Anda di halaman 1dari 115

PENDETEKSIAN CACAT PERMUKAAN UNTUK SAMPEL MILD

STEEL DAN STAINLESS STEEL PADA PROBE ULTRASONIC TESTING


NDT DENGAN PENDEKATAN ACRYLIC WEDGES

SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan


untuk memperoleh derajat Sarjana S-1
Program Studi Teknik Fisika

Diajukan oleh
TAUFIK TRY MARGANI
15/378798/TK/42740

Kepada
DEPARTEMEN TEKNIK NUKLIR DAN TEKNIK FISIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019

i
PERNYATAAN BEBAS PLAGI ARI SME

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Taufik Try Margani


NIM : 15/378798/TK/42740
Tahun terdaftar : 2015
Program Studi : Teknik Fisika
Fakultas : Teknik

menyatakan bahwa dokumen ilmiah skripsi ini tidak terdapat bagian dari karya
ilmiah lain yang telah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu
lembaga Pendidikan Tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang/lembaga lain, kecuali yang secara
tertulis disitasi dalam dokumen ini dan disebutkan sumbernya secara lengkap
dalam daftar pustaka.

Dengan demikian saya menyatakan bahwa dokumen ilmiah ini bebas dari unsur-
unsur plagiasi dan apabila dokumen ilmiah Skripsi ini di kemudian hari terbukti
merupakan plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Yogyakarta, 09 Oktober 2019

Taufik Try Margani


NIM. 15/378798/TK/42740

ii
HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PENDETEKSIAN CACAT PERMUKAAN UNTUK SAMPEL MILD STEEL


DAN STAINLESS STEEL PADA PROBE ULTRASONIC TESTING NDT
DENGAN PENDEKATAN ACRYLIC WEDGES
Oleh:
Taufik Try Margani
15/378798/TK/42740

telah dipertahankan di depan Tim Penguji


pada tanggal 03 Oktober 2019

Susunan Tim Penguji

Ketua Sidang

Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo.


NIP. 196107061989031001

Penguji Utama Anggota Penguji

Dr. Gea O. F. Parikesit, S.T., M.Sc. Sentagi Sesotya U., S.T., M.Sc., Ph.D
NIP. 197811242012121001 NIP. 197502262002122002

Diterima dan dinyatakan memenuhi


syarat kelulusan pada tanggal 10 Oktober 2019

Ketua Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika


Fakultas Teknik UGM

Nopriadi, S.T., M.Sc., Ph.D.


NIP. 197311192002121002

iii
HALAMAN TUGAS
HALAMAN TUGAS
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK NUKLIR DAN TEKNIK FISIKA

Nama : Taufik Try Margani


NIM : 15/378798/TK/42740
Pembimbing Utama : Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo
Pembimbing Pendamping : Tasih Mulyono, S.ST.
Judul Skripsi : Pendeteksian Cacat Permukaan untuk Sampel
Mild Steel dan Stainless Steel pada Probe
Ultrasonic Testing NDT dengan Pendekatan
Acrylic Wedges.
Permasalahan : Pengujian ultrasonik tidak sensitif untuk
mendeteksi cacat yang berada di permukaan
benda uji. Perlu dikaji penggunaan acrylic
wedges agar gelombang ultrasonik merambat
sebagai gelombang permukaan untuk
mendeteksi cacat permukaan.

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo Tasih Mulyono, S.ST.


NIP. 196107061989031001 NIP. 197405042000121001

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika
Fakultas Teknik UGM

Nopriadi, S.T., M.Sc., Ph.D.


NIP. 19731119200212100

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta. Ibu, Ayah dan
Saudara-Saudara tersayang

Mohon maaf dan Terima Kasih telah mendukung hingga saat ini”.

v
“The past is your lesson. The present is your engine.
The future is your motivation”

‫־‬Foundr

vi
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, karena atas rezeki, karunia,
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian Tugas Akhir ini dengan
sebaik-baiknya. Tak lupa salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada suri
teladan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan terhadap
peradaban umat dari zaman jahiliah menuju zaman dengan penuh keberlimpahan
imu. Tugas Akhir ini berjudul “Pendeteksian Cacat Permukaan Untuk Sampel
Mild Steel Dan Stainless Steel Pada Probe Ultrasonic Testing NDT Dengan
Pendekatan Acrylic Wedges” yang merupakan syarat untuk mencapai jenjang
derajat Sarjana S-1 di Program Studi Teknik Fisika ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan perkembangan ilmu pengetahuan umat manusia.

Bersamaan dengan selesainya penulisan Tugas Akhir ini, penulis ingin


menyampaikan ucapan terima kasih kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kesempatan, serta petunjuk


hingga skripsi ini terselesaikan.
2. Kedua orang tua yang selalu memberikan doa, motivasi, dan dukungan
baik moril maupun materil, hingga penulis dapat mengeyam pendidikan
sampai di Perguruan Tinggi.
3. Bapak Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo dan Bapak Tasih Mulyono, S.ST.
selaku dosen pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan
masukan, bimbingan, dan nasihat lainnya.
4. Bapak Dr. Gea O. F. Parikesit, S.T., M.Sc. dan Ibu Sentagi Sesotya U.,
S.T., M.Sc., Ph.D. selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan untuk lebih baik lagi serta nasihat lainnya.
5. Bapak Praptana yang telah banyak membantu dalam pengambilan data
dan bimbingan menggunakan ultrasonic testing.
6. Bapak Sumber Wahyudi yang telah membantu mencetak acrylic
wedges.

vii
7. Rini dan Selva yang telah memberikan banyak bantuan, masukan,
inspirasi dan semangat.
8. Teman-teman Teknik Fisika angkatan 2015 khususnya Teknik Fisika A
yang selama ini telah belajar dan menghabiskan waktu bersama.
9. Teman-teman kontrakan Bu Wiji, Fadil, Idial, Roy, dan Deka untuk
canda dan tawa dan bantuan yang banyak diterima penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa pengerjaan Tugas Akhir ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran untuk
menyempurnakan tulisan ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan
dapat menjadi acuan pustaka khususnya di bidang non destructive testing.

Yogyakarta, 15 September 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... ii


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN TUGAS .......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN .................................................... xvii
INTISARI ......................................................................................................... xix
ABSTRACT ...................................................................................................... xx
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................................... 2
I.2.1. Batasan Masalah ................................................................................. 2
Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
Penggunaan Non-Destructive Testing pada Cacat Permukaan ................... 4
Penerapan Hukum Snellius ....................................................................... 8
DASAR TEORI ................................................................................... 12
Non-Destructive Testing ........................................................................ 12
III.1.1. Lingkup Penggunaan NDT ............................................................. 13
Ultrasonic Testing ................................................................................. 14
III.2.1. Propagasi Gelombang ..................................................................... 16
III.2.2. Gelombang Longitudinal ................................................................ 18
III.2.3. Gelombang Transversal (Shear Wave) ............................................ 20
III.2.4. Gelombang Permukaan (Rayleigh Wave) ........................................ 22
Impedansi Akustik................................................................................. 25

ix
Probe ..................................................................................................... 25
III.4.1. Probe Normal ................................................................................. 27
III.4.2. Probe Sudut .................................................................................... 29
Kuplan .................................................................................................. 31
Metode Kalibrasi ................................................................................... 32
III.6.1. Blok Kalibrasi V1 ........................................................................... 33
III.6.2. Blok Kalibrasi V2 ........................................................................... 34
Refraksi dan Hukum Snellius ................................................................ 35
III.7.1. Sudut Kritis .................................................................................... 38
Diskontinuitas ....................................................................................... 39
PELAKSANAAN PENELITIAN......................................................... 41
Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............................................................ 41
Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................... 41
IV.2.1. Alat Penelitian ................................................................................ 41
IV.2.2. Bahan Penelitian ............................................................................. 42
Tata Laksana Penelitian......................................................................... 45
IV.3.1. Studi Literatur ................................................................................ 46
IV.3.2. Acrylic Wedges .............................................................................. 46
IV.3.3. Pembuatan Acrylic Wedges ............................................................ 51
IV.3.4. Persiapan Spesimen Uji .................................................................. 52
IV.3.5. Kalibrasi Alat ................................................................................. 52
IV.3.6. Pengujian Spesimen ....................................................................... 53
IV.3.7. Analisis Data .................................................................................. 53
IV.3.8. Penulisan Laporan .......................................................................... 54
HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 55
Hasil Pengukuran Probe Normal Pada Sampel Mild Steel ....................... 55
Hasil Pengukuran Probe Normal Pada Sampel Stainless Steel ................ 59
Hasil Pengukuran Probe Sudut 70˚ Pada Sampel Mild Steel ................... 63
Hasil Pengukuran Probe Sudut 70˚ Pada Sampel Stainless Steel ............. 68
Hasil Pengukuran Probe Sudut 60˚ Pada Sampel Mild Steel ................... 72
Hasil Pengukuran Probe Sudut 60˚ Pada Sampel Stainless Steel ............. 77
Perbandingan Hasil Probe Normal dan Probe Sudut ............................... 79

x
Validasi Cacat Permukaan Pada Sampel Mild Steel ................................ 80
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 83
Kesimpulan ........................................................................................... 83
Saran ..................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 84
LAMPIRAN A .................................................................................................. 87
LAMPIRAN B ................................................................................................... 89
LAMPIRAN C ................................................................................................... 92
LAMPIRAN D .................................................................................................. 94

xi
DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Rangkuman penelitian terkait cacat permukaan pada NDT ................. 9
Tabel 3.1. Impedansi akustik pada beberapa bahan ............................................ 25
Tabel 4.1. Sudut acrylic wedges ........................................................................ 49
Tabel 5.1. Pengukuran performa acrylic wedges probe normal pada sampel
mild steel ......................................................................................... 56
Tabel 5.2. Hasil pengukuran berulang probe normal pada sampel mild steel ...... 59
Tabel 5.3. Pengukuran performa acrylic wedges probe normal pada sampel
stainless steel ................................................................................... 60
Tabel 5.4. Hasil pengukuran berulang probe normal pada sampel stainless
steel ................................................................................................. 63
Tabel 5.5 Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 70˚ pada sampel
mild steel ......................................................................................... 65
Tabel 5.6. Hasil pengukuran berulang probe sudut 70˚ pada sampel mild steel ... 68
Tabel 5.7. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 70˚ pada sampel
stainless steel ................................................................................... 70
Tabel 5.8. Hasil pengukuran berulang probe sudut 70˚ pada sampel stainless
steel ................................................................................................. 72
Tabel 5.9. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 60˚ pada sampel
mild steel ......................................................................................... 74
Tabel 5.10. Hasil pengukuran berulang probe sudut 60˚ pada sampel mild
steel ............................................................................................... 77
Tabel 5.11. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 60˚ pada
sampel stainless steel ..................................................................... 79
Tabel 5.12. Perbandingan hasil menggunakan Acrylic Wedges dan tanpa
Acrylic Wedges .............................................................................. 80

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. (a) Diagram skematis dari Inspeksi untuk lasan bagian atas (b)
Diagram skematis dari Inspeksi untuk lasan bagian atas ............... 5
Gambar 2.2. Data A-Scan pada cacat permukaan lasan pipa ................................ 6
Gambar 2.3. Sistem inspeksi ultrasonik yang dilakukan oleh K. Shivaraj dkk ..... 7
Gambar 3.1. Tahap-tahap penggunaan NDT pada bidang Industri. ..................... 13
Gambar 3.2. Sistem inspeksi UT ....................................................................... 14
Gambar 3.3. Cepat rambat gelombang pada medium udara, air, dan baja .......... 15
Gambar 3.4. Arah dari pergerakan partikel pada gelombang longitudinal dan
transversal .................................................................................. 17
Gambar 3.5. Perpindahan partikel pada batang .................................................. 18
Gambar 3.6. Gaya kompresi pada elemen dengan panjang dx di batang ............ 19
Gambar 3.7. Arah dari osilasi dan propagasi gelombang longitudinal ................ 20
Gambar 3.8. Pembengkokan strain dan stress diatur oleh perpindahan
melintang di ujung elemen batang .............................................. 20
Gambar 3.9. Arah dari osilasi dan propagasi gelombang transversal ................... 22
Gambar 3.10. Arah dari propagasi gelombang Rayleigh .................................... 23
Gambar 3.11. Gelombang permukaan mengikuti kontur permukaan pada
spesimen .................................................................................... 23
Gambar 3.12. Transmisi dan pantulan gelombang pada batas planar antara
fluida dengan impedansi karakteristik yang berbeda . .................. 24
Gambar 3.13. Perbedaan frekuensi transduser ................................................... 26
Gambar 3.14. Dead zone pada uji ultrasonik ..................................................... 27
Gambar 3.15. Probe normal .............................................................................. 27
Gambar 3.16. Komponen-komponen pada probe normal ................................... 29
Gambar 3.17. Probe sudut ................................................................................. 29
Gambar 3.18. Komponen-komponen pada probe sudut ..................................... 30
Gambar 3.19. Penempatan kuplan pada uji ultrasonik ....................................... 31
Gambar 3.20. (a) Blok kalibrasi V1 (b) Dimensi blok kalibrasi V1..................... 33

xiii
Gambar 3.21. Blok kalibrasi V2 ......................................................................... 34
Gambar 3.22. Peristiwa refraksi ketika gelombang melewati permukaan
bahan berbeda ............................................................................ 36
Gambar 3.23. Pemodelan hukum Snellius .......................................................... 36
Gambar 3.24. Pemodelan hukum Snellius terhadap gelombang longitudinal
dan transversal ............................................................................ 37
Gambar 3.25. Sudut kritis 1 dan kritis 2 pada angle beam ................................. 39
Gambar 3.26. Scanning diskontinuitas .............................................................. 40
Gambar 4.1. Spesimen uji mild steel PL 27492 ................................................ xiv
Gambar 4.2. Spesimen uji mild steel T 27488 .................................................... 43
Gambar 4.3. Pipa stainless steel ......................................................................... 44
Gambar 4.4. Tahapan pelaksanaan penelitian Tugas Akhir ................................. 45
Gambar 4.5. Penerapan hukum Snellius untuk menentukan sudut datang pada
acrylic wedges ............................................................................. 47
Gambar 4.6. Tampak samping acrylic wedges pada probe normal untuk
spesimen mild steel ..................................................................... 49
Gambar 4.7. Tampak samping acrylic wedges pada probe normal untuk
spesimen stainless steel .............................................................. 50
Gambar 4.8. Tampak samping crylic wedges pada probe sudut 60˚ untuk
spesimen mild steel ..................................................................... 50
Gambar 4.9. Tampak samping acrylic wedges pada probe sudut 60˚ untuk
spesimen stainless steel ............................................................... 50
Gambar 4.10. Tampak samping acrylic wedges pada probe sudut 70˚ untuk
spesimen mild steel ..................................................................... 51
Gambar 4.11. Tampak samping acrylic wedges pada probe sudut 70˚ untuk
spesimen stainless steel ............................................................... 51
Gambar 4.12. Proses pembuatan acrylic wedges menggunakan mesin frais ........ 52
Gambar 5.1. Kalibrasi probe normal pada sampel mild steel .............................. 55
Gambar 5.2. Grafik perbandingan FSH probe normal pada uji sampel mild
steel ............................................................................................ 57

xiv
Gambar 5.3. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen ID PL 27492
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 57
Gambar 5.4. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen ID T 27488 dengan
bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ......................... 58
Gambar 5.5. Kalibrasi probe normal pada sampel stainless steel ........................ 60
Gambar 5.6. Grafik perbandingan FSH probe normal pada uji sampel
stainless steel .............................................................................. 61
Gambar 5.7. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen pipa stainless steel
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 62
Gambar 5.8. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel mild steel ........................... 64
Gambar 5.9. Grafik perbandingan FSH probe sudut 70˚ pada uji sampel mild
steel ............................................................................................ 65
Gambar 5.10. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen ID PL 27492
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 66
Gambar 5.11. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen ID T 27488
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 67
Gambar 5.12. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel stainless steel................... 69
Gambar 5.13. Grafik perbandingan FSH probe sudut 70˚ pada uji sampel
stainless steel .............................................................................. 70
Gambar 5.14. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen pipa stainless
steel dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ..... 71
Gambar 5.15. Kalibrasi probe sudut 60˚ pada sampel mild steel ......................... 73
Gambar 5.16. Grafik perbandingan FSH probe sudut 60˚ pada uji sampel mild
steel ............................................................................................ 74
Gambar 5.17. (a) Pengukuran probe sudut 60˚ pada spesimen ID PL 27492
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 75
Gambar 5.18. (a) Pengukuran probe sudut 60˚ pada spesimen ID T 27488
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges ............. 76
Gambar 5.19. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel stainless steel................... 78
Gambar 5.20 (a) Sebelum uji penetrant (b) sesudah uji penetrant pada sampel
plat karbon (ID PL 27492)........................................................... 81

xv
Gambar 5.21. (a) Sebelum uji penetrant (b) sesudah uji penetrant pada
sampel plat karbon T (ID T 27488).............................................. 81

xvi
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang Romawi
Lambang Besaran Satuan

E Modulus young N/m2

f Frekuensi Hz

F Gaya kompresi N

k Jari-jari girasi M

M Momen gaya N.m

R Koefisien refleksi -

s Standar deviasi jarak cacat ke titik indeks Mm

S Luas penampang m2

T Koefisien transmisi -

v Kecepatan gelombang m/s

x Jarak cacat ke titik indeks mm

x̅ Rata-rata jarak cacat ke titik indeks mm

Z Impedansi akustik bahan kg/m2.s

Z1 Impedansi akustik bahan 1 kg/m2.s

Z2 Impedansi akustik bahan 2 kg/m2.s

xvii
Lambang Yunani
Lambang Besaran Satuan
λ Panjang gelombang m

𝜌 Massa jenis bahan kg/m3

ξ fungsi jarak sepanjang batang dan waktu m

Singkatan

BATAN Badan Tenaga Nuklir Nasional

FSH Full Screen Height

NDT Non Destructive Testing

PSTA Pusat Sains dan Teknologi Akselerator

STTN Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir

UT Ultrasonic Testing

xviii
PENDETEKSIAN CACAT PERMUKAAN UNTUK SAMPEL MILD STEEL
DAN STAINLESS STEEL PADA PROBE ULTRASONIC TESTING NDT
DENGAN PENDEKATAN ACRYLIC WEDGES INTISARI
oleh
Taufik Try Margani
15/378798/TK/42740
Diajukan kepada Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Oktober 2019
Untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh derajat
Sarjana Program Studi Teknik Fisika

INTISARI
Proses uji ultrasonik merupakan sebuah metode non destructive testing
yang memanfaatkan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik dihasilkan oleh
probe dengan frekuensi antara 0,1-15 MHz yang menembus material dan
dipantulkan atau disebarkan oleh cacat yang ada di dalam material. Pada uji
ultrasonik terdapat 2 jenis probe yaitu probe normal dan probe sudut.
Penggunaan probe normal hanya bisa digunakan pada arah yang tegak lurus
terhadap permukaan probe, sehingga uji ultrasonik ini tidak sensitif untuk
mendeteksi cacat permukaan. Probe sudut akan membentuk sudut tertentu
terhadap garis normal permukaan probe.
Penelitian ini bertujuan agar probe pada uji ultrasonik sensitif terhadap
cacat yang berada di permukaan dengan bantuan acrylic wedges. Sudut acrylic
wedges dirancang berlandaskan pada hukum Snellius yaitu menyamakan rasio
kecepatan gelombang merambat pada material 1 dan 2 dengan rasio sinus sudut
insiden dan sudut bias.
Hasil penelitian ini menunjukkan acrylic wedge meningkatkan kinerja
penggunaan normal probe dan angle probe sehingga menjadi sensitif terhadap
cacat yang berada di permukaan, dibuktikan dengan sinyal output yang mampu
terbaca dari 10% hingga 100% FSH. Full Screen High (FSH) merupakan
indikator dari ketinggian sinyal yang terbaca pada UT.
Kata kunci: Uji Ultrasonik, Non Destructive Testing, Deteksi Cacat Permukaan

Pembimbing Utama : Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo


Pembimbing Pendamping : Tasih Mulyono, S.ST.

xix
ABSTRACT

SURFACE DEFECT DETECTION FOR MILD STEEL AND STAINLESS


STEEL SAMPLES ON ULTRASONIC TESTING PROBE NDT WITH
ACRYLIC WEDGES APPROACH
by
Taufik Try Margani
15/378798/TK/42740
Submitted to the Departement of Nuclear Engineering and Engineering Physics
Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada on October 11th, 2019
in partial fulfillment of the requirement for the Degree of
Bachelor of Engineering in Engineering Physics
ABSTRACT
The ultrasonic test process is a non-destructive testing method that utilizes
ultrasonic waves. Ultrasonic waves are produced by probes with frequencies
between 0.1 - 15 MHz which penetrate the material and are reflected or spread by
defects that are inside the material. In the ultrasonic test there are 2 types of
probes namely normal and angular probes. In its application a normal probe can
only be used in a direction that is perpendicular to the surface of the probe, while
the angular probe will form a certain angle to the normal line of the probe surface.
Thus, this ultrasonic test is not sensitive to surface defect detection.
The purpose of this research is that the probe in the ultrasonic test is
sensitive to defects on the surface with the help of acrylic wedges. Acrylic wedges
are designed based on Snellius' law, which equates the ratio of the velocity of
waves propagating in material 1 and 2 with the ratio of sine angle of incidence
and bias angle.
The results of this research is acrylic wedge improves the performance of
normal use of the probe and angle probe so that it becomes sensitive to defects on
the surface, as evidenced by an output signal that can read from 10% to 100%
FSH. Full Screen High (FSH) is an indicator of the height of the signal that is read
on the UT.
Keywords: Ultrasonic Testing, Non Destructive Testing, Surface Defect
Detection.

Supervisor : Dr.-Ing. Ir. Singgih Hawibowo


Co-supevisor : Tasih Mulyono, S.ST.

xx
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Non Destructive Test (NDT) adalah pemeriksaan, pengujian, atau evaluasi
yang dilakukan pada semua jenis objek pengujian tanpa mengubah atau
mempengaruhi objek itu dengan cara apa pun, untuk menentukan tidak ada atau
adanya kondisi diskontinuitas yang mungkin berdampak pada kegunaan objek
tersebut [1]. NDT digunakan terutama dalam dunia industri untuk mendeteksi
kecacatan, retak dan rongga dalam bahan yang digunakan dalam berbagai struktur
dengan material yang berbeda-beda jenisnya. Dalam NDT terdapat beberapa
metode diantaranya yaitu Eddy Current Testing (ET), Electrical Resistance
Testing (AC or DCPD), Flux Leakage Testing (see under MT), Magnetic Testing
(MT), Penetrant Testing (PT), Radiographic Testing (RT), Resonant Testing,
Thermographic Testing, Ultrasonic Testing (UT), dan Visual Testing (VT) [2].
Metode-metode tersebut mempunyai keterbatasan dan kelebihan masing-masing,
sehingga dalam setiap pemeriksaan material diperlukan suatu pengetahuan yang
memadai dalam pemilihan metode yang tepat agar diperoleh hasil yang optimal.

Salah satu metode NDT yang lebih populer dibandingkan metode lainnya
adalah Ultrasonic Testing (UT). Pengujian menggunakan gelombang ultrasonik
lebih populer digunakan karena pengujian tersebut dirasa aman untuk digunakan
pada berbagai jenis material dan dapat mendeteksi cacat di sub permukaan dan
dalam material. Cacat yang dapat dideteksi antara lain crack, slag inclusion,
laminasi, lack of fusion, lack of penetration. Gelombang ultrasonik dihasilkan
oleh transduser piezoelectrik dengan frekuensi antara 0,1-15 MHz yang
menembus material dan dipantulkan atau disebarkan oleh retakan (cacat) yang
ada didalam material. Propagasi sinyal pantul tersebut memberikan informasi
tentang lokasi cacat atau retakan yang ada di dalam material [3]. Pada metode UT
terdapat 2 jenis probe yaitu normal probe (gelombang longitudinal) dan angle
probe (gelombang transversal). Probe berfungsi sebagai transducer, yaitu

1
2

gelombang pantulan akan ditangkap oleh probe dan dirubah menjadi energi listrik
(pulsa). Pada aplikasinya normal probe hanya bisa digunakan pada arah yang
tegak lurus terhadap permukaan probe, sedangkan angle probe akan membentuk
sudut tertentu terhadap garis normal permukaan probe.
Perancangan acrylic wedges pada normal probe dan angle probe penting
untuk dilakukan agar mampu untuk mendeteksi cacat yang berada di permukaan.
Hal ini sangat penting agar dapat membantu melakukan inspeksi lebih mudah,
seperti inspeksi pipa tanpa harus mengandalkan kemampuan inspeksi lewat visual.
Transduser ini dapat mendeteksi cacat yang berada di permukaan bila gelombang
transversal dapat dirubah menjadi gelombang permukaan sehingga gelombang
transversal akan merambat pada permukaan bahan yang akan di uji.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang adalah bagaimana membuat
probe uji tak merusak metode ultrasonic testing sensitif terhadap cacat
permukaan, yaitu dengan pembacaan ketinggian sinyal output (FSH).

I.2.1. Batasan Masalah


Berikut batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Transduser yang digunakan berupa 2 jenis probe yaitu normal probe dan
angle probe dengan transmitter dan receiver yang tidak terpisah.
2. Frekuensi gelombang ultrasonik yang dipancarkan sebesar 4 MHz, karena
keterbatasan transduser pada STTN BATAN.
3. Variasi angle probe yang digunakan untuk pengujian terdiri dari 2 variasi
sudut yaitu 60˚ dan 70˚. Probe sudut 60˚ dan 70˚ merupakan probe standar
yang sering digunakan dalam pengujian.
4. Benda padat yang dipilih untuk melakukan pengujian menggunakan benda
padat yang sesuai dengan batas kemampuan dari frekuensi yang
dipancarkan probe yaitu sampel dengan material mild steel dan stainless
3

steel. Frekuensi 4 MHz yang dipancarkan oleh probe mampu merambat


pada material steel dan material dengan permukaan halus.
5. Cacat yang diteliti berupa cacat permukaan (surface defect) seperti toe
crack, dan kekosongan di antara bahan permukaan.
6. Tidak mengukur berapa besar luas cacat yang terdeteksi.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui normal probe dan
angle probe pada uji tak merusak metode ultrasonic testing bisa mendeteksi cacat
permukaan dengan pendekatan acrylic wedges.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Meningkatkan wawasan, pembelajaran, serta pengalaman di bidang NDT
(non destructive testing) khususnya deteksi cacat pada metode ultrasonic
testing.
2. Memberikan alternatif metode untuk mendeteksi cacat permukaan pada
spesimen uji dibandingkan harus memanfaatkan metode visual,
dikarenakan adanya keterbatasan penglihatan pada inspektor.
3. Hasil dari Tugas Akhir ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih
lanjut maupun penelitian lain untuk mendeteksi cacat permuka
TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan Non-Destructive Testing pada Cacat Permukaan


Metode untuk mendeteksi cacat permukaan terus berkembang. Diketahui
bahwa surface integrity menentukan masa kerja dan fungsi kerja suatu objek, hal
ini berkaitan dengan pengetahuan tentang kondisi tegangan sisa, nilai kekerasan,
struktur metalurgi, dan cacat material [4]. Cacat dapat terjadi pada setiap langkah
produksi, sehingga untuk jaminan kualitas, jenis cacat seperti (retak, pori, inklusi)
penting untuk diperhatikan, terutama untuk permukaan pecah atau cacat yang
berada di dekat permukaan. Oleh karena itu, pengembangan metode baru untuk
deteksi cacat permukaan penting untuk dilakukan. Inspeksi pada cacat permukaan
telah dilakukan dengan beberapa metode, antara lain yaitu metode visual testing,
magnetic testing dan penetran testing.

Inspeksi visual adalah metode yang paling banyak diterapkan untuk


kerusakan permukaan, hal ini dikarenakan inspeksi jenis ini tergolong simpel dan
tidak memerlukan peralatan. Kelemahan dari inspeksi ini adalah memerlukan
ketelitian yang tinggi dikarenakan penglihatan mata yang terbatas pada inspektor
dan juga tidak dapat menentukan seberapa besar/dalamnya cacat pada suatu objek.
Inspeksi magnetic testing adalah metode yang menggunakan serbuk besi untuk
mendeteksi cacat permukaan pada bahan yang dapat dimagnetisasi. Sedangkan
inspeksi penetrant testing adalah metode yang menggunakan cairan penetrant
untuk mendeteksi cacat permukaan pada objek tidak berpori. Kedua metode ini
terganggu oleh kekasaran permukaan yang menghasilkan indikasi palsu [4].
Kelemahan metode magnetik yaitu benda objek harus bersifat ferromagnetik
seperti besi, cobalt, nikel, gadolinium, sedangkan kelemahan pada metode
penetrant yaitu biaya inspeksi sangat mahal dan juga benda yang diuji tidak boleh
mempunyai pori.

4
5

Pada tahun 2018, Wentao Li dkk melakukan deteksi cacat las pada bagian
permukaan menggunakan metode ultrasonic array testing [5]. Pada penelitian ini,
pertama dilakukan kelayakan propagasi sinyal akustik di area inspeksi dianalisis
berdasarkan hukum Snellius dan acoustic pressure reciprocating transmittance
(APRT). Kedua, seluruh area inspeksi dibagi dan parameter di setiap subarea
dirancang secara iteratif. Ketiga, berdasarkan metode finite element method
(FEM), model simulasi respons dari array ultrasonik dibuat untuk memberikan
kesaksian kelayakan dan validitas kelayakan skema. Gambar 2.1.(a) dan gambar
2.1.(b) menunjukan skematis dari pemeriksaan pada lasan.

(a)

(b)
Gambar 2.1. (a) Diagram skematis dari Inspeksi untuk lasan bagian
atas (b) Diagram skematis dari Inspeksi untuk lasan bagian atas [5]
6

Pada tahun 2018, Yun-Lai Zhou dkk melakukan pengujian ultrasonic


phased array (UPA) untuk mendeteksi dan mengukur retak permukaan melingkar
di dekat lasan pipa baja [6]. Pendekatan yang dilakukan yaitu berbasis
transmisibilitas untuk mendeteksi keberadaan retakan atau cacat seperti retak, dll.
Pendekatan ini memungkinkan deteksi yang mudah dari lokasi yang rusak dari
sejumlah besar sampel deteksi UPA. Kemudian, pendekatan ini juga tidak
bergantung pada jenis bahan referensi dalam mengidentifikasi dan mengukur
cacat. Pendekatan ini dilakukan pada data A-Scan. Transmisibilitas
mendefinisikan rasio antara respons struktural di lokasi yang berbeda, misalnya
rasio respons di lokasi yang rusak dan pada lokasi yang utuh yang diukur pada
waktu yang sama. Perlakuan transmibilitas dari data A-Scan yaitu
mengidentifikasi dan mengukur retak permukaan dekat ujung lasan lingkar pipa.
Untuk pengukuran ukuran retak yang cukup akurat, jarak antara probe UPA dan
lokasi retak harus berada dalam jarak 1t, di mana t menunjukkan ketebalan
dinding pipa.

Gambar 2.2. Data A-Scan pada cacat permukaan lasan pipa [6]
7

Pada tahun 2008, K. Shivaraj dkk melakukan penelitian terkait pencitraan


cacat korosi pada pipa berdasarkan gelombang ultrasonik [7]. Sistem ini divalidasi
pada pipa mulai dari 6 in hingga 24 in diameter luar, ketebalan dinding hingga 12
mm, dengan memetakan cacat sekecil diameter 1,5 mm dan ketebalan dinding
penetrasi 25%. Metode yang digunakan yaitu mode terpandu lingkaran, dengan
transduser piezoelektrik yang dipasang di atas irisan yang terbuat dari Plexiglas.
Pengaturan di buat sedemikian sehingga gelombang yang dihasilkan merambat
sepanjang keliling pipa dengan sudut yang ditentukan oleh hukum Snellius.

Gambar 2.3. Sistem inspeksi ultrasonik yang dilakukan oleh K. Shivaraj dkk [7]

Hasil menunjukkan selama tidak ada cacat, maka sinyal yang diperoleh
akan menunjukkan tinggi puncak amplitudo hanya di ujung yang ekstrim.
Kehadiran cacat ditunjukkan oleh perubahan amplitudo, data A-Scan
dikumpulkan sepanjang pipa yang diperiksa kemudian di citrakan pada cacat
dengan kedalaman 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%.

Pada tahun 2014, Shiuh-Chuan Her dkk menyelidiki efek frekuensi pada
deteksi ukuran retak permukaan pada spesimen uji [8]. Spesimen uji memiliki
kedalaman retak dari 1 mm hingga 8 mm. Gelombang longitudinal yang
digunakan terdiri dari frekuensi 2,25 MHz, 5 MHz, dan 10 MHz. Teknik yang
digunakan yaitu metode ultrasonik dengan menggabungkan domain waktu dan
spektrum frekuensi. Hasil dari pengujian di peroleh akurasi dengan kesalahan
pengukuran kurang dari 7%. Berdasarkan hasil uji eksperimen untuk retak
permukaan pendek, transduser dengan frekuensi lebih tinggi akan sangat
8

membantu. Sedangkan untuk retak permukaan panjang, transduser dengan


frekuensi lebih rendah dapat mencapai hasil yang lebih baik.

Penerapan Hukum Snellius


Ketika gelombang longitudinal bergerak dari yang lebih lambat ke
material yang lebih cepat, ada sudut datang yang membuat sudut pembiasan
gelombang longitudinal menjadi 90°. Ini adalah sudut yang dikenal sebagai sudut
kritis pertama. Sudut kritis pertama dapat ditemukan dari hukum Snellius dengan
meletakkan sudut 90° untuk sudut sinar yang dibiaskan [1]. Pada sudut kritis
kejadian, sebagian besar energi akustik dalam bentuk gelombang kompresi tidak
homogen, yang bergerak di sepanjang antarmuka dan meluruh secara
eksponensial dengan kedalaman dari antarmuka. Gelombang ini kadang-kadang
disebut sebagai "gelombang creep".

Ketika sudut datang lebih besar dari sudut kritis pertama, hanya mode
gelombang transversal yang dikonversi menyebar ke material. Oleh karena ini,
kebanyakan transduser sinar sudut (probe sudut) menggunakan gelombang
transversal sehingga sinyalnya tidak rumit dengan adanya dua gelombang. Dalam
banyak kasus ada juga sudut datang yang membuat sudut refraksi untuk
gelombang transversal menjadi 90°. Ini dikenal sebagai sudut kritis kedua dan
pada titik ini, semua energi gelombang dipantulkan atau dibiaskan ke permukaan.
9

Rangkuman dari beberapa penelitian terkait penggunaan NDT pada cacat


permukaan dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2.1. Rangkuman penelitian terkait cacat permukaan pada NDT


Tahun Nama Peneliti Tujuan Metode Hasil
2018 Wentao Li, Melakukan Menggunakan Hasil inspeksi
Zhenggan Inspeksi cacat metode menunjukkan bahwa
Zhou, dan pada bagian ultrasonic array skema desain
Yang Li permukaan lasan testing. Hasil memiliki aplikasi
disimulasikan yang baik pada
menggunakan inspeksi retak las
metode finite gesekan linier.
element Percobaan inspeksi
simullation pada ultrasonik spesimen
platform blade dengan cacat
Abaqus retak buatan dengan
berdasarkan kedalaman 0.2 mm
kombinasi dilakukan
MATLAB dan menggunakan
Python. transduser
terintegrasi dengan
32 elemen dan
frekuensi pusat
5MHz
2018 Yun-Lai Zhou, Melakukan Menggunakan Perlakuan
Xudong Qian, pengujian untuk metode transmibilitas dari
Alistair Birnie, mendeteksi dan ultrasonic data A-Scan yaitu
dan Xiao-Ling mengukur retak phased array mengidentifikasi dan
Zhao permukaan (UPA) dengan mengukur retak
melingkar di pendekatan permukaan dekat
dekat lasan pipa transmisibilitas. ujung lasan lingkar
baja pipa. Untuk
10

Tabel 2.1. Lanjutan

pengukuran ukuran
retak yang cukup
akurat, jarak antara
probe UPA dan
lokasi retak harus
berada dalam jarak
1t, di mana t
menunjukkan
ketebalan dinding
pipa.

2008 K. Shivaraj, Melakukan Menggunakan Hasil menunjukkan


Krishnan pencitraan cacat mode terpandu selama tidak ada
Balasubramani korosi pada pipa lingkaran cacat, maka sinyal
am, dan C.V. berdasarkan dengan bantuan yang diperoleh akan
Khrisnamurthy gelombang potongan menunjukkan tinggi
ultrasonik plexiglas untuk puncak amplitudo
transduser hanya di ujung yang
ekstrim. Kehadiran
cacat ditunjukkan
oleh perubahan
amplitudo, data A-
Scan dikumpulkan
sepanjang pipa yang
diperiksa kemudian
di citrakan pada
cacat dengan
kedalaman 20%,
40%, 60%, 80% dan
100%.
11

Tabel 2.1. Lanjutan

2014 Shiuh-Chuan Menyelidiki efek Menggunakan Berdasarkan hasil uji


Her, dan frekuensi pada metode eksperimen untuk
Sheng-Tung deteksi ukuran ultrasonik retak permukaan
Lin retak permukaan pendek, transduser
pada spesimen dengan frekuensi
uji lebih tinggi akan
sangat membantu.
Sedangkan untuk
retak permukaan
panjang, transduser
dengan frekuensi
lebih rendah dapat
mencapai hasil yang
lebih baik.
Kesalahan
pengukuran kurang
dari 7%.
DASAR TEORI

Non-Destructive Testing
Non Destructive Testing (NDT) adalah pemeriksaan, pengujian, atau
evaluasi yang dilakukan pada semua jenis objek pengujian tanpa mengubah atau
mempengaruhi objek itu dengan cara apa pun, untuk menentukan tidak ada atau
adanya kondisi diskontinuitas yang mungkin berdampak pada kegunaan objek
tersebut [1]. NDT juga bisa digunakan untuk mengukur karakteristik objek uji
lainnya, seperti ukuran, dimensi, konfigurasi, atau struktur termasuk kekerasan
objek uji dll.

Pengujian NDT pada kenyataannya, sering digunakan oleh setiap individu,


namun tidak menyadari hal itu sedang terjadi. Misalnya, ketika menggunakan
koin pada mesin penjual otomatis, dan pemilihan dilakukan apakah user
menginginkan snack atau minuman. Hal yang terjadi sebenarnya koin mengalami
serangkaian tes tidak merusak. Ini diperiksa untuk ukuran, berat, bentuk, dan sifat
metalurgi dengan proses yang cepat, dan jika melewati semua tes ini, maka
produk yang dibeli akan keluar pada bagian bawah pengambilan makanan. Tubuh
manusia merupakan salah satu instrumen pengujian tak merusak paling unik yang
pernah ada. Panas dapat dirasakan dengan menempatkan tangan di dekat objek
panas dan tanpa menyentuh objek tersebut, hal ini akan memberitahu bahwa ada
suhu relatif yang lebih tinggi hadir di objek tersebut. Dengan indera penciuman,
dapat ditentukan bahwa ada zat yang tidak menyenangkan hadir hanya
berdasarkan bau yang tercium oleh hidung. Tanpa mengamati objek secara kasat
mata, maka mungkin untuk menentukan kekasaran, konfigurasi, ukuran, dan
bentuk hanya melalui indera peraba. Indera pendengaran memungkinkan untuk
menganalisis berbagai bunyi dan suara, berdasarkan hasil analisis tersebut
penilaian dan keputusan yang berkaitan dengan sumber bunyi tersebut dapat
dibuat, misalnya sebelum menyebrang jalan orang dapat mendengar truk

12
13

mendekat, sehingga keputusan yang tepat adalah tidak melangkah di depan objek
besar yang bergerak ini.

Dalam NDT terdapat beberapa metode diantaranya yaitu Eddy Current


Testing (ET), Electrical Resistance Testing, Flux Leakage Testing (see under
MT), Magnetic Testing (MT), Penetrant Testing (PT), Radiographic Testing
(RT), Resonant Testing, Thermographic Testing, Ultrasonic Testing (UT), dan
Visual Testing (VT) [2].

III.1.1. Lingkup Penggunaan NDT


Dalam bidang industri, NDT dapat melakukan lebih banyak hal seperti,
deteksi dan evaluasi cacat (flaw), deteksi dan evaluasi kebocoran (leak),
metrology (pengukuran dimensi) dan evaluasi, penentuan dan evaluasi lokasi,
karakterisasi struktur dan mikrostruktur, estimasi sifat fisik dan mekanik,
penentuan stress (strain) dan dinamik respons, signature analysis, penentuan
komposisi kimia, dll.

Tahap-tahap penggunaan NDT pada bidang industri ditunjukkan pada


Gambar 3.1.

Memastikan mutu
bahan baku

Memastikan mutu produk setiap tahap


proses fabrikasi/manufakturing

Memastikan mutu produk akhir


(Sebelum digunakan)

Memastikan produk tidak bermasalah


selama digunakan

Gambar 3.1. Tahap-tahap penggunaan NDT pada bidang Industri.


14

Ultrasonic Testing
Pengujian ultrasonik adalah salah satu metode NDT yang paling penting
untuk karakterisasi material dan inspeksi cacat pada industri [9]. Ultrasonik
merupakan proses pengaplikasian suara ultrasonik terhadap benda uji dan
menentukan kemulusan, ketebalan, atau sifat-sifat fisik. Ultrasonic Testing (UT)
menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi (biasanya berkisar antara 0,5 dan
15 MHz) untuk melakukan pemeriksaan dan melakukan pengukuran. Selain
digunakan secara luas dalam aplikasi teknik (seperti deteksi / evaluasi cacat,
pengukuran dimensi, karakterisasi bahan, dll.), Ultrasonik juga digunakan dalam
bidang medis (seperti sonografi, ultrasonik terapeutik, dll.

Sistem inspeksi UT gema-pulsa khas terdiri dari beberapa unit, seperti


pulser, transduser, dan perangkat layar [10]. Pulser adalah perangkat elektronik
yang dapat menghasilkan pulsa listrik tegangan tinggi. Kemudian, transduser
menghasilkan energi ultrasonik frekuensi tinggi. Energi suara kemudian menyebar
melalui bahan-bahan dalam bentuk gelombang. Ketika ada diskontinuitas (seperti
retakan) di jalur gelombang, sebagian energi akan dipantulkan kembali dari
permukaan cacat. Sinyal gelombang yang dipantulkan diubah menjadi sinyal
listrik oleh transduser dan ditampilkan di layar. Mengetahui kecepatan
gelombang, waktu tempuh dapat langsung berhubungan dengan jarak yang dilalui
sinyal. Dari sinyal, informasi tentang lokasi reflektor, ukuran, orientasi, dan fitur
lainnya terkadang dapat diperoleh.

Gambar 3.2. Sistem inspeksi UT [10].


15

Pada uji ultrasonik, udara adalah penghantar suara yang buruk karena
kerapatan partikelnya rendah sehingga energi suara sulit merambat dari partikel ke
partikel. Oleh karena itu penting untuk menambahkan kuplan di antara transduser
dan spesimen. Kerapatan partikel suatu material menentukan cepat rambat suara.
Cepat rambat suara akan berubah saat ia merambat dari satu media ke media lain
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Cepat rambat gelombang pada medium udara, air, dan baja [10].

Perlu waktu yang lebih lama bagi gelombang suara untuk merambat di air
dibandingkan di dalam baja. Cepat rambat suara di dalam baja kurang lebih empat
kali lebih besar dibandingkan di dalam air. Panjang gelombang adalah jarak antara
dua titik yang sama pada dua gelombang yang berurutan. Panjang gelombang juga
dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh sebuah gelombang dalam satu
siklus. Simbol λ digunakan untuk menunjukkan panjang gelombang dan disebut
sebagai lambda. Panjang gelombang adalah perbandingan dari kecepatan dibagi
dengan frekuensi seperti yang ditunjukkan pada persamaan 3.1.
v
λ= (3.1)
f

Dimana: λ = panjang gelombang

v = kecepatan gelombang

f = frekuensi

Dalam prakteknya, ukuran diskontinuitas terkecil yang dapat ditemukan


dengan pengujian ultrasonic adalah ½ λ (panjang gelombang) [1]. Oleh karena itu,
untuk mendeteksi cacat yang berukuran kecil, diperlukan transduser yang
16

menghasilkan frekuensi lebih besar. Umumnya pengujian ultrasonik


menggunakan probe/transduser dengan frekuensi 0,5 MHz – 25 MHz. Ada
beberapa mode perambatan gelombang atau getaran diantaranya adalah
compression waves atau longitudinal waves, shear waves atau transverse waves,
surface waves atau disebut juga rayleigh waves.

III.2.1. Propagasi Gelombang


Pengujian ultrasonik didasarkan pada getaran di bahan yang umumnya
disebut sebagai akustik. Ketika gelombang akustik yang bergerak dalam satu
media bertemu dengan batas medium kedua, gelombang yang dipantulkan dan
ditransmisikan dihasilkan [16]. Rasio amplitudo tekanan dan intensitas gelombang
yang dipantulkan dan ditransmisikan dengan gelombang insiden tergantung pada
impedansi akustik dan kecepatan suara di dua media dan pada sudut gelombang
yang dihasilkan gelombang dengan antarmuka. Impedansi akustik sangat penting
untuk penentuan transmisi akustik dan refleksi di perbatasan dua bahan yang
memiliki impedansi akustik yang berbeda. Ketika impedansi akustik dari material
di kedua sisi batas diketahui, fraksi dari intensitas gelombang yang dipantulkan
dapat dihitung. Nilai yang dihasilkan dikenal sebagai koefisien pantulan.
Mengalikan koefisien pantulan dengan 100 menghasilkan jumlah energi yang
tercermin sebagai persentase dari energi asli.

(Z1 −Z2 )2
R= (3.2)
(Z1 +Z2 )2

Sedangkan untuk peristiwa transmisi, dapat dilihat pada persamaan 3.3

(Z1 −Z2 )2
T=1− (3.3)
(Z1 +Z2 )2

Dimana:

R : koefisien refleksi

T : koefisien transmisi
17

Z1 : impedansi akustik bahan 1

Z2 : impedansi akustik bahan 2

Semua zat material terdiri dari atom, yang dapat dipaksa menjadi gerakan
vibrasi. Akustik difokuskan pada partikel yang mengandung banyak atom yang
bergerak secara harmonis untuk menghasilkan gelombang mekanis. Pada benda
padat, gelombang suara dapat merambat dalam empat mode utama yang
didasarkan pada cara partikel berosilasi. Suara dapat merambat sebagai
gelombang longitudinal (compression), gelombang shear (transversal),
gelombang permukaan, dan material tipis seperti gelombang lempeng. Gelombang
longitudinal dan geser adalah dua mode propagasi yang paling banyak digunakan
dalam pengujian ultrasonik. Gelombang longitudinal mempunyai vibrasi partikel
dalam suatu gerakan mondar mandir dan searah dengan perambatan gelombang.
Sedangkan gelombang transversal mempunyai vibrasi partikel tegak lurus
terhadap arah gerakan gelombang. Gerakan partikel untuk propagasi gelombang
longitudinal dan transversal diilustrasikan dalam Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Arah dari pergerakan partikel pada


gelombang longitudinal dan transversal [10].
18

III.2.2. Gelombang Longitudinal


Perambatan gelombang longitudinal, sering dijumpai di batang padat.
Getaran longitudinal pada batang membantu dalam memahami gelombang
akustik. Ekspresi matematis untuk transmisi gelombang bidang akustik melalui
media fluida sangat mirip dengan transmisi gelombang kompresional di sepanjang
batang. Ketika sebuah batang dengan panjang L diberi suatu gaya maka terjadi
perpindahan partikel pada batang, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Perpindahan partikel pada batang [16].

Perpindahan partikel pada batang ini diwakili oleh persamaan 3.4, dimana
ξ diasumsikan sebagai fungsi jarak (x) sepanjang batang dan waktu (t).

ξ = ξ (x, t) (3.4)

Asumsikan bahwa gaya-gaya tersebut menyebabkan partikel x bergerak


hingga ke kanan sejauh ξ, dan partikel awalnya terletak di x + dx bergerak hingga
ke kanan sejauh ξ + dξ. Nilai positif ξ menandakan perpindahan ke kanan (dan
nilai negatif ke kiri). Setiap saat t untuk dx kecil perpindahan di x + dx dapat
diwakili oleh ekspansi deret Taylor.

∂ξ
ξ + dξ = ξ + (∂x) dx (3.5)

∂ξ
(ξ + dξ) − ξ = dξ = ( ) dx (3.6)
∂x

Regangan (strain) didefinisikan sebagai perubahan panjang ∂ξ dengan


panjang aslinya ∂x.

∂ξ
Strain = (∂x) (3.7)
19

Kekuatan kompresi diwakili oleh gaya F = F(x,t) yang ditunjukkan pada


Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Gaya kompresi pada elemen dengan panjang dx di batang [16].

Gaya kompresi (F) sepanjang luas penampang (S) didefinisikan sebagai


stress, sehingga

𝐹
𝑆𝑡𝑟𝑒𝑠𝑠 = (3.8)
S

Sebagian besar material, jika regangannya kecil, maka akan sebanding


dengan stress. Hubungan ini dikenal sebagai hukum Hooke, dengan niai E
merupakan modulus young.

𝐹 ∂ξ
= −𝐸 (∂x) (3.9)
S

Pada gelombang longitudinal, osilasi terjadi dalam arah longitudinal atau


arah perambatan gelombang. Karena gaya kompresi dan ekspansi aktif dalam
gelombang ini, maka disebut juga gelombang tekanan atau kompresi. Gelombang
longitudinal juga kadang-kadang disebut gelombang kerapatan karena kerapatan
materi berfluktuasi ketika gelombang bergerak. Gelombang ini dapat dihasilkan
dalam gas, cairan, maupun padatan karena energi bergerak melalui struktur atom
melalui serangkaian kompresi dan gerakan ekspansi. Arah dari osilasi dan
propagasi gelombang longitudinal ditunjukkan pada Gambar 3.7.
20

Gambar 3.7. Arah dari osilasi dan propagasi


gelombang longitudinal [10].

III.2.3. Gelombang Transversal (Shear Wave)


Perambatan gelombang transversal dapat juga terjadi pada sebuah batang.
Sebuah batang mampu bergetar secara melintang, sebagai contoh jika sebuah
batang tipis yang panjang ditopang pada bagian tengahnya kemudian diberikan
gaya berupa pukulan oleh sebuah palu yang diarahkan sepanjang sumbu batang,
maka hasil dari pukulan tersebut akan menghasilkan getaran yang secara garis
besar melintang dari pada getaran longitudinal.

Gambar 3.8. Pembengkokan strain dan stress diatur oleh perpindahan


melintang di ujung elemen batang [16].

Sebuah batang lurus dengan panjang L, memiliki penampang S, dengan


koordinat x mengukur posisi di sepanjang bar, dan y mengoordinasikan
perpindahan melintang bar dari konfigurasi normal. Ketika batang ditekuk seperti
21

ditunjukkan pada Gambar 3.8, bagian bawah dikompresi dan bagian atas
diregangkan. Pada suatu tempat antara bagian atas dan bagian bawah batang akan
ada sumbu netral yang panjangnya tidak berubah. Pada Gambar 3.8, segmen
batang dengan panjang dx, diasumsikan bahwa lengkungan batang diukur oleh
∂ξ
jari-jari kelengkungan R dari sumbu netral, sehingga 𝛿x = (∂x) dx menjadi

pertambahan panjang, akibat tekukan dari filamen batang yang terletak pada jarak
r dari sumbu netral. Ketika gaya longitudinal df diberikan ditunjukkan pada
persamaan 3.10.

𝛿x ∂ξ
𝑑𝑓 = −E 𝑑𝑆 (dx) = −E 𝑑𝑆 (∂x) (3.10)

Berdasarkan geometri pada Gambar 3.8, maka (dx + 𝛿x) / (R + r) = dx / R


dan karenanya 𝛿x / dx = r / R. Substitusi ke dalam persamaan 3.10, sehingga

E
𝑑𝑓 = − (R) r 𝑑𝑆 (3.11)

Total gaya longitudinal f = ∫ 𝑑𝑓 adalah nol, gaya negatif di atas sumbu


netral saling meniadakan oleh gaya positif di bawahnya. Momen pembengkokan
M, hadir pada sebuah batang.

E
M = ∫ r 𝑑𝑓 = − (R) ∫ r 2 𝑑𝑆 (3.12)

Konstanta (k) atau jari-jari girasi dapat didefinisikan sebagai berikut,

k2 = 1/S ∫ r 2 𝑑𝑆 (3.13)

Sehingga nilai M menjadi,

M = −ESk 2 /R (3.14)
22

Pada gelombang transversal atau geser, partikel berosilasi melintang ke


arah propagasi. Gelombang geser membutuhkan bahan padat untuk perambatan
yang efektif, dan oleh karena itu, tidak terlalu efektif dalam bahan seperti cairan
atau gas. Gelombang geser relatif lemah jika dibandingkan dengan gelombang
longitudinal. Kecepatan gelombang geser melalui material kira-kira setengah dari
gelombang longitudinal. Faktanya, gelombang geser biasanya dihasilkan dalam
material yang menggunakan sebagian energi dari gelombang longitudinal. Arah
dari osilasi dan propagasi gelombang transversal ditunjukkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.9. Arah dari osilasi dan propagasi gelombang


transversal [10].

III.2.4. Gelombang Permukaan (Rayleigh Wave)


Gelombang permukaan atau biasa disebut gelombang rayleigh merupakan
jenis gelombang yang bergerak di dekat permukaan benda padat. Gelombang
Rayleigh termasuk gerakan longitudinal dan transversal [11]. Pada padatan
isotropik, gelombang ini menyebabkan partikel-partikel permukaan bergerak
dalam bentuk elips pada bidang yang normal ke permukaan. Gelombang
permukaan bergerak pada permukaan material padat, menembus hingga ke
kedalaman λ (1 panjang gelombang). Gelombang permukaan menggabungkan
gelombang longitudinal dan transversal untuk membuat gerakan orbit elips
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.7.
23

Gambar 3.10. Arah dari propagasi gelombang Rayleigh [11]

Gelombang permukaan atau gelombang Rayleigh terbentuk ketika


gelombang transversal membiaskan ke 90˚. Gelombang rayleigh dihasilkan ketika
gelombang longitudinal memotong permukaan dekat sudut kritis kedua dan
bergerak dengan kecepatan antara 0,87 dan 0,95 dari gelombang transversal [11].
Gelombang permukaan berguna karena sangat sensitif terhadap cacat permukaan
(dan fitur permukaan lainnya) dan gelombang ini mengikuti permukaan di sekitar
kurva. Karena itu, gelombang permukaan dapat digunakan untuk memeriksa area
yang gelombangnya mungkin sulit dijangkau. Gelombang permukaan memiliki
kemampuan untuk mengikuti kontur permukaan, sampai bertemu dengan
perubahan yang tajam seperti retakan permukaan. Gambar 3.11 mengilustrasikan
pergerakan dari gelombang permukaan.

Gambar 3.11. Gelombang permukaan mengikuti kontur permukaan pada


spesimen [11].
24

Koefisien refleksi Rayleigh sangat penting untuk mencatat konsekuensi


kecepatan gelombang pada material 1, dan kecepatan gelombang pada material 2
[16].

Gambar 3.12. Transmisi dan pantulan gelombang pada batas planar


antara fluida dengan impedansi karakteristik yang berbeda [16].

1. Jika v1>v2 sudut transmisi adalah nyata dan kurang dari sudut kejadian.
Gelombang yang ditransmisikan ditekuk ke arah normal untuk semua sudut
datang.

2. Jika v1<v2, dan Ɵi<Ɵc dimana Ɵc sudut kritis , ditentukan oleh

Sin Ɵc = v1/v2 (3.15)

Gelombang yang ditransmisikan ditekuk menjauh dari normal untuk semua


sudut insiden kurang dari sudut kritis.
25

Impedansi Akustik
Impedansi akustik sangat penting untuk penentuan transmisi akustik dan
refleksi di perbatasan dua bahan yang memiliki impedansi akustik yang berbeda.
Impedansi akustik (Z) dari suatu material didefinisikan sebagai massa jenis suatu
bahan (ρ) dan kecepatan suara dalam material tersebut (V).

Z = 𝜌. V (3.16)

Dimana:

Z: impedansi akustik (kg/m2s) atau (N.s/m3)

𝜌: massa jenis (kg/m3)

V: kecepatan suara (m/s)

Unit MKS dari impedansi akustik spesifik adalah Pa.s/m, sering disebut
rayl (1 MKS rayl = 1 Pa.s/m) untuk menghormati John William Strutt, Baron
Rayleigh (1842-1919). Tabel 3.1 memberikan contoh impedansi akustik untuk
beberapa bahan.

Tabel 3.1. Impedansi akustik pada beberapa bahan [10].

Impedansi akustik ini penting dalam penentuan transmisi akustik dan


refleksi pada batas dua bahan yang memiliki impedansi akustik yang berbeda,
desain transduser ultrasonik dan menilai penyerapan suara dalam suatu media.

Probe
Konversi pulsa listrik menjadi getaran mekanis dan konversi getaran
mekanik yang dikembalikan menjadi energi listrik adalah dasar untuk pengujian
ultrasonik. Elemen aktif adalah jantung dari transduser karena mengubah energi
listrik menjadi energi akustik, dan sebaliknya.
26

Elemen aktif dari kebanyakan transduser akustik yang digunakan saat ini
adalah keramik piezoelektrik, yang dapat dipotong dengan berbagai cara untuk
menghasilkan mode gelombang yang berbeda. Sebelum munculnya keramik
piezoelektrik pada awal 1950-an, kristal piezoelektrik yang terbuat dari kristal
kuarsa dan bahan magnetostriktif terutama digunakan. Ketika keramik
piezoelektrik diperkenalkan, mereka segera menjadi bahan dominan untuk
transduser karena sifat piezoelektriknya yang baik dan kemudahan pembuatannya
menjadi berbagai bentuk dan ukuran.

Ketebalan elemen aktif ditentukan oleh frekuensi transduser yang


diinginkan. Elemen wafer yang tipis bergetar dengan panjang gelombang dua kali
ketebalannya. Oleh karena itu, kristal piezoelektrik dipotong hingga ketebalan ½
panjang gelombang yang diinginkan terpancar. Semakin tinggi frekuensi
transduser, semakin tipis elemen aktifnya. Alasan utama mengapa transduser
kontak frekuensi tinggi tidak diproduksi adalah karena elemen ini sangat tipis dan
terlalu rapuh.

Frekuensi transduser adalah faktor penting dalam pemakaiannya. Makin


tinggi frekuensi transduser, makin kecil penyebaran berkas suaranya, dan makin
besar sensitifitas dan resolusinya. Apabila gelombang suara menyebar seperti
Gambar 3.13, maka hanya sedikit energi suara yang dipantulkan dari sebuah
diskontinuitas berukuran kecil.

Gambar 3.13. Perbedaan frekuensi transduser [11]


.
Semakin rendah frekuensi, makin dalam penetrasi energi suara karena
makin sedikit hamburannya. Penyebaran berkas suara yang lebar membantu
27

mendeteksi pemantul yang tidak tegak lurus terhadap sumbu berkas suara.
Ketebalan kristal juga mempengaruhi frekuensi transduser. Makin tinggi frekuensi
transduser, makin tipis kristalnya. Pada saat transduser memancarkan pulsa,
kristal piezoelektrik nya bergetar dalam jangka waktu tertentu dan tidak dapat
menerima pantulan hingga Kristal tersebut berhenti bergetar (fungsinya sebagai
pemancar terpenuhi). Jangka waktu dimana kristal masih bergetar menimbulkan
dead zone pada permukaan depan material dimana diskontinuitas tidak akan
terdeteksi. Besar dead zone setara dengan waktu getarnya dan ditunjukkan pada
layar melalui lebar bagian dasar dari indikasi pulsa awal.

Gambar 3.14. Dead zone pada uji ultrasonik [11]

III.4.1. Probe Normal


Probe ini hanya memiliki satu elemen piezoelektrik tunggal (transduser),
yang diaktifkan secara bergantian sebagai pemancar dan penerima [12].

Gambar 3.15. Probe normal [12]


28

Ketika pulsa ultrasonik telah sepenuhnya ditransmisikan, elemen


piezoelektrik dapat beralih kembali ke mode terima setelah periode redaman
pendek dari kristal piezoelektrik berosilasi. Selama periode waktu ini, pulsa
ultrasonik yang dipancarkan telah merambat dalam bahan uji dan mungkin telah
tercermin pada ketidaksempurnaan. Namun, probe tidak dapat menerima
gelombang yang dipantulkan ini sama sekali, karena probe belum beralih ke
"mode terima". Periode waktu di mana tidak ada sinyal dapat diterima juga
disebut sebagai waktu mati. Waktu mati terdiri dari waktu transmisi pulsa
ultrasonik dan waktu redaman sampai osilasi kristal piezoelektrik telah
diselesaikan sebelum probe dapat diaktifkan untuk menerima gelombang
pantulan. Sehubungan dengan kecepatan suara, waktu mati menghasilkan zona
mati yang disebut di bawah permukaan benda kerja. Ketidaksempurnaan dalam
zona mati ini tidak dapat dideteksi oleh probe.

Probe normal secara bergantian mengirim dan menerima gelombang


ultrasonic, sehingga probe ini kurang cocok untuk menguji ketidaksempurnaan
permukaan dekat, karena "zona mati" yang dihasilkan. Untuk menjaga zona mati
ke minimum, probe harus beralih ke mode terima secepat mungkin setelah
memancarkan pulsa ultrasonik. Kristal piezoelektrik yang bergetar harus sangat
teredam setelah emisi. Karena itu, blok peredam (backing) terletak di bagian
belakang kristal, yang menghentikan getaran secepat mungkin setelah pulsa yang
dipancarkan. Pada saat yang sama, osilasi seluruh probe (karena gelombang suara
yang dipancarkan dari bagian belakang elemen piezoelektrik) dihindari.

Sebagai pelindung mekanis, kristal piezoelektrik dipisahkan dari


permukaan benda kerja atau dari zat kopling yang diterapkan oleh pelat penahan
aus. Lapisan perlindungan ini mencegah kerusakan pada elemen piezoelektrik
selama pengujian ultrasonik.. Probe untuk permukaan benda kerja yang halus
biasanya dilengkapi dengan lapisan pelindung yang lebih keras (lebih tahan aus),
sedangkan untuk permukaan benda kerja yang kasar digunakan lapisan pelindung
yang agak lebih lembut (kurang disipatif suara).
29

Gambar 3.16. Komponen-komponen pada probe normal [12]

III.4.2. Probe Sudut


Probe sudut memancarkan gelombang suara ke benda kerja pada sudut
tertentu terhadap garis normal. Sudut yang sering digunakan pada probe sudut
adalah 45 °, 60 ° dan 70 °.

Gambar 3.17. Probe sudut [12]


30

Gambar 3.18. Komponen-komponen pada probe sudut [12].

Secara umum, probe sudut dilengkapi dengan delay lines, yang kemudian
juga disebut sebagai delay wedges. Probe sudut juga dapat dilengkapi dengan
probe TR, yang disebut probe transmit-receive sudut. Berikut komponen-
komponen yang terdapat pada probe sudut ditunjukkan pada Gambar 3.18.

Pada probe sudut, gelombang suara yang dipancarkan biasanya merambat


lebih lambat dalam delay wedges (atau di pelat penahan aus) dari pada di benda
kerja, kemudian terjadi pembiasan terhadap garis normal. Selanjutnya, gelombang
suara tidak lagi merambat sebagai gelombang longitudinal tetapi sebagai
gelombang transversal. Komponen gelombang longitudinal benar-benar tercermin
pada batas karena kecepatan propagasi yang sangat berbeda.

Probe sudut hanya digunakan untuk menentukan lokasi dan besar cacat
yang memiliki permukaan yang membentuk sudut terhadap permukaan benda uji.
Probe sudut tidak biasa digunakan untuk mengukur tebal benda yang diuji. Hal
yang memudahkan dalam pengukuran dengan probe sudut adalah bahwa dari satu
cacat umumnya hanya menghasilkan satu indikasi, sehingga mudah dianalisa.
Penentuan lokasi cacat dengan probe sudut memerlukan ketelitian yang lebih baik
dibandingkan dengan probe normal untuk itu probe harus digerakkan maju
mundur sambil diputar kekiri dan kekanan agar diperoleh amplitudo maksimum
dan dapat dibaca pada layar.
31

Kuplan
Kuplan adalah bahan (biasanya cair) yang memfasilitasi transmisi energi
ultrasonik dari transduser ke dalam spesimen uji. Kuplan berfungsinya untuk
memudahkan merambatnya gelombang dari probe ke dalam benda uji. Karena bila
antara probe dan benda uji terdapat udara maka hampir 100% gelombang akan
dipantulkan kemnbali kedalam probe dan gelombang dipantulkan akan lebih
banyak menyebar dibandingkan fokus kepada cacat pada material [13]. Agar tebal
kuplan yang terletak antara probe dan benda uji tetap, tekanan yang diberikan
pada probe harus konstan sehingga tidak mempengaruhi amplitudo dari indikasi
yang timbul pada layar. Gambar 3.15 akan menunjukkan penggunaan kuplan pada
uji ultrasonik.

Gambar 3.19. Penempatan kuplan pada uji


ultrasonik [13]

Jenis-Jenis Kuplan yang biasa digunakan pada pengujian ultrasonik:

a. Kuplan untuk test celup (immersion testing):


• Pada test celup air bersih dapat digunakan
b. Kuplan untuk pengujian kontak langsung:
• Permukaan halus mendatar: Gliserin
• Permukaan agak kasar dan mendatar: Oli
• Permukaan sangat kasar dan tegak: Grease
• Permukaan panas: Grease
32

Metode Kalibrasi
Metode kalibrasi yang digunakan berupa kalibrasi pada alat UT untuk
pengaturan eksperimen. Kalibrasi ini mengatur ketepatan pembacaan dari sinyal
cacat yang terbaca pada material. Material hanya berfungsi sebagai spesimen yang
akan diuji. Ketepatan pembacaan pada layar diatur dengan menaikkan probe delay
sehingga pembacaan sinyal tepat pada nilai yang seharusnya.

Kalibrasi mengacu pada tindakan mengevaluasi dan menyesuaikan


ketepatan dan keakuratan peralatan pengukuran [14]. Dalam pengujian ultrasonik,
beberapa bentuk kalibrasi harus terjadi. Pertama, peralatan elektronik harus
dikalibrasi untuk memastikan bahwa mereka berkinerja seperti yang dirancang..
Biasanya juga diperlukan bagi operator untuk melakukan "kalibrasi pengguna"
peralatan. Kalibrasi pengguna ini diperlukan karena sebagian besar peralatan
ultrasonik dapat dikonfigurasi ulang untuk digunakan dalam berbagai macam
aplikasi. Pengguna harus "mengkalibrasi" sistem, yang mencakup pengaturan
peralatan, transduser, dan pengaturan pengujian, untuk memvalidasi bahwa
tingkat presisi dan akurasi yang diinginkan tercapai. Istilah standar kalibrasi
biasanya hanya digunakan ketika nilai absolut diukur dan dalam banyak kasus,
standar dapat dilacak kembali ke standar di Institut Nasional untuk Standar dan
Teknologi.

Dalam pengujian ultrasonik, ada juga kebutuhan untuk standar referensi.


Standar referensi digunakan untuk menetapkan tingkat konsistensi umum dalam
pengukuran dan untuk membantu menafsirkan dan mengukur informasi yang
terkandung dalam sinyal yang diterima. Standar referensi digunakan untuk
memvalidasi bahwa peralatan dan pengaturan memberikan hasil yang serupa dari
satu hari ke hari berikutnya dan bahwa hasil yang sama dihasilkan oleh sistem
yang berbeda. Standar referensi juga membantu inspektur untuk memperkirakan
ukuran cacat. Dalam pengaturan jenis gema pulsa, kekuatan sinyal tergantung
pada ukuran cacat dan jarak antara cacat dan transduser. Inspektur dapat
menggunakan standar referensi dengan cacat yang diinduksi secara buatan dari
ukuran yang diketahui dan pada jarak yang hampir sama untuk transduser untuk
33

menghasilkan sinyal. Dengan membandingkan sinyal dari standar referensi


dengan yang diterima dari cacat sebenarnya, inspektur dapat memperkirakan
ukuran cacat. Kalibrasi dan standar referensi untuk pengujian ultrasonik tersedia
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Jenis standar yang digunakan tergantung pada
aplikasi NDE dan bentuk objek yang dievaluasi. Blok-blok referensi yang biasa
digunakan untuk kalibrasi uji ultrasonik antara lain blok V1 dan blok V2.

III.6.1. Blok Kalibrasi V1


Blok kalibrasi V1 digunakan untuk kalibrasi transduser atau probe pada
ultrasonic testing. Blok ini terbuat dari baja karbon rendah berbutir halus dengan
koefisien redaman kecil. Blok kalibrasi V1 atau blok IIW (International Institute
of Welding) V1. Blok ini berfungsi untuk memverifikasi besarnya jarak, sudut
probe dan lokasi exit point, dan memeriksa resolusi transduser.

(a)

(b)

Gambar 3.20. (a) Blok kalibrasi V1 (b) Dimensi blok kalibrasi V1


34

Blok kalibrasi ini memungkinkan untuk:

 Menentukan titik penyisipan osilasi ultrasonik dan jarak dari pelat


piezoceramic ke rumah probe dengan akurasi ± 0,5mm
 Menentukan sudut input dari osilasi ultrasonik dengan akurasi ± 1 derajat sudut
 Menentukan linearitas pemindaian ultrasonik secara horizontal
 Mengkonfigurasi kecepatan dan kepekaan dari pemindaian sinar lurus, sudut
balok dan transduser piezoelektrik elemen ganda

III.6.2. Blok Kalibrasi V2


Blok kalibrasi V2 juga digunakan untuk kalibrasi transduser atau probe
pada ultrasonic testing. Blok sudut miniatur V2 ini biasa dipakai untuk
mengkalibrasi perangkat saat pemeriksaan menggunakan probe sudut. Blok
miniatur V2 dimaksudkan untuk pemakaian saat pekerjaan di lapangan dan tidak
selengkap blok IIW V1 yang lebih besar. Blok kalibrasi ini memungkinkan untuk:

 Mengkalibrasi pemindaian detector cacat melalui kecepatan ekspansi


gelombang ultrasonik, bekerja dengan transduser piezoelektrik lurus
 Mengkalibrasi pemindaian detektor cacat melalui kecepatan ekspansi
gelombang ultrasonik, bekerja dengan transduser piezoelektrik sudut balok
 Mengatur sensitivitas bersyarat dari detektor cacat ultrasonik dengan sinar
lurus dan sudut balok transduser piezoelektrik
 Menentukan titik output osilasi ultrasonik dan jarak dari pelat piezoceramic
ke rumah probe

Gambar 3.21. Blok kalibrasi V2


35

Refraksi dan Hukum Snellius


Ketika gelombang ultrasonik melewati antarmuka antara dua bahan pada
sudut miring, dan bahan memiliki impedansi akustik yang berbeda, maka
gelombang yang dipantulkan dan dibiaskan akan dihasilkan. Ini juga terjadi
dengan cahaya, itulah sebabnya objek yang terlihat di antarmuka tampak bergeser
relatif ke tempat mereka sebenarnya. Misalnya, ketika melihat lurus ke bawah ke
objek di dasar segelas air, benda itu terlihat lebih dekat dari pada sebenarnya. Cara
yang baik untuk memvisualisasikan bagaimana pembiasan cahaya dan suara
adalah dengan menyinari lampu senter ke dalam mangkuk berisi air yang agak
keruh dengan memperhatikan sudut refraksi sehubungan dengan sudut datang.

Rasio amplitudo tekanan dan intensitas gelombang yang dipantulkan dan


ditransmisikan dengan gelombang insiden tergantung pada impedansi akustik dan
kecepatan suara di dua media dan pada sudut gelombang yang dihasilkan dengan
antarmuka [16]. Ketika impedansi akustik pada medium 1 dan medium 2
mempunyai nilai yang sama, maka terjadi transmisi lengkap.

Pembiasan terjadi pada antarmuka dua bahan karena perbedaan dalam


kecepatan akustik antara kedua bahan. Gambar 3.18 menunjukkan kasus di mana
gelombang suara yang bepergian dalam satu material memasuki material kedua
yang memiliki kecepatan akustik yang lebih tinggi. Ketika gelombang bertemu
antarmuka antara dua bahan ini, bagian dari gelombang dalam materi kedua
bergerak lebih cepat dari pada bagian dari gelombang yang masih di bahan
pertama. Akibatnya, hal ini menyebabkan gelombang menekuk dan mengubah
arahnya. Peristiwa ini disebut refraksi.
36

Gambar 3.22. Peristiwa refraksi ketika gelombang


melewati permukaan bahan berbeda [10]
Hukum Snellius menggambarkan hubungan antara sudut dan kecepatan
gelombang. Hukum Snellius menyamakan rasio kecepatan material V1 dan V2
dengan rasio sinus insiden (θ1 ) dan sudut bias (θ2 ), seperti yang ditunjukkan
dalam persamaan 3.2 berikut dan ditunjukkan pada Gambar 3.19.

Sin θ1 Sin θ2
= (3.2)
V L1 V L2

Gambar 3.23. Pemodelan hukum Snellius

Dimana:

VL1 : Kecepatan gelombang longitudinal pada material 1

VL2 : Kecepatan gelombang longitudinal pada material 2


37

θ1 : Sudut datang gelombang

θ2 : Sudut bias gelombang

Pada Gambar 3.19, terdapat gelombang longitudinal yang dipantulkan.


Gelombang ini tercermin pada sudut yang sama dengan gelombang datang karena
kedua gelombang tersebut bergerak dalam material yang sama, dan karenanya
memiliki kecepatan yang sama. Gelombang pantulan ini tidak penting dalam
penjelasan tentang Hukum Snellius, tetapi harus diingat bahwa sebagian energi
gelombang tercermin di antarmuka.

Ketika suara bergerak dalam material padat, bentuk energi gelombang


dapat diubah menjadi bentuk lain. Misalnya, ketika gelombang longitudinal
mengenai antarmuka pada suatu sudut, sebagian energi dapat menyebabkan
pergerakan partikel dalam arah melintang untuk memulai gelombang transversal.
Konversi mode terjadi ketika gelombang bertemu antarmuka antara bahan dari
impedansi akustik yang berbeda. Dengan demikian, Hukum Snellius berlaku
untuk gelombang transversal serta gelombang longitudinal, serta dapat ditulis
pada persamaan 3.2 dan ditunjukkan pada Gambar 3.20.

Sin θ1 Sin θ2 Sin θ3 Sin θ4


= = = (3.3)
V L1 V L2 VS1 VS2

Gambar 3.24. Pemodelan hukum Snellius terhadap


gelombang longitudinal dan transversal
38

Dimana:

VL1 : Kecepatan gelombang longitudinal pada material 1

VL2 : Kecepatan gelombang longitudinal pada material 2

VS1 : Kecepatan gelombang transversal pada material 1

VS2 : Kecepatan gelombang transversal pada material 2

θ1 : Sudut datang gelombang longitudinal

θ2 : Sudut bias gelombang longitudinal

θ3 : Sudut gelombang transversal yang dipantulkan

θ4 : Sudut bias gelombang transversal

III.7.1. Sudut Kritis


Ketika gelombang longitudinal bergerak dari yang lebih lambat ke
material yang lebih cepat, ada sudut datang yang membuat sudut pembiasan
gelombang longitudinal menjadi 90°. Ini adalah sudut yang dikenal sebagai sudut
kritis pertama. Sudut kritis pertama dapat ditemukan dari hukum Snellius dengan
meletakkan sudut 90° untuk sudut sinar yang dibiaskan. Pada sudut kritis
kejadian, sebagian besar energi akustik dalam bentuk gelombang kompresi tidak
homogen, yang bergerak di sepanjang antarmuka dan meluruh secara
eksponensial dengan kedalaman dari antarmuka. Gelombang ini kadang-kadang
disebut sebagai "gelombang creep". Karena sifatnya yang tidak homogen dan
fakta bahwa mereka membusuk dengan cepat, gelombang creep tidak digunakan
secara luas seperti gelombang permukaan Rayleigh di NDT.

Ketika sudut datang lebih besar dari sudut kritis pertama, hanya mode
gelombang transversal yang dikonversi menyebar ke material. Oleh karena ini,
kebanyakan transduser sinar sudut (probe sudut) menggunakan gelombang
transversal sehingga sinyalnya tidak rumit dengan adanya dua gelombang. Dalam
banyak kasus ada juga sudut datang yang membuat sudut refraksi untuk
39

gelombang transversal menjadi 90°. Ini dikenal sebagai sudut kritis kedua dan
pada titik ini, semua energi gelombang dipantulkan atau dibiaskan ke permukaan.

Gambar 3.21 menunjukkan mode gelombang yang dimasukkan ke


permukaan baja sebagai fungsi dari sudut datangnya gelombang yang dihasilkan
oleh transduser. Dapat dilihat dari gambar bahwa sudut datang untuk transduser
beam angle (shear) berkisar antara 30° hingga 55°. Tetapi, karena pembiasan,
sudut gelombang transversal di dalam material sama sekali berbeda dari sudut
datang.

Gambar 3.25. Sudut kritis 1 dan kritis 2 pada angle beam [12]

Diskontinuitas
Discontinuities defect adalah ketidaksempurnaan suatu bahan/material
akibat dari suatu proses pengerjaan bahan mulai dari raw material sampai dengan
bahan tersebut digunakan. Terdapat gangguan pada struktur fisik material, seperti
celah, retakan, dan porositas. Dalam prakteknya, ukuran diskontinuitas terkecil
yang dapat ditemukan dengan pengujian ultrasonik adalah ½ λ (panjang
gelombang). Oleh karena itu, untuk mendeteksi cacat yang berukuran kecil,
diperlukan transduser yang menghasilkan frekuensi lebih besar. Umumnya
pengujian ultrasonik menggunakan probe/transduser dengan frekuensi 0,5 MHz –
25 MHz.
40

Dalam pengujian ultrasonik, seringkali dimungkinkan untuk mendekati


ukuran diskontinuitas yang sebenarnya, selama ukurannya lebih besar dari
diameter berkas suara. Diskontinuitas akan memantulkan kembali seluruh energi
suara seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22.

Gambar 3.26. Scanning diskontinuitas [12]

Dengan melakukan scan pada batas-batas diskontinuitas, dapat diperoleh


informasi mengenai bentuk dan ukurannya. Operator ultrasonik biasanya
mengamati ketinggian pulsa pantulan dari diskontinuitas. Posisi probe pada benda
uji dimana tinggi pantulan turun setengahnya menunjukkan bahwa separo berkas
suara mengenai diskontinuitas, seperti terlihat dalam gambar di atas sebelah
kanan. Ini berarti bahwa sumbu akustik berada tepat pada perbatasan
diskontinuitas. Posisi probe ditandai dan operator menentukan titik-titik batas
berikutnya hingga terbentuk kontur diskontinuitas dengan menyambungkan titik-
titik tersebut.
PELAKSANAAN PENELITIAN

Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Penelitian dilakukan di bengkel mekanik, Sekolah Tinggi Teknologi
Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Yogyakarta. Waktu penelitian di mulai
tanggal 1 April 2019 – tanggal 13 September 2019.

Alat dan Bahan Penelitian


IV.2.1. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah sebagai
berikut:

1. Alat untuk pengujian dan pengambilan data:


a. Ultrasonic Testing (UT) dengan merek Krautkramer USM 36,
untuk melakukan uji tak merusak guna mendeteksi cacat
permukaan yang terdapat pada specimen uji.
Spesifikasi dari UT Krautkramer USM 36 adalah sebagai berikut:
 Probe delay : 0 - 1000 μs
 Velocity : 250 – 16.000 m/s
 Ukuran layar : 7”
 Resolution (WxH) : 800 x 480 pixels
 Temperatur operasi : -10˚C hingga 55˚C

Spesifikasi lengkap dari UT krautkramer USM 36 terlampir pada


lampiran A.

b. Probe normal dengan frekuensi 4 MHz, dengan diameter probe


sebesar 14,5 mm.
c. Probe sudut 60˚ dan probe sudut 70˚ dengan frekuensi 4 MHz,
dengan panjang probe sebesar 25 mm dan lebar probe 15 mm.

41
42

d. Acrylic wedges.
e. Mistar digunakan untuk validasi jarak cacat yang sebenarnya ke
titik indeks transduser.
f. Smartphone jenis Samsung C9 pro untuk merekap data pengukuran
yang tampil pada layar UT.
g. Laptop digunakan dalam pengolahan data menggunakan Microsoft
Excel dan data penulisan laporan tugas akhir menggunakan
Microsoft Word.
2. Alat untuk pembuatan acrylic wedges, menggunakan mesin frais

IV.2.2. Bahan Penelitian


Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah
sebagai berikut:

1. Bahan yang digunakan sebagai spesimen uji dalam penelitian ini adalah
a. Pelat mild steel sonaspection dengan spesimen ID PL 27492 dengan
dimensi spesimen uji seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Spesifikasi dari bahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran D1.

Gambar 4.1. Spesimen uji mild steel PL 27492.

Panjang spesimen uji = 20 cm.


Lebar spesimen uji = 10 cm.
43

Tebal spesimen uji = 2 cm.


Angka 1 menunjukkan adanya cacat tipe toe crack dengan panjang cacat
sebesar 20 mm. Angka 2 menunjukkan adanya cacat tipe lack of side wall
fusion dengan panjang cacat sebesar 18 mm.

b. Pelat baja karbon sonaspection dengan spesimen ID T 27488 dengan


dimensi spesimen uji seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Spesifikasi dari bahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran D2.

Gambar 4.2. Spesimen uji mild steel T 27488.

Panjang spesimen uji = 20 cm.


Tinggi spesimen uji = 10 cm.
Tebal spesimen uji = 2 cm.
Angka 1 menunjukkan adanya cacat tipe porosity dengan panjang cacat
sebesar 13 mm.
Angka 2 menunjukkan adanya cacat tipe toe crack dengan panjang cacat
sebesar 20 mm.
44

c. Pipa stainless steel

Gambar 4.3. Pipa stainless steel


Pipa ini memiliki panjang 110 cm, dengan diameter dalam 3,5 cm dan
ketebalan 1 mm. Terdiri atas 3 cacat, dengan jarak 10 cm tiap cacatnya.

2. Kuplan yang digunakan sebagai media transmisi energi ultrasonik dari


transduser ke spesimen dalam penelitian ini adalah oli/pelumas yang
disediakan oleh Laboratorium Mekanik STTN-BATAN.

3. Blok kalibrasi V1 dan blok kalibrasi phased array. Blok phased array tetap
bisa digunakan untuk kalibrasi, karena yang perlu di perhatikan adalah bahan
dari blok kalibrasi, yaitu carbon steel serta jarak cacat yang ada di blok
kalibrasi.
45

Tata Laksana Penelitian


Proses penelitian dilakukan dengan tahap-tahap sesuai dengan alur-alur
yang digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 4.5.

Mulai

Studi literatur

Menentukan sudut acrylic


wedges dan dimensi lainnya

Pembuatan acrylic wedges

Mempersiapkan spesimen uji dengan


material mild steel dan stainless steel

Kalibrasi alat

Pengujian spesimen dengan


ultrasonic testing

Analisis dan
pembahasan

Pembuatan laporan

Selesai

Gambar 4.4. Tahapan pelaksanaan penelitian


Tugas Akhir
46

IV.3.1. Studi Literatur


Studi literatur merupakan tahap dimana peneliti mengkaji penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan terkait mendeteksi cacat permukaan
menggunakan uji ultrasonik NDT. Tahap ini dilakukan untuk membentuk
landasan pemahaman terhadap dasar teori, penggunaan metode, dan cara
mengevaluasi hasil penelitian. Sumber informasi yang dikaji berupa tulisan
publikasi riset terdahulu, buku teks, skripsi, dan artikel dari internet. Fokus studi
literatur pada penelitian ini adalah dasar hukum snellius, gelombang permukaan,
dan deteksi cacat permukaan pada probe normal dan probe sudut dengan
pendekatan acrylic wedges pada uji ultrasonik NDT.

IV.3.2. Acrylic Wedges


Acrylic wedges atau yang biasa disebut acrylic shoes merupakan suatu
pendekatan/cara agar gelombang yang dibiaskan (gelombang transversal) pada
spesimen uji membentuk sudut 90˚ terhadap garis normal, dengan begitu
gelombang yang dibiaskan akan berubah menjadi gelombang
permukaan/gelombang rayleigh.

Pada penelitian ini, penulis membuat enam buah acrylic wedges


diantaranya untuk probe normal uji spesimen steel mild, probe normal uji
spesimen stainless steel, probe sudut 60˚ uji spesimen steel mild, probe sudut 60˚
uji spesimen stainless steel, probe sudut 70˚ uji spesimen steel mild, dan probe
sudut 70˚ uji spesimen stainless steel.

Pembuatan acrylic wedges ini berlandaskan pada hukum Snellius. Sudut


bias gelombang transversal harus sebesar 90˚ terhadap garis normal, sehingga
terbentuk sudut kritis kedua dan menghasilkan gelombang permukaan yang
ditunjukkan pada Gambar 4.6.
47

Sudut datang
gelombang

V1

V2
Akrilik Gelombang transversal
yang dibiaskan
Spesimen uji
Ɵ2 = 90˚

Gambar 4.5. Penerapan hukum Snellius untuk


menentukan sudut datang pada acrylic wedges

Menentukan kecepatan V1 atau kecepatan gelombang yang melewati


bahan akrilik diperoleh berdasarkan hasil pengukuran langsung menggunakan UT
yaitu sebesar 2778 m/s. Probe diletakkan pada bahan akrilik yang sudah diketahui
ketebalannya sebesar 2 cm, kemudian nilai ketebalan yang terbaca pada layar
harus sebesar 2 cm, jika pembacaan tidak pada 2 cm maka diatur kecepatan
gelombang merambat sehingga diperoleh nilai 2778 m/s. Kecepatan gelombang
transversal pada spesimen mild steel sebesar 3200 m/s dan pada spesimen
stainless steel sebesar 3100 m/s, nilai ini berdasarkan kecepatan gelombang pada
UT. Nilai kecepatan gelombang transversal ini berdasarkan kecepatan yang ada
pada UT krautkramer USM 36 yang digunakan. Persamaan 4.1 akan mencari
besar sudut datang yang melewati spesimen mild steel. Sedangkan persamaan 4.2
akan mencari besar sudut datang yang melewati spesimen stainless steel.

Sin θ1,akrilik Sin θ2,𝑚𝑖𝑙𝑑 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙


=
V1,akrilik V2,𝑚𝑖𝑙𝑑 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙

Sin θ1,akrilik Sin 90˚


=
2778 m/s 3100 m/s
θ1,akrilik = 60,2˚ (4.1)
48

Dimana: θ1,akrilik = sudut datang gelombang pada bahan akrilik

θ2,𝑚𝑖𝑙𝑑 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙 = sudut bias gelombang pada bahan mild steel

V1,akrilik = kecepatan gelombang pada bahan akrilik

V2,𝑚𝑖𝑙𝑑 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙 = kecepatan gelombang pada bahan mild steel

Sin θ1′,akrilik Sin θ2,𝑠𝑡𝑎𝑖𝑛𝑙𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙


=
V1,akrilik V2,𝑠𝑡𝑎𝑖𝑛𝑙𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙

Sin θ1′,akrilik Sin 90˚


=
2778 m/s 3200 m/s
θ1′,akrilik = 63,6˚ (4.2)

Dimana: θ1′,akrilik = sudut datang gelombang pada bahan akrilik

θ2,𝑠𝑡𝑎𝑖𝑛𝑙𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙 = sudut bias gelombang pada bahan stainless steel

V1,akrilik = kecepatan gelombang pada bahan akrilik

V2,𝑠𝑡𝑎𝑖𝑛𝑙𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑒𝑒𝑙 = kecepatan gelombang pada bahan stainless steel

Diperoleh sudut datang gelombang sebesar 60,2˚ yang akan melewati spesimen
mild steel. Sedangkan sudut datang gelombang sebesar 63,6˚ yang akan spesimen
stainless steel. Terdapat selisih sudut sebesar Δθ = θ1′ ,akrilik − θ1,akrilik = 63,6˚ -
60,2˚ = 3,4˚. Sudut datang gelombang ini akan menjadi acuan untuk sudut acrylic
wedges pada probe normal. Sedangkan sudut yang dibiaskan pada probe sudut
sebesar 60˚ dan 70˚, agar gelombang yang dibiaskan menjadi gelombang
permukaan, maka sudut yang dibutuhkan untuk acrylic wedges pada probe sudut
sebesar 90˚ dikurangi sudut bias [15]. Tabel 4.1 menunjukkan sudut yang
dibutuhkan acrylic wedges untuk membuat gelombang transversal menjadi
gelombang permukaan.
49

Tabel 4.1. Sudut acrylic wedges

Sudut yang dibutuhkan acrylic


Jenis Probe Spesimen
wedges
Probe normal 60,2˚ mild steel
Probe normal 63,6˚ stainless steel
Probe sudut 60˚ Ɵ2 - sudut bias = 90˚ - 60˚ = 30˚ mild steel
Ɵ2 - sudut bias + Δθ
Probe sudut 60˚ stainless steel
= 90˚ - 60˚ + 3,4˚ = 33,4˚
Probe sudut 70˚ Ɵ2 - sudut bias = 90˚ - 70˚ = 20˚ mild steel
Ɵ2 - sudut bias + Δθ
Probe sudut 70˚ stainless steel
= 90˚ - 70˚ + 3,4˚ = 23,4˚

Berdasarkan nilai tabel, maka langkah selanjutnya peneliti mendesain


acrylic wedges seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.7, 4.8, 4.9, 4.10, 4.11 dan
4.12. Tebal dari acrylic wedges ini sebesar 20 mm, sedangkan nilai 30 mm pada
acrylic wedges menyesuaikan dengan panjang dari dimensi probe yang
digunakan. Alas bawah acrylic wedges didesain 60 mm agar titik pancaran
gelombang yang keluar masih berada pada acrylic wedges.

20 mm

Gambar 4.6. Tampak samping acrylic wedges pada probe


normal untuk spesimen mild steel
50

Gambar 4.7. Tampak samping acrylic wedges pada


probe normal untuk spesimen stainless steel

Gambar 4.8. Tampak samping crylic wedges pada


probe sudut 60˚ untuk spesimen mild steel

Gambar 4.9. Tampak samping acrylic wedges pada probe


sudut 60˚ untuk spesimen stainless steel
51

Gambar 4.10. Tampak samping acrylic wedges


pada probe sudut 70˚ untuk spesimen mild steel

Gambar 4.11. Tampak samping acrylic wedges pada


probe sudut 70˚ untuk spesimen stainless steel

IV.3.3. Pembuatan Acrylic Wedges


Proses pembuatan acrylic wedges dilakukan di bengkel PSTA BATAN,
Yogyakarta dengan mesin frais. Bahan akrilik dijepit pada sebuah penjepit yang
dapat digerakkan maju, mundur, kiri, dan kanan. Pada atas penjepit terdapat
sebuah pemotong/mata bor yang selalu bergerak ketika mesin dinyalakan. Mata
bor ini juga dapat digerakkan maju, mundur, hingga berputar sesuai dengan sudut
yang diatur, untuk membuat sudut pada acrylic wedges, maka mata bor harus
diatur sesuai dengan sudut yang diperlukan dan mengarahkan pada bahan akrilik
yang mau dipotong. Berikut pada Gambar 4.12 proses pembuatan acrylic wedges.
52

Gambar 4.12. Proses pembuatan acrylic wedges


menggunakan mesin frais
IV.3.4. Persiapan Spesimen Uji
Spesimen uji merupakan objek yang akan di uji untuk dideteksi cacat
permukaannya. Spesimen uji dalam penelitian ini terdiri atas 2 bahan yaitu, mild
steel dan stainless steel. Spesimen uji untuk bahan mild steel terdiri dari pelat baja
karbon sonaspection dengan spesimen ID PL 27492, pelat baja karbon
sonaspection dengan spesimen ID T 27488, dan referensi baja karbon phased
array, sedangkan spesimen uji untuk bahan stainless steel terdiri dari pipa
stainless steel dengan diameter pipa sebesar 3,5 cm. Persiapan spesimen uji ini
ditentukan berdasarkan cacat yang ingin dideteksi yaitu cacat permukaan yang
disediakan oleh laboratorium mekanik STTN-BATAN.

IV.3.5. Kalibrasi Alat


Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat
pada tiap-tiap transduser yang akan digunakan. Kalibrasi ini bertujuan agar data
yang terbaca pada layar display benar-benar valid. Kalibrasi ultrasonic testing
krautkramer USM 36 dengan menggunakan objek berupa blok kalibrasi phased
array yang telah diketahui nilai tebal dan jarak cacat-cacatnya. Blok kalibrasi
yang digunakan adalah blok kalibrasi dengan bahan carbon steel yang sesuai
dengan spesimen yang akan di uji. Sedangkan, untuk spesimen stainless steel,
kalibrasi dilakukan dengan objek pipa dengan nilai ketebalan dan jarak cacat-
cacat yang telah diketahui.

Kalibrasi ini dilakukan untuk mengatur setting pada alat agar ketika
digunakan pada pengukuran hasilnya valid dan akurat. Kalibrasi dilakukan dengan
53

mengatur probe delay serta kecepatan gelombang yang digunakan. Bila indikasi
cacat yang terbaca telah menempati skala yang tepat, maka kalibrasi telah selesai.
Untuk memeriksa keakuratan pengkalibrasian sebelum digunakan maka
diharuskan untuk mengukur jarak benda uji terhadap standar ketebalan yang
sudah ada sebelumnya.

IV.3.6. Pengujian Spesimen


Pengambilan data dilakukan langsung oleh penulis dalam pengujian tiap-
tiap probe pada masing-masing spesimen yang telah disiapkan dengan bimbingan
dari teknisi STTN-BATAN sebagai pembimbing lapangan. Data yang diperoleh
berupa indikasi cacat permukaan yang terbaca oleh UT, untuk memvalidasi
pengukuran, maka penulis mengukur jarak cacat ke titik indeks dengan bantuan
mistar. Titik indeks merupakan titik nol dari setiap pengukuran jarak.

IV.3.7. Analisis Data


Data hasil pengukuran berupa tampilan indikasi cacat berupa sinyal
gelombang. Cacat permukaan yang terdeteksi nantinya akan dibandingkan dengan
hasil pengukuran acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges.

Gambar 4.13. Pembacaan sinyal keluaran pada UT


54

Performansi dari acrylic wedges, dinilai berdasarkan ketinggian sinyal


yang terbaca (FSH) dan seberapa jauh cacat yang mampu terdeteksi. Full Screen
High (FSH), merupakan indikator sensitif pada pengukuran, 50% FSH merupakan
nilai standar pembacaan pada UT.

IV.3.8. Penulisan Laporan


Hasil serta langkah–langkah yang dilakukan pada penelitian dituliskan
dalam bentuk laporan. Penulisan laporan disusun mengacu pada format penulisan
tugas akhir yang telah ditetapkan oleh Departemen Teknik Nuklir dan Teknik
Fisika Universitas Gadjah Mada. Sistematika laporan yang diacu terdiri dari enam
bab mencakup latar belakang penelitian, studi pustaka, dasar teori, pelaksanaan
penelitian, hasil dan pembahasan, dan terakhir kesimpulan dan saran.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengukuran Probe Normal Pada Sampel Mild Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe normal dilakukan pada dua
sampel mild steel yaitu spesimen berbentuk plat datar (spesimen ID PL 27492)
dan spesimen berbentuk plat T (spesimen ID T 27488). Sebelum melakukan
pengukuran, probe normal yang telah terpasang acrylic wedges dilakukan
kalibrasi terlebih dahulu dengan blok kalibrasi phased array. Tentukan titik
indeks, yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada probe diletakkan pada
jarak 30 mm dari cacat pertama dan 50 mm dari cacat kedua. Kemudian, atur
probe delay dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal yang terbaca tepat pada
skala yang terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Kalibrasi probe normal pada sampel mild steel

Performa dari acrylic wedges pada probe normal ini ditentukan


berdasarkan %FSH yang mampu terbaca pada layar dan juga gain maksimal dan
minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full screen
high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang

55
56

terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.

Tabel 5.1. Pengukuran performa acrylic wedges probe normal pada sampel mild steel

Gain (dB)
Pengaturan
Tampilan Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat
25 mm 50 mm 75 mm 100 mm 175 mm
10% FSH 60,2 64,6 71,4 78,8 82,4
30% FSH 67,6 74,4 81,2 86,8 91,6
50% FSH 74,4 78,8 85,2 91,2 95,6
75% FSH 78,4 82,4 89,6 94,8 99,4
100% FSH 81,8 85,2 92,4 97,2 102,6

Pada Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe normal mampu
mendeteksi cacat hingga jarak 175 mm pada sampel mild steel. Gain minimum
yang diperlukan saat sinyal yang terbaca pada layar 10% FSH sebesar 82,4 dB
pada jarak 175 mm. Semakin jauh jarak cacat yang di deteksi, maka sinyal akan
semakin lemah, peristiwa ini disebut sebagai atenuasi. Sehingga, untuk mengukur
jarak cacat yang jauh diperlukan gain yang besar juga. Terlihat pada Tabel 5.1,
bahwa gain selalu meningkat ketika jarak cacat yang terdeteksi juga semakin jauh,
baik ketika pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%, 50%, 70%, maupun 100%. Hal
ini disebabkan karena kehilangan energi terhadap jarak, sehingga dibutuhkan gain
yang lebih besar. Untuk mempermudah melihat peningkatan gain terhadap jarak
yang diukur, dapat dilihat pada Gambar 5.2, yaitu perbandingan tiap-tiap % FSH.
57

120

100

80
100 % FSH
Gain (dB)

60 75 % FSH
50 % FSH
40 30 % FSH
10 % FSH
20

0
0 50 100 150 200
Jarak cacat ke titik indeks (mm)

Gambar 5.2. Grafik perbandingan FSH probe normal pada uji sampel mild steel

Pengukuran cacat dilakukan pada sampel plat karbon (ID PL 27492)


dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 45 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.3.

(a) (b)

Gambar 5.3. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen ID PL 27492 dengan
bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges
58

Pada Gambar 5.3, cacat permukaan yang terbaca juga pada jarak 45 mm.
Dengan bantuan acrylic wedges, probe normal mampu untuk mendeteksi cacat
permukaan, sedangkan tanpa acrylic wedges tidak ada sinyal yang terbaca pada
layar. Hal ini disebabkan karena UT di setting pada gelombang transversal dan
sudah terkalibrasi berdasarkan dengan bantuan acrylic wedges. Sejatinya, probe
normal mampu mendeteksi cacat, tetapi cacat yang tegak lurus terhadap garis
normalnya, bukan cacat yang berada di permukaan.
Pengukuran cacat juga dilakukan pada sampel plat karbon T (ID T 27488)
dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 45 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.4.

(a) (b)

Gambar 5.4. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen ID T 27488 dengan
bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.4, cacat permukaan yang terbaca yaitu pada jarak 44 mm.
Dengan bantuan acrylic wedges, probe normal mampu untuk mendeteksi cacat
permukaan, sedangkan tanpa acrylic wedges tidak ada sinyal yang terbaca pada
layar.
59

Pada jarak cacat 20 mm dari titik indeks, juga dilakukan pengukuran


sebanyak sepuluh kali. Hal ini bertujuan untuk melihat kedekatan hasil
pengukuran dengan nilai sesungguhnya dan juga seberapa dekat perbedaan nilai
pada saat dilakukan pengulangan pengukuran. Hasil dari pengukuran ini dapat
dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Hasil pengukuran berulang probe normal pada sampel mild steel

Pengukuran x, jarak cacat ke


ke- titik indeks (mm)

1 19,9
2 19,8
3 20,0
4 20,0
5 20,1
6 20,1
7 20,2
8 20,0
9 20,1
10 20,1
Rata-rata (x̅) 20,0
Standar
0,12
deviasi (s)

Berdasarkan pada Tabel 5.2, maka hasil pengukuran dapat ditulis sebagai
20,0 ± 0,12 mm. Sehingga nilai 0,12 mm merepresentasikan seberapa dekat nilai
individu data pengukuran terhadap rata-rata pengukuran.

Hasil Pengukuran Probe Normal Pada Sampel Stainless Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe normal dilakukan pada sampel
stainless steel yaitu spesimen berbentuk pipa dengan diameter dalam sebesar 3,5
cm dan panjang sebesar 110 cm. Sebelum melakukan pengukuran, probe normal
yang telah terpasang acrylic wedges dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan
pipa stainless steel dengan dua cacat yang berjarak 80 mm. Selanjutnya,
menentukan titik indeks, yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada
60

probe diletakkan pada jarak 20 mm dari cacat pertama dan 100 mm dari cacat
kedua. Kemudian, atur probe delay dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal
yang terbaca tepat pada skala yang terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
5.5.

Gambar 5.5. Kalibrasi probe normal pada sampel stainless steel

Performa dari acrylic wedges pada probe normal ini ditentukan


berdasarkan jarak cacat terjauh yang mampu dideteksi dan juga gain maksimal
dan minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full
screen high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang
terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.

Tabel 5.3. Pengukuran performa acrylic wedges probe normal pada sampel
stainless steel
Gain (dB)
Pengaturan
Tampilan Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat
20 mm 40 mm 100 mm 150 mm 200 mm
10% FSH 66 76 78,4 82,6 84,4
30% FSH 77,8 84,2 86,8 87,8 90,8
50% FSH 81,8 87,6 91,4 93,8 94,2
75% FSH 85,8 91,9 93,6 97 98
100% FSH 91 93,8 95,8 100 102,4
61

Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe normal mampu
mendeteksi cacat hingga jarak 200 mm pada sampel stainless steel. Gain
minimum yang diperlukan saat sinyal yang terbaca pada layar 10% FSH sebesar
84,4 dB pada jarak 200 mm, lebih besar dibandingkan pada sampel mild steel
pada jarak 175 mm. Pada pengukuran ini, probe mampu mendeteksi cacat hingga
200 mm, akan tetapi sinyal pengukuran yang terbaca sudah banyak noise nya,
namun masih dapat terbaca karena ada sinyal yang tertinggi yang terbaca pada
layar. Semakin jauh jarak cacat yang di deteksi, maka sinyal akan semakin lemah,
sehingga untuk mengukur jarak cacat yang jauh diperlukan gain yang besar juga.
Terlihat pada Tabel 5.3, bahwa gain selalu meningkat ketika jarak cacat yang
terdeteksi juga semakin jauh, baik ketika pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%,
50%, 70%, maupun 100%. Hal ini disebabkan karena kehilangan energi terhadap
jarak, sehingga dibutuhkan gain yang lebih besar. Untuk mempermudah melihat
peningkatan gain terhadap jarak yang diukur, dapat dilihat pada Gambar 5.6, yaitu
perbandingan tiap-tiap % FSH.

120

100

80
100 % FSH
Gain (dB)

60 75 % FSH
50 % FSH
40 30 % FSH
10 % FSH
20

0
0 50 100 150 200 250
Jarak cacat ke titik indeks (mm)

Gambar 5.6. Grafik perbandingan FSH probe normal pada uji sampel stainless steel
62

Pengukuran cacat dilakukan pada spesimen pipa stainless dengan cacat


permukaan berupa lubang kecil, jarak cacat terlebih dahulu diukur dengan mistar
yaitu sebesar 30 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat dengan kondisi
menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti ditunjukkan pada
Gambar 5.7.

(a) (b)
Gambar 5.7. (a) Pengukuran probe normal pada spesimen pipa stainless
steel dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.7 (a), sinyal terbaca pada jarak 30 mm, dengan ketinggian
amplitudo pada 20% FSH dan nilai gain sebesar 85,8 dB. Nilai 20% FSH
termasuk nilai minimum untuk pembacaan sinyal pada UT. Sedangkan Gambar
5.7 (b) tidak menunjukkan adanya sinyal yang terbaca, dikarenakan UT di setting
pada gelombang transversal, dimana harusnya probe normal menggunakan
gelombang longitudinal, dan sudah terkalibrasi berdasarkan dengan bantuan
acrylic wedges. Sejatinya, probe normal mampu mendeteksi cacat, tetapi cacat
yang tegak lurus terhadap garis normalnya, bukan cacat yang berada di
permukaan.
Pada jarak cacat 20 mm dari titik indeks, juga dilakukan pengukuran
sebanyak sepuluh kali. Hal ini bertujuan untuk melihat kedekatan hasil
pengukuran dengan nilai sesungguhnya dan juga seberapa dekat perbedaan nilai
pada saat dilakukan pengulangan pengukuran. Hasil dari pengukuran ini dapat
dilihat pada Tabel 5.4.
63

Tabel 5.4. Hasil pengukuran berulang probe normal pada sampel stainless steel

x, jarak cacat ke
Pengukuran ke- titik indeks
(mm)
1 19,5
2 20,5
3 20,3
4 20,4
5 19,4
6 20,3
7 20,0
8 20,0
9 19,8
10 19,9
rata-rata (x̅) 20,0
standar deviasi
0,37
(s)
Berdasarkan pada Tabel 5.4, maka hasil pengukuran dapat ditulis sebagai
20,0 ± 0,37 mm. Sehingga nilai 0,37 mm merepresentasikan seberapa dekat nilai
individu data pengukuran terhadap rata-rata pengukuran.

Hasil Pengukuran Probe Sudut 70˚ Pada Sampel Mild Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe sudut 70˚ dilakukan pada dua
sampel mild steel yaitu spesimen berbentuk plat datar (spesimen ID PL 27492)
dan spesimen berbentuk plat T (spesimen ID T 27488). Sebelum melakukan
pengukuran, probe sudut yang telah terpasang acrylic wedges dilakukan kalibrasi
terlebih dahulu dengan blok kalibrasi phased array. Pertama, menentukan titik
indeks, yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada probe diletakkan pada
jarak 30 mm dari cacat pertama dan 50 mm dari cacat kedua. Kemudian, atur
probe delay dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal yang terbaca tepat pada
skala yang terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.8.
64

Gambar 5.8. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel mild steel

Pada Gambar 5.8, tanda panah berwarna hitam menunjukkan sinyal cacat
yang diterima oleh receiver pada jarak 30 dan 50 mm, yang artinya alat ukur
sudah terkalibrasi dengan benar dan dapat digunakan. Sedangkan, tanda panah
berwarna merah adanya sinyal yang muncul tiba-tiba yang seharusnya tidak ada
pada layar UT. Berdasarkan identifikasi penulis, sinyal ini disebabkan oleh
pantulan dari akrilik itu sendiri. Ketika melakukan scanning, sinyal ini akan tetap
berada pada jarak dan amplitudo yang tetap. Sehingga, sinyal ini tidak terlalu
mengganggu dalam pengukuran dan tidak membuat bingung penulis dalam
mendeteksi cacat permukaan.

Performa dari acrylic wedges pada probe sudut 70˚ ini ditentukan
berdasarkan jarak cacat terjauh yang mampu dideteksi dan juga gain maksimal
dan minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full
screen high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang
terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.
65

Tabel 5.5 Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 70˚ pada sampel mild steel

Gain (dB)
Pengaturan
Tampilan Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat
10 mm 20 mm 30 mm 35 mm 40 mm
10% FSH 57 58 66,8 76,4 77,6
30% FSH 65,6 67 76,2 78,8 84,4
50% FSH 70 71,4 80,8 82,6 91
75% FSH 73,8 75 82,6 85,6 95,2
100% FSH 76,2 80 86,4 87,8 97,4

Pada Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe sudut 70˚ hanya
mampu mendeteksi cacat hingga jarak 40 mm pada sampel mild steel. Gain
minimum yang diperlukan saat sinyal yang terbaca pada layar 10% FSH hanya
sebesar 77,6 dB pada jarak 40 mm.. Terlihat pada Tabel 5.5, bahwa gain selalu
meningkat ketika jarak cacat yang terdeteksi juga semakin jauh, baik ketika
pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%, 50%, 70%, maupun 100% FSH. Hal ini
disebabkan karena kehilangan energi terhadap jarak, sehingga dibutuhkan gain
yang lebih besar. Untuk mempermudah melihat peningkatan gain terhadap jarak
yang diukur, dapat dilihat pada Gambar 5.9, yaitu perbandingan tiap-tiap % FSH.

120

100

80
100 % FSH
Gain (dB)

60 75 % FSH
50 % FSH
40 30 % FSH
10 % FSH
20

0
0 10 20 30 40 50
Jarak cacat ke titik indeks (mm)

Gambar 5.9. Grafik perbandingan FSH probe sudut 70˚ pada uji sampel mild steel
66

Pengukuran cacat dilakukan pada sampel plat karbon (ID PL 27492)


dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 75 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.10.

(a) (b)

Gambar 5.10. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen ID PL 27492
dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.10 (a), sinyal terbaca pada jarak 74,5 mm, selisih 0,5 mm
terhadap pengukuran secara konvensional. Hal ini nanti akan dibahas, seberapa
dekat data pengukuran individu terhadap nilai sesungguhnya. Sedangkan Gambar
5.7 (b) menunjukkan adanya sinyal yang terbaca, namun sinyal tersebut bukanlah
sinyal akibat pantulan cacat permukaan. Sinyal tersebut berasal dari noise, yang
diakibatkan gain yang terlalu besar yaitu pada 89,4 dB. Sejatinya, probe sudut ini
mampu mendeteksi cacat, tetapi cacat yang terkena gelombang ultrasonik pada
sudut 70˚ terhadap garis normal probe.

Pengukuran cacat juga dilakukan pada sampel plat karbon T (ID T 27488)
dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 40 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
67

dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.11.

(a) (b)

Gambar 5.11. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen ID T 27488 dengan
bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.11, cacat permukaan yang terbaca yaitu pada jarak 41,5
mm, selisih 1,5 mm terhadap pengukuran konvensional. Dengan bantuan acrylic
wedges, probe sudut 70˚ mampu untuk mendeteksi cacat permukaan, sedangkan
tanpa acrylic wedges sinyal yang terbaca pada layar berupa noise, sehingga sulit
untuk menentukan cacat permukaan.

Pada pengujian plat karbon pada Gambar 5.10 dengan jarak cacat 75 mm
dari titik indeks, juga dilakukan pengukuran sebanyak sepuluh kali. Hal ini
bertujuan untuk melihat kedekatan hasil pengukuran dengan nilai sesungguhnya
dan juga seberapa dekat perbedaan nilai pada saat dilakukan pengulangan
pengukuran. Hasil dari pengukuran ini dapat dilihat pada Tabel 5.6.
68

Tabel 5.6. Hasil pengukuran berulang probe sudut 70˚ pada sampel mild steel

x, jarak cacat
Pengukuran ke- ke titik indeks
(mm)
1 74,9
2 75,1
3 74,8
4 75,1
5 75
6 74,3
7 75,3
8 75,4
9 75,2
10 75,2
Rata-rata (x̅) 75,0
Standar deviasi (s) 0,31

Berdasarkan pada Tabel 5.6, maka hasil pengukuran dapat ditulis sebagai
75,0 ± 0,31 mm. Sehingga nilai 0,31 mm merepresentasikan seberapa dekat nilai
individu data pengukuran terhadap rata-rata pengukuran.

Hasil Pengukuran Probe Sudut 70˚ Pada Sampel Stainless Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe sudut 70˚ dilakukan pada
spesimen berbentuk pipa dengan diameter dalam sebesar 3,5 cm dan panjang
sebesar 110 cm. Sebelum melakukan pengukuran, probe sudut yang telah
terpasang acrylic wedges dilakukan kalibrasi terlebih dahulu denngan pipa
stainless steel dengan dua cacat yang berjarak 80 mm. Pertama, menentukan titik
indeks, yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada probe diletakkan pada
jarak 15 mm dari cacat pertama dan 95 mm dari cacat kedua. Kemudian, atur
probe delay dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal yang terbaca tepat pada
skala yang terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.12.
69

Gambar 5.12. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel stainless steel

Pada Gambar 5.12, tanda panah berwarna hitam menunjukkan sinyal cacat
yang diterima oleh receiver pada jarak 15 dan 95 mm pada range yang terbaca di
layar sebesar 100 mm, yang artinya alat ukur sudah terkalibrasi dengan benar dan
dapat digunakan. Sedangkan, tanda panah berwarna merah merupakan initial
pulse atau energi pulsa awal, dan juga tanda panah berwarna kuning
menunjukkan adanya sinyal yang muncul tiba-tiba yang seharusnya tidak ada
pada layar UT. Berdasarkan identifikasi penulis, sinyal ini disebabkan oleh
pantulan dari akrilik itu sendiri. Ketika melakukan scanning, sinyal ini akan tetap
berada pada jarak dan amplitudo yang tetap. Sehingga, sinyal ini tidak terlalu
mengganggu dalam pengukuran dan tidak membuat bingung penulis dalam
mendeteksi cacat permukaan.

Performa dari acrylic wedges pada probe sudut 70˚ ini ditentukan
berdasarkan jarak cacat terjauh yang mampu dideteksi dan juga gain maksimal
dan minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full
screen high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang
terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.
70

Tabel 5.7. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 70˚ pada sampel
stainless steel
Gain (dB)
Pengaturan
Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat
Tampilan
10 mm 35 mm 50 mm 75 mm 90 mm
10% FSH 70,6 79,6 92,6 93 93,1
30% FSH 79,8 88,4 92,8 94,2 95,2
50% FSH 84,8 90,6 93,8 95,8 98,6
75% FSH 86,2 92 95 97,2 101,6
100% FSH 88,4 95,4 96 99,4 103,2

Pada Tabel 5.7, dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe sudut 70˚ hanya
mampu mendeteksi cacat hingga jarak 90 mm pada sampel mild steel. Namun
lebih jauh dibandingkan dengan jarak tempuh probe sudut 70˚ pada sampel mild
steel. Gain minimum yang diperlukan saat sinyal yang terbaca pada layar 10%
FSH hanya sebesar 93,1 dB pada jarak 90 mm. Gain yang dibutuhkan sangat
besar jika dibandingkan dengan probe normal. Terlihat pada Tabel 5.5, bahwa
gain selalu meningkat ketika jarak cacat yang terdeteksi juga semakin jauh, baik
ketika pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%, 50%, 70%, maupun 100% FSH. Hal
ini disebabkan karena kehilangan energi terhadap jarak, sehingga dibutuhkan gain
yang lebih besar. Untuk mempermudah melihat peningkatan gain terhadap jarak
yang diukur, dapat dilihat pada Gambar 5.13, yaitu perbandingan tiap-tiap %
FSH.
120

100

80
100 % FSH
Gain (dB)

60 75 % FSH
50 % FSH
40
30 % FSH

20 10 % FSH

0
0 20 40 60 80 100
Jarak cacat ke titik indeks (mm)

Gambar 5.13. Grafik perbandingan FSH probe sudut 70˚ pada uji sampel stainless steel
71

Pengukuran cacat dilakukan pada spesimen pipa stainless dengan cacat


permukaan berupa lubang kecil, jarak cacat terlebih dahulu diukur dengan mistar
yaitu sebesar 20 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat dengan kondisi
menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti ditunjukkan pada
Gambar 5.14.

(a) (b)

Gambar 5.14. (a) Pengukuran probe sudut 70˚ pada spesimen pipa
stainless steel dengan bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.14 (a), sinyal terbaca pada jarak 21 mm, dengan
ketinggian amplitudo pada 40% FSH dan nilai gain sebesar 92,8 dB. Sedangkan
Gambar 5.7 (b) menunjukkan adanya sinyal yang terbaca, namun sinyal tersebut
bukanlah sinyal akibat pantulan cacat permukaan. Sinyal tersebut berasal dari
noise, yang diakibatkan gain yang terlalu besar yaitu pada 92,8 dB.
Pada jarak cacat 20 mm dari titik indeks, juga dilakukan pengukuran
sebanyak sepuluh kali. Hal ini bertujuan untuk melihat kedekatan hasil
pengukuran dengan nilai sesungguhnya dan juga seberapa dekat perbedaan nilai
pada saat dilakukan pengulangan pengukuran. Hasil dari pengukuran ini dapat
dilihat pada Tabel 5.8.
72

Tabel 5.8. Hasil pengukuran berulang probe sudut 70˚ pada sampel stainless steel

x, jarak
Pengukuran ke- cacat ke titik
indeks (mm)
1 19,7
2 19,8
3 19,9
4 20,3
5 20,1
6 20,3
7 20,3
8 20,4
9 20,5
10 20,0
rata-rata (x̅) 20,1
standar deviasi
0,27
(s)

Berdasarkan pada Tabel 5.8, maka hasil pengukuran dapat ditulis sebagai
20,1 ± 0,27 mm. Sehingga nilai 0,27 mm merepresentasikan seberapa dekat nilai
individu data pengukuran terhadap rata-rata pengukuran.

Hasil Pengukuran Probe Sudut 60˚ Pada Sampel Mild Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe sudut 60˚ dilakukan pada dua
sampel mild steel yaitu spesimen berbentuk plat datar (spesimen ID PL 27492)
dan spesimen berbentuk plat T (spesimen ID T 27488). Sebelum melakukan
pengukuran, probe sudut yang telah terpasang acrylic wedges dilakukan kalibrasi
terlebih dahulu dengan blok kalibrasi phased array. Pertama, menentukan titik
indeks, yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada probe diletakkan pada
jarak 30 mm dari cacat pertama dan 50 mm dari cacat kedua. Kemudian, atur
probe delay dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal yang terbaca tepat pada
skala yang terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.15.
73

Gambar 5.15. Kalibrasi probe sudut 60˚ pada sampel mild steel

Pada Gambar 5.15, tanda panah berwarna hitam menunjukkan sinyal cacat
yang diterima oleh receiver pada jarak 30 dan 50 mm, yang artinya alat ukur
sudah terkalibrasi dengan benar dan dapat digunakan. Sedangkan, tanda panah
berwarna merah adanya sinyal yang muncul tiba-tiba yang seharusnya tidak ada
pada layar UT. Berdasarkan identifikasi penulis, sinyal ini disebabkan oleh
pantulan dari akrilik itu sendiri. Ketika melakukan scanning, sinyal ini akan tetap
berada pada jarak dan amplitudo yang tetap. Sehingga, sinyal ini tidak terlalu
mengganggu dalam pengukuran dan tidak membuat bingung penulis dalam
mendeteksi cacat permukaan.

Performa dari acrylic wedges pada probe sudut 60˚ ini ditentukan
berdasarkan jarak cacat terjauh yang mampu dideteksi dan juga gain maksimal
dan minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full
screen high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang
terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.
74

Tabel 5.9. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 60˚ pada sampel
mild steel
Gain (dB)
Pengaturan
Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat Jarak cacat
Tampilan
10 mm 20 mm 25 mm 30 mm 35 mm
10% FSH 70,4 78,3 78,6 79,4 82
30% FSH 74,6 84,6 87,6 88,8 91,2
50% FSH 78,6 88,8 90,2 91,6 95,8
75% FSH 81,8 92,6 94,8 95 98
100% FSH 85 95 99,8 100,3 101,8

Pada Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe sudut 60˚ hanya
mampu mendeteksi cacat hingga jarak 35 mm lebih dekat dibandingkan probe
sudut 70˚ pada sampel mild steel. Gain minimum yang diperlukan saat sinyal yang
terbaca pada layar 10% FSH sebesar 82 dB pada jarak 35 mm.. Terlihat pada
Tabel 5.9, bahwa gain selalu meningkat ketika jarak cacat yang terdeteksi juga
semakin jauh, baik ketika pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%, 50%, 70%,
maupun 100% FSH. Hal ini disebabkan karena kehilangan energi terhadap jarak,
sehingga dibutuhkan gain yang lebih besar. Untuk mempermudah melihat
peningkatan gain terhadap jarak yang diukur, dapat dilihat pada Gambar 5.16,
yaitu perbandingan tiap-tiap % FSH.

120

100

80
100 % FSH
Gain (dB)

60 75 % FSH
50 % FSH
40 30 % FSH
10 % FSH
20

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jarak cacat ke titik indeks (mm)

Gambar 5.16. Grafik perbandingan FSH probe sudut 60˚ pada uji sampel mild steel
75

Pengukuran cacat dilakukan pada sampel plat karbon (ID PL 27492)


dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 50 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.17.

(a) (b)
Gambar 5.17. (a) Pengukuran probe sudut 60˚ pada spesimen ID PL 27492 dengan bantuan
acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.17 (a), sinyal terbaca pada jarak 49 mm, selisih 1 mm
terhadap pengukuran secara konvensional. Hal ini nanti akan dibahas, seberapa
dekat data pengukuran individu terhadap nilai sesungguhnya. Sedangkan Gambar
5.7 (b) menunjukkan adanya sinyal yang terbaca, namun sinyal tersebut bukanlah
sinyal akibat pantulan cacat permukaan. Sinyal tersebut berasal dari noise, yang
diakibatkan gain yang terlalu besar yaitu pada 95 dB. Sejatinya, probe sudut ini
mampu mendeteksi cacat, tetapi cacat yang terkena gelombang ultrasonik pada
sudut 60˚ terhadap garis normal probe.

Pengukuran cacat juga dilakukan pada sampel plat karbon T (ID T 27488)
dengan cacat permukaan berupa toe crack, jarak cacat terlebih dahulu diukur
dengan mistar yaitu sebesar 40 mm. Kemudian dilakukan pendeteksian cacat
76

dengan kondisi menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.18.

(a) (b)
Gambar 5.18. (a) Pengukuran probe sudut 60˚ pada spesimen ID T 27488 dengan
bantuan acrylic wedges (b) tanpa acrylic wedges

Pada Gambar 5.18, cacat permukaan yang terbaca yaitu pada jarak 42 mm,
selisih 2 mm terhadap pengukuran konvensional. Dengan bantuan acrylic wedges,
probe sudut 60˚ mampu untuk mendeteksi cacat permukaan, sedangkan tanpa
acrylic wedges sinyal yang terbaca pada layar berupa noise, sehingga sulit untuk
menentukan cacat permukaan.

Pada pengujian plat karbon pada Gambar 5.17 dengan jarak cacat 50 mm
dari titik indeks, juga dilakukan pengukuran sebanyak sepuluh kali. Hal ini
bertujuan untuk melihat kedekatan hasil pengukuran dengan nilai sesungguhnya
dan juga seberapa dekat perbedaan nilai pada saat dilakukan pengulangan
pengukuran. Hasil dari pengukuran ini dapat dilihat pada Tabel 5.10.
77

Tabel 5.10. Hasil pengukuran berulang probe sudut 60˚ pada sampel mild steel
x, jarak
cacat ke
Pengukuran ke-
titik indeks
(mm)
1 50,3
2 49,7
3 50,1
4 50,2
5 49,9
6 50,0
7 49,8
8 49,9
9 50,2
10 50,0
Rata-rata (x̅) 50,0
Standar deviasi (s) 0,19

Berdasarkan pada Tabel 5.10, maka hasil pengukuran dapat ditulis sebagai
50,0 ± 0,19 mm. Sehingga nilai 0,19 mm merepresentasikan seberapa dekat nilai
individu data pengukuran terhadap rata-rata pengukuran

Hasil Pengukuran Probe Sudut 60˚ Pada Sampel Stainless Steel


Pendeteksian cacat permukaan pada probe sudut 60˚ dilakukan pada
spesimen berbentuk pipa dengan diameter dalam sebesar 3,5 cm dan panjang
sebesar 110 cm. Sebelum melakukan pengukuran, probe sudut yang telah
terpasang acrylic wedges dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan pipa stainless
steel dengan dua cacat yang berjarak 80 mm. Pertama, menentukan titik indeks,
yaitu titik nol setiap pengukuran. Titik indeks pada probe diletakkan pada jarak 20
mm dari cacat pertama dan 100 mm dari cacat kedua. Kemudian, atur probe delay
dan kecepatan gelombang, sehingga sinyal yang terbaca tepat pada skala yang
terbaca, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.19.
78

Gambar 5.19. Kalibrasi probe sudut 70˚ pada sampel stainless steel

Pada Gambar 5.19, tanda panah berwarna hitam menunjukkan sinyal cacat
yang diterima oleh receiver pada jarak 20 dan 100 mm pada range yang terbaca di
layar sebesar 200 mm, yang artinya alat ukur sudah terkalibrasi dengan benar dan
dapat digunakan. Sedangkan, tanda panah berwarna merah menunjukkan adanya
sinyal yang muncul tiba-tiba yang seharusnya tidak ada pada layar UT.
Berdasarkan identifikasi penulis, sinyal ini disebabkan oleh pantulan dari akrilik
itu sendiri. Ketika melakukan scanning, sinyal ini akan tetap berada pada jarak
dan amplitudo yang tetap. Sehingga, sinyal ini tidak terlalu mengganggu dalam
pengukuran dan tidak membuat bingung penulis dalam mendeteksi cacat
permukaan.

Performa dari acrylic wedges pada probe sudut 60˚ ini ditentukan
berdasarkan jarak cacat terjauh yang mampu dideteksi dan juga gain maksimal
dan minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi suatu cacat. FSH atau full
screen high merupakan suatu istilah yang mengacu kepada ketinggian sinyal yang
terbaca pada display UT. Amplitudo yang mencapai bagian atas layar dikatakan
berada di 100% FSH.
79

Tabel 5.11. Pengukuran performa acrylic wedges probe sudut 60˚ pada sampel
stainless steel

Gain (dB)
Pengaturan
Jarak cacat Jarak cacat
Tampilan
10 mm 20 mm
10% FSH 78,4 83
30% FSH 87,6 88,8
50% FSH 92 92,8
75% FSH 92,2 95,6
100% FSH 95,8 98,8

Pada Tabel 5.11, dapat dilihat bahwa acrylic wedges probe sudut 60˚
hanya mampu mendeteksi cacat hingga jarak 20 mm saja. Hal ini disebabkan
karena energi pada gelombang telah habis dahulu saat melakukan perjalanan
untuk mendeteksi cacat. Sehingga gain minimum yang diperlukan saat sinyal
yang terbaca pada layar 10% FSH sebesar 83 dB pada jarak 20 mm. Gain yang
dibutuhkan sangat besar jika dibandingkan dengan probe yang lain. Terlihat pada
Tabel 5.5, bahwa gain selalu meningkat ketika jarak cacat yang terdeteksi juga
semakin jauh, baik ketika pembacaan sinyal sebesar 10%, 30%, 50%, 70%,
maupun 100% FSH. Pada pembacaan 100% FSH pada jarak 20 mm, nilai gain
sudah sangat besar yaitu sebesar 98,8 dB, sehingga tidak mampu untuk
mendeteksi cacat yang lebih jauh lagi.

Perbandingan Hasil Probe Normal dan Probe Sudut


Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada probe normal
dan probe sudut baik menggunakan acrylic wedges ataupun tanpa acrylic wedges
dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel perbandingan ini disajikan untuk
memudahkan pembaca melihat hasil dari pengukuran pada probe normal dan
probe sudut ketika menggunakan acrylic wedges dan tanpa acrylic wedges.
80

Tabel 5.12. Perbandingan hasil menggunakan Acrylic Wedges dan tanpa Acrylic Wedges

Menggunakan Acrylic
Tanpa Acrylic Wedges
Wedges
Jenis Bahan
Gain, pada Gain, pada
Probe Sampel Pengaturan Pengaturan
jarak cacat jarak cacat
Tampilan Tampilan
10 mm (dB) 10 mm (dB)
Probe
Mild Steel 10% FSH 52 0% FSH 0
Normal
Probe Stainless
10% FSH 52,2 0% FSH 0
Normal Steel
Probe
Mild Steel 10% FSH 57 0% FSH 0
Sudut 70˚
Probe Stainless
10% FSH 70,6 0% FSH 0
Sudut 70˚ Steel
Probe
Mild Steel 10% FSH 70,4 0% FSH 0
Sudut 60˚
Probe Stainless
10% FSH 78,4 0% FSH 0
Sudut 60˚ Steel

Berdasarkan Tabel 5.12, bahwa tanpa acrylic wedges, probe tidak sensitif
terhadap cacat permukaan dibuktikan dengan hasil yang terbaca 0% FSH,
sedangkan menggunakan acrylic wedges, probe sensitif terhadap cacat permukaan
dibuktikan dengan hasil yang mampu terbaca pada 10% FSH dengan perbedaan
gain tiap jenis probe dan sampel yang digunakan.

Validasi Cacat Permukaan Pada Sampel Mild Steel


Penulis melakukan validasi pada cacat permukaan yang ada pada sampel
mild steel untuk melakukan pembuktian bahwasannya terdapat cacat permukaan
pada sampel tersebut namun tidak terlihat oleh penglihatan mata jika tidak jeli.
Pembuktian ini dilakukan pada sampel plat karbon (ID PL 27492) dan sampel plat
karbon T (ID T 27488).

Pembuktian terdapatnya cacat pada kedua sampel tersebut menggunakan


uji penetrant yang masih banyak digunakan untuk mendeteksi cacat permukaan.
Namun uji ini terdapat beberapa kelemahan diantaranya, jika material uji berpori-
81

pori, maka pori-pori malah bisa dijadikan indikasi adanya cacat. Berikut pada
Gambar 5.20 dan 5.21, hasil uji penetrant pada kedua sampel.

(a) (b)

Gambar 5.20 (a) Sebelum uji penetrant (b) sesudah uji penetrant pada sampel plat
karbon (ID PL 27492)

(a) (b)
Gambar 5.21. (a) Sebelum uji penetrant (b) sesudah uji penetrant pada sampel plat karbon
T (ID T 27488)
82

Pada Gambar 5.20 dan 5.21 dapat dilihat perbedaannya, bahwasannya


setelah dilakukan uji penetrant, maka cacat permukaan terlihat dengan cacat
berwarna merah akibat terkena cairan penetrant, dengan demikian pada kedua
sampel karbon diatas memang terdapat cacat permukaan dengan jenis toe crack.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian Tugas Akhir yang telah dilaksanakan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggunaan acrylic wedges membantu probe normal dan probe sudut


lebih sensitif terhadap cacat permukaan, dibuktikan dengan sinyal
output yang mampu terbaca dari 10% hingga 100% FSH, sedangkan
tanpa acrylic wedges tidak ada sinyal cacat yang terdeteksi.
2. Jarak jangkauan cacat yang mampu terdeteksi pada probe normal
sejauh 200 mm. Pada probe sudut semakin kecil sudut acrylic wedges,
jarak cacat yang mampu terdeteksi juga semakin jauh hingga 90 mm.

Saran
Rencana penelitian berikutnya yang dapat diberikan sesuai hasil penelitian
Tugas Akhir yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan variasi pada jenis bahan sampel dan jenis cacat sampel,
sehingga dapat dibandingkan hasilnya dengan yang sudah dilakukan.

2. Menggunakan data sampel yang lebih banyak dan variatif sehingga


performa untuk mendeteksi cacat permukaan dapat ditingkatkan.

3. Membuat sistem otomasi untuk penggerak probe saat melakukan


pengujian, sehingga memudahkan untuk pengambilan data.

83
DAFTAR PUSTAKA

[1] Charles J. Heiller. Handbook of Nondestructive Evaluation. McGraw-Hill,


Singapore, 2003.
[2] A. Devies. Handbook of Condition Monitoring Techniques and Methodology.
Chapman & Hall, London, 1998.
[3] Lilik Subiyanto dan Tri Arief Sardjono, “Deteksi Cacat pada Material Baja
Menggunakan Ultrasonik Non-Destructive Testing dengan Metode
Continuous Wavelet Transform,” Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya, 2012.
[4] G. Dobmann, R. Becker, H. J. Salzburger, W. Arnold dan E. Waschkies.
“Nondestructive Testing of Surface Breaking Defects and Near Surface
Defects”. Annals of the CIRP Vol. 34/1/1985.
[5] Wentao Li, Zhenggan Zhou, dan Yang Li. Inspection of butt welds for
complex surface parts using ultrasonic phased array. School of Mechanical
Engineering and Automation, Beihang University, Beijing, 2018.
[6] Yun-Lai Zhou, Xudong Qian, Alistair Birnie, dan Xiao-Ling Zhao. A
reference free ultrasonic phased array to identify surface cracks in welded
steel pipes based on transmissibility. International Journal of Pressure Vessels
and Piping, doi: 10.1016/j.ijpvp.2018.09.006, 2018.
[7] K. Shivaraj, Khrisnan Balasubramaniam, dan C.V. Khrisnamurthy. Ultrasonic
circumferential guide wave for pitting-type corrosion imaging at inaccessible
pipe support locations. Indian Institute of Technology Madras, Chennai 600
036, India, 2008.
[8] Shiuh-Chuan Her, dan Sheng-Tung Lin. Non-Destructive Evaluation of Depth
of Surface Cracks Using Ultrasonic Frequency Analysis. Department of
Mechanical Engineering, Yuan Ze University, Chung-Li 320, Taiwan, ISSN
1424-8220, 2014
[9] Dongchi Yi, Cuixiang Pei, Tianhao Liu, dan Zhanmao Chen. Inspection of
cracks with focused angle beam laser ultrasonic wave. Shanxi Engineering
Research Center of NDT and Structural Integrity Evaluation, Xi’an 71004,
China, 2018
[10] Dr. Ala Hijazi. Introduction to Non-Destructive Testing Technique.
Associate Professor, Department of Mechanical Engineering, King
Abdulaziz University, 2011.
[11] Fion Zhang. Preparatory Notes for ASNT NDT Level III Examination -
Ultrasonic Testing, UT. China, 2014.

84
85

[12] Tec-Science. Ultrasonic Testing. Diakses dari https://www.tec-


science.com/material-science/material-testing/ultrasonic-testing-ut/, 01
September 2019
[13] Fransisca Debora, “Pengukuran Ketebalan serta Posisi Cacat pada Sampel
Carbon Steel dan Stainless Steel dengan Metode Ultrasonic Testing”,
Universitas Sriwijaya, Palembang, 2015.
[14] NDT Resource Center. Calibration Methods. Diakses dari https://www.nde-
ed.org/EducationResources/CommunityCollege/Ultrasonics/CalibrationMet
h/calibrationmethods.htm, 02 September 2019.
[15] Bapak Praptana. Komunikasi pribadi. 30 April 2019.
[16] Lawrence E. Kinsler, Austin R. Frey, Alan B. Coppens, dan James V.
Sanders. Fundamentals of Acoustics. John Wiley & Sons Inc, New York,
200.
LAMPIRAN

86
LAMPIRAN A
SPESIFIKASI UT KRAUTKRAMER USM 36

Gambar A.1. Spesifikasi UT KRAUTKRAMER USM 36

87
88

Gambar A.1. Lanjutan


LAMPIRAN B
ACRYLIC WEDGES

Gambar B.1 Acrylic wedges pada probe normal untuk sampel mild steel

Gambar B.2. Acrylic wedges pada probe normal untuk sampel stainless steel

89
90

Gambar B.3. Acrylic wedges pada probe sudut 70 untuk sampel mild steel

Gambar B.4. Acrylic wedges pada probe sudut 70 untuk sampel stainless steel

Gambar B.5. Acrylic wedges pada probe sudut 60 untuk sampel mild steel
91

Gambar B.6. Acrylic wedges pada probe sudut 60 untuk sampel stainless steel
LAMPIRAN C
UJI PENETRANT PADA SAMPEL MILD STEEL

Gambar C.1. Spesimen uji plat datar sebelum uji Penetrant

Gambar C.2. Spesimen uji plat darat setelah uji Penetrant

92
93

Gambar C.3. Spesimen uji plat T sebelum uji Penetrant

Gambar C.4. Spesimen uji plat T setelah uji Penetrant


LAMPIRAN D
SPESIFIKASI CACAT PADA SAMPEL MILD STEEL

Gambar D.1. Spesifikasi cacat pada spesimen uji plat datar

94
95

Gambar D.2. Spesifikasi cacat pada spesimen uji plat T

Anda mungkin juga menyukai