Anda di halaman 1dari 141

Sekolah Tinggi Teologi SAAT

(Seminari Alkitab Asia Tenggara)

STUDI KARYA MASS IN B MINOR MILIK JOHANN SEBASTIAN

BACH SEBAGAI CONTOH SPIRITUALITAS YANG ALKITABIAH BAGI

PEMUSIK GEREJA

Skrispi Ini Diserahkan kepada

Dewan Pengajar STT SAAT

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Teologi

oleh

Heavenly Joy Malangkaemba

Malang, Jawa Timur

Agustus 2019
Judul : Studi Karya Mass in B minor milik Johann Sebastian Bach sebagai Contoh
Spiritualitas yang Alkitabiah bagi Pemusik Gereja
Nama : Heavenly Joy Malangkaemba
NIM : 20141041466

Disetujui oleh

Pembimbing

Surjanto Aditia, M.M.

Tanggal Lulus: _____________

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Wakil Ketua Bidang Akademik


Sarjana Teologi

Tan Kian Guan, M.Th. Sylvia Soeherman, Ph.D.


LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi SAAT, yang bertanda tangan di bawah
ini, saya:

Nama : Heavenly Joy Malangkaemba


NIM : 20141041466

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Sekolah Tinggi Teologi SAAT Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Studi Karya Mass in B
minor milik Johann Sebastian Bach sebagai Contoh Spiritualitas yang Alkitabiah bagi
Pemusik Gereja.” Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini Sekolah Tinggi
Teologi SAAT berhak menyimpan, mengalih-mediakan/format-kan, mengelolanya
dalam bentuk pangkalan data (database), dan menampilkan dan mempublikasikannya
di internet atau media lain untuk kepentingan akademik tanpa perlu meminta ijin dari
saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Malang
Pada tanggal : 3 Agustus 2019
Yang menyatakan

(Heavenly Joy Malangkaemba)


ABSTRAK

Malagkaemba, Heavenly Joy, 2019. Studi Karya Mass in B minor milik Johann
Sebastian Bach sebagai Contoh Spiritualitas yang Alkitabiah bagi Pemusik Gereja.
Skripsi, Program studi: Sarjana Teologi, Konsentrasi Musik Gerejawi, Sekolah Tinggi
Teologi SAAT, Malang. Pembimbing: Surjanto Aditia, M.M. Hal. xi, 132.

Kata Kunci: Musik Gereja, Spiritualitas, Johann Sebastian Bach, Mass in B minor.

Keindahan musik gerejawi seharusnya memancarkan keindahan Ilahi sebagai


bagian dari ciptaan Allah dan wahyu umum. Keindahan karya musik gerejawi
seharusnya mengeluarkan potensi keindahan firman Allah sebagai dasar kehidupan
umat percaya termasuk bagi para musisi gerejawi sehingga pendengar dapat
menyaksikan keindahan kemuliaan Allah, menginsafkan pendengar, memperbaiki
perilaku dan mendidik seseorang dalam kebenaran. Namun dalam kehidupan nyata
didapati beberapa orang pemusik gerejawi tidak terlihat demikian. Orang-orang
tersebut hanya berusaha menampilkan keindahan musik saja tanpa mengutamakan
firman Allah sebagai dasar dari karya-karya musiknya. Tidak jarang jika orang-orang
tersebut lebih mengutamakan keunggulan skill bermusiknya daripada menyampaikan
firman Tuhan sebagai pesan dari lagu tersebut. Lebih parahnya, orang-orang tersebut
merasa telah mengubah hati jemaat dengan keindahan yang dibawakan melalui
permainan musiknya. Masalah ini menuntun kita kepada sebuah pertanyaan,
bagaimana menjadi seorang musisi gereja yang dapat mengubah hati dan kehidupan
pendengar? Penulis mengajukan sebuah statement bahwa sebuah karya musik dapat
membawa pendengar mendekat pada Allah jika karya musiknya dihasilkan oleh
pemusik gereja yang memiliki pengenalan akan Allah secara kognitif maupun afeksi
secara seimbang. Oleh karena itu, penelitian ini membawa pembaca untuk
mendalami kehidupan seorang tokoh musik pada zaman Baroque yang dikenang
selama berabad-abad hingga zaman ini karena karya-karyanya yaitu Johann Sebastian
Bach. Penelitian ini akan melihat kehidupan spiritualitas Bach melalui karya vokal
terakhirnya yaitu Mass in B minor.
Johann Sebastian Bach merupakan seorang Lutheran, beliau hidup satu abad
setelah Martin Luther (salah seorang tokoh Reformed) meninggal dunia. Bach juga
hidup di dalam lingkungan yang mirip dengan kehidupan Martin Luther yaitu dalam
kota Jerman. Hal tersebut membuat Bach menjadi seorang yang telah dididik, baik di
dalam sekolah maupun dalam gereja, menjadi seorang Lutheran. Sebagai seorang
Lutheran, Bach menghidupi kehidupannya dengan mendasarkan firman Tuhan dalam
kehidupannya. Hal ini terlihat di dalam hampir seluruh karya Bach di mana di dalam
kesehariannya dia membuat karya kantata untuk ditampilkan setiap minggunya.
Termasuk dalam penulisan karya Mass in B minor, Bach juga mendasarkan karya-
karyanya berdasarkan firman Allah. Dalam karya ini Bach mengadaptasi bentuk
susunan karyanya sesuai susunan liturgi gereja Lutheran dalam bahasa Lutheran.
Bach berusaha memperdalam setiap makna dalam liturgi Katolik dengan kacamata
Injil. Bach juga berusaha menyesuaikan karya ini dengan selera pendengar untuk
jemaat di kota Dresden. Hal ini dilakukan untuk menjembatani Injil bagi orang-orang
Katolik-sebagai mayoritas-di kota Dresden. Adapun hal lainnya yang diungkapkan
oleh sarjana Bach bahwa Bach melakukan adaptasi karyanya dengan selera para
pendengar di kota Dresden juga untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan
kerajaan dan publik Dresden sebagai musikus yang terampil. Hal tersebut merupakan
sebuah bentuk pergumulan dirinya bersama dengan firman Tuhan sebagai seorang
manusia yang berdosa. Tetapi hal ini membawa kita untuk menyadari bahwa seorang
manusia, termasuk para musikus gereja, akan menghadapi pergumulan dengan dirinya
ketika seseorang menjadikan firman Tuhan sebagai dasar kehidupannya. Tetapi hal
ini membuktikan bahwa Bach merupakan seorang musikus yang mendasari setiap
karya-karya musiknya dengan firman Tuhan. Karya ini akhirnya memberkati banyak
orang di setiap zaman hingga hari ini. Pada awalnya, Felix Mendelssohn (satu abad
setelah Bach meninggal) menemukan karya ini dan mengangkat karya ini menjadi
salah satu karya yang patut dikenang dalam sejarah. Padahal, ketika Bach masih
hidup, karya ini tidak terlalu dihargai oleh publik Jerman waktu itu.
UCAPAN TERIMA KASIH

Jesu Juva atau biasa disingkat “J.J.” merupakan sebuah penggalan kata yang

selalu diucapkan oleh Bach dalam setiap penulisan karya-karyanya. Jesu Juva ini

merupakan sebuah penggalan dalam bahasa Latin yang berarti “Yesus tolong!”

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengalami banyak pembentukan dari Allah yang

membuat penulis betul-betul menyadari bahwa tanpa pertolongan dari Allah penulis

tidak dapat melakukannya. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan

terima kasih yang pertama karena pertolongan Allah yang begitu baik selama

penyelesaian skripsi ini. Penulis mengingat ada banyak kondisi suka dan duka yang

penulis alami selama penyelesaian skripsi ini dan penulis bersyukur hal itu terjadi

karena Allah telah memberikan kepada penulis untuk kemuliaan nama-Nya.

Penulis juga berterimakasih untuk setiap dosen-dosen di STT SAAT yang

telah mengajar dan mendidik penulis dengan sabar selama empat tahun lebih untuk

dipersiapkan menjadi seorang hamba Tuhan. Penulis juga bersyukur untuk dosen-

dosen Musik Gerejawi STT SAAT. Penulis berterimakasih untuk Ibu Carolien E.

Tantra selaku kepala program studi konsentrasi Musik Gereja SAAT, Bapak Samuel

E. Tandei selaku dosen vokal dan paduan suara penulis, Bapak Surjanto Aditia selaku

dosen pembimbing dari skripsi ini. Penulis juga bersyukur untuk Ibu Ester G. Nasrani

yang telah membantu dalam memberikan inspirasi dalam pembuatan tema skripsi ini.

Penulis juga mengingat akan kebaikan Tuhan melalui kehadiran sahabat-sahabat

penulis di kampus SAAT ini. Penulis bersyukur untuk kelompok Discipleship yaitu
untuk Daniel Iskandar dan Yoses Setiawan R. Penulis juga bersyukur kehadiran

sahabat penulis yaitu Richard S. Awuy yang telah mengenalkan dan membimbing

penulis dalam dunia musik klasik. Penulis juga bersyukur untuk kehadiran sahabat-

sahabatyang telah mendukung perjalanan pembentukan penulis di kampus SAAT:

Timotius A. F. Lingkubi, Felita Boas, Eka Gilroy K., Daniel Shanahan. Penulis juga

mengucap syukur untuk kehadiran teman-teman Masta 2014-2015, dan teman-teman

Masta Musik Gereja, kehadiran kalian sangat berdampak dalam perjalanan

pembentukan Tuhan selama di kampus SAAT, terkhusus dalam momen-momen yang

buruk, penulis percaya Allah ingin membentuk penulis menjadi pribadi yang kenal

diri dan mengasihi sesama.

Terakhir, penulis juga berterimakasih untuk gereja sponsor yaitu Gereja

Kristen Indonesia Emaus, Surabaya yang telah membiayai perjalanan studi di SAAT

untuk menjadi seorag Hamba Tuhan Musik Gerejawi penuh waktu. Oleh karena itu,

penulis mempersembahkan skripsi ini untuk Majelis/Jemaat GKI Emaus Surabaya,

khususnya untuk para pemusik gereja di GKI Emaus karena melalui gereja ini, Allah

menggerakkan kegelisahan penulis mengenai keadaan Musik Gerejawi di Indonesia.

Semoga melalui skripsi ini dapat menginspirasi dan memberkati teman-teman

pemusik gereja, baik di GKI Emaus maupun yang lainnya juga. Akhirnya penulis

persembahkan segala kemampuan dan kelemahan diri penulis dalam penulisan skripsi

ini bagi kemuliaan Allah saja. Soli Deo Gloria (S.D.G.)


DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang Masalah 1

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian 12

Batasan Masalah 12

Metodologi Penelitian 13

Sistematika Penulisan 13

BAB 2 KONSEP TEOLOGIS J. S. BACH DAN INTEGRASI TERHADAP

KARYA-KARYA MUSIKNYA 16

Teologi Luther 16

Bentuk Ekspresi dari Teologi Luther 20

Teologi Musik Luther 20

Pandangan Luther terhadap Teologi Sakramen dan Liturgi 23

Pengaruh Teologi Luther terhadap Teologi Bach 33

Teologi dan Kehidupan Bach 39

Pengaruh Roma Katolik, dan Enlightenment terhadap Teologi

Bach 45

Pengaruh Pietisme dan Teologi Bach 51

ix
Kesimpulan 57

BAB 3 KONSEP TEOLOGI J.S. BACH DITINJAU DARI KEHIDUPAN DAN

PENULISAN KOMPOSISI MASS IN B MINOR 60

Sejarah Penulisan Mass in B Minor 64

Konteks Kebudayaan dari J. S. Bach pada Waktu Penulisan Karya Mass

in B Minor 69

Analisa karya Mass in B minor 76

1. Kyrie 76

2. Gloria 81

3. Credo 95

4. Sanctus 108

5. Osanna, Benedictus, Agnus Dei, dan Dona nobis pacem 109

Kesimpulan 116

BAB 4 PENUTUP 118

Nilai-Nilai Kehidupan Teologis J.S. Bach pada masa Penulisan Karya

Mass in B Minor dan Relevansinya bagi Pemusik Gereja 118

Kesimpulan 124

Saran 125

DAFTAR KEPUSTAKAAN 127

x
DAFTAR ILUSTRASI

Gambar

Gambar 1 motif simbol salib.................................................................................. 42

Gambar 2 Perbandingan lagu “Amen” dan “Gratias” J.S. Bach............................ 68

Gambar 3 penjelasan melodi utama Kyrie I .......................................................... 77

Gambar 4 simbol sharp atau dalam bahasa Jerman kreuz ..................................... 80

Gambar 5 melodi antar suara dalam lagu Kyrie II. ................................................ 81

Gambar 6 irama 3/8 dalam lagu Gloria.................................................................. 83

Gambar 7 nada tertinggi dalam lagu Gloria ........................................................... 83

Gambar 8 motif pedal poin nada G ........................................................................ 84

Gambar 9 motif melodi sighing ............................................................................. 84

Gambar 10 Contoh embellishment yang terdapat pada nada Solois...................... 86

Gambar 11 Contoh dari Galant Style ..................................................................... 86

Gambar 12 Contoh bagian reworking Bach........................................................... 87

Gambar 13 Contoh bar 17 ...................................................................................... 88

Gambar 14 Contoh motif sighing .......................................................................... 90

Gambar 15 kolaborasi Oboe d’amore dan Solois Alto .......................................... 92

Gambar 16 Tanda Adagio dan bentuk melodi ....................................................... 92

Gambar 17 Motif ritme corta antara ritme bassoon Quoaniam ............................ 93

Gambar 18 Gabungan ritme ................................................................................... 93

Gambar 19 Melodi simetris Horn pada pembukaan lagu Quoniam ...................... 93

Gambar 20 Struktur bagan simetris dalam gerakan Symbolum Nicenum ............. 96

Gambar 21 Melodi tema Credo in unum Deum ..................................................... 97

Gambar 22 Motif melodi detached yang mewakili Allah. .................................... 99

Gambar 23 melodi violin pada violin dan viola................................................... 100


xi
Gambar 24 Motif salib pada intro lagu Et incarnatus est .................................... 101

Gambar 25 Motif menanjak ditafsirkan sebagai momen pendakian Yesus ......... 101

Gambar 26 Pergantian nada pada melodi Continuo ............................................ 103

Gambar 27 Pengembangan nada di tiap suara pada fugue Et Resurrexit ............ 104

Gambar 28 Kedua tema awal fugue lagu Confiteor ............................................ 105

Gambar 29 Melodi daras St. Gregorian pada lagu Confiteor. ............................. 106

Gambar 30 Penggunaan tanda sharp atau cross (#) dalam lagu Confiteor.......... 106

Gambar 31 nada melismatik pada kantata no.120 ............................................... 107

Gambar 32 Melodi Flute pada lagu Et Expecto (bar ke 17-20) ........................... 107

Gambar 33 Solo timpani pada lagu Et expecto .................................................... 108

Gambar 34 Pengulangan tema melodi dari kantata no.25 .................................. 111

Gambar 35 Motif salib pada bagian flute dalam lagu Benedictus. ...................... 113

Gambar 36 melodi solo alto pada kantata no.11 yang digubah ulang ................. 114

Gambar 37 motif melodi violin yang membentuk motif “permohonan” ............. 114

Gambar 38 motif melodi salib dalam lagu Agnus Dei ......................................... 114

Tabel

Tabel 1 Tabel ini merupakan table perbandingan Misa Roma Katolik, Formula

Missae, dan Misa Jerman ....................................................................................... 31

Tabel 2 Bagan Kyrie: Simetri A-B-A .................................................................... 76

Tabel 3 Bagan dari gerakan Gloria: Choral-Solo .................................................. 81

Tabel 4 Bagan penjelasan gerakan kelima dari karya Mass in B minor. ............. 109

xii
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Keindahan musik dapat dibedakan menjadi dua: keindahan musik yang

menggambarkan kecantikan, gairah sensualitas, dan keindahan musik yang

menggambarkan atraksi misterius atau atraksi supranatural dari Allah itu sendiri.1

Bagi orang-orang Ascetic, musik adalah sebuah cerminan diri Allah. Musik

digambarkan sebagai wahyu umum yang dapat merefleksikan Allah.2 Musik Kristen

adalah sebuah kendaraan yang menolong seseorang untuk mengenal Allah.3 Hal ini

menunjukkan bahwa musik memiliki keunggulan di mana firman Allah

dikomunikasikan secara bersamaan dengan keindahan bentuk musik yang dipahami

sebagai wahyu umum.4 Komunitas gereja seharusnya memahami bahwa musik

merupakan sebuah simbol pertumbuhan iman yang dapat membawa seseorang

1
Richard Viladesau, Theology and the Arts: Encountering God through Music, Art, and
Rhetoric (New York: Paulist, 2000), 39.

2
Victoria Sirota, Preaching to the Choir: Claiming the Role of Sacred Musician (New York,
NY: Church, 2006), 37.

3
Ronald Barclay Allen dan Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel
(Eugene, OR: Wipf and Stock, 2000), 29.

4
Harold M. Best, Unceasing Worship: Biblical Perspectives on Worship and the Arts
(Downers Grove, Ill: InterVarsity Press, 2003), 145.

1
semakin mengenal firman Allah, dan membawa seseorang semakin mencintai Allah.5

Orang-orang Kristen yang terpengaruh dengan pemikiran Aristotelian pada abad awal,

dan zaman medieval, maupun orang-orang Kristen pada zaman ini pun juga sepakat

menganggap bahwa musik merupakan penggambaran keindahan penciptaan alam oleh

Sang Pencipta sehingga melalui musik sendiri, manusia mendapat kepekaan terhadap

bentuk misterius kehadiran Allah, dan keberadaan akan penciptaan, serta akhir zaman

di mana semua hal itu hadir atas rencana Allah sendiri, sehingga melahirkan berbagai

macam bentuk spiritualitas sebagai respons atas keindahan tersebut. Martin Luther

juga menggambarkan musik sebagai predicatio sonora di mana musik tidak hanya

menggambarkan firman Allah saja tetapi musik menggambarkan keindahan Allah

melalui firman Allah.6 Dengan demikian, efek dari musik Kristen seharusnya

membuat pemain, maupun pendengar musik dapat merasakan kehadiran Allah,

khususnya bagi pemain musik Kristen.

Tugas para pelayan musik gereja juga tidak jauh berbeda dengan pemusik

sekuler yang membawa keindahan musiknya bagi para penonton. Para pelayan musik

gereja perlu membawa keindahan musiknya kepada Allah sebagai bentuk ibadah, dan

yang tidak jauh kalah pentingnya adalah pelayan musik gereja juga membawa

keindahan Allah kepada jemaat. Untuk membawa keindahan Allah, pelayan musik

gereja perlu memahami bahwa tidak hanya menghasilkan keindahan saja di dalam

setiap penampilan mereka melainkan mereka perlu menghasilkan keindahan yang

dilakukan secara terus menerus di dalam kehidupan mereka sebagai bentuk

5
Calvin M Johansson, Discipling Music Ministry: Twenty-First Century Directions (Peabody:
Hendrickson, 1992), 111.
6
Viladesau, Theology and the Arts, 34–37.

2
persembahan diri mereka kepada Allah.7 Oleh karena itu, dibutuhkan spiritualitas

yang alkitabiah dan integritas seni yang benar dalam memainkan sebuah musik atau

lagu Kristen.8 Pada akhirnya secara otomatis, tanpa perlu diusahakan dari pihak

jemaat pun, akan membawa jemaat beribadah kepada Tuhan dengan sendirinya.9

Permasalahan muncul ketika karya musik dihasilkan, para pelayan merasa

dapat mengubah hati jemaat di mana terdapat tendensi melalui karya seninya yang

dapat mengubah hati jemaat, secara tidak langsung mereka mulai memberhalakan

keindahan dirinya yang terpancar dari preferensi musik mereka sendiri. Oleh karena

itu, beberapa musisi ini merasa diri cukup ketika mereka dapat menghasilkan

keindahan musiknya saja. Tidak heran jika kita menemukan beberapa pelayan musik

gereja terlalu berfokus terhadap pengembangan musik secara skill saja.10 Mereka

seolah-olah tidak memahami bahwa di balik keindahan dari sebuah musik terdapat

firman Allah yang menjadi esensi yang lebih patut untuk disajikan.11 Memang

kekristenan sangat identik dengan sebuah keindahan. Keindahan menjadi sebuah

kultur dan budaya di dalam kekristenan. Hal itu tidak terlihat salah karena jika dilihat

dari sudut pandang Kristen, Allahpun juga menciptakan dunia ini dan segala isinya

dengan kondisi yang indah. Tetapi karena keindahan menjadi sebuah kebiasaan di

dalam budaya kekristenan contohnya seperti musik Reinasance hingga musik jazz

terdengar indah. Oleh karena itu, pada akhirnya tujuan akhir terciptanya sebuah karya

7
Harold M Best and Cindy Kiple, Unceasing Worship: Biblical Perspectives on Worship and
the Arts, 2003, 145.

8
Ronald Barclay Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel
(Eugene, OR: Wipf and Stock, 2000), 22.

9
Best and Kiple, Unceasing Worship, 150.

10
Ibid., 159,169.
11
Allen and Borror, Worship, 22.

3
musik hanya demi sebuah keindahan estetika saja.12 Selain itu, tujuan akhir ini

membuat seorang musisi atau sekumpulan musisi ini merasa dipuaskan, dan layaknya

sebuah berhala, tujuan akhir ini dijadikan sebuah objek repetisi di mana hal tersebut

akan terus menerus dilakukan dalam pembuatan sebuah karya musik. 13

Lebih lagi, pemusik juga merusak permasalahan sosial. Pemberhalaan

keindahan pada akhirnya tidak hanya membuat para pemusik terjebak masuk ke

dalamnya tetapi jemaat atau pendengar musik Kristen akan merasakan hal yang sama,

dengan kata lain pemberhalaan ini juga menghancurkan keberadaan tubuh Kristus.

Hal ini disebabkan karena pendengar juga dipersuasi untuk merasakan hal yang sama

berulang-ulang sehingga bagi pemusik ataupun jemaat hanya merasa melalui jenis

musik tertentulah barulah seseorang akan merasa “dipuaskan dalam Tuhan”.14

Oleh sebab itu, pemusik diajak perlu memiliki kesadaran akan firman Allah

sebagai satu-satunya otoritas tunggal yang dapat mengubah diri mereka, dan

mengubah hati jemaat pula. Dengan demikian, ketika mereka menghasilkan sebuah

karya, mereka juga perlu mengalami Allah (lewat firman-Nya) melalui proses

pemurnian diri, menjalani proses disiplin, bahkan penolakan.15 Dengan demikian

pemusik dapat mengajak pendengar mengalami keindahan firman Allah dan dapat

membawa pendengar dapat merasakan relasi dengan Sang Pencipta.16

12
Best and Kiple, Unceasing Worship, 167.

13
Ibid., 163.

14
Ibid., 169.

15
Viladesau, Theology and the Arts, 39–41; Best and Kiple, Unceasing Worship, 158.

16
June Boyce Tilman, “Tune Your Music to Your Heart: Reflections for Church Music
Leaders,” in Christian Congregational Music: Performance, Identity, and Experience (New York:
Routlegde, 2009), 53.

4
Sebuah karya musik merupakan hasil pemikiran dari seseorang yang memiliki

ideologi tertentu. Dengan kata lain musik sendiri memiliki hubungan ke dalam

berbagai aspek kehidupan. Begitu juga dengan karya musik Kristen sangat

berhubungan dengan kehidupan spiritualitas baik penghasil karya musik maupun

pendengarnya pula. 17 Menurut Steven Guthrie dalam bukunya mengatakan bahwa

karya seni yang indah adalah karya seni yang mampu membawa penikmatnya untuk

manifestasi secara jiwa (atau spirit). Hal ini membuat karya musik ataupun karya seni

lainnya merupakan hasil “spiritual” atau keindahan yang digabungkan dengan sesuatu

hal yang mistikal. Dengan kata lain, untuk menghasilkan karya seni yang indah para

seniman musik gereja dituntut untuk memiliki hasrat untuk memiliki pengenalan

intim dengan sang pencipta yaitu Allah.18 Dalam hal ini pengenalan tersebut

dilakukan dalam bentuk bergantung pada firman Allah dalam setiap pekerjaan yang

dilakukan termasuk di dalam menghasilkan karya seni yang indah. Paulus di dalam

suratnya kepada jemaat Efesus mengajak para jemaat untuk menyanyikan pujian

mazmur dan himne dalam nyanyian pujian (spiritual song). Hal ini nyata untuk

mengingatkan para pemusik gereja supaya mengajarkan kebenaran di dalam pujian

yang dibawakan. Hal ini menuntut para pemusik sebelumnya untuk mengenal dan

bergantung pada otoritas Alkitab.19

Johann Sebastian Bach adalah seorang musisi klasik yang diakui sebagai

orang yang sangat berpengaruh dalam peran musik klasik di kebudayaan Eropa.

17
Gordon Adnam, “Really Worshiping, Not Just Singing,” in Christian Congregational
Music: Performance, Identity and Experience (New York: Routlegde, 2009), 202–211.

18
Steven R Guthrie, Creator Spirit: The Holy Spirit and the Art of Becoming Human (Grand
Rapids: Baker Academic, 2011), 158–159,161.
19
Best and Kiple, Unceasing Worship, 147.

5
Selain ahli dalam bermain organ, Bach sangat dikenal melalui pembuatan karya

harpsicord, chamber orchestra, dan karya vokalnya. Karya-karya Bach sangatlah

identik dengan gaya penulisan kontrapung. Sekalipun musik Bach tidak dihargai oleh

orang-orang pada zamannya karena dianggap terlalu kuno tetapi 100 tahun kemudian

karya-karyanya sangat dihargai, dan disanjung tinggi. Selama hidupnya, Bach

menciptakan beberapa karya mayor di antaranya adalah: St. Matthew Passion, St.

John Passion, Mass in B Minor, Brandenburg Concertos, The-Well Tempered

Clavier, 200 kantata untuk ibadah minggu, 20 lagu kantata sekuler, dan 200 organ

chorale.20 Karya-karya Bach dikenal dengan menentangkan harmoni, melodi yang

ada dalam pola kontrapungnya sehingga menciptakan ketegangan dalam musiknya

yang mengakibatkan kenikmatan tersendiri bagi para pendengarnya. Hal ini

menyebabkan musik Bach diakui sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam

sejarah musik barat.21 Layaknya pada zaman Bach saat itu, beliau juga menggunakan

simbol sebagai elemen retorika struktur, dan retorika ornamentasi untuk menjelaskan

makna yang lebih dalam dari lagu yang dijelaskan.22 Seperti dalam lagu Then Pilate

took Jesus and scourged him karya St. John Passion dalam karya ini Bach

menceritakan bahwa Yesus yang akan dihukum merupakan foreshadow penggenapan

20
Donald Jay Grout, J. Peter Burkholder, and Claude V. Palisca, A History of Western Music,
ed. ke-9. (New York: W. W. Norton & Company, 2014), 435–436. Karya Bach mulai diangkat oleh
seorang komposer romantik, Felix Mendelssohn, dimana pada tahun 1850 dia mulai membawakan
karya St. Matthew Passion.

21
Ibid., 448–449.

22
Martin Geck, Johann Sebastian Bach: Life and Work (Orlando: Harcourt, 2006), 660.
Terdapat tendensi melihat musik sebagai seni yang dapat dianalisa. Hal ini berlangsung sejak zaman
humanisme berkembang hingga zaman Bach. Hal ini terlihat dari karya Heinrich Schutz dengan
karyanya The Little Sacred Concertos yang menggunakan retorika struktur dalam karyanya. Beberapa
ahli Bach pula melihat bahwa karya ini juga memengaruhi Bach dalam beretorika secara struktur dalam
aria “Widerstehe doch der Sunde”.

6
janji perdamaian Allah dengan Nuh, sehingga beliau memberikan nada berbentuk

pelangi dalam melodi lagu ini.23

Johann Sebastian Bach juga merupakan contoh seorang musisi Protestan atau

Lutheran yang menghasilkan banyak karya musik sebagai bentuk ekspresi imannya

untuk kemuliaan Tuhan.24 Bach tidak hanya berusaha untuk menunjukkan

keindahannya tetapi membuat pesan Alkitab menjadi indah dan mudah diingat.

Dengan kata lain, Bach menjadikan Alkitab dan teologi Lutheran-nya menjadi sebuah

fondasi dalam kehidupannya termasuk juga di dalam musiknya.25 Dalam pandangan

beberapa ahli yang meneliti kehidupan Bach dan musiknya (Bach Scholar) meyakini

bahwa Bach tidak hidup terlalu saleh dan memiliki hubungan yang tidak baik dengan

orang di sekitarnya. Para peneliti Bach melihat dan menyimpulkan bahwa Bach

hanya membuat musik dengan mengintegrasikan teologi dan musik sebagai sebuah

bagian yang telah dijalaninya dalam kehidupan sehari-hari.26 Namun begitu dalam

setiap karyanya selalu menunjukkan disiplin spiritualitas, dan penerapannya dalam

membaca Alkitab.27 Perenungan pembacaan Alkitabnya ditunjukkan lewat

23
Ibid., 663–664.

24
Calvin Stapert, My Only Comfort: Death, Deliverance, and Discipleship in the Music of
Bach (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 47.

25
Ibid., 6, 11.

26
Richard J. Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of
J.S. Bach,” in Resonant Witness: Conversation between Music and Theology, ed. Jeremy S. Begbie and
Steven R Guthrie (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2011), 220; Tanya Kevorkian, Baroque Piety:
Religion, Society, and Music in Leipzig, 1650–1750 , 2017, 141–142. Hal tersebut dibuktikan dari
kehidupan Bach yang tidak termasuk dalam golongan orang-orang saleh atau pengikut ajaran pietism.
Bach digolongkan sebagai orang Lutheran orthodox atau para musisi menyebutnya sebagai pro-
Baroque

27
Stapert, My Only Comfort, 9-11. Sebagai seorang Lutheran, Bach sangat menyukai bahkan
menghayati setiap bacaan teologi, dan Alkitab yang dibaca (mis: tafsiran Alkitab yang dimiliki oleh
Bach dalam 3 serinya yaitu Calov Bible Commentaries, dan bacaan lain seperti 4 seri buku Martin
Chenitz yang membahas tentang Konsili di Trent) dan diterapkan dalam karya-karya musiknya.
Sekalipun kehidupan Bach pada saat itu disibukkan dengan membuat karya tetapi terlihat logis jika
Bach sangat menyukai disiplin spiritualitas ini (membaca Alkitab) karena dalam setiap karya vokalnya
7
menerapkan penggunaan simbol tertentu untuk menggambarkan simbol kekristenan,

misalnya penggunaan catatan tulisan SDG atau Soli Deo Gloria dalam setiap akhir

karyanya untuk menjelaskan bahwa Bach mendeklarasikan tujuan utamanya dalam

setiap karyanya adalah untuk kemuliaan Allah.28 Hal ini membuat peneliti menunjuk

kehidupan Bach sebagai seseorang yang bukan hanya menunjukkan spiritualitas

kehidupan Bach sebagai seorang musisi yang berkualitas saja tetapi untuk

menunjukkan bahwa bagaimana Bach memuliakan Allah lewat musiknya.

Dalam tahun akhir hidupnya, Bach membuat karya Mass in B minor sebagai

testimoni pengalaman hidupnya bersama dengan Allah. Bach membuat kompilasi

karya-karya sebelumnya. Secara de facto, karya ini dibuat dari tahun sekitar tahun

1724 hingga 1749. Karya ini memiliki susunan liturgi seperti susunan liturgi di dalam

gereja Lutheran. Tetapi Bach menggunakan teks lagu dalam bahasa Latin dalam

setiap bagian liturginya antara lain: Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Ossana,

Benedictus, dan Agnus Dei.29 Karya ini memang adalah karya yang tidak diselesaikan

oleh Bach secara tuntas.30 Selain itu pengerjaan karya ini tidak dikerjakan secara

progresif dan berurutan alias terpisah. Menurut peneliti Bach (Bach scholar)

mengatakan bahwa Bach hanya membuat sebagian dari karya tersebut. Kyrie dan

Gloria merupakan satu bagian yang ditampilkan kepada wali kota Dresden pada tahun

selalu merujuk kepada kalimat-kalimat dalam versi tafsiran Alkitab yang dimilikinya yaitu Calov Bible
Commentaries. Buku ini sendiri sedang berada di dalam perpustakaan St. Louis, Seminari Concordia,
Michigan. Lebih mengherankan lagi di dalam catatan tafsiran ini terdapat banyak coretan-coretan dari
Bach, di mana hal ini menunjukan bahwa Bach sangat serius dalam menggali isi Alkitab, dan
menjadikan Alkitab sebagai tuntunan hidupnya.

28
Ibid., 27.

29
Yo Tomita, Robin A Leaver, and Jan Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass (New
York: Cambridge University Press, 2013), 30.

30
John Butt, Bach, Mass in B Minor (Cambridge: New York: Cambridge University Press,
1991), 7, 19.

8
1733. Kemudian Sanctus juga merupakan karya kantata-kantata Bach ketika beliau

masih di Leipzig yang didaur-ulang. Sanctus pertama kali ditampilkan pada tahun

1724 untuk perayaan Natal.31 Sedangkan sisa dari pengerjaan ini dilanjutkan oleh

anak pertama J.S. Bach, Carl-Philip Emanuel Bach.32 Uniknya dalam bagian liturgi

Credo, karya Mass in B minor ini terdapat unsur chriastic di dalamnya, di mana inti

atau pusat dari susunan lagu ini menunjuk pada bagian ‘crucifixus’ dan ‘et resurexit.’

Beberapa ahli membandingkan karya ini dengan karya Bach sebelumnya ‘Crucifixus.’

Dalam lagu ini, Bach seperti menggambarkan dua pandangan, yaitu theologia gloriae,

dan theologia crucis. Theologia Gloriae menjelaskan bahwa Allah menyatakan

kemuliaan-Nya, contohnya: Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui ciptaan-Nya.

Sementara Theologia Crucis menjelaskan bahwa Allah menyatakan diri-Nya yang

paling hina melalui Kristus yang telah mati di atas kayu salib.33 Dalam hal ini, Bach

menekankan kembali pandangannya sebagai sang orthodox Lutheran di mana salib

Kristus dipandang sebagai sebuah kehinaan sekaligus sebagai kemuliaan Allah.34

Mass in B Minor banyak terpengaruh oleh budaya-budaya lain di mana hal

tersebut tidak pernah terjadi dalam pembuatan karya Bach sebelumnya. Karya ini

dipengaruhi oleh musisi-musisi dan budaya kota Dresden, di mana kota Dresden

sendiri memiliki campuran budaya Jerman, budaya Neapolitan (Italia) dan budaya

Eropa Timur. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di mana Bach berusaha

31
Ibid., 4–5.

32
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 6. Sebenarnya dalam semua
bagian yang telah dikerjakan oleh C.P.E. telah dikerjakan oleh Bach sebelumnya dalam bentuk
kerangka kerja saja. Dalam bagian Credo merupakan bagian di mana yang telah dikerjakan oleh Bach
tetapi C.P.E melakukan menggubah ulang.

33
Ibid., 125.
34
Ibid., 136.

9
membuat karya dengan mencampurkan budaya Neapolitan dan Dresden.35 Karya ini

memiliki format misa Katolik tetapi dalam perspektif tradisi Lutheran. Hal ini

disebabkan karena status agama kota Dresden diubah menjadi Katolik. Kota Dresden

awalnya dipenuhi oleh orang-orang Lutheran. Akibat keputusan tersebut, pengikut

Lutheranisme di kota Dresden pada saat itu kurang menyukai akan kebijakan tersebut,

dan hal tersebut masih berlanjut pada era pemerintah August The Strong II, di mana

pada saat itu Bach juga tinggal di daerah tersebut. Kebanyakan para pedagang, dan

para kabinet pemerintahan yang berasal dari orang-orang Lutheran sendiri pun

menentang akan budaya tersebut. Oleh karena itu, di dalam daerah itu kita

menemukan budaya Katolik Roma dan budaya Jerman-Lutheranisme. Jadi pada

akhirnya, Bach mengambil celah tersebut untuk menarik perhatian rakyat dan

pemerintah dengan membuat karya berbentuk misa yang bernuansa Roma-Katolik

tetapi menggunakan pandangan teologi Lutheran.36 Karya ini membuktikan bahwa

Bach memiliki kemampuan yang dapat menyimpulkan dialektika secara umum

ataupun yang khusus, secara sosial maupun secara individual. Tidak ada lagi

komposer seperti ini selain Bach dan Beethoven. Beethovendan Bach dapat

melakukan hal demikian karena mereka memiliki telinga untuk orang-orang (di

sekitarnya) dan mendengarkan (kebutuhan) jiwa manusia yang dimainkan di dalam

setiap tema menurut caranya sendiri. Hal ini menunjukan bahwa di akhir

35
Butt, Bach, Mass in B Minor, 2.

36
Yo Tomita, Robin A Leaver, dan Jan Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass (New
York: Cambridge University Press, 2013), 27. Karya The Missa ini menggunakan misa Katolik dalam
perspektif Lutheran di mana gaya ibadah ini sangat lumrah ditemukan pada zaman tersebut. Ibadah
Lutheran tidak jauh berbeda dengan ibadah Katolik. Luther hanya mengubah sedikit susunan ibadah
Lutheran menjadi terlihat Christ-centered.

10
kehidupannya, Bach adalah seorang musisi yang menerapkan spiritualitasnya dalam

bermusik sekaligus musisi yang realistis bagi masyarakat disekitarnya. 37

Karya Mass in B minor ini berhasil menyatukan agama dan budaya kota

Dresden dalam menyembah Allah melalui karya ini dengan sebuah pemahaman

Alkitab yang dimiliki yaitu Injil kematian-kebangkitan Yesus Kristus.38 Jadi diyakini

tidak heran, Calvin R. Stapert memuji karya ini dengan menyatakan bahwa: “Bach

was able to do more than summarize and bring to culmination various styles, genres,

and compositional techniques. He was also able to put the whole range of his

musical/rhetorical skills to work expressing the Christian faith in the words.”

Tidak hanya itu saja, karya Bach juga menginspirasi beberapa komposer di

masa berikutnya. Tidak pernah disangka jika F. Joseph Haydn mengoleksi karya ini,

dan masuk koleksi perpustakaan pribadinya.39 Beberapa dekade kemudian F.

Mendelssohn, seorang komposer Kristen berdarah Yahudi, menghidupkan karya ini

untuk ditampilkan di publik, tepatnya pada 21 Januari 1841, dan 23 April 1843.40

37
Geck, Johann Sebastian Bach, 650–651.

38
Stapert, My Only Comfort, 45. Para sarjana menyetujui bahwa inti dari karya Mass in B
Minor ini tepat pada bagian liturgi credo (sanctus) yang memiliki bentuk khiasmus. Uniknya titik
tengah atau inti, pada bagian liturgi credo, ini adalah pada bagian penyaliban. Sehingga diyakini bahwa
inti dari karya ini bersifat cross centered. Hal ini menunjukan bahwa Bach menyatukan warga Katolik
dan Lutheran dengan salib Yesus Kristus.

39
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 219.

40
Ibid., 258. Pada bagian ini, uniknya Mendelssohn bukan hanya menampilkan ulang tetapi
sekaligus memberi tambahan dinamika sebagai bentuk interpretasinya terhadap karya ini, mis: pada
bagian crucifixus, Mendelssohn menginginkan impresi yang mendalam, dan menghasilkan efek suara
yang lembut sehingga dia menambahkan dinamika “pp” atau pianosisimo.

11
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas dasar pemahaman bahwa sebuah karya musik

dihasilkan oleh seorang pemusik gereja (baik itu dalam bernyanyi, memainkan

instrumen musik, maupun pembuatan karya musik lainnya) seharusnya menjadi

ekspresi kehidupan imannya bersama dengan Tuhan, dan dapat menjadi berkat bagi

jemaat. Namun sehubungan dengan dampak negatif yang memengaruhi pemusik

gereja (memberhalakan keindahan dalam bentuk musik) sehingga pemusik gereja

diajak untuk melihat kehidupan Johann Sebastian Bach, dan mengkaji ulang karya

Mass in B minor, dan perjalanan hidupnya selama penulisan karya Mass in B minor.

Pemusik gereja diajak untuk melihat kehidupan Johann Sebastian Bach, dan

mengkaji ulang karya Mass in B minor, dan perjalanan hidupnya selama penulisan

karya Mass in B minor sehingga para pemusik gereja dapat menyadari bahwa sebuah

karya musik akan membawa pendengar dekat pada Allah jika dihasilkan dari seorang

pemusik yang memiliki pengenalan akan Allah, baik secara kognitif maupun afeksi

yang seimbang pula. Pentingnya peran firman Allah dan pemahaman teologi bagi

pemusik gereja akan menjadi dasar dari setiap tindakan, dan menerapkannya sebagai

disiplin spiritualitas dalam kebiasaannya sehari-hari termasuk dalam menghasilkan

sebuah karya musik.

Batasan Masalah

Penelitian ini hanya membahas nilai-nilai spiritualitas yang terkandung dalam

karya Mass in B minor dan dalam sejarah perjalanan kehidupan J.S. Bach selama

penulisan karyanya ini. Bagi penulis ukuran spiritualitas pemusik gereja terukir
12
dalam karya-karyanya, oleh karena itu pembahasan nilai-nilai spiritualitas dalam

karya Mass in B minor ini akan dibahas dengan menganalisis beberapa karya saja

untuk dijadikan sebagai contoh dari nilai-nilai spiritualitas kehidupan Bach.

Pembahasan kehidupan J.S. Bach juga hanya akan dilakukan selama penulisan karya

Mass in B minor ini, yaitu selama beliau tinggal di Leipzig dan Dresden. Selanjutnya,

penulis akan meneliti bagaimana para pemusik gereja dapat membangun spiritualitas

yang dimiliki maupun tidak dimiliki oleh Bach ke dalam sebuah kebiasaan sehingga

para pemusik gereja dapat menghasilkan sebuah musik yang dapat mengubah

kehidupan jemaat.

Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan analisa musik, dan studi

pustaka. Analisa musik meliputi proses analisa komponen-komponen gaya retorika J.

S. Bach berbentuk simbol-simbol musik dalam karya Mass in B minor serta

membandingkan hasil analisa ini dengan pendapat dari beberapa pakar sejarawan J. S.

Bach. Setelah itu penelitian dilanjutkan dengan studi pustaka yang meninjau dari sisi

sejarah sebagai bahan pembanding dari hasil analisa karya Mass in B minor untuk

menghasilkan pola penulisan, dan pola kehidupan J. S. Bach ketika menuliskan karya

tersebut sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pemusik pada zaman ini.

Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian (skripsi) ini akan terdiri dari empat bab. Dalam bab

pertama, penulis akan memaparkan latar belakang penelitian ini, apa masalah
13
utamanya dan seberapa penting masalah ini diteliti. Kemudian, penulis akan

merumuskan tujuan penulisan penelitian ini, serta batasan masalahnya. Terakhir,

penulis akan memberikan metode dan sistematika penulisan.

Dalam bab kedua, penulis akan membahas kehidupan spiritualitas Bach. Pada

awal pembahasan penulis akan membahas perjalanan iman kekristenan Bach dan

teologi Lutheran yang telah dianutnya sejak masih kecil. Pembahasan tentunya akan

membahas kehidupan interaksi Bach bersama dengan musik, keluarga, gereja, dan

masyarakat. Setelah itu penulis akan membandingkan dengan membahas definisi

spiritualitas dan tujuan dari spiritualitas bagi pemusik Kristen. Jadi melalui

perbandingan tersebut, penelitian ini dapat menarik kesimpulan dari nilai kepercayaan

yang dipegang oleh Bach sehingga dapat menghasilkan musik yang dapat dikenang

hingga ratusan tahun kemudian.

Dalam bab ketiga, penulis akan membuktikan teologi dan spiritualitas, serta

pengaruhnya dalam penulisan komposisi Mass in B minor dengan melakukan analisa

struktur penyusunan liturgi. Setelah itu penulis akan melakukan analisa dari beberapa

lagu yang telah disorot untuk dianalisa dari sudut gaya komposisi, penggunaan

instrument, mode lagu, bentuk lagu, harmony, rhythm, tempo, tekstur musik. Setelah

itu penulis akan membahas sejarah penulisan karya ini dan perjalanan karya ini

menembus zaman. Dari analisa tersebut penulis akan melakukan perbandingan

dengan beberapa pakar-pakar Bach lainnya sehingga dapat memperoleh kesimpulan

dari pola penulisan J. S. Bach di dalam karya ini.

Dalam bab keempat, penulis akan memberikan sintesa konstruktif dari

kehidupan spiritualitas Bach, berdasarkan hasil rumusan dari sejarah penulisan

komposisi Mass in B minor dan kehidupan spiritualitas Bach. Pada akhirnya penulis

akan mengevaluasi kembali perjalanan kehidupan Bach dan merumuskan nilai-nilai


14
spiritualitas yang memengaruhi proses perjalanan penulisan karya Mass in B minor

ini. Sintesa inilah yang nanti akan merumuskan relevansi bagi pemusik pada zaman

modern. Dalam bab terakhir, penulis akan memberikan kesimpulan dan saran.

15
BAB 2

KONSEP TEOLOGIS J. S. BACH DAN INTEGRASI TERHADAP KARYA-

KARYA MUSIKNYA

Iman dan kepercayaan Lutheran telah tertanam di dalam diri Bach. Banyak

ide-ide kreatif muncul dari iman-kepercayaan dalam diri Bach.41 Karya seni Bach

menunjukkan dedikasinya pada warisan Reformasi, dan dipengaruhi semangat

keberanian yang diwariskan dari Reformasi Jerman.42 Menurut Pelikan, ada 3 hal

penting yang membentuk iman kekristenan Bach yaitu doktrin kristologi, Hymn, dan

Liturgi dari Luther. Pada bagian lainnya, Pelikan memperlihatkan bahwa Bach juga

dipengaruhi konsep sakramen dan dosa dari warisan Reformasi Luther.43

Teologi Luther

Fitur penting di dalam teologi Reformed dari Martin Luther adalah konsep

Theologia Crucis. Konsep teologi ini juga menjadi pembahasan terbaik dari seluruh

pembahasan Reformasi Luther.44 Teologi ini muncul atas pengaruh teologi skolastik

41
Geck, Johann Sebastian Bach, 653.

42
Jaroslav Jan Pelikan, Bach among the Theologians (Eugene: Wipf and Stock, 2003), 17;
Wilhelm Dilthey and Karlfried Gründer, Wilhelm Diltheys gesammelte Schriften. Abhandlungen zur
Geschichte der Philosophie und Religion Bd. 2 Bd. 2 (Leipzig: Teubner, 1940), 515.

43
Pelikan, Bach among the Theologians, 19–21.

44
Bernhard Lohse, Martin Luther’s Theology: Its Historical and Systematic Development,
Fortress Press ed. (Minneapolis: Fortress Press, 1999), 36.

16
terhadap Luther. Awalnya, teologi ini membingungkan Luther sehingga ia

menganggap bahwa anugerah aktual tidak cukup kuat untuk menghapus kesalahan

dosa asali maupun mentransformasi orang berdosa secara ontologis. Masalah terjadi

karena kaum skolastik memercayai keberadaan dosa-dosa aktual. Luther memahami

bahwa dosa aktuallah yang diampuni. Sementara hal yang menakutkan bagi Luther

adalah jika dosa-dosa yang tidak disadari dan dosa yang terjadi pada masa lalu tidak

diampuni. Setelah mengalami kebingungan yang cukup panjang, Luther dibimbing

dan mulai mengenal kelemahan diri sebagai sesuatu yang dibenci oleh Allah. Luther

menyadari akan penetapan pembenaran dari Allah secara mutlak. Dosa asali itu

sendiri muncul atas dasar permusuhan dan pemberontakan aktif manusia kepada

Allah. Seiring bertumbuhnya kesadaran akan ketidakberdayaan dari status

keberdosaannya, Luther dituntun untuk memandang dosa sebagai kekuatan yang tidak

dapat diatasi dengan cara biasa. Pada akhirnya, Luther menyatakan bahwa hanya

iman semata yang dapat membenarkan seseorang. Iman tersebut merupakan karya

pembenaran Allah sekaligus karya Roh Kudus dalam hati seseorang.45 Konsili

Ausburg no. 75, 78-79 mengukuhkan pemikiran Paulus dengan mengutip perkataan

Paulus dalam 1 Korintus 15:56-57, bahwa dosa dapat mencemaskan hati; hal ini

terjadi melalui hukum Taurat, yang menjadi murka Allah terhadap dosa. Tetapi

menang melalui Kristus dengan iman. Oleh karena itu kita dapat menghibur diri kita

sendiri dengan keyakinan yang bulat akan belas kasihan yang dijanjikan oleh Yesus.46

45
Timothy George, Theologi Para Reformator, trans. Katherina Tedja (Surabaya: Momentum,
2018), 78–87.

46
Theodore G. Tappert, ed., Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, trans. Theodore G.
Tappert (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2004), 117–118.

17
Teologi Salib menjadi tonggak utama dari ketidaksetujuan atas pertentangan

atas pemikiran Luther mengenai sifat pemberontak aktif manusia dengan pemikiran

Paus yang sangat terbatas dalam memberikan pengampunan kepada seseorang.

Luther pertama kali menggunakan terminologi “Theologia Crucis” pada penulisan 95

tesisnya. Terminologi ini juga diulang kembali ketika Luther menjelaskan

disputasinya di kota Heidelberg.47 Luther mengawali terminologi “Theologia Crucis”

ini dengan memberikan pendahuluan pada tesis ke-19 yang mengatakan bahwa para

uskup tidak pantas untuk menyebut dirinya sebagai teolog karena seolah-olah mereka

dapat memandang jelas hal-hal yang terlihat padahal mereka tidak dapat melihat

Allah secara utuh. Luther mengutip firman Tuhan dengan menyebut para uskup

maupun Paus sebagai orang-orang yang bodoh (Roma 1:22). Terlebih lagi, Luther

menghina mereka yang menyebut dirinya bijak, saleh, dan adil. Hal ini ditujukan oleh

Luther kepada para uskup dan Paus karena mereka tidak memahami hal-hal yang

nyata dari Allah melalui penderitaan di kayu salib (tesis ke-20). Luther melanjutkan

pada tesis ke-21 menyimpulkan bahwa para uskup dan Paus (atau disebut sebagai

Theologian of Glory) hanya mengetahui bahwa Allah melakukan kebaikan dari

penderitaan salib sebagai sesuatu hal yang buruk untuk sesuatu yang dapat

disombongkan dari diri mereka (evil good and good evil). Sebaliknya Luther

menyarankan untuk para teolog untuk menemukan Allah di dalam penderitaan yaitu

ketika seseorang melawan natur dosanya sebagai Adam yang lama. Dengan

demikian, seseorang akan mengetahui bahwa usaha mereka dalam melepaskan natur

47
Ronald K. Rittgers, The Reformation of Suffering: Pastoral Theology and Lay Piety in Late
Medieval and Early Modern Germany (New York: Oxford University Press, 2012), 111–112.

18
dosa adalah sia-sia karena hanya melalui anugerah Allah saja manusia dilayakkan.48

Teologi Salib (Theology of The Cross) ini muncul sebagai bentuk dari oposisi

terhadap Teologi Kemuliaan (Theology of Glory) milik Roma Katolik. Luther

memperdebatkan hal ini karena memiliki perbedaan dari pandangan Roma Katolik

dalam melihat Allah. Teologi Kemuliaan mengajarkan bahwa pada seseorang

terdapat hasrat untuk mengenal Allah dari ciptaan-Nya. Sementara Teologi Salib

mengajarkan kepada seseorang untuk bertemu kepada Allah dengan mengenal dosa

dan penghakiman ilahi. Luther mengajak agar jemaat dapat melihat Allah dalam dua

sisi yaitu dari keagungan ciptaan-Nya maupun dari dosa dan penghakiman ilahi yang

dicurahkan dalam diri Yesus.49 Allah menggunakan jalan penderitaan dan sengsara,

yang asing bagi natur-Nya, untuk menyelesaikan tujuan yang sesuai dengan natur-

Nya yaitu tujuan penebusan dosa manusia.

Pemikiran Teologi Salib Luther ini berbanding sama dengan argumen dalam

Disputasi Heidelberg. Dalam argumennya, Luther banyak berbicara mengenai

penyaliban Allah, dan kerelaan Allah dalam membawa salib di tengah orang-orang

yang menghindari penderitaan yang dilihat sebagai pelanggaran yang harus dihindari.

Luther mengikuti pemikiran Rasul Paulus, yaitu bahwa Allah mengungkapkan

kemuliaan-Nya sebagai atribut tak terlihat dalam ciptaan-Nya, tetapi hal ini menuntun

manusia kepada sifat arogan dan sombong. Untuk itu, Allah memilih dirinya dalam

Yesus Kristus untuk dipandang lemah, menderita di atas kayu salib, dan dimusuhi

oleh orang banyak untuk menghancurkan kesombongan dalam diri manusia. Luther

melihat bahwa umat Kristen seharusnya mengalami pembinasaan melalui jalan

48
Martin Luther, William Russell, and Timothy F Lull, Martin Luther’s Basic Theological
Writings (Minneapolis: Fortress, 2012), 22.
49
Lohse, Martin Luther’s Theology, 38–39.

19
penderitaan melalui penderitaan Kristus sebagai media perantara Allah dengan

manusia (Christi operatio seu instrumentum).50 Luther menggunakan prinsip iman

dalam istilah medis yaitu forensik dan imputasi. Hal ini menunjukan bahwa orang

Kristen yang telah menerima anugerah juga menerima penyembuhan bertahap dari

luka dosanya. Allah tidak lagi melihat kelemahan manusia sebagai dosa karena

penyembuhan mereka telah dimulai. Luther mengatakan bahwa hal ini adalah

pertukaran yang indah antara Kristus dan orang berdosa. Dalam khotbah-nya, Luther

mengatakan:

“karena itu saudaraku tercinta, kenalilah Kristus dan Dia yang


disalibkan; belajarlah berdoa kepada-Nya dan berhenti berharap kepada dirimu
sendiri, katakanlah, “Engkau, Tuhan Yesus, adalah kebenaran saya dan
sayalah dosa-Mu”; Engkau telah menanggung pada diri-Mu sendiri apa yang
bukan beban-Mu dan telah memberikan saya apa yang bukan milik saya.”51

Bentuk Ekspresi dari Teologi Luther

Teologi Musik Luther

Uniknya, Luther dan pendahulunya memandang bahwa keberadaan musik

dapat disandingkan dengan keberadaan teologi. Dalam sebuah surat yang ditulis oleh

Luther kepada seorang komposer Jerman–Ludwig Senfl–pada tanggal 4 Oktober

1530, tertulis bahwa Luther tidak dapat membandingkan level musik dibandingkan

dengan seni manapun karena bagi Luther musik dapat menghasilkan apa yang hanya

dapat dihasilkan oleh teologi, yaitu sifat menenangkan dan menyenangkan. Bagi

50
Rittgers, The Reformation of Suffering, 112–113.
51
George, Theologi Para Reformator, 85.

20
Luther, para nabi di Alkitab tidak menggunakan sarana lain–selain musik–untuk

memuji kebesaran Allah. Dalam hal ini, Luther juga dipengaruhi oleh budaya

Medieval, masyarakat menilai bahwa seorang manusia akan dapat menghargai ciptaan

Allah (wahyu umum) dengan mempelajari 4 cabang ilmu pengetahuan yaitu: Musik,

Aritmatika, Geometri, dan Astronomi, atau yang disebut sebagai Quardivium. Hal ini

membuat Luther dapat mengintegrasikan wahyu khusus ke dalam wahyu umum Allah

melalui seni. Luther mengikuti kebiasaan para nabi yang menuangkan firman Allah

ke dalam seni musik dalam bentuk mazmur maupun puisi.52

Selain membandingkan musik dengan teologi, Luther memandang musik

sebagai sebuah bentuk sarana ucapan syukur kepada Allah. Hal ini terlihat dari

pandangan Luther mengenai sejarah perkembangan musik. Dalam pandangan Luther,

setelah manusia jatuh dalam dosa, nyanyian pujian kepada Allah – tanpa diiringi

musik atau hanya menggunakan suara sebagai musik – terus berkelanjutan hingga

pada zaman Kain dan Habel. Hal ini masih diteruskan oleh Kain dan keturunannya.

Luther berpendapat bahwa ketika Kain yang saat itu di tengah kekeringan akibat

kutukan Allah kepada manusia membuat keturunan Kain bekerja keras menjadi

tukang besi-perunggu atau menggembalakan domba atau yang lainnya mengabdikan

diri kepada musik. Mereka mengembangkan musik dengan menciptakan alat musik

dengan tujuan untuk mendevosikan dan mengekspresikan usaha keras dalam mencari

dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua pekerjaan keras ini ditempuh oleh

mereka untuk mendapat gelar sebagai manusia yang rajin agar mendapatkan berkah.

Akan tetapi, Luther melihat bahwa Allah memelihara keturunan Habel dengan tetap

Robin A. Leaver, Luther’s Liturgical Music: Principles and Implications (Grand Rapids:
52

William B. Eerdmans Pub. Co, 2007), 65.

21
menyembah kepada Allah sehingga beberapa orang dari keturunan Kain membawa

alat musik juga untuk menyembah Allah yang benar. Hal yang dilihat oleh Luther

menjadi sebuah ucapan syukur karena perkembangan musik dalam bentuk alat musik

digunakan menjadi sarana penyembahan Tuhan.53

Dalam prinsip inilah Luther menuntut para musisi seharusnya memiliki

kemampuan yang sama dengan teolog dalam memahami Alkitab sehingga dapat

menginterkorelasikan musik dengan teologi sehingga setiap karya musik yang

dihasilkan juga memiliki fungsi homiletika yang mirip dengan khotbah. Dalam seri

khotbah Luther mengenai Mazmur (pada tahun 1512-1515), beliau pernah

menyampaikan pendapatnya mengenai musik yang memiliki fungsi untuk

menyampaikan firman Tuhan dalam khotbah Mazmur 98. Beliau menyatakan bahwa

musik dapat menyampaikan misteri tentang kerajaan surga dan dapat menasihati hal

yang baik kepada seseorang secara spiritual. Bagi Luther, Daud menggunakan kata-

kata yang indah atau yang manis untuk kepentingan gramatika atau kepentingan dari

sudut pandang musikal dan kemerduan kata-kata yang memiliki nada indah atau

keindahan teks ataupun tune nada saja tetapi karena kata-kata tersebut memiliki

kedalaman teologi yang mengarah kepada pengertian secara spiritual. Oleh sebab itu,

Luther meyakini bahwa tidak ada seni yang menyetarai seni musik karena musik yang

dikombinasikan dengan teologi dapat menghasilkan sebuah teologi musik yang dapat

menenangkan dan menyenangkan jiwa.54

53
George, Theologi Para Reformator, 69–70. Pada zaman Luther terjadi pertentangan yang
membahas sejarah munculnya musik pertama kali. Orang-orang Yunani menganggap bahwa
pengembangan musik secara instrumentalis ditemukan oleh Pytagoras dengan menggunakan alat
ciptaannya sendiri sehingga menghasilkan nada.

Leaver, Luther’s Liturgical Music, 282–3.


54

22
Luther sendiri memahami bahwa peran musik sangat efektif dalam

menyampaikan firman Tuhan termasuk di dalam liturgi gerejawi. Selain itu, musik

menyatukan umat sebagai satu komunitas untuk mengucap syukur sekaligus meratap

kepada Allah. Salah satu perhatian Luther adalah melihat umat tidak sungguh-

sungguh berpartisipasi di dalam ibadah. Itulah sebabnya Luther mengekspresikan

seni musiknya tersebut dengan membuat lagu baru maupun daras baru. Luther juga

menerjemahkan beberapa lagu dengan mencocokan kata-kata dengan musik lagu

tersebut. Menurut Dirk G. Lange, peran musik (bagi Luther) digunakan untuk

melayani liturgi Misa Jerman (German Mass) dalam rangka untuk melatih, mengajar

dan menasehati jemaat. Peran musik merupakan peran yang paling cemerlang dalam

era Reformasi karena secara gestur, ritual dan seni memproklamirkan berita Injil

Allah. 55

Pandangan Luther terhadap Teologi Sakramen dan Liturgi

Dalam khotbah yang berjudul: The Babylonian Captivity of The Church,

Luther membahas sebuah kesalahan dalam pemahaman Roma Katolik mengenai

sakramen perjamuan kudus dan penghapusan dosa sehingga membuat gereja Tuhan

tertawan oleh dosa dan kebebasan-nya telah dicuri.56 Umat Katolik pada zaman

Medieval melakukan praktik pembayaran atas ganti rugi kesalahan dosa mereka

tersebut. Mereka mendaftarkan dosa ringan hingga dosa paling berat beserta harga

yang harus dibayar. Tetapi gereja menganggap hal ini sebagai sebuah kewajiban atas

55
Martin Luther dkk., Church and Sacraments, Annotated Luther, vol. 3 (Minneapolis:
Fortress Press, 2016), 135, 137.
56
Luther, Russell, and Lull, Martin Luther’s Basic Theological Writings, 200.

23
tuntutan perilaku moral saja. Oleh karena itu, kegiatan yang baik untuk memeriksa

diri dan untuk menciptakan disiplin rohani yang bersifat personal dan berulang dan

diarahkan kepada semua orang terlihat tampak baik dari luar saja. Orang-orang

menganggap kegiatan pengakuan dosa ini menjadi keuntungan. Bagi mereka,

kegiatan pengakuan dosa ini menghindarkan diri mereka atas tanggung jawab

kesucian diri mereka di hadapan Allah.57 Selain itu, pandangan budaya middle ages

melihat sakramen menjadi sebuah ritual dan gestur simbolik yang dapat memberikan

makna teologis tertentu dalam membentuk keseharian hidup seseorang bersama

Tuhan. Akan tetapi, praktik ini muncul berlebihan karena seorang pastor akan

dipekerjakan untuk menyakralkan secara luas aktivitas sekuler dengan memberi

berkat berupa campuran garam dan air. Hal ini terlihat layaknya kegiatan eksorsisme

karena terbukti pastor tersebut memberkati rumah atau kapal atau benda-benda

lainnya untuk dapat menjadi berkat sehingga barang yang digunakan dapat menjadi

berkat. Hal ini memengaruhi seseorang dalam mengikuti perjamuan kudus, di mana

roti dan anggur dapat menjadi dikuduskan sehingga kehadiran roti dan anggur

menjadi bentuk kehadiran Yesus sendiri.58

Luther memperhatikan bahwa seseorang tidak lagi datang dengan ketulusan

iman mereka. Dalam sakramen perjamuan kudus, Luther menyerang doktrin

57
Walter Sundberg, Worship as Repentance: Lutheran Liturgical Traditions and Catholic
Consensus (Grand Rapids: Eerdmans, 2012), 59–61, 63–64. Kesalahan ini muncul karena
kesalahpahaman orang-orang Katolik melihat pemahaman di abad sebelumnya. Orang-orang Katolik
Celtic yang dipimpin oleh St. Patrick Breastplate memulai dengan kebiasaan baik di mana mereka
memahami bahwa orang Kristen dipanggil untuk menginginkan kekudusan. Sebagai pengikut Kristus,
mereka dipanggil untuk makan dan minum satu hidangan dalam perjamuan kudus. Mereka
menanamkan prinsip budaya di mana jika terdapat seseorang yang ketahuan mencuri, dia harus
membayar ganti rugi kepada korban yang merupakan anggota tubuh Kristus lainnya. Jika pencuri terus
menerus melakukan dosa yang sama orang tersebut dipaksa untuk mengikuti perjamuan atau komuni
sehingga pencuri tersebut dapat bertobat.
58
Ibid., 65–66.

24
“mekanis” dari sakramen tersebut yang dianggap melalui pelaksanaannya dapat

menyalurkan anugerah kepada setiap orang. Bagi Luther, seluruh sakramen

merupakan bentuk firman yang ditujukan kepada Allah. Luther melihat Perjamuan

kudus bukan merupakan sebuah alat untuk menebus dosa tetapi merupakan sebuah

jaminan dari janji Allah kepada manusia.59 Dalam sakramen penebusan dosa, Luther

menuliskan hal pertama dalam 95 tesisnya untuk mengajak seluruh umat bertobat dari

perbuatan mereka. Luther mengomentari kegiatan sakramen penebusan dosa ini tidak

dijalankan karena keberadaannya yang tidak dapat menghapus dosa. Luther juga

mengatakan bahwa seseorang tidak dapat keluar dari hukuman dosanya. Oleh karena

itu, jika seseorang dapat diampuni dosa-dosanya oleh Allah, hal itu merupakan

pekerjaan Kristus semata-mata. Hal ini membuat Luther merancangkan ibadah untuk

membawa seseorang dapat mengakui imannya di hadapan Allah.60

Kejadian Reformasi membuat Luther tidak hanya berhenti dalam mengkritik

kesalahan pemikiran Roma Katolik dalam pengakuan dosa dan sakramen saja, tetapi

Luther juga ikut ambil dalam mereformasi ibadah. Sekalipun kejadian Reformasi ini

dipandang oleh orang-orang sebagai sebuah penentuan untuk membebaskan diri agar

seseorang mencapai tingkat tertinggi dari moral dan spiritualitas. Tetapi Luther tidak

menyarankan hal tersebut, Luther memandatkan umat untuk mengakui dan

mengoreksi kesalahan diri. Dengan demikian, seseorang dapat datang dan merasakan

iman yang tulus untuk makan dan minum perjamuan kudus. Bagi Luther, intensi

kudus Allah adalah menyadari bahwa bagian manusia adalah terus menyadari akan

dosa dan kematian sehingga layak mendapatkan kutukan dan penghukuman. Dalam

59
George, Theologi Para Reformator, 115.
60
Sundberg, Worship as Repentance, 68–69.

25
penyesalan penuh ini, seseorang semakin menyadari penuh akan keselamatan yang

telah Allah berikan. Hal ini yang membuat Luther terbeban untuk membuat Misa

Jerman bagi orang-orang awam, untuk semua orang yang belum percaya. Tujuannya

adalah bukan untuk membawa diri meninggalkan natur sebagai manusia berdosa atau

the old Adam tetapi membawa seseorang untuk percaya kepada Yesus dan menjadi

pengikut Kristus.61

Dalam penyusunan liturgi misa Jerman, Luther memiliki rasa hormat yang

tinggi terhadap kultus. Hal ini ditunjukan ketika mengubah bentuk liturgi Roma

Katolik ke dalam Misa Jerman di mana Luther hanya membersihkan hal-hal yang

tidak sesuai dengan teologinya saat itu. Tetapi berbeda dengan masalah liturgi, beliau

melakukan pergerakan hati-hati dalam mengubah (re-form) liturgi sekalipun beliau

melakukan perubahan bahasa dalam liturgi Roma Katolik. Perubahan dari bahasa

Latin menjadi bahasa asli atau bahasa Jerman. Luther membentuk ritual ekaristi

dalam bahasa Jerman atau German Mass dengan menggunakan format Formulae

Missae dari Misa Katolik Roma. Dalam perubahan liturgi, Luther menekankan tiga

poin utama yaitu musik, khotbah, dan ritual komuni yang dilakukan dalam sebuah

liturgi. Luther menyatakan bahwa musik adalah pemberian hadiah terbesar dari Allah

kepada manusia sehingga manusia perlu membudidayakannya. Luther

membudidayakan musik di dalam ibadah dengan menulis lagu-lagu hymn. Lagu-lagu

ciptaan-nya telah menjadi ciri khas pengikut Lutheranisme. Luther juga

mengusahakan agar khtobah dapat masuk di dalam sebuah ibadah. Luther juga

61
Ibid., 68, 73–74.

26
mendorong jemaat untuk berpartisipasi dalam perjamuan kudus sehingga dapat

mengambil roti dan anggur bersama-sama.62

German mass menjadi liturgi yang penting dalam era Reformasi karena dalam

liturgi ini terdapat usaha Luther untuk memperbaharui dan menyebarkan semangat

reformasinya kepada rakyat Jerman. Liturgi ini didesain dengan menggunakan

bahasa asli atau bahasa Jerman. Liturgi ini mengganti setiap kata-kata dalam liturgi

misa Roma Katolik yang menggunakan bahasa Latin secara keseluruhan. Selain itu

Luther juga memotong beberapa lagu-lagu kanon yang ada di dalam Roma Misa.

Secara keseluruhan Luther menyetujui struktur dan bentuk liturgi Misa Roma Katolik.

Akan tetapi, pada waktu yang sama Luther juga menghentikan kelanjutan liturgi

Roma Katolik dengan beberapa inovasi. Luther menggunakan bentuk tradisional dari

liturgi Roma Katolik tetapi dengan cara pandang atau interpretasi yang berbeda.

Keseluruhan jemaat juga bernyanyi lagu hymn sesuai dengan susunan liturgi.

Contohnya: Verba testamenti atau ayat Alkitab tidak hanya dibacakan tetapi

dinyanyikan oleh jemaat dengan menggunakan nada yang sama dengan nada pada

bagian pembacaan Injil. Dalam praktiknya, Luther menyediakan susunan ibadah

secara musikal beserta mendorong jemaat untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Hal

ini sangat bertentangan dengan praktik ibadah yang dilakukan oleh ibadah Roma

Katolik. Liturgi ini disebarkan di beberapa kota di Jerman Nurnberg, Strassburg,

Augsburg, dan Alstedt sebelum Luther mempublikasikannya kepada seluruh warga

Jerman di akhir tahun 1525.63

62
Robert Webber, Twenty Centuries of Christian Worship (Nashville: Star Song, 1994), 75.

Leaver, Luther’s Liturgical Music, 292–293.


63

27
Luther memiliki perhatian yang mendalam terhadap orang-orang yang belum

bertobat, orang-orang yang belum percaya maupun kepada jemaat biasanya. Pada

bulan April 1524, Luther menggunakan misa Jerman pertama kali di gereja kota

Nuremberg. Persiapan misa ini dibantu oleh Andreas Osiander (1498-1552). Ibadah

ini secara keseluruhan menggunakan bahasa Jerman. Sebelum komuni atau

perjamuan kudus, Osiander menyampaikan bahwa ibadah ini adalah untuk

mengenang akan kematian Yesus di atas kayu salib. Beliau juga mengajak para

jemaat untuk mengundang Yesus ke dalam hati mereka masing-masing serta

mengajak jemaat untuk mengakui perbuatan dosa yang telah diperbuat.64 Dalam

apologi konfesi Ausburg no. 69 pasal gereja, Luther mengatakan bahwa sakramen

(baik pengakuan dosa ataupun yang lain) bukan tanda yang dibuat antar manusia.

Sebaliknya sakramen merupakan sebuah tanda kasih karunia Allah kepada manusia.

Oleh sebab itu, sakramen sangat penting digunakan dalam sebuah ibadah, sebab apa

yang menjadi soal dalam Perjanjian Baru adalah dorongan rohani, mati dan

dihidupkan kembali.65

Luther berusaha menanamkan keberadaan doktrin keselamatan–yang

diperoleh akan iman kepada Yesus–dengan menyebarkan doktrin tersebut melalui

kehadiran khotbah dan mengorelasikannya dengan perjamuan kudus dalam sebuah

ibadah. Luther berusaha mengorelasikan bagian misa yang bertemakan mengenai

pengorbanan. Luther menganggap bahwa perjamuan kudus merupakan ajang untuk

64
Sundberg, Worship as Repentance, 54–56. Luther ingin mengembalikan kondisi liturgi
seperti liturgi di gereja awal, kira-kira pada abad ke-5-6 Masehi. Karena pada abad ke-7 masehi, gereja
dijadikan sebuah tempat perlindungan dari rasa bersalah dengan mengaku dosa secara pribadi dengan
pastor. Setelah itu pastor mengkategorikan dosa seseorang menurut kecil besarnya dosa tersebut. Pada
akhirnya seseorang diberikan penalti atas pelanggaran dosanya tersebut dan dosanya diampuni.
65
Tappert, Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, 328.

28
memproklamirkan kebenaran firman Tuhan. Bagi Luther, perjamuan kudus adalah

momen mengingat akan pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Perjamuan kudus

berbicara mengenai anugerah Allah sebagai pemberian cuma-cuma dari Allah kepada

manusia. Luther juga memandang bahwa tidak cukup jika jemaat hanya mengingat

momen anugerah Allah, karena perjamuan kudus menjadi sarana melihat

pengampunan dosa, anugerah, dan kemurahan Allah yang patut diberitakan kepada

jemaat.66

Tetapi beberapa orang memiliki perspektif yang sering kali salah memahami

misa Jerman ini. Pertama, Luther dianggap berintensi untuk menggunakan susunan

dan bentuk ibadah ini sebagai liturgi yang diasosiasikan dengan gerakan Reformed di

Wittenberg. Asumsi ini digunakan untuk menyerang gerakan reformasi sebagai

gerakan yang melawan kebebasan dan terikat dengan sebuah bentuk. Padahal, Luther

menginginkan agar dalam sebuah ibadah terikat dengan pengampunan dan anugerah

atas Injil. Bagi Luther sendiri menilai bahwa akan berbahaya jika sebuah Injil

dijadikan sebagai hukum. Kedua, beberapa orang juga menganggap bahwa dengan

mengganti bahasa Latin menjadi bahasa Jerman dalam sebuah ibadah, Luther ingin

mengganti ibadah. Luther sendiri menanggapi anggapan bahwa beliau tidak

berintensi untuk membatalkan atau mengganti ibadah. Tetapi kenyataan yang terjadi

di lapangan menyatakan bahwa ibadah tidak memberikan afeksi terhadap jemaat.

Oleh sebab itu, Luther tidak meneruskan kelanjutan ibadah dengan menggunakan

66
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 175–178. Anggapan Roma Katolik melihat perjamuan
kudus sebagai sacrificium, opus bonum, meritum atau pengorbanan, pekerjaan yang baik, dan korban
yang layak.

29
bahasa Latin. Sebaliknya, Luther malah mengajak jemaat untuk melanjutkan tradisi

yang telah ada.67

Luther mengalami kesulitan dalam penulisan misa ini sehingga di dalam

prakata buku Misa Jerman (German Mass), Luther mengadaptasi pola liturgi lama ke

dalam dua bentuk yang berbeda sesuai dengan keadaan pada saat itu. Bentuk

pertama, Luther menghasilkan liturgi bernama Formula Missae (1523). Liturgi ini

telah disederhanakan dari Misa Roma Katolik. Dalam bagian ini Luther

mengeliminasi doa Offertory yang dilakukan secara kanon sebelum masuk bagian

Sanctus. Luther mengganti bagian ini dengan menggunakan kata-kata pengantar yang

diakhiri dengan ayat penyampaian “Yesus pada malam itu mengambil roti, dst.” (lih.

Lukas 22:14-19) sebelum masuk ke dalam bagian Sanctus. Dua tahun kemudian pada

tahun 1525, Luther mulai membuat liturgi Misa Jerman (German Mass). Liturgi ini

merupakan simplifikasi dari liturgi Formula Missae. Dalam liturgi ini, Luther

semakin menekankan perayaan sakramen perjamuan kudus. Selain itu Luther juga

menambahkan sursum corda dan kata pengantar sebelum masuk ke dalam bagian

Sanctus. 68 Luther juga mengubah posisi liturgi khotbah dan menambahkan bagian

khotbah pada bagian Formulae Missae dan German Mass. Pada zaman pre-reformasi

dan awal reformasi, penempatan bagian khotbah ini diletakkan sebelum atau sesudah

ibadah. Tetapi seiring berjalannya waktu para Lutheran mengubah posisi khotbah ini

diletakkan setelah pengakuan iman rasuli. 69 Berikut adalah perbandingan masing-

masing liturgi:

67
Ibid., 293–294.

68
Robinson, Church and sacraments, 134-5

69
Joseph Herl, Worship Wars in Early Lutheranism Choir, Congregation and Three Centuries
of Conflict (New York: Oxford University Press, 2008), 29–31.

30
Tabel 1 Tabel ini merupakan table perbandingan Misa Roma Katolik, Formula
Missae, dan Misa Jerman
Misa Roma Katolik Misa Latin Lutheran Misa Jerman
(Formulae Missae)
• Introitus • Introitus • Mazmur atau lagu
• Kyrie • Kyrie hymn berbahasa
• Gloria • Gloria (pilihan) Jerman
• Persembahan • Persembahan • Kyrie
• Pembacaan surat • Pembacaan surat • Persembahan
Rasul rasul • Pembacaan surat
• Gradual • Gradual atau rasul
(menyanyikan lagu menyanyikan • Lagu hymn
hymn atau daras) Haleluya berbahasa Jerman
• Nyanyian • Sequence • Pembacaan kitab
Haleluya • Pembacaan kitab Injil
• Sequence Injil • Pengakuan iman
(menyanyikan lagu • Pengakuan iman Rasuli
daras) rasuli • Khotbah
• Pembacaan kitab • Khotbah • Doa Bapa Kami
Injil • Pembacaan teks dan nasihat
• Pengakuan iman sumsum corda kepada jemaat
rasuli • Prakata • Consecration
• Offertory (Doa • Consecration disertai dengan
yang biasanya • Doa Bapa kami perjamuan kudus.
dinyanyikan secara • Pax Domini Diiringi oleh
kanon) • Agnus Dei pujian (boleh
• Secret (doa) • Perjamuan Kudus menyanyikan
• Pembacaan teks • Persembahan
Sanctus dan Agnus
sumsum corda Dei secara
syukur
(artinya: opsional)
• Benidicamus &
arahkanlah hatimu • Persembahan
Benediction
kepada Tuhan) Syukur
• Prakata • Benedictus
• Sanctus &
Benedictus
• Canon Major
• Doa Bapa Kami
• Pax Domini
• Agnus Dei
• Komuni
(perjamuan kudus)
• Persembahan
(setelah perjamuan
kudus)
• Pembubaran
Sumber: Joseph Herl, Worship Wars in Early Lutheranism Choir, Congregation and
Three Centuries of Conflict, (New Yorks: Oxford University Press, 2008), 31.

31
Dalam prakata dokumen Misa Jerman (German Mass), Luther mengingatkan

bahwa urutan liturgi ini bukanlah sebuah aturan mengikat yang harus ditaati karena

bentuk liturgi ini bukanlah hukum kekal yang harus dilakukan sama persis oleh semua

orang. Akan tetapi, secara jelas Luther mengutamakan kembali pola yang berpusat

pada firman Tuhan, dan sakramen seperti yang telah ada dalam tradisi gereja. Dalam

usahanya mengutamakan firman Tuhan Luther tidak menghilangkan ritual sakramen

tersebut, tetapi mereformasinya. Luther menggunakan ritual misa lama milik Katolik

Roma dengan cara menemukan kedua sisi persamaan, antara pemahaman tradisional

dengan pemahaman teologinya. Beliau berusaha tidak menyusun liturgi sesuai

kesenangannya tetapi menginovasi tradisi dengan menerjemahkan firman Tuhan ke

dalam bahasa Jerman agar dapat di dengar oleh masyarakat sekitar.70 Dalam

pernyataan Gritsch, dikatakan bahwa Lutheran berusaha membuat liturgi yang

menyampaikan kebebasan di dalam Kristus dalam Injil. Oleh karena itu Luther

berusaha membuat Injil itu didengar maupun dilihat dalam liturgi melalui firman dan

Sakramen.71 Robinson menambahkan bahwa mengajarkan liturgi tidak semudah

mengajarkan Alkitab pada seseorang. Akan tetapi, liturgi membentuk kekristenan

sampai hari ini. Seperti yang telah dikatakan bahwa Liturgi adalah proklamasi

Firman Tuhan dan Sakramen, baik dalam perkataan dan ritual maupun dalam bentuk

gestur. Hal tersebut membentuk, melatih dan membawa komunitas kepada Firman

Allah dalam bentuk keseharian mereka.72

70
Luther et al., Church and Sacraments, 132–133.

71
Eric W. Gritsch, A History of Lutheranism, 2nd ed. (Minneapolis: Fortress, 2010), 137.
72
Luther et al., Church and Sacraments, 135.

32
Pengaruh Teologi Luther terhadap Teologi Bach

Setelah Luther meninggal, para pengikutnya menggunakan sebuah istilah

“viva voce evangeli” atau living voice of the Gospel. Hal ini dipahami oleh

Lutheranisme bahwa musik sangat terhubung dekat dengan kegiatan pelayanan

khotbah maupun mengajar dalam gereja. Salah seorang pengikut Lutheran yang

menjunjung tinggi musik gereja yaitu Johann Sebastian Bach. Bach dikenal sebagai

seorang yang merepresentasikan tradisi musik gereja Lutheran sekalipun pada waktu

yang sama tradisi Lutheran mulai ditolak.73 Bach tidak hanya menjadi seorang musisi

hanya karena teologi Lutheran saja, tetapi karena budaya Lutheran juga yang dekat

dengan musik. Luther membangun sebuah tradisi bagi pengikutnya dengan sebuah

kebiasaan, beliau tidak hanya sekadar fanatik dengan teologi tetapi fanatik dengan

musik. Hal ini yang membuat beliau pada tahun 1520 membentuk ulang liturgi Roma

Katolik pada waktu itu.74

Menurut Robin A. Leaver, dalam teologi Reformasi terdapat empat konsep

utama yang mendasari gerakan Reformasi, yaitu: sola scriptura, sola fide, sola gratia,

dan solus Christus. Luther menjadikan empat pemahaman ini ke dalam esensi teologi

sekaligus menjadi bahan dasar iman kekristenan ke dalam pengajaran Injilnya melalui

ibadah. Luther mencontohkan empat dasar teologi tersebut dalam empat unsur ibadah

yaitu: 1) Alkitab, 2) Katekismus, 3) Himnal, dan 4) Susunan Liturgi.75

Leaver, Luther’s Liturgical Music, 277.


73

Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
74

222.
75
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 297–304.

33
Aspek pertama, sola scriptura diwujudkan dalam unsur Alkitab dalam ibadah.

Luther melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa asli, sehingga jemaat dapat

membaca Alkitab secara bersama-sama dalam ibadah. Terlebih lagi, Alkitab dapat

memuaskan jemaat yang sedang membutuhkan siraman rohani.76 Dalam misa

Jerman, pembacaan Alkitab ini dilakukan sambil berdaras. Luther sendiri membuat

notasi pembacaan Alkitab ini dengan sangat berhati-hati. Luther sendiri membedakan

notasi pembacaan surat dari para rasul dengan Injil itu sendiri. Lebih lagi, Luther juga

membedakan notasi daras–mulai dari suara Yesus (Luther menggunakan suara bass),

dengan suara dari tokoh lainnya termasuk suara narator. Keinginan Luther agar Injil

dapat dinyanyikan terus menerus menginspirasi Bach. Praktik ini juga dilakukan oleh

Bach.77 Bach melakukan eksposisi ayat firman Tuhan (layaknya budaya Lutheran

dalam Misa Jerman) dan memeditasikannya ke dalam bentuk teks dan musik secara

bersamaan. Dalam recitative no. 7 pada kantata Ich hatte viel Beummernis (BWV

21), Luther menggunakan suara Bass pada Yesus, dan suara Soprano pada jiwa Yesus

untuk menggambarkan dialog di dalam diri Yesus.78

Aspek kedua, unsur katekisasi dalam ibadah ini merupakan perwujudan sola

fide. Unsur ini menuntun iman seseorang. Luther sendiri menyarankan agar melalui

10 perintah Allah, pengakuan iman rasuli, dan Doa Bapa Kami dapat menjadi

instruksi awal bagi seseorang dalam membangun dasar imannya. Luther sendiri

berusaha agar ketiga bagian ini dapat disusun secara sederhana.79 Luther membuat

76
Luther, Russell, and Lull, Martin Luther’s Basic Theological Writings, 105–106.

77
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 298–299.

78
Alfred Dürr, The Cantatas of J.S. Bach: With Their Librettos in German-English Parallel
Text (Oxford: Oxford University Press, 2005), 412.
79
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 299–300.

34
sebuah buku katekismus pada tahun 1529 bagi para pastor dan buku katekismus kecil

bagi jemaat awam.80 Selain itu beberapa lagu hymn juga digunakan oleh Luther

dalam menjelaskan katekismusnya. Contohnya lagu Dies sin der heiligen zehn Gebot

sebagai lagu yang menjelaskan 10 perintah Allah dan lagu Jesus Christus unser

Heiland, der von uns sebagai lagu yang menjelaskan Perjamuan kudus. Dalam hal

ini, Bach dalam karya-nya berjudul Clavierubung III memasukan setting musik dari

katekismus Luther. Dalam BWV 678-9, Bach membuat setting lagu Dies sind der

heiligen zehn Gebot milik Luther.81 Secara mendasar karya-karya Bach ini dibentuk

oleh karya-karya Luther yang telah dimodifikasi ulang.82

Aspek ketiga, unsur himne dalam ibadah diperlukan sebagai ekspresi dari

bentuk doktrin keimanan semua orang percaya.83 Oleh karena itu, Luther berusaha

menyatukan semua orang percaya dengan menggunakan nyanyian dalam ibadah. Hal

ini membuat lagu sacred di Jerman berkembang pesat berkat peran dari Luther

sendiri.84 Luther menggunakan lagu dalam tiga bagian dalam ibadah. Pertama,

Luther merombak kembali susunan liturgi yang telah berlangsung selama ratusan

tahun. Luther menggunakan lagu hymn dalam bahasa asli ke dalam badan liturgi.

80
Robert Kolb, Martin Luther as Prophet, Teacher, Hero: Images of the Reformer, 1520 -
1620, Texts and studies in Reformation and post-Reformation thought (Grand Rapids: Baker, 1999),
157.

81
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 300.

82
Pelikan, Bach among the Theologians, 18.

83
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 300; George, Theologi Para Reformator, 120. Luther
mengatakan bahwa semua manusia yang telah diselamatkan merupakan imam dan raja berarti setiap
manusia ini adalah orang-orang yang dapat bertemu menghadap Allah. Luther menambahkan bahwa
jika terdapat seseorang yang imannya mulai ragu, dia berusaha dan mendoakan orang tersebut untuk
dikuatkan imannya kepada Allah.

84
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
222.

35
Contohnya, Luther menggunakan lagu Wir glauben all an einen Gott dalam bagian

liturgi Credo. Kedua, Luther menggunakan lagu hymn di antara pembacaan kitab dari

para rasul dan kitab Injil. Bagian ini dinyanyikan oleh paduan suara. Uniknya, lagu

hymn yang digunakan akan berubah seiring dengan perubahan kalender gereja.

Luther menggunakan lagu Christ lag in Todesbanden selama minggu sengsara atau

lagu Nun komm der Heiden Heiland selama minggu adven. Ketiga, Luther

menggunakan lagu hymn ketika pembagian komuni pada saat perjamuan kudus. Pada

awalnya, Luther menggunakan lagu Sanctus dalam bahasa Jerman yaitu: Gott sei

gelobet atau dalam bagian Agnus Dei menggunakan lagu berbahasa Jerman yaitu

Christe, du Lamm Gottes. Hal ini juga menginspirasi Bach untuk mempersembahkan

kantatanya seperti Du Wahrer Gott und Davids Sohn (BWV 23) ketika komuni

dibagikan. Bach juga membuat lagu kantata dari lagu hymn Luther yang berjudul Nun

komm der Heiden Heiland (BWV 61) ketika pembagian komuni dalam ibadah

adven.85 Penggaungan lagu-lagu reformasi pada karya-karya Bach ini tidak hanya

menekankan teologi Lutheran yang dipegangnya saja. Sebaliknya, Bach

menggunakan cara ini untuk menekankan tujuan utama eksistensi Allah dan karya-

Nya di setiap lagu-lagu hymn milik Luther yang digubah oleh Bach.86

Aspek keempat, prinsip Sola Gracia membuat Luther mengevaluasi kembali

makna-makna teologis yang mendasari di setiap ibadah. Luther memandang prinsip

anugerah pada bagian perjamuan kudus dalam terminologi beneficium (hak istimewa),

testamentium (perjanjian), dan donum (pemberian), dibandingkan dengan pandangan

85
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 301–302. Luther mengubah susunan yang kurang
penting atau kurang layak seperti perubahan pembacaan Mazmur dalam bagian liturgi introitus. Luther
mengubahnya dengan menggunakan lagu hymn dalam bahasa Jerman atau membacakan mazmur
dengan bahasa Jerman.
86
Pelikan, Bach among the Theologians, 21.

36
Katolik Sacrificium (pengorbanan), opus bonum (perkerjaan baik), meritum

(pelayanan atau jasa). Luther sengaja melakukan hal demikian karena ingin

mengembalikan makna liturgi ke dalam konten awal yang serupa dengan teologi

Injili. Luther juga tidak menolak tradisi daras, hanya saja Luther selalu membunyikan

nada pertama agar jemaat ikut menyanyikan setiap daras bersama-sama.87 Semangat

Luther dalam menyuarakan kebenaran melalui bentuk liturgi ini dituangkan dalam

karya Mass in B-Minor. Akibat pengaruh Rasionalis dan Pietis, Bach membuat karya

ini sebagai bentuk perlawanan pandangan Pietisme dan Rasionalis. Beliau

menggunakan bentuk tatanan liturgi Formula Missae dari misa Roma Katolik yang

telah dipelajari oleh Bach di gereja maupun di sekolah sejak masih muda.88

Luther tidak berhenti hanya pada menyusun ulang liturgi di gereja saja tetapi

ia mereformasi sekolah, khususnya sekolah yang menggunakan bahasa Latin. Hal ini

dilakukan agar tidak hanya gereja saja yang melakukan kegiatan ibadah dalam

kehidupan sehari-hari melainkan sekolah dapat melakukannya pula.89 Pengaruh

87
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 303–304.

88
Pelikan, Bach among the Theologians, 55.

89
Leaver, Luther’s Liturgical Music, 295–297. Sekolah direformasi Luther dengan
memasukkan pelajaran musik, khususnya paduan suara. Anak-anak ini mulai diajarkan untuk
bernyanyi dalam bentuk unison terlebih dahulu, kemudian bernyanyi secara polyphonic. Bahkan dalam
beberapa momen harian, anak-anak diajak mendaraskan Mazmur dalam bahasa Latin sebelum masuk
ke dalam kegiatan belajar. Setelah itu dua atau tiga anak diajak untuk membaca beberapa pasal
Perjanjian Baru dalam bahasa Latin, sementara anak lainnya juga membaca hal yang sama tetapi dalam
bahasa Jerman. Setelah pelajaran anak-anak diajak untuk menyanyi lagu hymn dalam bahasa Jerman,
berdoa Bapa Kami yang diucapkan secara lembut. Kemudian sang guru akan memimpin doa berkat
dalam bahasa Latin yaitu Benedicamus Domino. Pada malam hari, anak-anak juga melakukan hal yang
sama dengan kebaktian pagi hari. Anak-anak diajak untuk membaca Mazmur yang dilakukan secara
bersahutan atau antiphonal. Setelah itu anak-anak diajak bernyanyi lagu hymn dan disusul dengan
pembacaan Perjanjian Lama dalam bahasa Latin. Terakhir, anak-anak diajak untuk menyanyikan
Magnificat dan ditutup dengan doa Bapa Kami. Kebaktian ditutup oleh pemimpin ibadah dengan doa
berkat. Hal ini dilakukan agar anak-anak pada hari Minggu juga ikut terlibat melayani Tuhan. Selain
itu, Luther juga menuntut agar pengajar dapat memberi pelajaran dalam bentuk musik dan ibadah
kepada anak-anak. Tentu saja hal ini secara tidak langsung menuntut para guru-guru agar dapat
bernyanyi.

37
pendidikan di sekolah Eisenach, Ohrdruf, khususnya di Luneberg membuat Bach

dapat menghasilkan karya-karya musik untuk kepentingan ibadah di gereja Lutheran.

Hal ini telah terbentuk dengan sistem ibadah yang telah dirancang oleh Luther sendiri.

Sejak di Eisenach, Bach belajar mengenai katekismus dan Alkitab secara keseluruhan.

Selain itu beliau membaca sejarah penulisan dan membaca kitab Injil dan surat para

rasul.90 Bagi Robin A. Leaver, tidak heran jika memandang Bach sebagai teolog

musikal sekaligus musisi teologis di tengah pengaruh konteks masyarakat Pietis dan

Rasionalis. Robin A. Leaver menilai karya Bach sebagai demonstrasi dari

ketajamannya berteologi. Hal ini ditujukan ketika ia menjadi pemimpin pujian,

dengan mengajarkan jemaat dasar teologi atau praktik katekisasi melalui lagu-lagunya

yang mengandung nilai-nilai teologis. Pengaruh pernyataan Luther mengenai

hubungan antara musik dan teologi mempengaruhi karya-karya Bach secara

keseluruhan.91

90
Stapert, My Only Comfort, 8.

91
Leaver, Luther’s liturgical music, 289–291. Memang terdapat pertentangan dalam kalangan
musikolog untuk memberi kehormatan bagi Bach sebagai seorang teolog karena perbedaan dimensi
teologi yang terdapat dalam musik Bach. Bagi para musikologis sendiri melihat teologi merupakan
sebuah tambahan dalam dimensi musik yang hanya memberikan dampak kecil ataupun tidak sama
sekali berpengaruh ke dalam esensi musik itu sendiri. Tetapi bagi para teolog sendiri merasa kesulitan
memandang musik karena musik hanya menjadi sebuah opsi tambahan dalam konsep ibadah. Sehingga
cukup sulit jika melihat musik sebagai ketentuan teologis. Selain itu, Bach juga bukanlah seorang yang
ahli di bidang teologi atau “profesional dalam bidang teologi.” Tetapi hal itu tidak terlihat ketika
beliau menghasilkan karya musiknya.

38
Teologi dan Kehidupan Bach

Bach dilahirkan sebagai seorang Lutheran sehingga Bach mulai berteologi

sejak kecil, hingga sedang beraktivitas seperti bangun tidur, bekerja, dll.92 Memang,

secara profesi Bach bukanlah seorang teolog tetapi sebagai musisi di gereja Lutheran

beliau tidak hanya memiliki pengetahuan teologi yang dangkal.93 Akan tetapi, Bach

merupakan pengikut Lutheran sejati karena keinginannya untuk berteologi termasuk

ketika Bach memiliki koleksi buku yang ditaruh dalam rak setinggi 20 kaki. Buku-

buku yang dikoleksi di antaranya adalah 7-8 edisi buku Martin Luther yang berjudul

Haustpostille. Beberapa tulisan orthodoks Lutheran seperti tulisan mengenai aliran

mistisisme dari Lutheran, teologi reformed abad 17. Beberapa buku pietisme

Lutheran karangan Johan Arndt, Heinrich Muller, dan August Herman Francke juga

termasuk di dalam koleksi buku Bach. Luther juga mengoleksi Alkitab versi Calov

yang diterjemahkan oleh seorang teolog terkenal pada zaman Bach yaitu Abraham

Calov. Bach juga memiliki tiga volume buku tafsiran milik Luther. Selain buku-

buku teologi, Bach juga membaca buku-buku devosional. Pada zaman itu, buku-buku

devosi membahas kalender gereja sangat terkenal sehingga hal tersebut juga

92
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
222.

93
Stapert, My Only Comfort, 7. Selain itu, dalam buku Christoph Wolff, Johann Sebastian
Bach: The Learned Musician, 1. publ. (Oxford: Oxford Univ. Press, 2000), 111–112. Menunjukkan
bahwa Bach tidak melanjutkan pendidikan hingga tuntas tetapi hal tersebut tidak menunjukkan bahwa
Bach telah menyelesaikan pendidikan teologinya. Bach tetap berusaha menjalin relasi dengan teman-
teman pelayan Tuhan di sana. Georg Christian Eilmar merupakan pastor Gereja Marienkirche di
Mulhausen. Bach dan Eilmar merupakan teman baik, bahkan Bach telah menganggap Eilmar sebagai
teman baik Bach. Bach menghargai Eilmar sehingga teks-teks kantata-kantata milik Bach menjadi
bahan diskusi dalam pembicaraan mereka.

39
memengaruhi Bach dalam penulisan kantatanya di tiap minggu dengan menggunakan

ayat dari buku devosi tersebut.94

Tradisi ortodoks Lutheran yang dimiliki Bach membuat dirinya terjerumus ke

dalam sebuah tradisi yang memusatkan Alkitab. Selain pengaruh dari cara ibadah

Lutheran (baik di sekolah maupun gereja), Bach dipengaruhi oleh kurikulum

sekolahnya pada saat itu. Pada bersekolah di Eisenach, Bach kecil mempelajari

katekismus, kitab Mazmur, kitab Injil, kitab surat-surat dari para rasul dalam bahasa

Jerman maupun Latin. Pada waktu melanjutkan sekolah ke tahap menengah di

Ohrdurf, Bach mempelajari buku tetap mempelajari kitab Mazmur, Injil, surat para

rasul dan katekismus, serta dasar bahasa Yunani. Pada waktu melanjutkan sekolah ke

tahap akhir di Luneburg, Bach semakin akrab dengan pelajaran Lutheran ortodoks.95

Hal ini membuat Bach menjadi seorang pembaca Alkitab yang teliti. Bach pada saat

itu menggunakan cara baca secara literal atau naratif. Cara membaca naratif ini selalu

menekankan tentang tipologi. Oleh sebab itu, tidak heran jika Bach suka

menggunakan simbol-simbol dalam penulisan karya-karyanya. Selain itu, sebagai

pembaca pre-modern Luteranisme sangat kental dengan signifikansi Yesus sebagai

representasi Allah menjadi manusia yang telah mati untuk membenarkan umat

manusia ketika membaca kitab PB.96 Alfred Durr mengatakan bahwa: “Keyakinan

akan firman Tuhan yang tinggal di dalam Alkitab akan mati sia-sia (tidak efektif) jika

94
Geck, Johann Sebastian Bach, 653. Buku-buku seperti Alkitab versi Calov atau tafsiran
milik Luther ini telah disimpan oleh Anna Magdalena. Setelah beberapa dekade, seorang imigran
bernama Leonhard Reichle Jerman yang akan pindah ke Amerika menyimpannya dan memberikannya
kepada Lutheran Seminary di St. Louis untuk disimpan.

95
Stapert, My Only Comfort, 8–9.

96
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
221–222.

40
tidak diproklamasikan dengan membuatnya menjadi terkini, dan semakin

menghasilkan orientasi baru bagi musik gereja.”97

Bach menggunakan tema-tema utama dalam karya-karya kantata setiap

minggunya dengan menggunakan Alkitab sebagai teks lagunya dan dipadukan dengan

teologi Lutherannya sebagai bahan utama pembuatan kantata tiap minggunya.

Termasuk dengan penggunaan tema Lutheranisme yaitu salib, dan Kristosentris.98

Karya St. Matthew Passion menceritakan penderitaan Yesus Kristus di atas kayu

salib. Secara tonalitas Bach menggunakan nada dasar E minor yang diasosiasikan

dengan kesengsaraan. Selain itu Bach juga memiliki kebiasaan untuk membentuk

format kiastik (chiasmus). Bentuk ini adalah format simetris di sekitar poros tengah,

contohnya: ABC-A-CBA. Format ini identik dengan penulisan Bach karena format

ini berhubungan dengan Kristus. Kata “Chiastic” dimulai dengan huruf Chi pada

bahasa Yunani. Huruf Chi memiliki bentuk X dan dapat diasosiasikan dengan salib.

Selain itu, huruf X atau Chi merupakan huruf depan dari nama Kristus dalam bahasa

Yunani. Selain itu, Bach dan beberapa komposer pada zaman Baroque memiliki ciri

khas dalam menuliskan nada untuk membentuk salib. Penggunaan nada ini dengan

cara menuliskan 4 nada dengan pola zig-zag–ke atas, ke bawah, ke atas–sehingga jika

ditarik dalam satu tempat akan membentuk garis salib. Selain itu, simbol salib ini

juga digambarkan dengan penggunaan tanda sharp (#). Dalam bahasa Jerman, sharp

berarti kreuz atau dapat diartikan sebagai salib (cross).99

97
Dürr, The Cantatas of J.S. Bach, 3.

98
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
223.
99
Stapert, My Only Comfort, 15–17.

41
Gambar 1 motif simbol salib. Sumber: “BACH Motif, “Wikipedia, Desember 12,
2018, diakses 10 April 2019,
https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=BACH_motif&oldid=873359848.

Dalam karya-karyanya, Bach banyak berbicara masalah penderitaan manusia

dan salib yang ditanggung. Sebagai pengikut Kristus, manusia dipanggil menempuh

jalan salib dan penderitaan agar semakin menemukan Allah. Bach memahami jika

manusia mengalami penderitaan di dalam Kristus maka manusia makin merasakan

sukacita kemenangan di dalam Kristus. Pernyataan ini terinspirasi oleh Luther dalam

teologinya. Bahkan menurut Martin Geck melihat bahwa tidak ada komposer pada

zaman Baroque, selain Bach, yang menunjukkan penderitaan dan salib Kristus

sebagai peran penting dalam karya musiknya.100

Sebuah buku berjudul Western Attitudes Toward Death milik Philippe Arie

berhasil mengubah pandangan dunia barat mengenai kematian. Buku ini membahas

bagaimana kematian ini telah menjadi topik atau bahan perbincangan yang tabu

didengungkan oleh masyarakat barat tetapi hal itu mebuat terus menerus ada, dan

menghinggapi setiap masyarakat Eropa. Topik ini sangat tabu diperpincangkan

karena kematian menimbulkan sebuah ketakutan tersendiri bagi masyarakat.

Kematian dianggap oleh masyarakat Eropa zaman pre-modern hingga saat ini sebagai

kontradiksi dari kehidupan, menghilangkan kebebasan dalam berperilaku dan

menghilangkan sukacita.101 Beberapa komentator menemukan bahwa Bach juga

100
Geck, Johann Sebastian Bach, 658–9.

101
Philippe Ariès, Western Attitudes toward Death: From the Middle Ages to the Present
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1979), 84–107.

42
adalah salah satu dari orang yang merasakan ketidaknyamanan topik kematian ini.

Tetapi Richard Plantinga dan beberapa komentator memberi pendapat bahwa postur

Bach tidak terlihat takut melainkan menikmati, mendevosikan hal tersebut, bahkan dia

rela dalam menghadapi kematian.102 Bahkan dalam bukunya sendiri Aries menyebut

Bach adalah orang yang “jinak dari ketakutan kematian.”103

Selain konsep teologi Lutheran yang telah dipelajari Bach, pengalaman hidup

juga membuat Bach teguh dalam menjinakkan ketakutannya akan kematian. Pertama,

sejak kecil Bach mengalami kehilangan kedua orang tuanya, dan hidup sebagai yatim

piatu. Kedua, kehilangan istri pertamanya. Ketiga, kehilangan beberapa anaknya

karena sakit yang diderita oleh anak-anaknya. Keempat, Bach juga mengalami

kejadian yang memahitkan di mana gaji pelayanannya dalam kebaktian kedukaan

seringkali dipotong di mana Bach seharusnya mendapatkan 700 thaler, namun ia

hanya mendapatkan 100 thaler. Terlebih lagi biaya hidup yang tinggi di kota Leipzig

saat itu, sehingga dia mengajukan protes kepada Georg Erdmann, Imperial Russian

Residence agent di Danzig pada tahun 1730.104

Pandangan Bach terhadap teologi kematian ini sangat memengaruhinya

terutama ketika ia menulis karya St. John Passion. Bach sangat menekankan narasi

kematian Yesus, terutama unsur kemanusiaan Yesus. Hal ini ditandai dengan lagu

pembuka yang berjudul Herr atau Tuhan merupakan sebuah tangisan yang

dilayangkan kepada Tuhan yang meminta agar manusia melihat Allah ketika dirinya

102
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
224–225.

103
Ariès, Western Attitudes toward Death, 6.

104
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S. Bach,”
225.

43
menderita, dan dianggap rendah oleh manusia. Berikutnya lagu berjudul, es ist

Vollbracht atau it is finished (no.30) digambarkan dengan aria bass dan viola da

gamba yang menggambarkan kesedihan yang amat mendalam. Setelah aria tersebut,

Bach melanjutkannya dengan lagu Der Held aus Juda siegt mit Macht atau Judea’s

hero conquers with power (no.32). Lagu ini dimulai dengan aria bass yang

menggambarkan relasi yang dalam antara anak Allah (son of God) dengan manusia

(daughter of God) disatukan kembali di dalam kematian-Nya. Berbeda dengan St.

Matthew Passion, karya St. John Passion diakhiri dengan lagu pengharapan yang

berjudul ach Herr, lass dein lieb Engelein, menceritakan bahwa jiwa-jiwa yang ada di

pangkuan Abraham akan dibangkitkan bersama-sama dengan Yesus Kristus. Bach

ingin menunjukan teologi pengharapan di akhir karyanya ini bahwa di dalam

kematian akan ada kebangkitan bersama dengan Yesus.105

Bach memahami kematian sebagai kondisi tidur yang merupakan tempat

transisi dari dunia yang penuh dengan tempat cobaan. Tempat cobaan tersebut

105
Ibid., 229. Pada bagian lain dikatakan bahwa Bach memiliki cara untuk menghadapi
ketakutan akan kematian. Sekitar 20 kantatanya mengekspresikan ketidak-takutannya akan kematian.
Bach memiliki dasar attitude-nya dalam menghadapi kematian yang dapat ditemukan dalam kantatanya
no. 106 Gottes zeit ist die allerbeste Zeit atau God's time is the very best of all times. Pada saat itu,
Bach masih berumur 20 tahun mengarang karya ini. Dalam lagunya mengandung kandungan teologi
yang menakjubkan. Hal ini ditunjukan melalui struktur penulisan karya ini yang membentuk struktur
kiasmus di mana pusat dari kerangka ini terdapat pada kata “ja, komm Herr Jesu” (Why. 22:20). Pada
bagian sebelumnya, Bach menuliskan manusia yang jatuh dalam dosa, hidup dalam hukum Allah dan
seharusnya mati. Hal ini identik dengan Perjanjian Lama di mana umat manusia dalam keadaan
berdosa dan belum diselamatkan. Pada bagian selanjutnya, menceritakan Kristus telah mati bagi
manusia sehingga manusia tidak mengalami ketakutan akan kematian. Lagu ini mengajak kita untuk
dapat mengalami kematian di dalam Kristus. Dalam sudut penggunaan instrumen sendiri pada awal
lagu, Bach hanya mengunakan rekorder, viola da gamba, basso continuo. Dalam gerakan selanjutnya,
Bach menggunakan instrumen yang sama dengan menambahkan part paduan suara. Begitu juga
dengan gerakan ketiga, Bach hanya mengganti part paduan suara menjadi part solo tenor atau bass.
Berbeda ketika memasuki puncak kiasmus dimana Bach menggunakan semua intrumennya, dan
ditambahkan dengan part untuk paduan suara dan solo soprano. Uniknya dalam kata “ja, komm Herr
Jesu” yang dinyanyikan oleh part soprano ini tidak diiringi oleh ensambel maupun paduan suara.
Setelah itu, pada lagu in deine hande befehl ich meinen Geist atau into your hands I commen my spirit
atau narasi kematian Yesus, Bach hanya menggunakan solo alto dan diiringi oleh basso continuo untuk
mendapatkan suasana yang menyedihkan. Hal ini menunjukan efek puncak dari setiap karyanya adalah
menceritakan pengorbanan Yesus sekaligus menjadi sebuah ciri khas penulisan karyanya.

44
dipenuhi keengganan untuk mempercayai tempat ini tetapi manusia dipaksa

melewatinya hingga sampai pada titik akhir, Martin Luther menyebutnya dengan

istilah Jerman, Anfechtung. Tetapi tidak hanya itu saja, Bach juga memercayai akan

keberadaan surga sebagai tempat tujuan yang dilalui setelah kematian. Hal ini

menunjukkan adanya pengaharapan setelah kematian, uniknya pandangan ini

diekspresikan ke dalam kantatanya berjudul O Jesu, Christ meins Lebens Licht atau O

Jesus Christ my life’s light. Dalam karya ini, Bach menuliskan “Darau mein letzte

Heimfarht Bau, Tu mir die Himmelstur weit auf” atau “On it I base my final journey

home, open the door of heaven wide to me.”106

Pengaruh Roma Katolik, dan Enlightenment terhadap Teologi Bach

Dalam konteks kehidupan Bach, muncul seorang tokoh masyarakat yang

muncul bernama Gotthold Ephraim Lessing (1729-81) menuliskan sebuah buku dan

mengisahkan perumpamaan 3 cincin Nathan der Weise (1779) yang menyinggung

doktrin ketritunggalan Allah. Sontak masyarakat yang telah dipengaruhi oleh

pemikiran Enlightenment juga mempertanyakan hal demikian dan meminta bukti

yang terlihat dari Alkitab. Bach pada saat itu juga ikut menyuarakan dan menentang

kebingungan yang terjadi dalam masyarakat pada saat itu. Hal ini terlihat bagaimana

beliau bergantung pada sebuah ayat pada Alkitabnya, yaitu pada Keluaran 20:3 yang

mengatakan “That we must accept, acknowledge, and honor only the Holy Trinity as

God, and put our trust in Him.” Eerdman Neumeister, sahabatnya, juga menguatkan

imannya akan doktrin ketritunggalan Allah. Neumeister memahami bahwa kunci

106
Ibid., 237–238.

45
untuk dapat mengerti dan menginterpretasi firman Allah adalah kepercayaan penuh

terhadap doktrin Allah.107 Sebagai sebuah cara untuk mempertahankan iman

kekristenannya, dan menyuarakan kebenaran pada masyarakat saat itu, Bach

menyatakan pada karya Clavier Ubung (BWV 669-768) yang ditulis di Leipzig. Pada

enam karya pertamanya (BWV 669-74) yang diberikan judul Kyrie, Gott Vater in

Ewigkeit. Dalam lagu ini Bach berturut-turut menyebutkan ketiga pribadi Allah

tritunggal.108 Jadi, tidak salah jika Albert Schwietzer mengatakan:

The theologian Bach also had a hand in the composition of the Credo.
He knew what the Greek fathers had in their minds when they took such pains
to prove identity of Christ with God and yet assert a diversity and
independence of person. To dogmatist Bach the parallel passages…were not
merely empty sounds to be turned into terms of music. He makes both singers
sing the same notes, but in such a way that it does not amount to the same
thing; the voices follow each other in strict canonic imitation; the one proceeds
out of the other just as Christ proceeds out of God…Bach thus proves that the
dogma can be express much more clearly and satisfactorily in music than in
verbal formulae.109

107
Pelikan, Bach among the Theologians, 45–46. Eerdman Neumeister merupakan seorang
sahabat dari J.S. Bach. Neumesiter merupakan seorang teolog yang memengaruhi kehidupan Bach
termasuk dalam kehidupan bermusik. Beberapa orang seperti Gottfried Tilgner mengakui bahwa
Neumesiter merupakan seseorang yang layak terkenal di dalam mebawakan kultur musik gereja Jerman
ke dalam taraf yang tinggi melalui sacred song maupun kantata milik Bach. Neumeister juga
merupakan penulis puisi. Namun sayangnya tidak banyak orang yang menyukai puisi Neumeister
karena dianggap terlalu kasar dan menuding langsung sehingga Neumesiter ini dicela karena puisi-
puisinya atau hasil karya teologinya tidak dianggap sebagai karya yang memiliki kandungan teologi.
Kedekatan Neumeister dengan Bach terlihat dari sebuah kejadian yaitu ketika Bach ditolak oleh
pemerintahan untuk menjadi pelayan Tuhan dalam gereja Neumeister yaitu St. Jacobi kirche (karena
pesaing Bach melakukan kecurangan dengan membayar orang-orang pemerintahan) membuat
Neumeister sangat marah dengan perilaku tersebut sehingga pada hari Minggu, Neumeister berkhotbah,
dan menyinggung orang-orang pemerintahan secara tidak langsung. Neumeister sangat mendukung
karya-karya, dan kegiatan bermusik yang dilakukan oleh Bach. Melalui hal itulah, Bach sangat
menekuni dan mempelajari doktrin iman Kristen (Lutheran). Selain beliau menggunakan Alkitab versi
Calovius yang masih disimpan asli beserta coretan-coretannya. Bach juga diteguhkan melalui khotbah
mingguan yang disampaikan oleh Neumeister sahabatnya. Sehingga peran Firman Tuhan di dalam
kehidupan beliau adalah untuk melawan “pride” dalam diri seseorang.

108
Lih. Wolff, Johann Sebastian Bach, 380. Pelikan dalam buku: Bach among the
Theologians, 46 mengatakan pada bagian klimaks, Bach menggubah lagu hymn Jerman Lutheran Wir
Glauben all’ an einen Gott (BWV 680-81) yang diambil dari teks credo yang menyatakan
ketritunggalan Allah.
109
Albert Schweitzer, J.S. Bach (New York: Macmillan, 1966), 318–319.

46
Selain itu, dampak Enlightenment dari orang-orang humanis memengaruhi

Bach dalam sisi musik dengan kehadiran Johann August Ernesti. Ernesti seorang

Rasionalis yang mengajar mata kuliah teologi di universitas Leipzig. Ernesti juga

merupakan seorang pengajar Teologi yang berfokus pada pengajaran humanis.

Seorang ahli Bach bernama Emanuel Hirsch menyimpulkan bahwa sebagai sejarawan,

dan teolog, Ernesti tidak menghadirkan Allah dari sisi spiritual dan bersifat misteri.

Beliau hanya memahami Allah di dalam Alkitab (atau Perjanjian Baru) dengan

pandangan positivistik saja.110 Ernesti membuang nilai Alkitab dari sisi misteri iman

dan diganti dengan kacamata positivistik yang merupakan bagian dari sistem realita.

Sebaliknya bagi Bach, Alkitab didesain untuk membebaskan pembaca dari bentuk

kegiatan spiritualitas yang lain. Seorang penafsir Alkitab seharusnya membantu

seseorang untuk menghasilkan emosi yang terdapat dalam teks Alkitab. Ia tidak

memberikan prioritas utama poros Injil sebagai sebuah cerita yang diriwayatkan dan

memanggil pendengar untuk merespons secara totalitas setiap peristiwa yang telah

diriwayatkan, tanpa pengecualian.111 Dalam komunitas akademispun, Bach dan

Ernesti mengalami perbedaan secara intelektual maupun ideologikal. Beberapa

peneliti menyebut Ernesti merupakan seorang pembenci musik.112 Suasana

pertempuran antara Bach dan Ernesti terjadi sengit. Pertengkaran sengit dimulai

ketika Ernesti tidak terlalu menyukai beberapa penyanyi dari Thomasschule yang

dikirim untuk melayani mingguan di gereja. Ernesti mengomentari bahwa Bach tidak

110
Emanuel Hirsch, Geschichte der neueren evangelischen Theologie 5. 5. (Gütersloh:
Bertelsmann, 1984), 4:11.

111
Paul S. Minear, “J.S. Bach and J.A. Ernesti: A Case Study in Exegetical and Theological
Conflict,” dalam Our Common History as Christians: Essay in Honor of Albert C. Outler, John
Descher and others. (New Yorks: Oxford University Press, 1975), 137.
112
Pelikan, Bach among the Theologians, 38.

47
dapat memberi aba-aba hitungan dengan tepat. Selain itu, Ernesti tidak terlalu

menyukai tempo yang diberikan oleh Bach karena dianggap seenaknya. Ernesti tidak

terlalu menyukai selera bermusik Bach. Hingga Bach dan Ernesti berselisih di

hadapan Court of Dresden melalui surat. Mereka saling mengomentari satu sama

lain. Pada suatu saat Ernesti yang adalah rektor Thomasschule pada saat itu, Ernesti

mengomentari masalah pendidikan musik yang diberikan oleh Bach pada saat itu.

Hal ini muncul karena Ernesti kurang menyukai musik.113 Dalam beberapa momen,

Bach sangat menentang pemikiran orang-orang Rasionalisme dengan memisahkan hal

yang kelihatan dengan yang tidak terlihat. Musik dianggap sebagai sesuatu yang

tidak terlihat. Akan tetapi, Bach menentangnya dan menganggap bahwa musik juga

merupakan sesuatu hal yang nyata sekalipun tidak terlihat. Bach menunjukkan bahwa

musik adalah bagian karya ciptaan Allah, dan semua ciptaan bersinergi satu sama

lainnya untuk memuliakan Allah. Hal ini terlihat pada karya The well tempered

clavier atau The art of Fugue. Dalam karya ini, Bach memanfaatkan semua lapisan

instrumen untuk saling bersinergi dan menciptakan harmoni. Inilah yang

menyebabkan lagu-lagu dari Bach terdengar kompleks di tengah zaman Baroque yang

banyak mereduksi melodi-harmoni. Menurut Bach, instrumen atau vokal dapat

menjadi harmoni atau melodi sekalipun instrumen tersebut adalah continuo.114

113
Wolff, Johann Sebastian Bach, 319. Bach dan Ernesti bertemu dan berinteraksi dalam
sebuah komunitas akademisi di Leipzig yang berisi pengajar akademisi di seluruh kota Leipzig. Bach
sendiripun menjadi anggota dari komunitas ini berkat Jenderal Joachim Friedrich von Flemming yang
adalah seorang jenderal di kota Leipzig. Jenderal Flemming dapat berteman akrab dengan Bach ketika
Bach mempersembahkan karyanya pada acara ulang tahun Flemming yang mengadakan malam
penampilan. Bach telah mempersembahkan kepada Flemming karya BWV 249b, BWV 210a.

114
Geck, Johann Sebastian Bach, 645–646. Bach tidak terlalu setuju akan pendapat
Enlightenment yang menganggap bahwa adalah cara paling alami untuk menikmati musik dalam
bentuk melodi dan pengiringan. Bach menyatakan bahwa yang nyata bukanlah natur manusia itu
sendiri tetapi natur musik juga nyata. Dalam hal ini Bach ingin menunjukan eksistensi musik juga
sebagai salah satu karya ciptaan Allah yang saling bersinergi dengan ciptaan yang lainnya untuk
48
Kesetiaan Bach pada doktrin reformed yang membuatnya bertahan dan

menangkal pengajaran Roma-Katolik maupun budaya Enlightenment. Seorang tokoh

antiphilosophical Lutheran bernama Valentine Loscher (1673-1749) menentang teori

John Locke (1624-1704) yang berpendapat bahwa pengetahuan datang dari persepsi,

pengalaman, dan refleksi manusia. Loscher mengatakan bahwa pengetahuan datang

dari Allah sebagai sumber pengetahuan dasar hingga universal (Roma 2:15). Locke

juga menentang bahwa interpretasi Alkitab harus disetujui oleh para uskup maupun

Paus. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa keotentisitasan dan keotorotatifan Alkitab

dipegang oleh Paus. Dalam hal ini, Locke menentang pendapat Loscher bahwa awal

pengetahuan datang dari Roh Kudus yang menginspirasi setiap Paus termasuk Petrus

sang Paus pertama (Mat. 16:18).115 Dalam mempertahankan keutuhan Alkitab, Bach

dengan kantatanya yang berjudul Wer micht liebet, der wind mein Wort halten atau

He who loves me will keep my commandments yang diambil dari perkataan Yesus

kepada Yohanes. Selain Loscher, Neumeister yang berdasar dari Yesaya 56:10-11

yang menuliskan: “The Bible is, in everything, free of contradiction.” Neumeister

ingin menunjukan bahwa Alkitab tidak dapat dipermasalahkan, dan dipertanyakan.

Melalui puisi ini, Neumeister berusaha menentang pandangan Enlightenment. Puisi

ini akhirnya digubah oleh Bach menjadi sebuah kantata yang berjudul Gleiche der

Regen und Schnee vom Himmel Fallt (BWV 18). 116

memuliakan Allah. Selain itu karya seperti The art of fugue dan The well tempered clavier
menginspirasi teori “World-idea” komposer zaman Romantic Wagner.

115
Gritsch, A History of Lutheranism, 126.

116
Pelikan, Bach among the Theologians, 54. Dalam bagian lain, Bach berusaha menyuarakan
kebenaran tentang keselamatan yang diperoleh dari iman. Bach menyuarakan kebenaran iman-nya ini
ke dalam sebuah lagu kantata BWV 9. Kantata ini merupakan kantata yang dinyanyikan dalam minggu
ke enam setelah minggu Trinitas dalam kalender gereja. Dalam gerakan pertama, Bach menggunakan
paduan suara untuk menyanyikan lagu yang merupakan gubahan dari hymn dari Lutheran berjudul
Eltich Christlich Lieder (LBW 297) yang merupakan parafrase Paulus mengenai hukum dan
49
Selain itu, dalam zaman enlightenment atau Aufklarung dalam bahasa Jerman

tidak hanya mempermasalahkan doktrin ketritunggalan Allah. Dalam sebuah artikel

Smalcald tahun 1537 menggambarkan pengaruh enlightenment ini menciptakan

sebuah budaya toleransi antar pengikut agama. Oleh karena itu, pengaruh

Enlightenment bagi orang-orang Jerman bukan hanya mempertanyakan

ketritunggalan Allah tetapi di sisi lain menghasilkan konflik antara Katolik dan

Lutheranisme. Pengaruh Enlightenment ini memengaruhi Roma Katolik menjadi anak

tiri, dengan tujuan mengadu domba antara umat Katolik dengan Lutheran.117 Karya

Mass in B-Minor merupakan manifestasi dari gerakan penginjilan kepada umat

Katolik (evangelical catholicity) pada saat yang di mana akan menjadi kesulitan bagi

Bach karena menghadapi dua pandangan yang telah dimiliki oleh umat Katolik ini.

Bach berusaha memasukan doktrin yang bersifat otoritan dan anti-katolikisme ke

dalam sebuah bentuk liturgi Katolik. Mass in B-Minor merupakan misa raksasa yang

berliturgi. Dalam hal ini karya ini tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara

misa Katolik dengan misa Protestan.118 Sekalipun memang diragukan orang-orang

bahwa karya ini diambil dari misa Lutheran, tetapi pada zaman tersebut Bach

membuat karya ini terdengar biasa di telinga jemaat Lutheran karena melodi lagu

diambil dari hymn mingguan pada misa Lutheran.119

pembenaran dalam Roma 3. Dalam bagian ini, Bach menggubahnya menjadi versi paduan suara
dengan tambahan instrumen Flute, Oboe d’amore, Violin, dan Basso Continuo.

117
Smalcald Articles 2.4.10 dalam buku Theodore G Tappert, The Book of Concord: The
Confessions of the Evangelical Lutheran Church (Philadelphia: Fortress, 1992), 300.

118
Pelikan, Bach among the Theologians, 55, 117.

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 34.


119

50
Pengaruh Pietisme dan Teologi Bach

Keluarga Philip Jacob Spener adalah seorang yang berdampak terhadap

Pietisme. Keluarga ini merupakan seorang bangsawan yang diingat warga Jerman

karena jasanya membangun Universitas Halle dan beberapa gereja seperti gereja

Moravian di Herrnut.120 Awalnya, Philip Jacob Spenner sebagai pendukung gerakan

pietis ini menggerakan para umat Protestan untuk menjadi pengikut Kristus yang

memiliki perilaku lebih baik dengan menghasilkan iman dan buah-buah dari iman

tersebut. Hamba-hamba Tuhan, orang-orang kaya, ataupun orang-orang miskin

dipanggil untuk merenungkan dan menghidupi firman Tuhan. Sesuai dengan doktrin

Lutheran dan kebenaran Alkitab, para umat dipanggil untuk mematikan dirinya

bersama dengan dunia dan hidup bersama Kristus untuk menjadi contoh bagi orang-

orang di sekitarnya. Tentu tidak mudah untuk menjalankan ibadah dalam kehidupan

sehari-hari ini, dibutuhkan latihan yang berulang-ulang.121

Sementara itu, Nikolaus Ludwig Zinzendorf lahir 15 tahun setelah Bach, yaitu

pada tahun 1700 merupakan pemimpin Pietisme Jerman yang menyesatkan. Awalnya

beliau dikenal memiliki pengetahuan tentang dasar pietisme yang brilian dan dikenal

oleh banyak orang sejak muda. Orang-orang banyak mengenali Zinzendorf sebagai

orang yang mengenai Lutheran bahkan perbedaan Katolik dan Lutheran. Hati

Zinzendorf dikenal sangat lembut pada orang-orang disekitarnya pula. Neneknya,

120
Philipp Spitta, Johann Sebastian Bach: His Work and Influence on the Music of Germany,
1685-1750, Dover books on music, music history (London: Novello, 1992)165-166.; Pelikan, Bach
among the Theologians, 56-57. Berkat peran Philip Jacob Spenner membuat Universitas Halle berhasil
mengeluarkan sebuah buku ensiklopedia yang modern dan otoritatif pada zaman itu.

121
Carter Lindberg, ed., The Pietist Theologians: An Introduction to Theology in The
Seventeenth and Eighteenth Centuries, The great theologians (Malden: Blackwell, 2005), 85.

51
Henrietta dari Gersdorf (1686-1761) mengajarkan Zinzendorf mengenai intimasi

dengan sang Juruselamat. Dalam tahun-tahun studinya, Zinzendorf selalu

menghubungkan kasih dan pengtahuan ke dalam refleksi pribadinya bersama dengan

Tuhan. Bahkan Zinzendorf pernah berpendapat dalam sebuah diskusi bahwa agama

dan rasionalitas tidak akan pernah menyatu tanpa ada kasih di dalamnya. Beliau

melanjutkan bahwa tanpa Yesus seseorang akan mudah menjadi atheis.122 Salah satu

khas bagi orang-orang pietisme berpaham Zinzendorf adalah sebuah kesadaran akan

dosa. Kesadaran ini merupakan bagian elemen kekristenan di mana bapak gereja

Agustinus dan teologi reformasi juga sangat eksplisit membicarakan keberdosaan

manusia. Tidak hanya itu saja, teologi ini juga membangkitkan rasa keberdosaan

yang terdapat di dalam diri manusia. Hal tersebut membawa kepada sebuah

pengalaman merasakan anugerah Allah. Tetapi orang-orang Pietisme menjadikan

rasa kesadaran akan dosa ini menjadi sebuah rasa kekhawatiran atau ketakutan. Hal

inilah yang membuat mereka menjauhkan diri dari perilaku-perilaku tersebut. Bahkan

bagi mereka mengutuk adanya kegiatan seperti drama atau menari dalam gereja yang

dianggap sebagai gejala perusakan gereja dengan memancing seseorang untuk jatuh

ke dalam dosa.123

Pada zaman itu terdapat penyimpangan pemahaman dalam doktrin Kristus.

Sebelum pietisme muncul, umat Kristen memandang Yesus dalam perspektif Kristus

untuk semua komunal. Tetapi aliran pietis melihat doktrin kesatuan diri Yesus

sebagai Allah maupun manusia. Sehingga beberapa orang-orang pietisme mulai

berpikir lebih personal mengenai pandangan mereka bahwa Kristus ada di dalam kita.

122
Gritsch, A History of Lutheranism, 152.
123
Pelikan, Bach among the Theologians, 61–62.

52
Hal ini dipandang oleh orang-orang Pietis untuk menekankan Yesus dalam sudut

pandang intimasi dengan menggunakan analogi pengantin pria dan wanita seperti

gambaran Yesus dan umat-Nya. Tetapi hal ini membuat mereka memandang Yesus

bukan dalam sudut pandang objektif melainkan lebih subjektif. Zinzendorf membuat

ibadah minggu menjadi lebih erotis. Zinzendorf menggunakan instrumental musik

dalam panggung musik, khotbah-khotbah yang bersifat erotis dan menampilkan

beberapa gambar-gambar yang merangsang relasi intim bersama dengan Yesus.

Lebih parahnya, Zinzendorf membawa umat untuk melihat Yesus sebagai anak secara

literal dari penggambaran anak domba, sementara Allah Bapa dianggap sebagai ayah

dan Roh Kudus sebagai ibu.124 Zinzendorf yang merupakan bapak dari Pietisme telah

dikecam oleh Neumeister sebagai rasul Iblis. Pasalnya Zinzendorf menyuruh umat

pietis untuk berdoa kepada Yesus saja tidak kepada Allah maupun Roh Kudus. Hal

ini ditentang oleh Neumeister dalam lagunya, “Jesus nimmnt die Sunder an (Jesus

sinners doth receive) secara implisit menyatakan bahwa baik Bapa, Roh Kudus

maupun Yesus adalah Allah yang menawarkan pengampunan dan perdamaian kepada

siapa yang mendengar panggilan-Nya. Neumeister mengarahkan umat Pietis untuk

melihat Yesus tidak dalam sisi subjektif saja tetapi Yesus dalam pandangan objektif.

Uniknya dalam beberapa karya Bach, ia menggunakan imageri pengantin pria dan

wanita dalam lagu Schmucke dich, O liebe Seele atau Deck thyself, O soul beloved

(BWV 423-25).125 Zinzendorf sendiri mengumpulkan beberapa jemaat untuk

124
Gritsch, A History of Lutheranism, 154.

125
Pelikan, Bach among the Theologians, 64–67. Hal ini berpengaruh pada penggunaan kata
“Herr” atau Tuhan pada kata awal lagu pertama karya St. John Passion ini kurang diminati oleh kaum
Pietis. Mereka lebih suka jika kata ”Herr” atau Tuhan diganti menjadi “Heiland” atau Juruselamat.
Seorang teolog pietis bernama Johann Albrecht Bengel mengonfirmasi sekaligus menyarankan orang-
orang pietis untuk membiasakan diri dengan mengatakan “Juruselamat, Juruselamat!”

53
membangun gerakan pilgrimage congregation. Selain itu, Zinzendorf telah banyak

memengaruhi orang-orang dengan pengajaran sesatnya dengan tampil di muka publik

Jerman, Inggris, Belanda, dan Cekoslovakia dari tahun 1738.126

Uniknya, pengaruh budaya pietisme akan obsesi atas kematian ini ditemukan

dalam kantata Bach dan lagu-lagu sacred lainnya. Pada zaman ini, topik kematian

menjadi topik yang ramai diperbincangkan bahkan orang-orang pietis

menginterpretasi topik ini menjadi sebuah semangat sejati dari gerakan pietisme.

Sebuah kejadian perang yang terjadi selama 30 tahun pada tahun 1648. Perang ini

sempat menghebohkan karena pasukan Katolik Roma menurunkan 16 juta tentaranya

dan hanya tersisa 6 juta diakhir perang. Tercatat di daerah Palatinate bagian bawah

memakan korban jiwa sebesar 90 persen penduduk, sementara korban kota

Wittenberg memakan 85 persen penduduk, dan 75 persen dari penduduk Bohemia.

Hal ini berdampak besar bagi kondisi kerohanian penduduk Jerman, sehingga

khotbah-khotbah mingguan dipenuhi oleh topik panggilan untuk taat dan hidup kudus.

Hal ini terbukti dari penemuan beberapa buku The Rule and Exercise of Holy Living,

dan The Rule and Exercise of Holy Dying dari Jeremy Taylor pada tahun 1650. Bach

dalam hal ini juga menuliskan sebuah kantata berjudul Mitter wir im Leben sind

(BWV 383). Kantata ini diambil dari puisi abad pertengahan dan reformasi yang

dikombinasi dengan pemikiran aliran Pietis, Jesus devotion. Dalam kantata ini

terdapat penggalan kalimat yang menuliskan: “rest well, beloved bones, sweetly

126
Gritsch, A History of Lutheranism, 155. Dalam buku Jaroslav Jan Pelikan, Bach among the
Theologians (Eugene (Or.): Wipf and Stock, 2003), 56-57. Mengatakan bahwa Zinzendorf juga
membuat sebuah lagu untuk menyebarkan doktrinnya dengan menyelewengkan lagu hymn Lutheran
yang berjudul “Seelenbrautigam, Jesus, Gottes Lamm.” Lagu ini merupakan karangan seorang
Kapellemesiter gereja Lutheran Pietis di Arnstadt bernama Adam Driese. Zinzendorf mengubah judul
lagu tersebut menjadi “Seelenbrautigan, O du Gottes-Lamm” dengan memberikan nada dari lagu
Himne milik Luther yang berjudul Jesu geh’ voran.

54
sleeping, That I may cease from further weeping. . .” Dapat terlihat bahwa Bach juga

ikut bagian dalam pemikiran Pietisme di mana akan ada ketenangan setelah melewati

kematian.127

Dari beberapa bukti karya-karyanya membuat para peneliti Bach cukup

memperdebatkan keterlibatan Bach dengan Pietisme Bach. Menurut Martin Geck,

Bach dapat digolongkan sebagai seorang pietis karena jika menggunakan tolak ukur

pemahaman mistisisme Lutheran, Bach merupakan seorang pietis yang terbukti dari

karya-karya vokalnya. Bahkan, Friederich Nietzsche mengungkapkan bahwa Bach

merupakan seorang pembawa cahaya bagi Pietisme karena karya musiknya mengubah

orang saat itu yang muncul akibat perubahan hati yang sangat religius dan jeritan dari

pergumulan yang dihadapi.128 John Sittler menanggapi secara praktis bahwa bentuk

pietis Bach perlu diukur dari kehidupannya gerejanya, kehidupan berteologinya,

kegiatan hymnody-nya (penggunaan teks-teks dalam karya Bach termasuk dalam

persiapan librettis dalam menyiapkan teks-teksnya). Beliau mengakui bahwa dalam

pengakuan iman Bach, baik secara kata-kata maupun konten musik yang merupakan

implikasi dari kehidupannya, tidak muncul karena efek dari semangat diri sendiri

tetapi muncul dari Roh Kudus yang telah diimani oleh Bach.129

Sekalipun Bach membingungkan beberapa peneliti karena dia hidup di dalam

konteks lingkungan yang bermacam-macam pemahaman seperti Pietisme,

Rasionalisme, Katolik Roma, tetapi para peneliti sepakat bahwa Bach dan Neumeister

127
Pelikan, Bach among the Theologians, 68–69.

128
Geck, Johann Sebastian Bach, 655. Jika Bach membuat karya itu untuk orang-orang pietis
pada zaman tersebut, maka Bach ditafsirkan sangat kontroversial dalam dunia pietis saat itu karena
beliau menggunakan irama-irama tarian dalam karya-karya vokalnya.

Johann Sittler, “Johann Sebastian Bach: An Essay in Discovery,” The Cresset, April 1943,
129

16-23 dalam buku Pelikan, Bach among the Theologians, 60.

55
(sebagai librettis kantata Bach) sekaligus gerejanya tidak tergolong ketiga

pemahaman tersebut. Menurut Sittler, Bach merupakan seorang ortodoks Lutheran

tetapi dari kantata maupun karya Passions-nya dapat digolongkan sebagai lagu yang

mengikuti ajaran pietsime, meskipun tidak semua bagian mengandung unsur pietis.

Hal ini terlihat dari setiap kantata Bach yang mengandung tema-tema pietis seperti

subjektivitas yang intens, kesungguhan moral, dan penggunaan metafora rococo pietis

yang muncul dalam bentuk cara berhomiletika, cara berdevosi, penggunaan ayat

Alkitab yang cenderung sering dipakai oleh orang pietis.130 Seperti yang telah

dikonfirmasi oleh Tanya Kevorkian bahwa Bach menganut teologi Lutheran, terutama

ketika sejak kecil hingga berkeluarga dia bergereja di gereja Lutheran. Hal itu

ditunjukannya dengan memilih orang tua baptis dari beberapa teolog Lutheran

ortodoks (dari kota Leipzig) untuk anak-anaknya yang akan dibaptis Sekalipun

pengaruh Pietisme cukup kuat, bahkan Court Leipzig adalah pengikut pietisme

pengaruh ini tidak memengaruhi karya-karya Bach selama di Leipzig. Terbukti

secara teks dalam karya-karyanya yang dibuat di Leipzig tetap digolongkan sebagai

Lutheran. Sekalipun dalam beberapa bagian dia juga menggunakan elemen-elemen

pietisme, tetapi Bach menggunakan hal tersebut untuk menekankan sisi perjalanan

spiritualitas, dan hubungan dengan Kristus. .131

Bach juga ikut ambil dalam gerakan ini sekalipun beliau bukan seorang pietis.

Hal ini dilakukan oleh Bach dalam rangka ikut berantisipasi dengan golongan

pietisme sebelum disesatkan oleh Zinzendorf atau menurut Pelikan dianggap sebagai

kaum pre-pietisme. Hal ini ditunjukkan yaitu Bach menggunakan lagu-lagu hymn

130
Ibid., 57.

131
Tanya Kevorkian, Baroque Piety: Religion, Society, and Music in Leipzig, 1650–1750 ,
2017, 124, 141–142.

56
milik Schemelli berjudul Musicalisches Gesang-Buch pada beberapa bagian lagunya

seperti Dir, dir, Jehova, will ich singen (BWV 42) atau Komm Susser Tod, komm,

sel’ge Ruh (BWV 505). Buku ini nyanyian ini sering digunakan oleh orang-orang

pre-pietisme di Leipzig. Pada kenyataannya, tujuan Bach mengambil bagian dalam

gerakan ini adalah ingin mengingatkan agar jemaat tidak masuk ke dalam perspektif

cheap Grace. Bach menggunakan setting lagu hymn berjudul O Gott, du frommer

Gott (BWV 398-399) milik Johann Hermann. Melalui lagu ini, Johann Hermann

ingin mengekspresikan imannya untuk terus ada di dalam dunia yang penuh

penderitaan bersama orang-orang kudus lainnya untuk memenuhi panggilan Allah,

yaitu untuk memikul salib dan taat (penggunaan kata taat pada bahasa Jerman yang

berarti “fromm” yang merupakan sinonim dari kata “Pious” atau dalam bahasa Inggris

berarti “Devout”). Bach telah menggunakan kalimat pertama dalam lagu ini dalam

karya Passion-nya, bertuliskan sebuah kalimat tanya yang menanyakan bentuk

pelanggaran apa yang telah Yesus tanggung dari dosa manusia.132

Kesimpulan

Bach memang adalah pengikut Lutheran ortodoks. Sekalipun menurut

Richard Plantinga meragukan bahwa Bach bukanlah seorang teolog ataupun pemusik

yang saleh melainkan seorang musisi gereja Lutheran yang hanya melakukan

tugasnya sebagai pelayan di gereja Lutheran.133 Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri

bahwa Bach merupakan seorang musisi sekaligus teolog Lutheran. Ada banyak nilai-

132
Pelikan, Bach among the Theologians, 59–60.

133
Plantinga, “The Integration of Music and Theology in the Vocal Composition of J.S.
Bach,” 220.

57
nilai Lutheran yang terlihat dalam musik Bach, seperti teologi salib (sebagai lambang

penebusan dosa dan penekanan atas doktrin Kristosentris), sakramen, dan elemen

ibadah lainnya (sebagai perwujudan dari sola scriptura, sola fide, sola gratia). Pada

sisi spiritualitas, Bach juga melakukan kegiatan seperti mengoleksi buku 7-8 edisi

buku Martin Luther yang berjudul Haustpostille; Beberapa tulisan orthodox Lutheran

seperti tulisan mengenai aliran mistisisme dari Lutheran, teologi reformed abad 17;

Beberapa buku pietisme Lutheran karangan Johan Arndt, Heinrich Muller, dan

August Herman Francke juga termasuk di dalam koleksi buku Bach; Bach juga

mengoleksi Alkitab terjemahan seorang teolog terkenal pada zaman Bach yaitu

Abraham Calov; Bach juga memiliki tiga volume buku tafsiran milik Luther; Bach

juga mengoleksi buku studi tentang konsili di Trent, pengakuan iman Augsburg, buku

tentang perjamuan kudus dan baptisan; Bach juga mengoleksi beberapa karya musik

Luther; Bach juga membaca buku-buku devosional. Pada zaman itu, buku-buku

devosi membahas kalender gereja sangat terkenal sehingga hal tersebut juga

memengaruhi Bach dalam penulisan kantatanya di tiap minggu, sesuai dengan ayat

dari buku devosi tersebut. Tetapi hal ini dihidupi oleh Luther dalam beberapa

kejadian seperti kehilangan orang tua, istrinya, dan anak-anaknya. Kejadian ini

membuat Bach semakin belajar untuk menyadarkan kelemahan dirinya dan

melepaskan kesombongan dalam dirinya. Hal ini juga terlihat ketika Bach bertahan

atas perilaku walikota bahkan rakyat Jerman yang tidak terlalu menerima dirinya

sebagai seorang komposer terkenal dan layak menerima banyak penghargaan dari

orang lain. Bach juga melakukan relasi dengan para teolog sebagai sahabat-

sahabatnya untuk menjaga kesehatan rohaninya pula. Hal itu terbukti ketika Bach

harus menghadapi tantangan pemahaman pietis dan rasionalis. Dengan demikian,

peneliti menyimpulkan bahwa Bach merupakan seorang yang betul-betul menghidupi


58
teologi Lutheran-nya bahkan menguatkannya sekalipun keadaan politik, agama, dan

budaya telah memengaruhi Bach, yaitu Roma Katolik, Rasionalis-Humanis

(Enlightenment), dan Pietisme.

59
BAB 3

KONSEP TEOLOGI J.S. BACH DITINJAU DARI KEHIDUPAN DAN

PENULISAN KOMPOSISI MASS IN B MINOR

Karya musik beraliran Mass atau misa merupakan sebuah karya misa yang

menggunakan latar liturgi ibadah gereja kuno.134 Dalam perkembangannya, aliran

musik mass ini diminati oleh komposer-komposer pada zaman Medieval hingga

Renaissance, mengingat perkembangan Musik Barat dekat dengan lingkungan gereja

sehingga para komposer–seperti Palestrina, Monteverdi–senang berkreasi dengan

aliran ini. Akan tetapi para komposer pada masa Bach hidup ataupun setelahnya

mulai meninggalkan aliran musik ini.135 Meskipun demikian, penulisan aliran musik

ini masih tetap dipertahankan dalam beberapa abad kemudian. Beberapa komposer

masih membuat karya-karya mass ini seperti: Bach, Beethoven, Mozart, Haydn,

bahkan Verdi di zaman Romantic. Uniknya, komposer setelah zaman Bach banyak

mempelajari penulisan mass milik Bach. Misalnya, ketika Beethoven sedang

mengerjakan penulisan Misa Solemnis-nya, Beethoven meminta karya misa Bach

sebagai rekomendasi dari karya misanya.136

134
Stapert, My Only Comfort, 42.

135
Butt, Bach, Mass in B Minor, 1.

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 3–4.


136

60
Setelah zaman Renaissance, karya mass lebih banyak dikenal oleh pengamat

musik sebagai karya musik yang membuat pendengarnya tidak hanya menikmati dari

sisi liturgi saja tetapi juga menikmati dari sisi teatrikal pula. Inilah yang membuat

Anton Friederich Justus mengomentari karya musik mass milik Mozart dan Haydn di

mana nilai komposisi gerejawi telah merosot jauh karena karya mass milik mereka

menggantikan nilai musik-musik gereja dengan nilai-nilai asmara dan emosional saja.

Karya mass milik Mozart dan Haydn telah mengganti warna mass yang awalnya

merupakan bagian dari musik gereja menjadi bagian dari opera vulgar.137 Bahkan

bagi Pelikan, karya mass milik Haydn dan Mozart ini dibuat bukan dalam tujuan

untuk gerejawi, melainkan dibuat untuk membesarkan nama mereka sendiri.138

Berbeda dari Haydn dan Mozart, J.S. Bach dalam abad yang sama (abad ke-18

Masehi) menuliskan karya musik mass dengan tujuan berbeda. Bach menuliskan

karya ini untuk memfasilitasi umat Katolik untuk mengenal Allah serta menyatukan

umat Katolik dan Lutheran dalam menyembah Allah yang benar. Bach menggunakan

latar liturgi ibadah Lutheran dalam bahasa Latin (Formula Missae) yang awalnya

ditujukan untuk memfasilitasi umat Katolik dalam memahami Allah dan Injil secara

benar. Hal ini membuat Luther menggunakan bahasa Latin dalam format liturgi

ini.139 Hal ini dikonfirmasi oleh analisa kaum Wagnerian bahwa estetika penulisan

drama dalam Mass in B Minor digerakkan oleh idealisme dan presentiment Bach

sebagai seorang Lutheran untuk membangun susunan drama kekristenan bagi orang-

137
Anton Friedrich Justus Thibaut, On Purity in Musical Art (London, 1877), 756–759.

138
Pelikan, Bach among the Theologians, 117.

139
Ibid., 117–118. Sekalipun tujuan Bach untuk memuliakan Allah, tidak sedikit pengamat
musik seperti Albert Schweitzer atau Etienne Gilson mengomentari karya ini sebagai “pengacau
liturgi”. Hal ini terjadi karena setting dari penulisan Mass in B minor ini menggunakan pemahaman
Katolik dan Protestan

61
orang Katolik dimulai dari kejatuhan manusia (Kyrie), penebusan dosa Kristus

(Gloria), tindakan gereja sebagai kepanjangan tangan Allah (Credo), dan memorial

mengingat Kristus melalui perjamuan kudus (Sanctus hingga Agnus Dei).140

Sekalipun Bach membuat karya mass ini melenceng jauh dari kebiasaan yang

dilakukan karena Bach menggunakan tradisi Katolik sebagai jalan penginjilannya, hal

itu tidak membatasi tradisi Protestan dalam dirinya untuk digunakan sebagai konten

musik yang akan disampaikan kepada umat Katolik.141 Untuk menginjili umat

Katolik serta menyatukan kedua kubu agama, Bach menggubah ulang beberapa

kantata yang ditampilkan dalam gereja Lutheran sekaligus memperdalam makna dari

setiap bagian liturgi misa dari sudut pandang Injil.142 Dalam bagian lain, Bach juga

mencurahkan teologi dari sudut pandang pribadinya sebagai seorang yang bergumul

dengan firman Tuhan. Hal ini terlihat dalam lagu Confiteor dan Agnus Dei yang

menceritakan pergumulan antara dosa dalam dirinya dengan kebaikan Allah yang ia

percayai.

Sekalipun Mass in B minor mengadaptasi format liturgi Lutheran Formulae

Missae, tetapi karya ini bukanlah sebuah misa yang dikarang sebagai sebuah bentuk

karya yang dapat mengakomodasi ibadah mingguan. Karya ini hanyalah bentuk

ekspresi Bach kepada Tuhan yang dituangkan ke dalam sebuah karya musik dan

ditampilkan kepada publik Jerman. Misalnya, karya Sanctus ditampilkan di istana

Franz Anton Count Sporck di Bohemia.143 Sekalipun karya ini tidak berhubung

140
Butt, Bach, Mass in B Minor, 32.

141
Spitta, Johann Sebastian Bach, 43–44.

142
Butt, Bach, Mass in B Minor, 2.

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 4. C.P.E Bach
143

mengizinkan karya ayah-nya untuk ditampilkan di istana kerajaan Franz Anton Count dalam bentuk
62
langsung dengan sebuah ibadah, karya ini tetap menceritakan tentang Kristus. Bach

membawa pendengar dapat memahami Allah dan firman-Nya dengan benar dalam

sudut pandang musikal melalui ketegangan counterpoint yang dihasilkan.144

Mass in B minor adalah karya musik yang melampaui standar karya misa

lainnya secara fungsional. Karya misa lainnya hanya menampilkan musik

berdasarkan Injil Kristus. Sementara karya Mass in B minor ini menawarkan sebuah

cara pandang baru melihat musik. Bach mengganti peran musik untuk berperan

sebagai tafsiran. Dalam hal ini Bach dianggap jenius karena secara simultan ia telah

meringkas era saat itu sambil membuka pintu menuju era baru dalam hal pemikiran

musikal ketika dia berkonsentrasi pada interpretasi ortodoksi Lutherannya terhadap

teks Latin. Bach selalu menggunakan teknik komposisinya dengan terampil dalam

mempersembahkan musik fugue dengan tujuan untuk menawarkan makna dalam teks

Alkitab dan kejelasan posisi teologi yang dimiliki. Misalnya, Bach menggunakan

beberapa doktrin dari Lutheranisme seperti: penekanan Kristologi, doktrin

pembenaran, doktrin pengudusan, hukum Taurat dan Injil, sakramen, theologia crucis,

simul iustus et peccator, the finitum capax infiniti, dan doktrin eskatologi.145 Bach

juga menekankan doktrin eksatologinya, seperti yang terlihat dalam kombinasi lagu

Gratias tibi (We give thanks to You) dan Dona Nobis Pacem (Grant us Peace).

Martin Geck juga mengagumi kemampuan Bach dalam menuliskan karya ini dengan

menggunakan format liturgi Formula Missae sebagai lambang dari kekayaan teologi

performance parts. Peminjaman yang ditampilkan kepada Franz Anton Count ini bukanlah
peminjaman skor atau penggandaan skor.

144
Hermann Sasse, We Confess: Anthology (St. Louis: Concordia, 1999), 92–93.

145
Paul Hofreiter, “Bach and The Divine Service: The B Minor Mass,” Concordia Theological
Quarterly 66, no. 3 (July 2002): 223–224.

63
yang dipadukan dengan tarian Baroque, keindahan format, gaya, ekspresi musik.146

Bach juga menuliskan simbol “JJ” atau Jesu Jova dan “Fine SDG” atau Finish, Soli

Deo Gloria dalam penulisan repertoar Mass in B minor ini.147

Sejarah Penulisan Mass in B Minor

Dalam pembuatan karya ini, Bach mengompilasi beberapa karya kantata

sebelumnya. Sebelum tahun 1747, Bach tidak pernah berpikir bahwa beberapa

karyanya akan dijadikan kompilasi dalam karya Mass in B Minor (BWV 212). Akan

tetapi secara de facto, karya Mass in B minor telah dibuat sejak 1714. Sebagai

seorang hamba Tuhan musik gereja di Weimar, Bach bertugas untuk membuat kantata

pada minggu ketiga setelah Paskah (jubilate) berjudul Wienen, Klagen, Sorgen, Zagen

(BWV 12). Karya ini dikerjakan ulang pada tahun 1724 di Leipzig. Bach

menggunakan kembali salah satu nada paduan suara dari bagian kantata ini untuk

dijadikan melodi pengiring (accompany) dari lagu Crucifixus dari bagian Credo yang

diperkirakan pada tahun 1747-9. Selain itu, Bach juga telah menciptakan bagian

Sanctus sendiri pada tahun tahun 1724. Bach menciptakan karya Sanctus untuk

kepentingan liturgi Ekaristi pada rangkaian minggu adven.148 Ketika Bach membuat

146
John Eliot Gardiner, Bach: Music in the Castle of Heaven (New York: Vintage Books,
2015), 489.

147
Butt, Bach, Mass in B Minor, 148.

148
Hofreiter, “Bach and the divine service,” 225. Bach menuliskan kantata Weinen, Klagen,
Sorgen, Zargen (BWV 12) dengan mengambil dua teks Alkitab, yaitu Yoh. 16:20 “Seorang perempuan
berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan
penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.” Teks kedua
diambil dari Kisah Para Rasul 14:22 “Di tempat itu mereka menguatkan hati murid-murid itu dan
menasihati mereka supaya mereka bertekun di dalam iman, dan mengatakan, bahwa untuk masuk ke
dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara.” Kedua teks diambil oleh Bach untuk
menjelaskan bahwa adanya dukacita yang akan diubahkan menjadi sukacita ketika mengikut Yesus.
64
banyak karya Sanctus di Leipzig dalam kantatanya, Bach juga belum memikirkan

untuk membuat karya Mass in B-Minor. Pada akhirnya juga, Bach

mengkompilasikan kantata natalnya mengingat keterbatasan usia dan kesehatan Bach

untuk menulis lagu baru.149 Bach juga menggubah ulang lagu Agnus Dei yang

diambil dari lagu kantata karangannya yang dibuat untuk liturgi kenaikan Yesus pada

tahun 1735.

Pada kejadian lainnya, Bach membuat beberapa karya untuk dipersembahkan

kepada Raja August III dalam usahanya untuk mendapatkan jabatan serta pekerjaan di

kota Dresden. Pada tahun 1732 dan 1734, Bach membuat sebuah karya kantata

sekuler (no. 215) sebagai bentuk penghormatan kepada Raja August II dan III. Dalam

penulisan karya Mass in B minor, Bach mengerjakan ulang salah satu gerakan dalam

kantata ini menjadi lagu Osanna. Dalam sudut pandang unsur musik, lagu ini cocok

mendukung suasana pengagungan (adoration) kepada seseorang.150 Bach juga

mempersembahkan karya berjudul The Missa dalam rangka menawarkan diri menjadi

seorang Kapellmesiter di gereja Horfkirche Dresden. Bach membuat karya beraliran

mass dengan menggunakan dua gerakan yang diambil dari liturgi Lutheran (Formula

Missae), yaitu Kyrie dan Gloria. Dalam penulisan musik gerakan Kyrie,

kemungkinan besar Bach dipengaruhi istilah anfechtung151 oleh Martin Luther dalam

(Lih. Alfred Dürr, The Cantatas of J.S. Bach: With Their Librettos in German-English Parallel Text
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 37.)

149
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 14–17.

150
Butt, Bach, Mass in B Minor, 57. Sayangnya partitur kantatano. 215 ini lenyap dan tidak
pernah ditemukan bukti peninggalannya hingga sekarang. Selain itu, Bach juga mempersembahkan
beberapa karya instrumental untuk pengagungan kepada Raja August III salah satunya adalah
Clavierubung.
151
Lihat penjelasan anfechtung pada bab 2

65
membuat bagian Kyrie ini.152 Sementara setelah penulisan gerakan Gloria selesai,

gerakan ini digunakan kembali pada kantata misa natal pada tanggal 1745 yaitu

kantata Gloria in Excelsis Deo (BWV 191).153 Bach mengambil 3 lagu seperti

Gloria, Domine Deus, dan Cum Sancto Spiritu. Uniknya, dalam penulisan karya The

Missa, Bach seolah mendapatkan ide untuk karya Mass in B minor. Hal ini terlihat

dari karya Mass in B Minor yang berisi sejumlah besar gerakan yang pengerjaan

ulang musiknya sudah ada dalam karya The Missa. Selang beberapa waktu kemudian,

Bach baru menuliskan karya Mass in B Minor sekitar tahun 1740-1749 dengan

mengkompilasi karya The Missa yang mengambil gerakan Kyrie dan Gloria (Bach

mengambilnya bukan dari kantata no.131, melainkan dari gerakan The Missa).154

Dalam perencanaan penulisan karya Mass in B minor, Bach berniat untuk

menyampaikan liturgi Credo (sebagai bagian dari liturgi Formula Missae) sebagai

pernyataan abstrak dogma teologi dan demonstrasi imageri narasi Alkitab melalui

sebuah karya musik yang indah kepada umat Katolik dan Lutheran. Dalam gerakan

ini, Bach menggunakan dasar pemahaman katekisasi yang sederhana milik Luther.

Pemahaman ini dibagi menjadi tiga bagian: Kisah Penciptaan (Creation), Kisah

Penebusan Dosa (Redemption), dan Kisah Penyucian (Sanctification). Ketiga kisah

ini dihubungkan dengan ke-Tritunggalan Allah; Allah mencipta, Yesus turun menebus

dosa manusia, dan Roh Kudus yang menuntun kehidupan manusia untuk semakin

Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 225.


152

153
Butt, Bach, Mass in B Minor, 13.

154
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 18. Dalam pengerjaan
karya The Missa-pun, Bach mengambil beberapa bagian dari lagu paduan suara kantata berjudul Wir
danken dir Gott atau We thank thee, God. Bagian lagu ini dianggap Bach cocok dan ideal untuk
menggambarkan teks Gratias Agimus Tibi dalam gerakan Gloria.

66
dekat kepada Allah.155 Untuk membuat Credo ini terdengar indah dan megah maka

Bach menggubah ulang lagu-lagu ini menjadi tujuh bagian suara.156 Bach

menggunakan 5 bagian dalam paduan suara (SSATB), violin, dan continuo. Dalam

bagian isi, Bach bertujuan untuk menyampaikan pengakuan seluruh umat percaya dan

gereja di sepanjang abad (sesuai konsili Nicea abad ke-4 Masehi) sehingga Bach

mengombinasikan gaya penulisan tradisional (stile antico) dengan gaya penulisan

modern (stile moderno) untuk menjelaskan bahwa permasalahan dari zaman ke zaman

tidak menghalangi kuasa Allah dalam menyertai iman umat Kristen.157 Dalam masa

pembuatannya, Credo tidak hanya dibuat oleh Bach sendiri. Penulisan gerakan Credo

ini dibantu oleh anak pertama Bach yaitu C.P.E. Bach karena kondisi J.S. Bach yang

semakin menua dan melemah. Selain itu, terdapat koreksi partitur pada karya The

Missa yang diyakini dikerjakan menggubah ulang gerakan Gloria menjadi kantata

Natal (BWV 191). Hal ini didukung oleh penemuan salah satu bagian dari partitur

Amen dari karya Magnificat C.P.E. Bach dinilai sama dengan bagian partitur Gratias

dari karya Mass in B Minor milik J.S. Bach. Hingga saat ini, masih banyak bukti

simpang siur yang membuktikan siapakah penulis sesungguhnya dari karya ini tetapi

para peneliti sepakat bahwa sekalipun penulis tersebut adalah C.P.E. Bach, hal

tersebut tetaplah tidak terlalu signifikan karena C.P.E. Bach tetap menghormati

Tucker Bilodeau, “Johann Sebastian Bach & Symbolum Nicenum: A Catholic Text with
155

Lutheran Implications” (n.d.): 3, diakses 17 Mei 2019,


https://www.academia.edu/23594287/Johann_Sebastian_Bachs_Symbolum_Nicenum_A_Catholic_Te
xt_with_Lutheran_Implications.

156
Awalnya, lagu-lagu karangan Bach hanya berjumlah empat bagian (SATB dan diiringi
secara doubling oleh ensemble) atau berjumlah enam bagian (SATB dan diiringi oleh harpsichord,
continuo, dan doubling ensemble).

157
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 15–17. Perlu diketahui
bahwa murid Bach, Johann Frederich Angola sebelumnya telah berhasil menciptakan karya credo
dengan menyatukan kata-kata dengan musik polyphonic sehingga dapat menyampaikan pesan kepada
penonton dengan baik.

67
ayahnya dalam relasi keluarga maupun dalam relasi rekan kerja pemusik. Hal ini

terlihat dari keseganan C.P.E. Bach di mana setelah beberapa tahun dia berkarier di

Berlin, C.P.E. Bach memutuskan untuk menampilkan karya Magnificat-nya yang

mirip dengan lagu Gratias di gereja ayahnya berkarier yaitu St. Thomaskirche pada

tahun 1750 (sebulan sebelum J.S. Bach meninggal) untuk menghormati ayahnya yang

telah bertahun-tahun bekerja disana.158 Pada akhirnya, karya Credo sendiri

ditampilkan pertama kali oleh C.P.E. Bach di Hamburg pada tahun 1786.159

Gambar 2 Perbandingan lagu “Amen” Magnificat karya C.P.E. Bach dan “Gratias”
Mass in B Minor karya J.S. Bach. Sumber: John Butt, Bach, Mass in B minor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 20.

158
Butt, Bach, Mass in B Minor, 19–20.

159
Daniel R. Melamed, Listening to Bach: The Mass in B Minor and Christmas Oratorio (New
York: Oxford University Press, 2018), 5.

68
Konteks Kebudayaan dari J. S. Bach pada Waktu Penulisan Karya Mass in B

Minor

Pembahasan konteks budaya ini dibatasi ketika Bach mulai memikirkan karya

Mass in B Minor yaitu pada waktu Bach menuliskan karya The Missa.160 Pada

awalnya, karya ini merupakan pemberian dari Bach beserta surat yang berisi

permohonan gelar pengakuan sebagai Musique atau musikus. Melalui gelar ini, Bach

dapat diakui sebagai musisi yang berpengalaman dalam mengatur berbagai macam

spektrum suara dan instrumen sekaligus menjadi orang yang ahli dalam karya musik

beraliran misa.161 Bach mengirimkan karya ini sebagai sebuah kesempatan bagi

dirinya karena Walikota Saxon, Frederich August I atau Raja Polandia August II ‘The

Strong,’ meninggal pada tanggal 1 Febuari 1733. Frederich August I telah

menyerahkan takhta kerajaannya beberapa tahun sebelumnya kepada anaknya yaitu

Frederich August II yang akan menjadi Raja Polandia August III. Hal ini juga

berpengaruh pada pergantian pejabat pemerintahan termasuk Kapellmeister atau

pemimpin musik gereja. Selain itu, Frederich August II tidak terlalu menyenangi

musik bernuansa tarian Perancis seperti ayahnya. Frederich August II memiliki selera

musik opera Italia. Frederich August II mulai mengundang musisi-musisi Italia untuk

bermain di istananya. Sejak saat itu, musik di kota Dresden mulai didominasi musik

Neapolitan. Tetapi hal tersebut membuat perekonomian mulai di bidang musik mulai

merosot sehingga terjadi pemecatan musisi-musisi kerajaan. Pada akhirnya, Frederich

August II mengganti para musisi kerajaan sebelumnya dengan pemusik di gereja

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 14.


160

161
Ibid., 11.

69
Katolik dengan mengangkat Johann Adolf Hasse sebagai Kapellmeister gereja

Katolik di Dresden, menggantikan posisi Johann David Heichen yang dinilai kurang

efektif akibat penyakit yang dideritanya dan pada akhirnya meninggal pada tahun

1729. Pengangkatan Hasse dilakukan dengan harapan dapat mendongkrak

perekonomian musik negara yang telah habis. Tetapi Hasse mengalami absen dari

tugasnya hingga Desember 1733 dan mengakibatkan Frederich August II

memerintahkan Jan Dimas Zelenka sebagai kepala ensemble di gereja Katolik

Dresden untuk menghasilkan karya-karya musik untuk kebutuhan gereja saat itu.

Namun sayangnya, Zelenka tidak pernah diangkat menjadi Kapellmeister oleh

Frederich August II. Dalam hal tersebut, posisi Kapellmeister masih kosong (setelah

ditinggalkan oleh Hasse beberapa saat). Oleh karena itu, terdapat wacana untuk

mengangkat seorang kapellmeister baru. Beberapa nama direkomendasikan seperti,

Johann Joachim Quantz, Georg Friedrich Kästner, Tobias Butz. Bach sendiri

berminat masuk dalam daftar rekomendasi tersebut.162

Uniknya, Bach menawarkan aplikasi Kapellmeister kepada Court Saxon,

August II sebagai komposer atas sebuah ensemble kerajaan di mana ia tidak

menawarkan aplikasi dalam bentuk penawaran diri untuk posisi Kapellmesiter atau

meminta pembayaran dari pihak Court. Hal tersebut membuat pihak kanselir Saxon

cukup ragu untuk menerima Bach bukan karena Bach kurang pengakuan atas

bakatnya sendiri tetapi pihak Court cukup takut dalam membiayai hidup Bach dengan

gaji yang melebihi standar sementara pihak Court juga membiayai banyak komposer

lainnya di Jerman. Pada waktu perancangan surat aplikasi Bach, ia dibantu oleh

Gottfried Rausch seorang bea cukai tepat ketika Bach singgah di Dresden pada bulan

162
Ibid., 54–58.

70
Juli 1733 untuk mempromosikan anaknya, Wilhem Friedemann Bach, sebagai organis

pada gereja Sophienkirche.163

Pergantian Raja August I kepada anaknya, Raja August II, mengalami banyak

kontroversi di dalamnya. Kapellmeister gereja katolik di Dresden yang merupakan

seorang Jesuit mengirimkan surat kepada Paus di Roma. Surat tersebut berisi curahan

hati yang pahit karena Raja August memecat para musisi gereja akibat kedatangan

musisi-musisi kerajaan yang baru. Hal ini membuat para musisi gereja Katolik

Sophienkirche di Dresden yang mendengar berita ini kurang bersemangat dalam

bekerja. Hal ini berakibat kepada Zelenka yang harus bekerja keras akibat berita

buruk ini bahkan diberitakan bahwa Zelenka membuat karya baru hanya dalam 10

hari saja tanpa gaji selama berbulan-bulan.164 Dalam kekacauan pemerintahan Saxon,

Bach terdorong untuk menghasilkan karya yang melampaui model karya misa

sebelumnya. Bach sadar bahwa dia telah berhadapan dengan aliran musik tertua di

dunia yang bersifat multi-movement. Sekalipun terlihat sulit, Bach berusaha

mempelajari karya-karya misa dari komposer lain seperti Palestrina, Lotti, dan

lainnya. Bach ingin menghasilkan paradigma musik yang baru dalam bidang

polifonik vokal.165

Bach menggunakan karya The Missa (Kyrie-Gloria) dengan format liturgi

yang mirip dengan Roma Katolik untuk membuat publik Dresden secara khusus untuk

walikota Dresden August III atau Raja August II, Raja Polandia menyenangi

163
Ibid., 58–61. Dalam pengajuan surat aplikasinya, Bach sempat menyinggung para komposer
lainnya sebagai pencuri dari lumbung kekayaan pemerintah. Hal ini merupakan sikap Bach yang wajar
mengingat persaingan antar komposer yang ada di Dresden.

164
Ibid., 39–41.
165
Butt, Bach, Mass in B Minor, 1–2.

71
karyanya. Hal ini ditetapkan demikian karena untuk menjadi seorang raja, seseorang

wajib memeluk agama Katolik. Selain itu, dalam karya ini Bach menggunakan gaya

Neapolitan yang disenangi oleh Raja August II. Terhitung dalam catatan kerajaan

yang diterima oleh Zelenka, terdapat 806 gerakan misa dari 205 karya misa

diantaranya terdapat 91 karya misa yang menggunakan format liturgi secara lengkap

dan 36 yang hanya menggunakan gerakan Kyrie-Gloria saja layaknya Bach.166

Misa Bach ini dibuat dengan menyesuaikan keadaan di Dresden pada saat itu.

Misa ini dibuat dengan menggunakan gaya Neapolitan karena pengaruh perkawinan

Putri Maria Amalia dari Dresden dengan Pangeran Charles dari Bourbon, Spanyol.

Hal ini membuat preferensi musik kerajaan Dresden cenderung dipengaruhi oleh gaya

Neapolitan. Lalu pertanyaannya, mengapa The Missa Bach ini tidak berhasil

mempromosikan Bach menjadi seorang Kapellmeister di Hofkirche, Dresden?

Dalam penelitiannya, Yo Tomita sedikit melakukan percobaan dengan

membandingkan The Missa milik Bach dengan karya misa lainnya. Dari semua misa

yang pernah dipersembahkan kepada Raja August II hingga tahun 1765, hanya ada

dua yang menggunakan misa yang menggunakan dasar B Minor yaitu Missa Martis

Dolorosae oleh Caldara dan misa milik Bach. Selain itu, Bach menyiapkan 21 bagian

musik yaitu: Soprano I-II, Alto, Tenore, Basso, Traversiere 1, Traversiere 2, Hautbois

1 d'Amour , Hautbois d'Amour 2, Basson, 31 Corne da Caccia (bernama Corne du

Chasse), Clarino I, Clarino 2, Principale, Timpani, Violino 1, Violino 2, Viola,

166
Peter Williams, J. S. Bach - a Life in Music., 2012, 258; Peter Williams, The Life of Bach,
Musical lives (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 131. Bach juga menggunakan gaya
Neapolitan ini akibat kritik Schiebe di mana salah satu bentuk kritiknya adalah Bach tidak dapat
menggunakan musik Neapolitan layaknya Handel. Keteganngan antara Bach dan Schiebe ini masih
terus berlangsung hingga 1740-an di mana kritik tersebut disampaikan secara personal tetapi Schiebe
melaporkan hal ini kepada Raja August III. Hal ini membuat penulisan lagu Benedictus tidak terlihat
layaknya penulisan Bach seperti biasanya sebagai sebuah bukti ketidaksetujuan Bach terhadap kritik
Schiebe di hadapan negara.

72
Violoncello, dan Continuo. Seandainya saja, jika Bach menggunakan semua sumber

pemusik yang murni berasal dari pemusik gereja Hofkirche (Hofkapele), maka

pemerintah walikota Dresden pasti akan menetapkan Bach menjadi bagian anggota

dari pemusik gereja Hofkirche pada saat itu. Hal ini terbukti ketika Bach membuat

karya misa yang lebih baik ketimbang karya misa dari komposer lain pada tahun yang

sama. Karya ini memberi porsi instrumen tiup lebih banyak daripada karya misa itu.

Mengenai pemusik yang berada di penampilan karya The Missa, Bach sempat

mendatangkan beberapa penyanyi castrati dari Italia.167 Bach juga menggunakan jasa

penyanyi seperti Faustina Bordoni dan pemain violin terkenal Joan Georg Pisendel.

Kedua penampil ini memiliki gaya Neapolitan sesuai instrumen masing-masing. untuk

menyanyikan lagu seperti Christe Eleison dan Laudamus Te.168

The Missa milik Bach terhitung sama dengan karya Misa milik komposer-

komposer lain pada waktu yang sama di kota Dresden. Salah satu tren di kota

Dresden pada waktu itu adalah tren gaya Neapolitan. Namun misa ini tidak dapat

disimpulkan sebagai karya misa yang mengikuti konteks liturgi dan teologi

Katolikisme. Dalam karya ini, dia menggunakan pendekatan Lutheranisme. Hal ini

terbukti dari penggunaan kata-kata dalam gerakan Qui Sedes. Bach menggunakan

tambahan kata “Dei” sebelum kata “Patris” dalam kalimat “ad dexteram Patris.”169

Hal ini dilakukan oleh Bach untuk memasukan doktrin Lutherannya. Selain itu, Bach

167
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 45–48.

168
Ibid., 69; Williams, The Life of Bach, 133. Faustina adalah seorang penyanyi terkenal di
kota Dresden, Namanya melonjak dan menjadi perhatian publik Dresden karena penampilannya pada
opera Cleo Fide karya Hasse
169
Dalam tradisi katolik, lirik lagu Qui Sedes adalah “Qui sedes ad dexteram Patris”

73
menggunakan kata “altissimus” atau yang berarti “most” sebelum kalimat “Domine

fili unigete, Jesus Christe.”

Dalam kota Dresden juga terkenal dengan istilah “stile antico” atau gaya

tradisional. Hal ini dinyatakan menjadi sebuah gaya yang terus berkembang di abad

ke-18 bagi kota Jerman. Gaya artistik ini mulai diperkenalkan di kota Dresden pada

tanggal 1728. Hal ini dimulai pula dengan keragaman musisi-musisi di kota Dresden

yang terdiri dari berbagai negara seperti: Italia, Prancis, Jerman, Ceko, dan Polandia.

Dalam hal ini, karya musik Zelenka juga dipengaruhi oleh musik Perancis karena

sebelumnya dia sering bermain bersama musisi Perancis. Hal ini juga memengaruhi

musik dalam istana Court Dresden pula. Bach sendiripun mengakui kemampuan atau

skill yang tinggi dari para musisi di kota Dresden. Bach mengakui bahwa mereka

dapat menyampaikan bermacam-macam pesan emosi dibandingkan dengan musisi-

musisi Jerman lainnya. Pada akhirnya Bach, menuliskan lagu Christe Eleison, dan

Laudamus te dengan menggunakan gaya Neapolitan. Sementara gaya Perancis

diterapkan pada lagu Domine Deus, Qui sedes (dengan genre concerto antar oboe

d’amore). Gaya stile antico pada lagu Kyrie II, dan Gratias. Gaya counterpoint

Jerman digunakan pada lagu Kyrie I, et in terra pax, Cum sancto Spiritu. Gaya

Polandia juga muncul pada lagu solo aria bass Quoniam yang menampilkan gaya

cornato da caccia concertato.170

Polonaise atau tarian dari Polandia ini menjadi tren budaya di kota Dresden

pada waktu itu. Tren ini muncul karena Raja Polandia August II sekaligus walikota

Dresden ingin menjadikan kota Dresden menjadi contoh kota yang bersih dari

Lihat gambar dalam buku Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass,
170

71.

74
pengaruh Lutheranisme. Hal ini dilakukan oleh beliau untuk menekan perselisihan

antara Jerman dengan Roma. Untuk merencanakan hal tersebut maka August II

membuat kota Dresden menjadi kota yang dapat diisi oleh semua agama dan budaya.

Tidak hanya agama Katolik banyak budaya pada saat itu masuk termasuk dengan

budaya Polandia yang mewakili budaya dari kerajaan yang dipimpin oleh August II.

Tarian Polandia menjadi naik daun ketika anak dari Raja August II yaitu August III

menikah dengan Archduches Maria Josepha anak dari Raja Joseph I dari Austria.

Pernikahan mereka dibuka dengan tarian Polonaise. Tarian ini menjadi disukai oleh

orang-orang pemerintahan sehingga mereka menggunakan tarian ini sebagai tarian

pembuka dalam setiap acara pemerintahan. Itulah sebabnya musik Polonaise ini

dianggap sebagai simbol musik surgawi pada saat itu. Bach mengintegrasikan musik

ini ke dalam bagian liturgi Quoniam. Hal ini digunakan sebagai sebuah simbolisasi

dari teks Quoniam itu sendiri. Quoniam diambil dari liturgi tradisional yaitu

Quoniam tu solus sanctus, tu solus atau since You alone are holy, You alone are the

Lord, You alone are the highest diambil dari beberapa teks seperti Mazmur 83:19;

86:9-10 yang menggambarkan Allah sebagai Raja. Dalam hal ini Bach ingin

menggambarkan teks “Kristus sebagai seorang Raja yang duduk disebelah kanan

Allah” dengan musik polonaise yang dikenal sebagai musik untuk Raja yang

agung.171

Tiga tahun kemudian setelah Bach mempersembahkan karya Mass in B minor,

surat balasan pun muncul dari Court Saxon di mana Bach diakui sebagai Hof-

Compositeur pada tanggal 19 November 1736. Bahkan seorang duta besar Rusia,

Hermann Carl von Keyserlingk mendukung Bach dalam pengajuan aplikasi ini.

171
Ibid., 70–73, 82–83.

75
Kemudian, pada 1 Desember 1736, Bach membuat recital organ yang dihadiri oleh

beberapa pejabat sebagai bentuk persembahan kepada Raja August II dan pengajuan

kembali surat aplikasi Bach kepada pihak pemerintah Court Dresden.172

Analisa karya Mass in B minor

1. Kyrie

Tabel 2 Bagan Kyrie: Simetri A-B-A

Kyrie eleison Christe eleison Kyrie eleison


Chorus – stile moderno Soprano I-II duet (symbol Chorus – stile antico
pribadi kedua dari
Ketritunggalan Allah)

Penggunaan nada dasar Kyrie besifat “Progresi Tonal” yang sesuai dengan urutan nada
dasar B minor yang terdiri dari B, D, F#

b minor D major f# minor


Sumber: John Maclay, “Bach Mass in B Minor Guide” (dipresentasikan pada The
Choral Society Grace Church, New York, 2013), 5, diakses 17 Mei 2019,
https://static1.squarespace.com/static/52154231e4b0af0a3133f7b4/t/55b81a79e4b0f8c
c35e7b5d7/1438128761309/Bach+Mass=in+B+Minor+Guide.pdf.

Lagu Kyrie I ini sangat berkaitan dengan konsep anfechtung atau kelemahan

diri atas natur keberdosaan manusia milik Luther.173 Dalam segi fugue, Bach

menggunakan sebuah melodi utama yang akan direpetisi oleh suara lain serta

dikembangkan. Hal ini menjadi sebuah kekuatan bagi Bach dalam menulis karya-

karyanya termasuk dalam Kyrie I nya. Menurut pernyataan Stauffer, Bach

menggunakan dalam karya kyrie-nya ini menggunakan teknik “repercussion” atau

penggemaan dan dicampurkan dengan teknik “gradation” atau pengembangan secara

bertahap. Hal ini dapat dilihat dari penulisan melodi uatamanya di mana Bach

172
Ibid., 61–64.

Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 225.


173

76
menggunakan melodi kromatik (B-C#, C#-D) (lih. gambar melodi pertama Kyrie I).

Menurut Harnocourt, Teknik Gradatio ini digunakan oleh Bach untuk

menggambarkan perkabungan. Secara melodi, gambaran ini terlihat logis karena

lintasan melodi gradation ini menuju ke atas untuk menggambarkan bahwa di dalam

kondisi meratap seseorang menarik bajunya dan menaikan wajahnya untuk memohon

kepada Allah. Selain itu Bach menggunakan motif melodi “sigh” yang biasa

digunakan untuk menggambarkan kondisi keluhan akan natur keberdosaan diri. Hal

ini terlihat dari lintasan melodi yang turun ke bawah menggambarkan raut wajah yang

tertunduk ke bawah yang kelelahan karena meratap dirinya. Harnocourt

menambahkan bahwa dalam motif ini terdapat konflik batin dalam diri seseorang

dengan meratap diri sambil memohon pengampunan kepada Allah.

Gambar 3 penjelasan melodi utama Kyrie I. sumber: Uri Golomb, “Rhetoric and
Gesture in Performances of the First Kyrie from Bach’s Mass in B Minor (BWV
232)” (t.t):11-12, diakses 12 Juli 2019,
https://www.academia.edu/261786/Rhetoric_and_gesture_in_performances_of_the_Fi
rst_Kyrie_from_Bach_s_Mass_in_B_minor_BWV_232

Melodi ini digaungkan oleh Bach pada bar 5-9 oleh Oboe d’amore terlebih

dahulu dan disusul oleh fugue yang dimulai dari suara tenor, lalu disusul oleh Alto,

Soprano, dan Bass.174 Adapun susunan bentuk dari Kyrie I:

Uri Golomb, “Rhetoric and Gesture in Performances of the First Kyrie from Bach’s Mass in
174

B Minor (BWV 232)” (n.d.): 11–12, diakses 12 Juli 2019,


https://www.academia.edu/261786/Rhetoric_and_gesture_in_performances_of_the_First_Kyrie_from_
Bach_s_Mass_in_B_minor_BWV_232_. Akan tetapi di dalam halaman 23, penulis menjelaskan
bahwa dalam membawakan bagian ini, performer, baik penyanyi maupun pengiring tidak boleh
menekankan bagian ini agar maksud dari Bach. Sebaliknya penulis menyarankan agar bagian ini tetap
dibawakan dengan dance elegant movement. Tetapi dalam bagian lain, beberapa musisi seperti
77
Pembukaan: bar 1-4 (phrygian cadence)
Bagian Pertama:
• Ritornello pertama(R1), B minor: bar 5-29
• Eksposisi pertama(E1), B minor: bar 30-47
• Ritornello kedua (R2), F#minor: bar 48-72
Bagian Kedua:
• Interlude: bar 72-80
• Exposisi kedua (E2), B minor: bar 81-101
• Ritornello ketiga (R3), B minor: bar 102-126 175

Menurut Wolff dalam hipotesisnya mengatakan bahwa Kyrie I milik Bach ini

mengcopy beberapa bagian dari karya musisi seperti Johann Hugo Wilderer (1640-

1724) di mana tertulis dalam repertoar aslinya dengan tulisan “Adagio C”, dan dibuka

dengan pengulangan kata Kyrie sebanyak 3 kali, serta diakhiri dengan Phrygian

cadence (cari di analisa skornya). Hal ini dilakukan oleh Bach agar karya ini dapat

diterima masyarakat Dresden yang dipengaruhi oleh musik Neapolitan saat itu. Kalu

Hafner perlu mengakui bahwa empat bar awal dalam lagu ini tidak terdengar seperti

karangan Bach pada umumnya. Selain itu, Bach juga menyalin daras Kyrie milik

Luther yang diambil dari Deutsche Messe. Hal ini terlihat dari pembukaan di mana

bagian Bass menggunakan melodi daras tersebut.176

Bach menggunakan duet soprano untuk menunjukkan Kristus sebagai pribadi

kedua dari kesatuan ketritunggalan Allah. Dalam hal ini, Bach menggunakan duet

Koopman membawakan tema melodi pada Kyrie I ini dengan mengelompokkan bagian repercussion
dan gradation. Kemudian Koopman memberi crescendo tiap kelompok repercussion, gradation. Hal
ini dilakukan untuk memberikan penekanan sekaligus menghidupkan musik sekalipun dalam ritme
yang sama.

175
Ibid., 43; Charles Sanford Terry, Bach, the Mass in B Minor (London: Oxford University
Press, 1958). Dalam Ritornello pertama pada bar 5-29 membentuk format AABCDAB dengan catatan
B diakhiri dengan perfect cadence. Sebelum bagian perfect cadence, pada bar 15-21 atau CD terdapat
pengembangan tonalitas (tension) dalam bagian ini dan diakhiri bagian AB tonalitas kembali menjadi B
minor (realease).
176
Butt, Bach, Mass in B Minor, 44–45.

78
soprano dengan gaya penulisan Neapolitan.177 Secara politis, Bach juga seolah ingin

menunjukkan kemampuan para musisi di Dresden. Berbeda dari Kyrie I yang

dipenuhi oleh nada minor dan dissonance, pada bagian ini Bach menggunakan melodi

yang indah dan lugas. Terbukti pada penampilan pertama, Bach malah meminta duet

ini dilakukan oleh Soprano saja (duet Soprano I-II) di mana penulisan partitur

Soprano II ditulis dalam alto clef. Hal ini dilakukan oleh Bach untuk menampilkan

kemampuan para penyanyi Dresden yang tidak kalah hebatnya dengan penyanyi dari

Italia. Selain itu, Bach juga menggunakan gaya penulisan Neapolitan juga untuk

menunjukkan kemampuan dalam beradaptasi dengan budaya Dresden yang terkenal

dengan musik Neapolitan. Hal ini dilakukan semua oleh Bach untuk mendapatkan

jabatan sebagai Kapellmesiter di Horfkirche. Salah satu tugas yang harus diemban

oleh Kapellmesiter adalah membuat karya yang sesuai dengan karakter musisi agar

musisi dapat menampilkan secara optimal, serta dapat mempromosikan para musisi

gereja secara tidak langsung.178 Pada bagian lain Bach menghadirkan tanda sharp

atau salib pada bar 74-75 pada instrumen violin untuk menunjukan bahwa Kristus

telah menebus kesalahan manusia melalui jalan kematian di atas kayu salib.179

177
Gardiner, Bach, 490.

178
Butt, Bach, Mass in B Minor, 45.

179
John Maclay, “Bach Mass in B Minor Guide” (presented at the The Choral Society of Grace
Church, New York, 2013), 10, diakses 17 Mei 2019,
https://static1.squarespace.com/static/52154231e4b0af0a3133f7b4/t/55b81a79e4b0f8cc35e7b5d7/1438
128761309/Bach+Mass+in+B+Minor+Guide.pdf.

79
Gambar 4 simbol sharp atau dalam bahasa Jerman kreuz yang mendekati terminologi
salib. Sumber: Maclay, “Bach,” 10.

Kyrie II merupakan gerakan ketiga dari rangkaian liturgi pengakuan dosa.

Kata “kyrie” ini muncul dua kali dalam liturgi pengakuan dosa setelah Christe

Eleison. Bach menggunakan gaya penulisan stile antico atau gaya tradisional untuk

mencapai suasana khidmat sehingga menjadi momen seseorang untuk menghayati

akan kasih Allah yang besar dan dosa dalam diri manusia.180 Bach memberikan

simbol atau alla-breve di mana simbol tersebut diasosiasikan dengan gaya

tradisional pada zaman tersebut. 181 Penulisan Palestrina telah menginspirasi

penulisan stile antico. Namun menurut Butt, melodi Kyrie ini telah dipengaruhi oleh

karya Frescobaldi dan Sweelinck.182 Meskipun demikian terdapat beberapa bagian di

mana Bach menggunakan singkopasi dan terlihat tidak rapi dalam kacamata sistem

peraturan penulisan Renaissance. Selain itu Bach juga menggunakan range nada

Golomb, “Rhetoric and Gesture in Performances of the First Kyrie from Bach’s Mass in B
180

Minor (BWV 232),” 213.

Maclay, “Bach,” 11; Menurut Butt, Bach, Mass in B minor, 79, mengatakan bahwa
181

penggunaan signature alla breve ini untuk menyesuaikan melodi zaman kuno yang tidak memiliki
ketukan berat (seperti pada ketukan 4/4 di mana ketukan pertama dan ketiga memiliki aksen) dengan
musik baroque yang memiliki hubungan kuat dengan irama dance. Bach menggunakan alla breve
untuk memberi aksen kuat pada bagian pertama (ketukan satu) dan aksen lemah pada bagian kedua
(ketukan kelima).
182
Butt, Bach, Mass in B Minor, 80.

80
tinggi dalam suara Soprano menunjukan bahwa lagu ini menggunakan gaya penulisan

stile antico yang telah dikombinasi dengan gaya penulisan modern.183

Gambar 5 melodi antar suara dalam lagu Kyrie II ini mengalami tumpang tindih
layaknya penulisan lagu Reinassance. Sumber: Maclay, “Bach,” 11.

2. Gloria

Tabel 3 Bagan dari gerakan Gloria: Choral-Solo

Gloria-Et Laudamus Gratias Domine Qui tollis Qui sedes


Quoniam-
in terra pax agimus tibi Deus Cum
Sancto
Spiritu
Adapun penampilan yang ditampilkan oleh Bach dalam gerakan Gloria ini mengalami
pergantian paduan suara-solois:
Chorus Violin, Chorus Flute, Chorus Oboe Horn,
Soprano II Soprano I, d’amore, Bass-
Tenor Alto Chorus
Tonalitas:
D mayor A mayor D mayor G mayor - b minor - b minor D mayor
b minor F# mayor
Sumber: Maclay, “Bach,” 5.

Golomb, “Rhetoric and Gesture in Performances of the First Kyrie from Bach’s Mass in B
183

Minor (BWV 232),” 215–216.

81
Gerakan Gloria ini menceritakan keanekaragaman puji-pujian manusia kepada

Allah. Hal ini terlihat di mana gerakan ini dipengaruhi oleh beragam irama tarian

atau dansa seperti Gloria yang menggunakan tarian Gigue, Qui Tollis yang

mengggunakan irama tarian Sarabande, Qui Sedes yang menyerupai tarian Giga, dan

Quoniam yang menggunakan tarian Polonaise dari Polandia. Selain itu, gerakan

Gloria ini diisi oleh pergantian solo (pada lagu Laudamus te, dan Quoniam), duet

(Domine Deus), dan paduan suara. Dalam pengiringan, gerakan ini juga diliputi oleh

pergantian solo instrumen (seperti String pada lagu Laudamus, flute pada lagu

Domine Deus, oboe pada lagu Qui Sedes, Brass pada lagu Quoniam).184

Lagu Gloria merupakan karya yang telah dikerjakan ulang oleh Bach. Gloria

yang ditulis dalam nada dasar C mayor ini merupakan hasil gubahan dari karya yang

sebelumnya dalam bentuk concerto. Bach menambahkan melodi soprano ke-2 pada

lagu Gloria (dalam karya Mass in B minor) di mana hanya terdapat empat suara saja

dalam lagu sebelumnya. Gloria ini memiliki motif yang sama dengan beberapa lagu

sebelumnya seperti BWV 201, 206, 207, 214, 215.185 Karya ini juga dibuat ulang

menjadi karya pembukaan kantata natal: Gloria in Excelsis Deo (BWV 191).

Terdapat bagian unik di mana Bach membuat dengan rhytm 3/8 yang merupakan

ritme yang jarang digunakan oleh musisi pada zaman itu.186 Maclay, seorang sarjana

184
Gardiner, Bach, 498; Maclay, “Bach,” 18.

185
Butt, Bach, Mass in B Minor, 46.

186
Ibid. Selain itu, Butt juga mengatakan bahwa terdapat penambahan bagian dalam lagu
Gloria oleh Bach sendiri. Hal ini terlihat dari penulisan pada naskah asli Mass in B Minor. Bach
menambahkan beberapa nada pada bar 12 maupun 40 dari karya The Missa. Hal ini yang membuat
format penulisan Gloria tidak terlalu jelas akibat penambahan beberapa bagian ini. Menurut Gardiner
dalam bukunya (Music in The castle of Heaven) mengatakan bahwa kantata Gloria in Excelsis Deo
(yang ditulis dengan kode BWV 191) dimainkan ketika masa penyerangan kerajaan Prusia sehingga
secara politis kantata ini membawa pesan perdamaian bagi rakyat Leipzig. Hal ini diangkat kembali
oleh Bach dalam penulisan Mass in B minor pada tahun akhir hidupnya untuk membawa pesan
perdamaian.

82
Bach, menanggapi tanggapan itu bahwa Bach ingin menghasilkan ritme yang

mendekati ritme gigue.187 Dalam pengerjaan Mass in B minor tepatnya menjelang

masa akhir kehidupan Bach, ia menggunakan Gloria dari Christmas Cantata dan

irama ritme tarian Gigue untuk menggambarkan sukacita manusia (digambarkan

dengan tarian dunia) atas kedatangan Mesias ke dalam dunia.188

Gambar 6 irama 3/8 dalam lagu Gloria Bach yang erat dengan irama tarian Gigue.
Sumber: Maclay, “Bach,” 12.

Uniknya dalam lagu ini terdapat nada C- B dalam melodi Bass dan nada B dalam

melodi soprano yang menjadi nada tertinggi dari seluruh karya Mass in B minor.189

Gambar 7 nada tertinggi dalam lagu Gloria dan nada tertinggi dalam seluruh karya
Mass in B Minor. Sumber: Ibid.

Lagu Et in Terra Pax merupakan lagu kedua dari gerakan Gloria. Beberapa

sarjana seperti Rifkin atau Hafner maupun Butt setuju bahwa karya Gloria dan Et in

Terra Pax ini menjadi satu kesatuan bagian.190 Bagian et in Terra Pax terbagi atas 3

bagian. Bagian pertama (bar ke 1-13), dimulai dari bagian Bass dan Continuo dengan

Maclay, “Bach,” 12.


187

188
Gardiner, Bach, 490.

Maclay, “Bach,” 12.


189

190
Butt, Bach, Mass in B Minor, 46.

83
nada G dan nada D pada melodi tenor. Pada bagian ini, Bach seolah ingin memberi

pesan damai pada manusia dengan menggambarkan kembali suasana damai.191

Gambar 8 motif pedal poin nada G pada Bass dan Continuo, serta nada D pada tenor
ingin menggambarkan suasana damai di bumi. Sumber: Maclay, “Bach,” 13.

Bach juga menggambarkan perasaan sedih akibat keadaan dunia yang bobrok

sehingga Mesias turun ke dalam dunia ini untuk menyelamatkan manusia yang penuh

dosa ini. Bach menggambarkan keadaan ini dengan tekstur melodi sighing pada bar

21.192

Gambar 9 motif melodi sighing pada bar 21. Sumber: Maclay, “Bach,” 13.

Bagian kedua (bar 14-38), Bach ingin membangun suasana duka atas keberdosaan

manusia dengan menggunakan instrumen (bar 14-20), kemudian disusul oleh fugue

yang dimulai oleh Soprano I, Alto, Tenor, Bass, dan Soprano II. Pada bagian ketiga

(bar 39-76), Bach menggunakan gaya penulisan monofonik pada paduan suara dengan

Maclay, “Bach,” 13.


191

192
Gardiner, Bach, 491.

84
suasana sukacita untuk menggambarkan seluruh umat dari segala bangsa berkumpul

untuk meresponis kabar baik dari malaikat yang membawa kabar kedatangan

Mesias.193

Laudamus Te merupakan lagu pertama yang merotasi penampilan penyanyi

(lihat bagan Gloria). Seperti yang telah diketahui bersama bahwa dalam gerakan

Gloria terdapat rotasi penampilan penyanyi (paduan suara-solois), hal ini terjadi pada

lagu Laudamus Te. Tidak hanya itu, Bach juga merotasi suasana pengabaran berita

baik berubah menjadi sebuah penampilan virtuosic. Laudamus Te atau we praise

Thee digambarkan oleh Bach dengan solois Soprano II bergaya Neapolitan Faustina

Bordini dan diiringi oleh Violinis terkenal Neapolitan Johann Georg Pisendel. Dalam

penulisan karya ini, Bach menyertakan embellishment dalam suara soprano maupun

violin. Bach juga menggunakan irama galant untuk menambah keindahan lagu ini

serta dalam hal mengikuti tren Neapolitan yang ada dalam kota Leipzig. Bersamaan

dengan lagu Christe Eleison, secara politis, Bach ingin menunjukan bahwa ia dapat

menunjukan kemampuan komposisi dan adaptasi lingkungan untuk mengikuti selera

musik yang berada di kota Dresden, serta dapat mengeluarkan talenta penyanyi yang

terkenal di kota Dresden.194 Secara spiritual, hal ini ingin diutarakan oleh Bach

bahwa perlunya kemampuan dalam mempersembahkan puji-pujian kepada Allah.

193
Maclay, “Bach,” 13.

194
Butt, Bach, Mass in B Minor, 47; Gardiner, Bach, 492. Faustina Bordoni merupakan satu-
satunya seorang penyanyi solois Soprano yang bukan termasuk golongan Castrati dalam penampilan
karya The Missa pada tahun 1733.

85
Gambar 10 Contoh embellishment yang terdapat pada nada Solois. Sumber: Maclay,
“Bach,” 14.

Gambar 11 Contoh dari Galant Style pada string section dalam lagu Laudamus Te.
Sumber: Johann Sebastian Bach, Mass in B minor, BWV 232 (Messe in h-Moll):
Vocal Score (Bärenreitwe Verlag, 2005), 76.

Gratius Agimus Tibi merupakan lagu pengucapan syukur kepada Allah.

Dalam bagian ini Bach seolah ingin mendalami liturgi Gratias Agimus Tibi yang

berbunyi “We give thanks to thee on account of thy great glory” dengan mengambil

nyanyian kantata ‘Wir danken dir, Gott’ (BWV 29) yang diadaptasi Mazmur 75:2.

Kantata no. 29 sendiri dibuat oleh Bach pada tanggal 27 Agustus 1731 dalam rangka

ibadah pergantian walikota. Lirik lagu dari kantata ‘Wir danken dir, Gott’ (BWV 29)

ini diambil dari Mazmur 75:2 yang berbunyi “Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah,

kami bersyukur, dan orang-orang yang menyerukan nama-Mu menceritakan

86
perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib.”195 Dalam lagu ini, Bach berusaha mengubah

beberapa bagian melodi paduan suara dan menyesuaikannya dengan teks Latin196

dengan melakukan pergantian dari teks bahasa Jerman menjadi bahasa Latin dalam

kepentingan penginjilan serta politik yaitu dengan menyesuaikan konteks Katolikisme

di kota Dresden. Bach memulai ucapan syukur ini dari bass dan kemudian

dilanjutkan oleh Tenor hingga Soprano I untuk menunjukan simbol pengucapan

syukur manusia kepada Allah. Bach juga menggunakan trumpet sebagai pengiring

melodi Soprano I. Lagu ini menggunakan tanda atau alla breve di dalam lagu ini.

Menurut Gardiner, lagu ini juga dirancang dengan menggunakan gaya tradisional atau

stile antico. Hal ini terlihat dari penggunaan melodi yang mirip dengan lagu daras

Gregorian yang berjudul Non Nobis Domine.197

Gambar 12 Contoh bagian reworking Bach dari karya ‘Wir danken dir, Gott’ (BWV
29) dan Gratias Agimus Tibi dalam Mass in B Minor. Sumber: Butt, Bach, Mass in B
minor, 47.

195
Maclay, “Bach,” 15.

196
Butt, Bach, Mass in B Minor, 47.

197
Gardiner, Bach, 490, 492. Trumpet yang mengiringi lagu Gratias Agimus Tibi ini ditulis
dalam nada dasar D Mayor. Secara politik, Bach ingin menunjukan kesamaan bunyi dengan standar
kerajaan Polandia di Dresden, bunyi Trumpet harus dibunyikan dalam nada dasar D Mayor.

87
Lagu Domine Deus merupakan lagu keempat dari gerakan Gloria. Dalam lirik

lagu Domine Deus ini, Bach menggunakan kata “altissime” atau “The most high” di

mana kata ini hanya dapat ditemukan dalam format liturgi Lutheran (Formula

Missae).198 Dalam lagu ini, Bach mengartikulasikan kepribadian Yesus sebagai

pribadi kedua dalam duet melodi tetapi salah satu melodi tersebut mendominasi dan

melodi lainnya hanya sebagai gaung dari melodi utama.199 Hal ini dapat dilihat dalam

bar 17-18 di mana Bach menggambarkan Allah Bapa dalam suara tenor dan Yesus

dalam suara Soprano (dapat dilihat kembali dalam bar 25-26). Dalam hal ini suara

Tenor terlihat lebih dahulu menyanyikan lirik “Domine Deus. . . ” (Allah Bapa. . .)

dan disusul oleh Soprano yang menyanyikan lirik “Domine “Filli unigenite, Jesu

Christe altissime” (Oh Putra Tunggal, Tuhan Yesus Kristus yang maha tinggi). Hal

ini membuktikan bahwa Yesus merupakan pribadi kedua dalam ketritunggalan Allah

sekaligus menggambarkan hubungan yang indah antara hubungan Allah Bapa dan

Putra.200

Gambar 13 Contoh bar 17 dimana Tenor (digambarkan sebagai Allah Bapa) dan
Soprano (digambarkan sebagai Allah Putra). Sumber: Maclay, “Bach,” 16.

Dalam bagian ini Bach membentuk lagu ini dalam bentuk da capo (A-B-A).

Bagian A menceritakan tentang keindahan dari kesatuan Bapa dan Kristus, hal ini

198
Butt, Bach, Mass in B Minor, 48.

199
Spitta, Johann Sebastian Bach, 37, 64.
200
Maclay, “Bach,” 16.

88
digambarkan dalam tonalitas mayor dan gaya penulisan ritme Lombard yang sangat

terkenal di Dresden pada tahun 1730-an. Sementara bagian B menceritakan tentang

penderitaan Yesus Kristus (dalam liriknya tertulis: Domine Deus, Agnus Dei, Fillius

Patris atau Oh Allah, sang anak domba Bapa) digambarkan dalam tonalitas minor dan

suasana sedih. Bach membuat lagu ini (dan Qui Tollis) menjadi pusat dari gerakan

Gloria yang menceritakan Yesus mati disalibkan. Bagian ini juga menjadi bagian

pembuka dari lagu selanjutnya yaitu Qui Tollis peccata mundi.201

Lagu Qui Tollis Peccata Mundi merupakan lanjutan dari lagu Domine Deus.

Lagu ini juga menjadi pusat dari gerakan Gloria. Bagian ini merupakan

pengembangan dari teks Qui Tollis Peccata Mundi yang diadaptasi dari Yohanes 1:29

“Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” Bach mengembangkan

lagunya dengan mengadaptasi kantata Schauet doch und sheet, ob irgend, ein Schmerz

sei (BWV 46). Kantata ini ditulis pada tanggal 1 Agustus 1723. Kantata ini

menceritakan ratapan Yeremia mengenai kemarahan Allah atas dosa Yerusalem

sehingga Allah menghancurkan Yerusalem (Ratapan 1:12). Bach menggambarkan

lagu ini dalam suasana sedih. Dia menggunakan akor dissonan, seperti diminish 4th,

pada bagian paduan suara untuk menggambarkan betapa pedihnya dosa-dosa manusia.

Pada bagian viola, Bach menggunakan motif ratapan (sighing). 202 Uniknya dalam

kantata no. 46 ini awalnya ditulis dalam tonalitas D minor kemudian diganti kembali

dalam kepentingan lagu Qui Tollis ini dalam tonalitas B minor. Menurut Butt, Bach

seolah ingin mengatakan bahwa apa yang menjadi penyakit dosa manusia

201
Gardiner, Bach, 494; Butt, Bach, Mass in B Minor, 10.

202
Butt, Bach, Mass in B Minor, 48–9; Gardiner, Bach, 495. Pada bagian lain, Bach
menggunakan teks alkitab yang sama untuk menggambarkan pembukaan lagu dari John Passion yang
berjudul “Herr!” atau Tuhan!

89
(digambarkan dalam D minor) telah dilimpahkan dalam penderitaan Yesus Kristus.

Hofreiter melihat bahwa Bach menggunakan instrumen flute tersebut memiliki

hubungan dengan Matius 11:17. Sementara dua instrumen flute ingin menunjukkan

bahwa penderitaan manusia merupakan penderitaan Kristus pula. Sebaliknya dosa

membuat manusia terus menerus merasakan penderitaan dan dukacita yang

mendalam. Oleh sebab itu, Allah yang ikut merasakan penderitaan manusia tersebut

rela mati melalui pengorbanan Yesus Kristus sehingga manusia beroleh sukacita yang

kekal.203

Gambar 14 Contoh motif sighing pada bagian viola dan flute yang saling bersahutan
yang menggambarkan penderitaan manusia juga merupakan penderitaan Kristus pula.
Sumber: Maclay, “Bach,” 14.

Lagu Qui sedes ini memiliki banyak bukti bahwa Bach melakukan

penyesuaian diri terhadap masyarakat Katolik Dresden dan materi penginjilan

menurut teologi Lutheran-nya. Dalam penulisan lirik Qui sedes, Bach menggunakan

format liturgi Lutheran dalam bahasa Latin atau Formula Missae. Dalam liturgi

Roma Katolik, lirik lagu Qui sedes ad dexteram Patris ini awalnya ditambahkan kata

203
Butt, Bach, Mass in B Minor, 49; Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 229.

90
“Dei” setelah kata “Patris.” Penghilangan kata “Dei” ini diikuti oleh Bach sesuai

dengan format liturgi Formula Missae. Hal ini digunakan oleh Bach sebagai upaya

penginjilan kepada umat Katolik sekalipun keberadaan kata “Allah” tidak membuat

perbedaan teologi secara signifikan. Melihat konteks pada zaman tersebut di mana

banyak komposer yang ingin merebut hati penonton Katolik Dresden, Bach juga

menunjukkan ciri khas penginjilannya dengan menggunakan format liturgi berbahasa

Latin sekalipun menggunakan teologi Lutheran.204 Dalam penulisan musik, Qui

Sedes juga menggunakan gaya penulisan Prancis. Hal ini dilakukan oleh Bach untuk

menyesuaikan dan mengeluarkan potensi permainan Oboe d’amore Joann Joachim

Quantz.205 Bach melanjutkan devosi akan keagungan Allah dan keberdosaan

manusia. Bach menggambarkan keagungan dan keserasian Allah Bapa dan Putra

(yang duduk disamping kanan Allah Bapa) dengan mengkolaborasikan melodi oboe

d’amore dan solo alto (bar 18-21) layaknya lagu Domine Deus.206 Sebaliknya, Bach

menggambarkan keberdosaan manusia dengan irama oboe d’amore yang dimainkan

dengan melodi yang sedih dan dimainkan pada range nada bawah. Bach juga

menuliskan tempo Adagio pada bar 73-74 tepatnya pada kata “nobis” untuk

memperlambat tempo. Melodi pada kata nobis (pada kata “misere nobis” atau “Have

204
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 66. Yo juga melihat bahwa
Bach menghilangkan huruf vokal ‘e’ pada kata “dextram” yang seharusnya tertulis “dexteram” pada
lirik Qui sedes dalam liturgi Formula Missae. Hingga saat ini tidak diketahui mengapa Bach
menghilangkan huruf vokal ‘e’ pada kata “dexteram”, Yo hanya memberi tanggapan bahwa Bach
berusaha untuk memasukan lirik lagu Qui sedes ke dalam melodi lagunya saja.

205
Ibid., 70. Quants merupakan seorang pemain alat tiup Perancis yang menetap di Dresden.
Quantz juga merupakan seorang pemain alat tiup yang terkenal di kota Dresden pada waktu itu.
206
Lih. penjelasan Domine Deus

91
mercy on us”) juga dibuat menurun oleh Bach untuk menunjukan keberdosaan

manusia.207

Gambar 15 kolaborasi Oboe d’amore dan Solois Alto yang menggambarkan


keserasian Allah Bapa dan Putra. Sumber: Maclay, “Bach,” 18.

Gambar 16 Tanda Adagio dan bentuk melodi yang menurun dalam kata Nobis atau
kita untuk menggambarkan keberdosaan manusia. Sumber: Maclay, “Bach,” 18.

Quoniam dan Cum Sancto Spiritu merupakan dua lagu terakhir yang

menceritakan keagungan Kristus yang telah menanggung dosa manusia dan

keagungan Allah tritunggal. Kedua lagu ini merupakan bentuk foreshadow dari lagu

Gloria di mana lagu Gloria juga merupakan lagu pengagungan kepada Allah dan

kehadiran Mesias di bumi.208 Bach telah menyiapkan dua lagu ini menjadi sebuah

paket penutup bagi para pendengar karya Mass in B minor dengan memberikan corta

atau motif ritme yang sama antara bassoon Qui tolis dengan melodi paduan suara

Cum Sancto Spiritu.209

Maclay, “Bach,” 18.


207

208
Butt, Bach, Mass in B Minor, 93.

Maclay, “Bach,” 19; Butt, Bach, Mass in B Minor, 86.


209

92
Gambar 17 Motif ritme corta antara ritme bassoon Quoaniam dan ritme Soprano 2
Cum Sancto Spiritu yang dicetuskan oleh J.G. Walther. Sumber: Butt, Bach, Mass in
B minor, 93.

Gambar 18 Gabungan ritme antara Quoaniam dan Cum Santo Spiritu. Sumber: Butt,
Bach, Mass in B minor, 86.

Lagu Quoniam sendiri menceritakan keagungan Allah dari sudut pandang

yang berbeda dari lagu lainnya. Dalam liturgi Misa Lutheran (Formula Missae)

mengambil teks Alkitab dari 2 Raja-raja 19:19, Mazmur 83:19, Wahyu 15:3-4.

Dalam Perjanjian Lama, teks Quoaniam ini mernceritakan keagungan Allah

sementara dalam Perjanjian Baru menceritakan keagungan Kristus yang telah mati

dan menebus dosa manusia digambarkan dengan kombinasi solo aria Bass dan Horn

yang diiringi oleh dua Bassoon. Uniknya, Bach membuka lagu ini dengan urutan

melodi yang simetris (lih. gambar 3.17).

Gambar 19 Melodi simetris Horn pada pembukaan lagu Quoniam. Sumber: Maclay,
“Bach,” 19.

93
Lagu ini sengaja didominasi oleh instrumen dengan nada range rendah karena

secara teologis Bach menggunakan nada rendah untuk menjelaskan bahwa manusia

perlu merendahkan dirinya sehingga Allah layak menerima puji-pujian manusia. Hal

ini juga telah dilakukan oleh Bach ketika dia menggambarkan suara Yesus dengan

nada rendah pada karya The Passion-nya. Bach juga menyusun lagu ini dengan

mengadaptasi irama Polonaise atau irama tarian kerajaan Polandia yang mendominasi

lingkungan kerajaan Polandia di kota Dresden. Hal ini dilakukan oleh Bach dalam

rangka untuk memperkenalkan Kristus sebagai seorang Raja di atas segala raja.210

Lagu Cum Sancto Spiritu merupakan sebuah pujian kepada Allah Roh Kudus

sekaligus menjadi pernyataan iman dimana Roh Allah yang memberi kehidupan (life)

kepada manusia. Hal ini digambarkan oleh Bach dengan mengadaptasi irama dansa

corybantic. Bach menggunakan kelima bagian paduan suara dan orchestra untuk

memberikan efek kemegahan dalam rangka memuji Allah Roh Kudus dengan

memberi nada semiquaver dan tempo vivace (lively) atau tempo cepat untuk

menghidupkan suasana musik tersebut. Bach menggunakan irama tarian ini untuk

menggambarkan kebebasan Roh Kudus yang memiliki entitas yang tidak terikat pada

sebuah benda maupun ruang dan waktu. Bach menggunakan penggambaran demikian

dalam rangka mempertahankan unsur misteri Allah dari pemahaman rasionalitas

zaman pencerahan.211

Adapun bentuk lagu yang ditulis oleh Bach memberntuk struktur A-B-A-B
• Intro (bar 1-36)
• A: berisi kumpulan tema fugue dari masing-masing suara. Uniknya, Bach
tidak
melakukan doubling fugue pada orchestra (bar 37-64)

210
Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 80–2. (lihat penjelasan
sebelumnya mengenai sejarah dan konteks penulisan Mass in B minor)
211
Pelikan, Bach among the Theologians, 54; Gardiner, Bach, 498.

94
• B: interlude orchestra. Pada bagian ini akan terdengar perkebangan volume
dari instrumen terompet (bar 65-80)
• A: pengulangan tema fugue. Uniknya, Bach menggunakan doubling paduan
suara pada orkestra (bar 80-111)
• B: vocal-instrumental coda dan diakhiri suara kembang api pada instrumen
terompet dengan menggunakan nada triplet (bar 112-akhir)

Pada akhir lagu ini, Bach menutup dengan suara kembang api sekaligus menjadi

penutup gerakan Gloria ini.212

3. Credo

Credo atau biasa yang disebut Symbolum Nicenum merupakan gerakan ketiga

dari karya Mass in B minor. Credo merupakan bagian liturgi gereja Protestan maupun

Katolik. Hal ini yang memengaruhinya untuk membuat sebuah katekisasi kecil

teologi Lutheran dan disajikan dengan kemasan liturgi Lutheran dalam bahasa Latin

(Formula Missae). Penggunaan bahasa Latin ini juga dilakukan oleh Bach dengan

tujuan untuk memfasilitasi umat Katolik agar dapat memuji Tuhan karena mereka

telah terbiasa menggunakan bahasa Latin dalam ibadah mereka. Hal ini juga sejalan

dengan pemikiran Luther ketika merancang liturgi ibadah Lutheran dengan bahasa

Latin bukan untuk memasukan unsur Katolik di dalamnya tetapi untuk memfasilitasi

umat Katolik menyembah Allah dengan dasar pemahaman tentang Allah yang

benar.213 Gerakan ini membentuk sebuah format simetris yang berujung pada kisah

Kristus, tepatnya pada kisah kematian-nya di atas kayu salib. Selain itu, Bach

membuka gerakan ini dengan menggunakan gaya penulisan tradisional atau stile

antico dan menutupnya dengan gaya modern. Hal ini meyakinkan peneliti maupun

Maclay, “Bach,” 20.


212

Bilodeau, “Johann Sebastian Bach&Symbolum Nicenum,” 2–3.


213

95
pendengar bahwa susunan lagu ini berpusat pada pengorbanan Yesus di atas kayu

salib. Selain itu, Bach meyakinkan dirinya maupun pendengar bahwa iman

kekristenan akan terus menerus ada dengan kehadiran Allah Bapa sebagai Sang

Pencipta dan Allah Roh Kudus sebagai Pribadi yang menyertai manusia (diwakili

oleh lagu Et in unum Deum dan Et in Spiritum sanctum) dengan menyajikan gaya

tradisional atau stile antico dengan gaya modern pada zaman itu seperti galant

style.214

Gambar 20 Struktur bagan simetris dalam gerakan Symbolum Nicenum atau Credo.
Sumber Maclay, “Bach,” 5.
Bach membuka pengakuan imannya dengan menggunakan statement awal

“Aku percaya kepada satu Allah.” Bach menggunakan beberapa gaya tradisional atau

stile antico seperti memberi melodi cantus firmus yang diambil lagu dari salah satu

koleksi daras milik St. Gregorian.215 Kedua, Bach menuliskan melodi daras tersebut

dalam mode mixolydian. Ketiga, melodi daras dinyanyikan pertama kali oleh

214
Butt, Bach, Mass in B Minor, 94–95. Credo atau pengakauan iman rasuli ini mulai
ditambahkan ke dalam bagian liturgi gereja sejak abad ke-11 Masehi.
215
Ibid., 81.

96
penyanyi tenor atau dalam bahasa latin tenere.216 Penggunaan tenor atau tenere ini

juga merupakan bagian yang sering digunakan oleh komposer pada zaman Kegelapan

atau Mid-ages. Bach juga menambahkan penulisan Bass line yang layaknya walking

bass yang terkenal pada zaman Baroque.217 Kombinasi elemen-elemen stile antico

maupun elemen gaya modern ini menyatakan bahwa pekerjaan Allah bagi iman

kekristenan tidak dapat dibatasi oleh waktu baik dari masa lalu hingga masa

sekarang.218

Gambar 21 Melodi tema Credo in unum Deum yang dinyanyikan oleh penyanyi tenor
pada bagian awal lagu. Sumber: Maclay, “Bach,” 21.

Lagu Credo in unum Deum dan lagu Patrem Omnipotent merupakan satu

kesatuan kesatuan. Lagu Credo in unum Deum ini diawali dalam tonalitas D mayor

dan diakhiri dengan half cadence. Uniknya, Bach menghentikan lagu ini dengan half

cadence untuk memberi isyarat bahwa lagu ini belum selesai. Selanjutnya, lagu

Patrem omnipotent dimulai dengan menggunakan tonalitas A mayor yang merupakan

akor terakhir dalam lagu Credo in unum Deum sebagai simbol dari pergerakan

perjalanan iman yang akan terus disertai oleh Allah. Patrem Omnipotent juga

melakukan perubahan gaya penulisan di mana Bach mulai memasukkan elemen

Galant yang terkenal pada penulisan lagu pada zaman akhir musik Baroque. Hal ini

dilakukan oleh Bach untuk menggambarkan pergerakan iman kekristenan yang mulai

216
Tenere sangat identik dengan istilah awal mula penemuan Musik Barat hingga zaman
Renaissance. Tenere dalam bahasa Latin artinya penyanyi yang menyanyikan nada yang panjang.

217
Maclay, “Bach,” 21. Penulisan walking bass ini dipopulerkan pada tahun 1730-an oleh
komposer-komposer dari Franco-Flemisch School-Italia.
218
Butt, Bach, Mass in B Minor, 95.

97
bergerak dari masa lalu menuju arah modern sesuai dengan tema tujuan awal gerakan

Credo dibuat.219

Dalam lagu Patrem Omnipotent, Bach menggunakan melodi dari kantata

BWV 171 yang dinyanyikan oleh bagian Bass sementara bagian soprano, alto, dan

tenor mengiringi dengan genre galant-nya. Bach menggunakan melodi Bass yang

diambil dari melodi pembuka kantata BWV 171 yang mengadaptasi Mazmur 48:11.

Dalam bahasa Jerman tertulis: “Gott, wie dein Name, so ist auch dein Ruhm bis an der

Welt Ende” atau “God, as your name is, so also your praise is to the ends of the

world.” Hal ini ingin disampaikan oleh Bach untuk memperdalam makna dari lirik

Patrem Omnipotent, yaitu Allah yang berkuasa baik di bumi maupun di surga

kekuasaan-Nya akan terus menerus hingga kekekalan.220

Layaknya Christe Eleison atau Domine Deus, lagu Et in unum Deum juga

menceritakan Yesus sebagai pribadi kedua dari Allah tritunggal. Bach menggunakan

duet soprano-alto dan violin-oboe dalam menggambarkan Pribadi kedua. Terdapat

dua penafsiran mengapa Bach menggunakan baik duet soprano dan alto maupun

violin dan oboe. Bagi Maclay, Bach ingin menjelaskan konsep ketritunggalan Allah

secara sederhana melalui kolaborasi melodi solo violin dan oboe. Allah Bapa

digambarkan dengan melodi detached atau tegas sementara Allah Putra digambarkan

dengan nada melodi sighing yang menggambarkan penderitaan-Nya di dunia.221

Bilodeau, “Johann Sebastian Bach&Symbolum Nicenum,” 4.


219

Maclay, “Bach,” 22.


220

221
Ibid., 23.

98
Gambar 22 Motif melodi detached yang mewakili Allah dan melodi sighing yang
mewakili Yesus pada lagu Et in unum Deum. Sumber: Maclay, “Bach,” 22.

Akan tetapi bagi Butt, memandang bahwa ekspresi dua suara ini

menggambarkan dua pribadi yang terdapat dalam pribadi Yesus. Hal ini ditandai

dengan kombinasi figur motif Keilahian Yesus dengan melodi detached dan tegas

sementara motif kemanusiaan Yesus digambarkan dengan motif melodi sighing. Butt

juga meyakinkan penafsiran ini karena pada bar 15-16 penyanyi Soprano

menyanyikan kata “Jesum” dengan nada tinggi A untuk menunjukan keilahian Yesus

yang berasal dari tempat yang tinggi.222 Sekalipun berbeda tetapi kemungkinan besar

Bach mengartikulasikan dua melodi yang berbentuk imitatif dalam lagu et in unum

untuk mengkonsepkan Kristus sebagai Pribadi Kedua dan Pribadi yang lain dari

Pribadi Bapa.223 Selain itu, Bach juga menggambarkan melodi menurun setelah duet

soprano-alto menyanyikan kata “descendit de coelis” atau turun dari surga (bar 59-60,

73-4). Hal ini juga menjadi alusi untuk lagu selanjutnya (Et Incarnatus est), di mana

222
Butt, Bach, Mass in B Minor, 85.
223
Spitta, Johann Sebastian Bach, 52.

99
terdapat motif melodi menurun juga pada kata “et homo factus” (bar 48-49).224

Gambar 23 melodi violin pada violin dan viola (bar 73-4 ) merupakan alusi dari lagu
selanjutnya yaitu Et incarnatus est. Sumber: Bach, Mass in B minor, BWV 232
(Messe in h-Moll), 193-4.

Lagu Et incarnatus menjadi pembuka dari simetri pusat dari urutan gerakan

Credo (lihat bagan gerakan Credo). Lagu ini telah dihantar sebelumnya dengan

melodi alusi pada lagu Et unum Deum di mana menceritakan Kristus sebagai pribadi

Allah dan manusia ini turun dari sorga ke dalam dunia yang penuh dosa (yang diulang

kembali pada bar 42-44). Lagu Et incarnatus ini dibuka dengan nada dasar awal yaitu

B minor dan menjadi alusi dari keberdosaan manusia (lihat gerakan Kyrie). Lagu ini

dibuka dengan suasana ratapan dengan akor disonan dan tempo yang sangat lambat

untuk menghasilkan sebuah kesan amat menyedihkan.225 Selain itu, penulisan melodi

pada violin membentuk sebuah figure yang menyerupai huruf X yang identik dengan

224
Butt, Bach, Mass in B Minor, 52–3, 85.

225
Gaya penulisan Bach pada lagu ini sangat dipengaruhi oleh gaya penulisan Neapolitan.
Bandingkan dengan lagu “Et in terra pax” karya Gloria milik Vivaldi (RV 589)

100
simbol salib.226 Motif melodi menanjak dari (pada bar 45-8 lihat melodi bass-viola-

violin) di tengah motif melodi menurun akibat ekspresi turunnya Yesus ke dunia.

Maclay menafsirkan bahwa figur melodi ini menandakan pendakian Yesus menuju

bukit Golgota. Dari semua bagian ini dilakukan oleh Bach dalam rangka untuk

memperdalam narasi inkarnasi Yesus, dimana Dia tidak hanya menjadi serupa dengan

manusia tetapi direndahkan hingga memikul kayu salib menuju bukit Golgota.227

Gambar 24 Motif salib pada intro lagu Et incarnatus est. Sumber: Maclay, “Bach,”
24.

Gambar 25 Motif menanjak ditafsirkan sebagai momen pendakian Yesus menuju


bukit Golgota. Sumber: Maclay, “Bach,” 24.

Lagu Crucifixus merupakan lagu pusat dari bagan kiastik simetris dari seluruh

gerakan Credo. Hal ini juga merupakan sebuah bentuk ekspresi teologi salib dari

Luther di mana wahyu Allah yang tertinggi terdapat dalam salib Kristus.228 Lagu ini

merupakan lanjutan narasi penyaliban Yesus di mana Yesus disalibkan di bukit

Golota. Bach menggunakan menggubah ulang kantatanya yang berjudul “Weinen,

226
Huruf X atau chi dalam bahasa Latin sering dihubungkan dengan nama Kristus.

Maclay, “Bach,” 24.


227

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 138.


228

101
Klagen, Sorgen, Zagen” (BWV 12) yang berarti “Weeping, lamentation, worry,

despair, anguish and trouble are the Christian’s bread of tears, that bear the marks of

Jesus” yang menceritakan penyaliban Yesus dari perspektif manusia berdosa.229 Bach

membangun suasana perkabungan dalam lagu ini dengan menggunakan bentuk

penulisan berbentuk passacaglia atau pengulangan motif melodi beberapa kali pada

penyanyi. Bach juga menggunakan gerakan melodi paduan suara terdapat gerakan

kromatik yang canggung atau yang disebut saltus duriusculus atau gerakan melodi

yang melompat beberapa interval (leap).230 Sementara penyanyi melakukan

pengulangan nada Bach menambahkan motif nada kromatis yang sama terus menerus

dengan pola menurun atau biasa disebut passus duriusculus pada bagian continuo

untuk membangun suasana perkabungan yang membentuk format penulisan

chaconne. Uniknya, pergantian nada kromatis oleh Bach bukan pada ketukan

pertama sebagai ketukan berat tetapi ketukan kedua untuk memberikan gambaran

bahwa Yesus disalib pada urutan kedua dari ketiga orang yang disalibkan pada waktu

itu (ketukan berat lagu ini berada ketuka pertama saja karena time signature lagu ini

adalah 3/2). Dalam akhir lagu ini, Bach membuat bagian akhir dengan memberikan

bagian tambahan yang menurun hingga berhenti dalam posisi akor G mayor. Menurut

Butt, Bach seolah ingin menggambarkan Yesus ke dalam tempat yang paling rendah

dalam peristiwa penyaliban tersebut. Bukan hanya itu, Butt juga berpendapat bahwa

229
Kemungkinan besar Bach terinspirasi oleh karya aria Vivaldi yang berjudul “Piango, gemo
sospiro e peno” (RV 675) yang berarti I weep, moan, sigh and suffer menceritakan penderitaan Yesus
dari perspektif Yesus sendiri.

230
Saltus duriusculus ini digunakan dari zaman baroque dan bertentangan dengan cara
penulisan melodi pada zaman Reinasance

102
akor G mayor merupakan jembatan untuk mengkontraskan lagu Crucifixus yang sedih

dengan lagu Et Resurexit yang penuh kegembiraan.231

Gambar 26 Pergantian nada pada melodi Continuo yang terletak pada ketuka kedua
untuk menggambarkan bahwa Yesus disalib pada urutan kedua dari ketiga orang yang
disalib pada saat itu. Sumber: Maclay, “Bach,” 25.

Lagu Et Resurexit merupakan kelanjutan narasi kematian dan kebangkitan

Yesus dalam liturgi Credo atau pengakuan iman Rasuli. Pada bagian ini, untuk

pertama kalinya semua instrumen dalam orchestra untuk memberikan bermain

bersama-sama dari pembukaan hingga akhir lagu. Bach menggunakan ketebalan dari

instrumen bass (continuo) untuk menunjukkan pengakuan iman bahwa Yesus telah

bangkit dan akan datang kedua kalinya. Lagu yang ditulis dalam nada dasar D mayor

ini juga mengandung nuansa tarian Courante, dan Polonaise di mana courante

merupakan lambang dari tarian sukacita sementara Polonaise merupakan lambang

tarian kerajaan. Dalam hal ini, Bach ingin menyampaikan suasana sukacita karena

seorang Raja yang telah direndahkan hingga mati diatas kayu salib telah bangkit.

Tidak hanya itu, Bach juga berusaha menggambarkan para murid mulai

memberitakan berita sukacita tentang kebangkitan Kristus dengan membuat

Butt, Bach, Mass in B Minor, 54, 72 ,85; Maclay, “Bach,” 25; Wolff, Johann Sebastian
231

Bach, 440–441.

103
pengembangan nada di tiap suara (lihat tema fugue pada bar 10-4) hingga soprano

menyanyikan nada B5 yaitu nada tertinggi dari karya Mass in B minor.232

Gambar 27 Pengembangan nada di tiap suara pada fugue Et Resurrexit dan nada
kedua tertinggi pada karya Mass in B minor. Sumber: Maclay, “Bach,” 26.

Lagu Et in Spiritum Sanctum Dominum merupakan kelanjutan dari pernyataan

pengakuan iman rasuli mengenai Roh Kudus. Dalam pernyataan sebagai seorang

Kristen juga mengakui akan keberadaan Allah Roh Kudus sebagai pribadi ketiga dari

ketritunggalan Allah. Bach menggunakan solo aria yang mewakili Allah Roh Kudus

dan diiringi dua Oboe yang mewakili Pribadi Bapa dan Putra. Hal ini dilakukan oleh

Bach sebagai bentuk pengakuan akan keberadaan Roh Kudus. Bach membuat

kombinasi kedua oboe dan solo bass sehingga membuat lagu ini memiliki sifat

pastoral atau menenangkan pendengar. Secara tidak langsung Bach ingin

menjelaskan bahwa Roh Kudus adalah Pribadi yang membawa damai sejahtera

kepada umat Kristen sekalipun mereka menghadapi kesulitan dan pergumulan.233

Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 241; Spitta, Johann Sebastian Bach, 58; Maclay,
232

“Bach,” 26; Butt, Bach, Mass in B Minor, 55, 72. Menurut Butt, karya ini kemungkinan besar
merupakan karya gubahan ulang Bach dari karya concerto Bach. Akan tetapi karya ini menghilang
sehingga para ahli hanya memberi nama karya yang hilang ini menjadi BWV Anh. 9. Hal ini diyakini
oleh Butt karena karya ini tidak dimulai dengan bagian intro. Butt juga meyakini bahwa Bach
mengerjakan bagian paduan suara di bagian akhir. Selain itu, pada bar 60-2, pada bagian suara Alto
diyakini sebagai bagian yang awalnya diberi lirik “Augustus” yang merujuk pada kantata persembahan
kepada Raja August I.

Bilodeau, “Johann Sebastian Bach&Symbolum Nicenum,” 10; Maclay, “Bach,” 27.


233

Menurut Butt, Bach, Mass in B minor, 55. Menurut Butt, karya ini kemungkinan besar merupakan
karya gubahan ulang Bach dari karya concerto Bach. Akan tetapi karya ini menghilang sehingga para
ahli hanya memberi nama karya yang hilang ini menjadi BWV Anh. 9. Hal ini diyakini oleh Butt
karena karya ini tidak dimulai dengan bagian intro. Butt juga meyakini bahwa Bach mengerjakan
bagian paduan suara di bagian akhir. Selain itu, pada bar 60-2, pada bagian suara Alto diyakini sebagai
104
Lagu Confiteor merupakan lanjutan dari tema utama Credo yang menceritakan

bahwa Allah menyertai perjalanan iman umat Kristen dari zaman dahulu hingga saat

ini. Bach membawa narasi karya ini bahwa manusia tidak hanya “percaya” akan

Allah saja (Credo) melainkan juga “mengakui” Allah secara personal (Confiteor).

Maka dari itu, Bach membuat lagu ini dengan gaya tradisional atau stile antico

sekaligus membuat posisi lagu ini parallel dengan dua lagu di awal gerakan ini (Credo

in Unum dan Patrem Omnipotent). Dalam hal ini, Bach membuat 2 tema cantus

firmus yang diambil dari Vopelius Hymnbook. Tema pertama terdapat pada lirik

Confiteor in Unum Baptisma dan tema kedua terdapat pada lirik in remisionem

peccatorum. Uniknya kedua tema ini dikombinasikan oleh Bach dalam fugue-nya

yang mengartikan bahwa orang-orang yang percaya kepada satu baptisan, dosanya

akan dihapuskan.234

Gambar 28 Kedua tema awal fugue lagu Confiteor. Sumber: Maclay, “Bach,” 27.

Bach juga menggunakan melodi daras dari St. Gregorian pada bar ke 73 yang

dinyanyikan oleh Alto dan Bass secara bergantian. Melodi ini juga dinyanyikan oleh

penyanyi tenor pada bar 92. Bagi Spitta melihat bahwa setiap umat Kristen-mulai

dari umat Kristen mula-mula hingga saat ini-akan selalu hidup dalam penderitaan,

bagian yang awalnya diberi lirik “Augustus” yang merujuk pada kantata persembahan kepada Raja
August I.

234
Donald Francis Tovey, Essays in Musical Analysis. (London: Oxford University Press,
1935), 43; Bilodeau, “Johann Sebastian Bach&Symbolum Nicenum,” 10.

105
tetapi hal tersebut akan menuntun seseorang menuju kepada Allah yang sempurna

sebelum mendapat kehidupan yang kekal.235

Gambar 29 Melodi daras St. Gregorian pada lagu Confiteor. Sumber: ibid.

Penderitaan kepada umat Kristen juga menimpa kehidupan Bach pula. Oleh

karena itu, Bachpun mengekspresikan keraguan dalam mengikut Allah. Pada bar ke

121, Bach mengekspresikannya dengan harmoni yang abu-abu, tidak stabil dengan

merubah tonalitas menjadi E flat minor yang seharusnya dimulai dari D mayor.

Tonalitas ini mirip dengan tonalitas yang digunakan oleh Bach dalam karya St.

Mathew Passion tepatnya pada lagu yang mengisahkan Kristus meragukan

keberadaan Allah dalam kemanusiaan-nya dengan berteriak “Eli, Eli lama

sabakhtani.” Tetapi pada akhirnya, Bach membalikan suasana pada bar 138-9 yaitu

ketika dia menuliskan B sharp atau C natural. Tanda sharp atau cross (#) dalam

zaman Baroque diasosiasikan dengan tanda salib. Dalam hal ini Bach dapat

menghilangkan keragu-raguan dalam dirinya karena penderitaan Yesus di atas kayu

salib menguatkan dia dalam menjalani penderitaan di dunia ini.236

Gambar 30 Penggunaan tanda sharp atau cross (#) dalam lagu Confiteor pada melodi
soprano (bar ke 139) diasosiasikan sebagai tanda salib pada zaman Baroque.
Sumber: Bach, Mass in B minor, BWV 232 (Messe in h-Moll), 247-8.

235
Spitta, Johann Sebastian Bach, 59.

Gardiner, Bach, 510; Maclay, “Bach,” 28.


236

106
Lagu Et Expecto merupakan lagu terakhir dalam gerakan Credo ini. Lagu ini

mengisahkan pengakuan iman umat Kristen yang tidak terlihat. Mereka meyakini

akan ada kebangkitan orang mati pada masa akhir zaman. Bach juga meneruskan

narasi Credo yang berangkat dari masa lalu dengan menggunakan gaya penulisan stile

antico dan diteruskan dengan stile moderno dengan menggunakan gaya tarian Bouree

dalam lagu ini. Stauffer melihat bahwa Bach mengajak banyak orang untuk

mengakui eksistensi kebangkitan tubuh orang mati (Bd. Surat Rasul Paulus mengenai

kebangkitan tubuh). Bach mengekspresikan ajakan tersebut dengan menggubah ulang

kantatanya yang berjudul “Jauchzet, ihr erfreuten Stimmen, steiget bis zum Himmel

‘nauf “ atau “Exult, you delighted voices, climb all the way to heaven!” (BWV 120).

Uniknya, Bach menggunakan motif menanjak dalam nada melismatik pada kata

“steiget bis zum Himmel” tepatnya pada kata “steiget” (bar ke 41). Bach mengulang

pola yang persis dalam instrumen flute pada lagu Et Expecto (bar ke 17-20). Bach

juga memunculkan suasana layaknya “gempa bumi” untuk mendukung suasana

kebangkitan orang mati dengan menambahkan solo timpani (bar ke 26-33).237

Gambar 31 nada melismatik pada kantata no.120 memiliki motif menanjak. Sumber:
Maclay, “Bach,” 29.

Gambar 32 Melodi Flute pada lagu Et Expecto (bar ke 17-20) memiliki motif yang
sama dengan nada melismatik dengan motif mellismatik pada kantata no.20. Sumber:
Ibid.

Stapert, My Only Comfort, 101; Maclay, “Bach,” 29; Bilodeau, “Johann Sebastian
237

Bach&Symbolum Nicenum,” 11; Butt, Bach, Mass in B Minor, 72.

107
Gambar 33 Solo timpani pada lagu Et expecto merupakan solo timpani pertama yang
jarang ditemui dalam karya-karya Baroque lainnya. Sumber: Bach, Mass in B minor,
BWV 232 (Messe in h-Moll), 252

4. Sanctus

Gerakan ini merupakan gerakan ke-4 yang menggambarkan keagungan Allah

dari sudut pandangan Yesaya 6:1-3. Karya Sanctus ini diambil ulang sebelumnya dari

dua karya pada tahun 1723 yang dibuat dalam tonal C mayor dan D mayor (BWV

237-8). Bach tidak ingin hanya membuat Sanctus terlihat sebagai gerakan yang

diiringi musik secara meriah saja, tetapi dia juga ingin agar gerakan Sanctus ini

menciptakan efek yang berbeda dari biasanya. Bach ingin menciptakan suasana

musik sanctus kembali sesuai dengan penggambaran Alkitab (Biblical imagery).

Sanctus diambil dari perkataan Yesaya ketika menerima penglihatan dari Allah (Yes.

6:1-3). Ketika menyanyikan himne Sanctus, Yesaya menggambarkan bahwa

kemuliaan Allah (ujung jubah-Nya) meliputi bait suci. Selain itu, terdapat Serafim

yang dengan keenam sayap untuk menutup diri dari kekudusan dan kemuliaan Allah

108
yang sedang memuji Tuhan. Dalam hal ini, Bach menekankan angka enam (6) yang

mewakili kemuliaan Allah sehingga dia memasang 6 suara (SSS-ATB) dalam paduan

suara dengan bentuk polifonik. Dalam bagian instrumen, Bach juga menggunakan 3

trumpet dan timpani, 3 oboe, 3 biola (2 violin dan 1 viola), dan basso continuo sebagai

bagian dari Bass. Lagu ini juga didominasi oleh ritme triplet untuk menekankan

angka 3. Selain itu, pola pergerakan melodi di bagian awal memberikan nada tinggi

lalu turun ke bawah dan naik secara perlahan dengan triplet. Secara keseluruhan lagu

ini dominasi oleh tempo 3/4, 3/8 dan ritme lagu triplet. Dalam hal ini, Bach berusaha

untuk menciptakan suasana kemuliaan Tuhan yang memenuhi bait suci (digambarkan

oleh continuo sebagai instrumen terendah karena kemuliaan Tuhan turun ke bait suci)

terdapat serafim yang memiliki enam sayap memuji Tuhan (digambarkan oleh paduan

suara maupun intrumen).238

5. Osanna, Benedictus, Agnus Dei, dan Dona nobis pacem

Tabel 4 Bagan penjelasan gerakan kelima dari karya Mass in B minor.


Osanna Benedictus Osanna (repeat) Agnus Dei Dona nobis
pacem
Double chorus Tenor solo Double chorus Alto solo Chorus
(gubahan ulang
lagu Gratias)
Pergantian antara “kemegahan” paduan suara dengan solo aria yang bersifat personal
menggambarkan dwi-natur kepribadian Kristus, dan kondisi pergumulan iman Bach sebagai
manusia berdosa
D mayor b minor D mayor g minor D mayor
Sumber: Maclay, “Bach,” 5.

Bach menutup karya ini dengan mengisi beberapa lagu terakhir sesuai dengan

urutan liturgi Lutheran dalam bahasa Latin (Formula Missae). Gardiner dan Spitta

memiliki pandangan bahwa lagu Sanctus menjadi satu bagian dengan gerakan

Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-Minor Mass, 14–15.


238

109
terakhir. Mereka melihat bahwa lagu Osanna, Benedictus dan Agnus Dei tidak dapat

dipisahkan dengan lagu Sanctus. Sanctus, Pleni sunt coeli, Osanna, Benedictus, dan

Agnus Dei merupakan kumpulan lagu dari gerakan terakhir Mass in B minor. Hal ini

dilihat dari sisi urutan liturgi Lutheran pada saat itu, di mana lagu Sanctus dan Agnus

Dei merupakan lagu wajib bagi para jemaat ketika pembagian komuni (perjamuan

kudus). Sementara Osanna dan Benedictus hanya merupakan bagian yang tidak wajib

dinyanyikan.239 Tetapi peneliti lebih setuju melihat pandangan Maclay yang

memisahkan posisi lagu Sanctus dari gerakan terakhir. Hal ini dilihat pada bagan

gerakan terakhir (lih. gambar 3.33) di mana urutan lagu ini merupakan ekspresi dari

emosi dan pergumulan yang dihadapi oleh Bach. Terdapat lagu cepat dan diselingi

oleh lagu lambat di dalamnya. Hal ini menjadi gambaran kondisi iman Bach yang

terkadang kuat dan lemah. Akan tetapi, pola tersebut juga dapat menggambarkan

peranan Allah. Ketika dia merasa tidak mampu tetapi Allah selalu hadir dan

memampukannya atau dalam kondisi yang terasa jauh tetapi Allah sangat dekat

dengan Bach. Oleh karena itu, Bach menutup gerakan ini dengan ucapan syukur

kepada Allah. Hal itu dapat terlihat dari lagu terakhir dalam karya misa ini (Dona

Nobis Pacem) yang digubah ulang dari lagu sebelumnya yaitu Gratias Agimus Tibi.240

Lagu Osanna merupakan lagu pengagungan kepada Tuhan. Teks lagu ini

berbunyi, “Osanna in excelsis” yang berarti “Hosana di tempat yang maha tinggi.”

Bach mengadaptasi lagu Osanna ini dari gerakan pertama lagu kantatanya kepada

Raja August II (1734), berjudul “Preise dein Glücke, gesegnetes Sachsen, Weil Gott

den Thron deines Königs erhält” (BWV 215) atau “Praise your good fortune, blessed

239
Gardiner, Bach, 516; Butt, Bach, Mass in B Minor, 59–60.

Maclay, “Bach,” 4–5.


240

110
Saxony, since God upholds the throne of your king.” 241 Bach menggubah ulang lagu

ini dengan menginterpretasi ulang lagu sebelumnya bukan hanya sebagai bentuk

pengagungan kepada raja, melainkan juga kepada Allah. Hal ini dilakukan oleh Bach

salah satunya dengan menggaungkan melodi dari kantata no. 215 kepada lagu Osanna

dan lagu Sanctus.242

Gambar 34 Pengulangan tema melodi dari kantata no.25 kepada lagu Osanna dan
Sanctus. Sumber: Maclay, “Bach,” 31.

Selain itu, Bach juga mengekspresikan kebesaran Allah dengan membuat

grouping pada tiap instrumen di mana terdapat tema kecil (mirip fugue) yang

dibunyikan oleh tiap instrumen di awal lagu. Continuo (bar 1), flute (bar 2), oboe (bar

3), violin (bar 4), trumpet (bar 5) menggambarkan perbedaan suasana dari setiap

daerah di bumi ini ketika memuji Tuhan. Bach juga membuat dua paduan suara

dalam lagu ini. Pada bar ke 15-42 paduan suara pertama memuji Tuhan dengan

penuh semangat sementara paduan suara kedua, berada dalam posisi diam, yang

artinya menyetujui pernyataan yang dinyanyikan oleh paduan suara pertama. Begitu

juga sebaliknya yang terjadi pada bar 38-62. Pada bar 63-80, suara Bass I, Alto I,

Tenor I, dan Soprano I menyanyikan nada melismatik dan pada bar selanjutnya

241
Butt, Bach, Mass in B minor, 57; Menurut Gardiner, Bach, 517 dan Daniel R. Melamed,
Listening to Bach: the Mass in B minor and Christmas oratorio (New York: Oxford University Press,
2018), 128, memandang bahwa lagu ini diambil dari karya kantata BWV Anh 1/11 yang telah
menghilang. Akan tetapi, Butt memandang bahwa Bach mengadaptasinya dari kantata sekulernya no.
215. Selain karya Mass in B Minor, kantata ini juga merupakan persembahan dari Bach kepada Raja
August II.

242
Khusus untuk lagu Sanctus, Bach mendengungkan melodi yang sama sebagai bentuk
penggaungan ulang tentang kebesaran Allah.

111
Soprano II, Tenor II, Alto II, Bass II menyanyikan pola melismatik yang sama.

Semua ini dilakukan oleh Bach dalam rangka untuk menciptakan suasana meriah

untuk mendukung teks lagu ini. Bach mengulang lagu ini kembali setelah lagu

“Benedictus.”243

Lagu Benedictus ini merupakan bagian liturgi yang dinyanyikan pada waktu

liturgi berkat. Teks lagu ini diambil dari Matius 21:9 ketika Yesus masuk ke dalam

Yerusalem untuk menghadapi peristiwa penyaliban-Nya. Dalam teks ini orang-orang

Yerusalem menyongsong Yesus sebagai Raja orang Yahudi sehingga mengucapkan

kalimat berkat. Pada akhirnya, dalam perjalanan sejarah gereja umat Katolik

menggunakan kalimat tersebut menjadi sebuah pujian dalam bagian liturgi mereka.

Tetapi Bach melihat lagu ini dalam kondisi yang berbeda. Bach menggunakan akor,

dan tekstur melodi yang sedih dan sangat kontras dengan melodi yang menyedihkan.

Bahkan bagian solo tenor seperti bernyanyi tanpa iringan hingga diakhir lagu.

Bahkan Maclay memberikan komentar bahwa bagian tenor mengakhiri lagu ini

“menghilang dengan sendirinya” tanpa pengiringan dari instrumental apapun.

Maclay-pun memberi tanggapan bahwa Bach seperti menggambarkan kejadian

penderitaan Yesus di mana Dia menghilang ketika semua orang memuji Dia sebagai

Raja dalam minggu itu juga. Hal ini juga didukung dengan penemuan motif salib dan

tanda sharp (#)244 pada bagian flute, layaknya lagu Et incarnatus est yang juga

menggambarkan suasana penderitaan salib Yesus.245 Hal ini digambarkan oleh Bach

untuk memperdalam makna Benedictus bahwa berkat Allah tidak terasa baik saja

Maclay, “Bach,” 31.


243

244
Tanda sharp atau kreuz dalam bahasa Jerman yang dapat diartikan salib juga

Gardiner, Bach, 517; Maclay, “Bach,” 32.


245

112
tetapi hal yang dirasa tidak baik juga merupakan bentuk berkat Allah. Tema utama

dalam gerakan ini salah satunya berbicara mengenai pergumulan iman Bach.

Gambar 35 Motif salib pada bagian flute dalam lagu Benedictus. Sumber: Maclay,
“Bach,” 32.

Lagu Agnus Dei merupakan lagu yang berisi tentang pujian kepada Allah

dalam metafora anak domba yang telah menghapus dosa dan permohonan

pengampunan dosa. Bach mengubah makna teks ini dengan menggubah kembali

kantata pada hari kenaikan Tuhan Yesus (BWV 11) yang berisi mengenai

permohonan untuk tinggal bersama Allah dalam perspektif seseorang yang sedang

dalam kondisi asmara. Bach mengubah melodi solo aria kantata no. 11 ke dalam

melodi violin. Dalam bar ke 3-4 terdapat motif-motif nada sighing dan permohonan

seperti pada motif dalam Kyrie I (lih. pembahasan Kyrie) sebagai bentuk permohonan

maaf kepada Allah. Dalam lagu ini, Bach terlihat lebih personal dalam

mengungkapkan emosi cintanya kepada Tuhan sebagai kekasih hatinya sekaligus

emosi ketakutan dirinya jika ditinggalkan oleh Allah karena dia dapat berbuat dosa

kembali. Lagu ini juga merupakan lagu terakhir yang memiliki bentuk ritornello

karena Bach hanya menggunakan solo aria alto, Contrabass, dan violin. Hal ini

membuat suasana terasa sedih dan sunyi. Pada akhirnya, Bach melihat bahwa kasih

Allah jauh lebih besar daripada dirinya, Allah telah menebus dosanya melalui

pengorbanan Yesus di kayu salib, bahkan Allah tidak pernah meninggalkan dirinya.

113
Hal ini terlihat dari motif salib pada instrumen violin di bar akhir dan tanda sharp

pada nada F# kata peccata atau dosa (lihat bar ke 34).246

Gambar 36 melodi solo alto pada kantata no.11 yang digubah ulang oleh Bach
menjadi melodi violin. Sumber: Maclay, “Bach,” 33.

Gambar 37 motif melodi violin yang membentuk motif “permohonan” dan motif
sighing. Sumber: Maclay, “Bach,” 33.

Gambar 38 motif melodi salib dalam lagu Agnus Dei yang terdapat pada instrumen
violin. Sumber: Ibid.

Lagu Donna nobis Pacem merupakan lagu terakhir dalam gerakan ini

sekaligus lagu penutup dari karya Mass in B minor. Lagu ini diakhiri oleh Bach

dengan mengambil karya dari Gratias agimus Tibi dari album The Missa beberapa

dekade sebelumnya untuk disatukan kembali untuk membentuk sebuah kesatuan.

Memang para peneliti menilai bahwa Bach terlalu memaksakan musik dari Gratias

untuk disesuaikan dengan lirik Dona Nobis Pacem. Bach harus mengulang kata

“pacem” tiga kali kali dan mengulang lirik tersebut beberapa kali untuk menyesuaikan

246
Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 243; Butt, Bach, Mass in B Minor, 58; Gardiner,
Bach, 518; Maclay, “Bach,” 33. Bach dengan sengaja memperlihatkan tanda sharp kepada penonton
dengan memberi fermata pada bar ke 34.

114
lirik lagu dengan musiknya. 247 Namun, Hofreiter menganggap bahwa lagu ini tidak

dapat dipisahkan dari gerakan Gloria karena lagu ini diambil dari lagu Gratias yang

merupakan lagu dari gerakan Gloria. Oleh sebab itu, Hofreiter melihat bahwa Bach

menghubungkan tema lagu Don Nobis Pacem yang berarti “Grant us peace” dengan

tema kehadiran Yesus dalam dunia (tema awal dari gerakan Gloria yang diambil dari

Lukas 2:14). Bach melihat bahwa Allah telah memberikan damai sejahtera kepada

diri manusia dengan menghadirkan Yesus ke dalam dunia bahkan mati sebagai

penebusan dosa manusia. Itulah sebabnya, Bach menggunakan pengulangan lagu

Gratias sebagai bentuk ucapan syukur atas anugerah damai sejahtera yang telah

diberikan oleh Allah melalui pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Interpretasi

dalam karya ini tidak jauh berbeda dengan lagu Gratias. Pada bar ke 15 melodi

soprano mulai naik ke range atas. Suara trumpet juga mengiringi suara soprano pada

bar ke 27. Sementara itu terjadi pelebaran suara di mana melodi bagian Bass turun

pada bar ke 35. Uniknya, terdapat suara timpani yang mengiringi suara Bass. Dalam

bagian akhir, Bach melebarkan tekstur masing-masing suara untuk menciptakan efek

kemegahan sebagai bentuk ucapan syukur yang terbesar dari Bach kepada Allah.248

247
Wolff, Johann Sebastian Bach, 441; Tomita, Leaver, and Smaczny, Exploring Bach’s B-
Minor Mass, 138–40. Menurut Yo, Bach telah menyiapkan 18 baris untuk menuliskan lagu ini awalnya
sebelum terpikirkan untuk menggubah ulang lagu “Gratias”. Hal ini terlihat dari naskah aslinya di
mana masih terdapat sisa baris-baris dari penulisan lagu “Dona Nobis Pacem”

248
Hofreiter, “Bach and the Divine Service,” 245–248; Maclay, “Bach,” 34. Hofreiter
melanjutkan bahwa Bach memiliki dasar pemikiran dimana manusia ditebus dari dosa. Penebusan
tersebut dapat dilihat dan dikenang dalam sakramen ekaristi atau perjamuan kudus. Hal ini sangat
berhubungan dengan liturgi Dona nobis pacem dimana liturgi ini merupakan bagian dari perjamuan
kudus dalam ibadah Lutheran (Formula Missae).

115
Kesimpulan

Karya berbentuk misa milik Bach merupakan sebuah karya yang

memperlihatkan eksistensi teologis layaknya karya komposer Reinassance yang

menerangkan sisi teologisnya dan memperlihatkan sisi keindahan musik sehingga

dapat tercipta kesan dramatis layaknya Mozart maupun Haydn dari zaman klasik. Hal

ini dapat terlihat di mana Bach menggunakan seluruh elemen musik (seperti elemen

harmoni atau akor, elemen bentuk, elemen gerakan melodi, maupun penggunaan gaya

tradisional dan gaya budaya-budaya sekitar) untuk mendukung pesan teologi yang

ingin disampaikan oleh Bach. Dalam karya ini juga terlihat testimoni Bach di akhir

hidupnya dalam menjalani panggilan-nya selama mengikut Kristus. Hal ini terlihat

bagaimana Bach menggubah ulang semua hampir seluruh lagu dalam karya Mass in B

minor. Karya gubahan ulang Bach terlihat dari perjalanan awalnya meniti menjadi

seorang pelayan musik di gereja hingga menjadi kepala musik gereja. Hal ini

dilakukan oleh Bach untuk memperdalam makna setiap lagu bahkan memberi

pandangan teologi Lutherannya dalam setiap lagu yang dikarang-nya.

Jika melihat keseluruhan dari penulisan Bach pada karya Mass in B minor ini,

dapat disimpulkan bahwa Bach bukan hanya seseorang yang memiliki kesetiaan pada

Tuhan saja dengan mempersembahkan ide-ide teologisnya di dalam musik, melainkan

juga merupakan seseorang yang bergumul dengan teologi yang dipelajarinya. Dalam

beberapa momen, Bach tidak bertingkah layaknya orang saleh dalam membuat karya

Mass in B minor ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Peter Williams di mana Bach

berusaha membuktikan karya Mass in B minor untuk membuktikan kepada Raja

116
August bahwa kritik dari Schiebe yang telah merendahkan dirinya.249 Selain itu, Bach

juga berusaha memperjuangkan diri dan keluarganya agar lebih diperhatikan sebagai

seorang musikus dalam kota tersebut sehingga dia mempersembahkan banyak lagu,

salah satunya karya Mass in B minor kepada Raja August II. Akan tetapi seperti yang

dikatakan oleh Spitta bahwa Bach tidak kehilangan natur Lutheran-nya di tengah

situasi konflik dalam hidupnya. Bahkan, Bach dapat memberkati umat Katolik dalam

kota Dresden sehingga dapat mengenal Allah secara benar melalui musiknya. Bach

pun dapat mempersatukan umat Katolik dan Lutheran di kota Dresden. Selain itu,

dapat dilihat bahwa sekalipun Bach bergumul dengan dirinya, Allah tetap mecintainya

(lih. pembahasan Agnus Dei).

249
Williams, J. S. Bach - a Life in Music., 258. (lih. kritik Schiebe pada hal. 301)

117
BAB 4

PENUTUP

Nilai-Nilai Kehidupan Teologis J.S. Bach pada masa Penulisan Karya Mass in B

Minor dan Relevansinya bagi Pemusik Gereja

Keindahan musik dalam kacamata kekristenan adalah keindahan yang dapat

menuntun pendengar bertemu dengan Allah. Keindahan tersebut dapat dicapai jika

musik memiliki unsur firman Allah di dalamnya. Firman Allah tidak hanya berfungsi

sebagai atribut resmi dari Allah, tetapi firman Allah merupakan perkataan dari Allah

sendiri dalam diri manusia. Karya musik yang indah dalam kacamata kekristenan

merupakan kombinasi dari perkataan Allah sebagai ide dan keindahan musik sebagai

bentuk non-konseptual. Keindahan musik tersebut dipercaya sebagai hasil dari

meditasi firman Allah dalam diri seseorang dan diekspresikan dalam bahasa musik.

Firman Allah dalam bentuk musik (baik berupa ide maupun keindahan) yang telah

masuk ke dalam pikiran akan membangkitkan suasana kehadiran Allah sebagai

juruselamat melalui kuasa Roh Kudus dalam hati manusia.250 Bach merupakan

seorang musisi (dan teolog) Lutheran. Bach hidup dalam budaya Lutheran sejak kecil

hingga dewasa. Hal itu membuat Bach sangat dekat dengan teologi Lutheran.

250
Viladesau, Theology and the Arts, 144–145.

118
Sebagai seorang Lutheran, tentu Bach juga sering berinteraksi dengan firman Tuhan.

Hal ini dapat ditemukan dari penemuan Alkitab versi Calov dari perpustakaan pribadi

Bach. Bach mengekspresikan interaksinya bersama dengan firman Tuhan melalui

karya musiknya.251 Hampir seluruh karya musik Bach mengambil mengandung

makna firman Tuhan di dalamnya. Dalam lagu Gratias Agimus Tibi, Mass in B

Minor, Bach menggunakan lagu kantata Wir danken dir, Gott, wirr danken dir und

verkündigen deine Wunder atau We thank you, God, we thank you and tell of your

great deeds dari kantata no. 29. Lagu ini merupakan adaptasi dari Mazmur 75:2.

Selain itu, Bach juga mengombinasikan kata-kata tersebut dengan motif melodi

mendaki untuk dari satu bagian suara dan disusul oleh bagian suara lainnya untuk

menggambarkan pengucapan syukur kepada Tuhan (yang berada di atas) dari seorang

manusia dan disusul orang lain. Dalam bagian lain, Bach menggunakan kantata-

kantata sekulernya seperti kantata pengagungan kepada raja maupun kantata yang

bertemakan tentang cinta. Misalnya dalam lagu Osanna, Bach menggunakan lagu

dari kantata sekuler kepada Raja August II saat itu. Lagu ini merupakan bagian dari

kantata yang diberikan oleh Raja August beberapa tahun setelah Bach

mempersembahkan karya The Missa (1733). Dalam pengerjaan karya Mass in B

Minor, Bach mengganti teks lagu sekuler ini menjadi lagu sakral untuk menjembatani

dan memberikan suasana khidmat kepada para pendengar dalam menyembah kepada

Tuhan layaknya menyembah kepada seorang raja, bahkan menyembah kepada Tuhan

yang adalah Raja di atas segala raja. Dalam hal ini, Bach ingin memperdalam makna

251
Calvin Stapert, My Only Comfort: Death, Deliverance, and Discipleship in the Music of
Bach (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 7, 11.

119
liturgi yang biasa dinyanyikan oleh para pendengar saat itu dari sudut pandang Injil

yang benar. 252

Para pemusik gereja dipanggil untuk mengabarkan Injil Kristus dengan

membagikan unsur firman dan unsur musik secara seimbang. Dalam pekabaran Injil,

pemusik gereja dituntut untuk memusatkan pengabarannya dalam Yesus dan

menyesuaikan diri dengan konteks lingkungan sekitar.253 Misalnya, mereka harus

menyatakan teologi di dalam sebuah seni sehingga pendengar dapat menemukan nilai

teologis di dalamnya. Beberapa karya musik gereja tidak mendasarkan karya musik

mereka dari sebuah narasi sehingga bentuk penyampaian tersebut dinilai terlalu

banyak varian. Akibatnya, pendengar tidak mengetahui pesan dari karya tersebut.254

Harold M. Best menyarankan agar para pemusik menghasilkan karya musik

layaknya Alkitab, di mana Alkitab merupakan sebuah hasil karya seni di mana

terdapat unsur-unsur seni penulisan di dalamnya, seperti penggunaan bahasa puitis

dalam Mazmur atau unsur chiastic dalam beberapa teks Alkitab. Sekalipun Alkitab

memiliki unsur seni di dalamnya tidak kehilangan unsur kebenaran seperti menegur,

menasehati, dan memperbaiki perilaku seseorang.255 Sebagai seorang Lutheran, Bach

membangun setiap lagu-lagunya dengan unsur kebenaran dan unsur seni di dalamnya.

Dalam lagu Benedictus karya Mass in B Minor, Bach memperdalam makna berkat

yang Tuhan berikan. Benedictus merupakan bagian liturgi yang berisi janji berkat

kepada jemaat. Liturgi ini mengambil perkataan umat Israel ketika menyambut Yesus

252
Lih. penjelasan bab 3

253
Viladesau, Theology and the Arts, 193.

254
Best and Kiple, Unceasing Worship, 154–155.
255
Ibid., 158.

120
yang masuk ke dalam kota Yerusalem (Mat. 23:39) dan kalimat ini paralel dengan

Mazmur 118:26 yang tertulis: “Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan.”

Uniknya, Bach memperdalam makna berkat dengan kejadian Yesus akan disalibkan.

Bach menggunakan tonalitas minor untuk membawa suasana sedih. Bach juga

menggunakan motif melodi salib beserta lambang sharp atau kreuz yang berarti salib

dalam melodi flute di akhir bagian pertama. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan

suasana salib dalam lagu ini. Dari bagian ini, Bach ingin mengajak pendengar untuk

menerima penderitaan sebagai bagian berkat dari Allah, layaknya Yesus yang tetap

tenang sekalipun mengalami penderitaan salib.256

Sebagai bagian dari makhluk ciptaan Allah, para pemusik gereja dipanggil

untuk hidup serupa dengan Allah (imago Dei) sehingga para pemusik dituntut untuk

menghasilkan karya seni yang memiliki standar layaknya Allah menciptakan manusia.

Harold M. Best menjelaskan dua kriteria Allah sebagai Pencipta (Creator) ketika

menciptakan manusia (sebagai karya seni-Nya). Kedua sifat ini adalah sifat

kreativitas dan kasih. Sebagai sang pencipta (creator), Allah memiliki kreativitas

dalam menciptakan manusia. Hal ini juga terlihat pada manusia yang diciptakan

serupa dengan gambar diri Allah (imago Dei) sehingga manusia dijuluki sebagai

ciptaan yang paling sempurna di antara ciptaan Allah yang lain. Begitu juga dengan

selanjutnya, ketika Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih. Hal ini terlihat

pada penyataan kasih Allah di dalam perjalanan hidup manusia hingga rencana

keselamatan yang telah digenapi dalam diri Yesus Kristus. 257 Bach merupakan

musikus yang kreatif karena beliau memiliki ide-ide brilian dalam proses pembuatan

256
Lih. penjelasan bab 3
257
Best and Kiple, Unceasing Worship, 128–129.

121
karya Mass in B Minor. Bach berhasil menggubah ulang lagu-lagu tradisional, seperti

lagu daras St. Gregorian maupun lagu dari Palestrina, dengan mengombinasikan gaya

penulisan pada zaman Baroque, dapat dilihat pada penulisan lagu Kyrie II, dan Credo

in unum. Bach juga berhasil membuat lagu dengan irama kebudayaan lain seperti

Polandia maupun Italia. Dalam penulisan solo aria “Quoniam,” Bach sengaja

menggunakan irama Polonaise agar karya The Missa dapat diterima oleh Raja August

II. Dalam bagian lain Bach juga menggubah lagu “Quoniam” yang diambil dari

beberapa teks PL mengenai pengagungan kepada Allah. Bach dalam hal ini sengaja

mengambil lagu-lagu pengagungan kepada Tuhan dari lagu persembahan kepada raja

yang memiliki suasana hormat dengan memakai suasana lagu ini untuk mendukung

teks “Quoniam.”258 Dalam penulisan lagu Et in unum Dominum, Bach mengalami

pergumulan saat itu akibat kritik dan pelaporan kepada Raja yang diberikan oleh

beberapa kritikus seperti Eerdman dan Schiebe membuat dirinya ditolak oleh pihak

kerajaan sehingga Bach tidak mendapatkan pekerjaannya kembali.259 Hal inilah yang

mendorong Bach dalam menuliskan beberapa lagu dengan mengombinasikan gaya

penulisan Neapolitan. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu titik terburuk dalam

penulisan karya Mass in B Minor di mana dia merasa marah karena karyanya tidak

dihargai sekaligus sebagai alat pembuktian diri bahwa dirinya merupakan musikus

yang baik. Dalam penulisan karya Agnus Dei dan Confiteor, Bach mencurahkan

setiap pengalaman buruk dan keraguan atas setiap dosa yang diperbuatnya setelah

menjadi pengikut Kristus seumur hidupnya. Namun dalam bagian lain, Bach juga

meyakinkan dirinya bahwa Allah mengasihinya melebihi kasihnya kepada Allah, hal

258
Lih. pernjelasan bab 3.

259
Untuk kritik Schiebe dapat dilihat di penjelasan bab 3 dan kritik Eerdman dapat dilihat pada
penjelasan bab 2.

122
ini diungkapkan dalam melalui pengorbanan Yesus diatas kayu salib yang ditulis

dalam simbol kreuz (#) dalam lagu Confiteor.260

Karya musik akan memberkati pendengar jika pendengar dapat merasakan

Kemuliaan Allah di dalam musik tersebut. Kemuliaan Allah muncul dari keindahan

perbuatan Allah terhadap manusia. Seseorang akan merasakan karya musik yang

indah dari sebuah testimoni orang mengenai perbuatan Allah terhadap manusia.

Keindahan musik juga dapat dirasakan ketika manusia merasakan keindahan

pengampunan dari Allah dalam bentuk pengorbanan Yesus di atas kayu salib.261

Dalam pembuatan karya musiknya, Bach terbiasa membuat simbol salib dalam setiap

penulisan karya-karyanya, Bach dapat menggunakan simbol # atau sharp atau kreuz

dalam bahasa Jerman yang dapat dikaitkan dengan simbol salib.262 Dalam karya

Mass in B Minor sendiri, Bach juga tidak lupa dengan peristiwa salib dan motif salib.

Dalam tiga dari empat gerakan karya Mass in B Minor, Bach menceritakan peristiwa

salib pada poros di setiap gerakan. Uniknya, Bach juga memberikan motif berbentuk

salib dalam lagu poros di setiap gerakan Mass in B minor. Hal ini dapat ditemukan

dalam gerakan Credo terdapat simbol salib dalam lagu Et in Unum Deum, dalam

gerakan Gloria Bach memberikan simbol salib dalam lagu Domine Deus. Dalam lagu

crucifixus dengan menggunakan kantata kematian Yesus dari lagu kantata no. 12

berjudul “Weinen Klagen, Sorgen, Zagen” atau “Weeping, lamentation, worry,

despair, anguish and trouble are the Christian’s bread of tears, that bear the marks of

Jesus” dalam lagu ini Bach menekankan setiap kata sifat dengan memberikan motif

260
Lih. penejlasan bab 3

261
Viladesau, Theology and the Arts, 147.
262
Lih. penejlasan bab 2

123
nada menurun untuk memberikan gambaran terendah dalam diri Yesus ketika Dia

disalibkan. Bach juga mengombinasikan melodi suara dengan melodi musik yang

menekankan ketukan kedua dari 3 ketukan sebagai perubahan nada melodi cello

untuk memberikan gambaran posisi ke dua penyaliban Yesus ketika Yesus

disalibkan.263

Kesimpulan

Karya Mass in B Minor merupakan kumpulan dari setiap karya hidup

Bach. Dalam karya inilah tersimpan sebagian besar potret kehidupan Bach dari awal

karier hingga akhir masa hidupnya. Dalam karya inilah terlihat kehidupan Bach

dalam proses mengenal dan mengikut Kristus hingga akhir hidupnya. Dalam karya

ini dapat terlihat bukti Bach merupakan seorang Lutheran sejati. Hal ini terlihat

ketika Bach menuliskan hampir seluruh karyanya yang berisi Injil dan teologi

Lutherannya pada karya musik pada awal kariernya hingga karya Mass in B Minor di

akhir hidupnya.

Dalam perjalanan hidupnya, Bach juga mengalami kesulitan besar seperti

tidak dihargai (baik dari pemerintah hingga rakyat biasa), bahkan dikritik oleh banyak

orang (seperti kritik Schiebe kepada Bach yang menghina musik Bach yang terlalu

kolot atau kritik Eerdman kepada Bach karena memberikan musik yang sulit kepada

anak-anak di sekolah Leipzig). Sekalipun Bach menggunakan bermacam-macam

gaya penulisan Italia, Polandia, maupun stile antico, hal ini tidak murni hanya untuk

memfasilitasi pendengar pada saat itu saja melainkan terdapat motif sakit hati dan

263
Lih. penjelasan bab 3

124
pembuktian diri Bach atas pengajuan kritik yang diberikan kepadanya. Tetapi dari hal

tersebut dapat terlihat bahwa Bach merupakan seorang yang bergumul dengan dirinya

yang penuh ketidaksempurnaan. Dalam proses mengikut Allah, banyak tokoh Alkitab

yang jatuh bangun dalam dirinya, membuktikan bahwa kemuliaan Allah semakin

dinyatakan di dalam kelemahan manusia. Bach memberikan contoh kepada pemusik

gereja untuk mempersembahkan dirinya bagi Allah, termasuk karya musiknya, secara

totalitas dengan menjunjung peran firman Tuhan sebagai bahan dasar dari karya

musiknya. Hal ini terlihat dari penggunaan firman Tuhan sebagai adaptasi dari teks

maupun penggunaan musik dalam setiap lagunya yang mewakili pergumulan

hidupnya bersama dengan Allah.

Saran

Melalui penelitian ini, peneliti berharap pemusik gereja dapat

menghasilkan keindahan Ilahi di setiap karya musiknya. Keindahan ini didasari atas

pengenalan kepada Tuhan baik melalui firman Tuhan dan pengalaman hidup sebagai

bentuk respons dari pembacaan firman Tuhan. Diharapkan agar pemusik gereja

menggunakan firman Tuhan dan pengalaman hidupnya bersama firman Tuhan

sebagai dasar kegiatan musiknya, dalam pengembangan talenta bermusik maupun

menghasilkan karya musik (baik dalam kondisi menampilkan sebuah lagu maupun

membuat sebuah lagu atau menggubah sebuah lagu). Selain itu, diharapkan agar

sebuah karya musik dihasilkan dari penyesuaian selera pendengar sehingga para

pendengar terutama jemaat gereja dapat merasakan keindahan seni dan firman Tuhan

untuk mengubahkan kehidupan jemaat melalui karya musik yang dibawakan.

125
Dalam bagian lainnya, peneliti menyarankan agar penelitian di dalam

bidang musik klasik terus ditingkatkan sehingga membawa sumbangsih besar bagi

perkembangan dalam dunia kesarjanaan musik. Penelitian ini sendiri masih memiliki

kekurangan baik dalam bidang teologi, musik, dan ibadah sehingga diharapkan agar

teman-teman pemusik gereja dapat melanjutkan penelitian ini untuk khususnya pada

bagian studi analisa di setiap bagian lagu untuk memperoleh makna-makna teologis

yang dapat memberkati untuk pemusik gereja lainnya.

126
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adnam, Gordon. “Really Worshiping, Not Just Singing.” Dalam Christian


Congregational Music: Performance, Identity and Experience. New York:
Routlegde, 2009.

Allen, Ronald Barclay, dan Gordon Borror. Worship: Rediscovering the Missing
Jewel. Eugene, OR: Wipf and Stock Publishers, 2000.

Ariès, Philippe. Western Attitudes toward Death: From the Middle Ages to the
Present. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1979.

Best, Harold M. Unceasing Worship: Biblical Perspectives on Worship and the Arts.
Downers Grove: InterVarsity Press, 2003.

Best, Harold M, and Cindy Kiple. Unceasing Worship: Biblical Perspectives on


Worship and the Arts, 2003.

Bilodeau, Tucker. “Johann Sebastian Bach & Symbolum Nicenum: A Catholic Text
with Lutheran Implications” (n.d.). Diakses 17 Mei 2019.
https://www.academia.edu/23594287/Johann_Sebastian_Bachs_Symbolum_N
icenum_A_Catholic_Text_with_Lutheran_Implications.

Butt, John. Bach, Mass in B Minor. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.

Dilthey, Wilhelm, dan Karlfried Gründer. Wilhelm Diltheys gesammelte Schriften.


Abhandlungen zur Geschichte der Philosophie und Religion Bd. 2 Bd. 2.
Leipzig: Teubner, 1940.

Dürr, Alfred. The Cantatas of J.S. Bach: With Their Librettos in German-English
Parallel Text. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Gardiner, John Eliot. Bach: Music in the Castle of Heaven. New York: Vintage
Books, 2015.

Geck, Martin. Johann Sebastian Bach: Life and Work. Orlando: Harcourt, 2006.

George, Timothy. Theologi Para Reformator. Diterjemahkan oleh Katherina Tedja.


Surabaya: Momentum, 2018.

Golomb, Uri. “Rhetoric and Gesture in Performances of the First Kyrie from Bach’s
Mass in B Minor (BWV 232)” (n.d.). Diakses 12 Juli 2019.
https://www.academia.edu/261786/Rhetoric_and_gesture_in_performances_of
_the_First_Kyrie_from_Bach_s_Mass_in_B_minor_BWV_232_.

Gritsch, Eric W. A History of Lutheranism. Ed. ke-2. Minneapolis: Fortress, 2010.

127
Grout, Donald Jay, J. Peter Burkholder, dan Claude V. Palisca. A History of Western
Music. Ninth edition. New York: W. W. Norton & Company, 2014.

Guthrie, Steven R. Creator Spirit: The Holy Spirit and the Art of Becoming Human.
Grand Rapids: Baker Academic, 2011.

Hirsch, Emanuel. Geschichte der neueren evangelischen Theologie 5. 5. Gütersloh:


Bertelsmann, 1984.

Hofreiter, Paul. “Bach and The Divine Service: The B Minor Mass.” Concordia
Theological Quarterly 66, no. 3 (July 2002): 221–254.

Johansson, Calvin M. Discipling Music Ministry: Twenty-First Century Directions.


Peabody: Hendrickson, 1992.

Joseph Herl. Worship Wars in Early Lutheranism Choir, Congregation and Three
Centuries of Conflict. New York: Oxford University Press, 2008.

Kevorkian, Tanya. Baroque Piety: Religion, Society, and Music in Leipzig, 1650–
1750, 2017.

Kolb, Robert. Martin Luther as Prophet, Teacher, Hero: Images of the Reformer,
1520 - 1620. Texts and studies in Reformation and post-Reformation thought.
Grand Rapids: Baker, 1999.

Leaver, Robin A. Luther’s Liturgical Music: Principles and Implications. Grand


Rapids: William B. Eerdmans, 2007.

Lindberg, Carter, ed. The Pietist Theologians: An Introduction to Theology in The


Seventeenth and Eighteenth Centuries. The great theologians. Malden:
Blackwell, 2005.

Lohse, Bernhard. Martin Luther’s Theology: Its Historical and Systematic


Development. Fortress Press ed. Minneapolis: Fortress, 1999.

Luther, Martin, Paul W. Robinson, Hans Joachim Hillerbrand, Kirsi Irmeli Stjerna,
Timothy J. Wengert, and Martin Luther. Church and Sacraments. Annotated
Luther volume 3. Minneapolis: Fortress, 2016.

Luther, Martin, William Russell, dan Timothy F Lull. Martin Luther’s Basic
Theological Writings. Minneapolis: Fortress, 2012.

Maclay, John. “Bach Mass in B Minor Guide” presented at the The Choral Society of
Grace Church, New York, 2013. Diakses 17 Mei 2019.
https://static1.squarespace.com/static/52154231e4b0af0a3133f7b4/t/55b81a79
e4b0f8cc35e7b5d7/1438128761309/Bach+Mass+in+B+Minor+Guide.pdf.

Melamed, Daniel R. Listening to Bach: The Mass in B Minor and Christmas


Oratorio. New York: Oxford University Press, 2018.

128
Minear, Paul S. “J.S. Bach and J.A. Ernesti: A Case Study in Exegetical and
Theological Conflict.” Dalam Our Common History as Christians: Essay in
Honor of Albert C. Outler. John Descher and others. New Yorks: Oxford
University Press, 1975.

Pelikan, Jaroslav Jan. Bach among the Theologians. Eugene: Wipf and Stock, 2003.

Plantinga, Richard J. “The Integration of Music and Theology in the Vocal


Composition of J.S. Bach.” In Resonant Witness: Conversation between Music
and Theology, edited by Jeremy S. Begbie and Steven R Guthrie. Grand
Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2011.

Rittgers, Ronald K. The Reformation of Suffering: Pastoral Theology and Lay Piety in
Late Medieval and Early Modern Germany. New York: Oxford University
Press, 2012.

Sasse, Hermann. We Confess: Anthology. St. Louis: Concordia, 1999.

Schweitzer, Albert. J.S. Bach. New York: Macmillan, 1966.

Sirota, Victoria. Preaching to the Choir: Claiming the Role of Sacred Musician. New
York: Church, 2006.

Spitta, Philipp. Johann Sebastian Bach: His Work and Influence on the Music of
Germany, 1685-1750. London: Dover, 1992.

Stapert, Calvin. My Only Comfort: Death, Deliverance, and Discipleship in the Music
of Bach. Grand Rapids: Eerdmans, 2000.

Sundberg, Walter. Worship as Repentance: Lutheran Liturgical Traditions and


Catholic Consensus. Grand Rapids: Eerdmans, 2012.

Tappert, Theodore G., ed. Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran. Diterjemahkan
oleh Theodore G. Tappert. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2004.

Tappert, Theodore G. The Book of Concord: The Confessions of the Evangelical


Lutheran Church. Philadelphia: Fortress, 1992.

Terry, Charles Sanford. Bach, the Mass in B Minor. London: Oxford University Press,
1958.

Thibaut, Anton Friedrich Justus. On Purity in Musical Art. London, 1877.

Tilman, June Boyce. “Tune Your Music to Your Heart: Reflections for Church Music
Leaders.” Dalam Christian Congregational Music: Performance, Identity, and
Experience. New York: Routlegde, 2009.

Tomita, Yo, Robin A Leaver, dan Jan Smaczny. Exploring Bach’s B-Minor Mass.
New York: Cambridge University Press, 2013.

129
Tovey, Donald Francis. Essays in Musical Analysis. London: Oxford University
Press, 1935.

Viladesau, Richard. Theology and the Arts: Encountering God through Music, Art,
and Rhetoric. New York: Paulist, 2000.

Webber, Robert. Twenty Centuries of Christian Worship. Nashville: Star Song, 1994.

Williams, Peter. The Life of Bach. Musical lives. Cambridge: Cambridge University
Press, 2004.

———. J. S. Bach - a Life in Music. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

Wolff, Christoph. Johann Sebastian Bach: The Learned Musician. 1. publ. Oxford:
Oxford Univ. Press, 2000.

130

Anda mungkin juga menyukai