TUJUAN
1.1 Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta didik mampu memahami terapi paliatif dan penanganan
nyeri kanker.
1.2 Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu melakukan :
1) Mampu melakukan penilaian nyeri pasien kanker
2) Mampu menetapkan problem pasien
3) Mampu menentukan tujuan terapi paliatif
4) Mampu menentukan Planning Therapy nyeri (medikamentosa dan non-medikamentosa)
5) Mampu mengidentifikasi obat yang dipilih
6) Mempu memberikan informasi, instruksi, dan perhatian obat
7) Mampu menyampaikan monitoring dan evaluasi pengobatan
3. MEDIA a. Workshop/pelatihan
b. Belajar mandiri
c. Kuliah
d. Diskusi kelompok
e. Visite, bedside teaching
f. Kasus morbiditas dan mortalitas
g. Continuing Profesional Development
(P2B2)
5. EVALUASI
1) Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk MCQ, essay dan oral sesuai dengan
tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta
didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-test terdiri atas:
Tujuan terapi paliatif
Prinsip terapi paliatif
Indikasi pelayanan paliatif
Tim dan tempat pelayanan paliatif
Sasaran terapi paliatif
Penilaian nyeri kanker
Penanganan nyeri kanker
2) Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan penuntun
belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3) Setelah mempelajari penuntun belajar ini, peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan
langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk role-play dengan peserta
didik lainnya (peer assisted learning) atau kepada SP (standardized patient). Pada saat
tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun
belajar dipegang oleh peserta didik lainnya untuk melakukan evaluasi (peer assisted
evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar kepada model
anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk
melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan
pengawasan langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
- Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan
- Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terlalu lama atau
kurang memberi kenyamanan kepada pasien
- Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4) Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan penjelasan
dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan memberi
masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5) Self assessment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar
6) Pendidik/fasilitas:
- Pengamatan langsung dengan memakai Daftar Cek Penuntun Belajar
- Penjelasan lisan dari peserta didik/diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/ tidak cakap/ lalai.
7) Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8) Pencapaian pembelajaran:
Pre test
Bentuk pre test
MCQ, Essay dan oral sesuai dengan tingkat masa pendidikan
Bentuk Ujian/test Latihan
Ujian OSCA (K, P, A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh Kolegium Bedah
Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing center Pendidikan
Ujian akhir kognitif nasional, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh Kolegium
Bedah
Ujian akhir profesi nasional (kasus bedah), dilakukan pada akhir Pendidikan oleh
Kolegium Bedah
6. REFERENSI
1) Buku teks Principle of Surgery Schwartz 8th ed. 2005
2) Buku teks Surgery, Basic Science and Clinical Evidence Norton, 2001
3) WHO, WHO handbook for reporting results of cancer treatment, 1979
4) Diseases of the breast (Harris)
5) Clinical Oncology (De Vita)
6) Evidence Based in Oncology
7) MD Anderson Surgical Oncology HandbookProtokol PERABOI 2003
8) Modul TOT Paliatif Kanker Bagi Tenaga Kesehatan, Kemenkes RI, 2016
7. URAIAN
8.1 Terapi Paliatif
8.1.1 Definisi Terapi Paliatif
Terapi paliatif dilaksanakan berdasarkan program paliatif pasien kanker dengan pendekatan
terintegrasi oleh tim paliatif untuk mencapai kualitas hidup pasien dan kematian yang bermartabat
serta memberikan dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian yang
seksama, serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain, baik masalah fisik, psikososial, dan
spiritual.
PROGRAM PALIATIF
Gambar 1. Terapi Modifikasi Penyakit (American Association Institute for Medical Ethics (1999).
Melakukan penilaian aspek fisik, psikologis, social dan kultural, serta spiritual.
Menentukan pengertian dan harapan pasien dan keluarga.
Menentukan tujuan perawatan pasien.
Informasi dan edukasi perawatan pasien.
Tatalaksana gejala, dukungan psikologis, social dan kultural, serta spiritual.
Respon pada stadium terminal: memberikan Tindakan sesuai keputusan keluarga, misalnya:
penghentian pengobatan atau Tindakan seperti resusitasi, ventilator, cairan, dan lain-lain.
Membantu pasien dalam membuat Advamced Care Planning (wasiat atau keinginan terakhir).
Pelayanan terhadap pasien pada stadium terminal.
*) Tidak berlaku pada pasien kanker anak.
Kanker payudara telah lama perkenalkan secara klinis berdasarkan ukuran tumor (T), status / kondisi
kelenjar getah bening (N), dan metastasis / penyebaran (M), untuk memprediksi prognosis pasien dan
rencana pengobatan. Dalam 20 tahun terakhir, kami juga memasukkan karakteristik biologis sel tumor
dalam evaluasi medis kami untuk memilih terapi yang ditargetkan. Kanker payudara dibagi menjadi
subtipe molekuler yang berbeda sesuai dengan karakteristik biologis sel tumor, termasuk Reseptor
Estrogen (ER), Reseptor Progesteron (PR) dan Human Epidermal Growth Factor Receptor Type II
(HER-2).
TNBC adalah salah satu jenis kanker payudara yang negatif untuk ketiga reseptor di atas. Ini
menyumbang sekitar 10% dari semua jenis kanker payudara di dunia. 70% lainnya adalah kanker
payudara dengan reseptor hormon positif dan 20% -nya lagi adalah kanker payudara positif HER-2.
ER dan PR adalah reseptor hormon. Jika positif terkena kanker payudara, terapi hormon dapat
memblokir efeknya pada sel tumor. HER-2 adalah onkogen. Saat ini ada pengobatan bertarget HER-2
yang dapat menghambat pertumbuhan sel tumor dan mengendalikan penyakit. Sebaliknya, TNBC
kekurangan ekspresi tiga reseptor sel kanker payudara dan tidak dapat menerima terapi hormonal
maupun terapi bertaget. Ini dianggap sebagai jenis kanker payudara yang paling sulit diobati. Pada
TNBC, sel kanker juga lebih mudah bermetastasis ke organ lainnya.
TNBC kebanyakan menimpa wanita yang berusia relatif muda. Wanita dengan TNBC rata-rata
bertahan hingga 15 bulan. 17% pasien kanker payudara di Malaysia memiliki TNBC. Kebanyakan
dari mereka masih relatif muda (kurang dari 50 tahun). Mereka yang menderita TNBC seringkali
adalah wanita berusia 30-an atau 40-an, tetapi umur mereka pendek karena kondisi medis mereka
yang rumit. Tingkat kelangsungan hidup dalam jangaka waktu 5 tahun, pasien dengan jenis kanker
payudara lain mencapai 93%, sedangkan dengan jenis TNBC hanya sekitar 77%.
Di sisi lain, pembawa mutasi kanker payudara gen 1 dan 2 (BRCA 1 dan BRCA 2) juga lebih
mungkin untuk mengembangkan TNBC. BRCA adalah gen yang terkait dengan kanker payudara
turunan (bawaan). Sekitar 70% pasien dengan gen BRCA yang bermutasi memiliki TNBC.
Untuk waktu yang lama, pasien dengan metastasis TNBC hanya dapat menerima kemoterapi
tradisional. Namun, pengaruhnya tidak signifikan. Masa kelangsungan hidup terlama adalah 12
sampai 15 bulan. Tidak ada terobosan dalam waktu yang lama, hingga munculnya obat-obatan
imunoterapi yang membawa harapan baru bagi pasien. Kombinasi imunoterapi dan kemoterapi dapat
memperpanjang kelangsungan hidup pasien dengan kanker payudara metastasis triple-negative,
sekaligus mengurangi risiko berkembangnya kanker.
Saat ini, imunoterapi perlu dikombinasikan dengan kemoterapi. Kemoterapi pertama-tama memoles
permukaan tumor, menghilangkan lapisan pelindung kekebalannya dan mengeksposnya, dengan
demikian membantu sel-sel kekebalan tubuh untuk mengenali sel-sel kanker untuk mengidentifikasi
dan "menyerang" mereka. Namun, imunoterapi tidak cocok untuk semua pasien kanker payudara
triple-negatif. Mereka harus memenuhi satu syarat: sel tumor mereka harus mengandung lebih dari
1% ligan PD-L1 agar imunoterapi efektif. PD-L1 adalah protein yang ada di permukaan sel yang
memungkinkan sistem kekebalan tubuh manusia untuk mengenali sel sebagai sel normal, bukan benda
asing.
Ketika sel T dari sistem kekebalan manusia menemukan benda 'asing', mereka melancarkan serangan.
Namun, sel tumor menghasilkan PD-L1 di permukaannya dan dapat mengikat reseptor PD-1 dari sel
T, menyebabkan sel T salah mengira itu sebagai sel normal. Oleh karena itu, sel T tidak mengirimkan
sinyal serangan, dan tumor lolos dari serangan.
Sel tumor dengan cerdik menyembunyikan diri di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, cara kerja
kemoterapi tradisional adalah membunuh semua sel terlepas dari apakah sel itu baik atau buruk,
sedangkan obat imunoterapi atezolizumab secara khusus mengikat PD-L1, menghambat interaksinya
dengan PD-1. Obat tersebut mengaktifkan sistem kekebalan pasien untuk mengenali dan menyerang
sel tumor.
Imunoterapi memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan terapi bertarget dan kemoterapi.
Kita masih perlu menggabungkan imunoterapi dengan kemoterapi, sehingga pasien mungkin masih
mengalami efek samping umum dari kemoterapi, seperti rambut rontok, mual, kehilangan nafsu
makan, dan kelelahan. Efek samping imunoterapi biasanya lebih lemah daripada efek samping terapi
dan kemoterapi yang ditargetkan, tetapi imunologi agak lebih rumit.
Respon imun setiap orang berbeda. Imunoterapi masih dapat menimbulkan beberapa efek samping,
yaitu peradangan yang berhubungan dengan kekebalan tubuh, seperti demam, asma, batuk, atau
pneumonia, dll. Hal ini karena dalam proses menstimulasi sistem imun untuk mengenali sel tumor,
respon imun akan semakin meningkat. aktif, dan terkadang menyerang sel sehat jika tidak dikontrol.
Saat ini, imunoterapi diberikan melalui injeksi intravena (melalui vena). Pasien tidak perlu dirawat di
rumah sakit, tetapi jumlah kunjungan ke rumah sakit akan lebih sering. Meskipun imunoterapi tetap
tidak menyembuhkan kanker, namun dapat memperpanjang tingkat kelangsungan hidup. Oleh karena
itu, pasien dengan kanker payudara triple-negatif tidak boleh kecewa dan patah semangat. Selama
masih ada secercah harapan, mereka harus secara aktif bekerja sama dengan pengobatan, dan pada
saat yang sama mengharapkan terapi atau obat yang lebih efektif di masa depan
NOSISEPTIK
Somatik NEUROPATIK
Somatik Dalam Viseral
Superfisial
Asal Kulit, subkutan, Tulang, sendi, Organ tubuh, masa Kerusakan pada saraf
rangsangan mukosa mulut, otot, tendon, tumor dan kelenjar nosiseptik
hidung, sinus, ligamen getah bening yang
uretra, anus dalam
Sifat Panas, tajam, Tumpul, Tumpul, dalam, Disestesia, alodinia,
menyengat berdenyut kram phantom, kebas
Lokasi Sangat terlokalisir Sukar ditentukan Sesuai dermatom
terlokalisir
Penjalaran Tidak Tidak/ya Ya Ya
Efek Tidak Memperburuk Mungkin Traksi
gerakan meringankan
Nyeri Ya Ya Mungkin Tidak
Tekan memperburuk
Efek Tidak Mungkin Mual, muntah, Tidak stabil:
otonom berkeringat, tekanan hangat/dingin,
darah, nadi berkeringat, sianosis,
pucat
2) Berdasarkan visual
a) Skala Angka (Numeric Rating Scale)
Tanyakan intensitas nyeri dengan menggunakan angka 0 – 10
b) Skala Kategori
Dibagi atas : nyeri ringan – nyeri sedang – nyeri berat
Keterangan :
Ekspresi Wajah
Tenang 1
Sebagian wajah menegang (dahi menyerit) 2
Seluruh wajah menegang (kelopak mata menutup) 3
Wajah menyeringai 4
Pergerakan atau Posisi Ekstremitas Atas
Tenang 1
Menekuk sebagian di daerah siku 2
Menekuk total dengan disertai jari-jari mengepal 3
Menekuk total secara terus-menerus 4
Toleransi terhadap ventilasi mekanik
Dapat mengikuti pola ventilasi 1
Batuk tetapi masih dapat mengikuti pola ventilasi 2
Melawan pola ventilasi 3
Pola ventilasi tidak ditoleransi 4
OBAT
ANALGESIK OBAT LAIN
PILIHAN
STEP 1
Non-Opioid
Ringan Nyeri NSAID Parasetamol
Adjuvan
1–3
STEP 2
Nyeri menetap atau Non-Opioid
Sedang Kodein Tramadol
meningkat Adjuvan
4–6
STEP 3 Opioid Kuat
Nyeri menetap atau
Berat Non-Opioid Morfin Fentanil
meningkat
7 – 10 Adjuvan
Non-Opioid
PARASETAMOL
a) Digunakan untuk nyeri ringan, terutama untuk jaringan lunak dan musculoskeletal serta
penurun panas
b) Sebagai suplemen opioid sehingga memungkinkan dosis opioid yang lebih kecil
c) Dosis parasetamol: 500 – 1000 mg per 4 jam. Dosis maksimal adalah 3 gram per hari
NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drug)
NSAID sangat efektif untuk menangani nyeri tulang. Selain itu, dipakai pada nyeri akibat
inflamasi dan kerusakan jaringan, nyeri karena metastase tulang, demam neoplastic, dan nyeri
post-operasi.
Opioid Untuk Nyeri Sedang/Nyeri Ringan yang Tidak Respon Terhadap Terapi
Sebelumnya
KODEIN
a) Digunakan untuk nyeri sedang, dapat diberikan secara oral
b) Dosis : 0,5 – 1 mg/kg (dosis maksimal 60 mg/dosis)
c) Efek samping: sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah, dan konstipasi
d) Efek samping berupa konstipasi, sehingga memerlukan laksatif secara rutin
TRAMADOL
a) Dosis : 2 mg/kg (dosis maksimal iv 600 mg/24 jam dan dosis maksimal po 8 mg/kg/hari)
b) Efek samping minimal terhadap sedasi, depresi pernapasan dan gastrointestinal
c) Efek samping lain: mual, muntah, gangguan system kardiovaskular dan pernapasan (minimal)
Opioid Untuk Nyeri Berat/Nyeri Sedang yang Tidak Respon Terhadap Terapi Sebelumnya
MORFIN
Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi pemberian opioid berat kuat.
a) ORAL
Mulai dengan dosis kecil morfin immediate release (IR) po : 2,5 – 5 mg setiap 4 jam,
kemudian dilakukan titrasi sampai dosis yang diperlukan
Bila tidak ada morfin IR, dapat diberikan morfin MST po setiap 12 jam
Gantikan morfin IR dengan morfin sustained release (SR) segera setelah dosis yang
diperlukan tercapai: dosis 24 jam morfin IR dibagi 2 untuk diberikan 2 kali sehari
Morfin SR mempunyai kelebihan seperti tidak perlu minum tengah malam, efek samping
mengantuk dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih dapat diterima
Berikan dosis morfin SR pertama bersamaan dengan dosis morfin IR terakhir
Tablet morfin SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan utuh agar memiliki efek
kerja dan durasi yang diinginkan
Tetap gunakan morfin IR untuk nyeri renjatan dan nyeri insiden dengan dosis 1/6 – 1/10
total dosis 24 jam
Jika nyeri renjatan atau insiden terjadi, dosis harian (dosis dasar) tetap diberikan sesuai
jadwal
Dosis morfin perlu dinaikkan 30% - 50% jika efek morfin hanya sebagian atau durasinya
sebentar
Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek samping yang muncul persisten
Dosis harian perlu dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3 kali atau lebih dalam sehari,
dengan menjumlahnya dosis harian dan jumlah dosis renjatan untuk hari berikutnya
Bila pasien tidak dapat menelan, tablet dapat diberikan per rektal dengan dosis yang sama
b) PARENTERAL
Pemberian morfin secara parenteral diperlukan jika pasien tidak dapat menelan, mual
muntah hebat atau ada obstruksi usus, kesadaran yang menurun, kebutuhan dosis yang
tinggi, nyeri harus segera diatasi, dan pada pasien yang tidak patuh minum obat
Pemberian morfin parenteral sebaiknya diberikan secara subcutaneous (sc) atau intravena
(iv). Pemberian secara intramuscular sebaiknya dihindari karena absorbs yang tidak
teratur dan nyeri pada saat injeksi
Dosis morfin parenteral adalah 1/3 oral
Dosis morfin parenteral 24 jam adalah jumlah dosis oral 24 jam dibagi 3 (dosis dasar +
dosis renjatan, tidak termasuk dosis untuk nyeri insiden)
Pemberian morfin sc atau iv dimulai dengan 1/3 dosis oral
Pemberian morfin secara intermiten dengan 1/6 dosis 24 jam, diberikan setiap 4 jam
Pemberian sc atau iv secara kontinyu dimulai dengan pemberian dosis loading 1/6 dosis
24 jam
FENTANIL
Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping terhadap sususan saraf pusat
lebih sedikit dibandingkan dengan morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan
Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral. Pemberian iv atau sc memiliki durasi
singkat sehingga dapat digunakan untuk nyeri renjatan, insiden, atau prosedur
Kekurangan fentanyl adalah tidak memiliki bentuk oral, dosis yang besar tidak dapat
diberikan melalui sc karena memiliki voume yang besar, efek onset yang lama (18 – 24 jam),
dosis transdermal terbatas (12,5; 25; 50; dan 100 mikrogram per jam) dan tidak dapat
dipotong untuk medapatkan dosis yang lebih kecil. Kekurangan yang lain adalah bila pasien
berkeringat, bentuk transdermal mungkin kurang bermanfaat
Bila menggunakan transdermal, dosis dasar opioid harus tetap diberikan pada 12 – 18 jam
pertama
Dosis ekuivalen untuk 25 mikrogram per jam transdermal fentanyl adalah 60 – 100 mg oral
morfin/24 jam
Tanda klinis intoksikasi dan overdosis yang perlu diketahui pada penggunaan opioid kuat :
a) Gangguan kesadaran
b) Delirium
c) Halusinasi
d) Mioklonis
e) Depresi napas
Terapi Adjuvant
Terapi adjuvant dijelaskan pada Tabel 5 di bawah ini
Pada fase terminal dari stadium terminal (kematian diperkirakan dalam hari atau minggu):
a) Jangan kurangi dosis opioid semata-mata karena penurunan tekanan darah, respirasi, atau
kesaran, namun pertahankan sampai mencapai kenyamanan, namun pertahankan sampai
mencapai kenyamanan. Perlu perhatikan adanya tanda-tanda depresi napas
b) Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid terma-suk hiperalgesia
c) Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis dalam 24 jam
d) Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv,transdermal) dengan dosis
konversi
e) Bila terdapat nyeri berulang (refractory pain), pertimbang-kan sedasi
2) Non-Medikamentosa
Modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktivitas yang memicu atau memperberat
nyeri, imobilisasi bagian yang sakit dengan alat, gunakan alat bantu untuk jalan atau kursi
roda
Fisik: tatalaksana rehabilitasi medik non-medikamentosa pada nyeri kanker paliatif, yakni
pemberian modalitas :
a) TENS/inter-ferensial
b) Superficial heating
c) Massage
d) Relaksasi
e) Breathing Exercise
f) Muscle and Joint Exercise
g) Propper Body Positioning
h) Spinal Ortose : pada kasus metastase di tulang belakang
Psikoterapi: Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), Psychodynamic Therapy
Relaksasi misalnya dengan berdoa, meditasi, dan pemijatan
Prosedur/Tindakan: anestesi, neurolysis, akupuntur, radioterapi, dan pembedahan
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengontrol nyeri yaitu :