Anda di halaman 1dari 31

KAJIAN TENTANG KESENIAN ANGKLUNG DAN

PEMANFAATANNYA SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN


EKSTRAKULIKULER DI SMK PLUS AL-FARHAN

MAKALAH

Dosen : Prof. Dr. H. Yus Rusyana dan Aan Hasanah, M.Pd

Oleh :

HELMINA
88101141012

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (S-2)


PASCASARJANA UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR
2015

1
PRAKATA

Puji dan syukur penyusun panjatkan ke Hadirat Illahi Robbi yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Kajian Tentang Kesenian Angklung dan
Pemanfaatannya Sebagai Model Pembelajaran Ekstrakulikuler di SMK Plus Al-
Farhan”. Solawat beserta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya serta para sahabatnya.

Angklung merupakan instrument tradisional Sunda yang terbuat dari


bambu. Masyarakat Sunda menilai bahwa bunyi yang dikeluarkan oleh angklung
adalah suatu bunyi yang indah. Bunyi yang dihasilkan dari angklung ini
dipandang dapat lebih mengekspresikan gagasan masyarakat Sunda untuk
berinteraksi dengan lingkungannya.

SMK Plus Al-Farhan merupakan sekolah yang terletak di bawah kaki


gunung Gede. Letak geografis inilah yang menjadi salah satu alasan SMK ini
untuk mengembangkan kesenian yang berasal dari alam. Angklung merupakan
kesenian yang berasal dari alam. Melalui kesenian angklung inilah parasiswa
belajar melestarikan warisan budaya bangsa.

Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari


sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan yang penulis
miliki. Untuk itu, Penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, Penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Sukabumi, Januari 2015

Penulis,

i
DAFTAR ISI

PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Pembuatan Makalah 3
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 3
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Sejarah Lahirnya Angklung 5
B. Jenis – jenis Angklung 7
C. Teknik Permainan Angklung 15
D. Berlatih Angklung 16
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 18
B. Langkah-langkah Pelaksanaan Penelitian Deskriptif 18
BAB IV ANALISIS DATA
A. Hasil Wawancara 20
B. Hasil Observasi 21
BAB V GAGASAN KREATIF 23
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan 26
B. Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang di masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari
bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan sehingga menghasilkan bunyi
yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran,
baik besar maupun kecil. Angklung merupakan warisan budaya yang harus
dilestarikan.
Angklung merupakan salah satu budaya Jawa Barat yang menjadi
khasanah Bangsa. Kebanyakan orang mungkin menilai bahwa angklung
hanyalah simbol budaya orang Sunda. Padahal kenyataannya, angklung bisa
menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia untuk disejajarkan dengan budaya dari
bangsa lain. Angklung sebagai alat musik tradisional Sunda, saat ini sudah
mulai dikenal hingga mancanegara. Hal ini tidak lepas dari peranan pihak-
pihak yang sangat gencar untuk mempromosikan dan melestarikan salah satu
kekayaan budaya Indonesia ini.
Indonesia memiliki kebudayaan beragam yang tersebar hampir diseluruh
penjuru negara. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat yang bijak dapat melestarikan kebudayaan
negara sebagai bagian dari identitas. Terlebih mempertahankan budaya
tradisional ditengah arus globalisasi yang melanda disegala aspek kehidupan.
Angklung sebagai seni musik Jawa Barat berkembang, sebagaimana
cirikhas budaya yakni bersifat dinamis. Era globalisasi dimana aliran musik
dan berbagai macam alat musik asing masuk di Indonesia pada akhirnya turut
mewarnai perkembangan musik angklung.
Menurut Herdi dalam blognya angklung adalah sebuah alat kesenian yang
terbuat dari bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar
tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan
kesenian lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang
ditimbulkannya sangat merdu dan juga memiliki kandungan lokal dan
internasional seperti bunyi yang bertangga nada do re mi fa so la si do dan da

1
mi na ti la da, maka angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan
lokal tapi juga dipertunjukan regional, nasional dan internasional. Bahkan
menurut Herdi dalam blognya pertunjukan angklung pernah digelar dihadapan
Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka
Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan
sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti;
piano, organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung
juga bisa digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai
asesoris lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh
Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat
pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut ‘Saung
angklung Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah
satu program yang ia lakukan dalam mempertahankan kesenian angklung
adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK,
sampai dengan tingkat SMK dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum
pada pada mata pelajaran lokal.
SMK Plus Al-Farhan merupakan sekolah berbasis pesantren yang terletak
di jalan Cisarua Km.03 Desa Citamiang Kecamatan Kadudampit. Sekolah ini
merupakan sekolah menengah kejuruan yang memiliki visi “Mewujudkan
Sumber Daya Manusia yang berakhlakulkarimah, mandiri dan professional.”
Melalui visi ini SMK Plus Al-Farhan berusaha untuk mencapai standar mutu
pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara nasional, diantaranya;
1) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan
perkembangan remaja, 2) Mengembangkan diri secara optimal dengan
memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya, 3)
Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya, 4) Mengapresiasi
karya seni dan budaya. 5) Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun
kelompok.
Ekstrakulikuler merupakan salah satu kegiatan yang dapat mencapai
standar mutu pendidikan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka

2
mengembangkan diri, mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya,
mengapresiasi karya seni dan budaya dan mampu menghasilkan karya kreatif.
Kegiatan ekstrakulikuler yang ada di SMK Plus Al-Farhan diantaranya,
kesenian angklung. Kesenian angklung merupakan kegiatan ekstrakulikuler
yang paling diminati siswa.
Kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan merupakan salah satu bentuk
mempertahankan warisan budaya yang menjadi cirri khas bangsa terutama
masyarakat Sunda. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mengkaji
kesenian angklung yang ada di SMK tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian focus diatas dapat dirumuskan masalah penelitiannya sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah lahirnya kesenian angklung di Jawa Barat?
2. Bagaimana SMK Plus Al-Farhan menilai kesenian angklung sebagai
warisan budaya yang harus dilestarikan?
3. Bagaimana perkembangan kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan angklung di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui sudut pandang SMK Plus Al-Farhan dalam menilai
kesenian angklung sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan.
3. Untuk mengetahui perkembangan kesenian angklung di SMK Plus Al-
Farhan.
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pada dasarnya setiap penelitian menggunakan metode-metode sebagai
rancangan penelitiannya. Metode penelitian merupakan rangkaian cara atau
kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar,
pandangan-pandangan filosofis dan ideologis, pertanyaan dan isu-isu yang
dihadapi. (Nana Syaodih Sukmadinata : 2008)
Suatu metode penelitian memiliki rancangan penelitian tertentu.
Rancangan ini menggambarkan prosedur atau langkah-langkah yang harus
ditempuh, waktu penelitian, sumber data, kondisi data dikumpulkan, dan cara
menghimpun dan mengolah data.

3
Rancangan penelitian yang disusun bertujuan untuk dapat memberikan
jawaban yang teliti terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.
a. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptf, yaitu
penelitian yang diarahkan untuk mengangkat fakta, keadaan, variable dan
fenomena-fenomena yang terjadi saat sekarang dan menyajikannya apa
adanya.
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa cara, yaitu:
1. Studi Kepustakaan
Teknik ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis tentang
masalah yang diteliti, yakni menyelidiki literatur dan bahan tulis
lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara
Yaitu mengadakan tanya jawab dengan Kepala Sekolah dan Pembina
ekstrakulikuler kesenian angklung.

4
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Sejarah Lahirnya Angklung


Angklung adalah alat musik terbuat dari dua tabung bambu yang
ditancapkan pada sebuah bingkai yang juga terbuat dari bambu. Tabung-
tabung tersebut diasah sedemikian rupa sehingga menghasilkan nada yang
beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut kemudian ditala mengikuti
tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah dari bingkai ini
dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain menggoyangkan
angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Hal ini akan
menghasilkan suatu nada yang berulang. Dengan demikian, dibutuhkan
sebanyak tiga atau lebih pemain angklung dalam satu ensembel, untuk
menghasilkan melodi yang lengkap. Angklung telah populer di seluruh Asia
Tenggara, namun sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah dimainkan
oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu.
Menurut Bonaditya dalam blog Wikipedia Bahasa Indonesia mengatakan
bahwa kata “angklung” berasal dari dua kata “angka” dan “lung”. Angka
berarti “nada”, dan lung berarti “putus” atau “hilang”. Angklung dengan
demikian berarti “nada yang terputus”.
Pada perioda Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang
peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung dimainkan
untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan, dengan harapan agar negeri
dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di kemudian hari, menurut Kidung
Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda untuk penyemangat
dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada sampai kini ialah Angklung Gubrag.
Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Pada saat ini,
beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri
Baduga, Bandung.

5
Seiring berjalannya waktu, angklung telah menarik banyak perhatian di
dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung,
menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih
menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu,
angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan bahkan dapat
pula dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam orkestra. Salah
satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat terkenal ialah pada
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo Ngalagena, seorang
murid dari Daeng Soetigna, kemudian membuka “Saung Angklung” (Rumah
Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan angklung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menyatakan angklung
sebagai alat musik Nasional melalui Surat Keputusan No.182/1967 pada
tanggal 23 Agustus 1968. UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya
Budaya Takbenda dan Warisan Budaya Dunia pada tanggal 18 November
2010. Di samping itu, UNESCO menyarankan dengan sangat kepada
Indonesia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan karya dan warisan
budayanya. (Waidkha Yulianti : 2010)
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk
primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris
dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini
melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang
Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang
dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung
sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung
gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari
400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung

6
diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar
tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah
bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras)
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap
ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan,
itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[butuh
rujukan]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai
dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen
dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada
penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi
sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di
sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta
Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah
misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena, seorang tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro,
dan madenda, mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada
banyak orang dari berbagai komunitas.
B. Jenis – jenis Angklung

7
Ada beberapa jenis angklung yang ada di daerah Jawa Barat, diantarnya
sebagai berikut:
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang
Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh
angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada
yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski
demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai
aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah
itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan,
dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup
angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung,
yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan
dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di
pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan,
Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula,
Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak
Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo,
Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,
Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak
delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi
berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang
lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah
baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini
berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat
dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan

8
hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,
ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-
nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk.
Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-
kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan;
kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk.
Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit
dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung
di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana
Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga
kampung tersebut.
2. Angklung Reyog
Angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi tarian reyog
ponorogo di jawa timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara
yang sangat keras, memiliki dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan
yang menarik (tidak seperti angklung umumnya ang berbentuk kubus)
dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan
angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin ketika
melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh
kerajaan bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali pemegang
angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut
lenggang hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan
klung-kluk bila didengar akan merasakan getaran spiritual.

9
Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok
Singo Kobra (1982), Tendangan Dari Langit (2011) dan penggunaan
angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa, kuto
reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau ponorogoan.
3. Angklung Banyuwangi
Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada
budaya banyuwangi.
4. Angklung Bali
Angklung Bali memiliki bentuk dan nada yang khas Bali.
5. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar
Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya
dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat
mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat.
Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh)
tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan
karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat
lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan
prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka
akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian
yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami
perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan
dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah
angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang
terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok.

10
Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah
enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung,
Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-
aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung
cenderung tetap.
6. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg,
Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati
dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare
(mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa
kampung Cipining mengalami musim paceklik.
7. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal
dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di
Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai
hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah
digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-
acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni
untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di
daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding,
Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah
pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah
satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian
badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung
roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung
anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa
Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta

11
menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-
lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan
senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike,
Lilimbungan, Solaloh.
8. Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya
terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan
pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada
masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang
mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun
1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam
penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan
hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit;
lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-
mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di
lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan
untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang
terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks
tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan
buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung
indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit,
panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah
dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro
dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis
di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-
ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula

12
lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain
angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas,
adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud
(Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung
Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor
(Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung
Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada
diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia
ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang
bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908
—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga
dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya
kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra
besar.
9. Angklung Padaeng
Untuk keterangan lebih detail mengenai angklung ini, silakan kunjungi
artikel Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng
Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng
adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik
barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu
internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik
internasional lainnya.
10. Angklung Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya
memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit
kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do
Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah
hingga Mi Tinggi).
11. Angklung Toel

13
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008.
Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung
dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya,
seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan
bergetar beberapa saat karena adanya karet.
12. Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus
diciptakan untuk keperluan robot angklung. [2] Sesuai namanya, satu
angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama,
sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan
angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot
dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan
untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
13. Ensemble angklung
Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat
musik lain membentuk ensembel. Beberapa ensembel angklung yang
sudah mapan adalah:
14. Klasik Padaeng
Ensemble angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng Soetigna
terdiri atas: a) Angklung melodi, b) Angklung akompanimen, c) Bas betot,
kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat
konser maupun lomba paduan angklung.
15. Angklung solo
Angklung solo adalah konfigurasi dimana satu unit angklung
melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang
saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran
gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas
berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun
1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang
menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969,
nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba.
16. Arumba

14
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang
minimal terdiri atas: 1) Satu unit angklung melodi, digantung sehingga
bisa dimainkan oleh satu orang; 2) Satu unit bass lodong, juga dijejer agar
bisa dimainkan satu orang
17. Gambang bambu melodi
Gambang bambu akompanimen
18. Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad
Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup "Arumba
Cirebon".
C. Teknik Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang
rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung
tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan)
menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar
menggoyang angklung.
1. Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan
kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-
kali selama nada ingin dimainkan.’’
2. Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat
oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali
saja (stacato).
3. Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak
ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung
mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti
biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini
digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak
ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan
suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang
konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung
dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan

15
partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan.
Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus
memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang
diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus
memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya
boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.
D. Berlatih Angklung
Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai
dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup
panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum
maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
1. Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan
angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang
rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini
kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki
beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas
yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
2. Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa
diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan
keseimbangan intonasinya.
3. Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada
pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si
pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat
bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
4. Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan,
lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok
bersama-sama.
5. Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana
bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini
dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua
nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.

16
6. Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not
lagu dan bagian permainannya.
7. Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa
mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan,
dinamika, maupun penjiwaan.
4. Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi
agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku
terus menerus.
5. Angklung interaktif
Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor
mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung
beramai-ramai. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara
ramah tamah. Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang
sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin,
biasanya dengan cara:1) Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan
lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta memainkan angklung
yang tepat dengan menunjuk nada pada layar. 2) Konduktor mengajarkan
isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian
memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara
berurutan untuk diikuti para peserta. Isyarat tangan ini diadaptasi oleh
Mang Udjo, berdasar isyarat yang dikembangkan oleh John Curwen.

17
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu pencarian (inquiry),


menghimpun data, mengadakan pengukuran, analisis, sintesis,
membandingkan, mencari hubungan, menafsirkan hal-hal yang bersifat teka-
teki. Banyak jenis pencarian yang dapat dilakukan. Nana Saodih Sukmadinata
dalam bukunya ‘Metode Penelitian Pendidikan’ (2008 : 52) membagi
penelitian berdasarkan pendekatannya, yaitu dibedakan antara pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan sifatnya dibedakan antara penelitian
dasar, terapan, dan evaluative. Sedangkan berdasarkan fungsinya dibedakan
antara penelitian deskriptif, prediktif, improftif dan prediktif.

Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan


metode penelitian deskriptif. Menurut Sujana dan Sudrajat dalam bukunya
“Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah” (89) menyatakan bahwa penelitian
deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta,
keadaan, variable, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan
menyajikannya apa adanya. Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan
pengontrolan keadaan saat penelitian berlangsung, seperti pemberian
treatment, dan kontrol terhadap variabel luar.

B. Langkah-langkah Pelaksanaan Penelitian Deskriptif


Penelitian deskriptif memiliki langkah-langkah tertentu dalam pelaksanaan
yang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya. Langkah-langkah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang jawabannya harus dicari peneliti di lapangan. Seperti yang
sudah dikemukakan diawal permasalahan yang akan diteliti adalah ; 1)
Bagaimana sejarah lahirnya kesenian angklung di Jawa Barat?, 2)
Bagaimana SMK Plus Al-Farhan menilai kesenian angklung sebagai

18
warisan budaya yang harus dilestarikan?, 3) Bagaimana perkembangan
kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan?
a. Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian merupakan proses diperolehnya data
dari sumber data, sedangkan sumber data adalah subjek dari penelitian
yang dimaksud. Cara pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
wawancara terhadap Kepala SMK Plus Al-Farhan dan Pembina
ekstrakulikuler kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan Kadudampit.
Selain wawancara teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan cara
observasi, disini penulis langsung mengamati kegiatan para siswa dalam
berlatih angklung. Dari pengumpulan data tersebut, kemudian akan
dianalisis dengan menggunakan logika.

19
BAB IV

ANALISIS DATA

A. Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan pemerolehan informasi. Pada penelitian
ini, penulis melakukan wawancara terhadap Pembina ekstrakulikuler kesenian
angklung di SMK Plus Al-Farhan yaitu bapak Farhan dan ibu Lutfi. Berikut
hasil wawancara yang telah diolah berdasarkan logika.
Dari hasil wawancara diperoleh data sebagai berikut:
1. SMK Plus Al-Farhan merupakan sekolah yang terletak dibawah kaki
gunung Gede, dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian bertani,
berkebun dan membuat anyaman dari bambu. Melihat kondisi geografis
tersebut, maka SMK Plus Al- Farhan mengembangkan kesenian yang
berasal dari alam. Angklung merupakan alat musik yang berasal dari alam,
karena terbuat dari bambu. Bunyi instrument yang terbuat dari bambu
seringkali dipandang menghasilkan bunyi yang indah. Penilaian indah
terhadap bunyi yang dihasilkan oleh angklung tersebut tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Sunda. Melodi
yang dihasilkan dari tiap bilahan bambu tersebut membuat tertarik Pembina
ekstrakulikuler kesenian untuk lebih mengkaji dan mengembangkan
kesenian angklung sebagai ekstrakulikuler di sekolah tersebut.
2. Seperti yang dilansir di harian Kompas (Kamis, 18 November 2010)
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang ditemui secara
terpisah mengatakan, UNESCO menetapkan Angklung sebagai warisan
budaya takbenda dunia antara lain karena, angklung merupakan seni musik
yang mengandung nilai-nilai dasar kerjasama, saling menghormati dan
keharmonisan sosial, yang merupakan bagian utama identitas budaya
masyarakat di Jawa Barat dan Banten. Maka SMK Plus Al-Farhan menilai
bahwa kesenian angklung ini harus dilestarikan dengan cara
memperkenalkan kepada anak didik salah satu warisan budaya yang
menjadi ciri khas dan kebanggaan bangsa. Kesenian angklung menjadi
salah satu kegiatan ekstrakulikuler, dengan harapan siswa dapat berlatih
dan lebih mendalami musik tradisional dan tidak akan pernah melupakan

20
warisan budaya ini sehingga mereka mampu mengkreasikannya dengan
musik lain, seperti gitar, piano, dan drum.
3. Perkembangan kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan mengalami
kemajuan yang signifikan. Ini terbukti dari jadwal kegiatan ekstrakulikuler
kesenian angklung yang masih sangat diminati para siswanya. Mereka
senang berkreasi dalam memadukan seni angklung baik dengan menggubah
aransement lagu ataupun memadukannya dengan alat musik lain. Kreasi
kesenian angklung mereka tampilkan diajang kreatifitas siswa yang rutin
diadakan setiap tahun dalam acara Peristiwa (Pekan Kreatifitas Siswa).
Ajang ini dimaksudkan untuk menggali potensi anak didik, baik dari segi
keilmuan maupun dari kesenian.
B. Hasil Observasi
Observasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasi langsung
atau pengamatan langsung, cara ini dilakukan untuk mengumpulkan data
berdasarkan pengamatan yang menggunakan mata atau telinga secara
langsung tanpa melihat alat bantu yang terstandar. Hasil dari penelitian
melalui pengamatan ini adalah sebagai berikut:
1. Siswa SMK Plus Al-Farhan mengembangkan kesenian angklung sebagai
ekstrakulikuler, ini terlihat dari kegiatan mereka yang setiap hari sabtu
melakukan latihan music angklung.
2. Music angklung yang terdengar merdu saat mereka latihan memainkan alat
music bamboo itu. Lagu yang mereka bawakan ketika penulis mendatangi
tempat latihan adalah lagu “Cicak-cicak di dinding yang diaransemen oleh
Kang Asep. Berikut lagu cicak di dinding dalam notasi doremi:
$ Lagu cicak dalam notasi doremi
$ Informasi umum
T: Cicak di Dinding
C: A.T. Machmud
E: Krisna Diastama
M: 2/4
Q: 100
K: C

21
$ Mulai bagian lagu
V: | 5 3 | 5 3 | 3 4 | 5 . |
W: ci-cak ci-cak di din-ding

V: | 4 2 | 4 6 | 5 4 | 3 . |
W: di-am di-am me-ra-yap

V: | 6 4 | 6 4 | 6 7 | 1' . |
W: da-tang se-e-kor nya-muk

V: | 1'-^ 0- 0 |
W: hap

V: | 3 5 | 4 2 | 1 . |
W: la-lu di-tang-kap

22
BAB V

GAGASAN KREATIF

Dokumen gambar Radar Sukabumi

Musik merupakan bunyi yang disukai manusia, hampir dalam kehidupan


tidak terlepas dari musik. Musik adalah bunyi yang terdiri dari ritmik dan melodi
yang teratur sehingga menghasilkan nada yang enak didengar. Kesenian angklung
dapat dimainkan dalam warna dan genre apa pun, musik angklung tetap memukau
dan memesona. Penampilan angklung tradisional oleh siswa SMK Plus Al-Farhan
di ajang kreatifitas siswa tahun lalu, (Minggu, 25 Mei 2014), mencermainkan
kekayaan budaya Indonesia tersebut.

Pekan kreatifitas siswa menyuguhkan musik angklung yang begitu kaya,


unik dan langka. Kesenian angklung ditampilkan pada acara tersebut, tiga lagu
nusantara dimainkan dengan apik dan memukau. Ketika musik angklung
dimainkan oleh kelompok siswa yang lain dengan kolaborasi alat musik lain,
seperti gitar dengan genre yang variatif. Ini menandakan kesenian angklung dapat
dikolaborasikan dengan jenis alat musik lain. Penonton dan peserta pekan
kreatifitas siswa dibuat terpesona dengan alunan musik angklung tersebut.

Tidak hanya pertunjukkan musik angklung yang menarik, pameran lukisan


karya siswa pun tak kalah menariknya. Pameran merupakan upaya untuk
memperkenalkan khasanah budaya Angklung, sekaligus untuk membuka
cakrawala mengenai sejarah, perkembangan, dan fungsi angklung tidak hanya
bagi masyarakat Sunda, tetapi juga dunia.

23
Angklung merupakan salah satu budaya Jawa Barat yang menjadi
khasanah Bangsa. Kebanyakan orang mungkin menilai bahwa angklung hanyalah
simbol budaya orang Sunda. Padahal kenyataannya, angklung bisa menjadi
kebanggaan Bangsa Indonesia untuk disejajarkan dengan budaya dari bangsa lain.
Angklung sebagai alat musik tradisional Sunda, saat ini sudah mulai dikenal
hingga mancanegara. Hal ini tidak lepas dari peranan pihak-pihak yang sangat
gencar untuk mempromosikan dan melestarikan salah satu kekayaan budaya
Indonesia ini.

Era globalisasi dalam bidang kebudayaan khususnya seni musik ditandai


dengan masuknya berbagai aliran musik berikut masuknya berbagai macam alat
musik dari luar di Indonesia. Aliran musik jazz, pop, berikut alat musik seperti
gitar, drum semakin dekat dengan masyarakat Indonesia. Namun demikian dengan
sedikit eksplorasi, kesenian angklung dapat bertahan. Bahkan musik angklung
berkembang menjadi musik kolaborasi yang modern tanpa menghilangkan alat
musik angklung sebagai aspek utama.

Ditengah arus globalisasi ini, kampanye pengenalan dan pelestarian


angklung yang dikemas secara modern dalam bentuk konser dan sejenisnya.
Angklung tidak hanya membawakan lagu-lagu tradisional, lagu-lagu perjuangan,
ataupun lagu-lagu yang terkenal di Indonesia, melainkan juga membawakan lagu-
lagu yang berasal dari luar Indonesia. Disini berhasil dibuktikan bahwa angklung,
sebagai seni budaya tradisional Indonesia tidak hanya mampu mengiringi lagu-
lagu yang bersifatnya tradisional, namun dengan sedikit eksplorasi, angklung bisa
juga digunakan untuk mengiringi lagu-lagu modern seperti saat sekarang ini.

Kolaborasi seni musik angklung dengan musik jazz sebagaimana yang


dilakukan oleh Angklung Jazz Ensemble menjadi bukti bahwa angklung alat
musik angklung sebagai instrumen etnik dapat dikolaborasikan dengan warna dan
genre musik apa pun (Kompas, 10 Maret 2010). Konser sebagai salah satu bentuk
pengenalan dan pelestarian angklung baru-baru ini tdak hanya dilakukan didalam
negeri. Seperti yang ditulis Waidkha Yulianti dalam blognya Musik Angklung
menyatakan, Konser dengan tema "Angklung: The Musicals" yang
diselenggarakan oleh Keluarga Paduan Angklung SMAN 3 Bandung (KPA3)

24
dilaksanakan pada hari senin tanggal 17 Juli 2011 di Esplanade Concert Hall
Singapura.

Melihat perkembangan musik angklung yang sangat pesat, maka SMK


Plus Al-Farhan juga semakin gencar untuk memperkenalkan kesenian angklung
ini pada masyarakat di sekitar. Tidak hanya ketika acara pekan kreatifitas siswa
saja seni angklung ditampilkan namun ketika acara kenaikan kelas dan perpisahan
pun kesenian ini hadir sebagai pembuka acara.

Pembina ekstrakulikuler kesenian angklung (bapak Farhan dan bu Lutfi)


menyatakan bahwa hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kepada
masyarakat warisan budaya yang menjadi ciri dan kebanggaan bangsa ini.
Disamping itu, agar orang tua siswa merasa bangga putra dan puteri mereka dapat
mempersembahkan lagu-lagu masa kini dengan instrument musik angklung.

25
BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Kata Angklung berasal dari bahasa Sunda, yaitu “angkleung-


Angkeungan”, yang berarti gerakan pemain angklung yang menghasilkan
suara klung. Secara etimologis, angkulng berasal dari kata “angka”, yang
berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Angklung merupakan alat musik
yang terbuat dari ruas – ruas bambu, dimana cara memainkannya adalah
digoyangkan serta digetarkan oleh tangan.

Keberadaan angklung tidak dapat dipisahkan dari seni karawitan (seni


musik). Dalam mitosnya, angklung dulu digunakan sebagai bagian ritual yang
mengawali penanaman padi. Hal tersebut muncul ketika masyarakat Sunda
yang agraris dan memiliki sumber kehidupan dari padi (pare). Angklung
dimainkan untuk memikat Dewi Sri agar turun ke bumi dan dapat memberikan
kesuburan pada padi yang telah ditanami oleh rakyat tersebut. Dalam
perkembangannya saat ini, angklung tidak lagi berfungsi hanya sebagai sarana
upacara keagamaan, melainkan beralih menjadi alat pendidikan musik
nasional.

Angklung tetap bertahan dalam dinamisasi kebudayaan ditengah


perkembangan zaman. Hal ini tidak lepas dari peranan pihak-pihak yang
sangat gencar untuk mempromosikan dan melestarikan salah satu kekayaan
budaya Indonesia ini. Saung Angklung Mang Udjo Bandung sebagai sanggar
seni angklung, “Lentera Nusantara” yang berusaha membuat alat musik
angklung ke dalam produk game, dan juga SMK Plus Al-Farhan yang juga
merupakan sekolah yang memperkenalkan dan melestarikan kesenian
angklung lewat kegiatan ekstrakulikulernya.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menyatakan angklung


sebagai alat musik Nasional melalui Surat Keputusan No.182/1967 pada
tanggal 23 Agustus 1968. Pada tanggal 16 November 2010, angklung diakui

26
dunia sebagai seni musik Indonesia melalui pengesahan UNESCO dalam
sidang ke-5 di Nairobi, Kenya. Hal ini menjadi bukti bahwa angklung dalam
perkembangannya tidak hanya dikenal didalam negeri namun telah dikenal
oleh masyarakat internasional.

SMK Plus Al-Farhan menilai bahwa kesenian angklung ini harus


dilestarikan dengan cara memperkenalkan kepada anak didik salah satu
warisan budaya yang menjadi ciri khas dan kebanggaan bangsa. Kesenian
angklung menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler, dengan harapan siswa
dapat berlatih dan lebih mendalami musik tradisional dan tidak akan pernah
melupakan warisan budaya ini sehingga mereka mampu mengkreasikannya
dengan musik lain, seperti gitar, piano, dan drum.

Perkembangan kesenian angklung di SMK Plus Al-Farhan mengalami


kemajuan yang signifikan. Ini terbukti dari jadwal kegiatan ekstrakulikuler
kesenian angklung yang masih sangat diminati para siswanya. Mereka senang
berkreasi dalam memadukan seni angklung baik dengan menggubah
aransement lagu ataupun memadukannya dengan alat musik lain. Kreasi
kesenian angklung mereka tampilkan diajang kreatifitas siswa yang rutin
diadakan setiap tahun dalam acara Peristiwa (Pekan Kreatifitas Siswa). Ajang
ini dimaksudkan untuk menggali potensi anak didik, baik dari segi keilmuan
maupun dari kesenian.

B. Saran
Perkembangan seni musik Indonesia sangat pesat, banyaknya aliran musik
yang masuk ke Indonesia jangan sampai mengenyampingkan seni music
tradisional yang merupakan warisan budaya. Perlu adanya kerjasama dari
lembaga kesenian, pemerintah dan pihak sekolah untuk tetap bisa melestarikan
kesenian angklung ini. Besar harapan penulis, semoga kelestarian kesenian
angklung tetap bisa bertahan walaupun ditengah badai globalisasi musik.
Disamping itu, untuk meningkatkan kecintaan terhadap warisan budaya ini,
perlu adanya kompetisi antarpelajar dalam kesenian angklung yang
diselenggarakan oleh pihak pemerintah.

27
DAFTAR PUSTAKA

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya Offset

Subana dan Sudrajat. TT. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia

Bonaditya. http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung, diakses pada tanggal 10 Januari


2015, pukul 12.00 WIB

http://www.angklung-udjo.co.id/id, diakses pada tanggal 10 Januari 2015, pada


pukul 12.15 WIB
Waidkha Yulianti. http://www.musik-angklung,.htm, diakses pada tanggal 13
Januari 2015, pada pukul 06.00 WIB
http://angklungisindonesia.com/pengetahuan/membuat-angklung/, diakses pada
tanggal 13 Januari 2015, pada pukul 08.00 WIB
http://www.google.com/hari-cahyadi, diakses pada tanggal 13 Januari 2015, pada
pukul 20.00 WIB
Sofian Dwi, “Festival Jazz”, Kompas, edisi Rabu, 10 Maret 2010.

Yurnaldi, “Musik Angklung, Kolaborasi yang Memesona”, Kompas, edisi Kamis,


18 November 2010.

28

Anda mungkin juga menyukai