Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh dejarat Sarjana Sains
Ilmu Fisika
i
ru{LAIW{N PENGESAI{AN
SKRIPSI
r4t366731/PA tr6242
Susunan Tim Pe i
Pembimbing Penguji I
F.;E*nget*f:*;
m"n" fj*iqa-t F::ru$E -.q.,F#F,.?
II
PH TAAH
$*ngntr i*i $aya lnf;$?iratakan bahwn pnda Skripsi ini tidak t*rdepar karyar
yaffiS p*tlrah riisjffikr$-le u*ttatk $T*$rlF I*h g*lnr k*sarjftersfra #* sLrfttffi F*rgrrruran
Tinggi- slan s*par:ja$tg p*$ig*:feh:*as3 saya
_iugg ti*tak g apat k;:r3'a atan p*r.rdapaf
yarls pernnfu ditarlis ilfau clir*rbitkan rltsFr *{ftnS }airt"
kec1*eli yang s*c*ra t**"ft.elis
c{:ia*u cll+Jftft} tr$sksfu ini daru dis*futlikan *{alan:r
claftar pr*stnka.
lt1
HALAMAN MOTTO
iv
KATA PENGANTAR
v
9. Kepada Lutfi, Kang Ibnu, Nisa, Bidadari, Deasona, Thalia, Tutde, dan
seluruh teman-teman KKN PPM BL-02.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
INTISARI.............................................................................................................. xii
I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................3
1.3 Batasan Masalah .................................................................................3
1.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................4
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................4
1.6 Manfaat Penelitian ..............................................................................4
1.7 Sistematika Penulisan .........................................................................5
vii
IV METODE PENELITIAN .............................................................................32
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian...........................................................32
4.2 Alat Penelitian ..................................................................................32
4.3 Objek Penelitian ...............................................................................33
4.4 Skema Susunan Alat Penelitian ........................................................35
4.5 Konsep Penelitian .............................................................................37
4.6 Diagram Alir Penelitian ....................................................................38
4.7 Metode Akuisisi dan Rekonstruksi ...................................................39
4.8 Analisis Data.....................................................................................42
4.9 Jadwal Penelitian ..............................................................................43
V PEMBAHASAN ...........................................................................................44
5.1 Hasil Awal Citra Radiografi .............................................................44
5.2 Proses Rekonstruksi Citra Tomografi ...............................................47
5.3 Proses Peningkatan Kualitas Citra ....................................................48
5.4 Analisis Citra Tomografi ..................................................................51
5.5 Penggunaan Sistem Mikro-TK untuk Inspeksi Kualitas Peluru ......63
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar 4.8. Proses Cropping Citra Radiograf. .....................................................40
Gambar 4.9. Peningkatan Kualitas Citra dengan Pengaturan Kontras dan Pemberian
Median Filter ....................................................................................40
Gambar 4.10. Proses Pembentukan Sinogram ......................................................41
Gambar 4.11. Proses Stacking Citra Tomografi Menjadi Citra Objek
3 Dimensi ..........................................................................................42
Gambar 5.1. Citra Radiograf Hasil Pemindaian dengan Tegangan Pembangkit 40
kV dan Arus Filamen 30 mA dengan sudut pemindaian 90o dimana
(a) Peluru Kering, (b) Peluru Lembab, (c) Peluru Basah. .................44
Gambar 5.2. Citra Radiograf Hasil Pemindaian dengan Tegangan Pembangkit 30
kV dan Arus Filamen 20 mA dengan sudut pemindaian 90o dimana
(a) Peluru Kering, (b) Peluru Lembab, (c) Peluru Basah. .................45
Gambar 5.3. Perbandingan Citra Radiograf untuk (a) Ketiga Kondisi Mesiu Pada
Pemindaian 40 kV, (b) Kondisi Mesiu Basah untuk 40 kV dan 30 kV.
..........................................................................................................47
Gambar 5.4. Ilustrasi Rekonstruksi Sinogram Menjadi Citra Tomografi ..............48
Gambar 5.5. Perbandingan Citra Sebelum Pemotongan (a) dan Sesudah
Pemotongan Bagian Luar (b). ...........................................................49
Gambar 5.6. Citra Transformasi FFT (a) dan Citra FFT saat Dilakukan Band-Pass
Filter (b). ...........................................................................................50
Gambar 5.7. Citra Hasil Transformasi FFT pada Gambar 5.6 b ............................51
Gambar 5.8. Citra Tomografi Peluru Hasil Pemindaian dengan Tegangan 40 kV
dan Kuat Arus 30 mA. ......................................................................53
Gambar 5.9. Citra Tomografi Peluru Hasil Pemindaian dengan Tegangan 30 kV
dan Kuat Arus 20 mA. ......................................................................54
Gambar 5.10. Penjelasan Lanjut Mengenai Hasil Citra Tampang
Lintang Peluru...................................................................................55
Gambar 5.11. Penjelasan Lanjut Mengenai Perbandingan Citra Bagian Atas .......56
Gambar 5.12. Penjelasan Lanjut Mengenai Perbandingan Citra Bagian Bawah ...57
Gambar 5.13. Bentuk Rekonstruksi 3 Dimensi Setiap Sampel Peluru. .................58
Gambar 5.14. Grafik Plot Profile Untuk Masing-Masing Citra Hasil Pemindaian
Sinar-x dengan Tegangan 40 kV dan Kuat Arus 30 mA. .................60
Gambar 5.15. Grafik Plot Profile Untuk Masing-Masing Citra Hasil Pemindaian
Sinar-x dengan Tegangan 30 kV dan Kuat Arus 20 mA. .................61
x
DAFTAR TABEL
xi
INTISARI
PEMANFAATAN SISTEM MIKRO TOMOGRAFI KOMPUTER SINAR-X
UNTUK INSPEKSI KONDISI MESIU DALAM PELURU
Oleh
Dewa Ngurah Yudhi Prasada
14/366731/PA/16242
Kata kunci: citra digital, mesiu, mikro-tomografi, sinar-x, uji tak rusak.
xii
ABSTRACT
STUDY ON EXAMINING BULLET’S BLACK POWDER USING X-RAY
MICRO COMPUTED TOMOGRAPHY SYSTEM
By
Dewa Ngurah Yudhi Prasada
14/366731/PA/16242
Keywords: black powder, digital image, micro-CT scan, non destructive testing,
x-ray.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
menjadi lembab, bahkan basah sehingga peluru mungkin tidak meledak saat
digunakan.
Untuk mengetahui dan menguji kondisi peluru sebelum digunakan, teknik
pengujian untuk mengetahui kondisi peluru sebelum digunakan perlu dilakukan.
Salah satu teknik pengujian yang baik adalah teknik uji tak rusak (Non-Destructive
Testing, NDT). Teknik NDT merupakan suatu teknik pengujian objek atau material
tanpa merusak objek atau material yang diuji. Salah satu teknik NDT adalah teknik
tomografi 3D. Tomografi berasal dari bahasa Yunani, yakni “tomos” yang berarti
potongan dan ”graphein” yang berarti gambar (Buzug, 2008). Salah satu teknik
tomografi adalah teknik tomografi sinar-x (X-ray Computed Tomography) atau
Tomografi Komputer (TK). Teknik tomografi ini menggunakan gelombang
elektromagnetik sinar-x yang dapat menembus material. Laboratorium Fisika Citra
Jurusan Fisika FMIPA UGM memiliki alat Mikro-tomografi Komputer (Mikro-
TK) yang menggunakan radiasi sinar-x dan mampu menghasilkan citra tomografi
3D (Suparta et al., 2014).
Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian kondisi mesiu di dalam
peluru menggunakan sistem Mikro-TK sinar-x. Namun, karena peluru termasuk
komponen senjata api, maka peluru tidak dapat diperoleh secara bebas. Hal terkait
kepemilikan senjata api dan pelurunya diatur dalam SK KAPOLRI
No.Skep/244/II/1999 dan SK KAPOLRI Nomor 82 Tahun 2004 Tentang
Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Selain itu, pengujian menggunakan Mikro-TK sinar-x yang terdapat di
Laboratorium Fisika Citra FMIPA UGM hanya menggunakan energi sinar-x yang
relatif kecil (maksimal 40 keV). Karena peluru memiliki struktur lapisan logam
maka sinar-x yang digunakan pada Mikro-TK sinar-x tidak mampu menembus
peluru. Karena itu uji mesiu peluru didekati dengan uji mesiu dalam petasan luncur,
yang relatif mudah didapatkan. Oleh karena itu, pengujian pada tahap penelitian ini
akan menggunakan petasan sebagai representasi dari peluru. Petasan akan
dibungkus dan dibentuk sedemikian rupa agar menyerupai bentuk peluru. Bentuk
peluru yang dimaksud adalah bentuk yang memiliki pemicu ledakan dan proyektil.
Namun pelapis pada petasan yang diuji terbuat dari bahan bukan logam dan mampu
ditembus oleh sinar-x berenergi kecil, contohnya PLA. PLA dalam percobaan ini
3
digunakan sebagai simulasi selongsong (jaket) peluru yang semula terbuat dari
logam. PLA digunakan karena memiliki bahan yang sekiranya dapat ditembus oleh
sinar-x energi rendah (Generator 40 kV). Ketebal PLA yang digunakan hanya
berkisar 2 mm dengan harapan tidak banyak sinar-x yang terserap PLA sehingga
analisis pada mesiu dapat lebih maksimal. Selain menggunakan PLA sebagai
selongsong peluru, juga dimodelkan bentuk petasan agar menyerupai peluru.
Pemodelan ini juga termasuk memberikan bentuk yang menyerupai proyektil
peluru dan sebagainya. Petasan yang diuji akan diberi perlakuan terkait dengan
tingkat kelembaban mesiu petasan dengan cara memberikan air. Lalu, citra
tomografi bubuk mesiu di dalam struktur peluru diamati dan dianalisis dengan cara
membandingkan antara mesiu kering, mesiu lembab, dan mesiu basah.
4. Analisis citra tomografi hanya meliputi uji distribusi dan profil kerapatan
sebagai representasi dari koefisien atenuasi linear (μ).
6
7
dengan arus 250 mA. Citra yang didapat menampilkan keretakan pada sampel.
Keretakan sampel itu terdistribusi sebagai tensor rapat keretakan.
Penelitian mengenai inspeksi peluru menggunakan TK sinar-x juga pernah
dilakukan oleh Kumar et al. (2012). Masalah yang diteliti adalah terkait proses
fabrikasi atas peluru 9 mm, khususnya pembentukan jaket pelapis peluru. Jaket
pelapis peluru umumnya terbuat dari bahan logam timbal, dimana lapisan jaket
peluru sering tidak konsisten dalam proses fabrikasi. Inkonsistensi pada ketebalan
jaket peluru ini dapat menyebabkan perbedaan pada daya tembus peluru. Oleh
sebab itu, dilakukan penelitian terkait inspeksi geometri pada jaket peluru
menggunakan TK sinar-x. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Thornby et al.
(2014), dengan lebih meninjau korelasi ketebalan jaket pelapis peluru terhadap daya
tembus peluru pada material tertentu.
Penelitian terkait rekonstruksi citra tomografi telah dilakukan oleh Louk
dan Suparta (2014). Hasil rekonstruksi citra mempengaruhi kualitas citra tomografi
yang dihasilkan. Untuk itu, telah dikembangkan software untuk merekonstruksi
citra tomografi yang dinamakan DRCT. Proses rekonstruksi berawal dari
pemindaian objek dari sudut 0o hingga 360° dengan interval sudut 1o. Hasil dari
pemindaian tersebut merupakan citra radiograf jamak. Hasil citra radiograf tersebut
menjadi dasar pemilihan proyeksi dari potongan tampang lintang objek pada
ketinggian dan sudut tertentu. Proyeksi dikonstruksi menjadi sinogram yang
dipresentasikan di dalam ruang Radon. Sinogram itu kemudian direkonstruksi
menggunakan metode summation convolved filtered back projections (SCFBP)
sehingga membentuk citra tomografi.
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, penelitian ini hendak menguji
kualitas peluru yang dimodelkan dalam bentuk petasan. Pengujian dilakukan
menggunakan alat mikro-TK sinar-x yang terpasang di Laboratorium Fisika Citra
FMIPA UGM. Objek yang diteliti adalah struktur mesiu dalam peluru (petasan)
setelah mengalami tiga perlakuan berbeda yaitu petasan kering, petasan basah, dan
petasan lembab. Citra tomografi yang dihasilkan akan dianalisis berdasarkan profil
citra tomografi dan koefisien atenuasi linear. Sumber sinar-x yang akan digunakan
pada penelitian ini adalah sumber yang beroperasi pada tegangan 40 kV dan 30 mA.
BAB III
LANDASAN TEORI
8
9
dengan gerakan rotasi. Gerakan rotasi ini dilakukan dengan interval sudut 𝛾.
Proyeksi dilakukan dari sudut 0o hingga 180o. Sistem TK generasi pertama
memberikan citra yang sangat akurat namun membutuhkan waktu yang relatif
lama. Gamber 3.1 menunjukkan skema pemindaian pada sistem TK generasi
pertama.
𝑥 cos 𝜙 − sin 𝜙 𝑥𝑟
(𝑦) = ( ) (𝑦 )
sin 𝜙 cos 𝜙 𝑟
(3.1)
𝑥𝑟 cos 𝜙 sin 𝜙 𝑥
(𝑦 ) = ( )( )
𝑟 −sin 𝜙 cos 𝜙 𝑦
Ray-sum diperoleh dari suatu pemindaian yang bersifat kontinu. Objek
dalam TK dapat diumpamakan sebagai suatu objek yang berbentuk lingkaran
yang memiliki radius R. Pemindaian dilakukan dari jarak -R hingga +R. Apabila
pemindaian telah dilakukan maka akan didapat suatu data yang disebut proyeksi.
Proyeksi merupakan kumpulan ray-sum dari hasil pemindaian dengan langkah
pemindaian sebesar Δ𝑥𝑟 pada sudut tertentu (Grangeat, 2009). Pemindaian
dilakukan dengan merotasi sumber atau objek dari 0o hingga 360o dengan
interval sudut sebesar Δ𝜙. Intensitas sinar-x yang melewati suatu objek
dinyatakan dalam Hukum Beer-Lambert yaitu:
Pemindaian yang dilakukan dari sudut 0o hingga 360o dengan interval sudut
tertentu akan menghasilkan beberapa proyeksi. Kumpulan beberapa proyeksi ini
kemudian disusun dengan koordinat (𝑥𝑟 , 𝑦𝜙 ) atau biasa disebut koordinat ruang
Radon (Buzug, 2008). Sinogram dengan koordinat ruang radon kemudian
direkonstruksi menjadi koordinat kartesian untuk mendapatkan nilai 𝜇(𝑥, 𝑦).
11
a.) b.)
Gambar 3.3. (a) Objek Titik (b) Sinogram Objek (Suparta, 1999).
12
𝜋 ∞
1 𝜕𝑝𝜙 (𝑥𝑟 )/𝜕𝑥𝑟
𝜇(𝑥, 𝑦) = ( 2 ) ∫ ∫ 𝑑𝑥 𝑑𝜙 (3.4)
2𝜋 𝑟 cos(φ − ϕ) − 𝑥𝑟 𝑟
0 −∞
Filter tersebut merupakan high pass filter. Filter ini bertujuan untuk menyaring
frekuensi rendah yang disebabkan oleh efek penyebaran dan melewatkan
frekuensi tinggi.
Sinogram yang digunakan adalah sinogram yang bersifat diskrit. Hal
ini menyebabkan proses rekonstruksi harus dilakukan secara diskrit. Hal ini
dapat dinyatakan dengan memodifikasi persamaan (3.5) dan (3.6) menjadi
bentuk diskrit yaitu:
𝑀−1
Indeks [𝑖, 𝑗] menyatakan posisi piksel pada citra tomografi dengan jangkauan
−1/2𝑁 ≤ 𝑖, 𝑗 ≤ +1/2𝑁, sedangkan [𝑛, 𝑚] menyatakan indeks ray-sum ke-n
dan proyeksi ke-m dengan jangkauan untuk n adalah −1/2𝑁 ≤ 𝑖, 𝑗 ≤ +1/2𝑁,
sedangkan m adalah 0 < 𝑚 < (𝑀 − 1).
15
𝜇(𝑖, 𝑗)
Citra digital merupakan sebuah array yang terdapat nilai-nilai real atau
kompleks. Nilai-nilai tersebut direpresentasikan dalam bentuk bit. Suatu citra
digital dapat didefinisikan sebagai fungsi 𝑓(𝑥, 𝑦) berukuran 𝑀 × 𝑁, dengan 𝑥 dan
𝑦 merupakan koordinat spasial. Intensitas citra digital dapat ditinjau dari nilai gray
level dari tiap-tiap titik pada koordinat [m,n]. (Gonzales, 1992) Nilai pada setiap
titik tersebut disebut piksel. Piksel mewakili seuatu bagian terkecil pada proses
digitalisasi citra (sel). Pada proses digitalisasi citra, nilai tingkat keabuan pada tiap
piksel merupakan tingkat keabuan rata-rata pada seluruh bagian sel.
Citra digital yang merupakan persebaran nilai bit sebagai fungsi posisi
merupakan bentuk citra yang umumnya dilihat manusia. Dalam memperoleh citra
digital hasil tangkapan kamera, umumnya akan menghasilkan beberapa jenis
gangguan. Gangguan ini umumnya disebut dengan noise. Noise merupakan
gangguan pada citra yang tersebar tanpa pola dalam frekuensi tinggi. Untuk
mereduksi efek noise tersebut, perlu dilakukan proses penghapusan citra frekuensi
tinggi. Transformasi Fourier merupakan jenis transformasi yang mengubah citra
digital sebagai fungsi waktu menjadi fungsi frekuensi. Dalam fungsi frekuensi
tersebut dapat dilakukan filtering pada citra digital. Transformasi Fourier dapat
dirumuskan dalam persamaan 3.10 (Boas, 2006) sebagai berikut:
Histogram pada citra grayscale 8 bit terdapat 256 level nilai intensitas. Nilai ini
kemudian didistribusikan dalam grafik. Sumbu-x pada grafik ini menunjukkan nilai
derajat keabuan (0-256). Sumbu-y menunjukkan intensitas munculnya nilai derajat
keabuan piksel pada suatu citra. Gambar 3.6 (b) menunjukkan histogram pada citra
digital 3.6 (a)
a.)
b.)
c.)
Gambar 3.6. (a) Citra Digital 640×640 piksel, (b) Histogram Keseluruhan
Citra, (c) Profil Garis Citra
19
3.3 Sinar-x
eksitasi elektron ini kemudian yang akan meninggalkan hole. Keberadaan hole
ini menyebabkan elektron pada tingkat energi yang lebih tinggi akan mengalami
transisi untuk mengisi hole (proses ini disebut de-eksitasi). Akibat dari
perbedaan tingkat tenaga menyebabkan transisi elektron ini memancarkan foton.
Pada unsur dengan nomor atom besar (yang umum digunakan untuk
menghasilkan sinar-x adalah logam tungsten) maka akan terpancar foton berupa
sinar-x. Sinar-x karakteristik terpancar secara diskrit dengan energi dan panjang
gelombang yang sudah diketahui. Pada logam tungsten dimana transisi terjadi
dari kulit L ke kulit K akan menghasilkan sinar-x dengan energi 57 keV. Transisi
elektron dari kulit M ke kulit K akan menghasilkan sinar-x dengan energi sebesar
67 keV (Fosbinder dan Orth, 2012). Proses terbentuknya sinar-x karakteristik
dapat dijelaskan pada gambar 3.8.
dihasilkan dari berkas elektron yang mengalami perlambatan saat melintasi inti
atom. Elektron memiliki muatan negatif akan berinteraksi dengan inti atom yang
bermuatan positif sehingga terjadi gaya tarik dan perubahan kecepatan.
Penurunan kecepatan (dalam hal ini energi) elektron menyebabkan terjadinya
emisi sinar-x secara kontinu. Gambar 3.9 menunjukkan ilustrasi bagaimana
proses terbentuknya sinar-x Bremsstrahlung.
Gambar 3.10 akan diberi beda potensial (tegangan) yang tinggi (orde kV).
Besarnya tegangan yang akan diberikan mempengaruhi energi elektron (yang
kemudian mempengaruhi energi sinar-x) yang dihasilkan. Prinsip pembangkitan
sinar-x melalui tabung sinar-x sama seperti yang telah dijelaskan pada bagian
mekanisme produksi sinar-x.
Bagian katoda merupakan tempat elektron terkumpul. Pada bagian
katoda terdapat filamen. Filamen bertujuan untuk memanaskan katoda. Apabila
katoda dipanasi maka akan memicu lepasnya elektron dari katoda. Hal ini
disebut dengan thermionic emission (Fosbinder dan Orth, 2012). Pada filamen
diberi alat pengatur arus. Alat pengatur arus bertujuan untuk mengatur jumlah
elektron yang terpancarkan sebagaimana definisi arus adalah jumlah muatam
yang mengalir per detik (Wangsness, 1986). Karena diberinya beda potensial
pada tabung sinar-x, maka elektron yang terlepas dari katoda akan bergerak
menuju anoda.
anoda yang akan menghasilkan sinar-x. Ketika elektron menumbuk anoda maka
akan menyebabkan interaksi elektron dengan atom penyusunnya yang kemudian
akan menghasilkan sinar-x.
Intensitas sinar-x apabila melawati suatu materi maka akan berkurang. Hal
tersebut terjadi akibat adanya interaksi antara sinar-x dengan materi. Interkasi
tersebut dapat menyebabkan sinar-x terserap dan terhambur. Interaksi yang terjadi
saat sinar-x melewati materi tertentu antara lain efek fotolistrik, hamburan rayleigh,
hamburan compton, bentukan pasangan (pair production). Namun untuk sinar-x
dengan enegi rendah cenderung hanya mengalami interaksi berupa efek fotolistrik
dan hamburan compton. Kombinasi dari interaksi-interaksi tersebut akan
menghasilkan suatu besaran atenuasi yang disebut koefisien atenuasi linear dari
materi yang dilewati.
Pada interaksi sinar-x dengan materi, juga terjadi efek fotolistrik. Efek
fotolistrik yang terjadi pada materi menyebabkan sinar-x terserap sepenuhnya.
Energi foton sepenuhnya diserap. Energi yang diserap ini digunakan untuk
melepas ikatan elektron dan sebagian berubah menjadi energi kinetik elektron
yang terlepas. Elektron yang terlepas akan meninggalkan hole. Keberadaan hole
pada kulit dalam elektorn dapat menyebabkan keadaan atom menjadi tidak
stabil. Agar kondisi atom kembali menjadi stabil, maka elektron pada tingkat
energi yang lebih tinggi akan mengisi hole yang ditinggalkan oleh elektron
sebelumnya. Pengisian hole dengan elektron yang berasal dari tingkat energi
yang lebih tinggi dapat menyebabkan terjadinya emisi foton sinar-x atau disebut
juga auger effect (Fosbinder dan Orth, 2012). Gambar 3.11 menjelaskan
bagaimana proses terjadinya efek fotolistrik hingga terisinya hole dengan
elektron.
3.4.3 Atenuasi
Adanya interaksi sinar-x dengan materi menyebabkan sebagian energi
sinar-x terserap atau terhamburkan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
intensitas sinar-x. Proses ini dinamakan atenuasi. Besaran nilai atenuasi yang
ada pada suatu objek disebut koefisien atenuasi linear. Koefisien atenuasi linear
dari suatu objek merupakan gabungan dari serapan akibat efek fotolistrik, dan
hamburan Compton. Koefisien atenuasi linear disimbolkan dalam 𝜇. Nilai 𝜇 total
dapat dirumuskan sebagai:
𝜇 = 𝜇𝑒𝑓 + 𝜇ℎ𝑐 (3.14)
Dimana 𝜇𝑒𝑓 merupakan koefisien serapan yang dihasilkan dari efek fotolistrik
dan 𝜇ℎ𝑐 merupakan koefisien serapan yang dihasilkan dari hamburan Compton.
Pengurangan intensitas sinar-x akibat melewati suatu material telah
dirumuskan dengan Hukum Beer-Lambert. Secara umum, perubahan intensitas
sinar-x dapat dinyatakan dalam persamaan diferensial (3.15) yaitu:
𝑑𝐼
= −𝜇𝐼 (3.15)
𝑑𝑥
I merupakan intensitas sinar-x dan x adalah ketebalan bahan.
Penyelesaian persamaan (3.15) bergantung pada objek yang dilewatinya.
Apabila objek yang dilewati memiliki nilai 𝜇 homogen maka penyelesaian
persamaan (3.15) menjadi:
27
𝑑𝐼
= −𝜇 𝑑𝑥
𝐼
𝐼 𝑥
𝑑𝐼
∫ = −𝜇 ∫ 𝑑𝑥
𝐼
𝐼0 0
𝐼
ln = −𝜇𝑥
𝐼0
𝐼 = 𝐼0 𝑒 −𝜇𝑥 (3.16)
Apabila objek yang dilewati tidak memiliki nilai 𝜇 yang homogen, maka
persamaan (3.16) menjadi:
𝑁
Persamaan (3.17) digunakan untuk objek dengan koefisien atenuasi linear yang
terdistribusi secara diskrit dan (3.18) untuk nilai 𝜇 yang kontinu.
a. 𝐼0 𝜇 𝐼
x
b.
𝐼
𝐼0 𝜇1 𝜇2 …. 𝜇𝑛
x
c.
𝜇(𝑥) 𝐼
𝐼0
dx
Nilai 𝜇 pada suatu material merupakan sebagai fungsi energi foton. Nilai 𝜇
berbeda untuk setiap energi foton (yang dalam hal ini sinar-x) yang berbeda.
Umumnya nilai 𝜇 akan menurun apabila energi foton yang melewati suatu
material semakin besar. Seperti yang ditunjukkan oleh percobaan yang
dilakukan oleh Hubbell dan Seltzer (1996) yang menunjukkan nilai koefisien
atenuasi linear (atau koefisien atenuasi massa) untuk air mengalami penurunan
saat diberi energi foton yang lebih tinggi. Hal tersebut juga berlaku untuk seluruh
material.
a.)
b.)
𝐼0
ln ( ) = 𝜇𝑥 (3.19)
𝐼
𝐼
Persamaan (3.18) menunjukkan pola linear dari grafik ln ( 𝐼0 ) vs 𝑥.
Nilai koefisien atenuasi linear (𝜇) merupakan gradien dari grafik tersebut.
30
Dengan analisis ini didapat nilai koefisien atenuasi linear (𝜇) rata-rata dari objek
uji.
𝑑𝑃⃗⃗ 𝑑𝑣⃗ 𝑑𝑚
𝐹⃗ = =𝑚 + 𝑣 = 𝑚 𝑎⃗ + 𝑚̇ 𝑣⃗ (3.20)
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝑑𝑡
Pada persamaan (3.20) dapat ditunjukkan bahwa gaya yang diberikan sesuai dengan
perubahan massa peluru per satuan waktu. Perubahan massa ini disebabkan oleh
terbakarnya mesiu.
Mesiu atau black powder merupakan suatu serbuk yang dapat
menghasilkan ledakan saat terkena percikan api. Mesiu umumnya digunakan
sebagai bahan peledak pada petasan, kembang api, peluru, granat, dan sebagai.
Terdapat beberapa bahan yang digunakan dalam pembuatan bubuk mesiu. Adapun
bahan-bahan tersebut antara lain dapat berupa kalium nitrat (KNO3) sebagai
oksidator, sulfur (S) sebagai katalis, dan karbon arang (C) sebagai penyedia bahan
bakar.
Proses oksidasi pada kalium nitrat dapat menimbulkan pelepasan energi
yang cukup besar. Hal ini yang kemudian menjadi suatu ledakan. Laju reaksi
oksidasi pada kalium nitrat diatur dengan katalis berupa sulfur (S). Agar ledakan
31
yang terjadi tidak seketika hilang, maka perlu ada penyedia bahan bakar yang dalam
hal ini adalah fungsi dari karbon. Kondisi mesiu saat proses oksidasi (ledakan)
harus kering. Adanya kelembaban (air) dalam mesiu dapat menyebabkan mesiu
tidak meledak dengan sempurna. Kondisi basah pada mesiu dapat menyebabkan
mesiu tidak meledak sama sekali. Adapun mesiu pada peluru memiliki kesamaan
bentuk dan perilaku dengan mesiu pada petasan. Mesiu pada petasan membutuhkan
proses pembakaran agar dapat meluncur. Oleh karena adanya kemiripan anatomi,
penggunaan petasan luncur dapat digunakan untuk pemodelan peluru untuk
dilakukan pengujian pada struktur mesiunya.
a.
)
Model
b. Proyektil
)
Pelapis
Mesiu
(Terletak di
Dalam)
Pemantik
yang
Dibakar
32
33
a.) c.)
b.
))
Gambar 4.1. Peralatan Penelitian Terdiri dari (a) Meja Panggung Rotasi
Objek; (b) Pengontrol Nilai Keluaran Tegangan Anoda-Katoda (kV) dan
arus filamen (mA); (c) Unit Komputer Pengendali Pemindaian
Sistem panggung mikro-TK sinar-x berupa meja objek yang dapat dirotasi
melalui proses kontrol oleh komputer. Meja objek dapat berotasi penuh 360o
dengan interval pemindaian 1o. Motor yang dipakai adalah jenis motor langkah
(stepper motor) yang beroperasi pada tegangan DC 12 V.
yaitu dengan diameter proyektil 9 mm dan panjang jaket peluru sebesar 19,55 mm.
Objek kemudian dicetak 3 dimensi dengan bahan dasar PLA. Pada bagian atas
selongsong akan dibuat model yang menyerupai proyektil peluru. Pada bagian
selongsong diberi mesiu dengan massa 2,5 gram. Mesiu di dalam petasan diberi
perlakuan bertahap mulai dari mesiu kering yang menghasilkan citra tomografi P1.
Selanjutnya, mesiu dibuat lembab dengan sedikit air (1 mililiter) untuk
menghasilkan citra tomografi P2. Terakhir mesiu dibasahi dengan air hingga basah
total (terendam) untuk menghasilkan citra tomografi P3. Mesiu pada objek P3
diberi air sebanyak 3 mililiter untuk membuatnya terendam. Petasan yang diuji
tersebut merupakan petasan yang sama dan dibuat tetap di panggung objek
tomografi sehingga posisi petasan selama proses tomografi tetap. Dengan posisi
petasan yang tetap maka dapat diamati adanya perubahan bentuk pada mesiu
petasan ketika basah atau kering. Perubahan bentuk yang dimaksud antara lain
adalah menyempit atau melebarnya diameter mesiu petasan. Objek penelitian
ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Tampilan
Citra
Proses tomografi melibatkan prosedur merotasi objek uji. Untuk itu objek
ditempatkan di meja objek dan meja objek dapat diputar menggunakan motor
langkah seperti pada Gambar 4.4. Motor langkah itu dikendalikan oleh unit
komputer melalui driver motor stepper. Untuk setiap posisi sudut meja objek,
diperoleh citra radiograf dari objek uji. Jadi, unit komputer disamping
36
mengendalikan meja objek juga menerima dan mengatur perolehan citra radiograf
dari berbagai sudut. Selain berfungsi untuk meneruskan gambar yang direkam,
perangkat lunak DRCT juga digunakan untuk mengatur sistem rotasi pada objek
yang menggunakan stepper motor. Akibat seluruh bagian petasan dilewati
(dipindai) sinar-x, maka dimensi petasan akan dapat diamati pada proses
rekonstruksi. Slicing pada ketinggian tertentu kemudian akan memberikan
informasi tampang lintang petasan pada ketinggian tertentu. Meskipun pemindaian
meliputi seluruh objek uji, namun proses analisis hanya dilakukan pada bagian
tampang lintang mesiu. Informasi tampang lintang ini yang kemudian dapat
dianalisis baik dimensi, maupun profil kerapatan citra.
Gambar 4.4. Contoh Objek Uji Model Peluru pada Meja Panggung Objek.
37
Peluru
Kering Citra P1
P1 : P2
CT
Lembab Citra P2
Scanner
P1 : P3
Basah Citra P3
Tidak
o
𝜃 = 360 ?
Ya
Susun Sinogram
Sinogram
Rekonstruksi citra.
Citra tomografi
Tidak
Apakah i = 3?
Ya
Selesai
Setiap irisan citra radiograf disebut proyeksi. Seluruh proyeksi dari citra
radiograf 0o – 360o kemudian disusun dan membentuk sinogram. Proses
pembentukan sinogram menggunakan software DRCT yang dikembangkan oleh
Grup Riset Fisika Citra. Proses ini akan membentuk sinogram sebanyak jumlah
irisan citra radiograf. Proses pembentukan sinogram ini ditunjukkan pada Gambar
4.10.
Gambar 4.11. Proses Stacking Citra Tomografi Menjadi Citra Objek 3 Dimensi.
44
45
b.)
Bagian tepi (jaket) dan
proyektil peluru jelas
terlihat pada 30 kV
Penggumpalan lebih
jelas terlihat pada 40
kV.
Gambar 5.3. Perbandingan Citra Radiograf untuk (a) Ketiga Kondisi Mesiu
Pada Pemindaian 40 kV, (b) Kondisi Mesiu Basah untuk 40 kV dan 30 kV.
Citra radiograf yang didapat sebanyak 360 buah hasil pemindaian akan
direkonstruksi menjadi citra tomografi untuk mendapatkan citra tampang lintang
objek.
Gambar 5.4 menunjukkan bagaimana pola sinusoidal terbentuk pada sinogram dari
citra tomografi yang mewakili bagian ruang kosong dan bagian gumpalan mesiu.
a.) b.)
Sampel yang digunakan untuk mendapatkan citra pada Gambar 5.1 adalah
peluru kosong. Citra 5.5 (b) seharusnya memiliki warna hitam pada bagian
tengahnya. Untuk mendapatkan koreksi citra dari Gambar 5.5 (b), perlu dilakukan
proses transformasi citra. Proses transformasi yang dilakukan menggunakan
metode Fast Fourier Transform (FFT). Secara umum Transformasi Fourier
merupakan metode matematika yang digunakan untuk mentransformasi suatu
persamaan gelombang yang merupakan fungsi waktu (𝑓(𝑡)) atau fungsi jarak
(𝑓(𝑥)) menjadi suatu persamaan gelombang fungsi frekuensi (𝑓(𝜔)) (Boas, 2006).
Prinsip FFT pada pengolahan citra digital juga serupa dengan prinsip transformasi
fourier pada umumnya. FFT digunakan untuk mentransformasi suatu citra digital
menjadi suatu citra dengan fungsi frekuensi. Pada proses FFT dapat dilakukan
penghapusan citra frekuensi rendah (prinsip high-pass filter) atau pada frekuensi
tinggi (prinsip low-pass filter) maupun keduanya (prinsip band-pass filter).
50
a.) b.)
Gambar 5.6. Citra Transformasi FFT (a) dan Citra FFT saat Dilakukan
Band-Pass Filter (b).
Gambar 5.6 (a) merupakan citra hasil transformasi dengan FFT dari citra
pada Gambar 5.5 (b). Penjelasan mengenai citra FFT adalah pada piksel bagian
tengah menunjukkan citra dari Gambar 5.5 (b) dengan frekuensi rendah, sementara
semakin mendekati tepi citra menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi (Buzug,
2008). Grey level menunjukkan intensitas citra pada frekuensi tersebut. Dengan
warna piksel yang semakin putih menunjukkan intensitas citra pada frekuensi
tersebut lebih tinggi. Warna putih pada citra FFT terkonsentrasi pada bagian tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa citra dengan frekuensi rendah lebih mendominasi.
Hanya sebagian kecil citra frekuensi tinggi terdistribusi. Hal ini ditunjukkan dengan
warna abu-abu pada bagian tepi citra FFT. Dengan perangkat ImageJ, dilakukan
pemotongan pada bagian tertentu pada citra yaitu pada sebagian kecil di tengah dan
pada bagian tepi citra FFT seperti pada Gambar 5.6 (b). Hal ini menunjukkan telah
dilakukan prinsip band-pass filter pada citra 5.5 (b). Gambar 5.3 merupakan citra
hasil transformasi dengan FFT pada Gambar 5.5 (b). Terlihat pada bagian tengah
objek telah berwarna menyerupai warna hitam pada bagian luar objek. Selain itu
pemotongan pada citra frekuensi tinggi juga memberikan efek smoothing pada
objek.
51
Tepi Selongsong
Bubuk Mesiu
dapat terlihat dengan jelas diakibatkan oleh kondisi mesiu yang terlalu basah.
Namun, mesiu sesungguhnya material yang tidak larut dengan baik dengan air.
Kondisi ini menyebabkan mesiu terendap lebih banyak pada bagian bawah dan
konsentrasi mesiu pada bagian atas tidak sebanyak pada bagian bawah. Gambar
5.11 akan memberikan penjelasan yang lebih lanjut mengenai perbedaan kedua
kondisi mesiu.
Analisis berikutnya pada citra bagian tengah. Gambar 5.8 dan Gambar
5.9 menunjukkan sedikit perbedaan pada citra P1 dan P2. Citra P1 berbentuk
lebih rapat dibandingkan dengan citra P2. Hal ini disebabkan oleh masuknya air
pada mesiu menyebabkan terjadinya kenaikan kerapatan. Kenaikan kerapatan
pada P2 ditunjukkan oleh kondisi citra yang lebih gelap dari P1. Pada P3 bagian
tengah terlihat adanya beberapa gumpalan mesiu diantara padatnya konsentrasi
air. Mesiu yang menggumpal menunjukkan mesiu tidak larut dengan baik ketika
di dalam air. Berikut penjelasan mengenai perbandingan citra bagian tengah
pada Gambar 5.12.
57
a.)
Gambar 5.14 dan 5.15 menunjukkan grafik yang berbeda dari setiap
plot profil pada objek uji. Pada bagian atas, terlihat grafik P1 menunjukkan
adanya ketidakteraturan pada distribusi nilai grey-level. Grafik P2 dan P3
menunjukkan ketidakteraturan yang lebih mencolok dibandingkan P1. Pada
grafik P2 dan P3 terlihat sebagian nilai koefisien atenuasi linear bernilai 0. Hal
ini disebabkan karena faktor gumpalan pada P2 dan gejala meniskus pada P3.
Grafik bagian tengah menunjukkan sebaran nilai grey-level yang tertinggi
berada pada tepi objek. Seperti yang dibahas sebelumnya, bagian tepi objek
merupakan jaket selongsong peluru dimana memiliki kerapatan yang lebih
tinggi.
Hal yang cukup membedakan pada sebaran profil citra pada P1 dan P2
adalah objek P2 mengalami kenaikan nilai kerapatan dibandingkan dengan P1.
Hal ini disebabkan karena P1 merupakan citra dari peluru kering. Distribusi
mesiu pada peluru kering tidak terlalu rapat. Terdapat sebagian rongga (ruang)
yang terisi oleh udara. Naiknya nilai kerapatan citra ini merupakan akibat dari
bercampurnya air dengan mesiu. Hal ini menyebabkan bagian rongga yang
semula terisi udara menjadi terisi air dimana nilai koefisien atenuasi linear air
lebih besar daripada udara. Kondisi ini menyebabkan naiknya kerapatan citra.
Pada P3 bagian tengah menunjukkan distribusi yang cukup berbeda. Secara
umum nilai kerapatan untuk P3 berkurang drastis, sebagaimana pada bagian
tengah P3 penuh terisi air. Mesiu pada P3 termampatkan pada bagian bawah.
Namun, pada grafik plot-profile P3 menunjukkan adanya puncak. Hal ini
disebabkan oleh adanya gumpalan mesiu ditengah-tengah yang tidak larut
dengan baik pada air.
Pada bagian bawah, nilai kerapatan citra pada P3 meningkat cukup
besar. Fenomena ini disebabkan oleh endapan mesiu yang terendap lebih padat
pada bagian bawah. Berbeda dengan P3 bagian tengah, dimana pada bagian
tengah peluru penuh terisi air, sementara mesiu mengendap pada bagian bawah.
Berbeda dengan P1 dimana mesiu terdistribusi homogen dan pada P2 air
terdistribusi secara merata karena konsentrasinya yang tidak terlalu besar.
Namun, secara umum hasil plot-profile dari hasil pemindaian 30kV dan 40 kV
tidak mengalami perubahan signifikan.
63
Apabila energi sinar-x terlalu lemah, maka sinar-x tidak mampu untuk menembus
objek, sehingga citra hasil pemindaian tidak akan berbeda baik untuk objek dengan
defect maupun tanpa defect. Pada pengujian ini, terlihat kualitas citra hasil
pemindaian untuk tegangan pembangkit sinar-x 40 kV dapat lebih membedakan
kualitas citra P1, P2, dan P3 dibandingkan dengan tegangan pembangkit 30 kV. Hal
tersebut juga berlaku sebaliknya. Apabila energi sinar-x terlalu tinggi menyebabkan
sinar-x mampu menembus seluruh bagian objek dengan mudah. Hal ini
mengakibatkan hasil yang sama apabila energi sinar-x terlalu lemah yaitu kondisi
citra tidak dapat terbedakan.
5.6 sad
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan dari penelitian ini
maka diperoleh kesimpulan yaitu:
1. Kondisi mesiu kering, lembab, dan basah memiliki beberapa perbedaan.
Umumnya citra yang didapat dari hasil pemindaian pada mesiu kering
menampilkan distribusi citra yang homogen. Pada citra yang didapat dari
hasil pemindaian mesiu lembab dan basah memperlihatkan efek gumpalan
dan gejala meniskus pada bagian atas mesiu. Mesiu kering terdistribusi
secara homogen pada setiap bagian. Pada mesiu basah telihat adanya
penambahan konsentrasi air yang merata pada setiap bagian, namun pada
mesiu basah menunjukkan mesiu mengendap pada bagian bawah peluru
akibat konsentrasi air yang sangat besar.
2. Hasil pemindaian pada mesiu kering menunjukkan terjadinya kerapatan
citra yang tinggi. Saat diberi perlakuan kelembaban, umumnya kerapatan
citra mengalami kenaikan. Namun khusus pada P3, profil citra tomografi
menunjukkan penurunan pada bagian tengah dan kenaikan kerapatan pada
bagian bawah. Hal ini disebabkan oleh adanya endapan mesiu yang sangat
besar pada bagian bawah, sehingga pada bagian tengah cenderung lebih
dominan oleh konsentrasi air yang sangat besar.
3. Penggunaan sistem mikro-TK sinar-x untuk inspeksi peluru merupakan
jenis pengujian yang dilakukan tanpa merusak objek ujinya. Pengujian
tersebut dikenal dengan istilah Non-Destructive Testing (NDT). Objek
diletakkan pada meja putar dan didapatkan hasil radiograf jamak dari sudut
0o – 360o. Radiograf jamak kemudian dilakukan pemilihan slice yang
disusun menjadi sinogram. Sinogram direkonstruksi menjadi citra
tomografi. Pada citra tomografi dilakukan analisis kerapatan dan profil citra.
Dengan analisis itu dapat dibedakan kondisi mesiu dalam peluru baik itu
kering, lembab, atau basah. Selain itu, dari banyaknya citra tomografi yang
65
66
6.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya yaitu:
1. Perlu dikembangkan sistem mikro-TK dengan tegangan tabung pembangkit
sinar-x >100 kV agar dapat menembus logam yang menjadi pelapis peluru
asli.
2. Pada percobaan berikutnya, perlu dibandingkan hasil rekonstruksi dengan
filter yang berbeda selain sheplogan seperti ramlak, filter cosinus, dan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
67
68
Thornby, J., Landheer, D., Williams, T., Barnes-Warden, J., Fenne, P., Norman, D.,
Attridge, A., dan Williams, M. A., 2014, Inconsistency in 9 mm bullets:
Correlation of jacket thickness to post-impact geometry measured with
non-destructive X-ray computed tomography, Forensic Science
International, Volume 234, January 2014, Pages 111-119, ISSN 0379-
0738, http://dx.doi.org/10.1016/j.forsciint.2013.11.002.
Wangsness, R. K., 1986, Electromagnetic Fields, 2nd Edition, John Wiley & Sons,
Toronto.
Yaffe, M. J., dan Rowlands, J. A., X-ray Detectors for Digital Radiography, Physics
in Medicine and Biology, 42 (1997), no. 1, 1, pp 1-39
Kutipan Gambar:
http://mygunculture.com/how-bullets-work/ diakses pada 9 Maret 2017