturasi menjadi penentu perkembangan
penyebaran ajaran Gereja Katolik dan perkembangan iman masyarakat sendiri, tanpa
menafikan budaya yang ada. Dere Serani menjadi indikator paling kentara dalam inkulturasi
Gereja dan budaya Manggarai. Dere Serani dalam perayaan-perayaan liturgi atau dalam
upacara-upacara keagamaan lainnya mempengaruhi keterlibatan umat, dan pada gilirannya,
berpengaruh pada eksistensi Gereja Katolik di Manggarai. Dere Serani memberikan warna
tersendiri dalam perayaan liturgi umat katolik Manggarai. Dengan dere serani umat menjadi
tidak asing lagi dengan perayaan liturgi. Ke-Manggarai-an dalam perayaan ini berpengaruh
baik terhadap kuantitas dan kualitas partisipasi umat dalam mengikuti perayaan liturgi.

Anda mungkin juga menyukai