Anda di halaman 1dari 193

LAGU GREGORIAN :

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA


DALAM MUSIK LITURGI DI ZAMAN SEKARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Almatia Nuri Kristanti

NIM : 051124019

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
PERSEMBAHAN

Tulisan ini kupersembahkan kepada

1. Mereka yang telah membentuk aku hingga saat ini,


baik dalam suka maupun duka,
dalam tangis dan tawa canda,
dalam kasih sayang dan ketulusan tanpa syarat.
Pribadi yang telah menjadi sumber segala doa dan pintaku
Bpk. Fransiskus Xaverius Hartana dan Ibu Martina Welfrida Sudarwati
Adikku Tercinta Constantia Reta Krishardani
Hanya satu kalimat yang ingin kusampaikan selama 23 tahun ini
“Pak, Bu, Dek, Aku sayang kalian….”

2. Mereka yang telah memberi warna dalam kehidupan perkuliahanku.


Sor Asem Community yang selalu mendukung dan menyemangati dalam segala
suasana mulai awal perkuliahan, PPL, Retret, KBP, hingga akhir penulisan Skripsi ini
(Lisnawati br Pinem, Agustina Eri Susanti, Lucia Windu Andari, Christina Desy
Priandari, Henrika Jamlean, Magdalena Mada Hede, Mujiyono, Daniel Dodi, Ce
Hong, dll)

iv
MOTTO

“Ada dua cara menghayati kehidupan


Yang satu adalah seolah-olah
mukjizat itu tak pernah ada
Yang lain adalah
seolah-olah segala sesuatunya
merupakan MUKJIZAT…”
(Albert Einstein)

Dan aku percaya akan mukjizat-Nya


Maka,…..

“Terjadilah Padaku Menurut KehendakMu….”


(Luk 1:38)

v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 Oktober 2010

Penulis,

Almatia Nuri Kristanti

vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Almatia Nuri Kristanti
Nomor Mahasiswa : 05 1124 019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
LAGU GREGORIAN :
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA
DALAM MUSIK LITURGI DI ZAMAN SEKARANG
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa
perlu meminta ijin ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 19 Oktober 2010

Yang menyatakan

Almatia Nuri Kristanti

vii
ABSTRAK

Judul skripsi LAGU GREGORIAN: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN


RELEVANSINYA DALAM MUSIK LITURGI DI ZAMAN SEKARANG dipilih
berdasarkan ketertarikan terhadap seni musik, khususnya perkembangan seni musik
didalam lingkup Gereja. Di jaman sekarang ini, musik telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Tidak hanya musik profan, namun perkembangan
ini juga mempengaruhi musik liturgi. Musik yang bermunculan memiliki
kekhasannya tersendiri. Ada musik liturgi yang diinkulturasikan dengan musik khas
daerah, ada ,musik liturgi yang berjalur pop dengan pengungkapan iman pribadi akan
Allah. Dengan kata lain, Gereja memberikan ruang cukup besar dalam
pengembangan musik Liturgi. Hal ini sedikit banyak menimbulkan kerancuan
pemikiran, musik yang digunakan dalam liturgi berubah menjadi sekedar musik ritual
tanpa memiliki makna liturgis. Hal inilah yang menjadi tantangan besar bagi Gereja
untuk mempertahankan bentuk musik awal Gereja yang memiliki unsur seni
berkualitas tinggi dan memiliki makna liturgis yang mendalam yakni lagu Gregorian.
Berdasarkan dari keprihatinan tersebut, skripsi ini ditulis sebagai sebuah gambaran
akan pembentukan sejarah perkembangan lagu Gregorian dan untuk menunjukkan
relevansinya dalam khazanah musik liturgi.
Persoalan utama yang diangkat dalam skripsi ini adalah apakah lagu
Gregorian sebagai warisan dalam musik liturgi masih relevan dipergunakan dalam
liturgi jaman sekarang ini. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan bentuk notasi lagu
Gregorian, namun meliputi bahasa yang digunakan dan tema yang diangkat dalam
pembentukan lagu Gregorian pada awalnya. Guna menjawab pertanyaan tersebut
dilakukan suatu studi pustaka untuk memperoleh pengertian ilmiah serta data-data
yang sesuai dengan tema yang diangkat. Deskripsi dan data tersebut kemudian diolah
dan dianalisis guna menguatkan penulisan mengenai sejarah perkembangan lagu
Gregorian dalam musik liturgi. Selain itu disajikan pula relevansi mengenai lagu
Gregorian dalam musik liturgi sekarang ini.
Skripsi ini hendak menunjukkan bahwa lagu Gregorian merupakan dasar
pembentukan musik baik dalam Gereja maupun secara umum. Selain itu penggunaan
lagu Gregorian dalam liturgi masih relevan dengan catatan perlu suatu penyesuaian
khusus antara tema lagu Gregorian dengan tema liturgi. Kekuatan lagu Gregorian
ditunjukkan dalam suasana yang dibentuk, menjadi musik yang menyatukan Gereja
universal. Sebagai bagian dari khazanah musik liturgi lagu Gregorian mampu
menunjukkan eksistensinya sebagai lagu bernilai seni tinggi, sehingga patutlah
dijaga, dipelihara dan dikembangkan. Hal ini dilakukan agar ke depannya lagu ini
tetap dikenal dan tidak hanya menjadi harta kekayaan Gereja yang terpendam.

viii
ABSTRACT

This thesis is entitled GREGORIAN CHANT : HISTORICAL


DEVELOPMENT AND RELEVANCE IN POST VATICAN II LITURGICAL
MUSIC. It is selected based on interest in music, especially the development of it
within the scope of the Church. Nowadays, music has rapidly changed. This
development not only affects the profane music, but also liturgical music. Music
which appeared has its own characteristic. There is liturgical music which is inspired
by traditional local tunes (inculturation) as well as pop music. The last one tries to
express personal faith to God. In other words, the Church gives a broad space in the
development of liturgical music. Somehow it has caused confusion, because the
music used in liturgy turned into a common ritual which is meaningless. This has
become a big challenge for the Church to maintain the kind of early church music
that is of high quality and meaningfull like Gregorian chant. Based on this concern,
this thesis is written as a description come about and development of Gregorian chant
and its relevance in liturgical music.
The main problems of this thesis is whether the Gregorian chant as the
Church’s heritage is still relevant in liturgical music used in today’s liturgy. It’s not
only related to the specific Gregorian chant notation, but is also a question of the
language used and the themes contained in the manifold Gregorian chant of pre-
Vatican II liturgy. To answer these questions, the writer did a study to find out some
scientific understanding and data which are relevant to the topic. Then the description
and the data were processed and analyzed in order to strengthen this thesis namely the
relevance of Gregorian chant in post Vatican II liturgical music.
This thesis shows also that Gregorian chant is the basis in composing new
liturgical chants. In addition, the use of Gregorian chant in the liturgy is still relevant
but the themes need to be synchronized with the new lectionarium. Nevertheless
Gregorian chant contain high artistic value and are able to create a specific liturgical
sphere. So, it is worth to fight for, to keep, and to develop it. So that in the future
Gregorian chant is used and not only buried as the Church’s archives.

ix
KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan segala puji, syukur dan

hormat yang tiada pernah terkira kepada Allah, Sang Maha Hidup karena segala

rahmat kasih dan penyertaanNya telah memampukan penulis untuk menyelesaikan

semua karya skripsi yang berjudul “LAGU GREGORIAN : SEJARAH

PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA DALAM MUSIK LITURGI DI

ZAMAN SEKARANG”

Segala tulisan dan kenangan yang terangkum dalam penulisan skripsi ini

diawali oleh kecintaan penulis terhadap dunia yang saat ini pula masih digeluti yakni

dunia musik. Kecintaan terhadap musik menghantarkan penulis pada suatu

penyadaran khusus terhadap kecintaan akan Allah dan musik dalam Gereja. Banyak

sekali hal yang bertentangan dalam suatu kehidupan, seperti kehidupan penulis

dimana siang hari berperan sebagai mahasiswi kateketik (IPPAK) dan ketika sesudah

selesai kegiatan perkuliahan berubah arah menggeluti bidang tarik suara yang

didasari akan kecintaannya terhadap musik klasik dan musik gereja. Oleh karena

kecintaan terhadap kedua hal tersebut, maka penulis berusaha menjawab tantangan

yang muncul mengenai musik asli dalam gereja yang berpengaruh hingga sekarang

ini. Di lain sisi, skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi Ilmu Kekhususan Pendidikan Agama

Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Lima tahun bisa dikatakan waktu yang panjang karena selama lima tahun dan

sebelas semester ini, penulis ditempa menjadi seseorang yang berani bersikap
x
terhadap perkembangan jaman terlebih di bidang keagamaan ini, banyak sekali ilmu

dan pelajaran yang diterima selama ini yang membangun karakter dalam diri penulis.

Namun waktu lima tahun juga merupakan waktu yang singkat untuk mempersiapkan

diri dalam menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Semua beban akan terasa

ringan ketika apa yang kita rasakan juga didukung dengan support dari berbagai

pihak. Kehidupan manusia bagai sebuah putaran roda, semua hal yang memiliki awal

pastilah akan memiliki sebuah titik akhir yang mempertemukan pada suatu awal yang

baru. Pada kesempatan yang indah ini, perkenankanlah penulis menghaturkan segala

ungkapan dan ucapan terima kasih dan syukur yang tiada terkira kepada :

1. Romo Karl Edmund Prier, SJ, Lic.Phil. selaku Dosen Pembimbing Utama yang

dengan segala kesabaran, segala waktu, dan memberikan segala masukannya

untuk bersedia membimbing penulis dengan berbagai judul yang penulis

ajukan. Maaf juga Romo, karena selalu goyah dalam berpendirian memilih

judul yang tepat hingga muncullah judul yang saat ini.

2. Romo Drs. Herman Josef Suhardiyanto, SJ selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberikan segala perhatian, cinta sebagai seorang

bapak selama skripsi maupun selama proses studi ini. Banyak kenangan indah

yang tercipta yang tak akan pernah dilupakan karena memiliki seorang “bapak”.

3. Bapak P. Banyu Dewa H.S, S.Ag, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang

selalu memberikan perhatian dan dukungannya kepada penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini. Canda tawa bersama menjadi sebuah kisah yang

terukir dalam setiap langkah guna mencapai cita.

xi
4. Segenap staf dosen, Staf Sekretariat, Perpustakaan, Bidang Keuangan, LPKP,

hingga segenap karyawan di Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang telah begitu banyak melimpahi

penulis dengan segala ilmu, senyuman, canda tawa, dukungan hingga

bimbingannya yang terus selalu menguatkan penulis dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

5. Romo Y.M Riawinarta, Pr. yang telah menjadi sumber segala uneg-uneg dan

keluh kesah yang dialami oleh penulis. Apa yang pernah penulis terima dan

alami tidak akan pernah terhapus.

6. Sahabat-sahabat angkatan 2005 yang telah menjadi warna dalam setiap

kehidupan yang penulis jalani. Semua kenangan itu akan selalu ada dalam hati

penulis dan kita akan membukanya ketika kita bertemu kembali. Mari kita kejar

dan wujudkan semua mimpi dan cita cinta kita bersama hingga akhirnya semua

kita gunakan untuk memuji Dia Sang Maha Segala.

7. Segenap sahabat yang telah bersedia menerima seluruh diriku dan

kepribadianku yang positif maupun yang negatif : Agustina Eri Susanti yang

telah meng’oyak-oyak’ penulis dengan segala dukungannya, Lisnawati Br.

Pinem yang selalu menyediakan tempat tidur terhangat dengan kasih dan

cintanya, Lucia Windu Andari yang selalu bisa menjadi seorang kakak,

Christina Desy Priandari yang cerewet tapi ternyata sangat perhatian, Henrika

Jamlean yang selalu bisa memberikan kesempatan penulis untuk berkreasi,

Magdalena Mada Hede yang selalu bisa membuat penulis tertawa, terima kasih

xii
karena kalian semua perjalanan hidup ini menjadi sesuatu yang indah dan

bermakna.

8. Keluarga penulis yang sangat dicintai : Bapak FX. Hartana, Ibu MW.

Sudarwati, dan Constantia Reta Krishardani yang selalu mendukung semua

kegiatan yang se’abrek’. “Pak, Buk terima kasih atas 22 tahun yang penuh

makna dalam setiap goresan kehidupan ini, buat adek yang selalu bisa membuat

marah dan selalu membuat tawa, ceria”. Terima kasih atas semua kasih dan

cintanya karena tidak ada satu katapun yang dapat mengungkapkan segala cinta

kalian terhadapku. Dan kalian akan selalu tetap menduduki ranking pertama di

setiap kehidupan dan hatiku.

9. Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Cantus Firmus yang telah menjadi rumah

kedua bagi penulis. Kalian adalah sumber inspirasi terbesar dan terbaik. Terima

kasih atas semua lagu yang pernah kita dendangkan bersama dan segala tarian,

kenangan yang pernah terukir dalam hati. Terima kasih karena di sini aku bisa

mendapatkan kakak dan sahabat yang selalu mendukung aku.

10. Kepada seorang pelatih, kakak, ‘bapak’ yang selalu memberi motivasi penulis

dalam menjalani kehidupan ini. Mas Panca Sona Adji “Maz Mbonx” yang

selalu ada ketika semua masalah menghampiri. Terima kasih atas segala solusi,

masukan dan kasihnya yang pernah penulis alami. Ini semua karena cinta.

11. Eberhard Yulian Finza Ardhitya, terima kasih sudah memberi warna-warni

dalam setiap nafas. Maaf kalau selama ini terlalu banyak yang aku minta.

Terima kasih sudah menjadi ‘kakak’ yang selalu setia mendengarkan ceritaku.

xiii
12. Sahabat-sahabat yang terus mendukung aku secara moril maupun materiil:

Maria Aurelia Elleonora “Mak”, Leo Damar Kandela “Maleo”, Jaquita

Ephipana Ratri “Phe”, Daniel Ade Patty dan Topan Putra.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini telah

menjadi bagian terindah dalam setiap jengkal kehidupan penulis dan yang selalu

mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya, penulis sungguh menyadari bahwa segala yang ada memiliki

sebuah kata keterbatasan dalam mengasah kemampuan belajar dalam pengetahuan,

pengalaman, dan pemahaman yang menyebabkan adanya banyak sekali kekurangan

yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran dan kritik dari para pembaca guna kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini

dapat menjadi sebuah masukan, inspirasi dan manfaat bagi semua yang

berkepentingan.

Yogyakarta, 4 Oktober 2010

Penulis

Almatia Nuri Kristanti

xiv
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................. iv
MOTTO ................................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................. vi
LEMBAR PUBLIKASI.... ...................................................................... vii
ABSTRAK............................................................................................. viii
ABSTRACT........................................................................................... ix
KATA PENGANTAR............................................................................ x
DAFTAR ISI.......................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xx
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ..................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................ 5
D. Metode Penulisan ............................................................ 6
E. Sistematika Penulisan ...................................................... 6
BAB II LAGU GREGORIAN DALAM KHASANAH MUSIK
LITURGI......................................................................... 8
A. Musik.............................................................................. 8
1. Pengertian Musik......................... ........................... 8
2. Musik sebagai Wujud Pengungkapan Ekspresi........ 10
a. Musik dari dalam Diri Manusia........................ 10
b. Musik dari Luar Diri Manusia.......................... 11
3. Unsur Dasar Musik ................................................. 13
a. Melodi ............................................................. 13

xv
b. Irama ............................................................... 15
c. Harmoni........................................................... 16
4. Jenis Musik............................................................. 17
a. Musik Vokal .................................................... 18
b. Musik Instrumental .......................................... 19
5. Fungsi Musik.......................................................... 20
a. Musik Sakral (Musica Sacra) ........................... 20
b. Musik Profan (Musica Profana)....................... 21
6. Efek Musik Secara Fisik dan Psikis ......................... 22
a. Musik Dapat Mempengaruhi Sistem Kerja Otak 23
b. Musik Mampu Mengubah Pola Ritmis Tubuh.. 24
c. Musik Mampu Mengubah Persepsi Simbolisme 26
d. Musik Mampu Mempengaruhi Emosi .............. 27
7. Peranan Musik Dalam Kehidupan ........................... 29
B. Musik Liturgi .................................................................. 31
1. Pengertian Musik Liturgi......................................... 31
2. Pandangan Dokumen Gereja mengenai
Musik Liturgi.......................................................... 31
3. Fungsi Musik Liturgi .............................................. 35
4. Bentuk – bentuk Musik dalam Liturgi ..................... 37
a. Proprium Missae.............................................. 38
b. Ordinarium Missae........................................... 38
c. Lagu Umat ....................................................... 39
d. Lagu Paduan Suara .......................................... 39
e. Lagu Ofisi........................................................ 40
f. Lagu untuk Masa Khusus
(Adven, Natal, Prapaska, Minggu Palma, dll)... 40
g. Musik Organ.................................................... 43
C. Substansi Lagu Gregorian................................................ 43
1. Tangganada – Modus Lagu Gregorian .................... 43

xvi
a. Tangga nada Doris dan Hypodoris ................... 46
b. Tangga nada Frigis dan Hypofrigis ................... 47
c. Tangga nada Lydis dan Hypolydis .................... 48
d. Tangga nada mixolydis dan Hypomixolydis...... 49
2. Irama Lagu Gregorian............................................. 51
a. Arsis – Tesis .................................................... 51
b. Pola Irama Lagu Gregorian .............................. 52
3. Syair dalam Lagu Gregorian.................................... 53
4. Notasi Lagu Gregorian............................................ 58
5. Gaya Nyanyian Lagu Gregorian............................... 65
a. Gaya silabis...................................................... 65
b. Gaya neumatis.................................................. 65
c. Gaya Melismatis............................................... 66
6. Bentuk Lagu Gregorian........................................... 66
a. Graduale Romanum ......................................... 67
b. Antifonale / Lagu-lagu Ofisi............................. 69
c. Lagu Khusus.................................................... 75
d. Perkembangan Baru Lagu Gregorian................ 76
BAB III SEJARAH PERKEMBANG DAN RELEVANSI
LAGU GREGORIAN DALAM
MUSIK LITURGI GEREJA............................................ 81
A. Sejarah Perkembangan Musik Pada Umumnya................. 81
1. Musik Dalam Gereja Awal...................................... 81
2. Perkembangan Awal Musik .................................... 84
3. Abad Pertengahan (Tahun 375 – 1450)................... 85
4. Zaman Renaissance (Tahun 1450 – 1600) .............. 90
a. Motet ............................................................... 92
b. Ordinarium Missae........................................... 93
c. Madrigal .......................................................... 93
5. Zaman Barok (Tahun 1600 – 1750)........................ 94

xvii
a. Opera............................................................... 95
b. Oratorio ........................................................... 96
c. Pasio ................................................................ 97
6. Zaman Klasik Wina (Tahun 1750 – 1800) .............. 98
a. Opera Klasik.................................................... 100
b. Musik Gereja ................................................... 100
7. Zaman Romantik (Tahun 1800 – 1900) .................. 101
8. Perkembangan Musik Abad 20 ............................... 103
a. Impresionisme / Simbolisme ............................ 103
b. Individualisme ................................................. 104
c. Ekspresionisme ................................................ 105
9. Pluriformitas Musik Abad 20.................................. 105
a. Pluriformitas Musik Profan.............................. 106
b. Pluriformitas Musik Dalam Gereja................... 109
B. Perkembangan Lagu Gregorian........................................ 113
1. Lagu Gregorian Pada Abad I – X............................ 113
2. Lagu Gregorian Setelah Abad X ............................. 116
3. Zaman Renaissance................................................. 117
4. Zaman Barok.......................................................... 119
a. Musik Gereja Katolik....................................... 119
b. Musik Gereja Protestan.................................... 120
c. Musik Gereja Anglikan – Inggris ...................... 120
5. Zaman Klasik.......................................................... 121
6. Lanjutan Tradisi Klasik (Wina)
Selama Masa Romantik / Abad 19 .......................... 122
a. Cecilianisme atau Restaurasi ............................ 122
b. Musik Devosional ............................................ 123
7. Lagu Gregorian Sebelum Konsili Vatikan II........... 123
8. Pembaharuan Musik Liturgi dalam
Konsili Vatikan II.................................................... 124

xviii
9. Lagu Gregorian di Indonesia................................... 125
10. Pandangan Dokumen Gereja mengenai Lagu
Gregorian................................................................ 127
C. Relevansi Lagu Gregorian................................................ 130
1. Membangkitkan pengalaman dan Pendalaman
Hidup Religius........................................................ 130
2. Mahakarya Musik Gereja – Simbol Kesatuan Gereja
Universal................................................................. 132
D. Usaha Dalam Memperkembangkan Lagu Gregorian
Bagian Dalam Musik Liturgi............................................ 133
1. Potensi Penggunaan Lagu Gregorian dalam
Musik Liturgi Jaman Sekarang................................ 133
2. Tantangan dalam Penggunaan Lagu Gregorian
Terhadap Perkembangan Musik Liturgi................... 135
3. Usaha Mengembangkan Lagu Gregorian Sebagai
Bagian Dalam Musik Liturgi ................................... 141
4. Usulan Guna Memperkembangkan Lagu Gregorian
Dalam Musik Liturgi............................................... 143
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................ 146
A. Kesimpulan ..................................................................... 146
B. Saran ............................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 150
LAMPIRAN ........................................................................................ 152
Lampiran 1 : Daftar Kerangka Wawancara .................................... (1)
Lampiran 2 : Hasil Wawancara ...................................................... (2)
Lampiran 3 : Surat Apostolik Sacramentum Caritatis.................... (9)
Lampiran 4 : Surat Apostolik tentang Summorum Pontificum ........ (11)
Lampiran 5 : Motu Proprio Summorum Pontificum ....................... (16)

xix
DAFTAR SINGKATAN

1. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama

Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:Arnoldus, 1984/1985, h.8

2. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang

Gereja dalam Dunia Modern, 7 Desember 1965

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964

MS : Musicam Sacram, Instruksi tentang Musik di dalam Liturgi

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II

tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1965

3. Singkatan Lain

Art. : artikel

dll : dan lain-lain

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

MB : Madah Bakti

MP 3 : Media Player 3 Dimension


xx
MP 4 : Media Player 4 Dimension

PML : Pusat Musik Liturgi

PS : Puji Syukur

PUMR : Pedoman Umum Misalle Romanum

SM : Sebelum Masehi

TPE : Tata Perayaan Ekaristi

TV : Televisi

VCD : Video Compact Disc

xxi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan suatu fungsi pengembangan karakter manusia yang

berjalan sesuai dengan perkembangan kepribadian manusia. Melalui kebudayaan

manusia dimampukan untuk mampu menjalin relasi yang baik antar sesamanya,

kemampuan untuk berelasi melalui kebudayaan ini mampu membentuk suatu

kehidupan dan dunia yang baru. Bentuk kebudayaan yang sudah ada sejak jaman

dahulu hingga masa kini yang tetap dapat membentuk kepribadian manusia dan

mampu mempengaruhi perkembangan dunia adalah melalui musik. Musik dikenal

sebagai sebuah bahasa universal yang mampu menyampaikan pesan baik secara

tersurat maupun secara tersirat bagi orang lain. Bahasa musik yang universal ini

ternyata mampu menyatukan pandangan maupun pendapat melampaui bahasa,

daerah dan kebudayaan.

Sudah dimulai semenjak berabad-abad lalu, musik ataupun lagu menduduki

tempat yang signifikan dalam model pengembangan fisik maupun mentalitas

seseorang. Di awal abad 21, musik muncul dalam berbagai bentuk dan karakter yang

berbeda-beda. Perbedaan ini muncul guna memberikan banyak pilihan bagi

pemenuhan kebutuhan manusia dalam hal hiburan. Munculnya berbagai bentuk dan

karakter musik ini ternyata diimbangi oleh munculnya sarana-sarana baru yang lebih
2

canggih dengan teknologi yang mutakhir untuk semakin mendekatkan para penikmat

musik dengan musik itu sendiri. Banyak sekali sarana baru yang dapat digunakan

untuk memenuhi kebutuhan ini seperti adanya radio, televisi, MP3, MP4, hingga

internet.

Banyak sekali pilihan musik yang bisa dinikmati seperti lagu pop, reggae, jazz,

dangdut, rock, dll. Berbagai aliran musik ini memberikan banyak sekali tawaran

yang menarik yang mampu membentuk suatu pilihan dalam diri seseorang. Musik

yang semakin berkembang saat ini tidak lagi terpaku membahas suatu kejadian atau

peristiwa kehidupan, namun musik atau lagu jaman sekarang telah mampu melewati

batas usia, waktu, bahasa, dll. Lagu-lagu anak kecil sudah mulai surut digantikan

dengan musik kaum muda yang hingar bingar, sehingga anak-anak kecil lebih

mengenal lagu-lagu anak muda daripada lagu anak. Lagu-lagu yang keras seperti

lagu rock, lagu lembut nan tenang seperti instrumen mampu membentuk kepribadian

seseorang, menjadi pribadi yang keras atau pribadi yang lembut.

Musik ternyata tidak hanya dimiliki oleh kaum profan saja, namun bagi pihak

Gereja yang telah berkembang juga memiliki unsur musik yang cukup kuat hingga

sekarang ini. Banyak sekali perkembangan musik yang terjadi di dalam lingkup

Gereja. Musik Gereja yang asli semakin lama semakin terlupakan oleh kemajuan

jaman yang menghendaki adanya partisipasi dari umat. Salah satu musik asli dalam

Gereja yang abadi hingga saat ini adalah lagu Gregorian. Secara tidak langsung, lagu

Gregorian menjadi sebuah titik awal perkembangan musik terlebih dalam lingkup
3

Gereja. Lagu Gregorian memasuki kancah permusikan pada awal abad 6 – 13.

Gregorian memiliki banyak sekali unsur pendidikan, bukan hanya mengenai sejarah

yang cukup kuat namun terlebih karena lagu Gregorian menjadi dasar pengembangan

iman Kristiani secara liturgis. Namun selama kurang lebih 50 tahun ini, lagu

Gregorian gaungnya mulai surut. Banyak usaha yang mulai dilakukan oleh Gereja

guna menghidupkan kembali kekayaan Gereja yang menjadi satu simbol keagungan

Gereja. Lagu Gregorian mulai surut dan bahkan menjadi tersingkir bukan semata-

mata karena Lagu Gregorian memiliki tingkat musikalitas yang cukup tinggi

sehingga tidak semua orang dapat mengerti makna yang terkandung di dalamnya,

namun juga karena hasil konsili Vatikan II yang memperbolehkan masuknya budaya

setempat dalam praktek musik Liturgi Gereja. Asimilasi yang terjadi antara musik

Gereja dan budaya setempat ini menyebabkan tiap wilayah berusaha memasukkan

partisipasi umat. Partisipasi ini menuntut Gereja untuk menyatu dengan bahasa umat

setempat dan budaya musik setempat. Penyatuan ini menyebabkan Lagu Gregorian

yang menggunakan bahasa Latin kurang diminati karena umat tidak mengerti arti

dari nyanyian tersebut. Penggunaan bahasa latin dan tidak adanya birama dalam lagu

Gregorian makin mempersulit umat untuk bisa menangkap maksud lagu Gregorian

tersebut. Keadaan lagu Gregorian dalam konteks liturgis lebih dipersempit dengan

keputusan Konsili Vatikan II mengenai asimilasi budaya setempat dengan tradisi

Gereja.
4

Salah satu hal yang mempengaruhi surutnya penggunaan Lagu Gregorian

karena kurangnya kemauan umat untuk mempelajarinya. Pendampingan dari pihak

Gereja juga dirasakan semakin surut karena penggunaannya dalam liturgi semakin

dibatasi. Pengaruh dari pihak Gereja yang sudah sangat lama tidak memasukkan

Lagu Gregorian dalam musik liturgi juga menyebabkan para pemimpin Gereja

sendiri tidak bisa mendalami Lagu Gregorian maupun bahasa Latin yang merupakan

bahasa asli liturgi Gereja. Semakin surutnya Lagu Gregorian ternyata masih mampu

menggugah minat beberapa pihak yang memiliki antusiasme terhadap perkembangan

Lagu Gregorian itu sendiri. Perkembangan lagu Gregorian mulai banyak

dimunculkan dalam beberapa kegiatan. Apabila dilihat dari pihak Gereja sendiri

mulai kembali mengembangkan Gregorian melalui kelompok pecinta Gregorian.

“Lagu Gregorian; Sejarah Perkembangan dan Relevansinya dalam musik

Liturgi Zaman Sekarang” ditulis sebagai gagasan semakin surutnya Lagu Gregorian

sebagai mahakarya Gereja dalam penggunaannya dalam musik liturgi di masa

sekarang. Oleh sebab itu, melalui sejarah, perkembangan Lagu Gregorian dalam

musik liturgi diharapkan ada suatu usaha nyata dalam menghidupkan kembali Lagu

Gregorian dalam khasanah musik liturgi Gereja.


5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan

beberapa pokok permasalahan yakni :

1. Apa itu Lagu Gregorian?

2. Bagaimana sejarah Lagu Gregorian?

3. Bagaimana Perkembangan Lagu Gregorian dalam Musik Liturgi?

4. Relevansi apa yang muncul dari Lagu Gregorian dalam Musik Liturgi sekarang

ini?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan dari

penulisan skripsi ini yakni :

1. Untuk mengenal tentang lagu Gregorian.

2. Untuk menyampaikan gambaran sejarah lagu Gregorian.

3. Untuk memberikan gambaran perkembangan Lagu Gregorian dalam musik

Liturgi.

4. Untuk menyampaikan relevansi Lagu Gregorian dalam musik liturgi sekarang

ini.
6

D. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis

berdasarkan observasi serta studi kepustakaan atau literer yang berkaitan dengan

tema yang diangkat oleh penulis

E. Sistematika Penulisan

Penulis memilih judul skripsi “LAGU GREGORIAN : SEJARAH

PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA DALAM MUSIK LITURGI PADA

ZAMAN SEKARANG” akan diuraikan dalam empat bab berikut ini :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan

skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan skripsi, dan

sistematika penulisan skripsi.

BAB 2 : LAGU GREGORIAN DALAM KHASANAH MUSIK LITURGI

Pada bab ini akan membahas mengenai dasar pemahaman musik secara

umum, musik liturgi, substansi lagu Gregorian dan perkembangan lagu

Gregorian.

BAB 3 : SEJARAH PERKEMBANGAN DAN RELEVANSI LAGU

GREGORIAN DALAM MUSIK LITURGI


7

Bab ini berisikan uraian mengenai penggunaan Lagu Gregorian dalam

musik liturgi jaman sekarang dengan latar belakang sejarah musik Gereja,

tantangan dalam pengembangan Lagu Gregorian dalam musik liturgi, segi

positif Lagu Gregorian terhadap musik liturgi, dan juga usaha-usaha yang

telah dan akan dilakukan guna menghidupkan kembali Lagu Gregorian

dalam khasanah musik liturgi sekarang ini.

BAB 4 : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran


8

BAB II

LAGU GREGORIAN DALAM KHAZANAH MUSIK LITURGI

A. Musik

1. Pengertian Musik

Setiap orang mengenal musik, bahkan ada banyak sekali orang yang hidupnya

tergantung pada musik. Musik begitu dekat dengan kehidupan manusia. Musik

memberikan dampak yang secara langsung dapat dirasakan oleh manusia. Musik

mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan. Hiburan yang berasal dari musik

mengarah pada aspek perasaan dan pengaruh terhadap pikiran manusia. Musik yang

digunakan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan akan hiburan lebih mengarah pada

selera setiap individu terhadap jenis musik. Ada sebuah pepatah Jerman yang

menuliskan “katakan musik apa yang kau sukai, dan akan kukatakan kepadamu :

manusia seperti apakah dirimu”. Dalam pepatah ini mau menunjukkan bahwa musik

mampu menunjukkan identitas dan kepribadian seseorang (Martasudjita, 2007:9).

Musik mampu dirasakan dengan telinga dan hati. Musik merupakan bentuk kesenian

yang mampu dipahami oleh setiap manusia. Kata musik sendiri berasal dari bahasa

Yunani yakni Mousike Techne yang diartikan sebagai seni muse. Kata ini bermakna

sebagai suatu kegiatan yang membentuk perasaan dan hati. Dalam kehidupan bangsa

Yunani dikenal adanya Muse, muse adalah dewa-dewi bersaudara yang menguasai

bidang-bidang nyanyian, puisi dan ilmu pengetahuan. Bentuk kesenian memiliki

unsur-unsur keindahan. Nyanyian, puisi, tarian memiliki unsur keindahan yang


9

mampu mengharmonisasikan kehidupan manusia. Alasan ini yang akhirnya

mengadaptasi kata Muse menjadi suatu bentuk seni musik (Campbell, 2002:36).

Kata musik tidak dapat didefinisikan hanya dari suatu segi tertentu. Musik

bukanlah sebuah bentuk gagasan maupun hasil pemikiran. Musik merupakan seni

yang memiliki nilai estetika tersendiri. Nilai keindahan dalam musik ditunjukkan

secara lugas ketika musik itu dibunyikan dan diperdengarkan. Nilai keindahan musik

ditujukan kepada orang lain dan dirinya sendiri. Musik merupakan suatu perpaduan

dari bunyi akustis (bunyi yang bersifat riil/hanya bunyi) yang dialami dalam suatu

dimensi ruang dan waktu. Musik terjadi ketika berjalan sesuai dengan waktu. Musik

diatur oleh iramanya. Musik memiliki dimensi waktunya tersendiri.

Musik merupakan bentuk bahasa universal yang dapat diterima dan dimengerti

oleh setiap orang dari segala lapisan masyarakat. Musik mengatasi perbedaan batas

usia manusia, jenis kelamin, ras. Irama dalam musik melampaui bahasa, suku,

negara, bahkan agama. Musik mampu dinikmati oleh semua manusia karena musik

merupakan salah satu sarana komunikasi antar manusia.

Musik dibentuk dari berbagai nada, melodi, ritme dan akor yang harmonis yang

didukung oleh warna suara tertentu yang diterima oleh telinga. Telinga manusia

mudah menerima dan akan menikmati akor-akor tonika (do-mi-sol) sebagai bentuk

akor yang harmonis. Telinga manusia akan bereaksi terhadap suara-suara yang tidak

harmonis. Telinga manusia mampu menilai musik sebagai bunyi kualitatif yang
10

mengandung arti tertentu. Musik mampu memuat arti yang sangat luas. Makna yang

terkandung dalam musik merupakan makna yang tersirat bukan tersurat. Hal ini

dikarenakan makna dalam musik tidak sejelas ketika diungkapkan dengan lambang

atau kata-kata (Prier, 2010:1)

2. Musik sebagai Wujud Pengungkapan Ekspresi

Musik memiliki daya kekuatan yang sungguh luar biasa. Sejak awal kehidupan

manusia hingga sampai pada akhirnya, musik akan terus menerus berada di

sekeliling manusia (Martasudjita, 2007:10). Musik tidak akan muncul secara spontan

tanpa adanya sumber suara. Pada dasarnya musik berasal dari dalam diri manusia dan

dari luar manusia.

a. Musik dari Dalam Diri Manusia

Musik yang berasal dari dalam diri manusia merupakan suatu bentuk

pengungkapan ekpresi pribadi. Bentuk musik ini mampu mengungkapkan suatu

kesan tersendiri yang muncul dari dalam diri manusia. Kesan ini muncul sebagai

suatu bentuk pengungkapan gagasan yang berasal dan berpangkal dari hati dan hasil

pengolahan akal budi manusia. Walaupun musik mengungkapkan gagasan manusia,

namun musik mampu melebihi batas komunikasi bahasa. Melalui bahasa, manusia

hendak mengkomunikasikan gagasan secara lugas dan hasil pemikiran yang rasional.

Melalui musik, manusia mampu menembus batas bahasa. Musik dapat


11

menyampaikan gagasan yang terpendam. Segala bentuk perasaan, emosi yang

terpendam dalam hati dapat diapresiasikan melalui rangkaian nada.

Bentuk musik yang paling mudah didengarkan dan paling sederhana yang

mengungkapkan isi hati manusia dibentuk melalui suara manusia itu sendiri. Ketika

merasa bahagia, suara manusia mampu memunculkan suatu harapan dan kasih. Suara

manusia yang muncul terdengar riang dan ringan. Berbeda halnya ketika seseorang

sedang mengalami kesedihan, penderitaan, keputusasaan. Dalam kondisi keadaan

seperti ini, manusia akan memunculkan suara yang terasa berat dan dalam. Suara

yang muncul dari dalam diri manusia terkadang diikuti oleh gerakan badan baik

gerakan yang riang dan cepat ataupun gerakan yang bermakna dalam dan lambat.

b. Musik dari Luar Diri Manusia

Selain dari dalam diri manusia, musik juga ada yang berasal dari luar diri

manusia. Musik ini sering disebut dengan musik impresif. Musik impresif

dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar seperti irama gesekan daun, kicauan burung,

gemercik air, deru air. Musik seperti itu merupakan bentuk musik impresif yang

disadari oleh indra manusia. Contoh musik impresif yang muncul tanpa disadari oleh

indra manusia seperti irama perputaran planet-planet yang mampu mempengaruhi

irama siang malam, irama pergantian musim. Namun bentuk bunyi impresif yang

paling banyak diterima dan mempengaruhi manusia yakni musik instrumental. Musik
12

instrumental mencerminkan bentuk bunyi kosmis. Hal ini mengacu pada hubungan

antara sistem bunyi dan matematika. Salah seorang filsuf Yunani dan penemu rumus

matematika dasar yakni Phytagoras juga menemukan proporsi interval nada. Pada

abad 4 SM, Phytagoras menemukan proporsi-proporsi dalam interval oktaf, kuint,

kuarts, terts, sekon (Prier, 2010:1)

Lima ratus tahun sebelum Phytagoras menemukan interval-interval musik,

seorang filsuf Yunani yang bernama Ptolomeus yang hidup pada tahun 100 – 160

Masehi telah mendefinisikan musik secara tersendiri. Ptolomeus menyatakan bahwa

musik merupakan suatu kemampuan untuk mengolah nada tinggi dan rendah yang

disesuaikan dengan panca indra dan akal budi (Prier, 2009b:123). Musik bukanlah

sebuah bentuk kenyataan. Nada-nada oktaf, kuint, dan terts merupakan nada-nada

harmonik. Harmoni digunakan dalam berbagai hal yang mengutamakan keselarasan.

Segala sesuatu akan terlihat indah apabila sesuai dengan proporsinya. Nada

merupakan salah satu bentuk proporsi matematis. Proporsi matematis yang jelas dan

sederhana terlihat dalam interval prim 1:1, oktaf 1:2, kuint 2:3. proporsi ini didapat

dari pembagian proporsi pada dawai gitar. Proporsi-proporsi musik yang

dikembangkan oleh Copernicus dan Galilei juga ditemukan secara raksasa dalam

proporsi radius planet-planet yang mengelilingi matahari (Prier, 2009b:61).


13

3. Unsur Dasar Musik

Musik merupakan suatu proses peristiwa bunyi. Musik yang paling mudah

dikenali dan paling sederhana diawali oleh munculnya suara manusia. Suara manusia

dihasilkan dari adanya getaran pita suara pada tenggorokan. Getaran yang dihasilkan

oleh pita suara diresonansikan dalam rongga mulut. Sedangkan suara yang berasal

dari luar pribadi diterima oleh sistem pendengaran manusia yakni telinga sebagai

suatu bunyi (Harder,1979:1). Setiap bentuk bunyi yang muncul tidak begitu saja

disebut dengan musik. Pada dasarnya musik memiliki unsur pembentuknya yakni

melodi, irama/tempo, dan harmonisasi (Banoe, 2003:288).

a. Melodi

Melodi dipahami sebagai sebuah urutan nada dengan jarak tertentu dan membawa

makna dalam penyampaiannya. Istilah melodi dikemukakan sebagai suatu unsur

utama dalam penentuan kualitas suatu karya musik. Karena dipandang dari segi

kualitas (Mack, 1994:7). Melodi berasal dari akar kata dalam bahasa Yunani Melos

yang bermakna arus. Dari akar kata inilah, melodi dalam musik dipahami sebagai

sebuah cara untuk mengatur musik dengan perhitungan waktu. Penentuan

pembentukan melodi disusun dengan persyaratan dalam penyampaiannya. Nada-

nada yang disusun sebagai suatu melodi memiliki ukuran jarak tertentu. Perbedaan

urutan nada didasarkan dari hasil perbandingan proporsi pada dawai gitar yang

dimunculkan oleh Phytagoras. Dalam pengenalan suatu melodi tertentu harus dilihat
14

ciri-ciri yang dimilikinya. Melodi memiliki bentuk nada yang jelas, memiliki suatu

ungkapan tertentu dan nada-nadanya mampu dinyanyikan dengan baik dan jelas.

Melodi terbagi menjadi beberapa macam. Melodi dibedakan berdasarkan jumlah

suara dan hitungan birama.

1) Berdasarkan jumlah suara, melodi dibagi antara melodi yang terbentuk dari

satu suara (unisono) atau sering disebut dengan monodi (suara tunggal) dan melodi

yang dibentuk dalam suatu paduan suara atau polifoni. Melodi satu suara terdiri dari

nada tunggal, namun ada nada tunggal yang dapat membentuk akor-akor bayangan.

Musik seperti ini disebut dengan musik tonal. Musik tonal memiliki unsur-unsur

tonika (do-mi-sol). Contoh : lagu Indonesia Raya, walaupun dinyanyikan dengan

satu suara namun nada-nadanya jatuh pada nada-nada tonika. Bentuk melodi satu

suara secara sederhana nampak dalam bentuk lagu Gregorian. Musik seperti ini

disebut musik modal. Musik modal tidak tergantung pada tangga nada mayor

maupun minor. Musik modal memiliki kuncinya sendiri. Musik modal seperti lagu

Gregorian menggunakan modus atau tangga nada selain mayor dan minor, lagu Jawa

menggunakan nada pentatonis pelog, slendro. Sedangkan melodi dalam paduan suara

yang disertai suara-suara lain entah sebagai akor-akor (tonal) atau interval-interval

(modal). Perpaduan interval dapat berupa interval konsonan maupun interval

disonan.

2) Berdasarkan hitungan birama, melodi dibagi menjadi melodi resitatif dan

melodi metris (Prier, 2009b:113). Melodi resitatif tidak memiliki hitungan yang tepat
15

dalam pengelompokan ruang (birama). Melodi yang dihasilkan bersifat mengalir.

Bentuk melodi resitatif dapat dikenal pada lagu Gregorian dan bentuk lagu yang

dimunculkan pada jaman Renaissance. Berbeda halnya dengan bentuk melodi metris

yang memiliki patokan tertentu dalam penentuan hitungan tertentu. Melodi metris

memiliki bentuk birama yang jelas. Bentuk musik dengan melodi terikat dapat

terlihat pada musik pada abad 17-19.

Pemilihan nada pada penyusunan melodi memiliki makna dan pembentukan

suasana yang hendak dibangun. Hingga pada akhirnya, nada-nada dalam melodi

dapat dinyanyikan atau nada-nada tersebut tidak sekedar berbunyi.

b. Irama

Selain itu ada unsur lain yakni irama. Irama berkaitan erat dengan panjang

pendeknya nada dan tekanan bagi melodi (Prier, 2009:76). Irama merupakan salah

satu unsur pokok musik yang mampu menghidupkan suasana dalam pembentukan

lagu.

Irama berkaitan erat dengan kesan fungsional pada musik (Mack, 1994:7). Selain

itu kesan fungsional yang dihasilkan dari pembentukan irama mampu menunjukkan

kesan tertentu dari lagu tersebut. Irama yang menggunakan nada-nada panjang

memberi kesan kesedihan atau keputusasaan, sedangkan irama yang riang yang

dibentuk dari nada-nada pendek dapat memberi nuansa kebahagiaan, keceriaan.


16

Berdasarkan ahli sejarah dan para ethnomusikologi, ritme merupakan unsur dasar

musik yang paling kuno (Mack, 1994:7)

Irama berbeda dengan tempo. Tempo berhubungan dengan jumlah ketukan atau

hitungan per menit dalam lagu tersebut dan berkaitan erat dengan pembentukan

birama dalam lagu. Tempo ada yang cepat dan ada yang lambat. Hingga pada abad

19 ditemukan sebuah alat yang dipergunakan untuk menghitung jumlah ketukan

permenit. Alat ini disebut dengan Metronome yang ditemukan oleh Maelzel. Dengan

alat ini tempo dapat diperkirakan cepat lambatnya. Tempo yang paling cepat disebut

dengan Prestissimo (220-240 ketukan per menit) hingga yang paling lambat yakni

largo (40-44 ketukan per menit) (Prier, 2009b:108)

c. Harmoni

Unsur ketiga yang mengkomposisikan musik yakni harmonisasi. Harmoni dapat

diartikan sebagai bentuk keselarasan. Sesuatu terlihat indah apabila ada keteraturan,

ada keselarasan antara yang satu dengan yang lain. Keharmonisan tidak hanya dalam

bidang musik dan seni rupa, tetapi juga dalam ilmu pasti perbintangan dan filsafat.

Phytagoras pernah menyatakan dalil mengenai harmoni yaitu “semua ditunjukkan

dengan angka dan harmoni di dalam musik maupun di dalam alam semesta” (Prier,

1991:30). Hal ini menunjukkan bahwa harmonisasi tidak hanya membentuk musik,

namun juga membentuk keselarasan hidup. Harmonisasi dalam musik terbentuk


17

suasana vertikal, keselarasan antara suara yang satu dengan yang lain ataupun suara

vokal dengan instrumental. Secara kosmis, harmonisasi dapat dirasakan dari

keteraturan pergerakan musim hingga pergerakan konstan planet-planet (Prier,

1991:29). Selain harmonisasi musik dan alam, hidup manusia memiliki harmoninya

tersendiri. Harmoni dalam kehidupan manusia terlihat dalam keselarasan antara jiwa

dan badan. Harmoni kehidupan manusia sering disebut dengan Musica Humana atau

musik manusiawi (Prier, 2009b:61).

Musik memiliki variasi tersendiri. Akor-akor tonika (do-mi-sol) dikenal sebagai

bunyi yang harmonis. Namun musik hidup dari bentuk yang harmonis dan

disharmonis. Musik yang disharmonis disebut juga sebagai suara disonan. Akor

disonan merupakan suatu kejanggalan dalam musik. Akor disonan yang memiliki

kejanggalan merupakan suatu bentuk variasi yang ingin diselaraskan dengan akor

konsonan hingga membentuk musik yang harmoni (Prier, 2010:2)

(Prier, 2009b:123).

4. Jenis Musik

Musik memiliki suasana dan nuansa yang berbeda-beda. Musik telah menjadi

bagian yang integral dalam hidup segenap insan manusia. Karena adanya perbedaan

kebutuhan dan kepribadian seseorang dengan yang yang lain maka musik disajikan

pula dengan berbagai gaya yang mewujudkan kepribadian dan keinginan seseorang
18

akan musik. Musik memiliki banyak bentuk, hal ini mampu membedakan musik

menjadi beberapa kelompok.

a. Musik Vokal

Vokal identik dengan suara manusia. Musik vokal merupakan bentuk awal dalam

musik. Hal ini dikarenakan sumber bunyi berasal dari pita suara manusia yang

bergetar. Musik vokal dapat merupakan gabungan dari suara-suara manusia yang

diharmonisasikan dengan nada-nada harmonis. Gabungan suara-suara tersebut

memiliki intensitas dan warna suara yang berbeda-beda. Musik vokal yang

didasarkan pada suara manusia lebih banyak mendapatkan perhatian pokok dalam

tehnik bernyanyi. Musik vokal memiliki wilayah nada yang terbatas. Setiap pribadi

memiliki wilayah vokal tertentu. Musik vokal merupakan sumber melodi yang paling

asli dan murni bagi manusia. Namun tidak dapat diartikan bahwa setiap ucapan vokal

menjadi sebuah melodi dalam musik (Mack, 1994:16).

Musik vokal mulai dinotasikan dan muncul dalam bentuk tulisan diawali pada

masa lagu Gregorian. Jauh sebelum munculnya lagu Gregorian, musik vokal telah

muncul dalam setiap bentuk pujian dan madah syukur. Bentuk-bentuk musik vokal

dapat dilihat dalam Kitab Suci mulai Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Mulai

dari syukur umat Israel yang keluar dari Mesir (Kel 15:1-18), pujian ketika Yesus

lahir (Luk 2:14).


19

Musik vokal lebih dikenal sebagai suatu bentuk musik satu suara. Musik vokal ini

mengalami masa keemasan di Eropa hingga abad 17. Setelah masa itu, musik

mengalami perkembangan dengan masuknya alat musik ke dalam vokal. Selain

masuknya alat musik dalam vokal, musik vokal yang dikenal satu suara

dipadupadankan dengan nada-nada akor mengubah bentuk menjadi paduan suara.

b. Musik Instrumental

Musik instrumental di Eropa mulai berkembang pada abad 14, musik instrumental

muncul sebagai suatu bentuk saduran musik vokal yang dimainkan menggunakan

alat musik tradisonal seperti lute, alat musik gesek, tiup. Setelah abad ke 17, organ

mulai muncul dengan perpaduan akor harmonis. Musik instrumental pada awalnya

digunakan sebagai suatu pilihan ketika tidak adanya musik vokal. Di daerah Eropa,

musik instrumental dikembangkan dengan didasarkan di lingkungan Gereja pada

musik Gregorian. Musik instrumental lebih banyak digunakan sebagai selingan di

waktu kosong dalam liturgi atau ibadat (Prier, 2009b:73). Salah satu musik

instrumental awal yang masih diakui oleh Gereja hingga saat ini adalah penggunaan

organ pipa. Musik instrumental menjadi sebuah pilihan guna mengiringi liturgi atau

ibadat. Musik Instrumental menjadi sebuah pilihan karena wilayah nada yang

dimiliki oleh musik instrumental jauh lebih luas daripada musik vokal. Namun

walaupun wilayah nada lebih luas, musik instrumental tetap memiliki batasan

nadanya. Perubahan nada dan pola ritme dalam musik instrumental dapat lebih rumit
20

dan lebih bervariasi. Meskipun ada perbedaan antara musik vokal dan musik

instrumental namun antara musik instrumental dan musik vokal masih saling

mempengaruhi.

Di wilayah Eropa, musik instrumental dikembangkan dalam bentuk orkestra,

symphony, dan sonata. Jauh sebelum perkembangan musik di daerah Eropa, daerah

lain seperti Asia dan peradaban-peradaban lama telah memiliki bentuk kebudayaan

musik yang lebih berkembang. Di daerah India telah digabungkan alat musik tertentu

sehingga menimbulkan melodi-melodi indah dari alat musik Vina (Prier, 1991:66).

Di daerah Asia Timur seperti Jepang dan Cina peradaban alat musik instrumental

telah mendarah daging dengan iringan koto atau Shamisen (Prier, 1991:70-71). Di

Indonesia, orkestra awal dibentuk dengan nama Gamelan. Ada berbagai bentuk alat

musik yang digabungkan dengan harmonisasi suara hingga menjadi gamelan.

5. Fungsi Musik

a. Musik Sakral (Musica Sacra)

Musik sakral merupakan bentuk musik yang lebih bersifat religius atau memiliki

syair dan nada yang mengarah pada keimanan, dan hubungan antara manusia dan

Tuhan. Musik sakral lebih identik dengan musik yang dikembangkan di dalam

lingkup agama. Musik sakral mulai berkembang secara notatif diawali dari lagu
21

Gregorian hingga mencapai puncaknya pada masa renaissance. Banyak musisi yang

mendedikasikan hidup dan musiknya bagi perkembangan gereja (Prier, 2009b:124).

Walaupun musik sakral lebih identik dengan perkembangan dalam Gereja

Katolik, namun perkembangan musik sakral telah dikembangkan pula oleh penganut

agama-agama lain. Agama yang telah terlebih dahulu ada sebelum Kristiani muncul

seperti Hindu dan Budha telah terlebih dahulu menggunakan musik sakral dalam

kegiatan peribadatan mereka. Ungkapan pujian kepada dewa-dewi dari Yunani

maupun romawi juga dapat disebut dengan musik sakral. Musik sakral lebih

dimengerti sebagai suatu bentuk musik serius. Hal ini dikarenakan syair dan nada-

nada yang dibentuk dalam musik sakral diarahkan pada hubungan antara manusia

dengan penciptanya.

b. Musik Profan (Musica Profana)

Musik profan merupakan musik yang dibentuk dan memiliki syair yang lebih

mengarah pada duniawi, yang termasuk dalam musik profan adalah lagu-lagu

nasional, lagu yang bertemakan cinta, kehidupan manusia (Prier, 2009b:125). Syair

yang digunakan dalam musik profan terasa puitis, atau menggunakan suatu ungkapan

sastra tertentu. Musik profan mendukung pemaknaan kata-kata, namun acapkali

musik profan lepas dari makna dalam kata-katanya dan musiknya sendiri memiliki

makna tertentu.
22

Musik profan dibentuk sebagai suatu bentuk pengungkapan ekspresi akan

kebutuhan hiburan. Musik profan diciptakan dengan suasana ringan yang disesuaikan

dengan era dan masanya. Musik profan lebih menonjolkan keindahan dalam kata-

kata. Nada-nada yang dipergunakan dalam musik profan dipilih dengan nada-nada

yang mudah didengarkan oleh setiap orang yang mendengarkannya (easy listening).

6. Efek Musik secara Fisik dan Psikis

Musik menimbulkan getaran tertentu yang mampu memberikan reaksi fisik.

Setiap orang memiliki sumber getaran yang sama pada pita suara. Namun setiap

manusia memiliki bentuk getaran yang berbeda-beda. Getaran yang tepat bagi setiap

orang dapat dimanfaatkan bagi perkembangan pribadinya (George Gershwin –

Campbell, 2002:78). Selain digunakan sebagai sarana hiburan, musik juga memiliki

manfaat yang cukup banyak. Musik dapat dipergunakan sebagai sarana penenangan

juga sebagai sebuah sarana terapi. Musik merupakan suatu bentuk bahasa non-verbal,

bahasa emosi, suatu bahasa yang menyampaikan dan mempengaruhi emosi hingga

mampu mempengaruhi keadaan fisik seseorang.

Ada berbagai bentuk efek musik yang dapat digunakan. Efek yang dihasilkan

oleh musik mampu mempengaruhi setiap pribadi secara fisik dan juga menjadi

landasan bagi perkembangan pribadinya (psikis). Bentuk efek musik bagi

perkembangan fisik adalah sebagai berikut :


23

a. Musik dapat mempengaruhi sistem kerja otak

Dalam tubuh manusia, otak merupakan pengendali utama dalam kegiatan

manusia. Otak manusia terdiri dari jutaan sel otak yang menstimulasi kerja bagian

tubuh lainnya. Sel otak melakukan getaran yang menghasilkan gelombang otak. Ada

beberapa bentuk gelombang otak dengan getaran yang kuat hingga getaran yang

sangat lemah. Bentuk gelombang otak mampu mempengaruhi sistem kerja otak.

Gelombang otak ini dapat berubah sesuai dengan pengaruh stimulannya. Salah satu

stimulan terkuat untuk gelombang otak ialah musik (Campbell, 2002:78)

Musik merupakan bentuk stimulan yang dinamis. Kedinamisan musik terlihat

melalui volume dan cara pembawaan lagu tersebut. Semakin keras musik yang

menstimulasi otak seperti musik rock, heavy metal dengan kekuatan hingga 120

decibel dapat membentuk getaran otak yang sangat kuat. Getaran otak yang sangat

kuat mampu memicu adrenalin lebih cepat sehingga kegiatan sehari-hari menjadi

sebuah rasa keterpaksaan dan emosi akhirnya tidak dapat dikendalikan

(http://www.in-christ.net/musik_dan_audio accesed on 3 Februari 2010). Berbeda

efeknya dengan musik ringan seperti Gregorian, klasik, jazz yang bernuansa

penenangan dan meditatif. Getaran otak yang distimulasi oleh bentuk musik seperti

ini akan menjadi semakin kecil. Getaran yang semakin kecil, secara perlahan

memberikan efek ketenangan dan memunculkan perasaan damai.

Ada berbagai bentuk penelitian yang menyatakan bahwa musik mampu memberi

rangsangan-rangsangan untuk memperkembangan segala aspek dalam hal kognitif


24

dan kecerdasan emosional seseorang. Penelitian Gallahue (1998) menyatakan bahwa

kemampuan motorik seseorang dapat dioptimalkan melalui stimulasi dengan

mendengarkan musik klasik. Musik klasik mampu mempengaruhi perkembangan

neuron-neuron dalam berintegrasi dengan sirkuit otak. Otak yang distimulasi dengan

musik klasik memiliki lebih banyak kompleksitas jaringan. Kompleksitas jaringan

memberikan keseimbangan pada bagian otak kiri dan otak kanan. Salah satu guru

besar Universitas Negeri Solo, Daryono Sutoyo dalam penelitiannya mengenai

kontribusi musik sebagai stimulan otak menyatakan bahwa otak yang distimulasi

musik menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Keseimbangan fungsi otak ini

membentuk pemikiran yang logis dan intuitif, memperkuat daya ingatan, cerdas,

kreatif, jujur (http://blogs.myspace.com/benaoge accesed on 3 Februari 2010)

b. Musik mampu mengubah pola ritmis tubuh

Keadaan tubuh seseorang secara normal memiliki iramanya sendiri-sendiri.

Jantung bekerja dengan ritmisnya sendiri. Sistem kerja jantung berada di bawah alam

sadar sehingga otak tidak bisa mengatur kapan jantung akan berdegup kencang

hingga kapan jantung ini akan berhenti. Namun ritme yang dimiliki oleh jantung

dapat dipengaruhi oleh beberapa unsur yang muncul di sekitarnya. Salah satu

stimulan pemicu perubahan denyut jantung adalah musik. Musik memiliki

komponen-komponen tak sadar yang mempengaruhi detak jantung. Variabel musik

seperti frekuensi, tempo, volume cenderung memberikan efek perubahan detak


25

jantung. Hal ini terjadi karena ritme musik yang didengarnya mampu mempengaruhi

detak jantung seseorang (Campbell, 2002:82)

Perubahan ritmis jantung mampu mempengaruhi sistem pernafasan. Ritmis

jantung yang semakin cepat akan memompa darah lebih cepat ke seluruh tubuh. Hal

ini mengakibatkan asupan oksigen yang dibutuhkan juga semakin banyak. Asupan

oksigen didapatkan ketika seseorang bernafas. Sistem ritmis tubuh yang dipicu oleh

musik dengan tempo yang cepat dirasakan dengan pernafasan yang pendek dan

terasa dangkal. Hal ini memacu sering terjadinya kesalahan, pecahnya konsentrasi

karena merasa dikejar-kejar waktu. Berbeda dengan suasana musik yang pelan

seperti musik klasik, gregorian, hingga musik-musik meditatif akan memperlambat

dan merelaksasikan detak jantung. Detak jantung dan pernafasan yang perlahan,

konstan namun dalam akan memberikan efek penyembuhan bagi tubuh atau yang

lebih dikenal dengan therapy healing. Pola pernafasan yang lambat ini dicirikan oleh

konsentrasi yang terfokus, meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan emosi.

Bagaimana reaksi seseorang apabila mendengarkan lagu inkulturasi dari daerah

Flores yang diwarnai tempo riang dan cepat atau lagu Jawa tengah yang lembut dan

mengalun? Bagaimana reaksi antara mendengarkan lagu “Takkan Bisa” dari Nidji

dan lagu “Tak Lekang Oleh Waktu” dari Kerispatih?

Banyak pribadi yang langsung merespon lagu yang memiliki tempo cepat dan

ringan dengan menggerakkan bagian tubuhnya sesuai dengan tempo yang tercipta.
26

Gerakan-gerakan ini biasanya mucul secara tidak disadari. Ketika Sekolah Dasar,

dikenal adanya senam kesegaran jasmani. Irama dalam lagunya memiliki 2 karakter

tempo yakni tempo cepat dan tempo lambat. Tempo yang cepat digunakan mulai dari

pemanasan hingga mengkoordinasikan anggota tubuh, gerakan-gerakan otot. Tempo

yang lambat digunakan untuk peregangan atau pendinginan. Musik ini

dikoordinasikan secara bersamaan guna memperbaiki sistem kerja anggota tubuh dan

sekaligus untuk mengatasi ketegangan otot (Campbell, 2002:84)

Musik diterima paling awal oleh bagian tubuh yang paling rentan yakni telinga.

Musik menjadi salah satu hasil pengolahan sistem pendengaran yang dikirimkan ke

sistem otak. Saraf pendengaran pada telinga memiliki hubungan langsung dengan

otak dan berbagai otot dalam tubuh. Kekuatan otot, kelenturan banyak dipengaruhi

oleh frekuensi dan getaran bunyi yang diterima oleh telinga. Telinga yang sudah

terlatih menerima rangsangan bunyi memiliki tingkat kepekaan yang berbeda-beda

dalam mengidentifikasi suara, nada, dan harmonisasi musik.

c. Musik mampu mengubah persepsi simbolisme

Simbolisme musik banyak difungsikan sebagai soundtrack film. Musik mampu

menceritakan apa yang hendak disampaikan dalam film tersebut. Musik dalam film

memunculkan dan mempertahankan suasana baik suasana ketegangan, romantis,

ketakutan, dll. Musik juga mampu digunakan sebagai bentuk terapi guna
27

mempertajam reaksi seseorang terhadap rangsangan simbol yang diberikan

(Campbell, 2002:94-95).

Musik mampu mempengaruhi dalam pengenalan ruang. Ketika seseorang berada

dalam situasi yang mendesak dan terjepit, waktu akan terasa sangat singkat. Dalam

situasi seperti ini, dengan mendengarkan musik yang memiliki tempo lambat seperti

musik klasik, Gregorian suasana akan lebih terkontrol. Tempo yang lambat

memperpanjang nada-nada (legato). Dengan mendengarkan musik lambat, syaraf

akan lebih santai dan mengurangi perasaan yang mendesak, ruangan yang terasa

lega, segala sesuatu lebih tertata, dan kegiatan menjadi lebih aktif. Berbeda dengan

musik yang memiliki tempo yang cepat seperti musik rock maupun musik pop.

Tempo yang cepat mempersingkat nada-nada (kecuali dalam kondisi staccato)

sehingga ketika melakukan kegiatan tertentu terasa dikejar oleh waktu, konsentrasi

lebih terpecah (Campbell, 2002:89-90).

d. Musik mampu mempengaruhi emosi

Musik menjadi sebuah bentuk hiburan ketika didengarkan maupun ketika

memainkan alat musik tertentu. Perasaan terhibur ini berupa perasaan senang, damai,

dll. Musik mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan

ketertarikan seseorang dipengaruhi oleh emosi seseorang yang mengarah pada

musik.
28

Setiap pribadi manusia memiliki bentuk emosi yang mampu mempengaruhi

tingkah laku dalam kehidupannya. Melalui emosi tersebut, seseorang mampu

mengungkapkan segala bentuk perasaannya. Musik dapat menimbulkan suatu kesan

tertentu. Jika ada seseorang yang mendengaran musik, tanpa disadari orang tersebut

menghentak-hentakkan kakinya atau mengetuk-ngetukkan jari di meja. Setiap orang

yang mendengarkan musik akan membayangkan irama musik tersebut dalam

pikirannya (Setiawan, 2009:16)

Musik sering menimbulkan perubahan perasaan pada manusia. Perasaan ini terjadi

karena musik dapat mempengaruhi keadaan emosional seseorang. Lemonick (2000)

menyatakan bahwa musik mampu mempengaruhi keadaan emosional seseorang

(emotional state) sehingga membentuk perasaan senang, sedih, marah. Musik juga

mampu memberikan pengalaman musikal pada seseorang. pengalaman musikal

mengacu pada emosi manusia yang diarahkan secara khusus pada musik yang

didengarkan ataupun yang dimainkan. Hal ini terjadi karena adanya suatu perpaduan

antara musik yang dialami oleh manusia dengan pengalaman yang mengacu pada

suasana, situasi maupun suatu obyek tertentu.

Sebagai suatu gambaran, seseorang yang bekerja dengan menggunakan iringan

musik jenis tertentu akan memacu untuk bekerja sesuai dengan tempo yang dimiliki

oleh musik tersebut. Pekerjaan dapat memiliki ritme yang teratur ketika distimulasi

oleh suatu jenis musik tertentu. Musik mampu mengoptimalkan daya kerja

seseorang. Seseorang yang menyukai musik dan dalam suatu situasi tertentu, dapat
29

memaksimalkan sistem kerjanya dengan diiringi musik yang sesuai. Hal ini

dikarenakan timbulnya rasa penat dan bosan akan diminimalkan dengan hiburan dari

musik.

7. Peranan Musik Dalam Kehidupan

Setiap manusia dalam setiap tindak kehidupannya tidak akan pernah lepas dari

irama musik atau nada yang terus mengikuti kehidupannya. Ketika seseorang

mengatakan bahwa manusia tidak membutuhkan musik dalam hidupnya, namun

secara tidak disadari musik itu mengalir dalam dirinya. Mulai dari bangun tidur

hingga hendak terlelap dalam tidur setiap orang memiliki ritmenya masing-masing.

Ritme merupakan suatu langkah tertentu yang sama dan dengan tempo/ketukan yang

tetap (Banoe, 2003:358). Ritme tersebut akan selalu diiringi dengan suara-suara di

sekitarnya seperti suara kicauan burung, suara adzan dari masjid, musik dari TV

maupun radio, suara kendaraan bermotor, dll yang mengandung suatu ritme tertentu

pula. Ritme yang selalu setiap hari dirasakan dan dialami oleh manusia adalah ritme

denyut jantung. Setiap orang akan merasakan denyut jantung yang berdetak setiap

saat secara teratur meskipun sedang dalam keadaan tertidurpun denyut jantung akan

terus mengikuti ritmenya, ketukan langkah kaki yang seirama, dll. Ketika kita hidup

di tengah masyarakat, kita berdialog dengan orang lain secara tidak disadari nada

suara yang keluar dalam setiap perkataan kita memiliki nada dan irama yang

berbeda-beda.
30

Apabila segala sesuatu yang kita lakukan selalu berjalan lancar, bisa dikatakan

kita dalam keadaan selaras dan harmonis baik dari diri kita pribadi maupun dengan

orang lain dan dengan suasana lingkungan di sekitar kita. Namun apabila ada sesuatu

hal menghambat kelancaran kegiatan sehari-hari, kita akan dikatakan fals atau tidak

selaras maupun keluar dari jalur (sember).

Stenberg dan Salovery (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan mengenali emosi diri, yang merupakan kemampuan seseorang dalam

mengenali perasaannya sendiri. Suatu perasaan atau emosi itu muncul, dan ia mampu

mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan

mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara

mantap (http://blogs.myspace.com/benaoge accesed on 3 Februari 2010).

Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk

mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat

mempengaruhi perilakunya secara wajar. Misalnya seseorang yang sedang marah

maka kemarahan itu tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan

akibat yang akhirnya disesali di kemudian hari. Kepekaan akan rasa indah timbul

melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah

unsur yang penting guna mengarahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup.

Seseorang memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka maka ia akan

mengambil keputusan-keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang

tangguh
31

B. Musik Liturgi

1. Pengertian Musik Liturgi

Dalam kehidupan Gereja, musik menjadi bagian integral yang mendukung bagian

yang lainnya. Musik Gereja dapat dipahami sebagai bentuk musik yang dipakai

dalam gedung gereja yang berasal dari umat sebagai suatu persekutuan (Prier,

2009b:15). Musik Gereja dibagi menjadi dua bentuk yang berbeda yakni musik

liturgi dan musik rohani. Musik rohani adalah musik gereja yang memiliki bentuk

syair puitis dan berorientasi pada individu. Musik rohani diciptakan untuk

kepentingan di luar kegiatan liturgi/ibadat. Sedangkan musik liturgi merupakan

musik yang digunakan dalam kegiatan liturgi (Prier, 2009b:15).

Musik liturgi mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat, baik

dalam bentuk nyanyian bersama maupun secara bergantian dengan paduan

suara/koor. Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap khusus waktu bernyanyi dan

bermusik. Bukan naskah yang membuat musik menjadi sakral, tetapi hati manusia

yang diungkapkan secara wajar dan tepat dalam melantunkan musik tersebut

(Heuken, 2004:270)

2. Pandangan Dokumen Gereja mengenai Musik Liturgi

Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang beriman kepada Kristus. Warga

Gereja adalah orang-orang yang konkret, yang terikat pada budaya setempat (lokal)
32

dan manusia dari kelompok tertentu (Martasudjita, 2004:11). Gereja merayakan

imannya dalam suatu bentuk liturgi yang memiliki berbagai unsur. Salah satu unsur

dengan sentuhan seni dalam liturgi dan terintegrasi sebagai bagian penting dalam

liturgi adalah musik. Liturgi yang merupakan bentuk perayaan iman Gereja

senantiasa memasukkan unsur musik maupun nyanyian dalam setiap susunan

liturgisnya. Usaha memajukan perkembangan musik tidak terlepas dari peran serta

pihak Gereja yang secara penuh mendukung kemajuan musik.

Dalam salah satu sidangnya, Konsili Vatikan II secara khusus membahas

mengenai posisi musik liturgi dalam Gereja yang disusun pada Bab VI yakni

Sacrosanctum Concilium atau lebih dikenal dengan Konstitusi tentang Liturgi Suci.

Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan


nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena
nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian Liturgi meriah yang
penting atau integral......

Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan
upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena,
entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci
dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk
kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan
mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.

Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut


Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan Musik Liturgi,
yakni kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman. SC, art. 112

Dalam artikel 112 Konsili Vatikan II ini, musik liturgi dikenal sebagai suatu

bagian fungsional dalam perayaan liturgi. Apabila artikel 112 dinilai dari segi
33

liturgisnya, ibadat merupakan bentuk pengungkapan syukur atas karya penyelamatan

Allah berupa kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Ada berbagai unsur

kesenian yang dapat disesuaikan guna mendukung kemeriahan ibadat. Di antara

semua bentuk kesenian yang digunakan dalam liturgi, musik menduduki tempat yang

istimewa, khususnya dalam bentuk nyanyian. Musik liturgi digunakan sebagai suatu

sarana yang dapat memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak

(Prier, 2010:1).

Musik liturgi bukan sekedar sebuah selingan, tambahan atau “dekorasi” demi

kemeriahan liturgi. Dengan kata lain, musik liturgi termasuk bagian liturgi itu sendiri

(Martasudjita, 2004:15). Syair yang digunakan secara khusus diambil berdasarkan

Kitab Suci atau teks liturgi. Penggunaan syair dari Kitab Suci menghantarkan iman

umat dalam menyapa Tuhan. Syair yang disusun merupakan bentuk pengungkapan

iman umat.

Begitu pula yang terkandung dalam artikel 113 dimana upacara Liturgi “menjadi

lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila

dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara aktif” (SC 113).

Dalam artikel 113, musik liturgi membuat suasana liturgi yang dibangun menjadi

lebih meriah. Melalui penggunaan musik liturgi ini, perayaan liturgi menjadi lebih

agung (http://www.santamaria.or.id accesed on 10 Maret 2010) didukung dengan

partisipasi umat secara aktif. Setiap umat dalam Gereja secara bersama bernyanyi,

melambungkan pujian. Hal ini akan memupuk kesatuan hati umat dalam iman akan
34

Yesus Kristus. Bentuk doa yang disampaikan dalam bentuk nyanyian ini

diungkapkan secara lebih menarik. Dengan demikian, nyanyian mampu menjadi

sarana pengungkapan iman umat. Misteri liturgi yang bersifat hirarkis dan

menjemaat dinyatakan lewat kesatuan hati umat yang diarahkan pula pada hal-hal

surgawi yang melambangkan seluruh misteri surgawi (MS art. 5). Liturgi selalu

diwujudkan sebagai suatu bentuk perayaan, dan nyanyian memiliki peranan yang

besar.

Musik liturgi mencakup nyanyian umat supaya turut berperan aktif dalam ibadat,

baik dalam bentuk nyanyian bersama maupun secara bergantian dengan paduan suara

/ koor. Tujuan yang luhur menuntut sikap khusus waktu bernyanyi dan memainkan

musik. Bukan sekedar naskah / teks lagu maupun jenis lagu yang membuat suatu

perayaan liturgis menjadi sebuah perayaan yang sakral, namun berdasar pada

perwujudan iman yang keluar dari hati manusia yang diungkapkan secara wajar dan

tepat dalam melantunkan musik tersebut. Dalam liturgi, tidak ada bentuk musik

ibadat yang ditolak, namun hendaknya penggunaan musik dalam liturgi disesuaikan

dengan hakekat perayaan liturgi tersebut (MS 8). Konsili Vatikan II telah

menentukan suatu dasar liturgi dimana naskah / teks dalam suatu upacara liturgi

harus diatur sedemikian rupa, hingga diungkapkan secara jelas hal-hal kudus yang

dilambangkan (Heuken, 2004:270).


35

3. Fungsi Musik Liturgi

Banyak sekali perayaan liturgis yang memasukkan musik sebagai salah satu

bagian pentingnya. Salah satu perayaan umat dengan musik sebagai salah satu bagian

terbesar dari keseluruhan liturgi yakni Perayaan Ekaristi. Hal ini dikarenakan

perayaan ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh hidup kristiani kita

(LG 11). Musik liturgi memiliki fungsi dan kedudukan yang jelas, misalnya :

1) Nyanyian Pembukaan dinyanyikan ketika Imam dan putra Altar, prodiakon

menuju altar. Nyanyian pembukaan menuntut suatu sikap hormat dan sikap siaga

menantikan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Nyanyian pembukaan digunakan

untuk membuka perayaan Ekaristi, membina kesatuan umat, menghantarkan ke

dalam misteri iman yang dirayakan (sesuai masa liturginya), mengiringi imam

menuju altar (PUMR no 47-48)

2) Tuhan Kasihanilah Kami merupakan suatu teks kuno yang sudah ada sejak lama

(Martasudjita, 2007:28), tujuannya adalah sebagai suatu seruan kepada Tuhan

dan memohon belaskasihanNya. (PUMR no 52).

3) Madah kemuliaan, kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati pada jaman

kristen kuno. Melalui madah ini, umat yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus

memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah, serta memohon belakasihNya.

Madah ini tidak boleh diganti dengan teks yang lain (PUMR no 53). Madah

kemuliaan yang dinyanyikan pada hari minggu secara khusus bertujuan untuk

mengenangkan kebangkitan Kristus.


36

4) Mazmur Tanggapan merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur

tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang

permenungan atas bacaan pertama. Mazmur tanggapan biasanya diambil dari

buku bacaan misa (lectionarium), para petugas menggunakan buku resmi

“Mazmur Tanggapan dan Alleluya Tahun ABC”

5) Bait Pengantar Injil / Alleluya. Dengan aklamasi ini, jemaat beriman menyambut

dan menyapa Tuhan yang akan bersabda kepada mereka dalam Injil, dan

sekaligus menyatakan imannya (PUMR no 62).

6) Nyanyian Persiapan Persembahan, tujuannya untuk mengiringi perarakan

persembahan, maka digunakan nyanyian dengan tema persembahan. Kalau tidak

ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian (PUMR no 74).

7) Kudus merupakan nyanyian sebagai wujud partisipasi umat dalam Doa Syukur

Agung. Nyanyian kudus tidak dapat digantikan dan diambil dari teks resmi (TPE)

(PUMR no 78b)

8) Nyanyian Bapa kami, tujuannya adalah untuk memohon rezeki sehari-hari (roti

Ekaristi), mohon pengampunan dosa, supaya anugerah Roh Kudus itu diberikan

kepada umat yang kudus. Teks Bapa Kami harus diambil dari buku teks misa

resmi (TPE) (PUMR no 85).

9) Nyanyian Anak Domba Allah, tujuannya adalah untuk mengiringi pemecahan roti

(PUMR no 83). Lagu Anak Domba Allah dapat dihilangkan apabila pemecahan

roti terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak perlu diiringi lagi. Namun lagu ini

dapat menjadi lagu penghantar iman dalam persiapan menyambut komuni.


37

10) Nyanyian Komuni tujuannya adalah agar umat secara batin bersatu dalam komuni

juga untuk menyatakan persatuannya secara lahiriah dalam nyanyian bersama.

Untuk menunjukkan kegembiraan hati, untuk menggarisbawahi corak ‘jemaat’

dari perarakan komuni. Maka lagu komuni harus bertemakan komuni atau tubuh

Tubuh dan Darah Kristus, tidak boleh menyanyikan lagu untuk Orang Kudus,

Maria, tanah air, panggilan-pengutusan, yang lain (PUMR no 86).

11) Nyanyian madah pujian sesudah Komuni dimaksudkan sebagai ungkapan syukur

atas santapan yang diterima yaitu Tubuh (dan Darah Kristus) sebagai keselamatan

kekal bagi manusia (PUMR no 88).

12) Nyanyian Penutup bertujuan untuk menghantarkan imam dan para pembantu-

pembantunya meninggalkan altar dan menuju ke sakristi (fakultatif)

4. Bentuk-bentuk Musik dalam Liturgi

Musik menjadi sarana perantara komunikasi antar manusia. Musik memiliki

makna mendalam bagi orang-orang yang menghayati musik dalam kehidupan

kesehariannya. Dalam kehidupan menggereja, musik juga memiliki peranan yang

cukup signifikan yang terlihat dalam penggunaan musik dan nyanyian liturgis dalam

perayaan Ekaristi dan ibadat lainnya. Musik dalam ritus Gereja mampu memberikan

sentuhan tersendiri bagi umat dalam menghayati dan memaknai hubungan khusus

antara Allah dan manusia. Musik dan lagu dalam Gereja muncul dan berkembang
38

sesuai perjalanan waktu. Musik dalam Gereja telah dimulai dan dirintis sejak

berabad-abad lampau.

a. Proprium Missae

Istilah proprium menunjuk pada nyanyian-nyanyian yang digunakan dalam

Ekaristi Kudus yang dapat berganti-ganti sesuai dengan tema misa atau bacaan yang

digunakan pada saat itu. Yang termasuk dalam kategori lagu-lagu proprium adalah

Nyanyian pembuka (Introitus), mazmur tanggapan (Graduale), nyanyian persiapan

persembahan (Offertorium), nyanyian komuni (Communio), nyanyian penutup.

Nyanyian tersebut harus dipilih sesuai dengan tema misa (Martasudjita, 2007:26).

b. Ordinarium Missae

Istilah ordinarium merupakan istilah yang digunakan untuk memudahkan

menyebut lima nyanyian dalam Perayaan Ekaristi yang tidak pernah berubah.

Nyanyian yang termasuk dalam ordinarium adalah tuhan Kasihanilah Kami (kyrie),

kemuliaan (gloria), Syahadat (Credo)(fakultatif), Kudus (Sanctus), Anak Domba

Allah (Agnus Dei). Namun kelima bagian ini memiliki tingkatan kedudukan yang

berbeda. Misalnya lagu kemuliaan ditiadakan untuk hari biasa, masa adven, masa

prapaska. Sedangkan lagu Kudus merupakan nyanyian ordinarium yang wajib

diadakan, karena lagu Kudus merupakan salah satu bentuk partisipasi umat dalam

Doa Syukur Agung. Kudus adalah bagian dari liturgi iman terpenting yakni Liturgi

Ekaristi.
39

c. Lagu Umat

Dalam liturgi, umat menunaikan peran liturgisnya dengan partisipasi secara

penuh, sadar, dan aktif (MS 15). Partisipasi ini dapat diungkapkan secara batiniah

dengan memadukan hati dan budi bersama umat lain dalam Liturgi. partisipasi dalam

bentuk nyata terwujud melalui sikap, gerak-gerik, lewat aklamasi, jawaban iman, dan

nyanyian-nyanyian. Lagu umat menuntut adanya partisipasi aktif umat dalam liturgi.

partisipasi umat dalam bentuk nyanyian ditunjukkan pada jawaban terhadap salam

ari imam, antifon-antifon, mazmur, refren, nyanyian proprium dan ordinarium

bersama-sama dengan koor (MS 16). Lagu umat terdiri atas satu suara (unisono)

atau setidak-tidaknya dua suara misalnya kanon. Salah satu bentuk kumpulan lagu

umat adalah dari Madah Bakti, Puji Syukur, Kidung Adi (bahasa Jawa). Contoh lagu

umat kanon polifoni dari Madah Bakti no 300 “Dikau Tuhan dan Kawanku”.

d. Lagu Paduan Suara

Lagu paduan suara merupakan komposisi dimana beberapa suara dipadukan.

Paduan suara memiliki peran penting dalam liturgi karena memiliki tugas untuk

membawakan bagian yang dipercayakan pada pihak koor atau paduan suara. Selain

itu paduan suara juga diharapkan mampu mendorong partisipasi aktif kaum beriman

dalam menyanyi (MS 19). Ada lagu yang dinyanyikan oleh koor yang merupakan

gubahan dari lagu umat. Lagu tersebut merupakan lagu umat yang diarransemen

khusus untuk paduan suara. Hal ini diharapkan mampu memeriahkan suasana liturgi

tanpa meninggalkan partisipasi umat. Hendaknya paduan suara ditempatkan


40

sedemikian rupa sehingga menyatu dengan umat. Paduan suara tidak menjadi bentuk

pertunjukan dalam Gereja dengan mengabaikan partisipasi umat (MS 23).

e. Lagu Ofisi

Ofisi merupakan bentuk ibadat harian sebagai doa resmi dalam gereja. Ofisi

secara lengkap dilaksanakan sebanyak tujuh kali dalam satu hari. Ofisi masih banyak

dipelihara dalam kehidupan biara-biara terutama biara kontemplatif. Dalam

kehidupan Gereja, ibadat harian mula-mula terdiri dari ibadat pagi (laudes) dan

ibadat sore (vesperae). Ibadat ini dilaksanakan secara bersama-sama. Pada abad

keempat, ibadat ini mulai dikembangkan oleh komunitas-komunitas para rahib. Para

rahib tersebut mengutamakan hidup doa dalam kesehariannya. Hal ini menyebabkan

mereka berkumpul setiap waktu tertentu untuk berdoa bersama. Bentuk doa-doa pada

waktu tertentu disebut dengan ‘ibadat-ibadat kecil’ yang dilaksanakan pada jam 9

(terts), jam 12 (sekst), jam 15 (non), ibadat malam (matutin), dan ibadat penutup

(complet.) (Prier, 2009b:139).

f. Lagu untuk Masa Khusus (Adven, Natal, Parapaska, Minggu Palma, dll)

Lagu dengan tema khusus ini disusun dan dibentuk berdasarkan kesesuaian

dengan lingkaran liturgi dalam Gereja. Masa adven sarat dengan penantian, maka

lagu-lagu yang dibuat penuh kerinduan akan kehadiran Allah, pengharapan. Contoh :

Kumbayah (MB 324), Angkatkanlah Kepalamu (MB 326). Pada masa Natal,

dipenuhi sukacita kelahiran Yesus, lagu yang dibentuk penuh dengan sambutan

kelahiran Yesus, kegembiraan, pujian pada Allah. Contoh : Yesus Slamat Datang
41

(MB 330), Gloria (MB 334). Ketika Natal ada satu pujian atau maklumat yang

menyatakan kelahiran Yesus dengan gaya Gregorian yakni Maklumat Kelahiran

Yesus.

Pada masa Prapaska, diliputi rasa tobat akan dosa. Masa Prapaska dimulai dengan

hari Rabu abu sebagai tanda dimulainya masa persiapan paskan selama 40 hari, hal

ini menyiapkan kita untuk menghormati hari wafat dan kebangkitan Kristus. Lagu

dalam masa Prapaska penuh dengan wujud sesal, permohonan ampun pada Allah.

Contoh : Hanya Debulah Aku (MB 368), Mohon Ampun (MB 371), Tuhan Naungan

Hidupku (MB 378). Nyanyian sengsara dan Jalan salib mengiringi perjalan Yesus

menuju Bukit Golgota. Nyanyian-nyanyiannya penuh dengan nafas penderitaan

Kristus yang rela menebus dosa manusia. Contoh : Sengsaramu O Yesus (MB 379),

O Sri Yesus (MB 380).

Masa Paska meliputi 4 hari besar yakni mulai dari Masuknya Yesus ke Yerusalem

pada minggu Palma, Kenangan Perjamuan Terakhir Yesus, Wafat Kristus, dan

KebangkitanNya. Minggu Palma mengisahkan Yesus yang dielu-elukan sebagai raja.

Nyanyian mengungkapkan kejayaan Kristus dan seruan Yerusalem. Contoh

Yerusalem Lihatlah Rajamu (MB 395), Wahai Umat Bersoraklah (MB 396). Pada

pesta perjamuan terakhir, Yesus mengajarkan cinta kasih dan pelayanan kepada

semua orang. Lagu yang dibentuk memiliki makna akan pelayanan dan cinta kasih.

Contoh : Ajarilah kami Tuhan Bahasa Cintakasih (MB 400), Jika Ada Cinta Kasih

yang bergaya Gregorian (MB 402). Jumat Agung merayakan sengsara dan wafat
42

Yesus di salib. Salib sebagai lambang penghinaan namun jadi lambang keselamatan.

Lagu-lagu menunjukkan kehinaan dan kesedihan. Contoh : Hai umatku apa salahku

(MB 411), O Salib Tanda Agung (MB 413). Perayaan Paska merayakan kebangkitan

Yesus dari alam maut. Lagu-lagu menunjukkan kisah penciptaan, paska Yahudi dan

kebangkitan Kristus. Contoh : Refren Kisah Penciptaan (MB 420), Karya Tuhan

hendak Kupuji (MB 421). Pada malam paska, dimadahkan pujian paska atau Exsultet

dengan gaya Gregorian.

Selain itu ada lagu-lagu yang disusun sebagai bentuk sembah sujud atau pujian

terhadap Sakramen Ekaristi ataupun kepada Bunda Maria. Lagu-lagu khusus bagi

Bunda Maria mengandung unsur hormat dan Pujian kepada Sang Perawan Maria,

Bunda Kudus. Contoh lagu : Ya NamaMu Maria (MB 547), Salve Regina. Ada pula

lagu yang dikhususkan untuk menghormati Sakramen Ekaristi dalam Adorasi

Ekaristi seperti Ave Verum, Tantum Ergo yang bergaya Gregorian. Lagu-lagu yang

digunakan adalah lagu-lagu mengenai Ekaristi Kudus, tidak jarang pula

menggunakan lagu-lagu bergaya Taize. Adorasi Ekaristi merupakan bentuk devosi

Ekaristi yang hendak mengungkapkan iman Gereja akan Tuhan Yesus Kristus yang

hadir dalam Ekaristi Mahakudus atau Sakramen Mahakudus (Komlit, 2007:8).

Tujuan Adorasi ini adalah sembah sujud kepada Tuhan Yesus Kristus yang hadir

dalam Ekaristi dans ekaligus untuk menyatukan hati dengan Dia atau yang sering

disebut dengan komuni batin atau komuni kerinduan (ES 82).


43

g. Musik Organ

Semenjak gereja awal, musik merupakan bagian yang tidak terpisahkan. “Dalam

Gereja Latin, orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional,

yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan,

dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke sorga (SC 120)”. Hal ini

menunjukkan bahwa alat musik dapat menjadi sangat bermanfaat dalam perayaan

kudus.

Penggunaan alat-alat musik dalam mengiringi lagu-lagu merupakan suatu

dukungan terhadap para penyanyi. Memudahkan partisipai umat dalam bernyanyi,

menciptakan kesatuan hati yang mendalam antar jemaat yang berhimpun (MS 64).

Musik organ dapat dimainkan secara instrumental pada awal perayaan ekaristi,

pengantar persembahan, komuni (MS 65).

C. Substansi Lagu Gregorian

1. Tangganada – Modus Lagu Gregorian

Melodi pada lagu Gregorian ditulis pada suatu tonsystem tertentu yang disebut

modus. Tonsystem adalah sebuah pengenalan suatu tangga nada tertentu berdasarkan

pengenalan nada dasarnya atau finalis dalam sebuah lagu (Banoe, 2003:415), atau

dapat dikatakan bahwa modus merupakan suatu efek musikal yang dihasilkan oleh

letak suatu nada finalis dalam tonematerial. Modus ini dihasilkan sesuai karakter
44

finalis yang membentuknya. Ada nada yang mampu membentuk nuansa keberanian

seperti Doris (modus I/II), sedangkan nada yang lain mampu menyiratkan sebuah

kelembutan seperti Frygis (modus III/IV). Oleh karena itu modus juga merupakan

suatu kekhasan yang dimiliki oleh lagu Gregorian karena modus merupakan tangga

nada Gregorian.

Secara melodis, tangga nada dalam Gregorian berbeda dengan tangga nada

modern. Tangga nada modern memiliki dua macam bentuk yakni tangga nada mayor

dan minor, sedangkan untuk tangga nada Gregorian didasarkan pada delapan tangga

nada yang berbeda. Tangga nada modern berhubungan dengan tonal, tangga nada

modern dipengaruhi oleh akor-akor tonika (do-mi-sol). Sedangkan tangganada

gregorian berhubungan dengan modal, tangga nada Gregorian dipengaruhi oleh nada

finalis dalam suatu modus tertentu. Tangga nada Gregorian memiliki delapan bentuk

modus. Kedelapan tangga nada Gregorian atau sering disebut dengan modus identik

dengan penggunaan dalam teori musik Yunani kuno, yakni doris, hypodoris, phrygis,

hypophrygis, lydis, hipolydis, mixolydis, Hypomixolydis.

Tiap modus memiliki tiga elemen, yaitu sebuah nada finalis, nada dominan, dan

sebuah wilayah nada (ambitus). Finalis merupakan not akhir dari sebuah melodi pada

suatu modus tertentu, sebuah melodi selalu akan berhenti pada finalis modus

tersebut. Pada dasarnya tangga nada Gregorian ditentukan oleh tetrachord yakni D –

E – F – G atau re – mi – fa - sol. Empat tangga nada ini disebut dengan tangga nada

otentik Gregorian.
45

Tangga nada tersebut adalah Nada D atau nada 2 (re) merupakan finalis bagi

Doris dan Hypodoris, nada E atau nada 3 (mi) merupakan finalis dari Phrygis dan

Hypophrygis, nada F atau nada 4 (fa) merupakan finalis bagi Lydis dan Hypolydis,

dan nada G atau 5 (sol) merupakan finalis dari Mixolydis dan Hypomixolydis.

Nada dominan dalam modus adalah not di mana melodi lagu tersebut mengalir,

dapat juga dikatakan bahwa nada dominan ini merupakan suatu nada yang menguasai

modus Gregorian yang bersangkutan, hal ini dikarenakan letak nada dominan

merupakan pusat seluruh gerakan melodi dalam Gregorian. Dalam modus-modus

gasal (I,III,V,VII) nada dominan selalu merupakan nada kelima di atas finalis,

sedangkan untuk modus-modus genap (II,IV,VI,VIII) nada dominan berada tiga nada

di atas nada finalis. Ambitus atau lebih dikenal dengan sebutan wilayah nada pada

umumnya terdiri dari satu oktaf. Sebuah modus tidak selalu ada dalam wilayah nada

tertentu. Melodi bisa saja melebihi wilayah nadanya baik di atas maupun bawah.

Tangga nada otentik terbagi dalam dua modus yakni otentik dan plagal. Modus

otentik dan plagal dapat dilihat dari penambahan kata ‘Hypo’ dan selain itu ambitus

plagal berada satu kwart di bawah ambitus otentik. Bentuk lagu Gregorian dengan

tangga nada otentik atau asli memiliki suatu wilayah nada yang berpangkal pada

nada dasar tersebut, sedangkan nada plagal atau nada turunan memakai wilayah nada

yang berpangkal pada satu kwart di bawah nada dasar namun nada finalisnya tetap

sama seperti tangga nada otentik. Hal ini menyebabkan suasana yang terbentuk sama
46

seperti suasana yang hadir dalam nada otentik. Dalam sejarah, penggunaan modus ini

juga disebut sebagai tangga nada Gereja (Church Modes).

Tangga nada dalam modus ganjil maupun genap ini memiliki suasana yang

berbeda yang dihasilkan dari nada-nada yang muncul. Bentuk modus dalam notasi

modern menunjukkan nada yang digaris bawah merupakan nada final otentik,

sedangkan nada yang terdapat dalam kurung merupakan nada dominan yang muncul.

a. Tangga nada Doris dan hypodoris

Urutan nada pada ambitus doris dan hypodoris adalah sebagai berikut :

Tangga Nada I (Doris) : 2 3 4 5 (6) 7 1 2

Tangga Nada II (Hypodoris) : 6 7 1 2 3 (4) 5 6

Tangga nada doris memiliki nada finalis D atau nada dasar 2 (re), sedangkan tangga

nada hypodoris berada satu kwart di bawah doris dengan nada finalis 6 (la). tangga

nada ini mampu membentuk suasana berat dalam penyampaian lagunya. Gaya lagu

Gregorian dengan modus Doris atau 2 (re) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan

gaya “Dorian”.

Contoh lagu yang menggunakan tangga nada doris adalah Victimae Paschali Laudes

- missa resurexxi (Misa Hari Raya Paska Kebangkitan Tuhan) (PML, 1988:14)
47

b. Tangga nada Frigis dan Hypofrigis

Urutan pada tangga nada Frigis Hypofrigis adalah sebagai berikut

Tangga Nada III (Frigis) : 3 4 5 6 7 (1) 2 3

Tangga Nada IV (Hypofrigis) : 7 1 2 3 4 5 (6) 7

Tangga nada ini memiliki nada finalis E atau nada dasar 3 (mi), sedangkan tangga

nada Hypofrigis berada satu kwart di bawahnya dengan nada finalis 7 (si). Tangga
48

nada ini mampu membentuk suasana mengambang pada penyampaian lagunya. Gaya

lagu Gregorian dengan modus Frigis atau 3 (mi) ini dalam bahasa Inggris disebut

dengan gaya “Phrygian”.

Contoh penggunaan tangga nada frigis adalah Tantum Ergo (PML, 1988:103)

c. Tangga nada Lydis dan Hypolydis

Urutan pada tangga nada Lydis dan Hypolydis adalah sebagai berikut

Tangga Nada V (Lydis) : 4 5 6 7 (1) 2 3 4

Tangga Nada VI (Hypolydis) : 1 2 3 4 5 (6) 7 1

Tangga nada ini memiliki nada finalis F atau nada dasar 4 (fa), dan tangga nada

hypolydis berada satu kwart di bawahnya dengan nada finalis 1 (do). Tangga nada ini

mampu membentuk suasana gembira pada penyampaian lagunya. Gaya lagu


49

Gregorian dengan modus Lydis atau 4 (fa) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan

gaya “Lydian”.

Contoh lagu yang menggunakan tangga nada lydis seperti Dico Vobis (PML,

1988:40)

d. Tangga nada Mixolydis dan hypomixolydis

Urutan nada pada tangga nada mixolydis dan hypomixolydis adalah sebagai berikut

Tangga Nada VII (Mixolydis) : 5 6 7 1 (2) 3 4 5

Tangga Nada VIII (Hypomyixolydis) : 2 3 4 5 6 7 (1) 2

Tangga nada ini memiliki nada finalis G atau nada dasar 5 (sol), sedangkan tangga

nada hypomixolydis yang memliki nada finalis 2 (re) berada satu kwart di bawah

tangga nada mixolydis. Tangga nada ini mampu membentuk suasana agung dan

khidmat pada penyampaian lagunya (Prier, 2009:58). Gaya lagu Gregorian dengan

modus Mixolydis atau 5 (sol) ini dalam bahasa Inggris disebut dengan gaya

“Myxolydian”. Contoh lagu yang menggunakan tangga nada hypomixolydis seperti

Veni Creator Spiritus (PML, 1988:27)


50

MODUS GREGORIAN

Tangga Ambitus /
Modus jenis Finalis Dominan
Nada Range

I Doris Otentik D – d’ D A

II Hypodoris Plagal A–a D F

III Phrygis Otentik E – e’ E C

IV Hypophrygis Plagal B–b E A

V Lydis Otentik F – f’ F C

VI Hypolydis Plagal C – c’ F A

VII Mixolydis Otentik G – g’ G D

VIII Hypomixolydis Plagal D – d’ G C


51

2. Irama Lagu Gregorian

a. Arsis – Tesis

Motif dan keindahan dalam lagu Gregorian dipengaruhi oleh tekanan aksen. hal

ini dipengaruhi oleh pengucapan dan aksen bahasa. Pengucapan lagu Gregorian

dalam bahasa Latin memiliki keindahan yang dihasilkan dari panjang pendeknya

aksen bahasa dan pengucapannya. Dalam hal ini, istilah tesis digunakan untuk

mencirikan suku kata yang panjang. Sedangkan istilah arsis digunakan untuk

mencirikan suku kata yang pendek. Pada perkembangan berikutnya, istilah arsis dan

tesis dipergunakan dalam penerapan dinamika lagu Gregorian. Taraf perkembangan

akhir aksen dalam lagu Gregorian menetapkan segi dinamika sebagai sebuah unsur

dalam irama. Dinamika membedakan keras lembutnya suku kata yang diucapkan.

Dalam lagu Gregorian, suatu motif ritmis selalu diawali dengan sebuah arsis dan

diakhiri dengan sebuah tesis. Arsis memiliki sifat bersemangat (accelerando) dan

crescendo (semakin keras) sedangkan dalam tesis bersifat lemah/lembut, melebar

(ritardando) dan decrescendo (semakin halus/lirih). Tetapi nada Gregorian dapat

secara relatif disesuaikan, mau dipercepat maupun diperlambat, yang disesuaikan

dengan arsis – tesisnya. Dalam suatu notasi Gregorian, suatu tesis tidak pernah

secara langsung diikuti oleh tesis berikutnya namun harus ada arsis lagi.

Dalam lagu Gregorian, suku-suku kata yang bersifat arsis dilengkapi dengan

nada-nada tinggi atau yang sering disebut dengan arsis melodis. Sebaliknya, suku
52

kata yang bersifat tesis dicirikan dengan nada-nada yang aksen melodinya cenderung

turun atau yang disebut dengan tesis melodis (Prier, 1991:91-92).

b. Pola Irama lagu Gregorian

Ada sebuah perbedaan mendasar antara lagu biasa dan lagu Gregorian. Lagu

Gregorian tidak memiliki suatu bentuk pola birama. Dalam lagu biasa kedudukan

birama memiliki tempat yang penting. Hal ini digunakan untuk menentukan hitungan

atau ketukan yang tepat dan statis. Dalam lagu Gregorian, birama tidak menjadi

suatu patokan khusus. Lagu Gregorian merupakan suatu bentuk gerakan ritmis yang

didasarkan pada aksen bahasa dan motif Gregorian itu sendiri (Prier, 1991:90).

Nyanyian dalam Gregorian tidaklah bersifat statis namun dinamis.

Dalam irama yang bebas tersebut ada suatu pola tertentu. Lagu Gregorian

memiliki beberapa pola irama yang disebut pola irama biner yang mencakup iambos

(pendek – panjang/arsis – tesis), ataupun suatu pola irama Gregorian yang disebut

pola irama terner namanya anapaestus (panjang – pendek – pendek / tesis – arsis –

arsis). Semua pola irama yang ada dalam musik Gregorian terikat pada keseluruhan

ritme musik maupun keseluruhan ritme kalimat/bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa

kebebasan irama musik Gregorian tidak terikat pada suatu jenis birama tertentu

namun disesuaikan dengan bentuk sastra yang mengkomposisikannya (Prier,

1991:92-93). Bentuk sastra yang dapat secara mudah dipahami tertuang dalam

himne “Jesu Dulcis Memoria”. Pembentukan irama himne ini mengalami proses
53

pengulangan dalam bait-bait yang terbentuk. Terjadi pengulangan irama arsis tesis

yang sering disebut dengan bentuk iambos.

Pola irama yang terbentuk dalam lagu Gregorian juga mampu menentukan

pembawaan lagu Gregorian tersebut. Sifat sakral dalam penyampaian lagu Gregorian

dipengaruhi oleh gaya legato. Dalam lagu Gregorian dinamika memiliki peranan

besar. Dinamika yang terbentuk akan terus menerus berubah dengan menggunakan

crescendo dan decrescendo, accelerando dan ritardando (Prier, 1991:91).

3. Syair dalam lagu Gregorian

Setiap lagu Gregorian yang disusun tidak dapat dilepaskan dari makna yang

terkandung di dalamnya. Pemilihan modus, nada, kata-kata, bentuk arsis tesis, juga

membentuk suatu simbol yang tersendiri dan khusus. Beberapa model simbol akan

disampaikan dalam contoh berikut. Lagu “Veni Creator Spiritus / Datanglah Roh

Maha Kudus”
54

Pembentukan lagu “Veni Creator Spiritus” diawali dari pemilihan modusnya.

Modus yang digunakan adalah modus Hypomixolydis (tangga nada VIII). Pada

modus ini memiliki pembentukan nuansa keagungan.

Berdasarkan makna kata lagu ini dalam bahasa Indonesia hendak

mengungkapkan suatu kerinduan yang mendalam akan kehadiran Roh Kudus dalam
55

setiap langkah kehidupan. Pada bagian pertama terangkum sebuah undangan bagi

sang pembawa terang, pencerahan Allah yakni Roh kudus. Kata “datanglah...” tidak

semata-mata menggambarkan suatu bentuk permohonan akan hadirnya Roh Kudus

sebagai Roh Allah sendiri. Namun kata ini ingin menunjukkan adanya suatu

hubungan batin yang mendalam akan perwujudan cinta Allah yang dirasakan oleh

manusia, perwujudan cinta yang mendalam ini hendak diungkapkan oleh manusia

dengan penuh keterbukaan akan menerima Roh Kudus. Bagian kedua hendak

memberikan suatu gambaran situasi kehidupan manusia yang menjadi efek tanpa

adanya pencerahan dari Roh Kudus. “Jiwa yang layu” menunjukkan suatu bentuk

kepasrahan manusia akan kuasa Allah. tanpa kuasa Allah manusia hanyalah seorang

yang tanpa iman dan pengharapan, tidak ada gairah untuk mewartakan Kerajaan

Allah. Dengan keterbukaan hati yang terus menanti kehadiran Roh Kudus sebagai

titik terang dan sumber inspirasi, segala suasana dan kerinduan akan Allah akan

terobati dan iman akan semakin kuat guna mewartakan Kerajaan Allah di dunia ini.

Dalam lagu Gregorian seni yang bernilai tinggi tidak hanya disampaikan melalui

pemilihan kata-kata ataupun bahasanya. Tinggi rendahnya pemilihan nada juga

menjadi sebuah titik tolak pertemuan antara Allah dengan manusia. Dalam lagu ini,

penggubahan dalam bahasa Indonesia dinyatakan sebagai lagu dengan gubahan kata

paling mendekati lagu aslinya. Hal ini terlihat dari tidak adanya nada perbedaan nada

antara lagu dalam bahasa Latin maupun bahasa Indonesia. Kesesuaian suku kata

menjadi sebuah tolok ukur kedekatan antara bentuk mengimaninya. Lagu ini
56

memiliki empat bagian, bagian pertama dan kedua memiliki mada finalis yang

semakin naik. Naiknya nada finalis ini memberikan suatu gambaran bahwa

keterbukaan hati untuk menanti kehadiran Roh Kudus tidak sekedar sebagai sebuah

kata namun juga dimasukkan ke dalam hati umat. Keyakinan yang penuh akan

kehadiran Roh Kudus dinyatakan melalui proses naik turunnya nada yang dipilih.

Begitu pula dalam bagian ketiga memperlihatkan manusia yang mengakui kelemahan

dirinya yang terus menerus mengharapkan kehadiran Roh Kudus. Pengakuan sebagai

‘jiwa yang layu...’ diperlihatkan dengan nada yang menurun atau suara yang semakin

rendah, tidak ada lagi semangat yang muncul dalam kehidupan ini. Selain itu nada

yang menurun menggambarkan adanya sesuatu hal yang diturunkan Roh Kudus

kepada manusia. Menyirami merupakan kegiatan mengalirnya air dari tempat tinggi

ke tempat yang rendah, maka begitu pula dengan kurnia dari Roh Kudus akan

dialirkan dari Surga kepada manusia. Pada bagian keempat menjadi sebuah bentuk

jawaban akan penantian yang panjang. Kehadiran Roh Kudus dalam hati akan

memberikan semangat bagi manusia dengan kasih yang merupakan perwujudan

kasih Allah itu sendiri. Nada yang tegas dimunculkan guna mewujudkan suatu

bentuk keimanan yang kuat. Kehadiran yang dinanti tidak banyak (bukan aliran yang

besar) hanya ‘setetes embun kurniaMu’ akan dapat kembali menyegarkan semangat

dan jiwa kami akan kasih Allah yang tak tehingga dalam kehidupan ini.

Lagu ini merupakan lagu khas dalam Perayaan Pentakosta guna mengenangkan

turunnya Roh Kudus ke atas Para Rasul dalam bentuk nyala api. Dalam perayaan
57

Pentakosta ini, Allah telah memenuhi janji untuk selalu menyertai langkah Gereja.

Allah tidak pernah meninggalkan umatnya dan akan terus menyertai Gereja dalam

Roh KudusNya. Ada sebuah kekuatan besar yang kembali meneguhkan iman para

Rasul setelah mereka kehilangan Guru yang sangat mereka kasihi. Daam rasa

kehilangan, hinggaplah rasa takut hingga mereka bersembunyi. Namun berkat

kehadiran Roh Kudus dalam hidup dan hati para Rasul, mereka menjadi bersemangat

dan berkobar-kobar untuk terus mewartakan iman akan Allah.

“.... Engkau tidak akan mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan
Bapa sendiri menurut kuasaNya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau
Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di
Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.
Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di suatu
tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin
keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan
tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran
dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan
Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain,
seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.
Dan barangsiapa yang berseru kepada Tuhan akan diselamatkan...” (Kis
1:7-8, 2:1-4,21)

Janji yang telah disampaikan Allah pada umatnya tidak akan pernah dapat

disangsikan karena janji Allah adalah jaminan hidup kekal. Kerinduan yang terus

dinanti akan kehadiran Roh Kudus tidak akan ditentukan waktunya. Kehadirannya

dapat dirasakan oleh para Rasul dengan bukti karunia berbicara dengan berbagai

bahasa yang diterima oleh para Rasul. Pada masa sekarang, karunia yang diterima

dari Roh Kudus belum tentu berupa karunia bahasa Roh, namun juga karunia untuk
58

menaburkan semangat, karunia yang menjadi sumber semangat ke-Allah-an. Sumber

semangat ini ditumbuhkan dengan mengimani Dia yang rela menderita dan disalib

untuk penebusan dosa kita. Dengan siraman kasih dari Roh Kudus kita semakin

ditantang untuk semakin berani bersaksi akan Allah dalam setiap gerak langkah

kehidupan kita baik dalam lingkup Gereja maupun di dalam masyarakat pada

umumnya.

4. Notasi Lagu Gregorian

Lagu Gregorian dalam bahasa Inggris disebut dengan plainsong. Hal ini

dikarenakan lagu Gregorian hanya terdiri dari satu suara saja. Lagu Gregorian

menjadi sebuah bentuk bagi improvisasi pengungkapan bahasa latin. Pengungkapan

ini didasarkan pada Kitab Suci yang sering digunakan dalam praktik ibadat Kristiani

(Prier, 2009:58). Lagu Gregorian memiliki unsur khas yang terkandung di dalamnya.

Dalam lagu modern, setiap paranada (garis nada/titi nada) pasti memiliki 5 garis dan

4 ruang antara yang menjadi sarana menuliskan notasinya. Namun pada Gregorian

hanya memiliki 4 garis dan 3 ruang antara yang sering disebut dengan staff atau

stave. Sedangkan untuk kunci yang digunakan berbeda dengan kunci utama paranada

modern yakni kunci G dan F. Lagu Gregorian menggunakan dua kunci yakni C dan

F. kunci C keberadaannya tidak bisa ditetapkan secara pasti, namun pada umumnya

diletakkan pada garis paranada 2, 3 atau 4, sedangkan untuk kunci F hanya

diletakkan di garis paranada ketiga.


59

Kunci C :

a. Pada Garis Kedua (jarang digunakan)

Do

b. Pada Garis Ketiga

Do

c. Pada Garis keempat

Do

Kunci F :

Fa
60

Not yang terdapat dalam lagu Gregorian dalam bahasa Latin disebut Punctum.

Punctum ini masih dibagi lagi dalam 3 bentuk yakni :

a. Punctum Quadratum :

b. Punctum Virga :

c. Punctum Inclinatum :

Kumpulan beberapa not dalam lagu Gregorian yang disebut dengan Neuma.

Keragaman dan keindahan penyusunan lagu Gregorian terlihat dari penulisan bentuk

notasinya. kelompok neuma masih bisa diklasifikasikan lagi menjadi beberapa

kelompok kecil. Pengelompokan ini dibagi menjadi pengelompokan dasar dan

pengelompokan gabungan. Bentuk pengelompokan neuma ini minimal memiliki 2

not yang berhubungan dan bentuk neuma selanjutnya merupakan pengembangan

neuma dasar dengan penambahan satu not / punctum (Keller, 1947:14-18). Beberapa

kelompok tersebut adalah :

a. Bentuk neuma sederhana : bentuk neuma ini hanya memiliki 2 notasi yang

membentuknya

Podatus / pes : nada kedua lebih

tinggi daripada nada pertamanya,

dinyanyikan dari bawah ke atas


61

Clivis / flexa : nada kedua lebih

rendah daripada nada pertama,

dinyanyikan dari atas ke bawah

Bivirga : nada kedua berada pada

garis yang sama dan dinyanyikan

secara sejajar (dalam notasi

modern lebih dikenal sebagai

nada legato)

b. Neuma dengan tiga not neuma ini tetap mempertahankan bentuk neuma dasar

dengan penambahan satu notasi yang diletakkan setelah notasi kedua

Torculus : posisi nada kedua lebih

tinggi daripada nada pertama dan

ketiga

Porrectus : nada kedua merupakan

nada terendah daripada nada

pertama dan ketiga


62

Climacus : nada selanjutnya lebih

rendah posisinya daripada nada

sebelumnya. Nada kedua lebih

rendah dari nada pertama, nada

ketiga lebih rendah dari nada kedua

Scandicus : nada-nada selanjutnya

lebih tinggi posisinya daripada

nada sebelumnya. Nada kedua

lebih tinggi dari nada pertama,

nada ketiga lebih tinggi dari nada

kedua

Tristropha : bentuk neuma ini

berdasar pada bivirga, yakni tiga

nada yang sama ditempatkan

berdampingan pada garis nada

yang sama
63

c. Neuma dengan empat not

Torculus Resupinus : nada keempat

lebih tinggi daripada nada ketiga

Porrectus Flexus : nada keempat

lebih rendah daripada nada ketiga

Climacus resupinus : nada keempat

lebih tinggi daripada nada ketiga

Scandicus Flexus : nada keempat

lebih rendah daripada nada ketiga

d. Neuma Khusus

Quilisima

Pressus

Oriscus
64

Selain keempat kelompok ada di atas masih ada suatu bentuk kelompok nada

yang merupakan suatu gabungan dari beberapa bentuk kelompok nada

Pes Subbipunctis

Scandicus Subbipunctis

Dalam menyusun suatu notasi Gregorian di akhir garis paranada masih ada not

kecil untuk menunjukkan not letak not pertama pada paranada berikutnya yang bisa

disebut dengan Guide(Custos)

Contoh : Dominus Dixit ad Me – lagu pembuka pada hari raya Natal misa malam

(PML, 1988:5)
65

5. Gaya Nyanyian Lagu Gregorian

Nyanyian Gregorian memiliki 3 gaya dalam menyanyikannya berdasarkan

dengan pembagian nadanya, gaya tersebut adalah :

a. Gaya Silabis : gaya bernyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan

satu nada, atau sesekali merupakan gabungan dua nada.

Contoh : Lagu Credo III (PML, 1988:78)

b. Gaya Neumatis : gaya menyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan

memakai satu kelompok (neuma) dari dua atau tiga nada.


66

Contoh : Agnus Dei – Missae de Angelis (PML, 1988:64)

c. Gaya Melismatis : gaya menyanyi dengan pembagian satu suku kata dengan

banyak nada.

Contoh : Kyrie – Missae de Angelis (PML, 1988:62)

6. Bentuk Lagu Gregorian

Berdasarkan fungsinya, lagu Gregorian dipisahkan menjadi dua bagian yakni lagu

Gregorian yang menjadi bagian dalam Perayaan Ekaristi dan lagu Gregorian dalam

ibadat harian
67

a. Graduale Romanum

Graduale Romanum merupakan sebuah buku yang berisikumpulan lagu-lagu

Gregorian. Lagu Gregorian ini ditujukan secara khusus untuk Perayaan Ekaristi.

Bentuk-bentuk lagu Gregorian yang terdapat dalam Graduale Romanum antara lain :

1) Aklamasi

Aklamasi merupakan suatu bentuk seruan atau sebuah jawaban yang dilaksanakan

secara bersama. Pada awalnya dalam liturgi, aklamasi merupakan bentuk reaksi umat

selama kotbah. Namun semakin lama bentuk aklamasi disusun menjadi suatu bentuk

jawaban umat kepada imam yang bersifat tetap. Aklamasi mewujudkan peran aktif

umat dalam Perayaan Ekaristi. Aklamasi merupakan bentuk partisipasi dasariah dan

paling mudah dilaksanakan dalam ibadat. Aklamasi memiliki bentuk yang bersifat

spontan dan hidup. Aklamasi lebih cocok apabila disampaikan dalam bentuk

nyanyian. Hal ini dilaksanakan agar tercapai adanya suatu kekompakan dan memacu

keterlibatan umat.

Bentuk aklamasi ini dapat berupa seruan pendek atau dalam sebuah kalimat seperti

”Amin”, “Alleluia”, “Syukur kepada Allah”.

2) Prefasi

Concentus dalam bahasa Latin berarti ‘bunyi bersama’. Penggunaannya sebagai

istilah umum untuk nyanyian Gregorian yang resitatif. Dalam concentus ada

pembedaan antara gaya silabis dan gaya melismatis. Selain itu ada teks yang dikenal
68

sebagai accentus khusus dinyanyikan oleh uskup, imam, atau diakon, terutama pada

nada resitasi tunggal dengan melodi sederhana pada tempat tertentu di dalam setiap

kalimatnya. Nyanyian yang lebih kompleks dinyanyikan oleh solo yang terlatih.

Bentuk prefasi tradisional terwujud dalam “Exsultet / Pujian Paska” . Contoh

accentus khusus ini juga sering sekali digunakan dalam misa yakni ketika Prefasi.

3) Ordinarium

Ordinarium disebut sebagai nyanyian tetap dalam misa. Yang termasuk dalam

ordinarium adalah Tuhan Kasihanilah kami (Kyrie),Kemuliaan (Gloria), Aku

Percaya (Credo), Kudus (Sanctus), Bapa kami (Pater Noster), Anak Domba Allah

(Agnus Dei). Nyanyian-nyanyian ini yang dipakai dalam misa dalam bentuk litani

(Kyrie, Agnus Dei), madah kemuliaan yang saling sahut menyahut antara koor dan

umat (Gloria), maupun bentuk aklamasi / jawaban dalam gaya melismatis seperti

Sanctus.

4) Proprium

Lagu proprium merupakan kebalikan dari lagu ordinarium. Yang termasuk dalam

kategori lagu proprium adalah nyanyian pembuka (Introitus), mazmur tanggapan

(Graduale), nyanyian persiapan persembahan (Offertorium), nyanyian komuni

(Communio), nyanyian penutup. Contoh lagu Proprium : Puer Natus Est –Introitus

Misa Hari Raya Natal Siang (PML, 1988:9)


69

b. Antifonale / Lagu-lagu Ofisi

1) Himne / Madah

Dalam tradisi musik Gereja, himne atau madah digunakan sejak tahun 400. himne

meliputi semua nyanyian rohani dan liturgi yang menggunakan bahasa puisi. Himne

merupakan salah satu bentuk musik yang menggunakan sastra yang indah dan

teratur.

Himne tersusun menurut baris-baris dengan jumlah suku kata tertentu dan dengan

pola irama tertentu seperti pola iambos. Teksnya biasanya tidak terpaku bersumber

pada mazmur atau kitab suci, namun syair bebas atau disebut dengan syair baru.

Contoh : MB no. 316 – Marilah Bersukacita


70

2) Antifon

Antifon berasa dari bahasa Yunani yang berarti seruan yang dinyanyikan

berlawanan. Pada awalnya, nyanyian antifon merupakan kebiasaan membawakan

ayat mazmur secara bergantian. Pada perkembangan selanjutnya, antifon merupakan

salah satu ayat yang dinyanyikan sebelum ayat pertama dan sesudah ayat terakhir.

antifon berbeda makna dengan refren pada mazmur. Antifon dipergunakan hanya dua

kali pada awal ayat dan akhir ayat. Sedangkan refren pada mazmur dinyanyikan

sesudah ayat. Pembawaan mazmur dengan cara ini disebut “pendarasan antifonal”

(Prier, 2009b:11)

Antifon merupakan refren yang mengapit ayat-ayat mazmur. Dalam ibadat

harian/ofisi, pembukaan dan penutup mazmur biasanya dibawakan dengan model

silabis dimana ayat-ayatnya dinyanyikan dengan model resitatif. Sedangkan Antifon

Maria merupakan lagu penutup yang digunakan dalam ibadat sore. Biasanya

mempergunakan antifon dengan model melismatis dan tanpa ayat mazmur.


71

Contoh : Antifon Maria

3) Lagu Pendarasan Mazmur

Istilah accentus mulai digunakan untuk lagu Gregorian dengan jenis resitatif yang

mengandung unsur cengkok di dalam setiap kalimatnya. Accentus merupakan suatu

mazmur yang terdiri dari ayat-ayat dengan jumlah suku kata yang berbeda, namun

setiap ayatnya dinyanyikan dengan pola lagu tertentu (psalmodi –

psalmus;Latin=mazmur). Accentus terdiri dari :

a) Initium / Permulaan : terdapat pada awal kalimat, untuk mengantar pada nada

tenor / nada utama (dominan). Panjang pendeknya nada tenor ataupun nada

dominan yang diulang-ulang tergantung pada jumlah suku kata ayat tersebut.

b) Mediatio / Pertengahan : terdapat di tengah ayat, biasanya ditandai dengan

asteriscus (*) atau titik dua (:). Biasanya ditandai dengan sebuah melisma kecil.

c) Flexa / Belokan : cengkok yang diberikan sebelum meditatio apabila kalimat

tersebut terlalu panjang.

d) Terminatio / perhentian : terdapat pada akhir kalimat untuk mengantar melodi dari

tenor ke nada finalis/ nada dominan ke nada akhir.


72

Psalmodi/accentus biasanya digunakan untuk ibadat harian /ofisi (pembawaan

mazmur) yang diapit oleh sebuah antifon umumnya menggunakan gaya silabis.

Psalmodi Gregorian ini merupakan perkembangan dari psalmodi Yahudi. Sedangkan

bentuk lain yakni psalmodi responsorial merupakan suatu bentuk khusus yang terdiri

atas suatu antifon (responsorium) dan satu ayat dengan banyak sekali melisma di

dalamnya. Model psalmodi responsorial ini terdapat pada Graduale (nyanyian

sesudah Bacaan Kitab Suci/Mazmur Tanggapan) dan Alleluia.

4) Responsorium

Responsorium merupakan sebuah antiphon panjang hanya dengan satu ayat

mazmur (versus). Responsorium merupakan jawaban atas bacaan Kitab Suci dalam

ofisi. Ayat tersebut dalam gaya melismatis atau silabis dibawakan oleh solis terlatih.

Contoh : MB no. 563 – Dalam TanganMu ya Tuhan


73

5) Te Deum

“Te Deum Laudamus” bermakna “Dikau, Allah kami muliakan”. Kata ini merupakan

awalan dalam sebuah madah yang diciptakan oleh St. Ambrosius. Madah ini

dipergunakan sebelum doa penutup dalam ibadat malam pada hari Minggu dan hari

raya. Te Deum terdiri dari 3 bagian yakni Pujian kepada Allah Tri Tunggal, Pujian

kepada Yesus Kristus dan Permohonan yang dibawakan secara sahut menyahut

dengan beberapa bentuk lagu Gregorian yang berbeda-beda (Prier, 2009:213).

Contoh : lagu Allah Maha Agung (MB 491)


74
75

c. Lagu Khusus

1) Penghormatan Sakramen Maha Kudus

Ada bentuk lagu-lagu yang disusun sebagai bentuk sembah sujud atau pujian

terhadap Sakramen Ekaristi. Selain itu ada lagu yang dikhususkan untuk

menghormati Sakramen Ekaristi dalam Adorasi Ekaristi. Contoh lagu yang

digunakan dalam penghormatan sakramen Maha Kudus adalah Ave Verum Corpus

(PML, 1988:100)

2) Penghormatan Bunda Maria

Lagu-lagu khusus bagi Bunda Maria mengandung unsur hormat dan Pujian

kepada Sang Perawan Maria, Bunda Kudus. Contoh lagu yang ditujukan guna
76

menghormati Bunda Maria adalah Ave Maria, Gratia Plena (PML, 1988:51)

d. Perkembangan Baru lagu Gregorian

Sejak Lagu Gregorian diresmikan sebagai musik ibadat Gereja, maka ada

keinginan untuk menciptakan bentuk lagu Gregorian baru. Bentuk lagu baru ini

mulai dimunculkan pada abad 10. Bentuk lagu baru ini disebut dengan Tropus dan

Sekuensi (Prier, 1991:94-96).

1) Tropus : berasal dari bahasa Yunani “Tropos” yang berarti ungkapan atau cara,

model musik ini merupakan usaha untuk memberi syair/suku kata baru/ tambahan

pada nada melisma.

Contoh bentuk lagu Tropus seperti Alleluia – Veni Sancte Spiritus (PML, 1988:23)
77

2) Sekwensi : berasal dari kata Latin ‘Sequentia’ yang memiliki arti urutan.

Sekwensi merupakan tropus dalam bentuk khusus. Dalam sekwensi klasik, dua

ayat dinyanyikan dengan lagu yang sama kemudian untuk pasangannya ayat

berikut lagunya diganti. Dalam sejarah telah dibedakan adanya tiga bentuk

sekwensi

a) Sekwensi klasik : dalam sekwensi klasik, pasangan ayatnya berbeda panjangnya.

Ada terdapat banyak sekali pengecualian juga dalam tiap ulangan-ulangannya.

Contoh : Veni Sancte Spiritus – Missa Spiritus Domini (PML, 1988:23)


78
79

b) Sekwensi sanjak : dalam sekwensi sanjak, panjang lagu dan iramanya disamakan.

Pada akhir lagu dihiasi dengan sanjak; lagunya merupakan gubahan dari Alleluia

sehingga berbeda dengan Alleluia

Contoh : Alleluia – Missa Cogitationes dengan sekwensi “Tollite” (PML,

1988:38)
80

c) Sekwensi bait merupakan sebuah perkembangan baru dari sekwensi sanjak.

Bentuk sekwensi bait mengalami perkembangan pesat pada abad pertengahan.

Namun pada abad 16, Konsili Trente hanya membatasi menjadi empat bentuk

sekwensi.

Contoh : Victimae Paschali Laudes – Missa Resurrexi(PML, 1988:14)


81

BAB III

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN RELEVANSI LAGU GREGORIAN

DALAM MUSIK LITURGI

A. Sejarah Perkembangan Musik Pada Umumnya

Perkembangan musik terbagi menjadi beberapa jaman. Pada setiap jamannya,

musik memiliki ciri khas tersendiri. Ciri tersebut menjadi identitas musik tersebut.

Perkembangan musik tidak memiliki batasan waktu ataupun tahun yang pasti. Musik

terus berkembang dan berlangsung sepanjang masa. Ketika suatu bentuk musik

dikembangkan dengan berbagai pola, akan muncul bentuk musik yang baru. Musik

lama yang berkembang akan berjalan seiring dengan munculnya musik baru. Sejarah

musik meliputi perkembangan musik dari abad ke abad. Namun pada pembahasan

selanjutnya akan mengacu pada musik Gereja terlebih pada lagu Gregorian. Musik

Gereja merupakan bagian integral dalam perayaan ibadat dan kebutuhan rohani

lainnya.

1. Musik dalam Gereja Awal

Semenjak awal peradaban manusia, musik dan melodi secara mendalam telah

diasosiasikan dengan doa dan pujian yang dipanjatkan kepada Tuhan. Kata-kata

terkadang tidak mampu menyatakan kerinduan hati, kata-kata mampu

mengungkapkan sebuah gagasan sederhana. Ketika doa dan pujian diiringi dengan
82

perasaan yang cukup mendalam, seseorang dapat mengungkapkan ekspresi imannya

secara lebih pribadi dan lebih sakral.

Dalam Perjanjian Lama, Raja Salomo membangun Bait Allah dan mengakhirinya

dengan pujian kepada Allah (1 Raj 6:1-38 ; 8:54-61). Setelah pembuangan Babel dan

penghancuran Bait Allah pada tahun 70 M, kehidupan menjemaat dan peribadatan

tidak lagi dilaksanakan di bait Allah (Kristiyanto, 2001:20). Orang-orang Yahudi

berkumpul di sinagoga-sinagoga untuk belajar Taurat dan memuliakan Tuhan dengan

nyanyian dan pujian. Gereja muncul dan mulai berkembang didasarkan pada tradisi

Yahudi. Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa bagian yang mengidungkan pujian

kepada Allah. Beberapa bentuk pujian itu antara lain Kidung Magnificat yang

diserukan Maria ketika mengunjungi Elisabeth (Luk 1:46-56), Benedictus yang

merupakan kidung pujian Zakharia ketika Yohanes Pembaptis lahir (Luk 1:67-80),

Nunc Dimitis yang diungkapkan oleh Simeon ketika menatang Yesus dalam

tangannya (Luk 2:28-32). Ketika berkunjung ke Yerusalem, Yesus bergabung

dengan orang Yahudi lainnya untuk menyanyikan mazmur dan memuji Tuhan (Luk

2:41-49). Sebelum wafatnya, Yesus bersama para murid mengidungkan pujian

sebelum pergi ke bukit Zaitun (Mrk 14:26 ; Mat 26:30). Selain itu, Yesus sering ke

sinagoga bersama para murid dan bersama-sama menyanyikan mazmur tradisional

(Klarman, 1945:121-122).

Berdasarkan kebiasaan dan adat tradisi bangsa Yahudi, Gereja muncul dan

berkembang. Kisah Para Rasul mengungkapkan kisah-kisah pertemuan antara orang-


83

orang Kristen yang menjalankan nasehat St.Paulus dalam surat kepada Jemaat di

Efesus, “Berkata-katalah kepada yang lain dalam mazmur, kidung pujian, dan

nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati,” (Ef

5:19). Sejak jaman Salomo, para Nabi hingga Yesus dan para muridNya, kebiasaan

menyanyikan mazmur, himne, dan nyanyian rohanui telah dilakukan dan diturunkan

sebagai bentuk warisan dalam Gereja.

Dalam buku yang berjudul Alkitab dan Liturgi, E.H. van Olst mengungkapkan

bahwa Gereja awal merefleksikan liturgi dalam sinagoga berdasar pada tradisi

Yahudi hingga suatu batas tertentu (Prier, 2009b:16). Dari penjabaran tersebut dapat

ditarik makna bahwa musik Gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat

sebagaimana dinyanyikan dalam sinagoga Yahudi. Kesimpulan tersebut didasarkan

pada perkiraan para pakar musik. Oleh karena itu, tidak adanya penulisan notasi lagu

pada masa awal Gereja Perdana. Dimungkinkan adanya suatu improvisasi yang

dilakukan oleh seorang solis berdasarkan jenis syair sesuai dengan adanya suatu

nada. Selain itu terlihat bahwa ada suatu pendarasan mazmur secara bergantian atau

sahut-menyahut dengan pola lagu sederhana (resitatif). Dengan demikian, nyanyian

dari Gereja Perdana ini melanjutkan suatu tradisi yang sudah ada diambil dari

nyanyian tradisi ibadat Yahudi maupun musik dari Palestina dan sekitarnya (Prier,

1994:36).
84

2. Perkembangan Awal Musik

Gereja berkembang tidak hanya di daerah Palestina namun tersebar hingga ke

Roma. Di segi lain, perkembangan musik dimulai di Yunani sekitar tahun 2200

hingga 30 SM (Prier, 1991:19). Musik menjadi bentuk kesenian yang identik dengan

dewa-dewi (Prier, 1991:19-20). Dalam perkembangannya musik Yunani telah

memiliki tangga nadanya sendiri dan menempatkan harmoni sebagai salah satu unsur

musik. Puncak perkembangan kebudayaan musik Yunani, dimulai tahun 476 SM.

Musik-musik yang muncul pada masa perkembangan kebudayaan Yunani,

identik dengan musik-musik bergaya resitatif (Prier, 1991:34). Menurut Aristoteles,

musik berpengaruh dalam kehdupan manusia sebagai suatu bentuk hiburan yang

mempengaruhi hati manusia, sebagai unsur pembentukan watak manusia dan sebagai

suatu perintang waktu. Seni suara berbeda dengan seni yang lain, seni suara mampu

mengungkapkan irama jiwa manusia secara langsung. Sehingga musik didefinisikan

sebagai suatu tiruan seluk beluk hati dengan melodi dan irama (Prier, 1991:41).

Kebudayaan Yunani memiliki perbedaan yang frontal dengan kebudayaan

Romawi. Kebudayaan Yunani melahirkan para pujangga dan filsuf, mengutamakan

keindahan dan keelokan sebagai tujuan luhur kebudayaan. Bangsa Romawi

merupakan bangsa yang bertujuan untuk memakmurkan negara. Bangsa Romawi

tidak memiliki bentuk seni yang mandiri walaupun terus menerus mempelajari seni

musik dari masa ke masa (Prier, 1991:47-49).


85

Dalam kehidupan gereja, tradisi musik Yahudi dan Yunani berbaur menjadi dasar

perkembangan musik gereja. Dua budaya ini bermuara pada suatu bentuk lagu yang

bergaya resitatif, yakni lagu Gregorian. Bentuk musik awal ini dilengkapi dengan

antifon-antifon. Bentuk musik ini digabungkan dalam ibadat perjamuan ekaristi serta

ibadat pagi dan sore. Perkembangan kebudayaan ini diawali berdasarkan budaya

lisan yang dipadukan dengan bentuk improvisasi. Semakin lama bentuk ini

diwariskan dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk awal lagu ini belum

diresmikan karena adanya tantangan dari pemerintah Roma.

3. Abad Pertengahan (tahun 375 – 1450)

Setelah masa penjajahan Romawi, pada tahun 313 Kaisar Konstatinus

mengeluarkan sebuah pernyataan yang lebih dikenal dengan Edik Milano. Edik

Milano menyatakan Kekaisaran Romawi netral terhadap pandangan-pandangan

keagamaan, keluarnya maklumat ini mengakhiri penindasan atas umat Kristiani

(Kristiyanto, 2002:61-65). Hal ini merubah posisi Gereja dalam dunia. Keberadaan

Gereja diakui oleh negara. Setiap orang dapat mengakui bentuk iman Kristiani dan

hidup sesuai dengan iman kepercayaannya tanpa dibayangi ketakutan pengejaran

terhadap umat Kristiani (Sumarno, 2004:6). Sri Paus dan para pemimpin Gereja

lainnya disejajarkan dengan pegawai negeri Roma (Prier, 2009:17). Perkembangan

keagamaan maju dengan pesat. Tidak ketinggalan pula perubahan ini menjadi dasar

perubahan dalam bidang musik. Liturgi semakin diperhatikan dan terus berkembang
86

hingga pada awal abad 7. Liturgi mengambil alih banyak unsur dari upacara di istana

Kaisar termasuk kemewahannya.

Warisan Yahudi yang berbaur dengan tradisi Yunani bermuara pada satu bentuk

musik yakni Gregorian. Terdapat bentuk-bentuk mazmur yang diambil alih dari

Perjanjian Lama. Bentuk mazmur ini dilengkapi dengan antifon dan digunakan

dalam ibadat perjamuan Ekaristi. Kemudian berkembanglah bentuk baru himne atau

madah. Bentuk baru ini dikembangkan oleh St.Ambrosius (340-394) di Milano, Italia

Utara. St.Ambrosius merupakan bangsawan Romawi,ahli hukum dan gubernur

propinsi Aemilia-Liguria (Heuken, 2004:116).

Pada perkembangan selanjutnya, Paus Gregorius Agung mengadakan suatu

pemilihan atau seleksi terhadap lagu-lagu resitatif yang dapat digunakan dalam

ibadat dan kegiatan rohani lainnya. Sampai pada abad 10,tidak ada suatu bentuk

nyanyian yang dinotasikan. Ada bentuk buku liturgi yang mulai digunakan pada abad

6. Buku ini merupakan buku yang diwajibkan digunakan di daerah Eropa Utara. Hal

ini juga menyebabkan lagu Gregorian berkembang ke daerah Eropa Utara dengan

bentuknya sendiri. Lagu Gregorian yang dinyanyikan menjadi terkesan lambat.

Adanya improvisasi dan modifikasi pada bentuk Alleluia dan Kyrie menyebabkan

terbentuknya lagu Tropus dan sekuensi (Prier, 2009:18). Lagu Gregorian menjadi

suatu bentuk musik utama yang dipergunakan dalam ibadat dan kegiatan dalam

Gereja lainnya.
87

Musik pada abad pertengahan memiliki rentang waktu yang berbeda dengan

makna abad pertengahan pada umumnya. Secara sejarah umum, awal abad

pertengahan ditandai dengan keruntuhan kerajaan Roma pada tahun 476. Selain itu,

abad pertengahan ditandai dengan ditemukannya teknologi-teknologi dengan mesin.

Lain halnya dengan abad pertengahan dalam sejarah musik. Awal abad pertengahan

dalam sejarah musik ditandai dengan adanya bentuk perpindahan penduduk secara

besar-besaran dari Eropa Timur ke Eropa Barat bahkan hingga Afrika. Perpindahan

penduduk ini mampu mengubah kebudayaan klasik Yunani dan Romawi yang telah

berkembang pesat (Prier, 1991:85).

Selain musik dalam gereja, musik seni pun berkembang dengan pesat. Bersamaan

dengan berkembangnya lagu Gregorian, berkembang pula musik yang lebih bersifat

profan. Perkembangan ini terutama terjadi di Prancis dan Jerman. Di Prancis musik

ini disebut dengan Troubador dan Trouvere yang berarti penemu atau pencipta (Prier,

1991:103). Ciri musik ini adalah musik yang berbentuk vokal dengan satu suara,

memiliki syair yang banyak bertema tentang cinta, kepahlawanan, dan alam. Irama

dalam musik ini memiliki aturan yang lebih mengikat. Musik Troubador merupakan

masa peralihan dari masa Modalitas ke Tonalitas Mayor-Minor. Meskipun bentuk

musik ini seiring sejalan dengan lagu Gregorian, namun pembentukan awal lagu ini

didasarkan pada musik Gregorian. Gaya resitatif masih melekat pada penciptaan

musik Troubador. Dalam musik Troubador ada 4 bentuk dasar yakni bentuk litani

yang dinyanyikan dengan bentuk bait dan lagu yang sama, bentuk sekwensi, bentuk
88

kanzone yang berdasar pada bentuk himne, dan bentuk rondo yang merupakan

nyanyian berbait dengan refren (Prier,1991:103-104).

Di Jerman, muncul pula musik vokal yang berbentuk Minnesang dan

Meistersang. Bentuk lagu ini didasarkan pada bentuk Troubador di Prancis

(Prier,1991-106). Seni Minnesang bertolak pada bentuk sastra. Isi lagu dalam

Minnesang banyak bercerita mengenai cinta, asmara. Melodi dalam musik

Minnesang tidak jelas sumber dan asal-usulnya. Melodi dapat diciptakan dari melodi

musik rohani yang diganti dengan syair yang baru. Pembentukan musik dengan cara

seperti ini dikenal dengan teknik kontrafaktur. Pada fase Minnesang pertama

dikuasai oleh bentuk vokal satu suara, pada fase selanjutnya mulai didominasi oleh

tangga nada mayor (Prier,1991:106).

Sekitar abad 9-11, terjadi perubahan besar dalam gaya musik di Eropa. Adanya

tambahan-tambahan nada atau suara dalam sebuah nyanyian sehingga dalam sebuah

lagu terdapat 2 suara atau lebih. Musik ini mengutamakan harmonisasi nada sehingga

paduan suara atau bunyi diperhatikan dengan lebih detail. Gaya musik polifoniini

dikenal dengan musik organum. Menurut Scotus, musik organum merupakan suatu

lambang sempurna dari keindahan kosmos (Prier,1991:110). Kemunculan musik

organum menjadi awal dari perubahan dalam perkembangan musik barat.

Pembentukan musik organum dengan menambahkan nada pendamping pada melodi

utama. Suara kedua berjarak satu kwint dibawah melodi utama. Suara pokok disebut

dengan Vox Principalis dan suara tambahan disebut dengan Vox Organum.
89

Pada abad 12-13 terbentuk suatu aliran musik yang dikembangkan di Notre Dame

Paris dan di Inggris (Prier, 2009:18). Bentuk musik ini banyak mempengaruhi

perkembangan musik dalam Gereja. Pada masa ini muncullah bentuk musik motetus.

Komposisi musik motetus tidak berbentuk polifoni, namun bersifat polyritmis,

bentuk ini merupakan awal pembentukan suara berbeda dalam suatu lagu (Prier,

2009b:121). Musik yang terbentuk pada masa ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian

pertama disebut dengan musik rasional atau yang disebut musica mensura. Bentuk

musik ini banyak mencerminkan karya penciptaan Allah dan digunakan dalam

peribadatan. Bentuk musik yang kedua adalah musik emosional. Bentuk musik ini

tidak mengutamakan kata-kata sebagai unsur utama, namun irama, suasana yang

dibangun menjadi sasaran utama pembentukan musik ini. Musik seni terus

berkembang ke arah musik polifoni. Pada perkembangan selanjutnya, dikenal adanya

istilah Ars Antiqua dan Ars Nova. Istilah Ars Antiqua muncul pada tahun 1320.

Istilah ini muncul karena kemunculan istilah Ars Nova yang berarti seni musik baru.

Ars Antiqua berarti seni musik lama sebelum munculnya Ars Nova. Ars Antiqua erat

kaitannya dengan perkembangan sekolah Notre Dame (Prier, 1991:117). Di sisi lain,

muncullah Ars Nova sebagai bentuk perkembangan Ars Antiqua. Musik Ars Antiqua

dan Ars Nova tidak berhubungan langsung dengan komposisi musik, namun erat

kaitannya dengan pembentukan notasi. Ada perkembangan notasi dari waktu ke

waktu. Perkembangan tersebut mengubah bentuk notasi dari notasi sederhana hingga

notasi modern masa kini. Pada abad 14, komposisi para komposer berubah. Pada

awalnya para komposer banyak mengkomposisikan lagu-lagu proprium missae, yang


90

kemudian berubah hauan dengan dikomposisikannya musik-musik ordinarium

missae.

4. Zaman Renaissance (tahun 1450 – 1600)

Musik renaissance muncul pada sekitar tahun 1450-1600. kata ‘renaissance’

memiliki makna sebuah kelahiran kembali. Semua bentuk kesenian pada masa ini

seolah-olah dilahirkan kembali terhadap induk kebudayaan Eropa yakni budaya

Yunani – Romawi klasik. Pada masa ini, di Eropa terjadi banyak perubahan dalam

pandangan baru melalui penemuan-penemuan baru. Zaman Renaissance banyak

melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan (Prier, 1991:131). Apabila dilihat dari

seni musik, musik zaman Renaissance memiliki makna lahirnya suatu bentuk musik

yang lebih manusiawi daripada musik zaman pertengahan (Prier, 2009:20). Para

musisi mulai mengembangkan komposisi musik menjadi lebih sederhana, dengan

melodi yang mengalir dan harmoni yang lembut.

Ciri musik pada zaman Renaissance terlihat dari tehnik komposisi yang

digunakan. Karena musik zaman Renaissance lebih bersifat rasional sehingga

lahirlah sebuah tehnik yang sekarang disebut dengan teknik kontrapung. Teknik ini

merupakan teknik pengisian lagu dengan tambahan nada kedua pada sebuah lagu.

Teknik ini berkembang pada abad 15-16 (Prier, 2009b:95). Ciri lain yang terlihat dari

gaya musik zaman Renaissance adalah dalam hal pembentukan suara. Gaya musik
91

Renaissance dibentuk melalui pembentukan suara secara polifoni maupun a capella

(Prier, 2009b:181). Melodi yang muncul merupakan melodi sederhana dari lagu-lagu

gothik. Melodi yang sederhana ini terlihat lebih hidup karena pembentukan lagu

dalam penyajiannya disesuaikan dengan ritme nafas manusia (Prier, 1991:132).

Melodi yang sederhana ini hendak mengungkapkan isi dan perasaan yang termuat

dalam syair-syairnya.

Pada abad pertengahan, musik terbentuk dengan mengutamakan pandangan akan

ke-Allah-an atau yang sering dikenal dengan Teosentris. Pada zaman Renaissance

musik memiliki pandangan baru, musik dibentuk berdasarkan martabat pribadi

manusia atau disebut dengan antroposentris (Prier, 2009:20). Walaupun musik zaman

Renaissance banyak dibentuk berdasar martabat manusia, namun tidak menyurutkan

munculnya lagu-lagu yang digunakan dalam ibadat. Lagu zaman Renaissance yang

identik dengan musik ibadat disebut dengan musica sacra yang berarti nyanyian suci.

Musica sacra pada masa Renaissance banyak yang berbentuk polifoni. Nyanyian

polifoni sakra memiliki lebih dari satu suara yang terdiri atas cantus firmus dan motif

imitasinya. Pada nyanyan polifoni sakra sering ditambahkan suatu pola, aksen

ataupun variasi nada disonan untuk membentuk suara yang lebih dinamis. Tekstur

musik pada masa renaissance ini lebih menyatu sehingga kaya akan harmoni

(http://oase.kompas.com/polifoni accesed on 9 Januari 2010). Pembentukan musik

pada masa Renaissance mengawali perbedaan jalur antara musik profan dan musik

Gereja. Bentuk musik pada masa ini terbagi antara bentuk motet yakni musik
92

renaissance yang memiliki pandangan akan ke-Allaha-an) dan seni musik madrigal

yang lebih profan terhadap kehidupan dan sesama.

Musik renaisance dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni musik obyektif /

tradisional (stilo antico) dan musik subyektif/baru (stillo moderno) Yang termasuk

dalam kelompok musik obyektif adalah musik-musik Gregorian dan musik polifoni

yang didasarkan pada lagu Gregorian. Sedangkan musik subyektif adalah lagu-lagu

dengan gaya nyanyian yang menggunakan cantus firmus baru, dengan bentuk baru,

gaya baru dan bunyi baru. Seorang pemusik pada abad 15, Johannes Tinctoris (1435-

1511) menyatakan bahwa “musik adalah seni untuk mencetuskan syair dalam melodi

dan bunyi keseluruhan” (Prier, 2009:21)

Pada masa perkembangan musik renaissance komposisi utamanya diwarnai oleh

musik sakral seperti motet dan missae. Namun pada perkembangannya mulai

menyentuh bidang profan dengan disusunnya bentuk musik madrigal, bentuk musik

ini memiliki mutu dan kualitas yang sama dengan musik sakral.

a. Motet

Bentuk motet pada masa ini berbeda dengan bentuk motet lama atau yang lebih

dikenal dengan motetus. Motet yang berkembang pada abad 15 mengalami bentuk

perubahan yang sangat mendalam. Motet menjadi bagian dalam liturgi dan

menggunakan syair dalam bahasa Latin. bentuk motet terbagi menjadi dua macam,

yakni motet dengan cantus firmus dalam tenor dimana suara lainnya disusun secara
93

polifon atau homofon yang melengkapi cantus firmus sebagai sebuah kontrapung.

Bentuk motet yang kedua merupakan bentuk baru tanpa menggunakan cantus firmus,

dalam hal ini suara tenor disesuaikan dengan pembentukan suara lainnya (Prier,

1991:135). Bentuk motet pada masa ini dibentuk berdasarkan syair yang disusun.

Setiap potingan syair disusun dengan tambahan motif musik yang berbeda. Motif

motet yang didasarkan oleh pembentukan syair banyak dikembangkan oleh G.P.

Palestrina (Prier, 2009b:121).

b. Ordinarium Missae

Bagian-bagian utama dalam misa seperti Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus

Dei disusun dalam bentuk motet. Bagian-bagian lagu ini disusun menjadi sebuah

rangkaian lagu yang menyatu dalam liturgi (Prier, 1991:135). Karena bagian liturgi

tersebut disusun dalam sebuah rangkaian yang tetap maka disebut dengan “missae”

(Prier, 2009b:142). Pada jaman Renaissance, gubahan-gubahan banyak ditujukan

untuk menggubah ordinarium missae daripada proprium missae.

c. Madrigal

Pada abad 16, munculah sebuah bentuk musik baru yang disebut dengan musik

madrigal. Bentuk musik madrigal ini merupakan gubahan polifoni dari musik motet.

Bentuk musik madrigal menggunakan kata-kata profan atau dipergunakan di luar

kepentingan ibadat.
94

5. Zaman Barok (tahun 1600 – 1750)

Pada masa Renaissance, manusia dipandang sebagai citra Allah. Hal ini

menjadikan manusia sebagai patokan bagi ukuran keindahan seni. Namun pandangan

ini menjadi sebuah pandangan yang dangkal dan kering sehingga menyebabkan

adanya reaksi. Reaksi tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ejekan atau sindiran

terhadap seni renaissance. Namun pada perkembangannya, reaksi tersebut menjadi

suatu bentuk seni baru yang disebut dengan seni Barok. Seni yang berkembang pada

masa ini banyak mengangkat khayalan dan fantasi yang tinggi. Perkembangan seni

ini mengakibatkan suatu kesan yang mewah, megah namun bertolak belakang

dengan kondisi nyata pada masa itu (Prier, 2009:22). Masa perkembangan musik

barok terjadi antara tahun 1600 – 1750. Jaman barok dikenal sebagai masa transisi

antara jaman Renaissance ke arah jaman klasik. Kata ‘Barok’ dipakai pertama kali

pada tahun 1750. Kata ini diartikan sebagai sebuah bentuk mutiara yang tidak

berbentuk secara wajar. Makna ‘barok’ sering dinilai dari sudut pandang negatif.

Dalam hal musik pun tidak luput dari penilaian negatif ini. Hal ini dikarenakan

harmoni yang terbentuk pada masa barok dianggap kurang memiliki makna yang

jelas, dibentuk dengan melodi yang sulit dan kurang wajar, kaku (Prier, 1993:7). Hal

ini menjadi perwujudan dalam seni yang muncul pada masa itu

(http://id.wikipedia.org/wiki/music accesed on 15 Januari 2010).

Musik pada jaman barok memiliki pembentukan suasana tunggal. Lagu yang

dibentuk mencerminkan sebuah emosi tunggal. Pembentukan musik barok jarang


95

menggunakan perubahan nada dasar atau yang sering disebut dengan modulasi.

Bentuk musik dipengaruhi oleh bentuk arsitektur bergaya lebar dan penuh lengkung

seperti kubah (Banoe, 2003:45). Musik barok yang memiliki tempo lebih lambat dan

teratur mampu menumbuhkan perasaan tenang. Perasaan tenang yang muncul

mampu menstimulasi sel-sel otak untuk menerima masukan data ketika belajar

maupun bekerja (Campbell, 2002:96). Musik pada jaman ini banyak dipengaruhi

oleh Basso Continuo yakni iringan yang diiringi organ dan dipadukan dengan

improvisasi (Prier, 2009:16).

Selama abad 17-18, musik diciptakan dan dipentaskan di istana, gereja katedral,

gedung opera, bahkan hingga ke sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan karena tidak

adanya pemisahan antara musik gereja maupun musik duniawi. Meskipun begitu

tetap ada pembagian musik secara fungsional (Prier, 2009:23). Hal ini menyebabkan

munculnya musik-musik baru dalam gereja seperti opera, oratorio,pasio.

a. Opera

Munculnya opera masa barok didasarkan pada kebudayaan Yunani klasik yang

dihidupkan kembali di masa renaissance. Opera pada masa Barok dimulai di daerah

Florence, Italia Utara. Pada perkembangannya, kesenian Yunani klasik kembali

dihidupkan dengan suatu pola seni yang baru. Pengembangan seni drama Yunani

dipandang suatu bentuk perpaduan yang sempurna antara seni sastra, musik dan

tarian (Prier, 1993:16). Dalam perjalanannya, opera lebih dikenal sebagai sebuah

karya musik utuh yang menyuguhkan suatu cerita dramatis profan. Karya musik ini
96

didukung dengan penyampaian dalam bentuk sastra, dekorasi yang disesuaikan

dengan temanya, dan tingkah laku atau gerak-gerik para pemainnya (Prier,

2009b:140). Pada dasarnya, bentuk opera dibagi menjadi beberapa bagian :

1) Overture : pembukaan yang berbentuk instrumental

2) Resitatif : pembawaan cerita oleh seorang solis

3) Aria : lagu melodi yang diiringi oleh orkestra

4) Chorus : lagu paduan suara sebagai tanggapan

5) Ritornello : sisipan lagu antar babak

b. Oratorio

Oratorio merupakan suatu karya musik yang disusun dengan syair rohani dan

struktur yang dramatis namun tidak dipentaskan di panggung (Prier, 2009:25).

Oratorio mulai muncul pada tahun 1640. Sebelumnya seni oratorio merupakan suatu

gerakan devosional yang tidak hanya mencakup kegiatan yang dilaksanakan di dalam

Gereja. Karena tidak ada ikatan yang kuat terhadap peraturan ibadat sehingga

oratorio disusun secara bebas. Penyusunan oratorio secara bebas disusun dengan

merangkai kata dalam doa, Kitab Suci, atau nyanyian yang sudah ada yang disebut

dengan Laudi. Laudi dibawakan secara solo dan mencakup nada yang sederhana.

Kesederhanaan nada tersebut mulai dikembangkan dengan bentuk dialog. Setelah itu,

oratorio mulai didasarkan pada Kitab Suci yang diselingi dengan nada-nada dramatis.

Oratorio dibedakan menjadi dua macam yakni Oratorio Latino yang menggunakan
97

bahasa Latin, sedangkan yang satunya disebut dengan Oratorio Volgare yakni bentuk

oratorio yang menggunakan bahasa pribumi (Prier, 1993:34-35).

Kata ‘oratorio’ berarti ‘ruang doa’. Namun pada perjalanan waktu, makna ini

dapat dimaknai sebagai ruang rohani. Oratorio berhasil menarik perhatian sebagian

kalangan karena memiliki kekhasan musik barok. Hal ini juga menggugah perhatian

Gereja, karena dalam oratorio menggunakan teks atau syair yang berasal dari Kitab

Suci ditambah dengan renungan dan unsur pengajaran (Prier, 1993:36). Ada banyak

sekali gubahan oratorio, gubahan oratorio yang paling dikenal adalah oratorio “The

messiah” karya GF. Handel. Oratorio ini menceritakan mengenai kehidupan Yesus

Kristus sebagai seorang pahlawan dan Raja bagi umat manusia, selain itu oratorio

lain yang terkenal adalah oratorio “Judas Maccabeus” yang menceritakan mengenai

perang Yudas Makabe (Prier, 1993:36-37).

c. Pasio

Sebelum mengenal pasio, ada baiknya mengenal kantata. Kantata mulai

berkembang di Jerman pada pertengahan abad 17 (Prier, 2009b:83). Kantata

digunakan dalam kebaktian pada hari minggu, kantata diletakkan pada sebelum atau

sesudah kotbah. Sedangkan pasio merupakan bentuk kantata dalam versi yang

panjang.

Pasio berasal dari kata “Passio” dalam bahasa Latin yang berarti sengsara. Yang

menceritakan mengenai kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus. Pada abad 18, muncul
98

banyak sekali pasio, namun pasio yang sampai saat ini dikenal adalah Pasio Yohanes

(Johannes-Passion) yang dibentuk oleh GF. Handel dan Pasio Mateus (Matthaus-

Passion) karya JS. Bach (Prier, 2009b:153). Kedua pasio ini merupakan puncak dari

perkembangan pasio dan masih digunakan hingga saat ini.

6. Zaman Klasik Wina (tahun 1750 – 1800)

Musik klasik pada dasarnya bukan merupakan nama sebuah bentuk aliran musik.

Kata klasik mengacu pada 3 periode yang cukup populer pada masa itu. Istilah klasik

diambil dari satu masa yang merupakan puncak perkembangan musik pada masanya.

Tiga periode tersebut sering disebut dengan Jaman Barok (th 1600 – 1750), Jaman

klasik Wina (th 1750 – 1800), Jaman Romantik (th 1800 – 1900).

Musik klasik sering dipahami sebagai bentuk musik yang bernilai seni yang

tinggi,memiliki unsur keindahan yang tidak akan luntur sepanjang masa.

Berdasarkan Friederich Blume, musik klasik sering dipahami sebagai suatu bentuk

musik yang mampu menyatukan segala bentuk ekspresi sehingga terciptalah suatu

bentuk ekspresi baru yang meyakinkan dan mampu bertahan terhadap jaman (Prier,

2009b:90). Musik klasik sering mengacu pada suatu bentuk musik klasik Eropa.

Namun keadaan ini tidak menutup kemungkinan adanya musik klasik dari bentuk

seni yang lain. Seperti musik dan seni gamelan klasik, musik dan seni ini tidak

bergantung pada seni klasik barat.


99

Pada pertengahan abad 18 muncullah istilah Aukflaerung, dimana manusia lewat

daya pikirnya mencapai suatu pengertian baru yang makin dewasa dan memberikan

kebebasan kepada setiap orang. Perubahan jaman ini memunculkan bentuk musik

yang baru. Pada musik klasik, perasaan dan sikap manusia diungkapkan secara lebih

lugas. Musik klasik terus menerus dikembangkan, walaupun tidak secepat

perkembangan musik yang lainnya. Musik klasik terlihat khas pada bentuk notasi

musik yang sudah mulai dikembangkan semenjak abad ke-16. Pembentukan notasi

musik klasik sering dipergunakan oleh para komponis untuk memberi petunjuk

mengenai tinggi nada, kecepatan dan ritmis yang digunakan. Musik klasik memiliki

cirinya tersendiri dibandingkan dengan masa yang lainnya.

Ciri yang sering ditemui dalam musik klasik antara lain dalam penggunaan

dinamika yang berubah dari keras menjadi lembut, dari yang dominasi crescendo

menjadi decrescendo. Selain itu, dalam musik klasik sering terjadi adanya perubahan

tempo musik dengan adanya accelerando (semakin cepat) dan ritardando (melambat).

Adanya pembatasan penggunaan ornamentik dalam lagu klasik dan dimulainya

penggunaan akor dengan 3 nada (Prier, 1993:83)

Musik pada jaman klasik tidak memiliki keleluasaan gerak untuk adanya suatu

bentuk improvisasi. Musik klasik memiliki rentang waktu yang cukup panjang.

Musik klasik memiliki beberapa pengelompokan yang berhubungan satu dengan

yang lain. Musik klasik memiliki bentuk suara yang jernih, penuh dengan
100

keanggunan, menghantarkan pada suasana hening hingga memasuki keheningan

batin. Hal terbaik dari musik klasik adalah musik klasik menjadi elemen dasar semua

musik modern di era selanjutnya. Ada ungkapan “musik klasik tidak akan pernah

mati”.

a. Opera Klasik

Opera pada jaman klasik merupakan perkembangan dari opera yang muncul pada

masa barok. Pada masa barok, opera berkembang dengan dua bentuk yang berbeda

yakni opera seria atau yang sering disebut dengan opera seriosa. Sedangkan bentuk

yang lain disebut dengan opera buffa atau opera jenaka. Yang membedakan opera

Barok dan Opera Klasik adalah teknik bernyanyi yang disesuaikan dengan unsur

musik klasik. Di Prancis opera dibagi menjadi Grand Opera dan Opera Comique.

Grand opera lebih cenderung sebagai suatu seni tinggi bagi kalangan bangsawan.

Sedangkan opera comique dikarang dengan berdasar kehidupan nyata masyarakat

bawah yang tinggal di desa ataupun di pedalaman (Prier, 1993: 82-86).

b. Musik Gereja

Musik Gereja pada periode ini memiliki suatu pandangan yang berbeda. Musik

Gereja klasik mampu mencerminkan suatu optimisme dan pandangan yang luas.

Manusia pada abad 18 mendapat pengaruh dari para filsuf bahwa mereka merasa satu

diri dengan dunia sekitarnya bukan didasarkan pada keimanan semata, namun segala

yang berkaitan dengan kehidupannya termasuk iman dapat dijelaskan secara logika.

Dengan mulai terpisahnya musik antara musik profan dan musik Gereja, maka
101

semakin luaslah pandangan Gereja terhadap musik yang ada di dalamnya.

Keterbukaan ini memunculkan suatu bentuk baru musik dalam Gereja. Terkadang

karya yang diciptakan dalam musik Gereja menjadi terlalu megah sehingga

mengurangi unsur kekhusukan dalam liturgi.

7. Zaman Romantik (tahun 1800 – 1900)

Musik romantik berkembang pada tahun 1820-1910. Musik romantik

memberikan penekanan pada perasaan manusia, hubungan manusia dengan alam,

inspirasi yang diambil dari dunia khayalan. Musik romantik lebih menekankan pada

perasaan dalam bermusik yang tidak hanya terbatas abad 19. Perkembangan musik

romantik banyak dipengaruhi adanya Revolusi Jerman pada tahun 1830 dan 1848.

Revolusi tersebut pada akhirnya mengarah ke situasi yang didasarkan pada

demokrasi. Perkembangan ekonomi dan sosial yang sangat cepat. Begitu pula dengan

kesenian yang akhirnya diurusi oleh elemen masyarakat itu sendiri. Hal ini

menyebabkan kesenian tidak hanya dipertunjukkan di gedung pementasan ataupun

gedung opera, namun bisa masuk ke kalangan kehidupan masyarakat bawah seperti

di rumah. Adanya perubahan tersebut membawa manusia kembali kepada impian dan

khayalannya, hal inilah yang menyebabkan musik yang dibentuk pada jaman ini

didasarkan pada kehidupan khayalan dan impian yang indah penuh dengan

romantisme (Prier, 2009:31).


102

Menurut Fr. Blume, musik klasik dan romantik memiliki suatu keterkaitan erat

karena dua bentuk musik tersebut berada dalam satu jaman yang sama. Namun

sedikit demi sedikit bentuk musik yang berkembang pada abad 18 mengalami

perubahan dan perkembangan hingga pertengahan abad 19 (Prier, 1993:125). Hal ini

terlihat dari pembentukan harmoni. Pembentukan harmoni klasik dikembangkan

dengan adanya tambahan nada kromatis dan ditambahkannya nada-nada enharmonik

yang mampu melampaui batas tonalitas.

Musik pada jaman romantik dialami sebagai musik yang berasal dari dalam jiwa

dan pengungkapan alam melalui nada (Prier, 2009:31).hal ini menyebabkan tema

yang sering muncul dalam musik romantik antara lain bertemakan romantisme

terhadap sesama manusia maupun terhadap alam, individual, nasionalisme, hingga

sesuatu hal yang berbau mistis. Musik pada jaman romantik lebih mengandalkan rasa

simpati dan kasih sayang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis musik terutama

musik gereja yang berpangkal pada syairnya ingin mengungkapkan suatu pesan

tersendiri. Oleh karena itu, pembentukan musik jaman romantik tidak hanya berpusat

pada teknik dan bentuk musik namun juga mengena pada jiwa. Musik yang dibentuk

mampu memunculkan efek terhadap ekspresi dan perasaan seseorang (Campbell,

2002:79). Pembentukan musik ini ditandai dengan adanya perubahan dinamika dan

tempo pada musik. Dengan keyakinan dalam membawakan musik tersebut namun

menghasilkan bentuk musik yang menarik.


103

Beberapa bentuk musik yang muncul pada masa romantik ini adalah beberapa

lagu solo yang dipadukan dalam misa, opera, dan oratorio. Musik romantik sedikit

menunjukkan perbedaan dengan musik klasik. Musik klasik memiliki bentuk yang

lebih rasional sedangkan musik romantik mempergunakan perasaan dalam

pembentukan musiknya.

8. Perkembangan Musik Abad 20

Musik pada abad 20 memiliki suatu perbedaan yang signifikan dibandingkan

dengan musik-musik pada masa sebelumnya. Musik dalam budaya Barat tidak begitu

saja dipahami. Adanya pandangan-pandangan dari budaya luar yang lebih

diperhatikan, mampu mengubah pandangan atau paradigma mengenai cara pandang

dan pendekatan terhadap suatu aliran musik. Perbedaan yang terlihat antara musik

sebelum abad 20 dan sesudah abad 20 terlihat dari jalannya arus musik yang sedang

berkembang pada masa tersebut. Musik pada abad 20, tidak dapat dipandang dari

satu sisi. Hal ini dikarenakan munculnya banyak aliran musik yang bersamaan.

Banyaknya bentuk musik yang muncul ini memunculkan adanya persilangan gaya

antara arus musik yang satu dengan yang lainnya (Mack, 1995:3).

a. Impresionisme / simbolisme

Perkembangan musik pada abad 19 diwarnai dengan banyaknya gaya dan

perwujudan ekspresi individual. Pergantian abad memunculkan adanya perubahan


104

yang mendasar terhadap gramatikal musik dan paradigma tentang musik modern.

Perubahan paradigma ini banyak dipengaruhi dengan adanya perubahan situasi sosial

dan politik di Eropa. Perubahan ini tidak terjadi secara langsung namun upaya

perubahan yang cukup tinggi menimbulkan reaksi keras masyarakat (Mack, 1995:9).

Kata impresionisme muncul sebagai suatu reaksi terhadap seni yang realistis, hal

ini menyebabkan impresionisme dikenal sebagai suatu aliran realisme spontan.

Impresionisme sering diidentikkan dengan karya lukis yang dibentuk dalam segmen

atau titik kecil. Hal ini menuntut adanya suatu imajinasi bagi para penikmat lukisan

seni impresionisme. Namun berbeda halnya dengan musik impresionisme. Aliran

musik impresionisme memfokuskan pada kejernihan musik yang tercipta. Tidak jauh

berbeda dengan aliran simbolisme. Aliran simbolisme dapat dipahami sebagai suatu

aliran yang mengutamakan cara pandang atau tafsiran pribadi. Setiap simbol mampu

menunjukkan ekspresi atau kesan tertentu. Dalam hal seni musik, dapat dipahami

bahwa musik simbolisme dipandang dari sudut komposer yang menimbulkan kesan

adanya suatu makna yang tersembunyi dalam penciptaan karya musiknya. Beberapa

tokoh menyebutkan bahwa musik dapat bertolak dari sesuatu hal yang sederhana dan

abstrak, namun memiliki makna yang luar biasa (Mack, 1995:13)

b. Individualisme

Musik bersifat abstrak dan mencakup sesuatu hal yang kompleks. Cara yang sering

digunakan untuk mendekati musik abad 20 berpangkal dari sikap pribadi seniman

yang bersangkutan (Mack, 1995: 93).


105

c. Ekspresionisme

Musik pada masa ekspresionisme lebih mengutamakan suatu pengungkapan ekpresi

diri para komposernya. Ekspresionisme merupakan suatu bentuk seni yang subyektif

dan bersifat egosentri. Hal ini dikarenakan musik yang dibentuk pada masa

ekspresionisme tidak mementingkan pada materi yang dimiliki. Pada masa

ekspresionisme ini, unsur manusia lebih diutamakan sebagai unsur dasar

pembentukan ekspresi (Mack, 1995:149).

9. Pluriformitas Musik Abad 20

Abad 20 merupakan abad pembaharuan dalam bidang musik. Ada banyak

perbedaan sosial dan ekonomi yang terjadi. Musik pada abad 20 tidak adanya

hukum-hukum dan aturan-aturan yang terlalu mengekang. Perkembangan musik

pada abad ke-20 tidak dapat dipahami dalam satu arus musik saja (Mack, 1995:3).

Munculnya banyak aliran musik baru menunjukkan banyaknya minat seseorang

terhadap perkembangan musik. Munculnya suatu bentuk musik yang baru memiliki

tantangannya tersendiri. Ada banyak pihak yang berusaha mempertahankan tradisi

lama, namun ada pihak yang menginginkan adanya suatu bentuk pembaharuan.

Adanya kritikan dan usulan baik pada bidang seni maupun sosial mampu

menyadarkan banyak kalangan akan adanya suatu pegangan yang pasti dalam

pembentukan musik baru.


106

Ada pluralisme musik yang berkembang yang memberikan nuansa berbeda-beda.

Musik yang semakin lama semakin berkembang tidak hanya dikenal di tempat

asalnya sendiri. Bentuk-bentuk musik barat yang banyak diadaptasi di Indonesia.

Sebaliknya, musik Indonesia semakin berkembang dan mulai banyak dikenal di

mancanegara. Musik tidak hanya menjadi milik suatu kelompok tertentu dan hanya

dinikmati oleh kalangan tertentu. Musik menjadi sebuah bentuk pengungkapan

ekspresi yang bebas. Musik mampu menyentuh sudut kehidupan sederhana yang

dipadukan dengan kreatifitas dan jiwa seni akan menghasilkan suatu bentuk musik

yang bercitarasa tinggi.

a. Pluriformitas Musik Profan

Secara umum, musik berkembang semakin pesat dan memunculkan bentuk-

bentuk baru. Musik yang mampu mengungkapkan ekspresi seseorang. Secara luas,

setiap manusia mampu membentuk musik yang disesuaikan dengan karakter

pribadinya. Sebagai contoh ada beberapa bentuk musik profan yang mampu

mewakili kepribadian manusia.

1) Jazz

Musik jazz mulai berkembang pada akhir abad 19 di daerah Amerika serikat

bagian selatan. Musik jazz merupakan bentuk perpaduan antara bentuk musik tradisi

Afrika yang bertemu dengan musik tradisi Eropa. Musik jazz memiliki suatu bentuk

ciri yang berbeda dengan bentuk musik lainnya. Perbedaan karakter antara musik
107

jazz dengan musik lainnya terletak pada perubahan aksen dan kemampuan musik

jazz untuk membentuk improvisasinya sendiri (Campbell, 2002:97).

Improvisasi yang dihasilkan oleh musik jazz didasarkan pada suatu bentuk chorus

atau refren yang diulang. Melodi, irama dan harmonisasi yang terdapat dalam musik

jazz dibentuk, divariasi, dan disesuaikan dengan karakter para pemainnya.

Pengulangan dan penggubahan yang disesuaikan dengan ciri tiap-tiap karakternya

menunjukkan adanya suatu kebebasan dalam bermusik. Namun di pihak lain,

improvisasi yang dibentuk menunjukkan adanya suatu kekurangan dalam musik jazz.

Musik jazz tidak terpaku pada suatu bentuk notasi musik dan birama, baru pada

akhir-akhir ini musik jazz diberikan notasi musik, tempo, dan birama yang teratur

(Prier, 2009b:78).

2) Rock

Musik rock dipahami sebagai suatu bentuk musik populer yang berakar pada

bentuk musik rock and roll. Istilah ini muncul dari bahasa orang negro di daerah

Amerika Utara. Kata ini secara harafiah berarti sebagai suatu gerakan erotis dalam

dansa pergaulan masyarakatnya. Musik rock memiliki ciri khasnya sendiri seperti

musiknya yang berirama blues dan dimainkan dengan tempo yang cepat (Prier,

2009:188).

Musik rock muncul pada awal tahun 1950-an, dan merupakan suatu bentuk

penggabungan beberapa genre musik yang dibentuk pada akhir 1940-an. Perbedaan
108

antara musik rock dengan musik yang lainnya terletak pada pembagian musik

menjadi sub genrenya. Bentuk musik lain dibagi berdasrkan bentuk musik yang

dipadukan dengan ciri khas tertentu. Sedangkan musik rock dibagi berdasarkan level

kerasnya suara yang dihasilkan. Pada awalnya, musik rock disuguhkan sebagai

musik yang mampu dinikmati oleh seluruh kalangan

(http://id.wikipedia.org/wiki/music accesed on 16 Januari 2010). Namun semakin

lama, musik rock sama dengan musik lain dengan adanya pengembangan dan

penggabungan bentuk musik lainnya.

3) Pop

Lagu pop merupakan salah satu bentuk musik yang memiliki suatu batasan yang

semu. Ada beberapa bentuk musik yang pada akhirnya digabungkan menjadi satu

keluarga dengan musik pop. Keberadaan musik pop menjadi suatu fenomena

tersendiri dalam perkembangan musik dunia. Ada banyak sekali kritikan yang terus

muncul guna memperbaiki kualitas musik pop. Selain itu juga diharapkan bahwa

musik pop mampu menyampaikan pesan-pesan yang jelas dan lugas kepada para

pendengarnya (Lea, 2008:15)

Musik tidak pernah memiliki batasannya secara nyata. Aliran musik akan

mempengaruhi bentuk musik yang lainnya dan akan dipengaruhi oleh bentuk musik

yang lainnya pula. Musik pop berasal dari kata dalam bahasa Inggris populer yang

memiliki makna sebuah dorongan atau letusan. Hal ini muncul dari situasi sosio

budaya di Eropa Barat pada tahun 1960-an. Musik pop merupakan suatu bentuk
109

pengolahan secara komersial antara musik rakyat dan musik seni (Prier, 2009b:166).

Munculnya musik pop ingin menyampaikan ungkapan ketidakpuasan masyarakat

luas yang merasa terasing dari dunia seni (Lea, 2008:17).

Musik pop memiliki ciri yang mudah dibedakan dari bentuk musik lainnya.

Musik pop mengangkat sisi kesederhanaan dalam bermusik. Musik pop mampu

disamakan dengan bentuk musik hiburan yang mudah untuk diperdengarkan secara

umum demi tujuan komersial. Melodi yang tersusun dipilih pada bentuk yang ringan

dan harmonis. Musik pop banyak memiliki tema yang hampir sama, seperti tema

cinta, kehidupan. Tema yang sangat memasyarakat ini dipadukan dengan

kesederhanaan musik pop merupakan salah satu cara agar bentuk musik ini dapat

diterima di dalam masyarakat dengan mudah (Lea, 2008:18). Namun hingga

munculnya bentuk musik ini di Indonesia, musik pop tidak mengalami perubahan

bentuk musik yang signifikan. Hal ini juga karena tidak adanya suatu bentuk

perubahan dari generasi ke generasi dalam penggubahan liris (Prier, 2009b:166).

b. Pluriformitas Musik dalam Gereja

Perkembangan musik tidak hanya terjadi di luar lingkup Gereja. Di dalam

lingkungan Gereja, perkembangan musik bertumbuh dengan cepat. Pembaharuan

musik dalam Gereja semakin didukung oleh munculnya motu proprio “Tra le

Sollicitudo” pada tahun 1903 yang cukup berimbas pada perkembangan musik
110

selanjutnya. Langkah awal ini dilanjutkan dengan adanya suatu gerakan

pembaharuan liturgi pada tahun 1930 hingga Konsili Vatikan II. Gerakan ini

menimbulkan suatu perkembangan baru terlebih pada musik Gereja, dimana musik

Gereja tidak hanya dibatasi oleh sebuah kelompok namun juga menggunakan bahasa

pribumi dan umat turut berpartisipasi aktif dalam nyanyian (Prier, 2009:37-38).

Musik Gereja yang semakin maju menghasilkan bentuk-bentuk baru yang masih

berkembang hingga saat ini seperti :

1) Musik Kontemplatif – Taize

Musik Taize muncul dari suatu komunitas ekumenis yang didirikan oleh Frere

Roger yang didirikan pada tahun 1940 di daerah Taize, Perancis. Kehidupan dalam

komunitas ini difokuskan pada doa dan meditasi. Sesudah terjadinya Perang Dunian

II, komunitas Taize semakin berkembang dan mampu mengundang banyak

perhatian. Perhatian terhadap komunitas Taize ini sebagian besar dari kaum muda

yang berasal dari seluruh belahan dunia. Karena semakin lama perkembangan Taize

mencakup segala penjuru dunia, sehingga disusunlah suatu bentuk musik meditatif

yang disesuaikan dengan karakter kaum muda.

Musik yang muncul dari komunitas taize menekankan suatu bentuk ungkapan

yang sederhana. Ungkapan tersebut dapat diambil dari pengulangan mazmur atau

bagian dalam Kitab Suci. Selain itu bentuk musik taize dapat berbentuk ulangan-

ulangan atau bisa berbentuk kanon. Pengulangan ini dimaksudkan guna

memfokuskan diri dan pikiran pada suatu ketenangan batin yang mengarah pada
111

Allah. Komunitas Taize merupakan suatu kelompok ekumenis, hal ini dikarenakan

setiap orang yang datang ke komunitas ini dapat langsung bergabung tanpa

membedakan imannya (http://id.wikipedia.org/wiki/komunitas_taize accesed on 26

Januari 2010).

2) Musik Pujian

a) Karismatik : Gerakan karismatik mendasarkan keimanannya pada adanya

suatu bentuk manifestasi Roh Kudus yang dipercayai dan dipraktekkan sebagai

pengalaman pribadi. Kata karismatik berasal dari sebuah kata Yunani “Charis” yang

berarti kasih karunia. Hal ini semakin menjelaskan bahwa di dalam alkitab adanya

berbagai bentuk pengalaman supranatural akan keAllahan

(http://id.wikipedia.org/wiki/gerakan_karismatik accesed on 26 Januari 2010).

b) Pop Rohani : musik pop rohani dibentuk dengan suatu tujuan yang khusus.

Pembentukan musik pop rohani ditujukan secara utama sebagai suatu bentuk hiburan

yang memiliki suasana dan bobot rohani. Ada banyak bentuk lagu pop rohani yang

akhirnya digunakan secara komersial di luar kegiatan ibadat. Bahasa yang digunakan

dalam musik pop rohani ini terasa sangat ringan, menggunakan banyak bentuk

bahasa sehari-hari. Isi syair kurang menyentuh segi alkitabiah. Namun tetap

bertujuan untuk menyapa Allah. Musik yang dihasilkan lebih ringan daripada musik

yang digunakan dalam liturgi (Prier, 2007:99)

c) Gospel : kata ini diambil dari Bahasa Inggris yang berarti ‘Injil’. Jenis musik

gospel mulai berkembang di daerah Amerika Utara. Perkembangan musik gospel


112

didominasi oleh orang Amerika berkulit hitam. Musik gospel sering disebut dengan

musik yang berkembang dalam lingkup budaya negro spiritual. Semenjak tahun

1930, musik gospel berkembang sejalan dengan perkembangan musik jazz.

Perkembangan musik gospel yang semakin komersil mengubah wajah dan jiwa asli

musik ini sebagai bagian dari lagu rohani (Prier, 2009b:57).

3) Musik Inkulturasi

Gereja di Indonesia dengan segala keanekaragaman budayanya telah memulai

fase inkulturasi liturgi pada sekitar tahun 1956-1957. Langkah awal inkulturasi

dimulai di daerah Indonesia timur. Pada akhir 1956, Keuskupan Semarang memulai

untuk menciptakan suatu bentuk liturgi yang khas Jawa (Prier, 2007:7). Ada banyak

sekali bentuk inkulturasi yang masih menunjukkan keindahannya hingga saat ini.

Salah satunya yakni liturgi yang menggunakan unsur musik daerah sebagai

pengiringnya. Contoh yang masih langgeng hingga saat ini yakni masih

dipergunakannya gamelan pada misa setiap hari Minggu di Gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran. Proses inkulturasi yang terjadi di paroki ini telah berlangsung selama

bertahun-tahun lamanya. Hal ini dikarenakan umat di lingkup Gereja Hati Kudus

Yesus banyak yang asli pribumi dan lokasinya masih sangat dekat dengan Kraton

Yogyakarta.
113

B. Perkembangan Lagu Gregorian

1. Lagu Gregorian pada abad I - X

Mulai abad pertama, perkembangan Gereja sudah menyebar hingga kawasan

Eropa selatan. Perkembangan musik Gereja tidak berhenti begitu saja. Pada tahun

313, dikeluarkan edik Milano. Dengan diberlakukannya edik Milano, Gereja mulai

tampil secara terang-terangan di kalangan umum dan kekaisaran Roma. Pada abad

IV ini pula, perayaan ibadat yang berkembang pesat di Roma tidak lagi diadakan

secara tersembunyi dalam suatu katakombe, tetapi dilakukan secara resmi dalam

suatu gereja (basilika) bahkan hingga turun ke jalan dalam suatu bentuk prosesi.

Selain itu berkembanglah bentuk musik baru yang dikembangkan oleh Uskup

Ambrosius (333-397). Karena perlawanan kaum Arian, Uskup Ambrosius sering

terkurung di dalam gereja bersama dengan umatnya. Kejadian ini menggugah uskup

Ambrosius untuk semakin menguatkan iman umat dengan berlatih menyanyikan

suatu bentuk nyanyian sederhana yang mudah dinyanyikan bersama-sama. Nyanyian

ini antara lain himne/madah yakni suatu nyanyian berbait dengan syair baru (bukan

dari Kitab Suci). Musik gereja kini disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan

setempat. (Prier, 1994:36)

Hal ini berkembang hingga abad ke VI hingga berkembanglah nyanyian ibadat

yang sedemikian subur. Pada masa ini di dalam gereja dikenal adanya solis, namun

selain itu terdapat pula sekelompok penyanyi yang terlatih (schola). Dengan begitu
114

semakin terbukalah jalan untuk pengembangan lagu yang lebih bernilai seni.

Perkembangan musik dalam Gereja menggugah hati Paus Gregorius (540-604)

merasa perlu mengatur lagu-lagu yang dipergunakan dan lahirlah apa yang kemudian

disebut dengan lagu Gregorian (Prier, 1994:37).

Gregorius Agung, seorang rahib Benediktin dinobatkan menjadi paus

menggantikan Pelagius II pada tanggal 3 September 590. Paus Gregorius Agung

mengatur Cantus Planus (berasal dari bahasa Latin, dengan arti harafiah lagu datar),

sebagaimana diajarkan pada sekolah menyanyi (Schola Cantorum) di Roma yang

didirikan oleh Gregorius Agung. Selanjutnya Paus Gregorius juga mengumpulkan

banyak tenaga pengajar untuk mengajar musik Gereja dalam suatu institut di Roma.

Para uskup dapat mengirimkan para penyanyi-penyanyinya yang berbakat menjadi

siswa dalam institut tersebut. Dengan demikian terbentuklah suatu keseragaman

keindahan musik ibadat yang mulai digunakan dalam gereja-gereja di Eropa. Beliau

juga mengirim banyak sekali orang ke luar negeri untuk mendirikan sekolah dan

Gereja, juga untuk menyebarkan lagu tersebut ke negara-negara di wilayah

Eropa(Prier, 1991:101).

Paus Gregorius memperhatikan secara resmi bidang liturgi yakni semua hal yang

berkaitan dengan ibadat resmi Gereja yang lebih banyak dirayakan dengan musik dan

nyanyian. Dalam hal ini, Paus Gregorius berfungsi sebagai seorang Kompilator,

yaitu pengumpul melodi-melodi yang ada pada waktu itu mejadi sebuah kumpulan

tersendiri. Kemudian sebagai pemimpin tertinggi Gereja, beliau memerintahkan


115

adanya penggunaan kumpulan nyanyian ‘Antiphonale Gregorianum’ untuk

digunakan secara resmi sebagai nyanyian resmi pada ibadat resmi (Prier, 1991:98).

Paus Gregorius Agung sendiri turut berpartisipasi dalam pembentukan dinamika

keindahan khusus dalam Lagu Gregorian berdasarkan pada jiwa lagu Gregorian yang

mencerminkan suatu ketenangan. Pihak yang cukup berjasa dalam pengembangan

lagu Gregorian ini sendiri adalah Ordo Benediktin. Paus Gregorius Agung

menyatakan bahwa keindahan yang mutlak dan mulia dari Lagu Gregorian adalah

berdasarkan adanya suatu kontemplasi dan sifat mistik yang diekspresikan dalam

lagu Gregorian ini. Peran Paus Gregorius memberikan perubahan dalam

perkembangan bentuk lagu Gregorian. Lagu Gregorian memiliki bentuk gaya

neumatis. Kata neuma berarti isyarat atau aba-aba. Bentuk gaya neumatis ini berasal

dari musik dalam biara rahib Benediktin yang sering disebut sebagai pelopor

kebudayaan Eropa.

Lagu Gregorian semakin berkembang terus dari abad ke abad sehingga lebih tepat

disebut dengan sebuah ‘tradisi’ yang menjadi tulang punggung musik Gereja pada

abad pertengahan. Hingga awal abad X, keseluruhan lagu Gregorian ini menjadi

sebuah tradisi lisan karena berupa musik jemaat yang tidak dibukukan. Lagu tersebut

dinyanyikan dalam bahasa Latin yang dimengerti oleh seluruh umat ketika itu karena

umat masih berada dekat dengan pusat kota Roma.


116

2. Lagu Gregorian setelah Abad X

Pada Abad X, mulai dikembangkannya sistem notasi musik terlebih di daerah

Eropa, termasuk dengan penulisan sistem notasi bagi lagu Gregorian. Penulisan

sistem notasi ini dikarenakan semakin lama lagu Gregorian hanya dinyanyikan oleh

kelompok paduan suara sejenis. Yang khusus dalam liturgi Gereja adalah komposisi

penyanyi yang hanya terdiri dari paduan suara pria saja. Tradisi ini merupakan

kebiasaan dan menjadi tradisi di Yerusalem. Di kemudian hari, bentuk musik

unisono dilanjutkan sebagai sebuah tradisi dalam Gereja.

Musik gereja yang lebih mengacu pada lagu Gregorian memerlukan penyanyi dan

paduan suara yang terlatih dengan baik. Pada saat itu, kebutuhan tersebut hanya

terdapat di biara-biara atau seminari saja. Hal itu membuat umat semakin pasif dalam

mengikuti Perayaan Ekaristi. Penulisan sistem ini membuat Gregorian menjadi

sebuah warisan atau tradisi liturgi yang mengikat.

Gereja telah berulang kali mengeluarkan suatu peraturan yang mengatur kembali

tentang lagu liturgi, namun kenyataannya berbeda dengan teori tersebut. Sebagai

jalan keluar, sejak abad 13 imam harus mengucapkan semua teks liturgi meskipun

nyanyian tersebut dibawakan oleh paduan suara. Dengan demikian musik gereja

tidak lagi menjadi suatu bagian yang integral dalam ibadat tetapi menjadi suatu

hiasan atau tambahan saja. Hal itu menyebabkan adanya jurang pemisah antara

liturgi ‘resmi’ yang dirayakan oleh pemimpin ibadat dengan musik gereja yang tidak
117

harus sesuai dengan liturgi resmi karena hanya bersifat sebagai tambahan. Liturgi

lebih dikuasai oleh individualisme dan subjektivisme.

Mulai abad 13, warisan musik gereja ini menjadi sebuah tantangan bagi para

komponis untuk menciptakan bentuk musik polifon baru. Maka lahirlah musik

Gereja gaya baru yang sering disebut dengan motetus, dan conductus (Prier, 1991:

111). Hal ini menyebabkan keinginan untuk memunculkan lagu organum yang lebih

meriah (Prier, 2007). Lagu Gregorian menjadi tradisi yang dipertahankan dalam

Gereja. Walaupun sudah banyak musik liturgi yang terbentuk, namun dalam

beberapa bagian liturgi lagu Gregorian dipertahankan dengan kelompok koor yang

sudah terlatih.

3. Zaman Renaissance

Selama abad 13-15, musik gereja di luar musik liturgi berkembang dalam bentuk

drama liturgi ataupun pasio. Sedangkan lagu Gregorian menjadi suatu bagian

tersendiri yang khusus dinyanyikan oleh paduan suara (schola) yang sudah terlatih.

Pada awalnya hanya lagu proprium saja yang dinyanyikan oleh paduan suara

sehingga umat yang lain masih bisa mengikuti dalam nyanyian ordinarium. Namun

mulai abad 15, paduan suara juga menyanyikan lagu-lagu ordinarium sehingga

selama perayaan ekaristi umat menjadi pasif.


118

Menjelang diadakannya Konsili Trente (1545-1563) terpecahlah dua aliran musik

dalam gereja. Aliran pertama ingin membendung dan melindungi tradisi musik

gereja yaitu lagu Gregorian terhadap perkembangan musik baru yakni musik

polifoni. Sedangkan aliran kedua ini belajar dari musik baru dengan mengambil segi

positif musik gereja ini guna mengembangkan khasanah musik gereja. Konsili Trente

tidak secara khusus membahas mengenai lagu liturgi, namun dari hasil konsili

tersebut sedikit ditekankan agar lagu Gregorian dipelihara secara intensif terutama

dalam seminari-seminari yang dalam pelaksanaannya diserahkan kembali kepada

para uskup lokal.

Pada masa Renaissance, tradisi lagu Gregorian diteruskan dalam bentuk musik

polifoni. Perubahan ke bentuk polifoni ini masih didasarkan pada bentuk lagu

Gregorian. Perubahan musik antara abad pertengahan dan abad Renaissance juga

mengubah pandangan dalam musik Gereja. Pandangan baru dalam perkembangan

musik Gereja masa Renaissance mengubah seni menjadi sebuah bentuk seni. Musik

ini diciptakan menurut ilmu kontrapung sesuai dengan cita-cita humanisme.

Di dalam Gereja Protestan, bentuk musik yang paling berperan yakni musik

koral. Bentuk musik ini dibentuk dalam bahasa pribumi yang dapat dinyanyikan

bersama oleh jemaat. Ada beberapa bentuk musik koral yang berpangkal dari musik

Gregorian.
119

4. Zaman Barok

Bentuk musik yang muncul pada zaman Barok merupakan suatu reaksi atas

pandangan yang dibentuk dalam zaman Renaissance. Pada masa itu, manusia

dipandang sebagai citra Allah yang menjadi pedoman keindahan. Musik Barok

terkenal dengan susunan yang rumit dan penuh emosi. Musik pada zaman ini tidak

membedakan antara musik duniawi dan musik rohani. Musik yang diciptakan selalu

dipandang dalam hubungannya dengan Tuhan. Musik Gereja pada jaman Barok

menunjukkan adanya suatu kebhinekaan gaya bermusik.

a. Musik Gereja Katolik

Musik Gereja Katolik Barok masih banyak melanjutkan gaya musik zaman

Renaissance. Perubahan pada masa ini memunculkan suatu bentuk musik Gereja

yang baru. Para komponis berusaha menggerakkan perasaan para pendengarnya

dengan bentuk ungkapan perayaan secara subyektif (affectus movere). Di lain pihak,

penyanyi yang mementaskan karya musik tersebut berusaha untuk meneruskan

ungkapan perasaan para komponisnya (affectus exprimere) (Prier, 2009:20-21).

Di samping penggunaan lagu Gregorian dalam liturgi, digunakan pula bentuk

musik polifoni yang meliputi misa, motet, mazmur, Te Deum, magnificat, antiphon,

sekuensi. Di luar itu, seni opera dan konser semakin mempengaruhi bentuk musik

liturgi (Prier, 2009b:23-24). Hal inilah yang mengubah pandangan mengenai makna

musik liturgi. Bentuk musik liturgi semakin digeser maknanya dan diganti istilah

dengan musik sakral. Pergeseran musik Gereja menjadi musik rohani dikarenakan
120

dalam penyajiannya lebih menonjolkan segi kepuasan para penikmatnya dan kurang

menyentuh segi keimanan.

b. Musik Gereja Protestan

Musik dalam Gereja Protestan melanjutkan tradisi yang telah dimulai oleh

Luther. Koral dinyanyikan dengan satu suara, terkadang bergantian dengan organ.

Gaya lagu dari Italia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan

musik Protestan di Jerman. Jenis musik yang banyak berpengaruh dalam Gereja

Protestan antara lain kantata. Bentuk ini banyak digunakan dalam kebaktian hari

Minggu. Kantata dinyanyikan sebelum atau sesudah kotbah sebagai pewartaan

bacaan Kitab Suci. Dalam tradisi Gereja Lutheran, bahasa Latin tidak langsung

diganti dengan bahasa Jerman. Penggunaan bahasa Latin banyak ditemukan dalam

Ordinarium, Te Deum ataupun Magnificat (Prier, 2009b:25)

c. Musik Gereja Anglikan - Inggris

Buku doa dan nyanyian dalam Gereja Anglikan menjadi unsur yang menentukan cara

hidup dan cara berdoa orang Inggris. Buku yang terbit pada tahun 1506 tersebut

memuat beberapa bentuk lagu Anthems. Bentuk lagu ini menggantikan bentuk lagu

Gregorian di Inggris. Perubahan musik di luar Inggris tidak terlalu mempengaruhi

bentuk musik di Inggris. Gereja Anglikan sangat berpegang pada tradisi yang

tumbuh dan mengakar di dalamnya. Mereka terus melanjutkan tradisi liturgi khas

Inggris tanpa terpengaruh dengan perubahan musik baru. Namun sejak terjadinya

perubahan atau restaurasi pada tahun 1660, musik Gereja Anglikan mulai diubah
121

dengan pengaruh dari Perancis. Raja mendukung diciptakannya karya musik Gereja

yang serupa dengan kantata (Prier, 2009b:26)

5. Zaman Klasik

Pada abad 18, Gereja membuka diri terhadap segala unsur kesenian yang sedang

berkembang. Keterbukaan Gereja tidak hanya sebatas iman, namun juga dalam

musik Gereja. Pada akhirnya musik gereja mendapat sentuhan baru. ada banyak

sekali karangan missa dengan iringan orkestra yang terbentuk pada masa itu. Musik

karangan Haydn dipengaruhi nuansa musik yang lebih mementingkan syair. Lain

halnya dengan Mozart yang mengarang misa dan sejumlah motet yang umumnya

padat dan singkat seperti missa Brevis (misa singkat). Di sisi lain, Beethoven

mengarang beberapa karya yang memiliki nilai estetika tinggi sehingga beberapa

karyanya terasa sangat megah namun kurang cocok digunakan dalam ibadah. Dalam

Gereja Protestan, musik ditujukan untuk menciptakan Gereja dan ibadat yang sesuai

dengan kebutuhan umat. Musik menjadi sebuah sarana, bukan menjadi bagian

integral liturgi. Ada banyak karya Gereja yang dialihkan dipentaskan dalam gedung

pertunjukan.

Bentuk musik yang semakin jauh berbeda menyebabkan adanya perbedaan

pandangan dalam Gereja hingga pada akhirnya musik Gereja bertujuan untuk

mengungkapkan perasaan batin secara individual. Sedangkan lagu Gregorian


122

semakin kurang disentuh. Penggunaan lagu Gregorian semakin lama semakin

berkurang, hal ini juga dikarenakan situasi musik Gereja yang dikembangkan sejalan

dengan perkembangan musik profan.

6. Lanjutan Tradisi Klasik (Wina) Selama masa Romantik / Abad 19

Karena pada masa ini lebih mengarah ke individualisme sehingga penciptaan

karya besar juga bercitarasa pribadi seperti apa yang dikaryakan oleh Fr. Schubert,

A, Bruckner. Mereka tidak memiliki suatu jabatan tertentu dalam Gereja. Karena hal

inilah maka musik Gereja tidak mempengaruhi komposisi musik namun sebaliknya,

komposisi musiklah yang mempengaruhi musik Gereja yang berimbas pada karakter

ibadat.

a. Cecilianisme atau Restaurasi

Musik dalam Gereja Katolik diambil alih oleh kelompok-kelompok kecil dalam

Gereja. Hal ini sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap perkembangan musik Gereja

yang semakin jauh dari musik ibadat / liturgi. Karya besar seperti karya Haydn

ataupun Mozart tidak mungkin dinyanyikan oleh kelompok kecil tersebut. Hingga

muncullah komponis yang menghasilkan karya yang dapat dinyanyikan oleh

kelompok kecil tersebut yang menirukan pembentukan gaya Renaissance. Karl

Gustav Fellerer menilai bahwa musik yang dibentuk pada abad 19 merupakan sebuah

bentuk perubahan ke hakiki musik Gereja yang sesungguhnya. Namun karena


123

kurangnya pemahaman dan pengenalan secara mendalam maka perubahan ini hanya

menjadi sebuah bentuk wacana (Prier, 2009b:33).

b. Musik Devosional

Pada masa romantik muncullah suatu bentuk devosi baru, seperti devosi terhadap

Hati Kudus Yesus, Devosi kepada Bunda Maria. Devosi merupakan suatu bentuk

penyembahan terhadap sesuatu yang diimani. Namun karena kurangnya pemahaman

secara teologis menyebabkan bentuk devosi ini menjadi suatu penyembahan belaka

tanpa ada makna rohani di dalamnya.

7. Lagu Gregorian Sebelum Konsili Vatikan II

Pembaharuan dalam musik liturgi ibadat gereja Katolik sempat dihidupkan

kembali pada awal abad 20 yang diawali dari keputusan Paus Pius X. Pada tahun

1903, Paus Pius X mengeluarkan suatu dokumen tentang musik gereja yaitu Motu

Proprio “Tra le Sollicitudo”. Menurut Paus Pius X, idealisme ibadat hendaknya

dilaksanakan secara istimewa dengan lagu Gregorian dan nyanyian yang bergaya

polifon klasik (Prier, 1994:50). Motu proprio ini membedakan antara musik gereja

dengan musica sacra. Musica sacra lebih identik dengan Lagu Gregorian sebagai

suatu gaya yang ideal dan suci. Menurut pola ini pula segala musik gereja hendaknya
124

diperbaharui. Sedangkan yang dimaksud dengan musi Gereja yakni lagu yang

dipergunakan sebagai sarana ibadat di luar lagu Gregorian.

Sejak tahun 1920-an sudah banyak sekali usaha guna menghidupkan liturgi

sebagai liturgi jemaat yang dapat diikuti dan dimengerti. Di Jerman diupayakan pula

hal yang sama dengan usaha mengaitkan melodi lagu Gregorian dengan syair dalam

bahasa Jerman.

8. Pembaharuan Musik Liturgi dalam Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II dilaksanakan pada 11 Oktober 1962 sampai 8 Desember 1965.

Hasil dari Konsili Vatikan ini banyak memberikan perubahan dalam gereja katolik

dengan jangkauan yang lebih luas daripada konsili-konsili yang dilaksanakan

sebelumnya. Konsili ini merupakan hasil pemikiran awal dari Paus Yohanes XXIII

dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI.

Konstitusi liturgi dari Konsili Vatikan II menjadi suatu arah dasar dalam

pengembangan pembaharuan musik liturgi dimana nyanyian merupakan sebuah

bagian integral dalam suatu liturgi. Artinya nyanyian dalam sebuah liturgi memiliki

suatu fungsi dan peranan, sehingga tidak semua lagu-lagu rohani dapat dinyanyikan.

Nyanyian liturgi dinyanyikan oleh umat dengan dibantu paduan suara. Nyanyian

liturgi lebih berfokus pada syair yang penuh dengan makna liturgis atau lebih

kitabiah.
125

Karena Gereja telah menjadi bagian universal dunia, tidak hanya berada di Eropa

maupun daratan Eropa, maka Konsili membuka peluang yang sangat besar untuk

digunakannya bahasa pribumi sebagai sarana liturgi. Secara khusus Konsili

membuka pintu lebar-lebar untuk menerima pula kekayaan budaya dan musik

tradisional bangsa-bangsa. Semakin lama perkembangan musik pribumi menjadi

sebuah trend baru dalam musik liturgi Gereja (Prier, 1994: 51)

Konsili memang menyebutkan bahwa Lagu Gregorian tetap mendapatkan tempat

yang cukup besar dalam perkembangan liturgi Gereja. Namun dalam

pelaksanaannya, misa dalam bahasa Latin tetap diperbolehkan digunakan asal

disesuaikan dengan TPE yang baru yang diresmikan oleh Paus Paulus VI pada tahun

1970. Hal ini mengubah posisi lagu Gregorian menjadi salah satu alternatif pilihan

dalam liturgi. Kurangnya pemahaman akan hasil Konsili ini menimbulkan

kesimpangsiuran dalam memahami posisi lagu Gregorian dalam praktek liturgi

Gereja.

9. Lagu Gregorian di Indonesia

Gereja telah berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia hingga sampai ke

Indonesia melalui para misionaris. Sesudah perang Dunia II, Gereja Katolik

mengalami suatu perubahan menuju suatu pembaharuan. Menjelang Konsili Vatikan

II dan sesudah Perang Dunia II, Indonesia memunculkan gagasan mengenai


126

inkulturasi pribumi baik dari bagian Timur Indonesia maupun Barat Indonesia (Prier,

2007:7)

Di Paroki Wonosari, pada tahun 1964, ada seorang frater toper praja mengajarkan

Lagu Gregorian kepada kalangan umat. Pembelajaran kepada umat mengenai Lagu

Gregorian dilaksanakan seminggu sekali (Prier, 2007:9). Sejak sebelum

dilaksanakannya Konsili Vatikan II hingga sekitar tahun 1965, lagu Gregorian

menjadi salah satu kekayaan musik di Indonesia. Dalam perayaan ibadat digunakan

lagu Gregorian. Selama itu lagu Gregorian masuk dalam salah satu khazanah musik

liturgi di Indonesia. Perubahan ke arah inkulturasi semakin berkembang mulai tahun

1967 setelah diadakannya Konsili Vatikan II, namun perubahan ke arah inkulturasi

ini masih banyak dipengaruhi oleh sikap para misionaris. Sejalan dengan selesainya

Konsili Vatikan II dan dibukanya pandangan Gereja terhadap perkembangan hidup

pada jaman sekarang (Aggiornamento), musik juga mulai memasukkan unsur tradisi

dan inkulturasi budaya setempat. Mulai tahun 1967, lagu Gregorian di Indonesia

semakin menghilang dan diganti dengan lagu liturgi khas Indonesia.

Pembaharuan ke arah inkulturasi juga mempengaruhi pembaharuan dalam lagu

Gregorian. Pembaharuan dalam lagu Gregorian mulai dikembangkan di dalam biara

OCSO di Pertapaan Rawaseneng. Pembaharuan ini dilaksanakan selama tahun 1966

– 1969. Biara trapis ini secara kreatif menyusun buku panduan Antifonal khas

Rawaseneng yang khusus digunakan dalam keperluan ibadat harian dalam biara.

Lagu yang dikembangkan dengan berdasar lagu Gregorian ini dikenal dengan lagu
127

resitatif Gregorian gaya baru. Lagu ini memiliki irama dan tangga nada khas lagu

Gregorian, namun diciptakan baru dengan syair dalam bahasa Indonesia. Sebagai

suatu jembatan penghubung antara lagu liturgi lama (Gregorian latin) dengan lagu

liturgi baru (gaya Indonesia) adalah terbentuknya misa Te Deum dari Rawaseneng,

suatu pengolahan dari lagu Te Deum namun dengan bahasa Indonesia cukup banyak

digunakan di paroki-paroki sehingga mampu membantu umat lebih baik dalam

menghayati liturgi awal gereja.

10. Pandangan Dokumen Gereja mengenai Lagu Gregorian

Pada hakikatnya, setiap manusia menginginkan terciptanya suatu kehidupan yang

damai dan adanya kesatuan hidup manusia yang satu dengan yang lainnya. Namun

dalam kedamaian dan kesatuan tersebut tetaplah ada perbedaan pandangan dan

pemikiran antar pribadi. Hal ini bisa disimbolkan dengan kehidupan suatu keluarga

dimana setiap manusia yang menjadi bagian utuh keluarga tersebut memiliki

keinginan, pola pemikiran, sikap, dan kelakuan yang berbeda-beda. kemiripan yang

terdapat dalam kehidupan anak kembar pun memiliki suatu perbedaan.

Begitu pula dengan kehidupan Gereja sekarang ini, ada banyak sekali pandangan

yang muncul dalam Gereja. Ada yang berpandangan sejalan dengan hasil keputusan

Konsili Vatikan II, ada pula pandangan yang tetap berusaha sejalan dengan tradisi

Gereja awal. Sebagai suatu gambaran, pada tahun 1984 munculah suatu kelompok
128

yang bernama “Le febre”. Kelompok ini merupakan kelompok yang ingin tetap

mempertahankan tradisi asli dalam Gereja Katolik. Hingga akhirnya mereka semakin

memisahkan diri dari Gereja. Perbedaan pandangan dalam menyikapi hasil Konsili

Vatikan menjadi dasar terpisahnya kelompok ini dari dalam Gereja. Melihat

munculnya kelompok yang berbeda ini dalam kehidupan menggereja ini menggugah

hati Paus Benediktus XVI untuk merengkuh kembali kelompok ini dalam Gereja

Katolik universal. Cita-cita ini tertulis dalam Motu Proprio “Summorum Pontificum”

yang diterbitkan pada tanggal 7 Juli 2007 (Hidup, 2007:10). Motu Proprio

Summorum Pontificum ini secara garis besar berisi tentang diperbolehkannya

penggunaan kembali Misa Latin Paus Yohanes XXIII 1962 yang dikeluarkan Paus

Benediktus XVI pada tanggal 7 Juli 2007 di Vatikan, Roma dan secara resmi mulai

diberlakukan pada tanggal 14 September 2007.

Dalam Motu Proprio tersebut, Paus memberikan ijin atas penggunaan tata perayaan

Ekaristi istimewa sebelum Konsili Vatikan II. Namun penggunaan tatanan perayaan

Ekaristi luar biasa ini tidak menggeser kedudukan rumus Misale Paus Paulus VI

sebagai tata perayaan Ekaristi yang biasa digunakan dalam Gereja. Selain itu, Paus

juga menegaskan bahwa Perayaan Ritus Latin tetap menjadi bagian dalam kekayaan

ritus dalam Gereja, sehingga pihak-pihak yang menghendaki diadakannya perayaan

Ekaristi Ritus Latin diperbolehkan untuk melaksanakannya secara bebas atau tanpa

harus mengajukan permohonan ijin pihak Gereja.


129

Dengan dikeluarkannya Motu Proprio ini menjadi sebuah kesempatan yang

membuka kembali kesempatan bagi versi terakhir dari Missale Romanum sebelum

Konsili Vatikan II akan kembali dapat digunakan sebagai sebuah Ritus Liturgi

bentuk lain (Forma Extraordinaria) dari perayaan Liturgis Gereja

(http://bukumisa.co.cc/orandi/, accesed on 8 Agustus 2009). Dalam surat apostolik

tersebut, Paus Benediktus XVI hendak menegaskan bahwa gereja tetap terbuka

terhadap unsur budaya yang digunakan dalam liturgi. Liturgi tidak semata-mata

diubah demi menbentuk suatu liturgi yang baru. Dalam Konsili Vatikan II, liturgi

diperbaharui guna lebih menyatu dengan umat tanpa meninggalkan tujuan utama

liturgi (Hidup, 2007:10).

Dikatakan adanya suatu perbedaan antara tata cara Ekaristi yang satu dengan yang

lain terletak pada makna Teologi maupun secara liturgi. Perbedaan ini terlihat dalam

lingkaran Tahun liturginya. Pada ritus lama hanya memiliki satu rangkaian tahun

liturgi yang terus menerus diulang setiap tahunnya. Dalam ritus liturgi yang baru

memiliki tiga rangkaian tahun liturgi dengan bacaan yang berbeda sehingga

pembacaan Kitab Suci mencakup ketiga Injil Sinoptik. Dalam ritus pra Konsili

Vatikan II, segala bentuk doa dan pujian diucapkan oleh pastor sehingga tidak ada

partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi. Segala doa dan pujian ini ditujukan kepada

Tuhan sehingga posisi pastor menghadap ke tembok. Dalam pembaharuan Ritus

Ekaristi lebih menekankan adanya partisipasi aktif umat dalam Perayaan Ekaristi.
130

Selain itu diharapkan adanya komunikasi antar pastur dan umat sehingga hal ini

menyebabkan posisi pastor diubah menghadap ke umat.

Pertanyaan yang sering diungkapkan adalah mengenai lagu Gregorian dan bahasa

Latin. bentuk lagu dan bahasa ini masih tetap dapat dipergunakan dalam Misale Paus

Paulus VI, namun hendaknya diperlukan pemilihan bacaan dan lagu yang sesuai

dengan tema perayaan Ekaristi.

C. Relevansi Lagu Gregorian

1. Membangkitkan Pengalaman dan Pendalaman Hidup Religius

Dalam setiap doa hendak menunjukkan sikap iman yang sungguh akan

pengungkapan iman umat kepada Allah. Maka sama halnya dengan berdoa, nyanyian

juga merupakan sebuah misteri hubungan antara manusia dengan Allah. Lagu

Gregorian merupakan bentuk awal musik dalam Gereja yang memiliki segi estetika

yang bernilai semakin tinggi. Dalam lagu Gregorian, kemuliaan Tuhan digambarkan

melalui pemilihan kata-kata yang berasal dari Kitab Suci yang dilagukan secara

terpadu.

Pada masa sekarang ini, Gereja berjalan ke arah yang meriah, megah, dan variatif.

Sedangkan Gereja masih dipandang sebagai pemegang teguh tradisi. Hal ini terlihat

dari penggunaan lagu Gregorian. Pembentukan nuansa dalam lagu Gregorian

didukung dengan arsitektur gedung-gedung gereja besar dan penuh dengan


131

lengkungan yang menghasilkan segi akustik dengan baik. Lagu Gregorian yang

dinyanyikan menjadi bentuk musik utama dalam liturgi dalam Gereja. Sesudah

Konsili Vatikan II, muncullah banyak pro kontra mengenai penggunaan Lagu

Gregorian. Gereja membuka diri terhadap bentuk musik asli lain, namun lagu

Gregorian tetap menjadi bentuk mahakarya musik Gereja. Keterbukaan Gereja

terhadap bentuk musik baru sering disalahartikan oleh beberapa kalangan. Hal ini

semakin menyurutkan gaung lagu Gregorian. Semakin lama lagu Gregorian semakin

hilang seiring berjalannya waktu (wawancara dengan Bapak Adimurti 31 Agustus

2009).

Dalam sebuah penelitian ditemukan adanya indikasi nilai positif lagu Gregorian.

Di sebuah biara Benedictin di Prancis Selatan terlihat ada suatu perubahan dalam

kegiatan sehari-hari mereka. Para biarawan yang tinggal di sana terlihat lesu dan

murung serta dilanda berbagai kecemasan mengenai ritual baru yang dilaksanakan

sesudah Konsili Vatikan II. Setelah penelitian panjang, masalah utama kelesuan

dalam biara tersebut bukan tergantung pada masalah fisik namun banyak diakibatkan

adanya krisis bunyi akibat dikuranginya porsi Lagu Gregorian dalam kehidupan

membiara mereka secara mendadak (Campbell, 2002:127)

Kehidupan lama dilaksanakan dengan berulang kali berkumpul untuk

melantunkan lagu Gregorian selama 10 hingga 20 menit. Bagi kaum awam,

melantunkan Lagu Gregorian tersebut dapat dianggap sebagai suatu hal yang

monoton dan menimbulkan kebosanan dan hal ini juga berlangsung hingga saat ini.
132

Namun bagi para biarawan yang mampu menarik makna dan menyelami lagu

Gregorian dalam kehidupan mereka, lagu Gregorian merupakan sebuah motor

penggerak kehidupan mereka.

Secara tidak langsung mereka mendapat suatu manfaat dari lantunan lagu

Gregorian yang dinyanyikan oleh mereka. Dengan adanya gaya resitatif yang agung

dan tenang damai memungkinkan timbulnya suatu perasaan tenang, lega serta

membantu untuk membentuk fokus kehidupan.

Selain itu, lagu Gregorian menuntut adanya suatu tehnik dalam menyanyikannya.

Hal ini membantu bagi yang menyanyikannya untuk mempelajari tentang tehnik

pernafasan sehingga lagu Gregorian sering diasumsikan sebagai musik yang

membantu mengatur pernafasan. Pengaturan pernafasan dengan perlambatan

pernafasan mampu menurunkan tingkat stress, menurunkan tekanan darah,

menaikkan suasana hati, memberikan rasa bahagia, serta meningkatkan produktifitas

kerja mereka (Campbell, 2002:81-84).

2. Mahakarya Musik Gereja – Simbol Kesatuan Gereja Universal

Sebagai bagian dari Gereja semesta, umat Allah dipersatukan dalam Tuhan Yesus

bersama dengan mereka di belahan dunia lain yang disatukan dalam bahasa universal

Gereja yakni Bahasa Latin dan didukung dengan penggunaan lagu Gregorian.
133

Suasana yang muncul dan terbentuk ketika menggunakan misa Latin ataupun lagu

Gregorian adalah suasana kesatuan dengan Allah.

Ada beberapa pihak yang merindukan Misa Ritus pra Konsili Vatikan II karena

adanya suasana berbeda yang dirasakan dalam pelaksanaan tersebut. Satu hal yang

disampaikan oleh Bpk. Ernest Maryanto sebagai Mantan Sekretaris II Komisi Liturgi

KWI. Beliau menyatakan bahwa hendaknya misa tidak hanya digunakan sebagai

sebuah bentuk ritual semata. Melalui Perayaan Ekaristi akan tercakup suatu

pemikiran teologis mengenai peran Allah dalam kehidupan, penghayatan terhadap

kurban penebusan, kultur budaya Gereja universal. Segala hal yang mendukung

penghayatan umat akan makna misa tidak bisa ditinggalkan saja karena sudah

mendarah daging (Hidup, 2007:9).

D. Usaha dalam Memperkembangkan Lagu Gregorian sebagai Bagian dalam

Musik Liturgi

1. Potensi Penggunaan Lagu Gregorian Terhadap Perkembangan Musik

Liturgi

Peribahasa yang dinyatakan oleh St. Agustinus yakni “Qui Bene Cantat, Bis

Orat” hendak menyatakan bahwa “bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua

kali”. Hendaknya peribahasa tersebut memang mampu menunjukkan sikap iman

yang sungguh akan pengungkapan iman umat kepada Allah. Dalam Perayaan
134

Ekaristi, dibutuhkan adanya suatu komunikasi dan partisipasi aktif antara pemimpin

perayaan dengan umat. Partisipasi aktif ini dapat dimunculkan ketika memadahkan

pujian atau nyanyian. Namun pada kenyataannya, banyak sekali orang bernyanyi

tanpa diresapi dalam hati. Muncullah sebuah keprihatinan ketika merayakan Ekaristi,

ada beberapa umat yang tidak membawa buku Madah bakti/ Puji Syukur melainkan

cukup membeli buku panduan yang disediakan oleh gereja (wawancara dengan Bpk.

Adimurti). Hal ini berpengaruh pada keikutsertaan umat secara aktif dalam

perayaan Ekaristi terlebih dalam bernyanyi. Pada kenyataannya masih banyak umat

yang kurang terlibat aktif dalam liturgi Ekaristi, tidak hanya pada bagian nyanyian

namun juga pada bagian doa yang seharusnya menjadi jawaban iman, hanya

diucapkan dalam hati.

Bentuk sederhana keikutsertaan umat dalam perayaan Ekaristi adalah Aklamasi.

Aklamasi ini merupakan jawaban iman umat atau tanggapan umat. Dalam aklamasi

terdapat suatu komunikasi dua arah antara pemimpin dan umat. Gaya nyanyian

aklamasi ini masih menggunakan bentuk khas musik Gereja yakni gaya lagu

Gregorian. Walaupun banyak sekali bentuk lagu baru yang muncul dan menjadi

bagian dalam liturgi, namun beberapa bagian penting dalam perayaan Ekaristi masih

menggunakan gaya Gregorian.

Lagu Gregorian merupakan ciri khas liturgi Romawi (PUMR 41). Ada perbedaan

persepsi mengenai penggunaan lagu Gregorian. Selama ini, banyak kalangan yang

menilai bahwa lagu Gregorian sudah ditinggalkan dan diganti dengan bentuk lagu
135

yang baru. Dengan diperbolehkannya penggunaan Misa versi Paus Pius V bukan

berarti mengembalikan ritus liturgi Ekaristi kembali ke masa sebelum Konsili

Vatikan II, namun sesuai dengan keputusan Konsili Vatikan II yang terbuka terhadap

segala bentuk lagu atau musik yang disesuaikan dengan ibadat tanpa mengabaikan

tradisi awal warisan Gereja. Lagu Gregorian tetap boleh dipergunakan dalam

perayaan Ekaristi. Penggunaan ini hendaknya diselaraskan dengan jiwa perayaan

Ekaristi dan mampu menunjang partisipasi aktif umat.

Lagu Gregorian menjadi acuan bagi pembentukan lagu Gereja jaman sekarang.

Pembentukan lagu baru semakin semarak dalam Gereja. Namun hendaknya

pembentukan ini didasarkan pada model pembentukan lagu Gregorian. Didasarkan

pada penyusunan kata yang liturgis dan pemilihan nada dengan unsur estetika yang

tidak jauh berbeda dengan pembentukan lagu Gregorian. Hal ini akan menghasilkan

suatu bentuk lagu yang memiliki aspek liturgi dan rohani yang mendalam.

2. Tantangan dalam Penggunaan Lagu Gregorian Terhadap Perkembangan

Musik Liturgi

Dalam setiap usaha pasti akan ada halangan atau tantangan yang menghadang

yang harus disikapi oleh berbagai pihak guna mendapatkan jalan keluar. Begitu pula

dengan keberadaan kelompok-kelompok yang memiliki kecintaan terhadap

Gregorian. Tantangan yang muncul tidak hanya muncul dari luar kelompok atau
136

pribadi para pecinta lagu Gregorian, namun juga dari dalam pribadi maupun

kelompok umat pecinta Gregorian itu sendiri.

a. Tantangan dari luar yang banyak dialami oleh kelompok pecinta Gregorian

adalah tanggapan dari umat secara luas yang kurang bisa mengerti dan memahami

bahasa yang digunakan yakni Bahasa Latin. Hal lain yang menjadi pemikiran khusus

yakni adanya suatu cap bahwa lagu Gregorian merupakan lagu lama yang tidak bisa

dimengerti oleh kaum muda dan menjadi milik kaum tua terlebih bagi mereka yang

pernah mengalami masa Ritus Latin sebelum tahun 1962. Hal ini menyebabkan tidak

sedikit kaum muda yang minder dan mundur ketika mengetahui bahwa misa

dilaksanakan dengan menggunakan lagu Gregorian. Mereka merasa minder karena

merasa tidak banyak mengetahui lagu Gregorian dan mundur karena mereka melihat

yang hadir dalam misa tersebut kebanyakan merupakan kalangan orang tua yang

rindu mengikuti Perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian.

b. Sulitnya membaca notasi lagu Gregorian bagi kaum tua apabila mereka akan

mengikuti misa dengan lagu Gregorian. Mereka ingin ikut bernyanyi dengan lagu

Gregorian namun untuk membaca notasi dan kendala pengucapan dan pelafalan

bahasa Latin yang cukup sulit.

c. Kurangnya pendampingan dalam proses pembelajaran lagu Gregorian yakni

orang yang mengerti dengan sungguh mengenai lagu Gregorian yang mampu

mengkoordinasi pihak-pihak yang menginginkan untuk belajar lagu Gregorian. Jarak

waktu yang cukup jauh antara penggunaan lagu Gregorian sebelum Konsili Vatikan
137

II tahun 1962 dengan pengembangan yang sekarang terjadi menyebabkan semakin

sedikitnya orang yang secara khusus berkecimpung dalam bidang lagu Gregorian

(wawancara dengan Bpk.Adimurti tgl 31 Agustus 2009). Meskipun ada pihak-pihak

yang mau membantu belajar, namun ternyata pihak yang ingin belajar maunya lebih

banyak instannya (cepat bisa) sehingga untuk latihan yang intensif dan berkelanjutan

menimbulkan kejenuhan bagi para peminatnya sehingga semakin lama peminat juga

semakin sedikit didukung dengan model lagu Gregorian yang terasa terlalu mengalun

dan jenuh.

d. Selain itu, tantangan yang muncul juga berasal dari lagu Gregorian itu

sendiri. Sebagai suatu contoh lagu Proprium dalam Gregorian seperti lagu Introitus,

Graduale, Offertorium bukanlah lagu umat, namun merupakan lagu yang

dikhususkan untuk dinyanyikan oleh paduan suara ataupun schola. Karena sejak abad

10, umat tidak ikut bernyanyi dalam lagu Proprium karena umat tidak mampu

menyanyikannya. Selama kurang lebih 1000 tahun tidak dinyanyikan oleh umat

bahkan sekarangpun tidak bisa dinyanyikan secara bebas (Prier, 2007:95-96). Lagu

Gregorian merupakan lagu khas Gereja dengan menggunakan bahasa latin.

penggunaan bahasa ini merupakan suatu bentuk pengungkapan syair Latin. Dengan

diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan penambahan notasi lagu akan mampu

mengubah suasana, mengubah makna asli lagu yang hendak disampaikan, selain itu

makna yang disimbolkan dan seni yang terkandung dalam lagu ini semakin

berkurang atau hilang. Seperti halnya dalam pentranskripan lagu Credo III ke dalam

bahasa Indonesia penambahan nada yang ditandai dengan tanda kurung pada
138

pembacaan kata bahasa Indonesia mampu mengubah seni yang terkandung dalam

lagu Credo III dalam bahasa latin.


139

e. Perputaran lagu Gregorian tidak sesuai lagi dengan perputaran tahun

liturgi. Sesudah Konsili Gereja semakin membuka diri terhadap pandangan dunia

secara umum. Sudah sewajarnya apabila dalam pelaksanaan perayaan Ekaristi,

terdapat beberapa rumusan yang diperbaharui. Pembaharuan ini diupayakan dengan

adanya penyelarasan terhadap sikap Gereja yang semakin terbuka. Melalui

pembaharuan ini, iman umat dihantar lebih dekat kepada Liturgi Kudus (PUMR 15).

Salah satu bentuk pembaharuan yang terlihat secara jelas yakni lingkaran Tahun

Liturgi. Sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Gereja hanya memiliki satu
140

lingkaran liturgi yang akan terus menerus diulang setiap tahunnya. Bacaan Kitab suci

sedikit banyak diambil dari satu Injil (Matius) saja. Hal ini memungkinkan adanya

suatu set lagu Gregorian yang konstan yang dapat dipergunakan setiap tahun.

Perubahan yang dilakukan oleh Konsili Vatikan II mengubah susunan bacaan. Siklus

bacaan sekarang digandakan menjadi tiga tahun. Tahun pertama atau tahun A

mengambil bacaan Injil yang didasarkan terutama dari Injil Matius, tahun kedua atau

tahun B mengambil bacaan Injil yang didasarkan terutama dari Injil Markus. Begitu

pula dengan tahun ketiga atau tahun C yang sebagian besar bacaan Injilnya diambil

dari Injil Lukas. Perputaran ini mengakibatkan munculnya banyak tema yang

bervariasi setiap tahunnya. Penggunaan ketiga Injil Sinoptik serta pilihan bacaan I

dan II dimaksudkan agar semua bagian dalam Kitab Suci disentuh, dimengerti dan

dipahami seluruhnya oleh umat.

Siklus tiga tahun ini berpengaruh terhadap nyanyian yang digunakan. Adanya

perbedaan tema antara tahun lalu dan tahun ini, ataupun tahun sekarang dengan tahun

depan memiliki pandangan tema yang berbeda. Lagu-lagu yang disiapkan hendaknya

juga disesuaikan dengan tema yang diangkat. Penggunaan lagu Gregorian yang

konstan setiap tahun mendapat beberapa hambatan antara lain sulitnya menentukan

lagu yang sesuai dengan tema yang berbeda. Kesulitan dan hambatan inilah yang

menyebabkan lagu Gregorian semakin jauh dari penggunaannya dalam perayaan

Ekaristi.
141

3. Usaha Mengembangkan Lagu Gregorian sebagai Bagian dalam Musik

Liturgi

Pada tanggal 29 Agustus 2009, Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran

menyelenggarakan misa dengan menggunakan lagu Gregorian. Perayaan Ekaristi ini

dipimpin oleh Romo F.X Wiyono, Pr. selaku romo paroki sebagai selebran utama

dan Romo YM. Riawinarta, Pr. sebagai selebran pertama. Penggunaan lagu

Gregorian dalam perayaan Ekaristi ini tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa

pihak yang memiliki perhatian lebih pada musik Gereja antara lain adalah Bpk.

Adimurti dari lingkungan Jogokaryan dan Rm. Riawanarta, Pr. yang saat ini bertugas

sebagai romo paroki St. Albertus Jetis. Peserta koor dalam perayaan Ekaristi ini

adalah umat yang tergabung dalam kelompok pecinta lagu Gregorian Paroki

Pugeran.

Berdasar pada pertemuan dengan romo kepala Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran,

Romo Antonius Dodit Haryono, Pr. pada tanggal 28 Agustus 2009, kelompok koor

Gregorian ini belum memiliki dasar pokok administratif yang kuat sebagai sebuah

paduan suara Gereja. Melalui tugas ini, mereka telah menunjukkan kecintaannya

terhadap lagu Gregorian. Perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian ini dilaksanakan

setiap hari Sabtu pada minggu ke-V tiap bulannya. Misa dengan lagu Gregorian ini

mulai dikembangkan sejak bulan Januari 2009 hingga saat ini. Ada bentuk tanggapan

positif yang ditunjukkan oleh beberapa umat mengenai pelaksanaan misa dengan

lagu Gregorian ini. Munculnya rasa kerinduan terhadap unsur liturgi yang asli
142

mampu mempengaruhi suasana perayaan Ekaristi. Kelompok koor ini dipimpin oleh

Bapak Adimurti dari wilayah Jogokaryan. Menurut bapak Adimurti, perayaan

dengan lagu Gregorian tidak menuntut umat untuk mengikuti rangkaian perayaan

Ekaristi dengan menggunakan bahasa Latin. Lagu-lagunya menggunakan lagu

Gregorian yang sudah disesuaikan dengan tema saat itu namun doa, bacaan, dan

homili tetap menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.

Selain di Yogyakarta, ternyata gema lagu Gregorian ini telah lama berkumandang

di Jakarta. Ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok yang memiliki fokus

pada pendalaman liturgi, lagu-lagu Gregorian, dan misa dalam bahasa Latin. Salah

satu kelompok yang telah mewujudkan kecintaannya pada lagu Gregorian adalah

kelompok studi liturgi “Schola Iacartensis”. Mereka membuat kumpulan lagu

Gregorian yang dikemas dalam bentuk VCD khusus Gregorian dengan Judul “In

Nomine Patris”. Kelompok ini melambungkan lagu-lagu berbahasa Latin sepanjang

perayaan Ekaristi sehingga suasana misa yang terbentuk terasa agung dan khidmat.

Untuk mempelajari lagu Gregorian dengan bahasa Latin diperlukan suatu latihan

khusus secara intensif dan juga didukung dengan pemaknaan syair dalam bahasa

Latin (Hidup, 2007:6). Kelompok ini dirintis dan memiliki anggota kaum muda,

sehingga dalam perkembangannya lagu Gregorian semakin terbuka untuk kaum

muda. Johanna R. Aliandoe (Hidup, 2007:7) mengungkapkan bahwa kaum muda

yang tergabung dalam kelompok ini merasakan adanya sesuatu yang indah dengan
143

spiritualitas yang mendalam. Kegiatan ini juga menjadi salah satu pilihan umat

dalam melaksanakan Ekaristi dengan berbagai model.

4. Usulan guna Memperkembangkan Lagu Gregorian dalam Musik Liturgi

Banyak sekali usaha yang telah dilakukan baik oleh para pecinta Gregorian

maupun oleh pihak Gereja dalam menyikapi berbagai persoalan yang mucul terlebih

mengenai penggunaan Lagu Gregorian dalam liturgi. Seperti yang dilakukan oleh

beberapa pihak untuk mencoba mengubah atau mentranskrip not Gregorian ke not

angka agar umat lebih mudah dalam membaca maupun menyanyikan Gregorian.

Hal lain yang diusulkan untuk mengatasi kerinduan para pecinta lagu Gregorian

yakni dengan diadakannya suatu perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian. Hal ini

selain sebagai bentuk variatif dalam Ekaristi, juga sebagai wujud pengembangan

warisan Gereja. Besar kemungkinan pula bahwa para pastor harus siap dengan

permintaan umat akan penyelenggaraan perayaan Ekaristi Latin dan lagu Gregorian.

Dengan demikian, hendaknya para pastor memulai untuk belajar karena bahasa Latin

merupakan bahasa induk Gereja.

Pertanyaan besar yang masih muncul adalah bagaimana dengan umat yang tidak

mengetahui mengenai lagu Gregorian. Saat ini sudah ada perubahan paradigma

dalam memilih lagu Gregorian yg bisa dinyanyikan. Ada bentuk lagu Gregorian asli

yang masih berdasarkan pada ketentuan dan patokan estetika yang berlaku dengan
144

kata-kata latin, lagu Gregorian dengan bentuk asli ini membutuhkan suatu latihan

dan pendalaman yang khusus. Selain itu, perkembangan lagu Gregorian di Indonesia

sudah semakin berkembang dengan ditranskripnya beberapa bentuk lagu Gregorian

asli ke dalam bentuk notasi yang lebih mudah dipahami oleh umat. Hal terakhir yang

menjadi jalan keluar untu mengenal lagu Gregorian adalah dibentuknya bentuk-

bentuk lagu baru yang didasarkan pada ketentuan pembuatan lagu Gregorian. Bentuk

lagu ketiga memberikan suatu keleluasaan terhadap pencipta lagunya untuk

mengubah dan menyajikan bentuk lagu tersebut agar dapat dinikmati dan diresapi

oleh umat setempat.

Lagu Gregorian dan bahasa Latin merupakan tradisi kekayaan Gereja, kekayaan

yang cukup agung dan bersifat universal ini hendaknya dilestarikan sebagai suatu

kekayaan rohani sehingga kita sebagai warga Gereja tidak dapat lupa akan sejarah

dalam Gereja dan diharapkan makin berkembang dalam iman. Hal inilah yang

diungkapkan oleh anggota Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta Maria

Christiana Romeo pada majalah Hidup (Hidup, 2007:9). Maria juga mengajak umat

Gereja untuk banyak mempelajari lagu-lagu Gregorian atau lagu bahasa Latin secara

pribadi maupun melalui kursus lagu Gregorian sehingga pada akhirnya mampu

menimbulkan kecintaan yang mendalam karena lagu tersbeut menjadi lagu yang

familiar di telinga dan hati umat.

Namun harus diakui bahwa lagu Gregorian memang memiliki aturan yang tidak

bisa diikuti oleh semua orang dari segala lapisan dan segala bangsa. Bentuk nyanyian
145

yang tanpa birama, berbahasa Latin, masih terasa sulit untuk diterima oleh kalangan

umat banyak, hal ini juga didukung dengan sangat jauhnya jarak antara penggunaan

lagu Gregorian dalam Misa Latin para Konsili Vatikan II dengan Misa dengan Tata

Perayaan Ekaristi yang baru.

Keinginan banyak pihak untuk memuaskan kerinduannya akan misa ritus Latin

dengan lagu Gregorian ini hendaknya diakomodir oleh pihak Gereja maupun dari

para kelompok pecinta lagu Gregorian. Adanya pelaksanaan misa yang lebih sering

diadakan karena dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memperkenalkan lagu

Gregorian ke kalangan umat sekarang apalagi kaum muda, nantinya akan muncul

kecintaan secara alamiah terhadap lagu Gregorian. Kecintaan terhadap lagu

Gregorian ditanamkan semenjak dini kepada kaum muda dengan harapan bahwa di

masa mendatang lagu Gregorian semakin menjadi bagian integral dalam kehidupan

umat Katolik sebagai salah satu sarana pendekatan hati dan iman kepada Allah

(wawancara dengan Sdri. Inge).

Harapan yang besar akan peranan kaum muda terhadap pengembangan lagu

Gregorian. Hal ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya suatu misa khusus bagi

para pecinta Gregorian dengan kaum muda yang bertugas didampingi oleh pihak

yang berkompeten mengenai lagu Gregorian. Selain untuk memperkenalkan kaum

muda pada lagu Gregorian juga dapat menjadi suatu bentuk kesatuan Gereja antara

kaum muda dengan orang tua (wawancara dengan Bpk. Bambang).


146

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Musik terus menerus mengalami perkembangan ke arah yang majemuk dan

beragam. Begitu pula dengan musik di dalam Gereja. Musik dalam Gereja atau

musik liturgi mengalami banyak sekali perkembangan. Dengan hasil keputusan

Konsili Vatikan II yang memberikan kesempatan pengembangan musik dari daerah,

musik liturgi semakin beragam dan semakin semarak. Bentuk musik awal Gereja

yang menjadi salah satu warisan Gereja adalah lagu Gregorian. Bentuk lagu ini tidak

hanya mendasari perkembangan musik dalam Gereja namun juga menjadi acuan bagi

pengembangan musik secara umum.

Namun dengan perkembangan musik dalam Gereja yang semakin pesat, gaung

lagu Gregorian juga semakin surut. Keprihatinan ini salah satunya dikarenakan

tingkat kesulitan dalam menyanyikan dan mempelajari lagu Gregorian. Di luar itu,

adanya perbedaan cita rasa dan suasana perayaan Ekaristi yang diinginkan oleh umat

juga mempengaruhi surutnya lagu Gregorian. Untuk menyikapi hal tersebut

dibutuhkanlah suatu bentuk pendekatan baru yang mampu mengenalkan umat

terhadap lagu Gregorian. Bentuk pendekatan ini bukan semata-mata untuk

mengembalikan gaya musik dalam Gereja seperti dahulu.


147

Perkembangan yang telah berjalan tidak mungkin hendak diubah dan

dikembalikan ke bentuk dan kondisi musik awal Gereja. Hal ini dilakukan semata-

mata guna merawat warisan abadi dalam khazanah musik Gereja. Yang paling

mungkin dilakukan untuk saat ini adalah memelihara apa yang dikatakan sebagai

jenis musik yang cocok dengan Liturgi Romawi. Hal ini juga untuk mengantisipasi

agar lagu Gregorian nantinya tidak hanya menjadi sekedar dokumen semata.

Sebagai dasar pembentukan musik baik dalam Gereja maupun secara umum, lagu

Gregorian telah menunjukkan eksistensinya dan pengaruhnya dalam perkembangan

musik secara universal. Gema dan gaung yang dihasilkan oleh lagu Gregorian akan

langsung menyentuh segi keimanan manusia. Hal ini dikarenakan bentuk lagu ini

mendasarkan pembentukan kata dari Kitab Suci. Pemilihan nada dan ritme arsis tesis

juga menunjukkan kerinduan akan cinta Allah terhadap manusia. Secara tidak

langsung, lagu Gregorian mampu menyentuh segi personal, emosional umat akan

liturgi dan Ekaristi. Dengan mengenal, memahami, dan memaknainya dalam liku

kehidupan, lagu Gregorian menghantarkan manusia terhadap kedalaman iman

hubungannya akan Allah.

B. Saran

Perubahan musik yang cukup pesat di dalam Gereja telah membentuk suatu

suasana yang baru. Suasana yang simpel dan meriah menjadi salah satu pilihan umat
148

dalam mengikuti dan menghayati perayaan Ekaristi. Dengan didampingi

perkembangan teknologi dan pemikiran semakin maju, lagu Gregorian dikemas dan

diperkenalkan dengan cara yang baru.

Sungguh disayangkan apabila sebagai orang Katolik hanya memahami perayaan

Ekaristi sebagai suatu ritus tanpa memaknainya secara mendalam. Bentuk lagu baru

dalam Gereja telah mewakili perasaan syukur, harapan dan doa manusia. Dengan

mempelajari, mengenal, memahami sejarah, perkembangan dan relevansi lagu

Gregorian dalam musik liturgi merupakan sebuah gagasan untuk menjawab

keprihatinan terhadap surutnya lagu Gregorian di jaman sekarang ini.

Dimungkinkan adanya suatu bentuk perayaan Ekaristi dengan memasukkan

unsur lagu Gregorian di dalamnya. Perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian ini

dapat dilaksanakan pada hari raya besar seperti Pekan Suci, hari raya Pentakosta,

Missa Requiem, atau perayaan Hari Orang Kudus (1 November). Semua ini

hendaknya dilakukan tidak lain dengan harapan bahwa umat Katolik semakin

mengenal lagu Gregorian sebagai kekhasan Gereja. Hal ini juga dibutuhkan adanya

dukungan penuh baik dari paroki maupun dari para pecinta lagu Gregorian guna

mewujudkan gagasan tersebut.

Selain itu hendaknya pendidikan bahasa Latin di seminari-seminari tetap

dipertahankan keberadaannya, hal ini akan mendukung dipeliharanya lagu Gregorian

sebagai warisan musik gereja dengan bahasa asli yakni bahasa Latin. Banyaknya
149

biara kontemplatif dalam kehidupan Gereja juga menjadi sebuah sarana yang penting

dalam memelihara, menjaga bahkan mengembangkan lagu Gregorian. Biara-biara ini

merupakan tempat yang paling pas guna melestarikan dan memelihara lagu

Gregorian yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.


150

DAFTAR PUSTAKA

Aur, Alexander. (2007). Kaum Muda Menggemari Gregorian. Hidup, no 34 tahun


61, hal 12-13
Banoe, Pono. (2003). Kamus Musik. Yogyakarta:Kanisius.
Campbell, Don. (2002). Efek Mozart:Memanfaatkan Kekuatan Musik untuk
Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas, dan Menyehatkan Tubuh
(Alih Bahasa:Drs. T. Hermaya). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Heuken, A. (1991). Ensiklopedi Gereja jilid 1. Jakarta: Obor.
_________ (1991). Ensiklopedi Gereja jilid 3. Jakarta: Obor.
_________ (2004). Ensiklopedi Gereja jilid 2. Jakarta: Obor.
_________ (2004). Ensiklopedi Gereja jilid 5. Jakarta: Obor.
IPPAK. (2006). Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Ilmu Pendidikan
kekhususan Pendidikan Agama Katolik. Yogyakarta:Universitas Sanata
Dharma.
Keller, Dominic J. (1947). Fundamentals of Gregorian Chant : a basic for class
notes and Study (edisi revisi). Minnesota:St. John’s Abbey Press.
Klarmann, Rev. Andrew F. (1945). Gregoriant Chant:a textbook for seminaries,
novitiates and secondary school. Ohio:Gregorian Institute of America .
Komisi Liturgi MAWI. (1986). Bina Liturgia 2B:Instruksi tentang Musik di dalam
Liturgi. Jakarta:Obor
Komisi Liturgi KWI. (1992). Puji Syukur:Buku Doa dan Nyanyian Gerejawi.
Jakarta:Obor.
___________________ (Seksi Musik). (1993). Puji Syukur Kor I: untuk kor campur.
Jakarta:Komisi Liturgi KWI
Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II, (terjemahan R.
Hardawiyana, SJ). Jakarta:Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966)
KWI. (1996). Iman Katolik : Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta:Kanisius
Lembaga Alkitab Indonesia. (2005). Alkitab Deuterokanonika:Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Jakarta:LAI. (Terbitan I tahun 1974)
Lea, Sara. (2007). Lagu Pop sebagai Media Pewartaan Iman Bagi Kaum Muda
Metropolitan Pada Zaman Audio Visual. Yogyakarta:IPPAK
Mack, Dieter. (1993). Sejarah Musik III. Yogyakarta:PML.
Martasudjita, E. & J. Kristanto. (2007). Panduan Memilih Nyanyian Liturgi.
Yogyakarta:Kanisius.
Martasudjita, E. (2007). Gerak Hati Seorang Gembala Gereja. Hidup, no 34 tahun
61, hal 10-11
Prier, KE. (1988). Lux et Origo. Yogyakarta:PML.
________ (1991). Sejarah Musik I. Yogyakarta:PML.
________ (1993). Sejarah Musik II. Yogyakarta:PML.
151

________ (1994). Perkembangan Musik gereja sampai abad ke-20. Gema Duta
Wacana, edisi 48, hal 35-53.
________ (1995). Instruksi Tentang Inkulturasi Liturgi Romawi. Yogyakarta:PML
________ (2002). Liturgi I. Diktat Mata Kuliah Liturgi untuk Mahasiswa Semester I,
Program Studi Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas
Sanata Dharma.
_________(2007). Liturgi II. Diktat Mata Kuliah Liturgi untuk Mahasiswa Semester
II, Program Studi Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik,
Universitas Sanata Dharma.
_________(2007). Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia tahun 1957-2007.
Yogyakarta:PML.
_________(2009). Kamus Musik. Yogyakarta:PML
_________(2009b). Musik Gereja Zaman Sekarang. Yogyakarta:PML
Pusat Musik Liturgi. (1980). Madah Bakti. Yogyakarta:PML.
Seksi Musik Liturgi Indonesia. (1976). Konggres Musik Liturgi Indonesia I Tahun
1976:Menciptakan Suasana Dalam Perayaan Liturgi. Spektrum, edisi 2, hal
25.
Setiawan, Widi. (2009). Menjadi Manusia yang Penuh Musik. Aquila, no 1 Thn
LXXIX Edisi Oktober 2008–Januari 2009, hal 14-17.
Verhoeven, Th. L & Marcus Carvallo. (1969). Kamus Latin-Indonesia.
Ende:Percetakan Arnoldus
Yasinta, Maria E. & Suliyanto, Antonius. (2007). Demi Kesatuan Gereja Integral.
Hidup, no 34 tahun 61, hal 8-9
152

LAMPIRAN
Lampiran 1
Daftar Kerangka Wawancara

1. Bagaimana peranan Lagu Gregorian dalam musik Liturgi sekarang ini?


2. Tantangan apa yang dialami dalam proses pengembangan Lagu Gregorian?
3. Nilai Positif/sumbangan positif apa yang diberikan oleh Lagu Gregorian
terhadap musik liturgi ?
4. Usaha apa yang dilakukan atau sedang dilaksanakan guna mengembangkan
kembali Lagu Gregorian dalam musik liturgi Gereja ?
5. Bagaimana tanggapan umat mengenai munculnya kembali Lagu Gregorian
dalam musik gereja?
6. Bagaimana tanggapan gereja mengenai dikeluarkannya Motu Proprio Paus
Benedictus XVI terhadap Lagu Gregorian?

(1)
LAMPIRAN 2

HASIL WAWANCARA

Tanggal : 31 Agustus 2009

Pukul : 16.30 WIB

Sumber : Bpk. Adimurti

Wilayah Jogokaryan - Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta

Tanya : “Bagaimana Peranan Lagu Gregorian dalam Liturgi Ekaristi? Lalu

bagaimana dengan hasil Konsili yang menyatakan bahwa ada ‘penggeseran’ lagu

Gregorian?”

Jawab : Lagu Gregorian tidak pernah digeser kedudukannya, namun jangan

sampai dilupakan atau ditinggalkan. Hal ini berarti lagu Gregorian tetap dapat

dipergunakan minimal pada hari raya tertentu. Namun ada kendala yang berasal dari

pihak hirarki atau para romo. Liturgi sudah diatur sedemikian rupa sehingga menjadi

suatu patokan baku, selain itu umat juga diharuskan untuk selalu berpartisipasi dalam

segala bidang dalam liturgi. Di lain pihak, petugas altar atau misdinar semakin kurang

menyadari perannya sebagai contoh bagi umat. Di satu segi umat diharapkan ikut

berpartisipasi dalam liturgi, namun di sisi lain misdinar jarang yang menunjukkan

partisipasi aktifnya dalam jawaban-jawaban doa.

Setelah munculnya hasil Konsili Vatikan II, Gereja atau para hirarkis berusaha

menyesuaikan secepat mungkin dengan adanya perubahan bahasa Latin ke bahasa

(2)
daerah masing-masing. Liturgi tidak akan kembali ke bentuk liturgi semula atau ritus

latin.

Lalu mengenai lagu Gregorian, masih banyak umat yang mengalami masa-masa

liturgi menggunakan lagu Gregorian dan bahasa Latin. munculnya misa dengan lagu-

lagu Gregorian mengembalikan kenangan sakral akan Ekaristi. Walaupun kurang

hafal dengan lagu Gregorian, namun dapat dinikmati dan dipelajari dari Madah Bakti.

Tanya : Bagaimana pendapat bapak mengenai posisi lagu Gregorian yang

saat ini dikumpulkan menjadi satu dalam Lux et Origo ?

Jawab : Lux artinya Sinar et Origo sinar di hati Bangsa-bangsa. Ditandakan

pada ordinarium pertama yaitu masa paskah itu di sana tertulis ada Lux et Origo.

Perubahan lagu Gregorian dari Madah Bakti ke dalam Lux et Origo terjadi secara

cepat. Perubahan ini lebih mengarah pada perubahan bentuk liturgi dan kegunaan

lagu tersebut dalam liturgi.

Tanya : Pengembangan lagu Gregorian mulai bermunculan di Pugeran

maupun di Kemetiran. Apakah ada usaha yang sama di kota lain, dan bagaimana

perkembangannya?

Jawab : Keinginan itu sering kali muncul. Salah satu wujudnya di Salatiga,

namun memiliki kesulitan dalam hal pelatihan. Ada keinginan untuk membagikan

pengalaman dan kemampuan yang saya miliki. Mempelajari lagu Gregorian tidak

serumit yang dibayangkan. Dalam mempelajari lagu Gregorian dibutuhkan adanya

kemauan dan usaha.

(3)
Tanya : Lalu belajar dari sejarah juga, nilai positif apa yang diberikan

Gregorian dalam liturgi sekarang?

Jawab : Ada banyak nilai positif yang diberikan oleh lagu Gregorian. Salah

satunya dikarenakan penyusunan kalimat dan rangkaian nada yang bagus akurat dan

memiliki kekhidmatan tersendiri. Semua lagunya menyiratkan makna seperti orang

berdoa. Ini memang disusun sedemikian rupa dan telah berlaku selama lebih dari

sepuluh abad bahkan belasan abad. Penggunaan misa dengan lagu Gregorian itu

dirasakan lebih khidmat. Dengan masuknya unsur daerah dapat dikembangkan

dengan doa dalam bahasa latin tapi kotbah bahasa Indonesia.

Tanya : Apakah ada kesulitan dalam mengembangkan lagu Gregorian

terlebih dalam misa yang lalu?

Jawab : Pada awalnya, peserta meliputi beberapa angkatan dari yang masih

muda sampai orang tua. Namun karena merasakan kesulitan dalam mempelajarinya

sehingga semakin lama semakin berkurang. Apabila merasa kesulitan dalam

mempelajari notasi Gregorian, akan dituliskan notasi angkanya.

Tanya : Lalu bagaimana pandangan bapak mengenai munculnya Motu

Proprio terbaru dari Paus Benediktus XVI mengenai penggunaan kembali lagu

Gregorian?

Jawab : Motu Proprio dari Paus Benediktus XVI sedikit memberi penegasan

dari hasil Konsili Vatikan II mengenai penggunaan lagu Gregorian. Terlebih dengan

adanya kelompok yang memisahkan diri dari Gereja, kelompok ini tidak dapat

(4)
menerima hasil Konsili Vatikan secara penuh. Perbedaan pandangan ini berusaha

diatasi oleh Gereja dengan mengeluarkan motu proprio ini.

(5)
Tanggal : 29 Agustus 2009

Pukul : 19.00 WIB

Sumber : Sdri. Inge

Wilayah Kadipaten Wetan - Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta

Kuliah Fakultas Hukum Atmajaya

Tanya : Bagaimana kesannya mengikuti Perayaan Ekaristi dengan lagu

Gregorian?

Jawab : Walaupun saya tidak mengetahui makna yang hendak disampaikan

dari lagu Gregorian, namun suasana yang terbentuk membantu saya menghayati

Perayaan Ekaristi tersebut.

Tanya : Apakah ada keinginan untuk meneruskan bentuk Perayaan Ekaristi

seperti ini?

Jawab : Akan lebih baik apabila pelaksanaannya tidak hanya pada sabtu

kelima.

Tanya : Sebagai salah satu mudika yang aktif dalam kegiatan menggereja,

apakah ada keinginan untuk memperkenalkan lagu Gregorian terhadap kaum muda?

Jawab : salah satu masukan saya, hendaknya lagu Gregorian diperkenalkan

kepada kaum muda dengan bentuk yang lain. Seperti pengenalan Taize yang

dikonsep berbeda dengan perayaan Ekaristi. Dengan semakin seringnya lagu

Gregorian diperdengarkan di kalangan kaum muda mendukung kaum muda untuk

semakin mengenal lagu Gregorian.

(6)
Tanya : Untuk perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian selanjutnya, bentuk

partisipasi seperti apa yang diharapkan?

Jawab : Turut ambil bagian dalam liturgi seperti bacaan dan paduan suara.

Namun untuk paduan suara hendaknya diperlukan latihan yang lebih intensif. Hal ini

juga agar dapat tampil semaksimal mungkin ketika bertugas.

Tanggal : 29 Agustus 2009

Pukul : 19.00 WIB

Sumber : Bpk. Bambang

Wilayah Minggiran - Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta

Tanya : Bagaimana kesan bapak terhadap misa dengan lagu Gregorian

Jawab : saya merasa senang dengan adanya bentuk misa dengan lagu

Gregorian ini. Terasa lebih khidmat dan mengobati rasa rindu terhadap bentuk lagu

Gregorian.

Tanya : Apa keinginan Bapak mengenai perkembangan lagu Gregorian?

Jawab : Diharapkan adanya misa khusus yang menggunakan lagu Gregorian

Latin untuk para pecinta lagu Gregorian. Yang menangani kaum muda namun tetap

didukung penuh oleh para orang tua, dewan dan ahli lagu Gregorian.

(7)
Sumber : Ibu Taliman

Wilayah Minggiran - Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Tanya : Bagaimana kesan ibu terhadap misa dengan lagu Gregorian

Jawab : Saya merasa lebih enak dan lebih nyaman ketika saya mengikuti

perayaan Ekaristi dengan lagu Gregorian tadi.

(8)
Lampiran 3

ANJURAN APOSTOLIK “SACRAMENTUM CARITATIS”


Mengenai EKARISTI
sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan serta Perutusan Gereja, #1-2
oleh: Paus Benediktus XVI, 2007

(http://bukumisa.co.cc/orandi/ acessed on 8 Agustus 2009)

Sakramen Cinta Kasih, Ekaristi Kudus, adalah karunia pemberian diri Yesus
Kristus, yang mengungkapkan kepada kita kasih Allah yang tak terbatas kepada
setiap orang, laki-laki dan perempuan. Sakramen yang mengagumkan ini menyatakan
kasih yang “lebih besar” itu, yakni kasih yang mendorong Dia untuk “memberikan
nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya” (Yoh 15 :13). Yesus sungguh mengasihi
mereka “sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1). Dengan kata-kata itu Penginjil
menampilkan tindak kerendahan hati Kristus yang luar biasa: sebelum wafat di salib
bagi kita, Ia mengikatkan sehelai kain pada pinggang-Nya, dan membasuh kaki
murid-murid-Nya. Dengan cara yang sama, dalam Sakramen Ekaristi, Yesus terus
mengasihi kita “sampai pada kesudahannya”, bahkan menyerahkan tubuh dan darah-
Nya kepada kita. Betapa besar rasa takjub para rasul menyaksikan apa yang dilakukan
dan dikatakan Tuhan dalam Perjamuan Malam itu! Betapa besar pula rasa kagum
yang ditimbulkan oleh misteri Ekaristi dalam hati kita!
Dalam sakramen altar ini Tuhan menjumpai kita, manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah (bdk. Kej 1:27), dan menjadi teman sepanjang perjalanan kita.
Dalam sakramen ini, Tuhan sungguh menjadi makanan bagi kita, untuk memuaskan
dahaga kita akan kebenaran dan kebebasan. Karena hanya kebenaran yang mampu
membebaskan kita (bdk. Yoh 8:32), maka Kristus menjadi santapan kebenaran bagi
kita. Dengan gambaran insani yang sederhana, Santo Agustinus menunjukkan dengan
jelas bagaimana kita secara spontan merasa terharu, dan bukan karena terpaksa,
apabila kita menjumpai sesuatu yang menarik dan kita inginkan. Sambil bertanya
dalam hati apa yang paling mengharukan kita, uskup kudus ini berkata lebih lanjut,
“Apakah yang paling didambakan oleh jiwa kita selain kebenaran?” Setiap orang dari
kita memiliki kerinduan bawaan yang tak dapat dipadamkan terhadap kebenaran yang
tertinggi dan definitif. Tuhan Yesus, “jalan, dan kebenaran, dan kehidupan” (Yoh
14:6), menjawab dahaga kita, hati peziarah, yang merindukan sumber kehidupan, hati
yang mendambakan kebenaran. Yesus Kristus adalah Kebenaran dalam wujud
manusia, yang menarik dunia kepada Diri-Nya. “Yesus adalah bintang pedoman
untuk kebebasan manusia: tanpa Dia, kebebasan kehilangan fokusnya, karena tanpa
pengetahuan tentang kebenaran, kebebasan kehilangan makna, asing, dan merosot
menjadi sesuatu yang hampa. Bersama Dia kebebasan menemukan jati dirinya.”
Dalam Sakramen Ekaristi Yesus secara khusus menunjukkan kepada kita kebenaran
tentang cinta-kasih yang merupakan hakikat Allah sendiri. Kebenaran injili inilah,

(9)
yang menantang setiap kita dan juga seluruh keberadaan kita. Karena alasan ini
Gereja, yang menemukan pusat hidupnya dalam Ekaristi, terus-menerus berusaha
memaklumkan kepada semua orang, baik atau tidak baik waktunya (bdk. 2Tim 4:2),
bahwa Allah adalah kasih. Sungguh, Kristus telah menjadi santapan kebenaran bagi
kita; karena itu, Gereja berpaling kepada setiap orang, laki-laki dan perempuan, untuk
mengundang mereka agar menyambut karunia Allah ini dengan bebas.

(10)
Lampiran 4

SURAT APOSTOLIK “MOTU PROPRIO SUMMORUM PONTIFICUM”


SRI PAUS BENEDIKTUS XVI
28 OKTOBER 2008

(http://bukumisa.co.cc/orandi/ acessed on 8 Agustus 2009)

Saudara Uskup-Uskupku terkasih,


Dengan kepercayaan dan harapan tinggi, aku mempercayakan kepada kalian
sebagai Pastor-Pastor, teks dari Surat Apostolik baru “Motu Proprio data” berkenaan
dengan penggunaan liturgi Roma sebelum pembaharuan pada 1970. Dokumen
tersebut adalah buah dari banyak refleksi, banyak konsultasi dan doa.
Laporan-laporan berita dan penghakiman-penghakiman yang dibuat tanpa
informasi yang cukup telah menciptakan kebingungan yang tidak sedikit. Ada banyak
reaksi yang berbeda, dari penerimaan yang gembira sampai perlawanan yang kasar,
berkenaan dengan sebuah rencana yang isi nyatanya masih belum diketahui.
Dokumen ini paling ditentang secara langsung karena dua ketakutan, yang
ingin aku bahas secara lebih dekat di surat ini.
Pertama-tama, ada ketakutan bahwa dokumen ini mengurangi otoritas dari
Konsili Vatikan II, dimana keputusan penting [dari konsili tersebut] – yaitu
pembaharuan liturgi – dipertanyakan.
Ketakutan ini tidak berdasar. Dalam hal ini, pertama mesti dikatakan bahwa
Misa yang dipublikasikan oleh Paulus VI dan kemudian di publikasikan kembali
dalam dua edisi berturut oleh Yohanes Paulus II, jelas-jelas dan terus menjadi Bentuk
normal – the Forma ordinaria – dari Liturgi Ekaristi. Sekarang, Versi terakhir dari
Missale Romanum sebelum Konsili [Vatikan II] akan bisa digunakan sebagai sebuah
Forma extraordinaria dari perayaan liturgis. Tidaklah patut untuk berbicara mengenai
dua versi dari Misa Roma ini seakan-akan mereka adalah “dua ritus”. Namun, ini
adalah masalah dua lapis penggunaan (use) dari ritus yang satu dan sama.
Dan mengenai penggunaan Misa 1962 sebagai Forma extraordinaria dari
Liturgi Misa, aku ingin menarik perhatian kepada fakta bahwa Misa ini tidak pernah
dibatalkan secara yuridis dan, konsekuensinya, selalu diijinkan. Pada saat pengenalan
Misa yang baru [ie. Misa Paulus VI 1970], tidak dirasa perlu untuk mengeluarkan
norma-norma [ie. aturan-aturan] spesifik bagi kemungkinan penggunaan Misa yang
lebih awal [ie. Misa 1962]. Mungkin [kala itu] dipikir bahwa [hal tersebut] akan
merupakan masalah beberapa kasus individu yang akan terselesaikan kasus per kasus
pada tingkat lokal. Setelah itu, bagaimanapun, cepat menjadi jelas bahwa sejumlah
besar orang tetap terikat kuat dengan penggunaan Misa ritus Roma [yang lebih awal]
ini, yang akrab bagi mereka sejak dari kecil. Ini terutama merupakan kasus di negara-
negara dimana gerakan liturgis telah menyediakan kepada banyak orang sebuah

(11)
formasi liturgis dan keakraban yang dalam dan [bersifat] pribadi terhadap Bentuk
awal dari perayaan liturgis [tersebut]. Kita semua tahu bahwa, di gerakan yang
dipimpin oleh Uskup Agung Lefebvre, kesetiaan kepada Misa lama menjadi tanda
identitas eksternal; alasan-alasan bagi perpecahan yang timbul karena ini,
bagaimanapun, terletak pada tingkat yang lebih dalam [dari sekedar kesetian kepada
Misa lama]. Banyak orang yang dengan jelas menerima karakter mengikat dari
Konsili Vatikan II dan setia kepada Paus serta Uskup-Uskup, tapi masih ingin untuk
kembali kepada bentuk liturgi Kudus yang berkesan bagi mereka. Ini terjadi, diatas
segalanya, karena di banyak tempat, perayaan-perayaan [dengan Misa Paulus VI]
tidak taat kepada preskripsi Misa baru tersebut, namun yang sebelumnya [catatan:
aku kurang tahu “yang sebelumnya” apa, mungkin “Misa Paulus VI”] dipahami
[sebagai sesuatu] yang mengijinkan atau bahkan memerlukan kreativitas, [dimana
hal-hal tersebut] sering berujung kepada deformasi liturgi yang sulit untuk diterima.
Aku berbicara dari pengalaman[ku], karena aku juga hidup melalui periode [Misa
Paulus VI] dengan harapan-harapannya dan kebingungannya. Dan aku telah melihat
bagaimana deformasi yang rancu atas liturgi menyebabkan kesakitan yang dalam
kepada individu-individu yang berakar dalam iman Gereja.
Paus Yohanes Paulus II, karenanya, merasa wajib untuk menyediakan di Motu
Proprio Ecclesia Dei (2 Juli 1988), aturan-aturan bagi penggunaan Misa 1962;
dokumen itu, bagaimanapun, tidak mengandung preskripsi detail tapi memohon
(appealed) secara umum kepada kedermawanan tanggapan para Uskup atas “aspirasi
sah” dari anggota-anggota umat beriman yang meminta penggunaan Misa Roma ini.
Pada saat itu, sang Paus utamanya ingin membantu Society of Saint Pius X untuk
kembali pada persekutuan penuh dengan Penerus Petrus, dan berusaha mengobati
luka menyakitkan yang diderita. Sayangnya rekonsiliasi ini belum terjadi.
Bagaimanapun, beberapa komunitas telah dengan rasa terima kasih memanfaatkan
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh motu Propio [dari Yohanes Paulus
II]. Disisi lain, masih ada kesulitan-kesulitan mengenai penggunaan Misa 1962 diluar
kelompok-kelompok ini, karena kurangnya norma-norma yuridis yang tepat, terutama
karena para Uskup, pada kasus itu, sering takut bahwa otoritas dari Konsili [Vatikan
II] akan dipertanyakan. Segera setelah Konsili Vatikan II diasumsikan bahwa
permintaan untuk penggunaan Misa 1962 akan dibatasi [hanya] bagi generasi tua
yang telah tumbuh dengan [Misa] tersebut. Tapi disaat ini telah jelas
didemonstrasikan bahwa orang-orang muda juga telah menemukan bentuk liturgis ini,
merasakan ketertarikan darinya dan menemukan didalamnya suatu bentuk
perjumpaan dengan Misteri dari Ekaristi Terkudus [yang] cocok dengan mereka.
Karenanya keperluan telah tumbuh bagi sebuah aturan yurisdiksi yang lebih jelas
yang tidak diperkirakan pada saat Motu Proprio 1988. Norma-norma saat ini juga
dimaksudkan untuk membebaskan Uskup-Uskup dari secara terus menerus harus
mengevaluasi bagaimana mereka menanggapi berbagai situasi [berkenaan dengan
penggunaan Misa 1962].
Kedua, ketakutan ter-ekspresikan dalam diskusi-diskusi tentang Motu Proprio
yang dinanti-nanti, bahwa kemungkinan penggunaan yang luas atas Misa 1962 akan

(12)
berujung pada kecarut-marutan dan bahkan perpecahan dalam komunitas Paroki.
Ketakutan ini juga bagiku tidak berdasar. Penggunaan Misa lama mengasumsikan
suatu tingkat formasi liturgis dan suatu pengetahuan atas bahasa Latin; dan ini tidak
dijumpai banyak. Dan dari asumsi ini, jelas terlihat bahwa Misa baru akan tetap
merupakan Bentuk biasa dari Ritus Roma, tidak hanya karena norma-norma yuridis,
tapi juga karena situasi aktual dari komunitas-komunitas para umat beriman.
Memang benar bahwa ada pelebih-lebihan, dan disaat lain aspek-aspek sosial,
yang dihubungkan dengan sikap dari umat beriman yang terikat pada tradisi liturgi
Latin purba. Kasih dan kehati-hatian pastoralmu [ie. para Uskup] akan menjadi
sebuah insentif dan pengarah dalam memperbaiki hal ini. Atas masalah itu, Dua
bentuk penggunaan dari Ritus Roma bisa saling memperkaya; Para Kudus baru dan
beberapa Prefasi dapat dan harus dimasukkan kedalam Misa lama. Komisi “Ecclesia
Dei”, dalam kontaknya dengan berbagai badan yang fokus kepada usus antiquior
[catatan: gak tahu apa itu], akan mempelajari kemungkinan-kemungkinan praktis
dalam hal ini. Perayaan Misa sesuai dengan Misa Paulus VI akan mampu
menunjukkan, secara lebih berkuasa dari yang sebelumnya, kesakralan yang menarik
banyak orang ke penggunaan yang sebelumnya. Jaminan paling meyakinkan bahwa
Misa Paulus VI bisa menyatukan komunitas paroki dan dicintai mereka terdiri dari
perayaannya dengan kekhusukan yang besar dalam keselarasan dengan arahan-arahan
liturgis. Ini akan membawa kekayaan spiritual dan kedalaman theologis dari Misa
[Paulus VI] ini.
Sekarang aku tiba pada alasan positif yang memotivasi keputusanku untuk
mengeluarkan Motu Proprio ini yang meng-up date [Motu Proprio Yohanes Paulus II
pada] 1988. [Pengeluaran motu Proprio ini] merupakan masalah [untuk] tiba kepada
perdamaian interior dalam jantung Gereja. Melihat ke masa lalu, kepada perpecahan-
perpecahan yang sepanjang abad telah merobek Tubuh Kristus, seorang terus
mendapatkan kesan bahwa, pada saat-saat kritis ketika perpecahan timbul, tidak
cukup [hal] dilakukan pemimpin Gereja untuk menjaga atau mendapatkan
perdamaian dan kesatuan. Seseorang mendapatkan kesan bahwa ketidakbertindakan
dari Gereja merupakan [hal yang] bisa disalahkan sebagai fakta bahwa perpecahan ini
menjadi mampu untuk mengeras. Pandangan ke yang lalu ini mengenakan suatu
kewajiban kepada kita hari ini: untuk membuat setiap upaya untuk memampukan
[catatan: sebenarnya tulisannya “untuk tidak memampukan” tapi mestinya yang benar
adalah “untuk memampukan”] bagi semua yang benar-benar menghendaki kesatuan
untuk terus berada didalamnya atau untuk mendapatkan kesatuan yang baru. Aku
berpikiran akan satu kalimat di Surat Kedua kepada Umat di Korintus, dimana Paulus
menulis: “Mulut kami terbuka bagimu, umat Korintus; jantung kami [terbuka] lebar.
Kalian tidak dibatasi oleh kami, tapi kalian dibatasi oleh rasa sayang kalian sendiri.
Sebagai balasannya … lapangkanlah jantung kalian juga!” (2 Kor 6:11-13). Paulus
memang berbicara dalam konteks yang lain, tapi anjuran ini bisa dan harus
menyentuh kita semua juga, tepatnya dalam subyek ini [catatan: yang dimaksud
adalah usaha untuk meningkatkan upaya rekonsiliasi agar perpecahan tidak semakin
mengeras sehingga semakin sulit untuk direkonsiliasikan]. Marilah kita dengan

(13)
dermawan membuka jantung kita dan membuat ruangan bagi semua yang diijinkan
oleh iman sendiri.
Tidak ada kontradiksi antara dua edisi dari Misa Roma. Dalam sejarah liturgi
ada pertumbuhan dan kemajuan, tapi tidak keterpotongan. Apa yang dipandang kudus
bagi generasi sebelumnya, tetap kudus dan sangat bagus bagi kita juga, dan tidak bisa
tiba-tiba [hal tersebut] menjadi seluruhnya terlarang atau bahkan dianggap
membahayakan. Adalah patut bagi kita semua untuk melestarikan kekayaan yang
telah terkembangkan dalam iman dan doa Gereja, dan untuk memberi kepadanya
tempat yang layak. Tidak perlu dikatakan lagi, untuk mengalami persekutuan secara
penuh, imam-imam dari komunitas yang suka (adhering) kepada penggunaan yang
lama [ie. Misa 1962] tidak dapat, sebagai masalah prinsipiil, mengecualikan perayaan
dengan buku [liturgi baru] [catatan: maksudnya tidak boleh ada romo yang karena
Motu Proprio SummorumPontificum, kemudian menolak merayakan Misa Paulus
VI]. Pengecualian total kepada ritus baru [ie. Misa Paulus VI] tidak akan konsisten
dengan pengenalan akan nilai dan kekudusan [Misa Paulus VI].
Sebagai kesimpulan, para Saudara terkasih, aku sangat menginginkan untuk
menekankan bahwa norma-norma baru ini tidak dalam cara apapun mengurangi
otoritas dan tanggungjawab kalian, baik untuk liturgi maupun untuk pelayanan
pastoral atas umat beriman kalian. Tiap Uskup, kenyataannya, adalah moderator dari
liturgi di Keuskupannya (cf. Sacrosanctum Concilium, 22: “Sacrae Liturgiae
moderatio ab Ecclesiae auctoritate unice pendet quae quidem est apud Apostolicam
Sedem et, ad normam iuris, apud Episcopum”).
Tidak ada yang diambil, karenanya, dari otoritas para uskup, yang perannya
masih tetap, yaitu berjaga-jaga agar semuanya dilakukan dalam kedamaian dan
ketenangan. Kalau beberapa masalah timbul dimana romo paroki tidak bisa
mengatasi, Ordinari Lokal akan selalu mampu untuk campur tangan, dalam
keselarasan penuh, bagaimanapun, dengan semua yang telah ditetapkan oleh norma-
norma baru dari Motu Proprio.
Terlebih, aku mengundang kalian, Saudara terkasih, untuk mengirimkan
kepada Tahta Suci catatan pengalaman-pengalamanmu, tiga tahun setelah Motu
Proprio ini berlaku. Kalau memang kesulitan serius telah terjadi, cara untuk
mengobatinya bisa dicari.
Para Saudara, dengan rasa terima kasih dan kepercayaan, aku mempercayakan
kepada hati kalian sebagai Pastor-Pastor, halaman-halaman ini dan norma-norma dari
motu Proprio. Biarlah kita selalu ingat perkataan dari Rasul Paulus yang diarahkan
kepada para panatua di Ephesus: “jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan,
karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan
Gereja Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya sendiri” (Kis 20:28).
Aku mempercayakan norma-norma ini kepada intersesi berkuasa dari Maria,
Bunda Gereja, dan aku dengan bersahabat memberikan Berkat Apostolik-ku kepada
kalian, para Saudara terkasih, kepada romo-romo paroki di keuskupan kalian, dan
kepada semua romo, rekan kerja kalian, dan juga kepada para umat beriman.

(14)
Diberikan di [Basilika] St. Petrus, 7 Juli 2007
BENEDICTUS PP. XVI

(15)
Lampiran 5

“MOTU PROPRIO SUMMORUM PONTIFICUM”


PAUS BENEDIKTUS XVI
BERKENAAN DENGAN PENGGUNAAN LITURGI ROMA SEBELUM
PEMBAHARUAN PADA 1970
7 JULI 2007

(http://bukumisa.co.cc/orandi/ acessed on 8 Agustus 2009)

___Sampai saat ini, paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik memiliki
kepedulian yang terus-menerus untuk menjamin bahwa Gereja Kristus
mempersembahkan suatu perayaan yang layak kepada Allah Mahamulia, ‘untuk
memuji dan memuliakan namaNya,’ dan ‘demi kebaikan seluruh Gereja KudusNya.’
___Sejak jaman dahulu dan juga pada masa mendatang, merupakan suatu keharusan
– untuk menjaga prinsip yang dengannya ’setiap Gereja partikular harus sama dengan
Gereja universal, tidak hanya mengenai ajaran iman dan tanda-tanda sakramental,
tapi juga tentang tata cara yang diterima secara universal oleh tradisi apostolik yang
tak-terputus, yang harus dipatuhi tidak hanya untuk menghindari penyimpangan-
penyimpangan, tetapi juga supaya khazanah iman dapat diwariskan secara utuh
sehingga “tata doa” tetap selaras dengan “tata iman” Gereja. (1)
___Di kalangan para Paus yang menunjukkan kepedulian yang besar, sangatlah
menonjol nama St. Gregorius Agung, yang berupaya dengan segenap tenaga untuk
menjamin agar bangsa-bangsa baru Eropa menerima baik iman Katolik maupun
kekayaan tradisi dan kebudayaan yang telah dikumpulkan oleh bangsa romawi pada
abad-abad sebelumnya. Dia memerintahkan agar bentuk liturgi kudus sebagaimana
yang dirayakan di Roma, baik Korban Misa maupun ibadat harian, dipelihara. Ia
sangat memajukan hidup para rahib dan biarawati yang sambil mengikuti Regula St.
Benediktus bersamaan dengan pewartaan injil, juga telah memperlihatkan dengan
cara hidupnya suatu pandangan bijaksana dari Regula bahwa ‘tidak ada sesuatupun
yang lebih agung dari karya Allah’ (bab 43). Dengan cara ini liturgi kudus, yang
dirayakan sesuai tradisi Romawi, memperkaya bukan hanya iman dan bakti kasih
tetapi juga budaya banyak bangsa. Bagaimanapun pasti bahwa liturgi Gereja Latin
dalam berbagai bentuk, di setiap abad kekristen, telah menjadi dorongan bagi
kehidupan spiritual para kudus, dan telah menguatkan banyak bangsa dalam
kebajikan-kebajikan keagamaan dan menyuburkan kasih bakti mereka.
___Banyak Paus Roma lain, seiring dengan perjalanan waktu, telah menunjukkan
perhatian khusus untuk menjamin agar liturgi kudus memenuhi tugas ini secara
efektif. Yang paling menonjol diantara mereka ini adalah St. Pius V, yang didorong
oleh semangat pastoral yang tinggi dan sesuai anjuran Konsili Trente, memperbaharui
seluruh Ibadat Gereja, mengupayakan penerbitan buku-buku liturgi yang diperbaiki

(16)
dan ’diperbaharui sesuai dengan pedoman para Bapa Gereja,’ serta mengumumkan
pemakaiannya dalam Gereja Latin.
___Di antara dari buku-buku Liturgi Ritus Romawi amat menonjol Misale Romawi,
yang dipakai kembangkan di kota Roma, dan selama berabad-abad, sedikit demi
sedikit mendapat bentuk-bentuk yang sangat mirip dengan liturgi pada masa akhir-
akhir ini.
___‘Demi tujuan yang sama ini maka para Paus Roma berikutnya giat berusaha
selama berabad-abad untuk menyesuaikan ritus-ritus dengan perubahan jaman dan
menetapkan buku-buku liturgi. Sejak awal abad ini mereka melaksanakan suatu
pembaharuan yang lebih luas dan umum.’ (2) Karena itu para pendahulu kami
klemens VIII, Urbanus VIII, St. Pius X (3), Benediktus XV, Pius XII dan Beato
Yohanes XXIII semuanya ikut berperan.
___Pada masa terakhir ini, Konsili Vatikan II menyatakan keinginan agar
pemeliharaan dan penghargaan terhadap ibadat ilahi harus diperbaharui lagi dan
disesuaikan dengan kebutuhan di jaman kita. Digerakkan oleh keinginan ini
pendahulu kami, Paus Paulus VI, pada tahun 1970, memperbaharui dan merevisi
sebagian dari buku-buku liturgi untuk Gereja Latin. Buku-buku ini diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dan diterima dengan gembira oleh para Uskup, imam dan
umat beriman. Yohanes Paulus II mengumumkan edisi acuan ketiga dari Misale
Romawi itu. Karenanya para Paus Roma telah berusaha untuk menjamin bahwa
‘pengembangan liturgi semacam ini … harus semakin cemerlang karena keagungan
dan keserasiannya.’ (4)
___Tetapi di beberapa wilayah, tidak sedikit jumlah umat beriman yang berminat dan
terus menyukai bentuk-bentuk liturgi sebelumnya dengan cinta dan kerinduan yang
besar. Bentuk-bentuk liturgis ini telah begitu tertanam dalam kebudayaan dan jiwa
mereka sehingga pada 1984 Pemimpin Tertinggi Yohanes Paulus II, yang digerakkan
oleh kepedulian terhadap reksa pastoral untuk umat beriman, melalui dokumen
khusus ‘Quattuor abhinc anno‘ yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi,
mengijinkan penggunaan misale Romawi yang diterbitkan oleh Beato Yohanes XXIII
tahun 1962. Kemudian pada tahun 1988, Yohanes Paulus II melalui Surat Apostolik
yang dinamakan Motu Proprio, ‘Ecclesia Dei‘, mendesak para Uskup untuk dengan
rela menggunakan wewenang ini [cat: wewenang untuk memberi ijin pelaksanaan
Misa Romawi Beato Yohanes XXIII] demi kebaikan semua umat beriman yang amat
menginginkannya.
___Disertai oleh doa-doa yang tidak kenal lelah dari umat beriman ini, setelah lama
dipertimbangkan oleh Pendahulu Kami Yohanes Paulus II, juga setelah
mendengarkan pandangan-pandangan dari para Bapak Kardinal dalam Sidang Dewan
Penasihat pada tanggal 22 Maret 2006, seraya mempertimbangkan secara matang,
setelah memohon bimbingan Roh Kudus serta yakin akan bantuan Allah, melalui
Surat Apostolik ini Kami MENETAPKAN sebagai berikut:
___Art. 1 Misale Romawi yang diumumkan secara resmi oleh Paus Paulus VI adalah
CARA ungkapan lazim dari ‘Lex orandi‘ (tata doa) Gereja Katolik Ritus Latin.
Bagaimanapun, Misale Romawi yang dipromulgasikan oleh St. Pius V dan

(17)
dikeluarkankan lagi oleh beato Yohanes XXIII hendaknya digunakan sebagai cara
ungkapan tak-lazim dari ‘Lex orandi‘ yang sama itu, dan harus diberi penghargaan
yang selayaknya karena penggunaannya yang anggun sejak dulu. Dua cara ungkapan
‘Lex orandi‘ Gereja ini sama sekali tidak boleh mengarah kepada perpecahan dalam
‘Lex credendi‘ (tata iman) Gereja. Sesungguhnya mereka [cat: Misa Paulus VI dan
Misa St. Pius V], adalah dua cara pelaksanaan dari ritus romawi yang sama.
___Karena itu, diijinkan untuk merayakan Korban Misa dengan mengikuti edisi
acuan dari Misale Romawi yang dipromulgasikan oleh beato Yohanes XXIII tahun
1962 dan tidak pernah dibatalkan, sebagai cara tak-lazim dari Liturgi Gereja.
Persyaratan untuk menggunakan Misale ini seperti telah ditetapkan dalam dokumen-
dokumen sebelumnya ‘Quattuor abhinc annos‘ dan ‘Ecclesia Dei‘, diganti sebagai
berikut:
___Art. 2 dalam Misa-misa yang dirayakan tanpa umat, setiap imam katolik dari ritus
Latin, baik sekulir maupun regulir, boleh menggunakan Misale Romawi yang
diterbitkan oleh Beato Yohanes XXIII tahun 1962, atau Misale Romawi yang
disahkan oleh Paus Paulus VI tahun 1970, dan bisa dibuat pada hari apapun kecuali
pada Triduum Paskah. Untuk perayaan-perayaan seperti itu, baik dengan Misale yang
satu atau yang lain, imam tidak memerlukan ijin dari Tahta Suci atau dari
Ordinarisnya.
___Art. 3 Komunitas-komunitas Institut hidup bakti dan tarekat hidup apostolik, baik
yang diakui kepausan maupun dari keuskupan, yang ingin merayakan Misa menurut
edisi Misale Romawi yang dipromulgasikan tahun 1962, bisa melakukannya untuk
misa biara atau perayaan “komunitas” di tempat ibadat sendiri. Jika sebuah komunitas
tunggal atau seluruh Institusi atau tarekat berkeinginan untuk melakukan perayaan
seperti itu dengan lebih sering, secara berkala atau secara tetap, keputusan harus
diambil oleh para pemimpin yang lebih tinggi, sesuai dengan norma hukum dan
menurut peraturan serta statua khusus.
___Art. 4 Perayaan Ekaristi seperti yang disebut di art. 2 hendaknya –dengan
mengikuti semua norma hukum– dapat dihadiri juga oleh umat beriman yang,
berdasarkan kehendak bebas mereka sendiri, meminta hal itu.
___Art. 5.1 Di paroki-paroki dimana ada satu kelompok tetap umat beriman yang
merasa tertarik pada tradisi liturgi yang lama itu, pastor paroki mereka hendaknya
menerima dengan rela permintaan untuk merayakan Misa sesuai dengan Misale
Romawi yang diterbitkan tahun 1962, Hendaklah ia menjamin bahwa kesejahteraan
para umat beriman ini sejalan dengan reksa pastoral biasa dari paroki tersebut,
dibawah bimbingan uskup menurut KHK 392, sambil menghindari perselisihan dan
mengupayakan persatuan seluruh Gereja.
___Art. 5.2 Perayaan sesuai dengan Misale dari Beato Yohanes XXIII dapat diadakan
pada hari-hari biasa; tetapi pada hari Minggu dan hari pesta, satu misa seperti itu
dapat juga dirayakan.
___Art. 5.3 Bagi umat beriman dan imam-imam yang meminta hal itu, pastor paroki
mengijinkan juga perayaan dengan cara tak lazim ini untuk peristiwa-peristiwa

(18)
khusus seperti perkawinan, pemakaman atau pada kesempatan-kesempatan tertentu,
misalnya ziarah-ziarah.
___Art. 5.4 Para Imam yang menggunakan Misale dari Beato Yohanes XXIII
haruslah layak-pantas dan tidak terhalangi menurut hukum.
___Art. 5.5 dalam gereja-gereja yang bukan paroki atau bukan biara, adalah tugas
dari pemimpin Gereja itu untuk memberikan ijin diatas.
___Art. 6 dalam Misa yang dirayakan dengan kehadiran umat menurut Misale Beato
Yohanes XXIII, bacaannya boleh diberikan dalam bahasa setempat, dengan
menggunakan edisi yang disetujui oleh Tahta Suci.
___Art. 7 Jika suatu kelompok umat awam, seperti yang disebut di art. 5.1, tidak
mendapat ijin dari pastor paroki, hendaknya mereka menjelaskan hal ini kepada
uskup diosesan. Uskup diminta dengan sangat untuk memenuhi keinginan mereka.
Jika Uskup tidak bisa memberi kemungkinan untuk perayaan seperti itu, masalah ini
hendaknya diajukan kepada Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”.
___Art. 8 Seorang Uskup yang ingin memenuhi permintaan seperti itu dari umat
awam, tetapi karena berbagai alasan tidak dapat melakukannya, boleh mengajukan
masalah tersebut kepada Komisi “Ecclesia Dei” yang akan memberikan bimbingan
dan bantuan kepadanya.
___Art. 9.1 setelah dengan cermat mempertimbangkan semua aspek, pastor paroki
boleh juga memberikan ijin menggunakan rituale lama untuk pelayanan sakramen
Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Pengakuan dan Sakramen Pengurapan
Orang Sakit, bila keselamatan jiwa-jiwa menghendakinya.
___Art. 9.2 Para Ordinaris diberikan hak untuk merayakan Sakramen Krisma dengan
menggunakan Pontificale Romawi lama, bila keselamatan jiwa-jiwa
menghendakinya.
___Art. 9.3 Para Klerus tertahbis “in sacris constitutis” boleh menggunakan Brevir
Romawi yang dipromulgasikan oleh Beato Yohanes XXIII tahun 1962.
___Art. 10 Ordinaris wilayah yang berwenang, jika merasa tepat, boleh mendirikan
sebuah paroki khusus sesuai dengan KHK 518 untuk perayaan-perayaan menurut
bentuk lama dari ritus Romawi, atau menunjuk seorang kapelan, sambil mematuhi
semua norma hukum.
___Art. 11 Komisi Kepausan “Ecclesia Dei“, yang didirikan oleh Yohanes Paulus II
Tahun 1988 (5), tetap menjalankan tugasnya. Komisi tersebut akan mendapat bentuk,
tugas-tugas dan pedoman-pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh Paus Roma bila
dikehendaki
___Art. 12 Komisi ini, selain kuasa yang dimilikinya, akan menggunakan otoritas
Tahta Suci, untuk mengawasi kepatuhan dan penerapan peraturan-peraturan ini.
___Dengan demikian Kami memerintahkan agar semua yang Kami tetapkan dalam
Surat Apostolik ini yang dikeluarkan sebagai Motu Propio dipandang sebagai hal
yang telah “ditetapkan dan diputuskan”, dan akan kita laksanakan mulai 14
September tahun ini, pada Pesta Salib Suci: maka semua ketetapan sebelumnya yang
bertentangan tidak berlaku.
Basilikia St. Petrus, Roma, 7 Juli 2007,

(19)
tahun ketiga dari Kepausan Kami.
Paus Benediktus XVI
Catatan:
(1) PUMR, edisi ke-3., 2002, no. 397.
(2) Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus quintus annus,” 4 Desember
1988, 3: AAS 81 (1989), 899.
(3) Ibid.
(4) St. Pius X, Surat Apostolik Motu propio data, “Abhinc duos annos,” 23 Oktober
1913: AAS 5 (1913), 449-450; bdk Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus
quintus annus,” no. 3: AAS 81 (1989), 899.
(5) bdk Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Motu proprio “Ecclesia Dei,” 2 Juli 1988,
6: AAS 80 (1988), 1498.
(Diterjemahkan dari teks latin oleh: P. Bernardus Boli Ujan, SVD, Komlit KWI

(20)

Anda mungkin juga menyukai