Full
Full
SKRIPSI
Oleh :
NIM : 051124019
iv
MOTTO
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
Penulis,
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Almatia Nuri Kristanti
Nomor Mahasiswa : 05 1124 019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
LAGU GREGORIAN :
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA
DALAM MUSIK LITURGI DI ZAMAN SEKARANG
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa
perlu meminta ijin ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 19 Oktober 2010
Yang menyatakan
vii
ABSTRAK
viii
ABSTRACT
ix
KATA PENGANTAR
Dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan segala puji, syukur dan
hormat yang tiada pernah terkira kepada Allah, Sang Maha Hidup karena segala
ZAMAN SEKARANG”
Segala tulisan dan kenangan yang terangkum dalam penulisan skripsi ini
diawali oleh kecintaan penulis terhadap dunia yang saat ini pula masih digeluti yakni
penyadaran khusus terhadap kecintaan akan Allah dan musik dalam Gereja. Banyak
sekali hal yang bertentangan dalam suatu kehidupan, seperti kehidupan penulis
dimana siang hari berperan sebagai mahasiswi kateketik (IPPAK) dan ketika sesudah
selesai kegiatan perkuliahan berubah arah menggeluti bidang tarik suara yang
didasari akan kecintaannya terhadap musik klasik dan musik gereja. Oleh karena
kecintaan terhadap kedua hal tersebut, maka penulis berusaha menjawab tantangan
yang muncul mengenai musik asli dalam gereja yang berpengaruh hingga sekarang
ini. Di lain sisi, skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
Lima tahun bisa dikatakan waktu yang panjang karena selama lima tahun dan
sebelas semester ini, penulis ditempa menjadi seseorang yang berani bersikap
x
terhadap perkembangan jaman terlebih di bidang keagamaan ini, banyak sekali ilmu
dan pelajaran yang diterima selama ini yang membangun karakter dalam diri penulis.
Namun waktu lima tahun juga merupakan waktu yang singkat untuk mempersiapkan
diri dalam menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Semua beban akan terasa
ringan ketika apa yang kita rasakan juga didukung dengan support dari berbagai
pihak. Kehidupan manusia bagai sebuah putaran roda, semua hal yang memiliki awal
pastilah akan memiliki sebuah titik akhir yang mempertemukan pada suatu awal yang
baru. Pada kesempatan yang indah ini, perkenankanlah penulis menghaturkan segala
ungkapan dan ucapan terima kasih dan syukur yang tiada terkira kepada :
1. Romo Karl Edmund Prier, SJ, Lic.Phil. selaku Dosen Pembimbing Utama yang
ajukan. Maaf juga Romo, karena selalu goyah dalam berpendirian memilih
bapak selama skripsi maupun selama proses studi ini. Banyak kenangan indah
yang tercipta yang tak akan pernah dilupakan karena memiliki seorang “bapak”.
3. Bapak P. Banyu Dewa H.S, S.Ag, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang
menyelesaikan skripsi ini. Canda tawa bersama menjadi sebuah kisah yang
xi
4. Segenap staf dosen, Staf Sekretariat, Perpustakaan, Bidang Keuangan, LPKP,
5. Romo Y.M Riawinarta, Pr. yang telah menjadi sumber segala uneg-uneg dan
keluh kesah yang dialami oleh penulis. Apa yang pernah penulis terima dan
kehidupan yang penulis jalani. Semua kenangan itu akan selalu ada dalam hati
penulis dan kita akan membukanya ketika kita bertemu kembali. Mari kita kejar
dan wujudkan semua mimpi dan cita cinta kita bersama hingga akhirnya semua
kepribadianku yang positif maupun yang negatif : Agustina Eri Susanti yang
Pinem yang selalu menyediakan tempat tidur terhangat dengan kasih dan
cintanya, Lucia Windu Andari yang selalu bisa menjadi seorang kakak,
Christina Desy Priandari yang cerewet tapi ternyata sangat perhatian, Henrika
Magdalena Mada Hede yang selalu bisa membuat penulis tertawa, terima kasih
xii
karena kalian semua perjalanan hidup ini menjadi sesuatu yang indah dan
bermakna.
8. Keluarga penulis yang sangat dicintai : Bapak FX. Hartana, Ibu MW.
kegiatan yang se’abrek’. “Pak, Buk terima kasih atas 22 tahun yang penuh
makna dalam setiap goresan kehidupan ini, buat adek yang selalu bisa membuat
marah dan selalu membuat tawa, ceria”. Terima kasih atas semua kasih dan
cintanya karena tidak ada satu katapun yang dapat mengungkapkan segala cinta
kalian terhadapku. Dan kalian akan selalu tetap menduduki ranking pertama di
9. Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Cantus Firmus yang telah menjadi rumah
kedua bagi penulis. Kalian adalah sumber inspirasi terbesar dan terbaik. Terima
kasih atas semua lagu yang pernah kita dendangkan bersama dan segala tarian,
kenangan yang pernah terukir dalam hati. Terima kasih karena di sini aku bisa
10. Kepada seorang pelatih, kakak, ‘bapak’ yang selalu memberi motivasi penulis
dalam menjalani kehidupan ini. Mas Panca Sona Adji “Maz Mbonx” yang
selalu ada ketika semua masalah menghampiri. Terima kasih atas segala solusi,
masukan dan kasihnya yang pernah penulis alami. Ini semua karena cinta.
11. Eberhard Yulian Finza Ardhitya, terima kasih sudah memberi warna-warni
dalam setiap nafas. Maaf kalau selama ini terlalu banyak yang aku minta.
Terima kasih sudah menjadi ‘kakak’ yang selalu setia mendengarkan ceritaku.
xiii
12. Sahabat-sahabat yang terus mendukung aku secara moril maupun materiil:
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini telah
menjadi bagian terindah dalam setiap jengkal kehidupan penulis dan yang selalu
Pada akhirnya, penulis sungguh menyadari bahwa segala yang ada memiliki
yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca guna kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini
dapat menjadi sebuah masukan, inspirasi dan manfaat bagi semua yang
berkepentingan.
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................. iv
MOTTO ................................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................. vi
LEMBAR PUBLIKASI.... ...................................................................... vii
ABSTRAK............................................................................................. viii
ABSTRACT........................................................................................... ix
KATA PENGANTAR............................................................................ x
DAFTAR ISI.......................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xx
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ..................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................ 5
D. Metode Penulisan ............................................................ 6
E. Sistematika Penulisan ...................................................... 6
BAB II LAGU GREGORIAN DALAM KHASANAH MUSIK
LITURGI......................................................................... 8
A. Musik.............................................................................. 8
1. Pengertian Musik......................... ........................... 8
2. Musik sebagai Wujud Pengungkapan Ekspresi........ 10
a. Musik dari dalam Diri Manusia........................ 10
b. Musik dari Luar Diri Manusia.......................... 11
3. Unsur Dasar Musik ................................................. 13
a. Melodi ............................................................. 13
xv
b. Irama ............................................................... 15
c. Harmoni........................................................... 16
4. Jenis Musik............................................................. 17
a. Musik Vokal .................................................... 18
b. Musik Instrumental .......................................... 19
5. Fungsi Musik.......................................................... 20
a. Musik Sakral (Musica Sacra) ........................... 20
b. Musik Profan (Musica Profana)....................... 21
6. Efek Musik Secara Fisik dan Psikis ......................... 22
a. Musik Dapat Mempengaruhi Sistem Kerja Otak 23
b. Musik Mampu Mengubah Pola Ritmis Tubuh.. 24
c. Musik Mampu Mengubah Persepsi Simbolisme 26
d. Musik Mampu Mempengaruhi Emosi .............. 27
7. Peranan Musik Dalam Kehidupan ........................... 29
B. Musik Liturgi .................................................................. 31
1. Pengertian Musik Liturgi......................................... 31
2. Pandangan Dokumen Gereja mengenai
Musik Liturgi.......................................................... 31
3. Fungsi Musik Liturgi .............................................. 35
4. Bentuk – bentuk Musik dalam Liturgi ..................... 37
a. Proprium Missae.............................................. 38
b. Ordinarium Missae........................................... 38
c. Lagu Umat ....................................................... 39
d. Lagu Paduan Suara .......................................... 39
e. Lagu Ofisi........................................................ 40
f. Lagu untuk Masa Khusus
(Adven, Natal, Prapaska, Minggu Palma, dll)... 40
g. Musik Organ.................................................... 43
C. Substansi Lagu Gregorian................................................ 43
1. Tangganada – Modus Lagu Gregorian .................... 43
xvi
a. Tangga nada Doris dan Hypodoris ................... 46
b. Tangga nada Frigis dan Hypofrigis ................... 47
c. Tangga nada Lydis dan Hypolydis .................... 48
d. Tangga nada mixolydis dan Hypomixolydis...... 49
2. Irama Lagu Gregorian............................................. 51
a. Arsis – Tesis .................................................... 51
b. Pola Irama Lagu Gregorian .............................. 52
3. Syair dalam Lagu Gregorian.................................... 53
4. Notasi Lagu Gregorian............................................ 58
5. Gaya Nyanyian Lagu Gregorian............................... 65
a. Gaya silabis...................................................... 65
b. Gaya neumatis.................................................. 65
c. Gaya Melismatis............................................... 66
6. Bentuk Lagu Gregorian........................................... 66
a. Graduale Romanum ......................................... 67
b. Antifonale / Lagu-lagu Ofisi............................. 69
c. Lagu Khusus.................................................... 75
d. Perkembangan Baru Lagu Gregorian................ 76
BAB III SEJARAH PERKEMBANG DAN RELEVANSI
LAGU GREGORIAN DALAM
MUSIK LITURGI GEREJA............................................ 81
A. Sejarah Perkembangan Musik Pada Umumnya................. 81
1. Musik Dalam Gereja Awal...................................... 81
2. Perkembangan Awal Musik .................................... 84
3. Abad Pertengahan (Tahun 375 – 1450)................... 85
4. Zaman Renaissance (Tahun 1450 – 1600) .............. 90
a. Motet ............................................................... 92
b. Ordinarium Missae........................................... 93
c. Madrigal .......................................................... 93
5. Zaman Barok (Tahun 1600 – 1750)........................ 94
xvii
a. Opera............................................................... 95
b. Oratorio ........................................................... 96
c. Pasio ................................................................ 97
6. Zaman Klasik Wina (Tahun 1750 – 1800) .............. 98
a. Opera Klasik.................................................... 100
b. Musik Gereja ................................................... 100
7. Zaman Romantik (Tahun 1800 – 1900) .................. 101
8. Perkembangan Musik Abad 20 ............................... 103
a. Impresionisme / Simbolisme ............................ 103
b. Individualisme ................................................. 104
c. Ekspresionisme ................................................ 105
9. Pluriformitas Musik Abad 20.................................. 105
a. Pluriformitas Musik Profan.............................. 106
b. Pluriformitas Musik Dalam Gereja................... 109
B. Perkembangan Lagu Gregorian........................................ 113
1. Lagu Gregorian Pada Abad I – X............................ 113
2. Lagu Gregorian Setelah Abad X ............................. 116
3. Zaman Renaissance................................................. 117
4. Zaman Barok.......................................................... 119
a. Musik Gereja Katolik....................................... 119
b. Musik Gereja Protestan.................................... 120
c. Musik Gereja Anglikan – Inggris ...................... 120
5. Zaman Klasik.......................................................... 121
6. Lanjutan Tradisi Klasik (Wina)
Selama Masa Romantik / Abad 19 .......................... 122
a. Cecilianisme atau Restaurasi ............................ 122
b. Musik Devosional ............................................ 123
7. Lagu Gregorian Sebelum Konsili Vatikan II........... 123
8. Pembaharuan Musik Liturgi dalam
Konsili Vatikan II.................................................... 124
xviii
9. Lagu Gregorian di Indonesia................................... 125
10. Pandangan Dokumen Gereja mengenai Lagu
Gregorian................................................................ 127
C. Relevansi Lagu Gregorian................................................ 130
1. Membangkitkan pengalaman dan Pendalaman
Hidup Religius........................................................ 130
2. Mahakarya Musik Gereja – Simbol Kesatuan Gereja
Universal................................................................. 132
D. Usaha Dalam Memperkembangkan Lagu Gregorian
Bagian Dalam Musik Liturgi............................................ 133
1. Potensi Penggunaan Lagu Gregorian dalam
Musik Liturgi Jaman Sekarang................................ 133
2. Tantangan dalam Penggunaan Lagu Gregorian
Terhadap Perkembangan Musik Liturgi................... 135
3. Usaha Mengembangkan Lagu Gregorian Sebagai
Bagian Dalam Musik Liturgi ................................... 141
4. Usulan Guna Memperkembangkan Lagu Gregorian
Dalam Musik Liturgi............................................... 143
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................ 146
A. Kesimpulan ..................................................................... 146
B. Saran ............................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 150
LAMPIRAN ........................................................................................ 152
Lampiran 1 : Daftar Kerangka Wawancara .................................... (1)
Lampiran 2 : Hasil Wawancara ...................................................... (2)
Lampiran 3 : Surat Apostolik Sacramentum Caritatis.................... (9)
Lampiran 4 : Surat Apostolik tentang Summorum Pontificum ........ (11)
Lampiran 5 : Motu Proprio Summorum Pontificum ....................... (16)
xix
DAFTAR SINGKATAN
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
3. Singkatan Lain
Art. : artikel
MB : Madah Bakti
PS : Puji Syukur
SM : Sebelum Masehi
TV : Televisi
xxi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
manusia dimampukan untuk mampu menjalin relasi yang baik antar sesamanya,
kehidupan dan dunia yang baru. Bentuk kebudayaan yang sudah ada sejak jaman
dahulu hingga masa kini yang tetap dapat membentuk kepribadian manusia dan
sebagai sebuah bahasa universal yang mampu menyampaikan pesan baik secara
tersurat maupun secara tersirat bagi orang lain. Bahasa musik yang universal ini
seseorang. Di awal abad 21, musik muncul dalam berbagai bentuk dan karakter yang
pemenuhan kebutuhan manusia dalam hal hiburan. Munculnya berbagai bentuk dan
karakter musik ini ternyata diimbangi oleh munculnya sarana-sarana baru yang lebih
2
canggih dengan teknologi yang mutakhir untuk semakin mendekatkan para penikmat
musik dengan musik itu sendiri. Banyak sekali sarana baru yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan ini seperti adanya radio, televisi, MP3, MP4, hingga
internet.
Banyak sekali pilihan musik yang bisa dinikmati seperti lagu pop, reggae, jazz,
dangdut, rock, dll. Berbagai aliran musik ini memberikan banyak sekali tawaran
yang menarik yang mampu membentuk suatu pilihan dalam diri seseorang. Musik
yang semakin berkembang saat ini tidak lagi terpaku membahas suatu kejadian atau
peristiwa kehidupan, namun musik atau lagu jaman sekarang telah mampu melewati
batas usia, waktu, bahasa, dll. Lagu-lagu anak kecil sudah mulai surut digantikan
dengan musik kaum muda yang hingar bingar, sehingga anak-anak kecil lebih
mengenal lagu-lagu anak muda daripada lagu anak. Lagu-lagu yang keras seperti
lagu rock, lagu lembut nan tenang seperti instrumen mampu membentuk kepribadian
Musik ternyata tidak hanya dimiliki oleh kaum profan saja, namun bagi pihak
Gereja yang telah berkembang juga memiliki unsur musik yang cukup kuat hingga
sekarang ini. Banyak sekali perkembangan musik yang terjadi di dalam lingkup
Gereja. Musik Gereja yang asli semakin lama semakin terlupakan oleh kemajuan
jaman yang menghendaki adanya partisipasi dari umat. Salah satu musik asli dalam
Gereja yang abadi hingga saat ini adalah lagu Gregorian. Secara tidak langsung, lagu
Gregorian menjadi sebuah titik awal perkembangan musik terlebih dalam lingkup
3
Gereja. Lagu Gregorian memasuki kancah permusikan pada awal abad 6 – 13.
Gregorian memiliki banyak sekali unsur pendidikan, bukan hanya mengenai sejarah
yang cukup kuat namun terlebih karena lagu Gregorian menjadi dasar pengembangan
iman Kristiani secara liturgis. Namun selama kurang lebih 50 tahun ini, lagu
Gregorian gaungnya mulai surut. Banyak usaha yang mulai dilakukan oleh Gereja
guna menghidupkan kembali kekayaan Gereja yang menjadi satu simbol keagungan
Gereja. Lagu Gregorian mulai surut dan bahkan menjadi tersingkir bukan semata-
mata karena Lagu Gregorian memiliki tingkat musikalitas yang cukup tinggi
sehingga tidak semua orang dapat mengerti makna yang terkandung di dalamnya,
namun juga karena hasil konsili Vatikan II yang memperbolehkan masuknya budaya
setempat dalam praktek musik Liturgi Gereja. Asimilasi yang terjadi antara musik
Gereja dan budaya setempat ini menyebabkan tiap wilayah berusaha memasukkan
partisipasi umat. Partisipasi ini menuntut Gereja untuk menyatu dengan bahasa umat
setempat dan budaya musik setempat. Penyatuan ini menyebabkan Lagu Gregorian
yang menggunakan bahasa Latin kurang diminati karena umat tidak mengerti arti
dari nyanyian tersebut. Penggunaan bahasa latin dan tidak adanya birama dalam lagu
Gregorian makin mempersulit umat untuk bisa menangkap maksud lagu Gregorian
tersebut. Keadaan lagu Gregorian dalam konteks liturgis lebih dipersempit dengan
Gereja.
4
Gereja juga dirasakan semakin surut karena penggunaannya dalam liturgi semakin
dibatasi. Pengaruh dari pihak Gereja yang sudah sangat lama tidak memasukkan
Lagu Gregorian dalam musik liturgi juga menyebabkan para pemimpin Gereja
sendiri tidak bisa mendalami Lagu Gregorian maupun bahasa Latin yang merupakan
bahasa asli liturgi Gereja. Semakin surutnya Lagu Gregorian ternyata masih mampu
dimunculkan dalam beberapa kegiatan. Apabila dilihat dari pihak Gereja sendiri
Liturgi Zaman Sekarang” ditulis sebagai gagasan semakin surutnya Lagu Gregorian
sekarang. Oleh sebab itu, melalui sejarah, perkembangan Lagu Gregorian dalam
musik liturgi diharapkan ada suatu usaha nyata dalam menghidupkan kembali Lagu
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan
4. Relevansi apa yang muncul dari Lagu Gregorian dalam Musik Liturgi sekarang
ini?
C. Tujuan Penulisan
Liturgi.
ini.
6
D. Metode Penulisan
berdasarkan observasi serta studi kepustakaan atau literer yang berkaitan dengan
E. Sistematika Penulisan
BAB 1 : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas mengenai dasar pemahaman musik secara
Gregorian.
musik liturgi jaman sekarang dengan latar belakang sejarah musik Gereja,
positif Lagu Gregorian terhadap musik liturgi, dan juga usaha-usaha yang
BAB 4 : PENUTUP
BAB II
A. Musik
1. Pengertian Musik
Setiap orang mengenal musik, bahkan ada banyak sekali orang yang hidupnya
tergantung pada musik. Musik begitu dekat dengan kehidupan manusia. Musik
memberikan dampak yang secara langsung dapat dirasakan oleh manusia. Musik
mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan. Hiburan yang berasal dari musik
mengarah pada aspek perasaan dan pengaruh terhadap pikiran manusia. Musik yang
digunakan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan akan hiburan lebih mengarah pada
selera setiap individu terhadap jenis musik. Ada sebuah pepatah Jerman yang
menuliskan “katakan musik apa yang kau sukai, dan akan kukatakan kepadamu :
manusia seperti apakah dirimu”. Dalam pepatah ini mau menunjukkan bahwa musik
Musik mampu dirasakan dengan telinga dan hati. Musik merupakan bentuk kesenian
yang mampu dipahami oleh setiap manusia. Kata musik sendiri berasal dari bahasa
Yunani yakni Mousike Techne yang diartikan sebagai seni muse. Kata ini bermakna
sebagai suatu kegiatan yang membentuk perasaan dan hati. Dalam kehidupan bangsa
Yunani dikenal adanya Muse, muse adalah dewa-dewi bersaudara yang menguasai
mengadaptasi kata Muse menjadi suatu bentuk seni musik (Campbell, 2002:36).
Kata musik tidak dapat didefinisikan hanya dari suatu segi tertentu. Musik
bukanlah sebuah bentuk gagasan maupun hasil pemikiran. Musik merupakan seni
yang memiliki nilai estetika tersendiri. Nilai keindahan dalam musik ditunjukkan
secara lugas ketika musik itu dibunyikan dan diperdengarkan. Nilai keindahan musik
ditujukan kepada orang lain dan dirinya sendiri. Musik merupakan suatu perpaduan
dari bunyi akustis (bunyi yang bersifat riil/hanya bunyi) yang dialami dalam suatu
dimensi ruang dan waktu. Musik terjadi ketika berjalan sesuai dengan waktu. Musik
Musik merupakan bentuk bahasa universal yang dapat diterima dan dimengerti
oleh setiap orang dari segala lapisan masyarakat. Musik mengatasi perbedaan batas
usia manusia, jenis kelamin, ras. Irama dalam musik melampaui bahasa, suku,
negara, bahkan agama. Musik mampu dinikmati oleh semua manusia karena musik
Musik dibentuk dari berbagai nada, melodi, ritme dan akor yang harmonis yang
didukung oleh warna suara tertentu yang diterima oleh telinga. Telinga manusia
mudah menerima dan akan menikmati akor-akor tonika (do-mi-sol) sebagai bentuk
akor yang harmonis. Telinga manusia akan bereaksi terhadap suara-suara yang tidak
harmonis. Telinga manusia mampu menilai musik sebagai bunyi kualitatif yang
10
mengandung arti tertentu. Musik mampu memuat arti yang sangat luas. Makna yang
terkandung dalam musik merupakan makna yang tersirat bukan tersurat. Hal ini
dikarenakan makna dalam musik tidak sejelas ketika diungkapkan dengan lambang
Musik memiliki daya kekuatan yang sungguh luar biasa. Sejak awal kehidupan
manusia hingga sampai pada akhirnya, musik akan terus menerus berada di
sekeliling manusia (Martasudjita, 2007:10). Musik tidak akan muncul secara spontan
tanpa adanya sumber suara. Pada dasarnya musik berasal dari dalam diri manusia dan
Musik yang berasal dari dalam diri manusia merupakan suatu bentuk
kesan tersendiri yang muncul dari dalam diri manusia. Kesan ini muncul sebagai
suatu bentuk pengungkapan gagasan yang berasal dan berpangkal dari hati dan hasil
namun musik mampu melebihi batas komunikasi bahasa. Melalui bahasa, manusia
hendak mengkomunikasikan gagasan secara lugas dan hasil pemikiran yang rasional.
Bentuk musik yang paling mudah didengarkan dan paling sederhana yang
mengungkapkan isi hati manusia dibentuk melalui suara manusia itu sendiri. Ketika
merasa bahagia, suara manusia mampu memunculkan suatu harapan dan kasih. Suara
manusia yang muncul terdengar riang dan ringan. Berbeda halnya ketika seseorang
seperti ini, manusia akan memunculkan suara yang terasa berat dan dalam. Suara
yang muncul dari dalam diri manusia terkadang diikuti oleh gerakan badan baik
gerakan yang riang dan cepat ataupun gerakan yang bermakna dalam dan lambat.
Selain dari dalam diri manusia, musik juga ada yang berasal dari luar diri
manusia. Musik ini sering disebut dengan musik impresif. Musik impresif
dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar seperti irama gesekan daun, kicauan burung,
gemercik air, deru air. Musik seperti itu merupakan bentuk musik impresif yang
disadari oleh indra manusia. Contoh musik impresif yang muncul tanpa disadari oleh
irama siang malam, irama pergantian musim. Namun bentuk bunyi impresif yang
paling banyak diterima dan mempengaruhi manusia yakni musik instrumental. Musik
12
instrumental mencerminkan bentuk bunyi kosmis. Hal ini mengacu pada hubungan
antara sistem bunyi dan matematika. Salah seorang filsuf Yunani dan penemu rumus
matematika dasar yakni Phytagoras juga menemukan proporsi interval nada. Pada
seorang filsuf Yunani yang bernama Ptolomeus yang hidup pada tahun 100 – 160
musik merupakan suatu kemampuan untuk mengolah nada tinggi dan rendah yang
disesuaikan dengan panca indra dan akal budi (Prier, 2009b:123). Musik bukanlah
sebuah bentuk kenyataan. Nada-nada oktaf, kuint, dan terts merupakan nada-nada
Segala sesuatu akan terlihat indah apabila sesuai dengan proporsinya. Nada
merupakan salah satu bentuk proporsi matematis. Proporsi matematis yang jelas dan
sederhana terlihat dalam interval prim 1:1, oktaf 1:2, kuint 2:3. proporsi ini didapat
dikembangkan oleh Copernicus dan Galilei juga ditemukan secara raksasa dalam
Musik merupakan suatu proses peristiwa bunyi. Musik yang paling mudah
dikenali dan paling sederhana diawali oleh munculnya suara manusia. Suara manusia
dihasilkan dari adanya getaran pita suara pada tenggorokan. Getaran yang dihasilkan
oleh pita suara diresonansikan dalam rongga mulut. Sedangkan suara yang berasal
dari luar pribadi diterima oleh sistem pendengaran manusia yakni telinga sebagai
suatu bunyi (Harder,1979:1). Setiap bentuk bunyi yang muncul tidak begitu saja
disebut dengan musik. Pada dasarnya musik memiliki unsur pembentuknya yakni
a. Melodi
Melodi dipahami sebagai sebuah urutan nada dengan jarak tertentu dan membawa
utama dalam penentuan kualitas suatu karya musik. Karena dipandang dari segi
kualitas (Mack, 1994:7). Melodi berasal dari akar kata dalam bahasa Yunani Melos
yang bermakna arus. Dari akar kata inilah, melodi dalam musik dipahami sebagai
nada yang disusun sebagai suatu melodi memiliki ukuran jarak tertentu. Perbedaan
urutan nada didasarkan dari hasil perbandingan proporsi pada dawai gitar yang
dimunculkan oleh Phytagoras. Dalam pengenalan suatu melodi tertentu harus dilihat
14
ciri-ciri yang dimilikinya. Melodi memiliki bentuk nada yang jelas, memiliki suatu
ungkapan tertentu dan nada-nadanya mampu dinyanyikan dengan baik dan jelas.
1) Berdasarkan jumlah suara, melodi dibagi antara melodi yang terbentuk dari
satu suara (unisono) atau sering disebut dengan monodi (suara tunggal) dan melodi
yang dibentuk dalam suatu paduan suara atau polifoni. Melodi satu suara terdiri dari
nada tunggal, namun ada nada tunggal yang dapat membentuk akor-akor bayangan.
Musik seperti ini disebut dengan musik tonal. Musik tonal memiliki unsur-unsur
satu suara namun nada-nadanya jatuh pada nada-nada tonika. Bentuk melodi satu
suara secara sederhana nampak dalam bentuk lagu Gregorian. Musik seperti ini
disebut musik modal. Musik modal tidak tergantung pada tangga nada mayor
maupun minor. Musik modal memiliki kuncinya sendiri. Musik modal seperti lagu
Gregorian menggunakan modus atau tangga nada selain mayor dan minor, lagu Jawa
menggunakan nada pentatonis pelog, slendro. Sedangkan melodi dalam paduan suara
yang disertai suara-suara lain entah sebagai akor-akor (tonal) atau interval-interval
disonan.
melodi metris (Prier, 2009b:113). Melodi resitatif tidak memiliki hitungan yang tepat
15
Bentuk melodi resitatif dapat dikenal pada lagu Gregorian dan bentuk lagu yang
dimunculkan pada jaman Renaissance. Berbeda halnya dengan bentuk melodi metris
yang memiliki patokan tertentu dalam penentuan hitungan tertentu. Melodi metris
memiliki bentuk birama yang jelas. Bentuk musik dengan melodi terikat dapat
suasana yang hendak dibangun. Hingga pada akhirnya, nada-nada dalam melodi
b. Irama
Selain itu ada unsur lain yakni irama. Irama berkaitan erat dengan panjang
pendeknya nada dan tekanan bagi melodi (Prier, 2009:76). Irama merupakan salah
satu unsur pokok musik yang mampu menghidupkan suasana dalam pembentukan
lagu.
Irama berkaitan erat dengan kesan fungsional pada musik (Mack, 1994:7). Selain
itu kesan fungsional yang dihasilkan dari pembentukan irama mampu menunjukkan
kesan tertentu dari lagu tersebut. Irama yang menggunakan nada-nada panjang
memberi kesan kesedihan atau keputusasaan, sedangkan irama yang riang yang
Berdasarkan ahli sejarah dan para ethnomusikologi, ritme merupakan unsur dasar
Irama berbeda dengan tempo. Tempo berhubungan dengan jumlah ketukan atau
hitungan per menit dalam lagu tersebut dan berkaitan erat dengan pembentukan
birama dalam lagu. Tempo ada yang cepat dan ada yang lambat. Hingga pada abad
permenit. Alat ini disebut dengan Metronome yang ditemukan oleh Maelzel. Dengan
alat ini tempo dapat diperkirakan cepat lambatnya. Tempo yang paling cepat disebut
dengan Prestissimo (220-240 ketukan per menit) hingga yang paling lambat yakni
c. Harmoni
diartikan sebagai bentuk keselarasan. Sesuatu terlihat indah apabila ada keteraturan,
ada keselarasan antara yang satu dengan yang lain. Keharmonisan tidak hanya dalam
bidang musik dan seni rupa, tetapi juga dalam ilmu pasti perbintangan dan filsafat.
dengan angka dan harmoni di dalam musik maupun di dalam alam semesta” (Prier,
1991:30). Hal ini menunjukkan bahwa harmonisasi tidak hanya membentuk musik,
suasana vertikal, keselarasan antara suara yang satu dengan yang lain ataupun suara
1991:29). Selain harmonisasi musik dan alam, hidup manusia memiliki harmoninya
tersendiri. Harmoni dalam kehidupan manusia terlihat dalam keselarasan antara jiwa
dan badan. Harmoni kehidupan manusia sering disebut dengan Musica Humana atau
bunyi yang harmonis. Namun musik hidup dari bentuk yang harmonis dan
disharmonis. Musik yang disharmonis disebut juga sebagai suara disonan. Akor
disonan merupakan suatu kejanggalan dalam musik. Akor disonan yang memiliki
kejanggalan merupakan suatu bentuk variasi yang ingin diselaraskan dengan akor
(Prier, 2009b:123).
4. Jenis Musik
Musik memiliki suasana dan nuansa yang berbeda-beda. Musik telah menjadi
bagian yang integral dalam hidup segenap insan manusia. Karena adanya perbedaan
kebutuhan dan kepribadian seseorang dengan yang yang lain maka musik disajikan
pula dengan berbagai gaya yang mewujudkan kepribadian dan keinginan seseorang
18
akan musik. Musik memiliki banyak bentuk, hal ini mampu membedakan musik
a. Musik Vokal
Vokal identik dengan suara manusia. Musik vokal merupakan bentuk awal dalam
musik. Hal ini dikarenakan sumber bunyi berasal dari pita suara manusia yang
bergetar. Musik vokal dapat merupakan gabungan dari suara-suara manusia yang
memiliki intensitas dan warna suara yang berbeda-beda. Musik vokal yang
didasarkan pada suara manusia lebih banyak mendapatkan perhatian pokok dalam
tehnik bernyanyi. Musik vokal memiliki wilayah nada yang terbatas. Setiap pribadi
memiliki wilayah vokal tertentu. Musik vokal merupakan sumber melodi yang paling
asli dan murni bagi manusia. Namun tidak dapat diartikan bahwa setiap ucapan vokal
Musik vokal mulai dinotasikan dan muncul dalam bentuk tulisan diawali pada
masa lagu Gregorian. Jauh sebelum munculnya lagu Gregorian, musik vokal telah
muncul dalam setiap bentuk pujian dan madah syukur. Bentuk-bentuk musik vokal
dapat dilihat dalam Kitab Suci mulai Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Mulai
dari syukur umat Israel yang keluar dari Mesir (Kel 15:1-18), pujian ketika Yesus
Musik vokal lebih dikenal sebagai suatu bentuk musik satu suara. Musik vokal ini
mengalami masa keemasan di Eropa hingga abad 17. Setelah masa itu, musik
masuknya alat musik dalam vokal, musik vokal yang dikenal satu suara
b. Musik Instrumental
Musik instrumental di Eropa mulai berkembang pada abad 14, musik instrumental
muncul sebagai suatu bentuk saduran musik vokal yang dimainkan menggunakan
alat musik tradisonal seperti lute, alat musik gesek, tiup. Setelah abad ke 17, organ
mulai muncul dengan perpaduan akor harmonis. Musik instrumental pada awalnya
digunakan sebagai suatu pilihan ketika tidak adanya musik vokal. Di daerah Eropa,
waktu kosong dalam liturgi atau ibadat (Prier, 2009b:73). Salah satu musik
instrumental awal yang masih diakui oleh Gereja hingga saat ini adalah penggunaan
organ pipa. Musik instrumental menjadi sebuah pilihan guna mengiringi liturgi atau
ibadat. Musik Instrumental menjadi sebuah pilihan karena wilayah nada yang
dimiliki oleh musik instrumental jauh lebih luas daripada musik vokal. Namun
walaupun wilayah nada lebih luas, musik instrumental tetap memiliki batasan
nadanya. Perubahan nada dan pola ritme dalam musik instrumental dapat lebih rumit
20
dan lebih bervariasi. Meskipun ada perbedaan antara musik vokal dan musik
instrumental namun antara musik instrumental dan musik vokal masih saling
mempengaruhi.
symphony, dan sonata. Jauh sebelum perkembangan musik di daerah Eropa, daerah
lain seperti Asia dan peradaban-peradaban lama telah memiliki bentuk kebudayaan
musik yang lebih berkembang. Di daerah India telah digabungkan alat musik tertentu
sehingga menimbulkan melodi-melodi indah dari alat musik Vina (Prier, 1991:66).
Di daerah Asia Timur seperti Jepang dan Cina peradaban alat musik instrumental
telah mendarah daging dengan iringan koto atau Shamisen (Prier, 1991:70-71). Di
Indonesia, orkestra awal dibentuk dengan nama Gamelan. Ada berbagai bentuk alat
5. Fungsi Musik
Musik sakral merupakan bentuk musik yang lebih bersifat religius atau memiliki
syair dan nada yang mengarah pada keimanan, dan hubungan antara manusia dan
Tuhan. Musik sakral lebih identik dengan musik yang dikembangkan di dalam
lingkup agama. Musik sakral mulai berkembang secara notatif diawali dari lagu
21
Gregorian hingga mencapai puncaknya pada masa renaissance. Banyak musisi yang
Katolik, namun perkembangan musik sakral telah dikembangkan pula oleh penganut
agama-agama lain. Agama yang telah terlebih dahulu ada sebelum Kristiani muncul
seperti Hindu dan Budha telah terlebih dahulu menggunakan musik sakral dalam
maupun romawi juga dapat disebut dengan musik sakral. Musik sakral lebih
dimengerti sebagai suatu bentuk musik serius. Hal ini dikarenakan syair dan nada-
nada yang dibentuk dalam musik sakral diarahkan pada hubungan antara manusia
dengan penciptanya.
Musik profan merupakan musik yang dibentuk dan memiliki syair yang lebih
mengarah pada duniawi, yang termasuk dalam musik profan adalah lagu-lagu
nasional, lagu yang bertemakan cinta, kehidupan manusia (Prier, 2009b:125). Syair
yang digunakan dalam musik profan terasa puitis, atau menggunakan suatu ungkapan
musik profan lepas dari makna dalam kata-katanya dan musiknya sendiri memiliki
makna tertentu.
22
kebutuhan hiburan. Musik profan diciptakan dengan suasana ringan yang disesuaikan
dengan era dan masanya. Musik profan lebih menonjolkan keindahan dalam kata-
kata. Nada-nada yang dipergunakan dalam musik profan dipilih dengan nada-nada
yang mudah didengarkan oleh setiap orang yang mendengarkannya (easy listening).
Setiap orang memiliki sumber getaran yang sama pada pita suara. Namun setiap
manusia memiliki bentuk getaran yang berbeda-beda. Getaran yang tepat bagi setiap
Campbell, 2002:78). Selain digunakan sebagai sarana hiburan, musik juga memiliki
manfaat yang cukup banyak. Musik dapat dipergunakan sebagai sarana penenangan
juga sebagai sebuah sarana terapi. Musik merupakan suatu bentuk bahasa non-verbal,
bahasa emosi, suatu bahasa yang menyampaikan dan mempengaruhi emosi hingga
Ada berbagai bentuk efek musik yang dapat digunakan. Efek yang dihasilkan
oleh musik mampu mempengaruhi setiap pribadi secara fisik dan juga menjadi
manusia. Otak manusia terdiri dari jutaan sel otak yang menstimulasi kerja bagian
tubuh lainnya. Sel otak melakukan getaran yang menghasilkan gelombang otak. Ada
beberapa bentuk gelombang otak dengan getaran yang kuat hingga getaran yang
sangat lemah. Bentuk gelombang otak mampu mempengaruhi sistem kerja otak.
Gelombang otak ini dapat berubah sesuai dengan pengaruh stimulannya. Salah satu
melalui volume dan cara pembawaan lagu tersebut. Semakin keras musik yang
menstimulasi otak seperti musik rock, heavy metal dengan kekuatan hingga 120
decibel dapat membentuk getaran otak yang sangat kuat. Getaran otak yang sangat
kuat mampu memicu adrenalin lebih cepat sehingga kegiatan sehari-hari menjadi
efeknya dengan musik ringan seperti Gregorian, klasik, jazz yang bernuansa
penenangan dan meditatif. Getaran otak yang distimulasi oleh bentuk musik seperti
ini akan menjadi semakin kecil. Getaran yang semakin kecil, secara perlahan
Ada berbagai bentuk penelitian yang menyatakan bahwa musik mampu memberi
neuron-neuron dalam berintegrasi dengan sirkuit otak. Otak yang distimulasi dengan
memberikan keseimbangan pada bagian otak kiri dan otak kanan. Salah satu guru
kontribusi musik sebagai stimulan otak menyatakan bahwa otak yang distimulasi
musik menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Keseimbangan fungsi otak ini
membentuk pemikiran yang logis dan intuitif, memperkuat daya ingatan, cerdas,
Jantung bekerja dengan ritmisnya sendiri. Sistem kerja jantung berada di bawah alam
sadar sehingga otak tidak bisa mengatur kapan jantung akan berdegup kencang
hingga kapan jantung ini akan berhenti. Namun ritme yang dimiliki oleh jantung
dapat dipengaruhi oleh beberapa unsur yang muncul di sekitarnya. Salah satu
jantung. Hal ini terjadi karena ritme musik yang didengarnya mampu mempengaruhi
jantung yang semakin cepat akan memompa darah lebih cepat ke seluruh tubuh. Hal
ini mengakibatkan asupan oksigen yang dibutuhkan juga semakin banyak. Asupan
oksigen didapatkan ketika seseorang bernafas. Sistem ritmis tubuh yang dipicu oleh
musik dengan tempo yang cepat dirasakan dengan pernafasan yang pendek dan
terasa dangkal. Hal ini memacu sering terjadinya kesalahan, pecahnya konsentrasi
karena merasa dikejar-kejar waktu. Berbeda dengan suasana musik yang pelan
dan merelaksasikan detak jantung. Detak jantung dan pernafasan yang perlahan,
konstan namun dalam akan memberikan efek penyembuhan bagi tubuh atau yang
lebih dikenal dengan therapy healing. Pola pernafasan yang lambat ini dicirikan oleh
Flores yang diwarnai tempo riang dan cepat atau lagu Jawa tengah yang lembut dan
mengalun? Bagaimana reaksi antara mendengarkan lagu “Takkan Bisa” dari Nidji
Banyak pribadi yang langsung merespon lagu yang memiliki tempo cepat dan
ringan dengan menggerakkan bagian tubuhnya sesuai dengan tempo yang tercipta.
26
Gerakan-gerakan ini biasanya mucul secara tidak disadari. Ketika Sekolah Dasar,
dikenal adanya senam kesegaran jasmani. Irama dalam lagunya memiliki 2 karakter
tempo yakni tempo cepat dan tempo lambat. Tempo yang cepat digunakan mulai dari
dikoordinasikan secara bersamaan guna memperbaiki sistem kerja anggota tubuh dan
Musik diterima paling awal oleh bagian tubuh yang paling rentan yakni telinga.
Musik menjadi salah satu hasil pengolahan sistem pendengaran yang dikirimkan ke
sistem otak. Saraf pendengaran pada telinga memiliki hubungan langsung dengan
otak dan berbagai otot dalam tubuh. Kekuatan otot, kelenturan banyak dipengaruhi
oleh frekuensi dan getaran bunyi yang diterima oleh telinga. Telinga yang sudah
menceritakan apa yang hendak disampaikan dalam film tersebut. Musik dalam film
ketakutan, dll. Musik juga mampu digunakan sebagai bentuk terapi guna
27
(Campbell, 2002:94-95).
dalam situasi yang mendesak dan terjepit, waktu akan terasa sangat singkat. Dalam
situasi seperti ini, dengan mendengarkan musik yang memiliki tempo lambat seperti
musik klasik, Gregorian suasana akan lebih terkontrol. Tempo yang lambat
akan lebih santai dan mengurangi perasaan yang mendesak, ruangan yang terasa
lega, segala sesuatu lebih tertata, dan kegiatan menjadi lebih aktif. Berbeda dengan
musik yang memiliki tempo yang cepat seperti musik rock maupun musik pop.
sehingga ketika melakukan kegiatan tertentu terasa dikejar oleh waktu, konsentrasi
memainkan alat musik tertentu. Perasaan terhibur ini berupa perasaan senang, damai,
musik.
28
tertentu. Jika ada seseorang yang mendengaran musik, tanpa disadari orang tersebut
Musik sering menimbulkan perubahan perasaan pada manusia. Perasaan ini terjadi
(emotional state) sehingga membentuk perasaan senang, sedih, marah. Musik juga
mengacu pada emosi manusia yang diarahkan secara khusus pada musik yang
didengarkan ataupun yang dimainkan. Hal ini terjadi karena adanya suatu perpaduan
antara musik yang dialami oleh manusia dengan pengalaman yang mengacu pada
musik jenis tertentu akan memacu untuk bekerja sesuai dengan tempo yang dimiliki
oleh musik tersebut. Pekerjaan dapat memiliki ritme yang teratur ketika distimulasi
oleh suatu jenis musik tertentu. Musik mampu mengoptimalkan daya kerja
seseorang. Seseorang yang menyukai musik dan dalam suatu situasi tertentu, dapat
29
memaksimalkan sistem kerjanya dengan diiringi musik yang sesuai. Hal ini
dikarenakan timbulnya rasa penat dan bosan akan diminimalkan dengan hiburan dari
musik.
Setiap manusia dalam setiap tindak kehidupannya tidak akan pernah lepas dari
irama musik atau nada yang terus mengikuti kehidupannya. Ketika seseorang
secara tidak disadari musik itu mengalir dalam dirinya. Mulai dari bangun tidur
hingga hendak terlelap dalam tidur setiap orang memiliki ritmenya masing-masing.
Ritme merupakan suatu langkah tertentu yang sama dan dengan tempo/ketukan yang
tetap (Banoe, 2003:358). Ritme tersebut akan selalu diiringi dengan suara-suara di
sekitarnya seperti suara kicauan burung, suara adzan dari masjid, musik dari TV
maupun radio, suara kendaraan bermotor, dll yang mengandung suatu ritme tertentu
pula. Ritme yang selalu setiap hari dirasakan dan dialami oleh manusia adalah ritme
denyut jantung. Setiap orang akan merasakan denyut jantung yang berdetak setiap
saat secara teratur meskipun sedang dalam keadaan tertidurpun denyut jantung akan
terus mengikuti ritmenya, ketukan langkah kaki yang seirama, dll. Ketika kita hidup
di tengah masyarakat, kita berdialog dengan orang lain secara tidak disadari nada
suara yang keluar dalam setiap perkataan kita memiliki nada dan irama yang
berbeda-beda.
30
Apabila segala sesuatu yang kita lakukan selalu berjalan lancar, bisa dikatakan
kita dalam keadaan selaras dan harmonis baik dari diri kita pribadi maupun dengan
orang lain dan dengan suasana lingkungan di sekitar kita. Namun apabila ada sesuatu
hal menghambat kelancaran kegiatan sehari-hari, kita akan dikatakan fals atau tidak
mengenali perasaannya sendiri. Suatu perasaan atau emosi itu muncul, dan ia mampu
mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan
maka kemarahan itu tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan
akibat yang akhirnya disesali di kemudian hari. Kepekaan akan rasa indah timbul
melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah
unsur yang penting guna mengarahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup.
Seseorang memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka maka ia akan
tangguh
31
B. Musik Liturgi
Dalam kehidupan Gereja, musik menjadi bagian integral yang mendukung bagian
yang lainnya. Musik Gereja dapat dipahami sebagai bentuk musik yang dipakai
dalam gedung gereja yang berasal dari umat sebagai suatu persekutuan (Prier,
2009b:15). Musik Gereja dibagi menjadi dua bentuk yang berbeda yakni musik
liturgi dan musik rohani. Musik rohani adalah musik gereja yang memiliki bentuk
syair puitis dan berorientasi pada individu. Musik rohani diciptakan untuk
Musik liturgi mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat, baik
suara/koor. Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap khusus waktu bernyanyi dan
bermusik. Bukan naskah yang membuat musik menjadi sakral, tetapi hati manusia
yang diungkapkan secara wajar dan tepat dalam melantunkan musik tersebut
(Heuken, 2004:270)
Gereja adalah orang-orang yang konkret, yang terikat pada budaya setempat (lokal)
32
imannya dalam suatu bentuk liturgi yang memiliki berbagai unsur. Salah satu unsur
dengan sentuhan seni dalam liturgi dan terintegrasi sebagai bagian penting dalam
liturgi adalah musik. Liturgi yang merupakan bentuk perayaan iman Gereja
liturgisnya. Usaha memajukan perkembangan musik tidak terlepas dari peran serta
mengenai posisi musik liturgi dalam Gereja yang disusun pada Bab VI yakni
Sacrosanctum Concilium atau lebih dikenal dengan Konstitusi tentang Liturgi Suci.
Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan
upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena,
entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci
dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk
kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan
mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Dalam artikel 112 Konsili Vatikan II ini, musik liturgi dikenal sebagai suatu
bagian fungsional dalam perayaan liturgi. Apabila artikel 112 dinilai dari segi
33
Allah berupa kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Ada berbagai unsur
semua bentuk kesenian yang digunakan dalam liturgi, musik menduduki tempat yang
istimewa, khususnya dalam bentuk nyanyian. Musik liturgi digunakan sebagai suatu
sarana yang dapat memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak
(Prier, 2010:1).
Musik liturgi bukan sekedar sebuah selingan, tambahan atau “dekorasi” demi
kemeriahan liturgi. Dengan kata lain, musik liturgi termasuk bagian liturgi itu sendiri
Kitab Suci atau teks liturgi. Penggunaan syair dari Kitab Suci menghantarkan iman
umat dalam menyapa Tuhan. Syair yang disusun merupakan bentuk pengungkapan
iman umat.
Begitu pula yang terkandung dalam artikel 113 dimana upacara Liturgi “menjadi
lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila
dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara aktif” (SC 113).
Dalam artikel 113, musik liturgi membuat suasana liturgi yang dibangun menjadi
lebih meriah. Melalui penggunaan musik liturgi ini, perayaan liturgi menjadi lebih
partisipasi umat secara aktif. Setiap umat dalam Gereja secara bersama bernyanyi,
melambungkan pujian. Hal ini akan memupuk kesatuan hati umat dalam iman akan
34
Yesus Kristus. Bentuk doa yang disampaikan dalam bentuk nyanyian ini
sarana pengungkapan iman umat. Misteri liturgi yang bersifat hirarkis dan
menjemaat dinyatakan lewat kesatuan hati umat yang diarahkan pula pada hal-hal
surgawi yang melambangkan seluruh misteri surgawi (MS art. 5). Liturgi selalu
diwujudkan sebagai suatu bentuk perayaan, dan nyanyian memiliki peranan yang
besar.
Musik liturgi mencakup nyanyian umat supaya turut berperan aktif dalam ibadat,
baik dalam bentuk nyanyian bersama maupun secara bergantian dengan paduan suara
/ koor. Tujuan yang luhur menuntut sikap khusus waktu bernyanyi dan memainkan
musik. Bukan sekedar naskah / teks lagu maupun jenis lagu yang membuat suatu
perayaan liturgis menjadi sebuah perayaan yang sakral, namun berdasar pada
perwujudan iman yang keluar dari hati manusia yang diungkapkan secara wajar dan
tepat dalam melantunkan musik tersebut. Dalam liturgi, tidak ada bentuk musik
ibadat yang ditolak, namun hendaknya penggunaan musik dalam liturgi disesuaikan
dengan hakekat perayaan liturgi tersebut (MS 8). Konsili Vatikan II telah
menentukan suatu dasar liturgi dimana naskah / teks dalam suatu upacara liturgi
harus diatur sedemikian rupa, hingga diungkapkan secara jelas hal-hal kudus yang
Banyak sekali perayaan liturgis yang memasukkan musik sebagai salah satu
bagian pentingnya. Salah satu perayaan umat dengan musik sebagai salah satu bagian
terbesar dari keseluruhan liturgi yakni Perayaan Ekaristi. Hal ini dikarenakan
perayaan ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh hidup kristiani kita
(LG 11). Musik liturgi memiliki fungsi dan kedudukan yang jelas, misalnya :
menuju altar. Nyanyian pembukaan menuntut suatu sikap hormat dan sikap siaga
dalam misteri iman yang dirayakan (sesuai masa liturginya), mengiringi imam
2) Tuhan Kasihanilah Kami merupakan suatu teks kuno yang sudah ada sejak lama
3) Madah kemuliaan, kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati pada jaman
kristen kuno. Melalui madah ini, umat yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus
memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah, serta memohon belakasihNya.
Madah ini tidak boleh diganti dengan teks yang lain (PUMR no 53). Madah
kemuliaan yang dinyanyikan pada hari minggu secara khusus bertujuan untuk
tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang
5) Bait Pengantar Injil / Alleluya. Dengan aklamasi ini, jemaat beriman menyambut
dan menyapa Tuhan yang akan bersabda kepada mereka dalam Injil, dan
7) Kudus merupakan nyanyian sebagai wujud partisipasi umat dalam Doa Syukur
Agung. Nyanyian kudus tidak dapat digantikan dan diambil dari teks resmi (TPE)
(PUMR no 78b)
8) Nyanyian Bapa kami, tujuannya adalah untuk memohon rezeki sehari-hari (roti
Ekaristi), mohon pengampunan dosa, supaya anugerah Roh Kudus itu diberikan
kepada umat yang kudus. Teks Bapa Kami harus diambil dari buku teks misa
9) Nyanyian Anak Domba Allah, tujuannya adalah untuk mengiringi pemecahan roti
(PUMR no 83). Lagu Anak Domba Allah dapat dihilangkan apabila pemecahan
roti terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak perlu diiringi lagi. Namun lagu ini
10) Nyanyian Komuni tujuannya adalah agar umat secara batin bersatu dalam komuni
dari perarakan komuni. Maka lagu komuni harus bertemakan komuni atau tubuh
Tubuh dan Darah Kristus, tidak boleh menyanyikan lagu untuk Orang Kudus,
11) Nyanyian madah pujian sesudah Komuni dimaksudkan sebagai ungkapan syukur
atas santapan yang diterima yaitu Tubuh (dan Darah Kristus) sebagai keselamatan
12) Nyanyian Penutup bertujuan untuk menghantarkan imam dan para pembantu-
cukup signifikan yang terlihat dalam penggunaan musik dan nyanyian liturgis dalam
perayaan Ekaristi dan ibadat lainnya. Musik dalam ritus Gereja mampu memberikan
sentuhan tersendiri bagi umat dalam menghayati dan memaknai hubungan khusus
antara Allah dan manusia. Musik dan lagu dalam Gereja muncul dan berkembang
38
sesuai perjalanan waktu. Musik dalam Gereja telah dimulai dan dirintis sejak
berabad-abad lampau.
a. Proprium Missae
Ekaristi Kudus yang dapat berganti-ganti sesuai dengan tema misa atau bacaan yang
digunakan pada saat itu. Yang termasuk dalam kategori lagu-lagu proprium adalah
Nyanyian tersebut harus dipilih sesuai dengan tema misa (Martasudjita, 2007:26).
b. Ordinarium Missae
menyebut lima nyanyian dalam Perayaan Ekaristi yang tidak pernah berubah.
Nyanyian yang termasuk dalam ordinarium adalah tuhan Kasihanilah Kami (kyrie),
Allah (Agnus Dei). Namun kelima bagian ini memiliki tingkatan kedudukan yang
berbeda. Misalnya lagu kemuliaan ditiadakan untuk hari biasa, masa adven, masa
diadakan, karena lagu Kudus merupakan salah satu bentuk partisipasi umat dalam
Doa Syukur Agung. Kudus adalah bagian dari liturgi iman terpenting yakni Liturgi
Ekaristi.
39
c. Lagu Umat
penuh, sadar, dan aktif (MS 15). Partisipasi ini dapat diungkapkan secara batiniah
dengan memadukan hati dan budi bersama umat lain dalam Liturgi. partisipasi dalam
bentuk nyata terwujud melalui sikap, gerak-gerik, lewat aklamasi, jawaban iman, dan
nyanyian-nyanyian. Lagu umat menuntut adanya partisipasi aktif umat dalam liturgi.
partisipasi umat dalam bentuk nyanyian ditunjukkan pada jawaban terhadap salam
bersama-sama dengan koor (MS 16). Lagu umat terdiri atas satu suara (unisono)
atau setidak-tidaknya dua suara misalnya kanon. Salah satu bentuk kumpulan lagu
umat adalah dari Madah Bakti, Puji Syukur, Kidung Adi (bahasa Jawa). Contoh lagu
umat kanon polifoni dari Madah Bakti no 300 “Dikau Tuhan dan Kawanku”.
Paduan suara memiliki peran penting dalam liturgi karena memiliki tugas untuk
membawakan bagian yang dipercayakan pada pihak koor atau paduan suara. Selain
itu paduan suara juga diharapkan mampu mendorong partisipasi aktif kaum beriman
dalam menyanyi (MS 19). Ada lagu yang dinyanyikan oleh koor yang merupakan
gubahan dari lagu umat. Lagu tersebut merupakan lagu umat yang diarransemen
khusus untuk paduan suara. Hal ini diharapkan mampu memeriahkan suasana liturgi
sedemikian rupa sehingga menyatu dengan umat. Paduan suara tidak menjadi bentuk
e. Lagu Ofisi
Ofisi merupakan bentuk ibadat harian sebagai doa resmi dalam gereja. Ofisi
secara lengkap dilaksanakan sebanyak tujuh kali dalam satu hari. Ofisi masih banyak
kehidupan Gereja, ibadat harian mula-mula terdiri dari ibadat pagi (laudes) dan
ibadat sore (vesperae). Ibadat ini dilaksanakan secara bersama-sama. Pada abad
keempat, ibadat ini mulai dikembangkan oleh komunitas-komunitas para rahib. Para
rahib tersebut mengutamakan hidup doa dalam kesehariannya. Hal ini menyebabkan
mereka berkumpul setiap waktu tertentu untuk berdoa bersama. Bentuk doa-doa pada
waktu tertentu disebut dengan ‘ibadat-ibadat kecil’ yang dilaksanakan pada jam 9
(terts), jam 12 (sekst), jam 15 (non), ibadat malam (matutin), dan ibadat penutup
f. Lagu untuk Masa Khusus (Adven, Natal, Parapaska, Minggu Palma, dll)
Lagu dengan tema khusus ini disusun dan dibentuk berdasarkan kesesuaian
dengan lingkaran liturgi dalam Gereja. Masa adven sarat dengan penantian, maka
lagu-lagu yang dibuat penuh kerinduan akan kehadiran Allah, pengharapan. Contoh :
Kumbayah (MB 324), Angkatkanlah Kepalamu (MB 326). Pada masa Natal,
dipenuhi sukacita kelahiran Yesus, lagu yang dibentuk penuh dengan sambutan
kelahiran Yesus, kegembiraan, pujian pada Allah. Contoh : Yesus Slamat Datang
41
(MB 330), Gloria (MB 334). Ketika Natal ada satu pujian atau maklumat yang
Yesus.
Pada masa Prapaska, diliputi rasa tobat akan dosa. Masa Prapaska dimulai dengan
hari Rabu abu sebagai tanda dimulainya masa persiapan paskan selama 40 hari, hal
ini menyiapkan kita untuk menghormati hari wafat dan kebangkitan Kristus. Lagu
dalam masa Prapaska penuh dengan wujud sesal, permohonan ampun pada Allah.
Contoh : Hanya Debulah Aku (MB 368), Mohon Ampun (MB 371), Tuhan Naungan
Hidupku (MB 378). Nyanyian sengsara dan Jalan salib mengiringi perjalan Yesus
Kristus yang rela menebus dosa manusia. Contoh : Sengsaramu O Yesus (MB 379),
Masa Paska meliputi 4 hari besar yakni mulai dari Masuknya Yesus ke Yerusalem
pada minggu Palma, Kenangan Perjamuan Terakhir Yesus, Wafat Kristus, dan
Yerusalem Lihatlah Rajamu (MB 395), Wahai Umat Bersoraklah (MB 396). Pada
pesta perjamuan terakhir, Yesus mengajarkan cinta kasih dan pelayanan kepada
semua orang. Lagu yang dibentuk memiliki makna akan pelayanan dan cinta kasih.
Contoh : Ajarilah kami Tuhan Bahasa Cintakasih (MB 400), Jika Ada Cinta Kasih
yang bergaya Gregorian (MB 402). Jumat Agung merayakan sengsara dan wafat
42
Yesus di salib. Salib sebagai lambang penghinaan namun jadi lambang keselamatan.
Lagu-lagu menunjukkan kehinaan dan kesedihan. Contoh : Hai umatku apa salahku
(MB 411), O Salib Tanda Agung (MB 413). Perayaan Paska merayakan kebangkitan
Yesus dari alam maut. Lagu-lagu menunjukkan kisah penciptaan, paska Yahudi dan
kebangkitan Kristus. Contoh : Refren Kisah Penciptaan (MB 420), Karya Tuhan
hendak Kupuji (MB 421). Pada malam paska, dimadahkan pujian paska atau Exsultet
Selain itu ada lagu-lagu yang disusun sebagai bentuk sembah sujud atau pujian
terhadap Sakramen Ekaristi ataupun kepada Bunda Maria. Lagu-lagu khusus bagi
Bunda Maria mengandung unsur hormat dan Pujian kepada Sang Perawan Maria,
Bunda Kudus. Contoh lagu : Ya NamaMu Maria (MB 547), Salve Regina. Ada pula
Ekaristi seperti Ave Verum, Tantum Ergo yang bergaya Gregorian. Lagu-lagu yang
Ekaristi yang hendak mengungkapkan iman Gereja akan Tuhan Yesus Kristus yang
Tujuan Adorasi ini adalah sembah sujud kepada Tuhan Yesus Kristus yang hadir
dalam Ekaristi dans ekaligus untuk menyatukan hati dengan Dia atau yang sering
g. Musik Organ
Semenjak gereja awal, musik merupakan bagian yang tidak terpisahkan. “Dalam
Gereja Latin, orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional,
dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke sorga (SC 120)”. Hal ini
menunjukkan bahwa alat musik dapat menjadi sangat bermanfaat dalam perayaan
kudus.
menciptakan kesatuan hati yang mendalam antar jemaat yang berhimpun (MS 64).
Musik organ dapat dimainkan secara instrumental pada awal perayaan ekaristi,
Melodi pada lagu Gregorian ditulis pada suatu tonsystem tertentu yang disebut
modus. Tonsystem adalah sebuah pengenalan suatu tangga nada tertentu berdasarkan
pengenalan nada dasarnya atau finalis dalam sebuah lagu (Banoe, 2003:415), atau
dapat dikatakan bahwa modus merupakan suatu efek musikal yang dihasilkan oleh
letak suatu nada finalis dalam tonematerial. Modus ini dihasilkan sesuai karakter
44
finalis yang membentuknya. Ada nada yang mampu membentuk nuansa keberanian
seperti Doris (modus I/II), sedangkan nada yang lain mampu menyiratkan sebuah
kelembutan seperti Frygis (modus III/IV). Oleh karena itu modus juga merupakan
suatu kekhasan yang dimiliki oleh lagu Gregorian karena modus merupakan tangga
nada Gregorian.
Secara melodis, tangga nada dalam Gregorian berbeda dengan tangga nada
modern. Tangga nada modern memiliki dua macam bentuk yakni tangga nada mayor
dan minor, sedangkan untuk tangga nada Gregorian didasarkan pada delapan tangga
nada yang berbeda. Tangga nada modern berhubungan dengan tonal, tangga nada
gregorian berhubungan dengan modal, tangga nada Gregorian dipengaruhi oleh nada
finalis dalam suatu modus tertentu. Tangga nada Gregorian memiliki delapan bentuk
modus. Kedelapan tangga nada Gregorian atau sering disebut dengan modus identik
dengan penggunaan dalam teori musik Yunani kuno, yakni doris, hypodoris, phrygis,
Tiap modus memiliki tiga elemen, yaitu sebuah nada finalis, nada dominan, dan
sebuah wilayah nada (ambitus). Finalis merupakan not akhir dari sebuah melodi pada
suatu modus tertentu, sebuah melodi selalu akan berhenti pada finalis modus
tersebut. Pada dasarnya tangga nada Gregorian ditentukan oleh tetrachord yakni D –
E – F – G atau re – mi – fa - sol. Empat tangga nada ini disebut dengan tangga nada
otentik Gregorian.
45
Tangga nada tersebut adalah Nada D atau nada 2 (re) merupakan finalis bagi
Doris dan Hypodoris, nada E atau nada 3 (mi) merupakan finalis dari Phrygis dan
Hypophrygis, nada F atau nada 4 (fa) merupakan finalis bagi Lydis dan Hypolydis,
dan nada G atau 5 (sol) merupakan finalis dari Mixolydis dan Hypomixolydis.
Nada dominan dalam modus adalah not di mana melodi lagu tersebut mengalir,
dapat juga dikatakan bahwa nada dominan ini merupakan suatu nada yang menguasai
modus Gregorian yang bersangkutan, hal ini dikarenakan letak nada dominan
gasal (I,III,V,VII) nada dominan selalu merupakan nada kelima di atas finalis,
sedangkan untuk modus-modus genap (II,IV,VI,VIII) nada dominan berada tiga nada
di atas nada finalis. Ambitus atau lebih dikenal dengan sebutan wilayah nada pada
umumnya terdiri dari satu oktaf. Sebuah modus tidak selalu ada dalam wilayah nada
tertentu. Melodi bisa saja melebihi wilayah nadanya baik di atas maupun bawah.
Tangga nada otentik terbagi dalam dua modus yakni otentik dan plagal. Modus
otentik dan plagal dapat dilihat dari penambahan kata ‘Hypo’ dan selain itu ambitus
plagal berada satu kwart di bawah ambitus otentik. Bentuk lagu Gregorian dengan
tangga nada otentik atau asli memiliki suatu wilayah nada yang berpangkal pada
nada dasar tersebut, sedangkan nada plagal atau nada turunan memakai wilayah nada
yang berpangkal pada satu kwart di bawah nada dasar namun nada finalisnya tetap
sama seperti tangga nada otentik. Hal ini menyebabkan suasana yang terbentuk sama
46
seperti suasana yang hadir dalam nada otentik. Dalam sejarah, penggunaan modus ini
Tangga nada dalam modus ganjil maupun genap ini memiliki suasana yang
berbeda yang dihasilkan dari nada-nada yang muncul. Bentuk modus dalam notasi
modern menunjukkan nada yang digaris bawah merupakan nada final otentik,
sedangkan nada yang terdapat dalam kurung merupakan nada dominan yang muncul.
Urutan nada pada ambitus doris dan hypodoris adalah sebagai berikut :
Tangga nada doris memiliki nada finalis D atau nada dasar 2 (re), sedangkan tangga
nada hypodoris berada satu kwart di bawah doris dengan nada finalis 6 (la). tangga
nada ini mampu membentuk suasana berat dalam penyampaian lagunya. Gaya lagu
Gregorian dengan modus Doris atau 2 (re) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan
gaya “Dorian”.
Contoh lagu yang menggunakan tangga nada doris adalah Victimae Paschali Laudes
- missa resurexxi (Misa Hari Raya Paska Kebangkitan Tuhan) (PML, 1988:14)
47
Tangga nada ini memiliki nada finalis E atau nada dasar 3 (mi), sedangkan tangga
nada Hypofrigis berada satu kwart di bawahnya dengan nada finalis 7 (si). Tangga
48
nada ini mampu membentuk suasana mengambang pada penyampaian lagunya. Gaya
lagu Gregorian dengan modus Frigis atau 3 (mi) ini dalam bahasa Inggris disebut
Contoh penggunaan tangga nada frigis adalah Tantum Ergo (PML, 1988:103)
Urutan pada tangga nada Lydis dan Hypolydis adalah sebagai berikut
Tangga nada ini memiliki nada finalis F atau nada dasar 4 (fa), dan tangga nada
hypolydis berada satu kwart di bawahnya dengan nada finalis 1 (do). Tangga nada ini
Gregorian dengan modus Lydis atau 4 (fa) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan
gaya “Lydian”.
Contoh lagu yang menggunakan tangga nada lydis seperti Dico Vobis (PML,
1988:40)
Urutan nada pada tangga nada mixolydis dan hypomixolydis adalah sebagai berikut
Tangga nada ini memiliki nada finalis G atau nada dasar 5 (sol), sedangkan tangga
nada hypomixolydis yang memliki nada finalis 2 (re) berada satu kwart di bawah
tangga nada mixolydis. Tangga nada ini mampu membentuk suasana agung dan
khidmat pada penyampaian lagunya (Prier, 2009:58). Gaya lagu Gregorian dengan
modus Mixolydis atau 5 (sol) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan gaya
MODUS GREGORIAN
Tangga Ambitus /
Modus jenis Finalis Dominan
Nada Range
I Doris Otentik D – d’ D A
V Lydis Otentik F – f’ F C
VI Hypolydis Plagal C – c’ F A
a. Arsis – Tesis
Motif dan keindahan dalam lagu Gregorian dipengaruhi oleh tekanan aksen. hal
ini dipengaruhi oleh pengucapan dan aksen bahasa. Pengucapan lagu Gregorian
dalam bahasa Latin memiliki keindahan yang dihasilkan dari panjang pendeknya
aksen bahasa dan pengucapannya. Dalam hal ini, istilah tesis digunakan untuk
mencirikan suku kata yang panjang. Sedangkan istilah arsis digunakan untuk
mencirikan suku kata yang pendek. Pada perkembangan berikutnya, istilah arsis dan
akhir aksen dalam lagu Gregorian menetapkan segi dinamika sebagai sebuah unsur
dalam irama. Dinamika membedakan keras lembutnya suku kata yang diucapkan.
Dalam lagu Gregorian, suatu motif ritmis selalu diawali dengan sebuah arsis dan
diakhiri dengan sebuah tesis. Arsis memiliki sifat bersemangat (accelerando) dan
dengan arsis – tesisnya. Dalam suatu notasi Gregorian, suatu tesis tidak pernah
secara langsung diikuti oleh tesis berikutnya namun harus ada arsis lagi.
Dalam lagu Gregorian, suku-suku kata yang bersifat arsis dilengkapi dengan
nada-nada tinggi atau yang sering disebut dengan arsis melodis. Sebaliknya, suku
52
kata yang bersifat tesis dicirikan dengan nada-nada yang aksen melodinya cenderung
Ada sebuah perbedaan mendasar antara lagu biasa dan lagu Gregorian. Lagu
Gregorian tidak memiliki suatu bentuk pola birama. Dalam lagu biasa kedudukan
birama memiliki tempat yang penting. Hal ini digunakan untuk menentukan hitungan
atau ketukan yang tepat dan statis. Dalam lagu Gregorian, birama tidak menjadi
suatu patokan khusus. Lagu Gregorian merupakan suatu bentuk gerakan ritmis yang
didasarkan pada aksen bahasa dan motif Gregorian itu sendiri (Prier, 1991:90).
Dalam irama yang bebas tersebut ada suatu pola tertentu. Lagu Gregorian
memiliki beberapa pola irama yang disebut pola irama biner yang mencakup iambos
(pendek – panjang/arsis – tesis), ataupun suatu pola irama Gregorian yang disebut
pola irama terner namanya anapaestus (panjang – pendek – pendek / tesis – arsis –
arsis). Semua pola irama yang ada dalam musik Gregorian terikat pada keseluruhan
ritme musik maupun keseluruhan ritme kalimat/bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa
kebebasan irama musik Gregorian tidak terikat pada suatu jenis birama tertentu
1991:92-93). Bentuk sastra yang dapat secara mudah dipahami tertuang dalam
himne “Jesu Dulcis Memoria”. Pembentukan irama himne ini mengalami proses
53
pengulangan dalam bait-bait yang terbentuk. Terjadi pengulangan irama arsis tesis
Pola irama yang terbentuk dalam lagu Gregorian juga mampu menentukan
pembawaan lagu Gregorian tersebut. Sifat sakral dalam penyampaian lagu Gregorian
dipengaruhi oleh gaya legato. Dalam lagu Gregorian dinamika memiliki peranan
besar. Dinamika yang terbentuk akan terus menerus berubah dengan menggunakan
Setiap lagu Gregorian yang disusun tidak dapat dilepaskan dari makna yang
terkandung di dalamnya. Pemilihan modus, nada, kata-kata, bentuk arsis tesis, juga
membentuk suatu simbol yang tersendiri dan khusus. Beberapa model simbol akan
disampaikan dalam contoh berikut. Lagu “Veni Creator Spiritus / Datanglah Roh
Maha Kudus”
54
Modus yang digunakan adalah modus Hypomixolydis (tangga nada VIII). Pada
mengungkapkan suatu kerinduan yang mendalam akan kehadiran Roh Kudus dalam
55
setiap langkah kehidupan. Pada bagian pertama terangkum sebuah undangan bagi
sang pembawa terang, pencerahan Allah yakni Roh kudus. Kata “datanglah...” tidak
sebagai Roh Allah sendiri. Namun kata ini ingin menunjukkan adanya suatu
hubungan batin yang mendalam akan perwujudan cinta Allah yang dirasakan oleh
manusia, perwujudan cinta yang mendalam ini hendak diungkapkan oleh manusia
dengan penuh keterbukaan akan menerima Roh Kudus. Bagian kedua hendak
memberikan suatu gambaran situasi kehidupan manusia yang menjadi efek tanpa
adanya pencerahan dari Roh Kudus. “Jiwa yang layu” menunjukkan suatu bentuk
kepasrahan manusia akan kuasa Allah. tanpa kuasa Allah manusia hanyalah seorang
yang tanpa iman dan pengharapan, tidak ada gairah untuk mewartakan Kerajaan
Allah. Dengan keterbukaan hati yang terus menanti kehadiran Roh Kudus sebagai
titik terang dan sumber inspirasi, segala suasana dan kerinduan akan Allah akan
terobati dan iman akan semakin kuat guna mewartakan Kerajaan Allah di dunia ini.
Dalam lagu Gregorian seni yang bernilai tinggi tidak hanya disampaikan melalui
menjadi sebuah titik tolak pertemuan antara Allah dengan manusia. Dalam lagu ini,
penggubahan dalam bahasa Indonesia dinyatakan sebagai lagu dengan gubahan kata
paling mendekati lagu aslinya. Hal ini terlihat dari tidak adanya nada perbedaan nada
antara lagu dalam bahasa Latin maupun bahasa Indonesia. Kesesuaian suku kata
menjadi sebuah tolok ukur kedekatan antara bentuk mengimaninya. Lagu ini
56
memiliki empat bagian, bagian pertama dan kedua memiliki mada finalis yang
semakin naik. Naiknya nada finalis ini memberikan suatu gambaran bahwa
keterbukaan hati untuk menanti kehadiran Roh Kudus tidak sekedar sebagai sebuah
kata namun juga dimasukkan ke dalam hati umat. Keyakinan yang penuh akan
kehadiran Roh Kudus dinyatakan melalui proses naik turunnya nada yang dipilih.
Begitu pula dalam bagian ketiga memperlihatkan manusia yang mengakui kelemahan
dirinya yang terus menerus mengharapkan kehadiran Roh Kudus. Pengakuan sebagai
‘jiwa yang layu...’ diperlihatkan dengan nada yang menurun atau suara yang semakin
rendah, tidak ada lagi semangat yang muncul dalam kehidupan ini. Selain itu nada
yang menurun menggambarkan adanya sesuatu hal yang diturunkan Roh Kudus
kepada manusia. Menyirami merupakan kegiatan mengalirnya air dari tempat tinggi
ke tempat yang rendah, maka begitu pula dengan kurnia dari Roh Kudus akan
dialirkan dari Surga kepada manusia. Pada bagian keempat menjadi sebuah bentuk
jawaban akan penantian yang panjang. Kehadiran Roh Kudus dalam hati akan
kasih Allah itu sendiri. Nada yang tegas dimunculkan guna mewujudkan suatu
bentuk keimanan yang kuat. Kehadiran yang dinanti tidak banyak (bukan aliran yang
besar) hanya ‘setetes embun kurniaMu’ akan dapat kembali menyegarkan semangat
dan jiwa kami akan kasih Allah yang tak tehingga dalam kehidupan ini.
Lagu ini merupakan lagu khas dalam Perayaan Pentakosta guna mengenangkan
turunnya Roh Kudus ke atas Para Rasul dalam bentuk nyala api. Dalam perayaan
57
Pentakosta ini, Allah telah memenuhi janji untuk selalu menyertai langkah Gereja.
Allah tidak pernah meninggalkan umatnya dan akan terus menyertai Gereja dalam
Roh KudusNya. Ada sebuah kekuatan besar yang kembali meneguhkan iman para
Rasul setelah mereka kehilangan Guru yang sangat mereka kasihi. Daam rasa
kehadiran Roh Kudus dalam hidup dan hati para Rasul, mereka menjadi bersemangat
“.... Engkau tidak akan mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan
Bapa sendiri menurut kuasaNya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau
Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di
Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.
Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di suatu
tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin
keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan
tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran
dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan
Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain,
seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.
Dan barangsiapa yang berseru kepada Tuhan akan diselamatkan...” (Kis
1:7-8, 2:1-4,21)
Janji yang telah disampaikan Allah pada umatnya tidak akan pernah dapat
disangsikan karena janji Allah adalah jaminan hidup kekal. Kerinduan yang terus
dinanti akan kehadiran Roh Kudus tidak akan ditentukan waktunya. Kehadirannya
dapat dirasakan oleh para Rasul dengan bukti karunia berbicara dengan berbagai
bahasa yang diterima oleh para Rasul. Pada masa sekarang, karunia yang diterima
dari Roh Kudus belum tentu berupa karunia bahasa Roh, namun juga karunia untuk
58
semangat ini ditumbuhkan dengan mengimani Dia yang rela menderita dan disalib
untuk penebusan dosa kita. Dengan siraman kasih dari Roh Kudus kita semakin
ditantang untuk semakin berani bersaksi akan Allah dalam setiap gerak langkah
kehidupan kita baik dalam lingkup Gereja maupun di dalam masyarakat pada
umumnya.
Lagu Gregorian dalam bahasa Inggris disebut dengan plainsong. Hal ini
dikarenakan lagu Gregorian hanya terdiri dari satu suara saja. Lagu Gregorian
ini didasarkan pada Kitab Suci yang sering digunakan dalam praktik ibadat Kristiani
(Prier, 2009:58). Lagu Gregorian memiliki unsur khas yang terkandung di dalamnya.
Dalam lagu modern, setiap paranada (garis nada/titi nada) pasti memiliki 5 garis dan
4 ruang antara yang menjadi sarana menuliskan notasinya. Namun pada Gregorian
hanya memiliki 4 garis dan 3 ruang antara yang sering disebut dengan staff atau
stave. Sedangkan untuk kunci yang digunakan berbeda dengan kunci utama paranada
modern yakni kunci G dan F. Lagu Gregorian menggunakan dua kunci yakni C dan
F. kunci C keberadaannya tidak bisa ditetapkan secara pasti, namun pada umumnya
Kunci C :
Do
Do
Do
Kunci F :
Fa
60
Not yang terdapat dalam lagu Gregorian dalam bahasa Latin disebut Punctum.
a. Punctum Quadratum :
b. Punctum Virga :
c. Punctum Inclinatum :
Kumpulan beberapa not dalam lagu Gregorian yang disebut dengan Neuma.
Keragaman dan keindahan penyusunan lagu Gregorian terlihat dari penulisan bentuk
neuma dasar dengan penambahan satu not / punctum (Keller, 1947:14-18). Beberapa
a. Bentuk neuma sederhana : bentuk neuma ini hanya memiliki 2 notasi yang
membentuknya
nada legato)
b. Neuma dengan tiga not neuma ini tetap mempertahankan bentuk neuma dasar
ketiga
kedua
yang sama
63
d. Neuma Khusus
Quilisima
Pressus
Oriscus
64
Selain keempat kelompok ada di atas masih ada suatu bentuk kelompok nada
Pes Subbipunctis
Scandicus Subbipunctis
Dalam menyusun suatu notasi Gregorian di akhir garis paranada masih ada not
kecil untuk menunjukkan not letak not pertama pada paranada berikutnya yang bisa
Contoh : Dominus Dixit ad Me – lagu pembuka pada hari raya Natal misa malam
(PML, 1988:5)
65
a. Gaya Silabis : gaya bernyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan
b. Gaya Neumatis : gaya menyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan
c. Gaya Melismatis : gaya menyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan
banyak nada.
Berdasarkan fungsinya, lagu Gregorian dipisahkan menjadi dua bagian yakni lagu
Gregorian yang menjadi bagian dalam Perayaan Ekaristi dan lagu Gregorian dalam
ibadat harian
67
a. Graduale Romanum
Gregorian. Lagu Gregorian ini ditujukan secara khusus untuk Perayaan Ekaristi.
Bentuk-bentuk lagu Gregorian yang terdapat dalam Graduale Romanum antara lain :
1) Aklamasi
Aklamasi merupakan suatu bentuk seruan atau sebuah jawaban yang dilaksanakan
secara bersama. Pada awalnya dalam liturgi, aklamasi merupakan bentuk reaksi umat
selama kotbah. Namun semakin lama bentuk aklamasi disusun menjadi suatu bentuk
jawaban umat kepada imam yang bersifat tetap. Aklamasi mewujudkan peran aktif
umat dalam Perayaan Ekaristi. Aklamasi merupakan bentuk partisipasi dasariah dan
paling mudah dilaksanakan dalam ibadat. Aklamasi memiliki bentuk yang bersifat
spontan dan hidup. Aklamasi lebih cocok apabila disampaikan dalam bentuk
nyanyian. Hal ini dilaksanakan agar tercapai adanya suatu kekompakan dan memacu
keterlibatan umat.
Bentuk aklamasi ini dapat berupa seruan pendek atau dalam sebuah kalimat seperti
2) Prefasi
istilah umum untuk nyanyian Gregorian yang resitatif. Dalam concentus ada
pembedaan antara gaya silabis dan gaya melismatis. Selain itu ada teks yang dikenal
68
sebagai accentus khusus dinyanyikan oleh uskup, imam, atau diakon, terutama pada
nada resitasi tunggal dengan melodi sederhana pada tempat tertentu di dalam setiap
kalimatnya. Nyanyian yang lebih kompleks dinyanyikan oleh solo yang terlatih.
accentus khusus ini juga sering sekali digunakan dalam misa yakni ketika Prefasi.
3) Ordinarium
Ordinarium disebut sebagai nyanyian tetap dalam misa. Yang termasuk dalam
Percaya (Credo), Kudus (Sanctus), Bapa kami (Pater Noster), Anak Domba Allah
(Agnus Dei). Nyanyian-nyanyian ini yang dipakai dalam misa dalam bentuk litani
(Kyrie, Agnus Dei), madah kemuliaan yang saling sahut menyahut antara koor dan
umat (Gloria), maupun bentuk aklamasi / jawaban dalam gaya melismatis seperti
Sanctus.
4) Proprium
Lagu proprium merupakan kebalikan dari lagu ordinarium. Yang termasuk dalam
(Communio), nyanyian penutup. Contoh lagu Proprium : Puer Natus Est –Introitus
1) Himne / Madah
Dalam tradisi musik Gereja, himne atau madah digunakan sejak tahun 400. himne
meliputi semua nyanyian rohani dan liturgi yang menggunakan bahasa puisi. Himne
merupakan salah satu bentuk musik yang menggunakan sastra yang indah dan
teratur.
Himne tersusun menurut baris-baris dengan jumlah suku kata tertentu dan dengan
pola irama tertentu seperti pola iambos. Teksnya biasanya tidak terpaku bersumber
pada mazmur atau kitab suci, namun syair bebas atau disebut dengan syair baru.
2) Antifon
Antifon berasa dari bahasa Yunani yang berarti seruan yang dinyanyikan
salah satu ayat yang dinyanyikan sebelum ayat pertama dan sesudah ayat terakhir.
antifon berbeda makna dengan refren pada mazmur. Antifon dipergunakan hanya dua
kali pada awal ayat dan akhir ayat. Sedangkan refren pada mazmur dinyanyikan
sesudah ayat. Pembawaan mazmur dengan cara ini disebut “pendarasan antifonal”
(Prier, 2009b:11)
Maria merupakan lagu penutup yang digunakan dalam ibadat sore. Biasanya
Istilah accentus mulai digunakan untuk lagu Gregorian dengan jenis resitatif yang
mazmur yang terdiri dari ayat-ayat dengan jumlah suku kata yang berbeda, namun
a) Initium / Permulaan : terdapat pada awal kalimat, untuk mengantar pada nada
tenor / nada utama (dominan). Panjang pendeknya nada tenor ataupun nada
dominan yang diulang-ulang tergantung pada jumlah suku kata ayat tersebut.
asteriscus (*) atau titik dua (:). Biasanya ditandai dengan sebuah melisma kecil.
d) Terminatio / perhentian : terdapat pada akhir kalimat untuk mengantar melodi dari
mazmur) yang diapit oleh sebuah antifon umumnya menggunakan gaya silabis.
bentuk lain yakni psalmodi responsorial merupakan suatu bentuk khusus yang terdiri
atas suatu antifon (responsorium) dan satu ayat dengan banyak sekali melisma di
4) Responsorium
mazmur (versus). Responsorium merupakan jawaban atas bacaan Kitab Suci dalam
ofisi. Ayat tersebut dalam gaya melismatis atau silabis dibawakan oleh solis terlatih.
5) Te Deum
“Te Deum Laudamus” bermakna “Dikau, Allah kami muliakan”. Kata ini merupakan
awalan dalam sebuah madah yang diciptakan oleh St. Ambrosius. Madah ini
dipergunakan sebelum doa penutup dalam ibadat malam pada hari Minggu dan hari
raya. Te Deum terdiri dari 3 bagian yakni Pujian kepada Allah Tri Tunggal, Pujian
kepada Yesus Kristus dan Permohonan yang dibawakan secara sahut menyahut
c. Lagu Khusus
Ada bentuk lagu-lagu yang disusun sebagai bentuk sembah sujud atau pujian
terhadap Sakramen Ekaristi. Selain itu ada lagu yang dikhususkan untuk
digunakan dalam penghormatan sakramen Maha Kudus adalah Ave Verum Corpus
(PML, 1988:100)
Lagu-lagu khusus bagi Bunda Maria mengandung unsur hormat dan Pujian
kepada Sang Perawan Maria, Bunda Kudus. Contoh lagu yang ditujukan guna
76
menghormati Bunda Maria adalah Ave Maria, Gratia Plena (PML, 1988:51)
Sejak Lagu Gregorian diresmikan sebagai musik ibadat Gereja, maka ada
keinginan untuk menciptakan bentuk lagu Gregorian baru. Bentuk lagu baru ini
mulai dimunculkan pada abad 10. Bentuk lagu baru ini disebut dengan Tropus dan
1) Tropus : berasal dari bahasa Yunani “Tropos” yang berarti ungkapan atau cara,
model musik ini merupakan usaha untuk memberi syair/suku kata baru/ tambahan
Contoh bentuk lagu Tropus seperti Alleluia – Veni Sancte Spiritus (PML, 1988:23)
77
2) Sekwensi : berasal dari kata Latin ‘Sequentia’ yang memiliki arti urutan.
Sekwensi merupakan tropus dalam bentuk khusus. Dalam sekwensi klasik, dua
ayat dinyanyikan dengan lagu yang sama kemudian untuk pasangannya ayat
berikut lagunya diganti. Dalam sejarah telah dibedakan adanya tiga bentuk
sekwensi
b) Sekwensi sanjak : dalam sekwensi sanjak, panjang lagu dan iramanya disamakan.
Pada akhir lagu dihiasi dengan sanjak; lagunya merupakan gubahan dari Alleluia
1988:38)
80
Namun pada abad 16, Konsili Trente hanya membatasi menjadi empat bentuk
sekwensi.
BAB III
musik memiliki ciri khas tersendiri. Ciri tersebut menjadi identitas musik tersebut.
Perkembangan musik tidak memiliki batasan waktu ataupun tahun yang pasti. Musik
terus berkembang dan berlangsung sepanjang masa. Ketika suatu bentuk musik
dikembangkan dengan berbagai pola, akan muncul bentuk musik yang baru. Musik
lama yang berkembang akan berjalan seiring dengan munculnya musik baru. Sejarah
musik meliputi perkembangan musik dari abad ke abad. Namun pada pembahasan
selanjutnya akan mengacu pada musik Gereja terlebih pada lagu Gregorian. Musik
Gereja merupakan bagian integral dalam perayaan ibadat dan kebutuhan rohani
lainnya.
Semenjak awal peradaban manusia, musik dan melodi secara mendalam telah
diasosiasikan dengan doa dan pujian yang dipanjatkan kepada Tuhan. Kata-kata
mengungkapkan sebuah gagasan sederhana. Ketika doa dan pujian diiringi dengan
82
Dalam Perjanjian Lama, Raja Salomo membangun Bait Allah dan mengakhirinya
dengan pujian kepada Allah (1 Raj 6:1-38 ; 8:54-61). Setelah pembuangan Babel dan
nyanyian dan pujian. Gereja muncul dan mulai berkembang didasarkan pada tradisi
Yahudi. Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa bagian yang mengidungkan pujian
kepada Allah. Beberapa bentuk pujian itu antara lain Kidung Magnificat yang
merupakan kidung pujian Zakharia ketika Yohanes Pembaptis lahir (Luk 1:67-80),
Nunc Dimitis yang diungkapkan oleh Simeon ketika menatang Yesus dalam
dengan orang Yahudi lainnya untuk menyanyikan mazmur dan memuji Tuhan (Luk
sebelum pergi ke bukit Zaitun (Mrk 14:26 ; Mat 26:30). Selain itu, Yesus sering ke
(Klarman, 1945:121-122).
Berdasarkan kebiasaan dan adat tradisi bangsa Yahudi, Gereja muncul dan
orang Kristen yang menjalankan nasehat St.Paulus dalam surat kepada Jemaat di
Efesus, “Berkata-katalah kepada yang lain dalam mazmur, kidung pujian, dan
nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati,” (Ef
5:19). Sejak jaman Salomo, para Nabi hingga Yesus dan para muridNya, kebiasaan
menyanyikan mazmur, himne, dan nyanyian rohanui telah dilakukan dan diturunkan
Dalam buku yang berjudul Alkitab dan Liturgi, E.H. van Olst mengungkapkan
bahwa Gereja awal merefleksikan liturgi dalam sinagoga berdasar pada tradisi
Yahudi hingga suatu batas tertentu (Prier, 2009b:16). Dari penjabaran tersebut dapat
ditarik makna bahwa musik Gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat
pada perkiraan para pakar musik. Oleh karena itu, tidak adanya penulisan notasi lagu
pada masa awal Gereja Perdana. Dimungkinkan adanya suatu improvisasi yang
dilakukan oleh seorang solis berdasarkan jenis syair sesuai dengan adanya suatu
nada. Selain itu terlihat bahwa ada suatu pendarasan mazmur secara bergantian atau
dari Gereja Perdana ini melanjutkan suatu tradisi yang sudah ada diambil dari
nyanyian tradisi ibadat Yahudi maupun musik dari Palestina dan sekitarnya (Prier,
1994:36).
84
Roma. Di segi lain, perkembangan musik dimulai di Yunani sekitar tahun 2200
hingga 30 SM (Prier, 1991:19). Musik menjadi bentuk kesenian yang identik dengan
memiliki tangga nadanya sendiri dan menempatkan harmoni sebagai salah satu unsur
musik. Puncak perkembangan kebudayaan musik Yunani, dimulai tahun 476 SM.
musik berpengaruh dalam kehdupan manusia sebagai suatu bentuk hiburan yang
mempengaruhi hati manusia, sebagai unsur pembentukan watak manusia dan sebagai
suatu perintang waktu. Seni suara berbeda dengan seni yang lain, seni suara mampu
sebagai suatu tiruan seluk beluk hati dengan melodi dan irama (Prier, 1991:41).
tidak memiliki bentuk seni yang mandiri walaupun terus menerus mempelajari seni
Dalam kehidupan gereja, tradisi musik Yahudi dan Yunani berbaur menjadi dasar
perkembangan musik gereja. Dua budaya ini bermuara pada suatu bentuk lagu yang
bergaya resitatif, yakni lagu Gregorian. Bentuk musik awal ini dilengkapi dengan
antifon-antifon. Bentuk musik ini digabungkan dalam ibadat perjamuan ekaristi serta
ibadat pagi dan sore. Perkembangan kebudayaan ini diawali berdasarkan budaya
lisan yang dipadukan dengan bentuk improvisasi. Semakin lama bentuk ini
diwariskan dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk awal lagu ini belum
mengeluarkan sebuah pernyataan yang lebih dikenal dengan Edik Milano. Edik
(Kristiyanto, 2002:61-65). Hal ini merubah posisi Gereja dalam dunia. Keberadaan
Gereja diakui oleh negara. Setiap orang dapat mengakui bentuk iman Kristiani dan
terhadap umat Kristiani (Sumarno, 2004:6). Sri Paus dan para pemimpin Gereja
keagamaan maju dengan pesat. Tidak ketinggalan pula perubahan ini menjadi dasar
perubahan dalam bidang musik. Liturgi semakin diperhatikan dan terus berkembang
86
hingga pada awal abad 7. Liturgi mengambil alih banyak unsur dari upacara di istana
Warisan Yahudi yang berbaur dengan tradisi Yunani bermuara pada satu bentuk
musik yakni Gregorian. Terdapat bentuk-bentuk mazmur yang diambil alih dari
Perjanjian Lama. Bentuk mazmur ini dilengkapi dengan antifon dan digunakan
dalam ibadat perjamuan Ekaristi. Kemudian berkembanglah bentuk baru himne atau
madah. Bentuk baru ini dikembangkan oleh St.Ambrosius (340-394) di Milano, Italia
pemilihan atau seleksi terhadap lagu-lagu resitatif yang dapat digunakan dalam
ibadat dan kegiatan rohani lainnya. Sampai pada abad 10,tidak ada suatu bentuk
nyanyian yang dinotasikan. Ada bentuk buku liturgi yang mulai digunakan pada abad
6. Buku ini merupakan buku yang diwajibkan digunakan di daerah Eropa Utara. Hal
ini juga menyebabkan lagu Gregorian berkembang ke daerah Eropa Utara dengan
Adanya improvisasi dan modifikasi pada bentuk Alleluia dan Kyrie menyebabkan
terbentuknya lagu Tropus dan sekuensi (Prier, 2009:18). Lagu Gregorian menjadi
suatu bentuk musik utama yang dipergunakan dalam ibadat dan kegiatan dalam
Gereja lainnya.
87
Musik pada abad pertengahan memiliki rentang waktu yang berbeda dengan
makna abad pertengahan pada umumnya. Secara sejarah umum, awal abad
pertengahan ditandai dengan keruntuhan kerajaan Roma pada tahun 476. Selain itu,
Lain halnya dengan abad pertengahan dalam sejarah musik. Awal abad pertengahan
dalam sejarah musik ditandai dengan adanya bentuk perpindahan penduduk secara
besar-besaran dari Eropa Timur ke Eropa Barat bahkan hingga Afrika. Perpindahan
penduduk ini mampu mengubah kebudayaan klasik Yunani dan Romawi yang telah
Selain musik dalam gereja, musik seni pun berkembang dengan pesat. Bersamaan
dengan berkembangnya lagu Gregorian, berkembang pula musik yang lebih bersifat
profan. Perkembangan ini terutama terjadi di Prancis dan Jerman. Di Prancis musik
ini disebut dengan Troubador dan Trouvere yang berarti penemu atau pencipta (Prier,
1991:103). Ciri musik ini adalah musik yang berbentuk vokal dengan satu suara,
memiliki syair yang banyak bertema tentang cinta, kepahlawanan, dan alam. Irama
dalam musik ini memiliki aturan yang lebih mengikat. Musik Troubador merupakan
musik ini seiring sejalan dengan lagu Gregorian, namun pembentukan awal lagu ini
didasarkan pada musik Gregorian. Gaya resitatif masih melekat pada penciptaan
musik Troubador. Dalam musik Troubador ada 4 bentuk dasar yakni bentuk litani
yang dinyanyikan dengan bentuk bait dan lagu yang sama, bentuk sekwensi, bentuk
88
kanzone yang berdasar pada bentuk himne, dan bentuk rondo yang merupakan
(Prier,1991-106). Seni Minnesang bertolak pada bentuk sastra. Isi lagu dalam
Minnesang tidak jelas sumber dan asal-usulnya. Melodi dapat diciptakan dari melodi
musik rohani yang diganti dengan syair yang baru. Pembentukan musik dengan cara
seperti ini dikenal dengan teknik kontrafaktur. Pada fase Minnesang pertama
dikuasai oleh bentuk vokal satu suara, pada fase selanjutnya mulai didominasi oleh
Sekitar abad 9-11, terjadi perubahan besar dalam gaya musik di Eropa. Adanya
tambahan-tambahan nada atau suara dalam sebuah nyanyian sehingga dalam sebuah
lagu terdapat 2 suara atau lebih. Musik ini mengutamakan harmonisasi nada sehingga
paduan suara atau bunyi diperhatikan dengan lebih detail. Gaya musik polifoniini
dikenal dengan musik organum. Menurut Scotus, musik organum merupakan suatu
utama. Suara kedua berjarak satu kwint dibawah melodi utama. Suara pokok disebut
dengan Vox Principalis dan suara tambahan disebut dengan Vox Organum.
89
Pada abad 12-13 terbentuk suatu aliran musik yang dikembangkan di Notre Dame
Paris dan di Inggris (Prier, 2009:18). Bentuk musik ini banyak mempengaruhi
perkembangan musik dalam Gereja. Pada masa ini muncullah bentuk musik motetus.
bentuk ini merupakan awal pembentukan suara berbeda dalam suatu lagu (Prier,
2009b:121). Musik yang terbentuk pada masa ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama disebut dengan musik rasional atau yang disebut musica mensura. Bentuk
musik ini banyak mencerminkan karya penciptaan Allah dan digunakan dalam
peribadatan. Bentuk musik yang kedua adalah musik emosional. Bentuk musik ini
tidak mengutamakan kata-kata sebagai unsur utama, namun irama, suasana yang
dibangun menjadi sasaran utama pembentukan musik ini. Musik seni terus
istilah Ars Antiqua dan Ars Nova. Istilah Ars Antiqua muncul pada tahun 1320.
Istilah ini muncul karena kemunculan istilah Ars Nova yang berarti seni musik baru.
Ars Antiqua berarti seni musik lama sebelum munculnya Ars Nova. Ars Antiqua erat
kaitannya dengan perkembangan sekolah Notre Dame (Prier, 1991:117). Di sisi lain,
muncullah Ars Nova sebagai bentuk perkembangan Ars Antiqua. Musik Ars Antiqua
dan Ars Nova tidak berhubungan langsung dengan komposisi musik, namun erat
waktu. Perkembangan tersebut mengubah bentuk notasi dari notasi sederhana hingga
notasi modern masa kini. Pada abad 14, komposisi para komposer berubah. Pada
missae.
memiliki makna sebuah kelahiran kembali. Semua bentuk kesenian pada masa ini
Yunani – Romawi klasik. Pada masa ini, di Eropa terjadi banyak perubahan dalam
seni musik, musik zaman Renaissance memiliki makna lahirnya suatu bentuk musik
yang lebih manusiawi daripada musik zaman pertengahan (Prier, 2009:20). Para
Ciri musik pada zaman Renaissance terlihat dari tehnik komposisi yang
lahirlah sebuah tehnik yang sekarang disebut dengan teknik kontrapung. Teknik ini
merupakan teknik pengisian lagu dengan tambahan nada kedua pada sebuah lagu.
Teknik ini berkembang pada abad 15-16 (Prier, 2009b:95). Ciri lain yang terlihat dari
gaya musik zaman Renaissance adalah dalam hal pembentukan suara. Gaya musik
91
(Prier, 2009b:181). Melodi yang muncul merupakan melodi sederhana dari lagu-lagu
gothik. Melodi yang sederhana ini terlihat lebih hidup karena pembentukan lagu
Melodi yang sederhana ini hendak mengungkapkan isi dan perasaan yang termuat
dalam syair-syairnya.
ke-Allah-an atau yang sering dikenal dengan Teosentris. Pada zaman Renaissance
manusia atau disebut dengan antroposentris (Prier, 2009:20). Walaupun musik zaman
munculnya lagu-lagu yang digunakan dalam ibadat. Lagu zaman Renaissance yang
identik dengan musik ibadat disebut dengan musica sacra yang berarti nyanyian suci.
Musica sacra pada masa Renaissance banyak yang berbentuk polifoni. Nyanyian
polifoni sakra memiliki lebih dari satu suara yang terdiri atas cantus firmus dan motif
imitasinya. Pada nyanyan polifoni sakra sering ditambahkan suatu pola, aksen
ataupun variasi nada disonan untuk membentuk suara yang lebih dinamis. Tekstur
musik pada masa renaissance ini lebih menyatu sehingga kaya akan harmoni
pada masa Renaissance mengawali perbedaan jalur antara musik profan dan musik
Gereja. Bentuk musik pada masa ini terbagi antara bentuk motet yakni musik
92
renaissance yang memiliki pandangan akan ke-Allaha-an) dan seni musik madrigal
Musik renaisance dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni musik obyektif /
tradisional (stilo antico) dan musik subyektif/baru (stillo moderno) Yang termasuk
dalam kelompok musik obyektif adalah musik-musik Gregorian dan musik polifoni
yang didasarkan pada lagu Gregorian. Sedangkan musik subyektif adalah lagu-lagu
dengan gaya nyanyian yang menggunakan cantus firmus baru, dengan bentuk baru,
gaya baru dan bunyi baru. Seorang pemusik pada abad 15, Johannes Tinctoris (1435-
1511) menyatakan bahwa “musik adalah seni untuk mencetuskan syair dalam melodi
musik sakral seperti motet dan missae. Namun pada perkembangannya mulai
menyentuh bidang profan dengan disusunnya bentuk musik madrigal, bentuk musik
ini memiliki mutu dan kualitas yang sama dengan musik sakral.
a. Motet
Bentuk motet pada masa ini berbeda dengan bentuk motet lama atau yang lebih
dikenal dengan motetus. Motet yang berkembang pada abad 15 mengalami bentuk
perubahan yang sangat mendalam. Motet menjadi bagian dalam liturgi dan
menggunakan syair dalam bahasa Latin. bentuk motet terbagi menjadi dua macam,
yakni motet dengan cantus firmus dalam tenor dimana suara lainnya disusun secara
93
polifon atau homofon yang melengkapi cantus firmus sebagai sebuah kontrapung.
Bentuk motet yang kedua merupakan bentuk baru tanpa menggunakan cantus firmus,
dalam hal ini suara tenor disesuaikan dengan pembentukan suara lainnya (Prier,
1991:135). Bentuk motet pada masa ini dibentuk berdasarkan syair yang disusun.
Setiap potingan syair disusun dengan tambahan motif musik yang berbeda. Motif
motet yang didasarkan oleh pembentukan syair banyak dikembangkan oleh G.P.
b. Ordinarium Missae
Bagian-bagian utama dalam misa seperti Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus
Dei disusun dalam bentuk motet. Bagian-bagian lagu ini disusun menjadi sebuah
rangkaian lagu yang menyatu dalam liturgi (Prier, 1991:135). Karena bagian liturgi
tersebut disusun dalam sebuah rangkaian yang tetap maka disebut dengan “missae”
c. Madrigal
Pada abad 16, munculah sebuah bentuk musik baru yang disebut dengan musik
madrigal. Bentuk musik madrigal ini merupakan gubahan polifoni dari musik motet.
kepentingan ibadat.
94
Pada masa Renaissance, manusia dipandang sebagai citra Allah. Hal ini
menjadikan manusia sebagai patokan bagi ukuran keindahan seni. Namun pandangan
ini menjadi sebuah pandangan yang dangkal dan kering sehingga menyebabkan
adanya reaksi. Reaksi tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ejekan atau sindiran
suatu bentuk seni baru yang disebut dengan seni Barok. Seni yang berkembang pada
masa ini banyak mengangkat khayalan dan fantasi yang tinggi. Perkembangan seni
ini mengakibatkan suatu kesan yang mewah, megah namun bertolak belakang
dengan kondisi nyata pada masa itu (Prier, 2009:22). Masa perkembangan musik
barok terjadi antara tahun 1600 – 1750. Jaman barok dikenal sebagai masa transisi
antara jaman Renaissance ke arah jaman klasik. Kata ‘Barok’ dipakai pertama kali
pada tahun 1750. Kata ini diartikan sebagai sebuah bentuk mutiara yang tidak
berbentuk secara wajar. Makna ‘barok’ sering dinilai dari sudut pandang negatif.
Dalam hal musik pun tidak luput dari penilaian negatif ini. Hal ini dikarenakan
harmoni yang terbentuk pada masa barok dianggap kurang memiliki makna yang
jelas, dibentuk dengan melodi yang sulit dan kurang wajar, kaku (Prier, 1993:7). Hal
ini menjadi perwujudan dalam seni yang muncul pada masa itu
Musik pada jaman barok memiliki pembentukan suasana tunggal. Lagu yang
menggunakan perubahan nada dasar atau yang sering disebut dengan modulasi.
Bentuk musik dipengaruhi oleh bentuk arsitektur bergaya lebar dan penuh lengkung
seperti kubah (Banoe, 2003:45). Musik barok yang memiliki tempo lebih lambat dan
mampu menstimulasi sel-sel otak untuk menerima masukan data ketika belajar
maupun bekerja (Campbell, 2002:96). Musik pada jaman ini banyak dipengaruhi
oleh Basso Continuo yakni iringan yang diiringi organ dan dipadukan dengan
Selama abad 17-18, musik diciptakan dan dipentaskan di istana, gereja katedral,
gedung opera, bahkan hingga ke sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya pemisahan antara musik gereja maupun musik duniawi. Meskipun begitu
tetap ada pembagian musik secara fungsional (Prier, 2009:23). Hal ini menyebabkan
a. Opera
Munculnya opera masa barok didasarkan pada kebudayaan Yunani klasik yang
dihidupkan kembali di masa renaissance. Opera pada masa Barok dimulai di daerah
dihidupkan dengan suatu pola seni yang baru. Pengembangan seni drama Yunani
dipandang suatu bentuk perpaduan yang sempurna antara seni sastra, musik dan
tarian (Prier, 1993:16). Dalam perjalanannya, opera lebih dikenal sebagai sebuah
karya musik utuh yang menyuguhkan suatu cerita dramatis profan. Karya musik ini
96
dengan temanya, dan tingkah laku atau gerak-gerik para pemainnya (Prier,
b. Oratorio
Oratorio merupakan suatu karya musik yang disusun dengan syair rohani dan
Oratorio mulai muncul pada tahun 1640. Sebelumnya seni oratorio merupakan suatu
gerakan devosional yang tidak hanya mencakup kegiatan yang dilaksanakan di dalam
Gereja. Karena tidak ada ikatan yang kuat terhadap peraturan ibadat sehingga
oratorio disusun secara bebas. Penyusunan oratorio secara bebas disusun dengan
merangkai kata dalam doa, Kitab Suci, atau nyanyian yang sudah ada yang disebut
dengan Laudi. Laudi dibawakan secara solo dan mencakup nada yang sederhana.
Kesederhanaan nada tersebut mulai dikembangkan dengan bentuk dialog. Setelah itu,
oratorio mulai didasarkan pada Kitab Suci yang diselingi dengan nada-nada dramatis.
Oratorio dibedakan menjadi dua macam yakni Oratorio Latino yang menggunakan
97
bahasa Latin, sedangkan yang satunya disebut dengan Oratorio Volgare yakni bentuk
Kata ‘oratorio’ berarti ‘ruang doa’. Namun pada perjalanan waktu, makna ini
dapat dimaknai sebagai ruang rohani. Oratorio berhasil menarik perhatian sebagian
kalangan karena memiliki kekhasan musik barok. Hal ini juga menggugah perhatian
Gereja, karena dalam oratorio menggunakan teks atau syair yang berasal dari Kitab
Suci ditambah dengan renungan dan unsur pengajaran (Prier, 1993:36). Ada banyak
sekali gubahan oratorio, gubahan oratorio yang paling dikenal adalah oratorio “The
messiah” karya GF. Handel. Oratorio ini menceritakan mengenai kehidupan Yesus
Kristus sebagai seorang pahlawan dan Raja bagi umat manusia, selain itu oratorio
lain yang terkenal adalah oratorio “Judas Maccabeus” yang menceritakan mengenai
c. Pasio
digunakan dalam kebaktian pada hari minggu, kantata diletakkan pada sebelum atau
sesudah kotbah. Sedangkan pasio merupakan bentuk kantata dalam versi yang
panjang.
Pasio berasal dari kata “Passio” dalam bahasa Latin yang berarti sengsara. Yang
menceritakan mengenai kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus. Pada abad 18, muncul
98
banyak sekali pasio, namun pasio yang sampai saat ini dikenal adalah Pasio Yohanes
(Johannes-Passion) yang dibentuk oleh GF. Handel dan Pasio Mateus (Matthaus-
Passion) karya JS. Bach (Prier, 2009b:153). Kedua pasio ini merupakan puncak dari
Musik klasik pada dasarnya bukan merupakan nama sebuah bentuk aliran musik.
Kata klasik mengacu pada 3 periode yang cukup populer pada masa itu. Istilah klasik
diambil dari satu masa yang merupakan puncak perkembangan musik pada masanya.
Tiga periode tersebut sering disebut dengan Jaman Barok (th 1600 – 1750), Jaman
klasik Wina (th 1750 – 1800), Jaman Romantik (th 1800 – 1900).
Musik klasik sering dipahami sebagai bentuk musik yang bernilai seni yang
Berdasarkan Friederich Blume, musik klasik sering dipahami sebagai suatu bentuk
musik yang mampu menyatukan segala bentuk ekspresi sehingga terciptalah suatu
bentuk ekspresi baru yang meyakinkan dan mampu bertahan terhadap jaman (Prier,
2009b:90). Musik klasik sering mengacu pada suatu bentuk musik klasik Eropa.
Namun keadaan ini tidak menutup kemungkinan adanya musik klasik dari bentuk
seni yang lain. Seperti musik dan seni gamelan klasik, musik dan seni ini tidak
daya pikirnya mencapai suatu pengertian baru yang makin dewasa dan memberikan
kebebasan kepada setiap orang. Perubahan jaman ini memunculkan bentuk musik
yang baru. Pada musik klasik, perasaan dan sikap manusia diungkapkan secara lebih
perkembangan musik yang lainnya. Musik klasik terlihat khas pada bentuk notasi
musik yang sudah mulai dikembangkan semenjak abad ke-16. Pembentukan notasi
musik klasik sering dipergunakan oleh para komponis untuk memberi petunjuk
mengenai tinggi nada, kecepatan dan ritmis yang digunakan. Musik klasik memiliki
Ciri yang sering ditemui dalam musik klasik antara lain dalam penggunaan
dinamika yang berubah dari keras menjadi lembut, dari yang dominasi crescendo
menjadi decrescendo. Selain itu, dalam musik klasik sering terjadi adanya perubahan
tempo musik dengan adanya accelerando (semakin cepat) dan ritardando (melambat).
Musik pada jaman klasik tidak memiliki keleluasaan gerak untuk adanya suatu
bentuk improvisasi. Musik klasik memiliki rentang waktu yang cukup panjang.
yang lain. Musik klasik memiliki bentuk suara yang jernih, penuh dengan
100
batin. Hal terbaik dari musik klasik adalah musik klasik menjadi elemen dasar semua
musik modern di era selanjutnya. Ada ungkapan “musik klasik tidak akan pernah
mati”.
a. Opera Klasik
Opera pada jaman klasik merupakan perkembangan dari opera yang muncul pada
masa barok. Pada masa barok, opera berkembang dengan dua bentuk yang berbeda
yakni opera seria atau yang sering disebut dengan opera seriosa. Sedangkan bentuk
yang lain disebut dengan opera buffa atau opera jenaka. Yang membedakan opera
Barok dan Opera Klasik adalah teknik bernyanyi yang disesuaikan dengan unsur
musik klasik. Di Prancis opera dibagi menjadi Grand Opera dan Opera Comique.
Grand opera lebih cenderung sebagai suatu seni tinggi bagi kalangan bangsawan.
b. Musik Gereja
Musik Gereja pada periode ini memiliki suatu pandangan yang berbeda. Musik
Gereja klasik mampu mencerminkan suatu optimisme dan pandangan yang luas.
Manusia pada abad 18 mendapat pengaruh dari para filsuf bahwa mereka merasa satu
diri dengan dunia sekitarnya bukan didasarkan pada keimanan semata, namun segala
yang berkaitan dengan kehidupannya termasuk iman dapat dijelaskan secara logika.
Dengan mulai terpisahnya musik antara musik profan dan musik Gereja, maka
101
Keterbukaan ini memunculkan suatu bentuk baru musik dalam Gereja. Terkadang
karya yang diciptakan dalam musik Gereja menjadi terlalu megah sehingga
inspirasi yang diambil dari dunia khayalan. Musik romantik lebih menekankan pada
perasaan dalam bermusik yang tidak hanya terbatas abad 19. Perkembangan musik
romantik banyak dipengaruhi adanya Revolusi Jerman pada tahun 1830 dan 1848.
demokrasi. Perkembangan ekonomi dan sosial yang sangat cepat. Begitu pula dengan
kesenian yang akhirnya diurusi oleh elemen masyarakat itu sendiri. Hal ini
gedung opera, namun bisa masuk ke kalangan kehidupan masyarakat bawah seperti
di rumah. Adanya perubahan tersebut membawa manusia kembali kepada impian dan
khayalannya, hal inilah yang menyebabkan musik yang dibentuk pada jaman ini
didasarkan pada kehidupan khayalan dan impian yang indah penuh dengan
Menurut Fr. Blume, musik klasik dan romantik memiliki suatu keterkaitan erat
karena dua bentuk musik tersebut berada dalam satu jaman yang sama. Namun
sedikit demi sedikit bentuk musik yang berkembang pada abad 18 mengalami
perubahan dan perkembangan hingga pertengahan abad 19 (Prier, 1993:125). Hal ini
Musik pada jaman romantik dialami sebagai musik yang berasal dari dalam jiwa
dan pengungkapan alam melalui nada (Prier, 2009:31).hal ini menyebabkan tema
yang sering muncul dalam musik romantik antara lain bertemakan romantisme
sesuatu hal yang berbau mistis. Musik pada jaman romantik lebih mengandalkan rasa
simpati dan kasih sayang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis musik terutama
musik gereja yang berpangkal pada syairnya ingin mengungkapkan suatu pesan
tersendiri. Oleh karena itu, pembentukan musik jaman romantik tidak hanya berpusat
pada teknik dan bentuk musik namun juga mengena pada jiwa. Musik yang dibentuk
2002:79). Pembentukan musik ini ditandai dengan adanya perubahan dinamika dan
tempo pada musik. Dengan keyakinan dalam membawakan musik tersebut namun
Beberapa bentuk musik yang muncul pada masa romantik ini adalah beberapa
lagu solo yang dipadukan dalam misa, opera, dan oratorio. Musik romantik sedikit
menunjukkan perbedaan dengan musik klasik. Musik klasik memiliki bentuk yang
pembentukan musiknya.
dengan musik-musik pada masa sebelumnya. Musik dalam budaya Barat tidak begitu
dan pendekatan terhadap suatu aliran musik. Perbedaan yang terlihat antara musik
sebelum abad 20 dan sesudah abad 20 terlihat dari jalannya arus musik yang sedang
berkembang pada masa tersebut. Musik pada abad 20, tidak dapat dipandang dari
satu sisi. Hal ini dikarenakan munculnya banyak aliran musik yang bersamaan.
Banyaknya bentuk musik yang muncul ini memunculkan adanya persilangan gaya
antara arus musik yang satu dengan yang lainnya (Mack, 1995:3).
a. Impresionisme / simbolisme
yang mendasar terhadap gramatikal musik dan paradigma tentang musik modern.
Perubahan paradigma ini banyak dipengaruhi dengan adanya perubahan situasi sosial
dan politik di Eropa. Perubahan ini tidak terjadi secara langsung namun upaya
perubahan yang cukup tinggi menimbulkan reaksi keras masyarakat (Mack, 1995:9).
Kata impresionisme muncul sebagai suatu reaksi terhadap seni yang realistis, hal
Impresionisme sering diidentikkan dengan karya lukis yang dibentuk dalam segmen
atau titik kecil. Hal ini menuntut adanya suatu imajinasi bagi para penikmat lukisan
musik impresionisme memfokuskan pada kejernihan musik yang tercipta. Tidak jauh
berbeda dengan aliran simbolisme. Aliran simbolisme dapat dipahami sebagai suatu
aliran yang mengutamakan cara pandang atau tafsiran pribadi. Setiap simbol mampu
menunjukkan ekspresi atau kesan tertentu. Dalam hal seni musik, dapat dipahami
bahwa musik simbolisme dipandang dari sudut komposer yang menimbulkan kesan
adanya suatu makna yang tersembunyi dalam penciptaan karya musiknya. Beberapa
tokoh menyebutkan bahwa musik dapat bertolak dari sesuatu hal yang sederhana dan
b. Individualisme
Musik bersifat abstrak dan mencakup sesuatu hal yang kompleks. Cara yang sering
digunakan untuk mendekati musik abad 20 berpangkal dari sikap pribadi seniman
c. Ekspresionisme
diri para komposernya. Ekspresionisme merupakan suatu bentuk seni yang subyektif
dan bersifat egosentri. Hal ini dikarenakan musik yang dibentuk pada masa
perbedaan sosial dan ekonomi yang terjadi. Musik pada abad 20 tidak adanya
pada abad ke-20 tidak dapat dipahami dalam satu arus musik saja (Mack, 1995:3).
terhadap perkembangan musik. Munculnya suatu bentuk musik yang baru memiliki
lama, namun ada pihak yang menginginkan adanya suatu bentuk pembaharuan.
Adanya kritikan dan usulan baik pada bidang seni maupun sosial mampu
menyadarkan banyak kalangan akan adanya suatu pegangan yang pasti dalam
Musik yang semakin lama semakin berkembang tidak hanya dikenal di tempat
mancanegara. Musik tidak hanya menjadi milik suatu kelompok tertentu dan hanya
ekspresi yang bebas. Musik mampu menyentuh sudut kehidupan sederhana yang
dipadukan dengan kreatifitas dan jiwa seni akan menghasilkan suatu bentuk musik
bentuk baru. Musik yang mampu mengungkapkan ekspresi seseorang. Secara luas,
pribadinya. Sebagai contoh ada beberapa bentuk musik profan yang mampu
1) Jazz
Musik jazz mulai berkembang pada akhir abad 19 di daerah Amerika serikat
bagian selatan. Musik jazz merupakan bentuk perpaduan antara bentuk musik tradisi
Afrika yang bertemu dengan musik tradisi Eropa. Musik jazz memiliki suatu bentuk
ciri yang berbeda dengan bentuk musik lainnya. Perbedaan karakter antara musik
107
jazz dengan musik lainnya terletak pada perubahan aksen dan kemampuan musik
Improvisasi yang dihasilkan oleh musik jazz didasarkan pada suatu bentuk chorus
atau refren yang diulang. Melodi, irama dan harmonisasi yang terdapat dalam musik
improvisasi yang dibentuk menunjukkan adanya suatu kekurangan dalam musik jazz.
Musik jazz tidak terpaku pada suatu bentuk notasi musik dan birama, baru pada
akhir-akhir ini musik jazz diberikan notasi musik, tempo, dan birama yang teratur
(Prier, 2009b:78).
2) Rock
Musik rock dipahami sebagai suatu bentuk musik populer yang berakar pada
bentuk musik rock and roll. Istilah ini muncul dari bahasa orang negro di daerah
Amerika Utara. Kata ini secara harafiah berarti sebagai suatu gerakan erotis dalam
dansa pergaulan masyarakatnya. Musik rock memiliki ciri khasnya sendiri seperti
musiknya yang berirama blues dan dimainkan dengan tempo yang cepat (Prier,
2009:188).
Musik rock muncul pada awal tahun 1950-an, dan merupakan suatu bentuk
penggabungan beberapa genre musik yang dibentuk pada akhir 1940-an. Perbedaan
108
antara musik rock dengan musik yang lainnya terletak pada pembagian musik
menjadi sub genrenya. Bentuk musik lain dibagi berdasrkan bentuk musik yang
dipadukan dengan ciri khas tertentu. Sedangkan musik rock dibagi berdasarkan level
kerasnya suara yang dihasilkan. Pada awalnya, musik rock disuguhkan sebagai
lama, musik rock sama dengan musik lain dengan adanya pengembangan dan
3) Pop
Lagu pop merupakan salah satu bentuk musik yang memiliki suatu batasan yang
semu. Ada beberapa bentuk musik yang pada akhirnya digabungkan menjadi satu
keluarga dengan musik pop. Keberadaan musik pop menjadi suatu fenomena
tersendiri dalam perkembangan musik dunia. Ada banyak sekali kritikan yang terus
muncul guna memperbaiki kualitas musik pop. Selain itu juga diharapkan bahwa
musik pop mampu menyampaikan pesan-pesan yang jelas dan lugas kepada para
Musik tidak pernah memiliki batasannya secara nyata. Aliran musik akan
mempengaruhi bentuk musik yang lainnya dan akan dipengaruhi oleh bentuk musik
yang lainnya pula. Musik pop berasal dari kata dalam bahasa Inggris populer yang
memiliki makna sebuah dorongan atau letusan. Hal ini muncul dari situasi sosio
budaya di Eropa Barat pada tahun 1960-an. Musik pop merupakan suatu bentuk
109
pengolahan secara komersial antara musik rakyat dan musik seni (Prier, 2009b:166).
Musik pop memiliki ciri yang mudah dibedakan dari bentuk musik lainnya.
Musik pop mengangkat sisi kesederhanaan dalam bermusik. Musik pop mampu
disamakan dengan bentuk musik hiburan yang mudah untuk diperdengarkan secara
umum demi tujuan komersial. Melodi yang tersusun dipilih pada bentuk yang ringan
dan harmonis. Musik pop banyak memiliki tema yang hampir sama, seperti tema
kesederhanaan musik pop merupakan salah satu cara agar bentuk musik ini dapat
munculnya bentuk musik ini di Indonesia, musik pop tidak mengalami perubahan
bentuk musik yang signifikan. Hal ini juga karena tidak adanya suatu bentuk
musik dalam Gereja semakin didukung oleh munculnya motu proprio “Tra le
Sollicitudo” pada tahun 1903 yang cukup berimbas pada perkembangan musik
110
pembaharuan liturgi pada tahun 1930 hingga Konsili Vatikan II. Gerakan ini
menimbulkan suatu perkembangan baru terlebih pada musik Gereja, dimana musik
Gereja tidak hanya dibatasi oleh sebuah kelompok namun juga menggunakan bahasa
pribumi dan umat turut berpartisipasi aktif dalam nyanyian (Prier, 2009:37-38).
Musik Gereja yang semakin maju menghasilkan bentuk-bentuk baru yang masih
Musik Taize muncul dari suatu komunitas ekumenis yang didirikan oleh Frere
Roger yang didirikan pada tahun 1940 di daerah Taize, Perancis. Kehidupan dalam
komunitas ini difokuskan pada doa dan meditasi. Sesudah terjadinya Perang Dunian
perhatian. Perhatian terhadap komunitas Taize ini sebagian besar dari kaum muda
yang berasal dari seluruh belahan dunia. Karena semakin lama perkembangan Taize
mencakup segala penjuru dunia, sehingga disusunlah suatu bentuk musik meditatif
Musik yang muncul dari komunitas taize menekankan suatu bentuk ungkapan
yang sederhana. Ungkapan tersebut dapat diambil dari pengulangan mazmur atau
bagian dalam Kitab Suci. Selain itu bentuk musik taize dapat berbentuk ulangan-
memfokuskan diri dan pikiran pada suatu ketenangan batin yang mengarah pada
111
Allah. Komunitas Taize merupakan suatu kelompok ekumenis, hal ini dikarenakan
setiap orang yang datang ke komunitas ini dapat langsung bergabung tanpa
Januari 2010).
2) Musik Pujian
suatu bentuk manifestasi Roh Kudus yang dipercayai dan dipraktekkan sebagai
pengalaman pribadi. Kata karismatik berasal dari sebuah kata Yunani “Charis” yang
berarti kasih karunia. Hal ini semakin menjelaskan bahwa di dalam alkitab adanya
b) Pop Rohani : musik pop rohani dibentuk dengan suatu tujuan yang khusus.
Pembentukan musik pop rohani ditujukan secara utama sebagai suatu bentuk hiburan
yang memiliki suasana dan bobot rohani. Ada banyak bentuk lagu pop rohani yang
akhirnya digunakan secara komersial di luar kegiatan ibadat. Bahasa yang digunakan
dalam musik pop rohani ini terasa sangat ringan, menggunakan banyak bentuk
bahasa sehari-hari. Isi syair kurang menyentuh segi alkitabiah. Namun tetap
bertujuan untuk menyapa Allah. Musik yang dihasilkan lebih ringan daripada musik
c) Gospel : kata ini diambil dari Bahasa Inggris yang berarti ‘Injil’. Jenis musik
didominasi oleh orang Amerika berkulit hitam. Musik gospel sering disebut dengan
musik yang berkembang dalam lingkup budaya negro spiritual. Semenjak tahun
Perkembangan musik gospel yang semakin komersil mengubah wajah dan jiwa asli
3) Musik Inkulturasi
fase inkulturasi liturgi pada sekitar tahun 1956-1957. Langkah awal inkulturasi
dimulai di daerah Indonesia timur. Pada akhir 1956, Keuskupan Semarang memulai
untuk menciptakan suatu bentuk liturgi yang khas Jawa (Prier, 2007:7). Ada banyak
sekali bentuk inkulturasi yang masih menunjukkan keindahannya hingga saat ini.
Salah satunya yakni liturgi yang menggunakan unsur musik daerah sebagai
pengiringnya. Contoh yang masih langgeng hingga saat ini yakni masih
dipergunakannya gamelan pada misa setiap hari Minggu di Gereja Hati Kudus Yesus
Pugeran. Proses inkulturasi yang terjadi di paroki ini telah berlangsung selama
bertahun-tahun lamanya. Hal ini dikarenakan umat di lingkup Gereja Hati Kudus
Yesus banyak yang asli pribumi dan lokasinya masih sangat dekat dengan Kraton
Yogyakarta.
113
Eropa selatan. Perkembangan musik Gereja tidak berhenti begitu saja. Pada tahun
313, dikeluarkan edik Milano. Dengan diberlakukannya edik Milano, Gereja mulai
tampil secara terang-terangan di kalangan umum dan kekaisaran Roma. Pada abad
IV ini pula, perayaan ibadat yang berkembang pesat di Roma tidak lagi diadakan
secara tersembunyi dalam suatu katakombe, tetapi dilakukan secara resmi dalam
suatu gereja (basilika) bahkan hingga turun ke jalan dalam suatu bentuk prosesi.
Selain itu berkembanglah bentuk musik baru yang dikembangkan oleh Uskup
terkurung di dalam gereja bersama dengan umatnya. Kejadian ini menggugah uskup
ini antara lain himne/madah yakni suatu nyanyian berbait dengan syair baru (bukan
dari Kitab Suci). Musik gereja kini disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan
yang sedemikian subur. Pada masa ini di dalam gereja dikenal adanya solis, namun
selain itu terdapat pula sekelompok penyanyi yang terlatih (schola). Dengan begitu
114
semakin terbukalah jalan untuk pengembangan lagu yang lebih bernilai seni.
merasa perlu mengatur lagu-lagu yang dipergunakan dan lahirlah apa yang kemudian
mengatur Cantus Planus (berasal dari bahasa Latin, dengan arti harafiah lagu datar),
banyak tenaga pengajar untuk mengajar musik Gereja dalam suatu institut di Roma.
keindahan musik ibadat yang mulai digunakan dalam gereja-gereja di Eropa. Beliau
juga mengirim banyak sekali orang ke luar negeri untuk mendirikan sekolah dan
Eropa(Prier, 1991:101).
Paus Gregorius memperhatikan secara resmi bidang liturgi yakni semua hal yang
berkaitan dengan ibadat resmi Gereja yang lebih banyak dirayakan dengan musik dan
nyanyian. Dalam hal ini, Paus Gregorius berfungsi sebagai seorang Kompilator,
yaitu pengumpul melodi-melodi yang ada pada waktu itu mejadi sebuah kumpulan
digunakan secara resmi sebagai nyanyian resmi pada ibadat resmi (Prier, 1991:98).
keindahan khusus dalam Lagu Gregorian berdasarkan pada jiwa lagu Gregorian yang
lagu Gregorian ini sendiri adalah Ordo Benediktin. Paus Gregorius Agung
menyatakan bahwa keindahan yang mutlak dan mulia dari Lagu Gregorian adalah
berdasarkan adanya suatu kontemplasi dan sifat mistik yang diekspresikan dalam
neumatis. Kata neuma berarti isyarat atau aba-aba. Bentuk gaya neumatis ini berasal
dari musik dalam biara rahib Benediktin yang sering disebut sebagai pelopor
kebudayaan Eropa.
Lagu Gregorian semakin berkembang terus dari abad ke abad sehingga lebih tepat
disebut dengan sebuah ‘tradisi’ yang menjadi tulang punggung musik Gereja pada
abad pertengahan. Hingga awal abad X, keseluruhan lagu Gregorian ini menjadi
sebuah tradisi lisan karena berupa musik jemaat yang tidak dibukukan. Lagu tersebut
dinyanyikan dalam bahasa Latin yang dimengerti oleh seluruh umat ketika itu karena
Eropa, termasuk dengan penulisan sistem notasi bagi lagu Gregorian. Penulisan
sistem notasi ini dikarenakan semakin lama lagu Gregorian hanya dinyanyikan oleh
kelompok paduan suara sejenis. Yang khusus dalam liturgi Gereja adalah komposisi
penyanyi yang hanya terdiri dari paduan suara pria saja. Tradisi ini merupakan
Musik gereja yang lebih mengacu pada lagu Gregorian memerlukan penyanyi dan
paduan suara yang terlatih dengan baik. Pada saat itu, kebutuhan tersebut hanya
terdapat di biara-biara atau seminari saja. Hal itu membuat umat semakin pasif dalam
Gereja telah berulang kali mengeluarkan suatu peraturan yang mengatur kembali
tentang lagu liturgi, namun kenyataannya berbeda dengan teori tersebut. Sebagai
jalan keluar, sejak abad 13 imam harus mengucapkan semua teks liturgi meskipun
nyanyian tersebut dibawakan oleh paduan suara. Dengan demikian musik gereja
tidak lagi menjadi suatu bagian yang integral dalam ibadat tetapi menjadi suatu
hiasan atau tambahan saja. Hal itu menyebabkan adanya jurang pemisah antara
liturgi ‘resmi’ yang dirayakan oleh pemimpin ibadat dengan musik gereja yang tidak
117
harus sesuai dengan liturgi resmi karena hanya bersifat sebagai tambahan. Liturgi
Mulai abad 13, warisan musik gereja ini menjadi sebuah tantangan bagi para
komponis untuk menciptakan bentuk musik polifon baru. Maka lahirlah musik
Gereja gaya baru yang sering disebut dengan motetus, dan conductus (Prier, 1991:
111). Hal ini menyebabkan keinginan untuk memunculkan lagu organum yang lebih
meriah (Prier, 2007). Lagu Gregorian menjadi tradisi yang dipertahankan dalam
Gereja. Walaupun sudah banyak musik liturgi yang terbentuk, namun dalam
beberapa bagian liturgi lagu Gregorian dipertahankan dengan kelompok koor yang
sudah terlatih.
3. Zaman Renaissance
Selama abad 13-15, musik gereja di luar musik liturgi berkembang dalam bentuk
drama liturgi ataupun pasio. Sedangkan lagu Gregorian menjadi suatu bagian
tersendiri yang khusus dinyanyikan oleh paduan suara (schola) yang sudah terlatih.
Pada awalnya hanya lagu proprium saja yang dinyanyikan oleh paduan suara
sehingga umat yang lain masih bisa mengikuti dalam nyanyian ordinarium. Namun
mulai abad 15, paduan suara juga menyanyikan lagu-lagu ordinarium sehingga
dalam gereja. Aliran pertama ingin membendung dan melindungi tradisi musik
gereja yaitu lagu Gregorian terhadap perkembangan musik baru yakni musik
polifoni. Sedangkan aliran kedua ini belajar dari musik baru dengan mengambil segi
positif musik gereja ini guna mengembangkan khasanah musik gereja. Konsili Trente
tidak secara khusus membahas mengenai lagu liturgi, namun dari hasil konsili
tersebut sedikit ditekankan agar lagu Gregorian dipelihara secara intensif terutama
Pada masa Renaissance, tradisi lagu Gregorian diteruskan dalam bentuk musik
polifoni. Perubahan ke bentuk polifoni ini masih didasarkan pada bentuk lagu
Gregorian. Perubahan musik antara abad pertengahan dan abad Renaissance juga
musik Gereja masa Renaissance mengubah seni menjadi sebuah bentuk seni. Musik
Di dalam Gereja Protestan, bentuk musik yang paling berperan yakni musik
koral. Bentuk musik ini dibentuk dalam bahasa pribumi yang dapat dinyanyikan
bersama oleh jemaat. Ada beberapa bentuk musik koral yang berpangkal dari musik
Gregorian.
119
4. Zaman Barok
Bentuk musik yang muncul pada zaman Barok merupakan suatu reaksi atas
pandangan yang dibentuk dalam zaman Renaissance. Pada masa itu, manusia
dipandang sebagai citra Allah yang menjadi pedoman keindahan. Musik Barok
terkenal dengan susunan yang rumit dan penuh emosi. Musik pada zaman ini tidak
membedakan antara musik duniawi dan musik rohani. Musik yang diciptakan selalu
dipandang dalam hubungannya dengan Tuhan. Musik Gereja pada jaman Barok
Musik Gereja Katolik Barok masih banyak melanjutkan gaya musik zaman
Renaissance. Perubahan pada masa ini memunculkan suatu bentuk musik Gereja
dengan bentuk ungkapan perayaan secara subyektif (affectus movere). Di lain pihak,
musik polifoni yang meliputi misa, motet, mazmur, Te Deum, magnificat, antiphon,
sekuensi. Di luar itu, seni opera dan konser semakin mempengaruhi bentuk musik
liturgi (Prier, 2009b:23-24). Hal inilah yang mengubah pandangan mengenai makna
musik liturgi. Bentuk musik liturgi semakin digeser maknanya dan diganti istilah
dengan musik sakral. Pergeseran musik Gereja menjadi musik rohani dikarenakan
120
dalam penyajiannya lebih menonjolkan segi kepuasan para penikmatnya dan kurang
Musik dalam Gereja Protestan melanjutkan tradisi yang telah dimulai oleh
Luther. Koral dinyanyikan dengan satu suara, terkadang bergantian dengan organ.
Gaya lagu dari Italia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan
musik Protestan di Jerman. Jenis musik yang banyak berpengaruh dalam Gereja
Protestan antara lain kantata. Bentuk ini banyak digunakan dalam kebaktian hari
bacaan Kitab Suci. Dalam tradisi Gereja Lutheran, bahasa Latin tidak langsung
diganti dengan bahasa Jerman. Penggunaan bahasa Latin banyak ditemukan dalam
Buku doa dan nyanyian dalam Gereja Anglikan menjadi unsur yang menentukan cara
hidup dan cara berdoa orang Inggris. Buku yang terbit pada tahun 1506 tersebut
memuat beberapa bentuk lagu Anthems. Bentuk lagu ini menggantikan bentuk lagu
bentuk musik di Inggris. Gereja Anglikan sangat berpegang pada tradisi yang
tumbuh dan mengakar di dalamnya. Mereka terus melanjutkan tradisi liturgi khas
Inggris tanpa terpengaruh dengan perubahan musik baru. Namun sejak terjadinya
perubahan atau restaurasi pada tahun 1660, musik Gereja Anglikan mulai diubah
121
dengan pengaruh dari Perancis. Raja mendukung diciptakannya karya musik Gereja
5. Zaman Klasik
Pada abad 18, Gereja membuka diri terhadap segala unsur kesenian yang sedang
berkembang. Keterbukaan Gereja tidak hanya sebatas iman, namun juga dalam
musik Gereja. Pada akhirnya musik gereja mendapat sentuhan baru. ada banyak
sekali karangan missa dengan iringan orkestra yang terbentuk pada masa itu. Musik
karangan Haydn dipengaruhi nuansa musik yang lebih mementingkan syair. Lain
halnya dengan Mozart yang mengarang misa dan sejumlah motet yang umumnya
padat dan singkat seperti missa Brevis (misa singkat). Di sisi lain, Beethoven
mengarang beberapa karya yang memiliki nilai estetika tinggi sehingga beberapa
karyanya terasa sangat megah namun kurang cocok digunakan dalam ibadah. Dalam
Gereja Protestan, musik ditujukan untuk menciptakan Gereja dan ibadat yang sesuai
dengan kebutuhan umat. Musik menjadi sebuah sarana, bukan menjadi bagian
integral liturgi. Ada banyak karya Gereja yang dialihkan dipentaskan dalam gedung
pertunjukan.
pandangan dalam Gereja hingga pada akhirnya musik Gereja bertujuan untuk
berkurang, hal ini juga dikarenakan situasi musik Gereja yang dikembangkan sejalan
karya besar juga bercitarasa pribadi seperti apa yang dikaryakan oleh Fr. Schubert,
A, Bruckner. Mereka tidak memiliki suatu jabatan tertentu dalam Gereja. Karena hal
inilah maka musik Gereja tidak mempengaruhi komposisi musik namun sebaliknya,
komposisi musiklah yang mempengaruhi musik Gereja yang berimbas pada karakter
ibadat.
Musik dalam Gereja Katolik diambil alih oleh kelompok-kelompok kecil dalam
Gereja. Hal ini sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap perkembangan musik Gereja
yang semakin jauh dari musik ibadat / liturgi. Karya besar seperti karya Haydn
ataupun Mozart tidak mungkin dinyanyikan oleh kelompok kecil tersebut. Hingga
Gustav Fellerer menilai bahwa musik yang dibentuk pada abad 19 merupakan sebuah
kurangnya pemahaman dan pengenalan secara mendalam maka perubahan ini hanya
b. Musik Devosional
Pada masa romantik muncullah suatu bentuk devosi baru, seperti devosi terhadap
Hati Kudus Yesus, Devosi kepada Bunda Maria. Devosi merupakan suatu bentuk
secara teologis menyebabkan bentuk devosi ini menjadi suatu penyembahan belaka
kembali pada awal abad 20 yang diawali dari keputusan Paus Pius X. Pada tahun
1903, Paus Pius X mengeluarkan suatu dokumen tentang musik gereja yaitu Motu
dilaksanakan secara istimewa dengan lagu Gregorian dan nyanyian yang bergaya
polifon klasik (Prier, 1994:50). Motu proprio ini membedakan antara musik gereja
dengan musica sacra. Musica sacra lebih identik dengan Lagu Gregorian sebagai
suatu gaya yang ideal dan suci. Menurut pola ini pula segala musik gereja hendaknya
124
diperbaharui. Sedangkan yang dimaksud dengan musi Gereja yakni lagu yang
Sejak tahun 1920-an sudah banyak sekali usaha guna menghidupkan liturgi
sebagai liturgi jemaat yang dapat diikuti dan dimengerti. Di Jerman diupayakan pula
hal yang sama dengan usaha mengaitkan melodi lagu Gregorian dengan syair dalam
bahasa Jerman.
Hasil dari Konsili Vatikan ini banyak memberikan perubahan dalam gereja katolik
sebelumnya. Konsili ini merupakan hasil pemikiran awal dari Paus Yohanes XXIII
Konstitusi liturgi dari Konsili Vatikan II menjadi suatu arah dasar dalam
bagian integral dalam suatu liturgi. Artinya nyanyian dalam sebuah liturgi memiliki
suatu fungsi dan peranan, sehingga tidak semua lagu-lagu rohani dapat dinyanyikan.
Nyanyian liturgi dinyanyikan oleh umat dengan dibantu paduan suara. Nyanyian
liturgi lebih berfokus pada syair yang penuh dengan makna liturgis atau lebih
kitabiah.
125
Karena Gereja telah menjadi bagian universal dunia, tidak hanya berada di Eropa
maupun daratan Eropa, maka Konsili membuka peluang yang sangat besar untuk
membuka pintu lebar-lebar untuk menerima pula kekayaan budaya dan musik
sebuah trend baru dalam musik liturgi Gereja (Prier, 1994: 51)
disesuaikan dengan TPE yang baru yang diresmikan oleh Paus Paulus VI pada tahun
1970. Hal ini mengubah posisi lagu Gregorian menjadi salah satu alternatif pilihan
Gereja.
Indonesia melalui para misionaris. Sesudah perang Dunia II, Gereja Katolik
inkulturasi pribumi baik dari bagian Timur Indonesia maupun Barat Indonesia (Prier,
2007:7)
Di Paroki Wonosari, pada tahun 1964, ada seorang frater toper praja mengajarkan
Lagu Gregorian kepada kalangan umat. Pembelajaran kepada umat mengenai Lagu
menjadi salah satu kekayaan musik di Indonesia. Dalam perayaan ibadat digunakan
lagu Gregorian. Selama itu lagu Gregorian masuk dalam salah satu khazanah musik
1967 setelah diadakannya Konsili Vatikan II, namun perubahan ke arah inkulturasi
ini masih banyak dipengaruhi oleh sikap para misionaris. Sejalan dengan selesainya
pada jaman sekarang (Aggiornamento), musik juga mulai memasukkan unsur tradisi
dan inkulturasi budaya setempat. Mulai tahun 1967, lagu Gregorian di Indonesia
– 1969. Biara trapis ini secara kreatif menyusun buku panduan Antifonal khas
Rawaseneng yang khusus digunakan dalam keperluan ibadat harian dalam biara.
Lagu yang dikembangkan dengan berdasar lagu Gregorian ini dikenal dengan lagu
127
resitatif Gregorian gaya baru. Lagu ini memiliki irama dan tangga nada khas lagu
Gregorian, namun diciptakan baru dengan syair dalam bahasa Indonesia. Sebagai
suatu jembatan penghubung antara lagu liturgi lama (Gregorian latin) dengan lagu
liturgi baru (gaya Indonesia) adalah terbentuknya misa Te Deum dari Rawaseneng,
suatu pengolahan dari lagu Te Deum namun dengan bahasa Indonesia cukup banyak
damai dan adanya kesatuan hidup manusia yang satu dengan yang lainnya. Namun
dalam kedamaian dan kesatuan tersebut tetaplah ada perbedaan pandangan dan
pemikiran antar pribadi. Hal ini bisa disimbolkan dengan kehidupan suatu keluarga
dimana setiap manusia yang menjadi bagian utuh keluarga tersebut memiliki
keinginan, pola pemikiran, sikap, dan kelakuan yang berbeda-beda. kemiripan yang
Begitu pula dengan kehidupan Gereja sekarang ini, ada banyak sekali pandangan
yang muncul dalam Gereja. Ada yang berpandangan sejalan dengan hasil keputusan
Konsili Vatikan II, ada pula pandangan yang tetap berusaha sejalan dengan tradisi
Gereja awal. Sebagai suatu gambaran, pada tahun 1984 munculah suatu kelompok
128
yang bernama “Le febre”. Kelompok ini merupakan kelompok yang ingin tetap
mempertahankan tradisi asli dalam Gereja Katolik. Hingga akhirnya mereka semakin
memisahkan diri dari Gereja. Perbedaan pandangan dalam menyikapi hasil Konsili
Vatikan menjadi dasar terpisahnya kelompok ini dari dalam Gereja. Melihat
munculnya kelompok yang berbeda ini dalam kehidupan menggereja ini menggugah
hati Paus Benediktus XVI untuk merengkuh kembali kelompok ini dalam Gereja
Katolik universal. Cita-cita ini tertulis dalam Motu Proprio “Summorum Pontificum”
yang diterbitkan pada tanggal 7 Juli 2007 (Hidup, 2007:10). Motu Proprio
penggunaan kembali Misa Latin Paus Yohanes XXIII 1962 yang dikeluarkan Paus
Benediktus XVI pada tanggal 7 Juli 2007 di Vatikan, Roma dan secara resmi mulai
Dalam Motu Proprio tersebut, Paus memberikan ijin atas penggunaan tata perayaan
Ekaristi istimewa sebelum Konsili Vatikan II. Namun penggunaan tatanan perayaan
Ekaristi luar biasa ini tidak menggeser kedudukan rumus Misale Paus Paulus VI
sebagai tata perayaan Ekaristi yang biasa digunakan dalam Gereja. Selain itu, Paus
juga menegaskan bahwa Perayaan Ritus Latin tetap menjadi bagian dalam kekayaan
Ekaristi Ritus Latin diperbolehkan untuk melaksanakannya secara bebas atau tanpa
membuka kembali kesempatan bagi versi terakhir dari Missale Romanum sebelum
Konsili Vatikan II akan kembali dapat digunakan sebagai sebuah Ritus Liturgi
tersebut, Paus Benediktus XVI hendak menegaskan bahwa gereja tetap terbuka
terhadap unsur budaya yang digunakan dalam liturgi. Liturgi tidak semata-mata
diubah demi menbentuk suatu liturgi yang baru. Dalam Konsili Vatikan II, liturgi
diperbaharui guna lebih menyatu dengan umat tanpa meninggalkan tujuan utama
Dikatakan adanya suatu perbedaan antara tata cara Ekaristi yang satu dengan yang
lain terletak pada makna Teologi maupun secara liturgi. Perbedaan ini terlihat dalam
lingkaran Tahun liturginya. Pada ritus lama hanya memiliki satu rangkaian tahun
liturgi yang terus menerus diulang setiap tahunnya. Dalam ritus liturgi yang baru
memiliki tiga rangkaian tahun liturgi dengan bacaan yang berbeda sehingga
pembacaan Kitab Suci mencakup ketiga Injil Sinoptik. Dalam ritus pra Konsili
Vatikan II, segala bentuk doa dan pujian diucapkan oleh pastor sehingga tidak ada
partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi. Segala doa dan pujian ini ditujukan kepada
Ekaristi lebih menekankan adanya partisipasi aktif umat dalam Perayaan Ekaristi.
130
Selain itu diharapkan adanya komunikasi antar pastur dan umat sehingga hal ini
Pertanyaan yang sering diungkapkan adalah mengenai lagu Gregorian dan bahasa
Latin. bentuk lagu dan bahasa ini masih tetap dapat dipergunakan dalam Misale Paus
Paulus VI, namun hendaknya diperlukan pemilihan bacaan dan lagu yang sesuai
Dalam setiap doa hendak menunjukkan sikap iman yang sungguh akan
pengungkapan iman umat kepada Allah. Maka sama halnya dengan berdoa, nyanyian
juga merupakan sebuah misteri hubungan antara manusia dengan Allah. Lagu
Gregorian merupakan bentuk awal musik dalam Gereja yang memiliki segi estetika
yang bernilai semakin tinggi. Dalam lagu Gregorian, kemuliaan Tuhan digambarkan
melalui pemilihan kata-kata yang berasal dari Kitab Suci yang dilagukan secara
terpadu.
Pada masa sekarang ini, Gereja berjalan ke arah yang meriah, megah, dan variatif.
Sedangkan Gereja masih dipandang sebagai pemegang teguh tradisi. Hal ini terlihat
lengkungan yang menghasilkan segi akustik dengan baik. Lagu Gregorian yang
dinyanyikan menjadi bentuk musik utama dalam liturgi dalam Gereja. Sesudah
Konsili Vatikan II, muncullah banyak pro kontra mengenai penggunaan Lagu
Gregorian. Gereja membuka diri terhadap bentuk musik asli lain, namun lagu
terhadap bentuk musik baru sering disalahartikan oleh beberapa kalangan. Hal ini
semakin menyurutkan gaung lagu Gregorian. Semakin lama lagu Gregorian semakin
2009).
Dalam sebuah penelitian ditemukan adanya indikasi nilai positif lagu Gregorian.
Di sebuah biara Benedictin di Prancis Selatan terlihat ada suatu perubahan dalam
kegiatan sehari-hari mereka. Para biarawan yang tinggal di sana terlihat lesu dan
murung serta dilanda berbagai kecemasan mengenai ritual baru yang dilaksanakan
sesudah Konsili Vatikan II. Setelah penelitian panjang, masalah utama kelesuan
dalam biara tersebut bukan tergantung pada masalah fisik namun banyak diakibatkan
adanya krisis bunyi akibat dikuranginya porsi Lagu Gregorian dalam kehidupan
melantunkan Lagu Gregorian tersebut dapat dianggap sebagai suatu hal yang
monoton dan menimbulkan kebosanan dan hal ini juga berlangsung hingga saat ini.
132
Namun bagi para biarawan yang mampu menarik makna dan menyelami lagu
Secara tidak langsung mereka mendapat suatu manfaat dari lantunan lagu
Gregorian yang dinyanyikan oleh mereka. Dengan adanya gaya resitatif yang agung
dan tenang damai memungkinkan timbulnya suatu perasaan tenang, lega serta
Selain itu, lagu Gregorian menuntut adanya suatu tehnik dalam menyanyikannya.
Hal ini membantu bagi yang menyanyikannya untuk mempelajari tentang tehnik
Sebagai bagian dari Gereja semesta, umat Allah dipersatukan dalam Tuhan Yesus
bersama dengan mereka di belahan dunia lain yang disatukan dalam bahasa universal
Gereja yakni Bahasa Latin dan didukung dengan penggunaan lagu Gregorian.
133
Suasana yang muncul dan terbentuk ketika menggunakan misa Latin ataupun lagu
Ada beberapa pihak yang merindukan Misa Ritus pra Konsili Vatikan II karena
adanya suasana berbeda yang dirasakan dalam pelaksanaan tersebut. Satu hal yang
disampaikan oleh Bpk. Ernest Maryanto sebagai Mantan Sekretaris II Komisi Liturgi
KWI. Beliau menyatakan bahwa hendaknya misa tidak hanya digunakan sebagai
sebuah bentuk ritual semata. Melalui Perayaan Ekaristi akan tercakup suatu
kurban penebusan, kultur budaya Gereja universal. Segala hal yang mendukung
penghayatan umat akan makna misa tidak bisa ditinggalkan saja karena sudah
Musik Liturgi
Liturgi
Peribahasa yang dinyatakan oleh St. Agustinus yakni “Qui Bene Cantat, Bis
Orat” hendak menyatakan bahwa “bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua
yang sungguh akan pengungkapan iman umat kepada Allah. Dalam Perayaan
134
Ekaristi, dibutuhkan adanya suatu komunikasi dan partisipasi aktif antara pemimpin
perayaan dengan umat. Partisipasi aktif ini dapat dimunculkan ketika memadahkan
pujian atau nyanyian. Namun pada kenyataannya, banyak sekali orang bernyanyi
tanpa diresapi dalam hati. Muncullah sebuah keprihatinan ketika merayakan Ekaristi,
ada beberapa umat yang tidak membawa buku Madah bakti/ Puji Syukur melainkan
cukup membeli buku panduan yang disediakan oleh gereja (wawancara dengan Bpk.
Adimurti). Hal ini berpengaruh pada keikutsertaan umat secara aktif dalam
perayaan Ekaristi terlebih dalam bernyanyi. Pada kenyataannya masih banyak umat
yang kurang terlibat aktif dalam liturgi Ekaristi, tidak hanya pada bagian nyanyian
namun juga pada bagian doa yang seharusnya menjadi jawaban iman, hanya
Aklamasi ini merupakan jawaban iman umat atau tanggapan umat. Dalam aklamasi
terdapat suatu komunikasi dua arah antara pemimpin dan umat. Gaya nyanyian
aklamasi ini masih menggunakan bentuk khas musik Gereja yakni gaya lagu
Gregorian. Walaupun banyak sekali bentuk lagu baru yang muncul dan menjadi
bagian dalam liturgi, namun beberapa bagian penting dalam perayaan Ekaristi masih
Lagu Gregorian merupakan ciri khas liturgi Romawi (PUMR 41). Ada perbedaan
persepsi mengenai penggunaan lagu Gregorian. Selama ini, banyak kalangan yang
menilai bahwa lagu Gregorian sudah ditinggalkan dan diganti dengan bentuk lagu
135
yang baru. Dengan diperbolehkannya penggunaan Misa versi Paus Pius V bukan
Vatikan II, namun sesuai dengan keputusan Konsili Vatikan II yang terbuka terhadap
segala bentuk lagu atau musik yang disesuaikan dengan ibadat tanpa mengabaikan
tradisi awal warisan Gereja. Lagu Gregorian tetap boleh dipergunakan dalam
Lagu Gregorian menjadi acuan bagi pembentukan lagu Gereja jaman sekarang.
pada penyusunan kata yang liturgis dan pemilihan nada dengan unsur estetika yang
tidak jauh berbeda dengan pembentukan lagu Gregorian. Hal ini akan menghasilkan
suatu bentuk lagu yang memiliki aspek liturgi dan rohani yang mendalam.
Musik Liturgi
Dalam setiap usaha pasti akan ada halangan atau tantangan yang menghadang
yang harus disikapi oleh berbagai pihak guna mendapatkan jalan keluar. Begitu pula
Gregorian. Tantangan yang muncul tidak hanya muncul dari luar kelompok atau
136
pribadi para pecinta lagu Gregorian, namun juga dari dalam pribadi maupun
a. Tantangan dari luar yang banyak dialami oleh kelompok pecinta Gregorian
adalah tanggapan dari umat secara luas yang kurang bisa mengerti dan memahami
bahasa yang digunakan yakni Bahasa Latin. Hal lain yang menjadi pemikiran khusus
yakni adanya suatu cap bahwa lagu Gregorian merupakan lagu lama yang tidak bisa
dimengerti oleh kaum muda dan menjadi milik kaum tua terlebih bagi mereka yang
pernah mengalami masa Ritus Latin sebelum tahun 1962. Hal ini menyebabkan tidak
sedikit kaum muda yang minder dan mundur ketika mengetahui bahwa misa
merasa tidak banyak mengetahui lagu Gregorian dan mundur karena mereka melihat
yang hadir dalam misa tersebut kebanyakan merupakan kalangan orang tua yang
b. Sulitnya membaca notasi lagu Gregorian bagi kaum tua apabila mereka akan
mengikuti misa dengan lagu Gregorian. Mereka ingin ikut bernyanyi dengan lagu
Gregorian namun untuk membaca notasi dan kendala pengucapan dan pelafalan
orang yang mengerti dengan sungguh mengenai lagu Gregorian yang mampu
waktu yang cukup jauh antara penggunaan lagu Gregorian sebelum Konsili Vatikan
137
sedikitnya orang yang secara khusus berkecimpung dalam bidang lagu Gregorian
yang mau membantu belajar, namun ternyata pihak yang ingin belajar maunya lebih
banyak instannya (cepat bisa) sehingga untuk latihan yang intensif dan berkelanjutan
menimbulkan kejenuhan bagi para peminatnya sehingga semakin lama peminat juga
semakin sedikit didukung dengan model lagu Gregorian yang terasa terlalu mengalun
dan jenuh.
d. Selain itu, tantangan yang muncul juga berasal dari lagu Gregorian itu
sendiri. Sebagai suatu contoh lagu Proprium dalam Gregorian seperti lagu Introitus,
dikhususkan untuk dinyanyikan oleh paduan suara ataupun schola. Karena sejak abad
10, umat tidak ikut bernyanyi dalam lagu Proprium karena umat tidak mampu
menyanyikannya. Selama kurang lebih 1000 tahun tidak dinyanyikan oleh umat
bahkan sekarangpun tidak bisa dinyanyikan secara bebas (Prier, 2007:95-96). Lagu
penggunaan bahasa ini merupakan suatu bentuk pengungkapan syair Latin. Dengan
diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan penambahan notasi lagu akan mampu
mengubah suasana, mengubah makna asli lagu yang hendak disampaikan, selain itu
makna yang disimbolkan dan seni yang terkandung dalam lagu ini semakin
berkurang atau hilang. Seperti halnya dalam pentranskripan lagu Credo III ke dalam
bahasa Indonesia penambahan nada yang ditandai dengan tanda kurung pada
138
pembacaan kata bahasa Indonesia mampu mengubah seni yang terkandung dalam
liturgi. Sesudah Konsili Gereja semakin membuka diri terhadap pandangan dunia
pembaharuan ini, iman umat dihantar lebih dekat kepada Liturgi Kudus (PUMR 15).
Salah satu bentuk pembaharuan yang terlihat secara jelas yakni lingkaran Tahun
Liturgi. Sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Gereja hanya memiliki satu
140
lingkaran liturgi yang akan terus menerus diulang setiap tahunnya. Bacaan Kitab suci
sedikit banyak diambil dari satu Injil (Matius) saja. Hal ini memungkinkan adanya
suatu set lagu Gregorian yang konstan yang dapat dipergunakan setiap tahun.
Perubahan yang dilakukan oleh Konsili Vatikan II mengubah susunan bacaan. Siklus
bacaan sekarang digandakan menjadi tiga tahun. Tahun pertama atau tahun A
mengambil bacaan Injil yang didasarkan terutama dari Injil Matius, tahun kedua atau
tahun B mengambil bacaan Injil yang didasarkan terutama dari Injil Markus. Begitu
pula dengan tahun ketiga atau tahun C yang sebagian besar bacaan Injilnya diambil
dari Injil Lukas. Perputaran ini mengakibatkan munculnya banyak tema yang
bervariasi setiap tahunnya. Penggunaan ketiga Injil Sinoptik serta pilihan bacaan I
dan II dimaksudkan agar semua bagian dalam Kitab Suci disentuh, dimengerti dan
Siklus tiga tahun ini berpengaruh terhadap nyanyian yang digunakan. Adanya
perbedaan tema antara tahun lalu dan tahun ini, ataupun tahun sekarang dengan tahun
depan memiliki pandangan tema yang berbeda. Lagu-lagu yang disiapkan hendaknya
juga disesuaikan dengan tema yang diangkat. Penggunaan lagu Gregorian yang
konstan setiap tahun mendapat beberapa hambatan antara lain sulitnya menentukan
lagu yang sesuai dengan tema yang berbeda. Kesulitan dan hambatan inilah yang
Ekaristi.
141
Liturgi
dipimpin oleh Romo F.X Wiyono, Pr. selaku romo paroki sebagai selebran utama
dan Romo YM. Riawinarta, Pr. sebagai selebran pertama. Penggunaan lagu
Gregorian dalam perayaan Ekaristi ini tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa
pihak yang memiliki perhatian lebih pada musik Gereja antara lain adalah Bpk.
Adimurti dari lingkungan Jogokaryan dan Rm. Riawanarta, Pr. yang saat ini bertugas
sebagai romo paroki St. Albertus Jetis. Peserta koor dalam perayaan Ekaristi ini
adalah umat yang tergabung dalam kelompok pecinta lagu Gregorian Paroki
Pugeran.
Berdasar pada pertemuan dengan romo kepala Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran,
Romo Antonius Dodit Haryono, Pr. pada tanggal 28 Agustus 2009, kelompok koor
Gregorian ini belum memiliki dasar pokok administratif yang kuat sebagai sebuah
paduan suara Gereja. Melalui tugas ini, mereka telah menunjukkan kecintaannya
terhadap lagu Gregorian. Perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian ini dilaksanakan
setiap hari Sabtu pada minggu ke-V tiap bulannya. Misa dengan lagu Gregorian ini
mulai dikembangkan sejak bulan Januari 2009 hingga saat ini. Ada bentuk tanggapan
positif yang ditunjukkan oleh beberapa umat mengenai pelaksanaan misa dengan
lagu Gregorian ini. Munculnya rasa kerinduan terhadap unsur liturgi yang asli
142
mampu mempengaruhi suasana perayaan Ekaristi. Kelompok koor ini dipimpin oleh
dengan lagu Gregorian tidak menuntut umat untuk mengikuti rangkaian perayaan
Gregorian yang sudah disesuaikan dengan tema saat itu namun doa, bacaan, dan
Selain di Yogyakarta, ternyata gema lagu Gregorian ini telah lama berkumandang
pada pendalaman liturgi, lagu-lagu Gregorian, dan misa dalam bahasa Latin. Salah
satu kelompok yang telah mewujudkan kecintaannya pada lagu Gregorian adalah
Gregorian yang dikemas dalam bentuk VCD khusus Gregorian dengan Judul “In
perayaan Ekaristi sehingga suasana misa yang terbentuk terasa agung dan khidmat.
Untuk mempelajari lagu Gregorian dengan bahasa Latin diperlukan suatu latihan
khusus secara intensif dan juga didukung dengan pemaknaan syair dalam bahasa
Latin (Hidup, 2007:6). Kelompok ini dirintis dan memiliki anggota kaum muda,
yang tergabung dalam kelompok ini merasakan adanya sesuatu yang indah dengan
143
spiritualitas yang mendalam. Kegiatan ini juga menjadi salah satu pilihan umat
Banyak sekali usaha yang telah dilakukan baik oleh para pecinta Gregorian
maupun oleh pihak Gereja dalam menyikapi berbagai persoalan yang mucul terlebih
mengenai penggunaan Lagu Gregorian dalam liturgi. Seperti yang dilakukan oleh
beberapa pihak untuk mencoba mengubah atau mentranskrip not Gregorian ke not
angka agar umat lebih mudah dalam membaca maupun menyanyikan Gregorian.
Hal lain yang diusulkan untuk mengatasi kerinduan para pecinta lagu Gregorian
yakni dengan diadakannya suatu perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian. Hal ini
selain sebagai bentuk variatif dalam Ekaristi, juga sebagai wujud pengembangan
warisan Gereja. Besar kemungkinan pula bahwa para pastor harus siap dengan
permintaan umat akan penyelenggaraan perayaan Ekaristi Latin dan lagu Gregorian.
Dengan demikian, hendaknya para pastor memulai untuk belajar karena bahasa Latin
Pertanyaan besar yang masih muncul adalah bagaimana dengan umat yang tidak
mengetahui mengenai lagu Gregorian. Saat ini sudah ada perubahan paradigma
dalam memilih lagu Gregorian yg bisa dinyanyikan. Ada bentuk lagu Gregorian asli
yang masih berdasarkan pada ketentuan dan patokan estetika yang berlaku dengan
144
kata-kata latin, lagu Gregorian dengan bentuk asli ini membutuhkan suatu latihan
dan pendalaman yang khusus. Selain itu, perkembangan lagu Gregorian di Indonesia
asli ke dalam bentuk notasi yang lebih mudah dipahami oleh umat. Hal terakhir yang
menjadi jalan keluar untu mengenal lagu Gregorian adalah dibentuknya bentuk-
bentuk lagu baru yang didasarkan pada ketentuan pembuatan lagu Gregorian. Bentuk
mengubah dan menyajikan bentuk lagu tersebut agar dapat dinikmati dan diresapi
Lagu Gregorian dan bahasa Latin merupakan tradisi kekayaan Gereja, kekayaan
yang cukup agung dan bersifat universal ini hendaknya dilestarikan sebagai suatu
kekayaan rohani sehingga kita sebagai warga Gereja tidak dapat lupa akan sejarah
dalam Gereja dan diharapkan makin berkembang dalam iman. Hal inilah yang
Christiana Romeo pada majalah Hidup (Hidup, 2007:9). Maria juga mengajak umat
Gereja untuk banyak mempelajari lagu-lagu Gregorian atau lagu bahasa Latin secara
pribadi maupun melalui kursus lagu Gregorian sehingga pada akhirnya mampu
menimbulkan kecintaan yang mendalam karena lagu tersbeut menjadi lagu yang
Namun harus diakui bahwa lagu Gregorian memang memiliki aturan yang tidak
bisa diikuti oleh semua orang dari segala lapisan dan segala bangsa. Bentuk nyanyian
145
yang tanpa birama, berbahasa Latin, masih terasa sulit untuk diterima oleh kalangan
umat banyak, hal ini juga didukung dengan sangat jauhnya jarak antara penggunaan
lagu Gregorian dalam Misa Latin para Konsili Vatikan II dengan Misa dengan Tata
Keinginan banyak pihak untuk memuaskan kerinduannya akan misa ritus Latin
dengan lagu Gregorian ini hendaknya diakomodir oleh pihak Gereja maupun dari
para kelompok pecinta lagu Gregorian. Adanya pelaksanaan misa yang lebih sering
diadakan karena dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memperkenalkan lagu
Gregorian ke kalangan umat sekarang apalagi kaum muda, nantinya akan muncul
Gregorian ditanamkan semenjak dini kepada kaum muda dengan harapan bahwa di
masa mendatang lagu Gregorian semakin menjadi bagian integral dalam kehidupan
umat Katolik sebagai salah satu sarana pendekatan hati dan iman kepada Allah
Harapan yang besar akan peranan kaum muda terhadap pengembangan lagu
Gregorian. Hal ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya suatu misa khusus bagi
para pecinta Gregorian dengan kaum muda yang bertugas didampingi oleh pihak
muda pada lagu Gregorian juga dapat menjadi suatu bentuk kesatuan Gereja antara
BAB IV
A. Kesimpulan
beragam. Begitu pula dengan musik di dalam Gereja. Musik dalam Gereja atau
musik liturgi semakin beragam dan semakin semarak. Bentuk musik awal Gereja
yang menjadi salah satu warisan Gereja adalah lagu Gregorian. Bentuk lagu ini tidak
hanya mendasari perkembangan musik dalam Gereja namun juga menjadi acuan bagi
Namun dengan perkembangan musik dalam Gereja yang semakin pesat, gaung
lagu Gregorian juga semakin surut. Keprihatinan ini salah satunya dikarenakan
tingkat kesulitan dalam menyanyikan dan mempelajari lagu Gregorian. Di luar itu,
adanya perbedaan cita rasa dan suasana perayaan Ekaristi yang diinginkan oleh umat
dikembalikan ke bentuk dan kondisi musik awal Gereja. Hal ini dilakukan semata-
mata guna merawat warisan abadi dalam khazanah musik Gereja. Yang paling
mungkin dilakukan untuk saat ini adalah memelihara apa yang dikatakan sebagai
jenis musik yang cocok dengan Liturgi Romawi. Hal ini juga untuk mengantisipasi
agar lagu Gregorian nantinya tidak hanya menjadi sekedar dokumen semata.
Sebagai dasar pembentukan musik baik dalam Gereja maupun secara umum, lagu
musik secara universal. Gema dan gaung yang dihasilkan oleh lagu Gregorian akan
langsung menyentuh segi keimanan manusia. Hal ini dikarenakan bentuk lagu ini
mendasarkan pembentukan kata dari Kitab Suci. Pemilihan nada dan ritme arsis tesis
juga menunjukkan kerinduan akan cinta Allah terhadap manusia. Secara tidak
langsung, lagu Gregorian mampu menyentuh segi personal, emosional umat akan
liturgi dan Ekaristi. Dengan mengenal, memahami, dan memaknainya dalam liku
B. Saran
Perubahan musik yang cukup pesat di dalam Gereja telah membentuk suatu
suasana yang baru. Suasana yang simpel dan meriah menjadi salah satu pilihan umat
148
perkembangan teknologi dan pemikiran semakin maju, lagu Gregorian dikemas dan
Ekaristi sebagai suatu ritus tanpa memaknainya secara mendalam. Bentuk lagu baru
dalam Gereja telah mewakili perasaan syukur, harapan dan doa manusia. Dengan
unsur lagu Gregorian di dalamnya. Perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian ini
dapat dilaksanakan pada hari raya besar seperti Pekan Suci, hari raya Pentakosta,
Missa Requiem, atau perayaan Hari Orang Kudus (1 November). Semua ini
hendaknya dilakukan tidak lain dengan harapan bahwa umat Katolik semakin
mengenal lagu Gregorian sebagai kekhasan Gereja. Hal ini juga dibutuhkan adanya
dukungan penuh baik dari paroki maupun dari para pecinta lagu Gregorian guna
sebagai warisan musik gereja dengan bahasa asli yakni bahasa Latin. Banyaknya
149
biara kontemplatif dalam kehidupan Gereja juga menjadi sebuah sarana yang penting
merupakan tempat yang paling pas guna melestarikan dan memelihara lagu
DAFTAR PUSTAKA
________ (1994). Perkembangan Musik gereja sampai abad ke-20. Gema Duta
Wacana, edisi 48, hal 35-53.
________ (1995). Instruksi Tentang Inkulturasi Liturgi Romawi. Yogyakarta:PML
________ (2002). Liturgi I. Diktat Mata Kuliah Liturgi untuk Mahasiswa Semester I,
Program Studi Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas
Sanata Dharma.
_________(2007). Liturgi II. Diktat Mata Kuliah Liturgi untuk Mahasiswa Semester
II, Program Studi Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik,
Universitas Sanata Dharma.
_________(2007). Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia tahun 1957-2007.
Yogyakarta:PML.
_________(2009). Kamus Musik. Yogyakarta:PML
_________(2009b). Musik Gereja Zaman Sekarang. Yogyakarta:PML
Pusat Musik Liturgi. (1980). Madah Bakti. Yogyakarta:PML.
Seksi Musik Liturgi Indonesia. (1976). Konggres Musik Liturgi Indonesia I Tahun
1976:Menciptakan Suasana Dalam Perayaan Liturgi. Spektrum, edisi 2, hal
25.
Setiawan, Widi. (2009). Menjadi Manusia yang Penuh Musik. Aquila, no 1 Thn
LXXIX Edisi Oktober 2008–Januari 2009, hal 14-17.
Verhoeven, Th. L & Marcus Carvallo. (1969). Kamus Latin-Indonesia.
Ende:Percetakan Arnoldus
Yasinta, Maria E. & Suliyanto, Antonius. (2007). Demi Kesatuan Gereja Integral.
Hidup, no 34 tahun 61, hal 8-9
152
LAMPIRAN
Lampiran 1
Daftar Kerangka Wawancara
(1)
LAMPIRAN 2
HASIL WAWANCARA
bagaimana dengan hasil Konsili yang menyatakan bahwa ada ‘penggeseran’ lagu
Gregorian?”
sampai dilupakan atau ditinggalkan. Hal ini berarti lagu Gregorian tetap dapat
dipergunakan minimal pada hari raya tertentu. Namun ada kendala yang berasal dari
pihak hirarki atau para romo. Liturgi sudah diatur sedemikian rupa sehingga menjadi
suatu patokan baku, selain itu umat juga diharuskan untuk selalu berpartisipasi dalam
segala bidang dalam liturgi. Di lain pihak, petugas altar atau misdinar semakin kurang
menyadari perannya sebagai contoh bagi umat. Di satu segi umat diharapkan ikut
berpartisipasi dalam liturgi, namun di sisi lain misdinar jarang yang menunjukkan
Setelah munculnya hasil Konsili Vatikan II, Gereja atau para hirarkis berusaha
(2)
daerah masing-masing. Liturgi tidak akan kembali ke bentuk liturgi semula atau ritus
latin.
Lalu mengenai lagu Gregorian, masih banyak umat yang mengalami masa-masa
liturgi menggunakan lagu Gregorian dan bahasa Latin. munculnya misa dengan lagu-
hafal dengan lagu Gregorian, namun dapat dinikmati dan dipelajari dari Madah Bakti.
pada ordinarium pertama yaitu masa paskah itu di sana tertulis ada Lux et Origo.
Perubahan lagu Gregorian dari Madah Bakti ke dalam Lux et Origo terjadi secara
cepat. Perubahan ini lebih mengarah pada perubahan bentuk liturgi dan kegunaan
maupun di Kemetiran. Apakah ada usaha yang sama di kota lain, dan bagaimana
perkembangannya?
Jawab : Keinginan itu sering kali muncul. Salah satu wujudnya di Salatiga,
namun memiliki kesulitan dalam hal pelatihan. Ada keinginan untuk membagikan
pengalaman dan kemampuan yang saya miliki. Mempelajari lagu Gregorian tidak
(3)
Tanya : Lalu belajar dari sejarah juga, nilai positif apa yang diberikan
Jawab : Ada banyak nilai positif yang diberikan oleh lagu Gregorian. Salah
satunya dikarenakan penyusunan kalimat dan rangkaian nada yang bagus akurat dan
berdoa. Ini memang disusun sedemikian rupa dan telah berlaku selama lebih dari
sepuluh abad bahkan belasan abad. Penggunaan misa dengan lagu Gregorian itu
Jawab : Pada awalnya, peserta meliputi beberapa angkatan dari yang masih
muda sampai orang tua. Namun karena merasakan kesulitan dalam mempelajarinya
Proprio terbaru dari Paus Benediktus XVI mengenai penggunaan kembali lagu
Gregorian?
Jawab : Motu Proprio dari Paus Benediktus XVI sedikit memberi penegasan
dari hasil Konsili Vatikan II mengenai penggunaan lagu Gregorian. Terlebih dengan
adanya kelompok yang memisahkan diri dari Gereja, kelompok ini tidak dapat
(4)
menerima hasil Konsili Vatikan secara penuh. Perbedaan pandangan ini berusaha
(5)
Tanggal : 29 Agustus 2009
Gregorian?
dari lagu Gregorian, namun suasana yang terbentuk membantu saya menghayati
seperti ini?
Jawab : Akan lebih baik apabila pelaksanaannya tidak hanya pada sabtu
kelima.
Tanya : Sebagai salah satu mudika yang aktif dalam kegiatan menggereja,
apakah ada keinginan untuk memperkenalkan lagu Gregorian terhadap kaum muda?
kepada kaum muda dengan bentuk yang lain. Seperti pengenalan Taize yang
(6)
Tanya : Untuk perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian selanjutnya, bentuk
Jawab : Turut ambil bagian dalam liturgi seperti bacaan dan paduan suara.
Namun untuk paduan suara hendaknya diperlukan latihan yang lebih intensif. Hal ini
Jawab : saya merasa senang dengan adanya bentuk misa dengan lagu
Gregorian ini. Terasa lebih khidmat dan mengobati rasa rindu terhadap bentuk lagu
Gregorian.
Latin untuk para pecinta lagu Gregorian. Yang menangani kaum muda namun tetap
didukung penuh oleh para orang tua, dewan dan ahli lagu Gregorian.
(7)
Sumber : Ibu Taliman
Jawab : Saya merasa lebih enak dan lebih nyaman ketika saya mengikuti
(8)
Lampiran 3
Sakramen Cinta Kasih, Ekaristi Kudus, adalah karunia pemberian diri Yesus
Kristus, yang mengungkapkan kepada kita kasih Allah yang tak terbatas kepada
setiap orang, laki-laki dan perempuan. Sakramen yang mengagumkan ini menyatakan
kasih yang “lebih besar” itu, yakni kasih yang mendorong Dia untuk “memberikan
nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya” (Yoh 15 :13). Yesus sungguh mengasihi
mereka “sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1). Dengan kata-kata itu Penginjil
menampilkan tindak kerendahan hati Kristus yang luar biasa: sebelum wafat di salib
bagi kita, Ia mengikatkan sehelai kain pada pinggang-Nya, dan membasuh kaki
murid-murid-Nya. Dengan cara yang sama, dalam Sakramen Ekaristi, Yesus terus
mengasihi kita “sampai pada kesudahannya”, bahkan menyerahkan tubuh dan darah-
Nya kepada kita. Betapa besar rasa takjub para rasul menyaksikan apa yang dilakukan
dan dikatakan Tuhan dalam Perjamuan Malam itu! Betapa besar pula rasa kagum
yang ditimbulkan oleh misteri Ekaristi dalam hati kita!
Dalam sakramen altar ini Tuhan menjumpai kita, manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah (bdk. Kej 1:27), dan menjadi teman sepanjang perjalanan kita.
Dalam sakramen ini, Tuhan sungguh menjadi makanan bagi kita, untuk memuaskan
dahaga kita akan kebenaran dan kebebasan. Karena hanya kebenaran yang mampu
membebaskan kita (bdk. Yoh 8:32), maka Kristus menjadi santapan kebenaran bagi
kita. Dengan gambaran insani yang sederhana, Santo Agustinus menunjukkan dengan
jelas bagaimana kita secara spontan merasa terharu, dan bukan karena terpaksa,
apabila kita menjumpai sesuatu yang menarik dan kita inginkan. Sambil bertanya
dalam hati apa yang paling mengharukan kita, uskup kudus ini berkata lebih lanjut,
“Apakah yang paling didambakan oleh jiwa kita selain kebenaran?” Setiap orang dari
kita memiliki kerinduan bawaan yang tak dapat dipadamkan terhadap kebenaran yang
tertinggi dan definitif. Tuhan Yesus, “jalan, dan kebenaran, dan kehidupan” (Yoh
14:6), menjawab dahaga kita, hati peziarah, yang merindukan sumber kehidupan, hati
yang mendambakan kebenaran. Yesus Kristus adalah Kebenaran dalam wujud
manusia, yang menarik dunia kepada Diri-Nya. “Yesus adalah bintang pedoman
untuk kebebasan manusia: tanpa Dia, kebebasan kehilangan fokusnya, karena tanpa
pengetahuan tentang kebenaran, kebebasan kehilangan makna, asing, dan merosot
menjadi sesuatu yang hampa. Bersama Dia kebebasan menemukan jati dirinya.”
Dalam Sakramen Ekaristi Yesus secara khusus menunjukkan kepada kita kebenaran
tentang cinta-kasih yang merupakan hakikat Allah sendiri. Kebenaran injili inilah,
(9)
yang menantang setiap kita dan juga seluruh keberadaan kita. Karena alasan ini
Gereja, yang menemukan pusat hidupnya dalam Ekaristi, terus-menerus berusaha
memaklumkan kepada semua orang, baik atau tidak baik waktunya (bdk. 2Tim 4:2),
bahwa Allah adalah kasih. Sungguh, Kristus telah menjadi santapan kebenaran bagi
kita; karena itu, Gereja berpaling kepada setiap orang, laki-laki dan perempuan, untuk
mengundang mereka agar menyambut karunia Allah ini dengan bebas.
(10)
Lampiran 4
(11)
formasi liturgis dan keakraban yang dalam dan [bersifat] pribadi terhadap Bentuk
awal dari perayaan liturgis [tersebut]. Kita semua tahu bahwa, di gerakan yang
dipimpin oleh Uskup Agung Lefebvre, kesetiaan kepada Misa lama menjadi tanda
identitas eksternal; alasan-alasan bagi perpecahan yang timbul karena ini,
bagaimanapun, terletak pada tingkat yang lebih dalam [dari sekedar kesetian kepada
Misa lama]. Banyak orang yang dengan jelas menerima karakter mengikat dari
Konsili Vatikan II dan setia kepada Paus serta Uskup-Uskup, tapi masih ingin untuk
kembali kepada bentuk liturgi Kudus yang berkesan bagi mereka. Ini terjadi, diatas
segalanya, karena di banyak tempat, perayaan-perayaan [dengan Misa Paulus VI]
tidak taat kepada preskripsi Misa baru tersebut, namun yang sebelumnya [catatan:
aku kurang tahu “yang sebelumnya” apa, mungkin “Misa Paulus VI”] dipahami
[sebagai sesuatu] yang mengijinkan atau bahkan memerlukan kreativitas, [dimana
hal-hal tersebut] sering berujung kepada deformasi liturgi yang sulit untuk diterima.
Aku berbicara dari pengalaman[ku], karena aku juga hidup melalui periode [Misa
Paulus VI] dengan harapan-harapannya dan kebingungannya. Dan aku telah melihat
bagaimana deformasi yang rancu atas liturgi menyebabkan kesakitan yang dalam
kepada individu-individu yang berakar dalam iman Gereja.
Paus Yohanes Paulus II, karenanya, merasa wajib untuk menyediakan di Motu
Proprio Ecclesia Dei (2 Juli 1988), aturan-aturan bagi penggunaan Misa 1962;
dokumen itu, bagaimanapun, tidak mengandung preskripsi detail tapi memohon
(appealed) secara umum kepada kedermawanan tanggapan para Uskup atas “aspirasi
sah” dari anggota-anggota umat beriman yang meminta penggunaan Misa Roma ini.
Pada saat itu, sang Paus utamanya ingin membantu Society of Saint Pius X untuk
kembali pada persekutuan penuh dengan Penerus Petrus, dan berusaha mengobati
luka menyakitkan yang diderita. Sayangnya rekonsiliasi ini belum terjadi.
Bagaimanapun, beberapa komunitas telah dengan rasa terima kasih memanfaatkan
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh motu Propio [dari Yohanes Paulus
II]. Disisi lain, masih ada kesulitan-kesulitan mengenai penggunaan Misa 1962 diluar
kelompok-kelompok ini, karena kurangnya norma-norma yuridis yang tepat, terutama
karena para Uskup, pada kasus itu, sering takut bahwa otoritas dari Konsili [Vatikan
II] akan dipertanyakan. Segera setelah Konsili Vatikan II diasumsikan bahwa
permintaan untuk penggunaan Misa 1962 akan dibatasi [hanya] bagi generasi tua
yang telah tumbuh dengan [Misa] tersebut. Tapi disaat ini telah jelas
didemonstrasikan bahwa orang-orang muda juga telah menemukan bentuk liturgis ini,
merasakan ketertarikan darinya dan menemukan didalamnya suatu bentuk
perjumpaan dengan Misteri dari Ekaristi Terkudus [yang] cocok dengan mereka.
Karenanya keperluan telah tumbuh bagi sebuah aturan yurisdiksi yang lebih jelas
yang tidak diperkirakan pada saat Motu Proprio 1988. Norma-norma saat ini juga
dimaksudkan untuk membebaskan Uskup-Uskup dari secara terus menerus harus
mengevaluasi bagaimana mereka menanggapi berbagai situasi [berkenaan dengan
penggunaan Misa 1962].
Kedua, ketakutan ter-ekspresikan dalam diskusi-diskusi tentang Motu Proprio
yang dinanti-nanti, bahwa kemungkinan penggunaan yang luas atas Misa 1962 akan
(12)
berujung pada kecarut-marutan dan bahkan perpecahan dalam komunitas Paroki.
Ketakutan ini juga bagiku tidak berdasar. Penggunaan Misa lama mengasumsikan
suatu tingkat formasi liturgis dan suatu pengetahuan atas bahasa Latin; dan ini tidak
dijumpai banyak. Dan dari asumsi ini, jelas terlihat bahwa Misa baru akan tetap
merupakan Bentuk biasa dari Ritus Roma, tidak hanya karena norma-norma yuridis,
tapi juga karena situasi aktual dari komunitas-komunitas para umat beriman.
Memang benar bahwa ada pelebih-lebihan, dan disaat lain aspek-aspek sosial,
yang dihubungkan dengan sikap dari umat beriman yang terikat pada tradisi liturgi
Latin purba. Kasih dan kehati-hatian pastoralmu [ie. para Uskup] akan menjadi
sebuah insentif dan pengarah dalam memperbaiki hal ini. Atas masalah itu, Dua
bentuk penggunaan dari Ritus Roma bisa saling memperkaya; Para Kudus baru dan
beberapa Prefasi dapat dan harus dimasukkan kedalam Misa lama. Komisi “Ecclesia
Dei”, dalam kontaknya dengan berbagai badan yang fokus kepada usus antiquior
[catatan: gak tahu apa itu], akan mempelajari kemungkinan-kemungkinan praktis
dalam hal ini. Perayaan Misa sesuai dengan Misa Paulus VI akan mampu
menunjukkan, secara lebih berkuasa dari yang sebelumnya, kesakralan yang menarik
banyak orang ke penggunaan yang sebelumnya. Jaminan paling meyakinkan bahwa
Misa Paulus VI bisa menyatukan komunitas paroki dan dicintai mereka terdiri dari
perayaannya dengan kekhusukan yang besar dalam keselarasan dengan arahan-arahan
liturgis. Ini akan membawa kekayaan spiritual dan kedalaman theologis dari Misa
[Paulus VI] ini.
Sekarang aku tiba pada alasan positif yang memotivasi keputusanku untuk
mengeluarkan Motu Proprio ini yang meng-up date [Motu Proprio Yohanes Paulus II
pada] 1988. [Pengeluaran motu Proprio ini] merupakan masalah [untuk] tiba kepada
perdamaian interior dalam jantung Gereja. Melihat ke masa lalu, kepada perpecahan-
perpecahan yang sepanjang abad telah merobek Tubuh Kristus, seorang terus
mendapatkan kesan bahwa, pada saat-saat kritis ketika perpecahan timbul, tidak
cukup [hal] dilakukan pemimpin Gereja untuk menjaga atau mendapatkan
perdamaian dan kesatuan. Seseorang mendapatkan kesan bahwa ketidakbertindakan
dari Gereja merupakan [hal yang] bisa disalahkan sebagai fakta bahwa perpecahan ini
menjadi mampu untuk mengeras. Pandangan ke yang lalu ini mengenakan suatu
kewajiban kepada kita hari ini: untuk membuat setiap upaya untuk memampukan
[catatan: sebenarnya tulisannya “untuk tidak memampukan” tapi mestinya yang benar
adalah “untuk memampukan”] bagi semua yang benar-benar menghendaki kesatuan
untuk terus berada didalamnya atau untuk mendapatkan kesatuan yang baru. Aku
berpikiran akan satu kalimat di Surat Kedua kepada Umat di Korintus, dimana Paulus
menulis: “Mulut kami terbuka bagimu, umat Korintus; jantung kami [terbuka] lebar.
Kalian tidak dibatasi oleh kami, tapi kalian dibatasi oleh rasa sayang kalian sendiri.
Sebagai balasannya … lapangkanlah jantung kalian juga!” (2 Kor 6:11-13). Paulus
memang berbicara dalam konteks yang lain, tapi anjuran ini bisa dan harus
menyentuh kita semua juga, tepatnya dalam subyek ini [catatan: yang dimaksud
adalah usaha untuk meningkatkan upaya rekonsiliasi agar perpecahan tidak semakin
mengeras sehingga semakin sulit untuk direkonsiliasikan]. Marilah kita dengan
(13)
dermawan membuka jantung kita dan membuat ruangan bagi semua yang diijinkan
oleh iman sendiri.
Tidak ada kontradiksi antara dua edisi dari Misa Roma. Dalam sejarah liturgi
ada pertumbuhan dan kemajuan, tapi tidak keterpotongan. Apa yang dipandang kudus
bagi generasi sebelumnya, tetap kudus dan sangat bagus bagi kita juga, dan tidak bisa
tiba-tiba [hal tersebut] menjadi seluruhnya terlarang atau bahkan dianggap
membahayakan. Adalah patut bagi kita semua untuk melestarikan kekayaan yang
telah terkembangkan dalam iman dan doa Gereja, dan untuk memberi kepadanya
tempat yang layak. Tidak perlu dikatakan lagi, untuk mengalami persekutuan secara
penuh, imam-imam dari komunitas yang suka (adhering) kepada penggunaan yang
lama [ie. Misa 1962] tidak dapat, sebagai masalah prinsipiil, mengecualikan perayaan
dengan buku [liturgi baru] [catatan: maksudnya tidak boleh ada romo yang karena
Motu Proprio SummorumPontificum, kemudian menolak merayakan Misa Paulus
VI]. Pengecualian total kepada ritus baru [ie. Misa Paulus VI] tidak akan konsisten
dengan pengenalan akan nilai dan kekudusan [Misa Paulus VI].
Sebagai kesimpulan, para Saudara terkasih, aku sangat menginginkan untuk
menekankan bahwa norma-norma baru ini tidak dalam cara apapun mengurangi
otoritas dan tanggungjawab kalian, baik untuk liturgi maupun untuk pelayanan
pastoral atas umat beriman kalian. Tiap Uskup, kenyataannya, adalah moderator dari
liturgi di Keuskupannya (cf. Sacrosanctum Concilium, 22: “Sacrae Liturgiae
moderatio ab Ecclesiae auctoritate unice pendet quae quidem est apud Apostolicam
Sedem et, ad normam iuris, apud Episcopum”).
Tidak ada yang diambil, karenanya, dari otoritas para uskup, yang perannya
masih tetap, yaitu berjaga-jaga agar semuanya dilakukan dalam kedamaian dan
ketenangan. Kalau beberapa masalah timbul dimana romo paroki tidak bisa
mengatasi, Ordinari Lokal akan selalu mampu untuk campur tangan, dalam
keselarasan penuh, bagaimanapun, dengan semua yang telah ditetapkan oleh norma-
norma baru dari Motu Proprio.
Terlebih, aku mengundang kalian, Saudara terkasih, untuk mengirimkan
kepada Tahta Suci catatan pengalaman-pengalamanmu, tiga tahun setelah Motu
Proprio ini berlaku. Kalau memang kesulitan serius telah terjadi, cara untuk
mengobatinya bisa dicari.
Para Saudara, dengan rasa terima kasih dan kepercayaan, aku mempercayakan
kepada hati kalian sebagai Pastor-Pastor, halaman-halaman ini dan norma-norma dari
motu Proprio. Biarlah kita selalu ingat perkataan dari Rasul Paulus yang diarahkan
kepada para panatua di Ephesus: “jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan,
karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan
Gereja Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya sendiri” (Kis 20:28).
Aku mempercayakan norma-norma ini kepada intersesi berkuasa dari Maria,
Bunda Gereja, dan aku dengan bersahabat memberikan Berkat Apostolik-ku kepada
kalian, para Saudara terkasih, kepada romo-romo paroki di keuskupan kalian, dan
kepada semua romo, rekan kerja kalian, dan juga kepada para umat beriman.
(14)
Diberikan di [Basilika] St. Petrus, 7 Juli 2007
BENEDICTUS PP. XVI
(15)
Lampiran 5
___Sampai saat ini, paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik memiliki
kepedulian yang terus-menerus untuk menjamin bahwa Gereja Kristus
mempersembahkan suatu perayaan yang layak kepada Allah Mahamulia, ‘untuk
memuji dan memuliakan namaNya,’ dan ‘demi kebaikan seluruh Gereja KudusNya.’
___Sejak jaman dahulu dan juga pada masa mendatang, merupakan suatu keharusan
– untuk menjaga prinsip yang dengannya ’setiap Gereja partikular harus sama dengan
Gereja universal, tidak hanya mengenai ajaran iman dan tanda-tanda sakramental,
tapi juga tentang tata cara yang diterima secara universal oleh tradisi apostolik yang
tak-terputus, yang harus dipatuhi tidak hanya untuk menghindari penyimpangan-
penyimpangan, tetapi juga supaya khazanah iman dapat diwariskan secara utuh
sehingga “tata doa” tetap selaras dengan “tata iman” Gereja. (1)
___Di kalangan para Paus yang menunjukkan kepedulian yang besar, sangatlah
menonjol nama St. Gregorius Agung, yang berupaya dengan segenap tenaga untuk
menjamin agar bangsa-bangsa baru Eropa menerima baik iman Katolik maupun
kekayaan tradisi dan kebudayaan yang telah dikumpulkan oleh bangsa romawi pada
abad-abad sebelumnya. Dia memerintahkan agar bentuk liturgi kudus sebagaimana
yang dirayakan di Roma, baik Korban Misa maupun ibadat harian, dipelihara. Ia
sangat memajukan hidup para rahib dan biarawati yang sambil mengikuti Regula St.
Benediktus bersamaan dengan pewartaan injil, juga telah memperlihatkan dengan
cara hidupnya suatu pandangan bijaksana dari Regula bahwa ‘tidak ada sesuatupun
yang lebih agung dari karya Allah’ (bab 43). Dengan cara ini liturgi kudus, yang
dirayakan sesuai tradisi Romawi, memperkaya bukan hanya iman dan bakti kasih
tetapi juga budaya banyak bangsa. Bagaimanapun pasti bahwa liturgi Gereja Latin
dalam berbagai bentuk, di setiap abad kekristen, telah menjadi dorongan bagi
kehidupan spiritual para kudus, dan telah menguatkan banyak bangsa dalam
kebajikan-kebajikan keagamaan dan menyuburkan kasih bakti mereka.
___Banyak Paus Roma lain, seiring dengan perjalanan waktu, telah menunjukkan
perhatian khusus untuk menjamin agar liturgi kudus memenuhi tugas ini secara
efektif. Yang paling menonjol diantara mereka ini adalah St. Pius V, yang didorong
oleh semangat pastoral yang tinggi dan sesuai anjuran Konsili Trente, memperbaharui
seluruh Ibadat Gereja, mengupayakan penerbitan buku-buku liturgi yang diperbaiki
(16)
dan ’diperbaharui sesuai dengan pedoman para Bapa Gereja,’ serta mengumumkan
pemakaiannya dalam Gereja Latin.
___Di antara dari buku-buku Liturgi Ritus Romawi amat menonjol Misale Romawi,
yang dipakai kembangkan di kota Roma, dan selama berabad-abad, sedikit demi
sedikit mendapat bentuk-bentuk yang sangat mirip dengan liturgi pada masa akhir-
akhir ini.
___‘Demi tujuan yang sama ini maka para Paus Roma berikutnya giat berusaha
selama berabad-abad untuk menyesuaikan ritus-ritus dengan perubahan jaman dan
menetapkan buku-buku liturgi. Sejak awal abad ini mereka melaksanakan suatu
pembaharuan yang lebih luas dan umum.’ (2) Karena itu para pendahulu kami
klemens VIII, Urbanus VIII, St. Pius X (3), Benediktus XV, Pius XII dan Beato
Yohanes XXIII semuanya ikut berperan.
___Pada masa terakhir ini, Konsili Vatikan II menyatakan keinginan agar
pemeliharaan dan penghargaan terhadap ibadat ilahi harus diperbaharui lagi dan
disesuaikan dengan kebutuhan di jaman kita. Digerakkan oleh keinginan ini
pendahulu kami, Paus Paulus VI, pada tahun 1970, memperbaharui dan merevisi
sebagian dari buku-buku liturgi untuk Gereja Latin. Buku-buku ini diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dan diterima dengan gembira oleh para Uskup, imam dan
umat beriman. Yohanes Paulus II mengumumkan edisi acuan ketiga dari Misale
Romawi itu. Karenanya para Paus Roma telah berusaha untuk menjamin bahwa
‘pengembangan liturgi semacam ini … harus semakin cemerlang karena keagungan
dan keserasiannya.’ (4)
___Tetapi di beberapa wilayah, tidak sedikit jumlah umat beriman yang berminat dan
terus menyukai bentuk-bentuk liturgi sebelumnya dengan cinta dan kerinduan yang
besar. Bentuk-bentuk liturgis ini telah begitu tertanam dalam kebudayaan dan jiwa
mereka sehingga pada 1984 Pemimpin Tertinggi Yohanes Paulus II, yang digerakkan
oleh kepedulian terhadap reksa pastoral untuk umat beriman, melalui dokumen
khusus ‘Quattuor abhinc anno‘ yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi,
mengijinkan penggunaan misale Romawi yang diterbitkan oleh Beato Yohanes XXIII
tahun 1962. Kemudian pada tahun 1988, Yohanes Paulus II melalui Surat Apostolik
yang dinamakan Motu Proprio, ‘Ecclesia Dei‘, mendesak para Uskup untuk dengan
rela menggunakan wewenang ini [cat: wewenang untuk memberi ijin pelaksanaan
Misa Romawi Beato Yohanes XXIII] demi kebaikan semua umat beriman yang amat
menginginkannya.
___Disertai oleh doa-doa yang tidak kenal lelah dari umat beriman ini, setelah lama
dipertimbangkan oleh Pendahulu Kami Yohanes Paulus II, juga setelah
mendengarkan pandangan-pandangan dari para Bapak Kardinal dalam Sidang Dewan
Penasihat pada tanggal 22 Maret 2006, seraya mempertimbangkan secara matang,
setelah memohon bimbingan Roh Kudus serta yakin akan bantuan Allah, melalui
Surat Apostolik ini Kami MENETAPKAN sebagai berikut:
___Art. 1 Misale Romawi yang diumumkan secara resmi oleh Paus Paulus VI adalah
CARA ungkapan lazim dari ‘Lex orandi‘ (tata doa) Gereja Katolik Ritus Latin.
Bagaimanapun, Misale Romawi yang dipromulgasikan oleh St. Pius V dan
(17)
dikeluarkankan lagi oleh beato Yohanes XXIII hendaknya digunakan sebagai cara
ungkapan tak-lazim dari ‘Lex orandi‘ yang sama itu, dan harus diberi penghargaan
yang selayaknya karena penggunaannya yang anggun sejak dulu. Dua cara ungkapan
‘Lex orandi‘ Gereja ini sama sekali tidak boleh mengarah kepada perpecahan dalam
‘Lex credendi‘ (tata iman) Gereja. Sesungguhnya mereka [cat: Misa Paulus VI dan
Misa St. Pius V], adalah dua cara pelaksanaan dari ritus romawi yang sama.
___Karena itu, diijinkan untuk merayakan Korban Misa dengan mengikuti edisi
acuan dari Misale Romawi yang dipromulgasikan oleh beato Yohanes XXIII tahun
1962 dan tidak pernah dibatalkan, sebagai cara tak-lazim dari Liturgi Gereja.
Persyaratan untuk menggunakan Misale ini seperti telah ditetapkan dalam dokumen-
dokumen sebelumnya ‘Quattuor abhinc annos‘ dan ‘Ecclesia Dei‘, diganti sebagai
berikut:
___Art. 2 dalam Misa-misa yang dirayakan tanpa umat, setiap imam katolik dari ritus
Latin, baik sekulir maupun regulir, boleh menggunakan Misale Romawi yang
diterbitkan oleh Beato Yohanes XXIII tahun 1962, atau Misale Romawi yang
disahkan oleh Paus Paulus VI tahun 1970, dan bisa dibuat pada hari apapun kecuali
pada Triduum Paskah. Untuk perayaan-perayaan seperti itu, baik dengan Misale yang
satu atau yang lain, imam tidak memerlukan ijin dari Tahta Suci atau dari
Ordinarisnya.
___Art. 3 Komunitas-komunitas Institut hidup bakti dan tarekat hidup apostolik, baik
yang diakui kepausan maupun dari keuskupan, yang ingin merayakan Misa menurut
edisi Misale Romawi yang dipromulgasikan tahun 1962, bisa melakukannya untuk
misa biara atau perayaan “komunitas” di tempat ibadat sendiri. Jika sebuah komunitas
tunggal atau seluruh Institusi atau tarekat berkeinginan untuk melakukan perayaan
seperti itu dengan lebih sering, secara berkala atau secara tetap, keputusan harus
diambil oleh para pemimpin yang lebih tinggi, sesuai dengan norma hukum dan
menurut peraturan serta statua khusus.
___Art. 4 Perayaan Ekaristi seperti yang disebut di art. 2 hendaknya –dengan
mengikuti semua norma hukum– dapat dihadiri juga oleh umat beriman yang,
berdasarkan kehendak bebas mereka sendiri, meminta hal itu.
___Art. 5.1 Di paroki-paroki dimana ada satu kelompok tetap umat beriman yang
merasa tertarik pada tradisi liturgi yang lama itu, pastor paroki mereka hendaknya
menerima dengan rela permintaan untuk merayakan Misa sesuai dengan Misale
Romawi yang diterbitkan tahun 1962, Hendaklah ia menjamin bahwa kesejahteraan
para umat beriman ini sejalan dengan reksa pastoral biasa dari paroki tersebut,
dibawah bimbingan uskup menurut KHK 392, sambil menghindari perselisihan dan
mengupayakan persatuan seluruh Gereja.
___Art. 5.2 Perayaan sesuai dengan Misale dari Beato Yohanes XXIII dapat diadakan
pada hari-hari biasa; tetapi pada hari Minggu dan hari pesta, satu misa seperti itu
dapat juga dirayakan.
___Art. 5.3 Bagi umat beriman dan imam-imam yang meminta hal itu, pastor paroki
mengijinkan juga perayaan dengan cara tak lazim ini untuk peristiwa-peristiwa
(18)
khusus seperti perkawinan, pemakaman atau pada kesempatan-kesempatan tertentu,
misalnya ziarah-ziarah.
___Art. 5.4 Para Imam yang menggunakan Misale dari Beato Yohanes XXIII
haruslah layak-pantas dan tidak terhalangi menurut hukum.
___Art. 5.5 dalam gereja-gereja yang bukan paroki atau bukan biara, adalah tugas
dari pemimpin Gereja itu untuk memberikan ijin diatas.
___Art. 6 dalam Misa yang dirayakan dengan kehadiran umat menurut Misale Beato
Yohanes XXIII, bacaannya boleh diberikan dalam bahasa setempat, dengan
menggunakan edisi yang disetujui oleh Tahta Suci.
___Art. 7 Jika suatu kelompok umat awam, seperti yang disebut di art. 5.1, tidak
mendapat ijin dari pastor paroki, hendaknya mereka menjelaskan hal ini kepada
uskup diosesan. Uskup diminta dengan sangat untuk memenuhi keinginan mereka.
Jika Uskup tidak bisa memberi kemungkinan untuk perayaan seperti itu, masalah ini
hendaknya diajukan kepada Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”.
___Art. 8 Seorang Uskup yang ingin memenuhi permintaan seperti itu dari umat
awam, tetapi karena berbagai alasan tidak dapat melakukannya, boleh mengajukan
masalah tersebut kepada Komisi “Ecclesia Dei” yang akan memberikan bimbingan
dan bantuan kepadanya.
___Art. 9.1 setelah dengan cermat mempertimbangkan semua aspek, pastor paroki
boleh juga memberikan ijin menggunakan rituale lama untuk pelayanan sakramen
Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Pengakuan dan Sakramen Pengurapan
Orang Sakit, bila keselamatan jiwa-jiwa menghendakinya.
___Art. 9.2 Para Ordinaris diberikan hak untuk merayakan Sakramen Krisma dengan
menggunakan Pontificale Romawi lama, bila keselamatan jiwa-jiwa
menghendakinya.
___Art. 9.3 Para Klerus tertahbis “in sacris constitutis” boleh menggunakan Brevir
Romawi yang dipromulgasikan oleh Beato Yohanes XXIII tahun 1962.
___Art. 10 Ordinaris wilayah yang berwenang, jika merasa tepat, boleh mendirikan
sebuah paroki khusus sesuai dengan KHK 518 untuk perayaan-perayaan menurut
bentuk lama dari ritus Romawi, atau menunjuk seorang kapelan, sambil mematuhi
semua norma hukum.
___Art. 11 Komisi Kepausan “Ecclesia Dei“, yang didirikan oleh Yohanes Paulus II
Tahun 1988 (5), tetap menjalankan tugasnya. Komisi tersebut akan mendapat bentuk,
tugas-tugas dan pedoman-pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh Paus Roma bila
dikehendaki
___Art. 12 Komisi ini, selain kuasa yang dimilikinya, akan menggunakan otoritas
Tahta Suci, untuk mengawasi kepatuhan dan penerapan peraturan-peraturan ini.
___Dengan demikian Kami memerintahkan agar semua yang Kami tetapkan dalam
Surat Apostolik ini yang dikeluarkan sebagai Motu Propio dipandang sebagai hal
yang telah “ditetapkan dan diputuskan”, dan akan kita laksanakan mulai 14
September tahun ini, pada Pesta Salib Suci: maka semua ketetapan sebelumnya yang
bertentangan tidak berlaku.
Basilikia St. Petrus, Roma, 7 Juli 2007,
(19)
tahun ketiga dari Kepausan Kami.
Paus Benediktus XVI
Catatan:
(1) PUMR, edisi ke-3., 2002, no. 397.
(2) Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus quintus annus,” 4 Desember
1988, 3: AAS 81 (1989), 899.
(3) Ibid.
(4) St. Pius X, Surat Apostolik Motu propio data, “Abhinc duos annos,” 23 Oktober
1913: AAS 5 (1913), 449-450; bdk Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus
quintus annus,” no. 3: AAS 81 (1989), 899.
(5) bdk Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Motu proprio “Ecclesia Dei,” 2 Juli 1988,
6: AAS 80 (1988), 1498.
(Diterjemahkan dari teks latin oleh: P. Bernardus Boli Ujan, SVD, Komlit KWI
(20)