Anda di halaman 1dari 131

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK


BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi

Oleh:
Monica Arum Sukmajati
NIM : 038114022

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PEI,AI<SANAANST NDAR PNLAYANANKEFARMASIAN DI A}OTEK


DDRDASATX,{NKEPMENKIJ RI NOMOR TO27IMENKES/SK'X12OO4
DTKOTA YOGYAKARTA

Monic!Arumsul njali
NIM:0381l4u2l

Skripri i.i lelahdhct,{i!i oleh:

---.1
/'/

Ystim Srirlanlni,M.Si.,Apt.

Tde$l : og-cA-tdb? rues.l : ot-o! -rrol


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

felg{bu ShiPti

Pf,I-A(SANAAN STANDARPELAYANAN KEfAiMASIAN I'I POIDK


BERDASARKAIIKEPMENIGS RI NOMOR IO27IMENI(ES/SK/Dfi,M4
DI KOIA YOGYA(ARTA

Oleh;
MOMCA ARUM SUKMAJATI
N]M : 0381l.liD2

Dipert lulqtr dibd.P3tr Pltriti! PoguJi Sltripri


tr.kllL! f.@ti
UBir.dit !Sd.t Db'l4

P..t. luggtl I I Agurtrr 20{lt

[,ii r'r( ip.

?@bimbiDe
I Du. Su1Mm, Ap1.

leDbimbirg II : Yustim S.i Hrnini. M,Si,,Api.

2_ Yuslim Sri Ead4 M.Si.,Apt,


t. Alis Widaya6M.Si.,Apt
Ip&s Dju.lrko, S.Sj.,A'i-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuksesan berarti melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan

dengan apa yang kita miliki. Kesuksesan adalah suatu proses, bukan

hasil akhir-mengenai mengusahakan-nya, bukan keberhasilannya.

Wynn Davis

ku persembahkan kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus,

kepada keluargaku, kepada kekasihku,

dan kepada almamaterku.

iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan

karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat

untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata

Dharma.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan

saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah

bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan

kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan

selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.

v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik

dan saran yang telah diberikan.

6. Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin sehingga penelitian

ini dapat terlaksana.

7. Bapak dan Ibu Apoteker Kota Yogyakarta yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak St. Kasidjan dan Ibu R. Sumaryati

atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Kakak Wahyu

dan Adik Agung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini.

9. Made Arthawan Putra. There are lots of things that weve been through

together n I would like to say thank you, for being everything to me.

10. Ozza, my brother. Terima kasih atas bantuannya sehingga komputer bisa

kembali normal dan bisa digunakan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Bangun atas

kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

12. Teman-teman The Sindens : Dee, Vera, Dita, Ana, Tata, Rosa, Sari dan

Angger. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas

kebersamaan dan keceriaan selama empat tahun ini.

14. Teman-teman Kost Difa. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

15. Sifa, Ria, Livie dan Ami. Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian

selama ini.

16. Anna dan Mita atas pinjaman laptopnya.

vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

U. MeliDd{ MeEyltas pinjM ddlemt! !6da sd dalut


18,sdu pihat ,@g tidat dapat!.!uiie pbulkm stu psrhl.

D.ld kempat n ini, pn'nisjuga mnohon baal kepadaedu pihak

aB ketoagd de teelahe yDg suelod drbrM Ftrulis. Olhlffi iE

dne6 rndal lati pqulis magb@lka Muka4 stu rLn kilik yeg

YogyElon427 Jui 2007

t0 ..-
wv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAANKEASLIAN K,{RYA

tut! E@yatzk! dengd wgguhlya bslM shipsi teg eya tulis ini

1id!t nd@t krt ataubqgie orug lai4 koali yeg telahdtuebdkmd,lah

lolip@ dd.hftd p$ta&4 *bagaibdg lryahr laya ilnish.

YosD}rta, 27Jmi 2007


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL. i

HALAMAN PERSETUJUAN.. ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN iv

PRAKATA v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... viii

DAFTAR ISI. ix

DAFTAR TABEL. xiii

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN. xvii

INTISARI.. xviii

ABSTRACT.. xix

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang. 1

1. Rumusan masalah.. 3

2. Keaslian penelitian. 4

3. Manfaat penelitian.. 5

B. Tujuan Penelitian. 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek. 7

B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker.. 8

ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Peraturan perundang-undangan. 8

2. Apoteker sebagai suatu profesi.. 11

3. Peran apoteker 14

C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.. 17

1. Asuhan kefarmasian... 17

2. Akuntabilitas praktek farmasi 17

3. Manajemen praktis farmasi 18

4. Komunikasi farmasi.. 18

5. Pendidikan dan pelatihan farmasi. 19

6. Penelitian dan pengembangan kefarmasian.. 19

7. Peraturan perundang-undangan 20

D. Sumpah Apoteker. 24

E. Kode Etik Apoteker. 24

F. Keterangan Empiris. 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian 28

B. Batasan Operasional Penelitian 28

C. Instrumen Penilitian.. 29

D. Populasi dan Sampel. 29

1. Populasi.. 29

2. Sampel 30

E. Tata Cara Penelitian..... 32

1. Pembuatan kuesioner. 32

x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Pengujian kuesioner... 32

3. Penyebaran kuesioner 34

4. Pengumpulan kuesioner. 34

5. Wawancara 35

F. Tata Cara Analisis Data 35

G. Kesulitan Penelitian. 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Deskripsi Responden... 37

1. Umur responden. 37

2. Posisi responden di apotek. 38

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek.. 39

4. Adanya pekerjaan lain dari responden 40

5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu 41

6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari. 41

B. Pengelolaan Sumber Daya.. 42

1. Sumber daya manusia 42

2. Sarana dan prasarana. 44

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.. 52

4. Administrasi.. 59

C. Pelayanan. 65

1. Skrining resep 65

2. Penyiapan obat.. 71

3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi.. 79

xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Evaluasi Mutu Pelayanan. 81

1. Tingkat kepuasan konsumen.. 82

2. Dimensi waktu... 83

3. Prosedur tetap 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.. 87

B. Saran 87

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 89

LAMPIRAN 92

BIOGRAFI PENULIS 111

xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel I Posisi Responden di Apotek..... 38

Tabel II Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden.... 40

Tabel III Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu.. 41

Tabel IV Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu

Berdasarkan Persetujuan APA.. 43

Tabel V Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek 45

Tabel VI Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian

dengan Produk Lainnya. .............. 46

Tabel VII Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien. 47

Tabel VIII Adanya Informasi Bagi Pasien. 47

Tabel IX Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi. 48

Tabel X Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling 48

Tabel XI Adanya Ruang Racikan di Apotek... 49

Tabel XII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien 50

Tabel XIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan

Farmasi di Apotek. 53

Tabel XIV Sumber Perolehan Obat di Apotek 54

Tabel XV Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke

Wadah Lain... 55

Tabel XVI Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru . 56

xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tabel XVII Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan

Khusus.. 57

Tabel XVIII Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur

Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka

Beli 59

Tabel XIX Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota

Penjualan.. 60

Tabel XX Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam

Buku Penjualan. 61

Tabel XXI Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran

Narkotika dan Psikotropika.. 61

Tabel XXII Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara

Berurutan... 62

Tabel XXIII Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian Medication

Record 63

Tabel XXIV Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep

Persyaratan Administratif. 66

Tabel XXV Skrining Kesesuaian Farmasetik. 67

Tabel XXVI Skrining Pertimbangan Klinis. 68

Tabel XXVII Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan

Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep.. 69

Tabel XXVIII Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang

Etiket Oleh Pasien. 71

xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tabel XXIX Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep

Sebelum Diserahkan ke Pasien. 72

Tabel XXX Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung

Dalam Penyerahan Obat ke Pasien... 73

Tabel XXXI Informasi Obat yang Diberikan Apoteker 74

Tabel XXXII Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling

Setiap Hari di Apotek 76

Tabel XXXIII Apoteker yang Memberikan Konseling Secara

Berkelanjutan 77

Tabel XXXIV Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi

Informasi Kesehatan ................................................ 79

Tabel XXXV Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi 80

Tabel XXXVI Apotek yang Pernah Melakukan Survey... 82

Tabel XXXVII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan.. 83

Tabel XXXVIII Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap 84

xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Diagram Umur Responden 37

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker

di Apotek yang Sekarang... 39

Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek Dalam

Sehari. 42

Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan

Persetujuan APA 44

Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek. 50

Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek.. 51

Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan

Kesehatan Lainnya. 58

Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi.. 64

Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep.. 70

Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat. 78

Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut

Terapi. 81

Gambar 12. Bentuk Survey 82

Gambar 13. Pelaksanaaan Evaluasi Mutu Pelayanan 84

Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kota Yogyakarta... 86

Gambar 15. Skema Alur Pelayanan Resep Apotek XYZ. 110

xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian. 92

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian.. 93

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian.. 99

Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker. 100

Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia.. 102

Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat............................. 105

Lampiran 7. Hasil Wawancara .. 106

Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan

Konsumen. 109

Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep.. 110

xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

INTISARI

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan
orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu
apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk
menghindari terjadinya hal tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta dan sedikit mengkaji
pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola
Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang
merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik
deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum
dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kota
Yogyakarta.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor


1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.

xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient


oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities
has, which previously only focused on the drugs management as a commodity,
become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the
quality of patients life. As the consequences of the orientation change, pharmacist
are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of
direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the
possibility of medication error happen in service process. Therefore the
pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order
to prevent injurious event.
This research aimed at knowing the description of the implementation of
Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI
Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta and briefly studying the
pharmacists comprehension concerning the definition of medication record and
counseling. This respondents were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist
who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The
analysis performed was descriptive statistic.
Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in
Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in
Yogyakarta was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in
Yogyakarta.

Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number


1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.

xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke

pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan

obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan

orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan

pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya

kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu

apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk

menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi

dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung

penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a).

Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan

kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi

Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk

menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat yaitu Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).

1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi

Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional apoteker

di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat,

mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran

dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional

kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku

dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan

keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker di

apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada

semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya

melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai

pedoman praktek apoteker di apotek.

Apoteker di apotek harus memberikan pelayanan yang profesional pada

masyarakat sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pasal 8 ayat 1

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai

dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Bila melanggar ketentuan tersebut, maka sesuai pasal 62 ayat 1 akan

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan keterangan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa apoteker di apotek harus menjalankan praktek


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kefarmasian sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga

masyarakat terhindar dari pelayanan yang tidak profesional.

Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan

perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar

yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1

Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan,

perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan

tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.

Berdasarkan keterangan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah ditetapkan tersebut telah sepenuhnya

dilaksanakan oleh apoteker di apotek, terutama apoteker di apotek-apotek Kota

Yogyakarta.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang

akan diteliti sebagai berikut :

Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes

RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh

oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta?


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai

Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :

a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek

Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di

Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000).

Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker

tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker

di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian

Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undang-

undang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah

Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar

Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007).

Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter umum

terhadap peran apoteker berdasarkan Kepmenkes Nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran

apoteker di masa mendatang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum,

sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek.

Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit

berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini

meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :

1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam

pengelolaan apotek.

2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang

tertarik dalam pelayanan perapotekan.

3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan

pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara

menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.

.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek

Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha

dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa

tugas dan fungsi apotek, ialah :

a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,


dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat,
obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya.
(Anonim, 1965)

Pada perkembangannya fungsi apotek yang diatur pada Peraturan

Pemerintah tersebut mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan adanya

Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 26 tahun 1965.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan

pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur

tugas dan fungsi apotek yaitu :

a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan


sumpah jabatan.
b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
(Anonim, 1980)

7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 10 menyebutkan, yang

dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi :

a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,


penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan
farmasi lainnya.
c. layanan informasi mengenai perbekalan farmasi.
(Anonim, 1993b)

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah

tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan

farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).

B. Tinjauan UmumTentang Apoteker

1. Menurut peraturan perundang-undangan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker

adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah

mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan

berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker

(Anonim, 2004a).

Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan

sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin (Anonim,

2002). Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi surat izin

apotek (Anonim, 1993b). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan

melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus

menunjuk apoteker pendamping (Anonim, 2002). Apabila apoteker pengelola

apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti.

Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola

apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih

dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta

tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim,

2002).

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan

menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya

berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

(Anonim, 1992). Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32

tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga

kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban

untuk :

a. menghormati hak pasien

b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan.

(Anonim, 1996)

Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 7 menyebutkan bahwa seorang apoteker

harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan

informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

pemeliharaan (Anonim, 1999). Permenkes Nomor 922 tahun 1993

menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi :

a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.

b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

(Anonim, 1993)

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker

harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,

tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-

kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka

waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari

selama terapi (Anonim, 2004a).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu

tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke

apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau

apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama

jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke

apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyatakan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada

pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, telah diuraikan sebelumnya,

dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

2. Apoteker sebagai suatu profesi

Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan

dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang

bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan

kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan

konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan

suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain :

1. unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas dan

merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di

tempat lain atau bidang yang berbeda.

2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan

mementingkan kepentingan orang lain).

3. telah mengucapkan sumpah.

4. memiliki kode etik

5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai

petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992).

6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan

peraturan perundang-undangan lain).

7. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja).

8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional

9. bersifat otonomi dan independensi.

10. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita.

11. confidental relationship dalam pelayanannya.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

Menurut ISFI (2004), profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.

2. pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi.

3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian.

4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom.

5. memberlakukan kode etik keprofesian.

6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan.

7. proses pembelajaran seumur hidup.

8. mendapat jasa profesi.

Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi

karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu :

1. memiliki ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan

jangka panjang (specialized knowledge and lengthy training). Agar

dapat diterima menjadi salah satu anggota profesi, seseorang harus

menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan spesialisasi tinggi.

Untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan

di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang

pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker

dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan

dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat

secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi

mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada

masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan

yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding,

1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan

telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang

berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai

apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa

pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi

obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam

pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan

bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan

secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut

hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya.

3. pengaturan diri (self regulation). Organisasi profesi diperbolehkan untuk

mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi

persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang

yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993).

Organisasi profesi farmasi adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965

menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI

sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker

Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana di bidang

farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain

dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan

Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

4. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan

bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi

keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi

keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53 Undang-

Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan

bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk

memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992).

3. Peran apoteker

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa

sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang

apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut, apoteker

harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan

pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan

berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam

situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi

peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004a).

Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah

Seven Star of Pharmacist meliputi :

1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan

klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam

memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara

individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan

pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan

dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,

keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh

penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan

kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai

tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk

kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan

pelatihan yang diperlukan.

3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam

berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh

karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik.

Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar

dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan

kebutuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi

pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian

mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan

mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia,

fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin

orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus

tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi

informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan

semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk

menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date)

dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara

belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan

melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam

berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan

memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.

(Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari

sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi

jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya

penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan

dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau

masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan

kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b).

1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan


kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter,
dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.
b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin
melakukan pengobatan mandiri.
c. memberikan pelayanan informasi obat.
d. memberikan konsultasi obat.
e. membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses
terapi.
f. melakukan monitoring efek samping obat.
g. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik.
h. pelaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara.
i. melakukan evaluasi penggunaan obat.
(Anonim, 2004b)

2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas


praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi.
b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan
mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.
c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang
diambil.
d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan


berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
(Anonim, 2004b)

3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen


praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan
regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah
dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di
apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari
tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan
efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan
falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan,
penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke
dalam rencana kerja (Plan of Action).
c. merancang, membuat ,melakukan pengelolaan obat di apotek yang
efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan
melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi,
penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan
dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan
kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem
jaminan mutu pelayanan.
d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka
organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem
informasi manajemen.
e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur
harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta
imbalan jasa praktek kefarmasian.
f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional
mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang
mengarah kepada kepuasan konsumen.
(Anonim, 2004b)

4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi


farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan
keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk
menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga


kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal
khususnya dalam aspek obat.
c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen
dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian.
d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling
menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya
martabat profesi.
(Anonim, 2004b)

5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan


pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :
a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa
farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.
b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi
teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka
peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.
c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang
kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien,
profesi kesehatan dan masyarakat.
(Anonim, 2004b)

6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan


pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di
apotek adalah:
a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan
mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada
masyarakat dan profesi kesehatan lain.
b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
(Anonim, 2004b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

7. Menurut peraturan perundang-undangan

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai berikut :

a. Pengelolaan sumber daya


1) Sumber daya manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus
dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan
Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan
dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang
tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri
sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola
SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.

2) Sarana dan prasarana


Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas
tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh
anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada
tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk
lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas
produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat
harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk
memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga
kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat,
serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama
untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi.
3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan
medikasi pasien
4. Ruang racikan.
5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak
penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan
rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan
serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang
telah ditetapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.


Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi
: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran
obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire
first out)
3.1 Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
diperhatikan :
a. Pola penyakit.
b. Kemampuan masyarakat.
c. Budaya masyarakat.
3.2 Pengadaan.
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.
3.3 Penyimpanan.
1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan
harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah
sekurangkurangnya memuat nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.
2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai,
layak dan menjamin kestabilan bahan.

4) Administrasi.
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu
dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :
4.1. Administrasi umum.
Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan
dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2. Administrasi pelayanan.
Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien,
pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

b. Pelayanan
1) Pelayanan resep.
1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
1.1.1. Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter.
- Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
- Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

- Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada
keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan
alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan
setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat.


1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam
melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur
tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat
serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang
cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan
pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan
resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan
tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan
terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya
meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya,
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan
lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis
lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.


Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk
pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma,
dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan edukasi.


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet
/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3) Pelayanan residensial (Home Care).


Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya
untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis
lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa
catatan pengobatan (medication record).

c. Evaluasi mutu pelayanan


Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :
1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket
atau wawancara langsung.
2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah
ditetapkan).
3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang
telah ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :
Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;
Adanya pembagian tugas dan wewenang;
Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan
lain yang bekerja di apotek;
Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
Membantu proses audit.
Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:
Tujuan : merupakan tujuan protap.
Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang
dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan
dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk
penerapan standar.
Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004a)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

D. Sumpah Apoteker

Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan

melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus

diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker

dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan

keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker

(ISFI, 2001).

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan

bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau

pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan

keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,

sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan

membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus

dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun

akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada

lampiran 4.

E. Kode Etik Apoteker

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-

rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan

keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker

dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan

yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu

memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006).

Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi

Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan

Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005

dapat dilihat pada lampiran 5.

Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :

1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai

dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan

masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam

menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai

penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan

sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak

melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus

mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan

memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya

yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang

ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan

lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi

keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer

untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan

bekal ilmu manajerial demi kelangsungan hidup apotek itu sendiri.

(Anief, 1995)

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek melakukan

bisnis yang beretika.

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan

prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang

kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul

konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan

penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses

pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap

tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan

bisnis adalah :

1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak

berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil

keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan

tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik

perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat

yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,

mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence).

Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,

minimal tidak merugikan orang lain.

4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan

sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan

orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.

(Isdaryadi, 2005)

Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan

dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang

melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari

keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).

F. Keterangan Empiris

Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan

sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan. Berdasarkan hasil

penelitian diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Yogyakarta berdasarkan tiga parameter

utama dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tersebut.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan

penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang

observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa

adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).

Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang

memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada

perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau

keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk

mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara

obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

B. Batasan Operasional Penelitian

1. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut

pendapat responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan

sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian

ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

3. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan

tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien.

4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila

persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka

dikatakan belum dilaksanakan.

5. Apotek adalah 23 apotek sampel yang berada di wilayah Kota Yogyakarta.

6. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping

yang bersedia mengisi kuisioner.

7. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan

selama bulan September-November 2006.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :

1. karakteristik responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-

benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam

suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua

apotek yang ada di Kota Yogyakarta.

Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta, diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta tahun 2006

adalah sebanyak 113 apotek.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data

sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif

ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk

populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk,

1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan

secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).

Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu

pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan

representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum

sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi.

Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum

sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil

penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel

sebesar 20% dari populasi yaitu sebanyak 23 apotek. Penentuan sampel


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

menggunakan metode proportional cluster non random sampling dimana

apotek dikelompokkan berdasarkan kecamatan terlebih dahulu sehingga

diperoleh jumlah apotek tiap kecamatan, yaitu Kecamatan Gondokusuman 12

apotek, Kecamatan Jetis 11 apotek, Kecamatan Tegalrejo 3 apotek,

Kecamatan Danurejan 8 apotek, Kecamatan Pakualaman 4 apotek, Kecamatan

Gedongtengen 4 apotek. Kecamatan Ngampilan 5 apotek, Kecamatan Kraton

5 apotek, Kecamatan Gondomanan 6 apotek, Kecamatan Wirobrajan 7 apotek,

Kecamatan Mantrijeron 15 apotek, Kecamatan Mergangsan 5 apotek,

Kecamatan Umbulharjo 20 apotek dan Kecamatan Kotagede 8 apotek. Jumlah

apotek menggambarkan jumlah responden. Kemudian dilakukan pengambilan

sampel sebesar 20% dari jumlah apotek di setiap kecamatan sehingga

diperoleh jumlah sampel yang berbeda di tiap kecamatan sesuai jumlah apotek

yang berada di kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Gondokusuman 2

apotek, Kecamatan Jetis 2 apotek, Kecamatan Tegalrejo 1 apotek, Kecamatan

Danurejan 2 apotek, Kecamatan Pakualaman 1 apotek, Kecamatan

Gedongtengen 1 apotek, Kecamatan Ngampilan 1 apotek, Kecamatan Kraton

1 apotek, Kecamatan Gondomanan 1 apotek, Kecamatan Wirobrajan 1 apotek,

Kecamatan Mantrijeron 3 apotek, Kecamatan Mergangsan 1 apotek,

Kecamatan Umbulharjo 4 apotek dan Kecamatan Kotagede 2 apotek.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

E. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam

penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari

responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang

di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis

oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi

responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner

a. Uji pemahaman bahasa

Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana

bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner

dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan

pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman

bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima

apotek di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat

ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen

pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang

sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).

Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu

untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).

Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi.

Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi

pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana

dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan

analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi

validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan

hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang

akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner

akan tercapai.

c. Uji reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur

tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap

apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut

memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak

berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan

tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan

homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur

suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena

pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung

terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas

data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden

menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan

asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang

mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi

reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan

mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada

responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner

tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner

tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil

kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan

pada bulan September November 2006.

4. Pengumpulan kuesioner

Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil

setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang

dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak

23 buah sesuai jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

5. Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan

sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985).

Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis,

2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk

mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling dan

pengertian medication record. Wawancara dilakukan terhadap beberapa

responden yang bersedia untuk di wawancarai. Hasil wawancara dapat dilihat

pada lampiran 7.

F. Tata Cara Analisis Data

Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada

penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik

(Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif

dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.

Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga

parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian

menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah

melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes

RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan

jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.

G. Kesulitan Penelitian

Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :

1. tidak semua Apoteker di apotek Kota Yogyakarta bersedia menjadi responden.

2. tidak dilakukannya orientasi untuk membuat sampling frame, yang bertujuan

untuk menentukan jumlah apoteker yang bersedia mengisi kuesioner sebagai

populasi, sebelum menentukan jumlah sampel.

3. tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan

responden terhadap tiap jawaban yang diberikan.

4. sulit untuk mengetahui perbandingan tingkat pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek dari setiap responden.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek,

pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan

lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam

sehari.

1. Umur responden

Hasil penelitian menunjukkan responden yang berada pada rentang usia

antara 21-35 tahun sebesar 73,92%, 36-50 tahun sebesar 4,35% dan yang

berusia lebih dari 50 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai rentang usia

responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Umur Responden

21.74%

4.35% 21-35 thn


36-50 thn
>50 thn

73.92%

Gambar 1. Diagram Umur Respoden

Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden,

yaitu sebanyak 73,92% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang

mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja

37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

seseorang. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses

pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan

mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu

berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan

mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip

abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Berdasarkan keterangan tersebut

diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih

baik.

2. Posisi responden di apotek

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada

yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan

Apoteker Pengganti. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker

Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi

kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 95,65% responden

merupakan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sisanya sebesar 4,35%

merupakan Apoteker Pendamping.

Tabel I. Posisi Responden di Apotek

Persentase (%)
No Posisi responden di apotek Jumlah
n = 23
1 Apoteker Pengelola Apotek 22 95,65
2 Apoteker Pendamping 1 4,35
Total 23 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan

apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping

sesuai yang diharapkan oleh peneliti sehingga diharapkan responden dapat

mengisi kuesioner dengan baik dan dapat diketahui pelaksanaan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek tersebut, karena seorang apoteker lebih

paham mengenai segala sesuatu yang terjadi di apotek dibandingkan staf

lainnya.

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman

kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun

sebesar 4,35%, 1-5 tahun sebesar 60,87%, 6-10 tahun sebesar 13,04% dan

yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai

pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang dapat

dilihat pada Gambar 2 berikut.

Pengalaman Kerja sebagai Apoteker di Apotek

4.35%
21.74%
<1 thn
1-5 thn
6-10 thn
13.04%
> 10thn
60.87%

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker


di Apotek yang Sekarang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden

(95,65%) telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang

sekarang selama lebih dari 1 tahun sehingga diharapkan bahwa responden

telah memahami mengenai kinerja di apotek mereka yang sekarang dan dapat

mengisi kuesioner dengan baik.

4. Adanya pekerjaan lain dari responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,17% responden memiliki

pekerjaan lain, selain sebagai apoteker di apotek dan sisanya yaitu sebesar

47,83% tidak memiliki pekerjaan selain sebagai apoteker di apotek.

Tabel II. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden

Pekerjaan lain selain sebagai Persentase (%)


No Jumlah
apoteker n = 23
1 Memiliki 12 52,17

2 Tidak memiliki 11 47,83


Total 23 100

Ada tidaknya pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek, apa pun

jenis pekerjaannya, sedikit banyak akan berpengaruh pada jam kehadiran dan

kinerja apoteker di apotek. Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b

apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang

dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang

apoteker yang bekerja penuh (full-time). Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh

seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya

sebagai apoteker di apotek dan di pekerjaan lainnya sesuai Kode Etik

Apoteker pasal 6, seorang apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh

yang baik bagi orang lain.

5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek

3-5 hari seminggu sebesar 30,43% dan yang bekerja 6-7 hari seminggu

sebesar 69,57%.

Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu

Waktu kerja di apotek Persentase (%)


No Jumlah
dalam seminggu n = 23
1 < 3 hari 0 0
2 3-5 hari 7 30,43%
3 6-7 hari 16 69,57%
Total 23 100

Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan, waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tabel III memperlihatkan

bahwa sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat disimpulkan

bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana

contoh apoteker yang bekerja di apotek perusahaan negara (Kimia Farma).

6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek

kurang dari 4 jam sehari sebesar 4,35%, yang bekerja 4-6 jam sehari sebesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

39,13% dan yang bekerja lebih dari 6 jam sehari sebesar 56,52 %. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Waktu Kerja di Apotek dalam Sehari

4.35% 39.13%

< 4 jam
4-6 jam
> 6 jam

56.52%

Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Sehari

Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari).

Gambar 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja lebih dari

6 jam sehari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi

ketentuan waktu kerja minimal dalam sehari yang berlaku.

B. Pengelolaan Sumber Daya

1. a. Sumber daya manusia

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain

menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang

profesional. Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan untuk

mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi

dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner.

Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya

adalah merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan

mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan

bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil.

Tabel IV. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan


Persetujuan APA

Persentase (%)
No Berdasarkan persetujuan APA Jumlah
n = 23
1 Ya 18 78,26

2 Tidak 5 21,74

Total 23 100

Tabel IV menunjukkan bahwa apotek yang setiap keputusannya

selalu diambil berdasarkan persetujuan APA sebesar 78,26%, dimana hal

ini juga dinyatakan oleh responden yang merupakan apoteker pendamping.

Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian

ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi

dan perbekalan kesehatan lainnya.

Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menggambarkan

kualitas seorang apoteker terutama Apoteker Pengelola Apotek.

Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20 menyebutkan bahwa Apoteker

Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang

dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam

pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh

dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten

apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Karena itulah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan

persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

b. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

sumber daya manusia.

100.00%
78.26%

Ya
50.00%
Tidak
21.74%

0.00%

Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan


Persetujuan APA

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya

manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase

pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 78,26%.

2. Sarana dan prasarana

a. Papan petunjuk apotek

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis

kata apotek. Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan bahwa

papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm.

Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang

persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama

apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan

nomor telepon, kalau ada.

Tabel V. Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek

Papan yang tertulis kata Persentase (%)


No Jumlah
apotek n = 23
1 Ada 23 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 23 100

Penelitian ini mengacu pada Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada

halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata

apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya

seperti yang tersebut diatas. Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek

(100%) mempunyai papan yang tertulis kata apotek pada halaman depan

apotek mereka sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 ayat 2 dan 3, sarana

apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan

komoditi lainnya di luar sediaan farmasi dan apotek dapat melakukan

kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Kepmenkes


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan

produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas

pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk

menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan. Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 8

menyebutkan bahwa apotek dilarang menyalurkan barang atau menjual

jasa yang tidak ada hubungannya dengan fungsi pelayanan kesehatan.

Tabel VI. Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian dengan


Produk Lainnya

Diberikan pada tempat Persentase (%)


No Jumlah
yang terpisah n = 23
1 Ya 14 60,87

2 Tidak 9 39,13

Total 23 100

Tabel VI menunjukkan bahwa apotek yang menempatkan produk

kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 60,87% dan 39,13% sisanya

menempatkan produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya.

c. Ruang tunggu bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,

yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini

juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 yang pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang

tunggu.

Tabel VII. Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien

Persentase (%)
No Ruang tunggu bagi pasien Jumlah
n = 23
1 Ada 23 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 23 100

Tabel VII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang

tunggu bagi pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi

pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini

contohnya berupa brosur, leaflet atau poster.

Tabel VIII. Adanya Informasi Bagi Pasien

Brosur/informasi mengenai Persentase (%)


No Jumlah
kesehatan n = 22
1 Ada 22 95,65

2 Tidak Ada 1 4,35

Total 22 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

Tabel VIII menunjukkan bahwa apotek yang menyediakan informasi

bagi pasien sebesar sebanyak 95,65% dan 4,35% sisanya tidak

menyediakan informasi bagi pasien.

Tabel IX. Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi

Tempat khusus untuk Persentase (%)


No Jumlah
mendisplay n = 22
1 Ada 19 86,36

2 Tidak Ada 3 13,64

Total 22 100

Tabel IX menunjukkan bahwa dari apotek yang menyediakan

informasi bagi pasien tersebut, 86,36% di antaranya memiliki tempat

khusus untuk mendisplay informasi tersebut dan 13,64% sisanya tidak

memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut.

e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi

pasien.

Tabel X. Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling

Ruang tertutup untuk Persentase (%)


No Jumlah
konseling n = 23
1 Ada 4 17,39

2 Tidak Ada 19 82,61

Total 23 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

Tabel X menunjukkan bahwa hanya 17,39% apotek yang

mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dan selebihnya

sebesar 82,61% tidak mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi

pasien. Ruang tertutup berfungsi untuk menjaga privacy dan kenyamanan

pasien selama konseling berlangsung sehingga konseling dapat berjalan

dengan baik.

f. Ruang racikan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3

Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek

harus memiliki ruang peracikan.

Tabel XI. Adanya Ruang Racikan di Apotek

Persentase (%)
No Ruang racikan Jumlah
n = 23
1 Kering saja 4 17,39
2 Basah saja 0 0
3 Kering+Basah 17 73,91
4 Tidak punya 2 8,70
Total 23 100

Tabel XI menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 73,91% apotek

mempunyai ruang racikan kering dan ruang racikan basah, 17,39% apotek

yang hanya mempunyai ruang racikan kering dan terdapat 8,70% apotek

yang tidak mempunyai ruang racikan, baik ruang racikan kering maupun

ruang racikan basah.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

Ruang Racikan

17.39%

8.70%
Kering
Kering+Basah
Tidak punya

73.91%

Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek

g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf

maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun

2002 disebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta

memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan

salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga

dengan baik.

Tabel XII. Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien

Persentase (%)
No Keranjang sampah Jumlah
n = 23
1 Staf saja 1 4,35
2 Pasien saja 0 0
3 Staf +pasien 22 95,65
Total 23 100

Tabel XII menunjukkan bahwa 95,65% apotek mempunyai

keranjang sampah untuk staf dan keranjang sampah untuk pasien sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dan 4,35% sisanya

hanya mempunyai keranjang sampah untuk staf.

h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

sarana dan prasarana

100% 100% 100% 95.65% 91.30% 95.65%


60.87%
50% 17.39%
0%
papan petunjuk apotek
tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya
ruang tunggu
tempat display informasi
ruang konseling tertutup
ruang racikan
keranjang sampah untuk staf+pasien

Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan

prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan

sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki

persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk

apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (100%), tersedianya tempat

display informasi (95.65%), tersedianya keranjang sampah untuk staf dan

pasien (95,65%) dan penempatan produk kefarmasian yang terpisah

dengan produk lainnya (60,87%). Namun demikian masih terdapat

pengelolaan sarana dan prasarana yang belum dilaksanakan, yaitu yang

memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi tersedianya


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

ruang konseling tertutup (17,39%) sehingga perlu ditingkatkan lagi

pelaksanaannya.

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan,

pengadaan, penyimpanan dan pelayanan.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan

harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari

kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam

membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan

adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.

a) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit

yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut.

b) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di

sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-

obatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

c) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat,

bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-

obatan khususnya obat-obat tanpa resep.

(Hartini dan Sulasmono, 2006)

Tabel XIII. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan


Farmasi di Apotek

Persentase (%)
No Latar Belakang Perencanaan Jumlah
n = 23
1 Pola penyakit 3 13,04
Pola penyakit dan kemampuan
2 1 4,35
masyarakat
Kemampuan masyarakat dan
3 1 4,35
budaya masyarakat
Pola penyakit, kemampuan
4 masyarakat dan budaya 18 78,26
masyarakat
Total 23 100

Tabel XIII menunjukkan bahwa apotek yang memperhatikan pola

penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat dalam

perencanaan pengadaan sediaan farmasi sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78,26%, selebihnya sebesar 13,04%

hanya memperhatikan pola penyakit, 4,35% hanya memperhatikan pola

penyakit dan kemampuan masyarakat dan 4,35% hanya memperhatikan

kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.

b. Pengadaan

Persediaan barang di apotek diadakan berdasarkan perencanaan yang

telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada.

Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin

kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus

melalui jalur resmi.

Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan

obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika

dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal

3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar

Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan

penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan

farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain.

Tabel XIV. Sumber Perolehan Obat di Apotek

Persentase (%)
No Sumber Perolehan Obat Jumlah
n = 23
1 PBF 10 43,47
2 PBF+apotek 6 26,09
3 PBF+toko obat 1 4,35
4 PBF+apotek+toko obat 4 17,39
5 PBF+toko obat+swalayan 1 4,35
6 PBF+apotek+toko obat+swalayan 1 4,35
Total 23 100

Tabel XIV menunjukkan bahwa apotek yang memperoleh obat-

obatan melalui jalur resmi sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 1993 sebesar 69,56%, selebihnya ada yang

memperoleh obat melalui jalur tidak resmi. Bagan jalur distribusi obat

dapat dilihat pada lampiran 6.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

c. Penyimpanan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Tabel XV. Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah


Lain

Pernah memindahkan isi ke Persentase (%)


No Jumlah
wadah lain n = 23
1 Ya 7 30,43

2 Tidak 16 69,57

Total 23 100

Tabel XV menunjukkan bahwa apotek pada umumnya (69,57%)

selalu menyimpan obat/bahan obat dalam wadah asli dari pabrik, namun

terdapat 30,43% apotek yang pernah memindahkan isi obat dari wadah asli

ke wadah lain.

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada

wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis

informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurangkurangnya

memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Gambaran mengenai

informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada

Tabel XVI berikut.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

Tabel XVI. Informasi yang Disertakan pada Wadah Baru

Persentase (%)
No Informasi yang disertakan Jumlah
n=7
1 Tidak ada informasi 1 14,29
2 Tanggal kadaluwarsa+aturan pakai 3 42,85
Produsen+tanggal
3 kadaluwarsa+aturan pakai+cara 1 14,29
penyimpanan
Produsen+tanggal
4 kadaluwarsa+nomor batch+aturan 2 28,57
pakai+cara penyimpanan
Total 7 100

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, informasi yang harus

dicantumkan pada wadah baru sekurang-kurangnya memuat nomor batch

dan tanggal kadaluwarsa. Tabel XVI menunjukkan bahwa apotek yang

mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa sesuai Kepmenkes

RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 28,57%, selebihnya tidak

mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa seperti yang telah

ditentukan.

Pencantuman ini dimaksudkan bilamana terjadi penarikan suatu obat

karena sub standard dan bila apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan

menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang

keabsahannya terjamin, maka Surat Izin Apotek yang bersangkutan akan

dicabut. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Permenkes Nomor 922 tahun 1993.

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga

menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang

sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang

penyimpan obat.

Tabel XVII. Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan Khusus

Persentase (%)
No Tempat penyimpanan khusus Jumlah
n = 23
1 Ada 23 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 23 100

Tabel XVII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki

tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Tempat

penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya

adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes

Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk

menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu

kamar seperti serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun

1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek

tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek

tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan

kestabilan obat pada saat penyimpanan.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

100.00% 78.26%
69.19% 69.57%

50.00% 28.57%

0.00%

perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budaya


masyarakat
pengadaan melalui jalur resmi

penyimpanan dalam wadah asli pabrik

informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi : tgl kadaluwarsa+nmr


batch

Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan


Perbekalan Kesehatan Lainnya

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan

perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan

baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang

telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas

50%, meliputi perencanaan (78,26%), penyimpanan dalam wadah asli

pabrik (69,57%) dan pengadaan (69,19%). Namun demikian masih

terdapat pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di

bawah 50%, meliputi penyertaan informasi pada wadah baru (28,57%)

sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

4. Administrasi

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu

dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan

administrasi pelayanan.

1) Administrasi umum

Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan

narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

a. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan

bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan.

Tabel XVIII. Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur


Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka Beli

Selalu disertai bukti/faktur Persentase (%)


No Jumlah
pembelian dan dicatat n = 23
1 Ya 23 100

2 Tidak 0 0

Total 23 100

Tabel XVIII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu

menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka

pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

b. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan

Pasal 12 Kepmenkes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan

bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. Pasal 13

(d) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur

dan blangko nota penjualan.

Tabel XIX. Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota


Penjualan

Dilengkapi faktur/nota Persentase (%)


No Jumlah
penjualan n = 23
1 Ya 19 82,61

2 Tidak 4 17,39

Total 23 100

Tabel XIX menunjukkan bahwa apotek yang selalu menyertakan

faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka

lakukan sebanyak 82,61% dan 17,39% sisanya tidak selalu

menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan

yang mereka lakukan.

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan

bahwa dalam apotek harus tersedia buku penjualan dan penerimaan

obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap transaksi

penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

Tabel XX. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam


Buku Penjualan

Persentase (%)
No Dicatat dalam buku penjualan Jumlah
n = 23
1 Ya 22 95,65
2 Tidak 1 4,35
Total 23 100

Tabel XX menunjukkan bahwa terdapat 4,35% apotek yang tidak

selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. Apotek yang

selalu mencatat setiap transaksi penjualan dalam buku penjualan

sebesar 95,65%.

c. Pengeluaran narkotika dan psikotropika

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan

bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan

psikotropika.

Tabel XXI. Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran


Narkotika dan Psikotropika

Dicatat dalam buku Persentase (%)


No Jumlah
pencatatan n = 23
1 Ya 23 100
2 Tidak 0 0
Total 23 100

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 menyebutkan

bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai

kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib

membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu

melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika

dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika.

2) Administrasi pelayanan

Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan

cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan

obat.

a. Pengarsipan resep

Gambaran mengenai pengarsipan resep dapat dilihat pada Tabel

XXII berikut.

Tabel XXII. Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara


Berurutan

Selalu menyimpan resep Persentase (%)


No Jumlah
secara berurutan n = 23
1 Ya 23 100

2 Tidak 0 0

Total 23 100

Pasal 7 Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa

Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan

menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus

disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Hasil penelitian


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyimpan resep

menurut urutan tanggal dan nomor resep.

b. Medication record

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien.

Tabel XXIII. Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian


Medication Record

Selalu melakukan pengisian Persentase (%)


No Jumlah
medication record n = 23
1 Ya 9 39,13

2 Tidak 14 60,87

Total 23 100

Hasil penelitian menunjukkan 60,87% apoteker selalu melakukan

pengisian medication record dan terdapat 39,13% apoteker yang tidak

selalu melakukan pengisian medication record. Melalui wawancara

lepas kepada beberapa responden, responden mempunyai persepsi

yang hampir sama mengenai pengisian medication record, yaitu

catatan pengobatan setiap pasien yang memuat antara lain data pribadi

pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat), nomor resep, nama dokter,

riwayat obat yang pernah digunakan pasien dan riwayat penyakit

pasien. Berdasarkan hasil wawancara pada salah satu responden yang

menyatakan tidak selalu melakukan pengisian medication record,

diketahui bahwa pelaksanaan pengisian medication record hanya

dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang lansia dan pasien
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

dengan penyakit tertentu seperti TBC dan diabetes. Berdasarkan hasil

wawancara tersebut terlihat bahwa pemahaman apoteker mengenai

medication record sudah sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, tetapi belum dalam pelaksanaannya.

3) Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

administrasi

100% 95.65% 100% 100%


100% 82.61%

50% 39.13%

0%

pencatatan&pengarsipan pembelian
penyertaan bukti/faktur penjualan
pencatatan penjualan
pencatatan narkotika&psikotropika
pengarsipan resep
pelaksanaan pengisian medication record

Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi, meliputi

administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah

dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan,

yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi

pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), pencatatan narkotika dan

psikotropika (100%), pengarsipan resep (100%), pencatatan penjualan

(95,65%), penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%). Namun demikian,


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

masih terdapat kegiatan administrasi yang belum dilaksanakan, yaitu yang

memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian

medication record (39,13%) sehingga perlu ditingkatkan lagi

pelaksanaannya.

C. Pelayanan

1. Skrining resep

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker

melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian

farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan

untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang

merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga

kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha

diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang

merupakan lingkup tanggung jawab farmasis.

a. Persyaratan administratif

Hasil penelitian menunjukkan 95,65% apotek selalu melakukan

skrining resep persyaratan administratif dan 4,35% sisanya tidak selalu

melakukan skrining resep persyaratan administratif. Hal ini dapat dilihat

pada Tabel XXIV berikut.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

Tabel XXIV. Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep


Persyaratan Administratif

Persentase (%)
No Persyaratan administratif Jumlah
n = 23
1 Ya 22 95,65

2 Tidak 1 4,35

Total 23 100

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal

penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat,

umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis,

jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.

Pada penelitian ini tidak dijabarkan mengenai persyaratan

administratif yang dilakukan karena responden dianggap sudah

mengetahui dan memahami mengenai persyaratan administratif beserta

cakupannya.

b. Kesesuaian farmasetik

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,

inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Gambaran mengenai

pelaksanaan skrining resep kesesuaian farmasetik dapat dilihat pada Tabel

XXV berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Tabel XXV. Skrining Kesesuaian Farmasetik

Persentase
Skrining kesesuaian farmasetik yang
No Jumlah (%)
dilakukan
n=23
1 Tidak melakukan 1 4,35
2 Dosis 1 4,35
3 Bentuk sediaan+lama pemberian 1 4,35
Bentuk sediaan+dosis+cara
4 1 4,35
pemberian+lama pemberian
Bentuk sediaan+dosis+stabilitas+cara
5 1 4,35
pemberian
Bentuk sediaan+dosis+potensi+cara
6 1 4,35
pemberian+lama pemberian
Bentuk
7 sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkomp 1 4,35
atibilitas+cara pemberian
Bentuk
8 sediaan+dosis+stabilitas+inkompatibilitas 1 4,35
+cara pemberian+lama pemberian
Dosis+stabilitas+inkompatibilitas+cara
9 2 8,70
pemberian+lama pemberian
Bentuk
10 sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkomp 13 56,52
atibilitas+cara pemberian+lama pemberian
Total 23 100

Tabel XXV menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining

resep kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi,

stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian sesuai

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56,52%,

selebihnya belum melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik secara

menyeluruh, sehingga kemungkinan terjadinya medication error masih

relatif besar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

c. Pertimbangan klinis

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan

jumlah obat.

Tabel XXVI. Skrining Pertimbangan Klinis

Persentase
Skrining pertimbangan klinis yang
No Jumlah (%)
dilakukan
n = 23
1 Tidak melakukan 1 4,35
2 Alergi 1 4,35
3 Efek samping 1 4,35
4 Durasi+jumlah obat 1 4,35
5 Alergi+efeksamping+jumlah obat 1 4,35
6 Efek samping+interaksi+jumlah obat 1 4,35
7 Alergi+efek samping+interaksi+durasi 1 4,35
Alergi+efek samping+durasi+jumlah
8 2 8,70
obat
Alergi+efek
9 2 8,70
samping+interaksi+jumlah obat
Efek
10 samping+interaksi+durasi+jumlah 1 4,35
obat
Alergi+efek
11 samping+interaksi+durasi+jumlah 11 47,82
obat
Total 23 100

Tabel XXVI menunjukkan bahwa apotek yang melakukan skrining

resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi , durasi

dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 47,82%, selebihnya belum

melakukan skrining resep sehingga kemungkinan terjadinya medication

error masih relatif besar.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

d. Konsultasi dengan dokter penulis resep

Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa

resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan

terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep

dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu

menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk

meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter

penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan

meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini

sesuai dengan pasal 25 Kode Etik Apoteker Indonesia.

Tabel XXVII. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan


Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep

Selalu melakukan konsultasi dengan Persentase (%)


No Jumlah
dokter penulis resep n = 23
1 Ya 18 78,26

2 Tidak 5 21,74

Total 23 100

Tabel XVII menunjukkan bahwa apotek yang selalu melakukan

konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam

penulisan resep sebesar 78,26% dan 21,74% sisanya tidak selalu

melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada

ketidakjelasan dalam penulisan resep.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

skrining resep

95.65%
100.00%
78.26%
56.52%
47.82%
50.00%

0.00%

persyaratan administratif

kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,


inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian
pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan
jumlah obat
konsultasi dengan dokter penulis resep

Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar

telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah

dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%,

meliputi skrining resep persyaratan administratif (95,65%), konsultasi

dengan dokter penulis resep (78,26%) dan skrining resep kesesuaian

farmasetik (56,52%). Namun demikian, masih terdapat skrining resep yang

belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase di bawah 50%,

meliputi skrining resep pertimbangan klinis (47,82%) sehingga perlu

ditingkatkan lagi pelaksanaannya.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

2. Penyiapan obat

a. Etiket

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa

etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat

menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah

membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket

harus jelas dan dapat dibaca.

Tabel XXVIII. Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang


Etiket Oleh Pasien

Pernah terjadi keluhan tentang Persentase (%)


No Jumlah
etiket n = 23
1 Ya 2 8,70

2 Tidak 21 91,30

Total 23 100

Tabel XXVIII menunjukkan bahwa terdapat 91,30% apotek yang

tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 8,70%

sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak

jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication

error.

b. Penyerahan obat

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir

terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

Tabel XXIX. Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep


Sebelum Diserahkan ke Pasien

Persentase
Selalu melakukan pengecekan
No Jumlah (%)
sebelum diserahkan ke pasien
n = 23
1 Ya 23 100

2 Tidak 0 0

Total 23 100

Tabel XXIX menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu

melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep

sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review)

dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error

terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak

farmasis.

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian

informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini

juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan

kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur

operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi

obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker

Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber

informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut

dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah

memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien

agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor

32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan

kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan

dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah).

Tabel XXX. Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung


Dalam Penyerahan Obat ke Pasien

Persentase
No Selalu terlibat dalam penyerahan obat Jumlah (%)
n = 23
1 Ya 15 65,22

2 Tidak 8 34,78

Total 23 100

Tabel XXX menunjukkan bahwa apotek yang apotekernya selalu

terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 65,22% dan

34,78% sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat

kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk

memberikan informasi kepada pasien.

c. Informasi obat

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurang-

kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan

aktivitas yang harus dihindari.

Tabel XXXI. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker

Persentase (%)
No Informasi Obat yang diberikan Jumlah
n = 23
Cara pemakaian obat+jangka
1 2 8,70
waktu pengobatan
Cara pemakaian obat+cara
2 penyimpanan obat+jangka waktu 8 34,78
pengobatan
Cara pemakaian obat+cara
penyimpanan obat+jangka waktu
pengobatan+ makanan dan
3 13 56,52
minuman yang harus
dihindari+aktivitas yang harus
dihindari
Total 23 100

Tabel XXXI menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan

informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan

obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus

dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56,52%, selebihnya belum

memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien.

Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker

karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi

terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat

pasien mengkonsumsi obat.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

d. Konseling

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara

apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah

yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus

memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan

perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup

pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau

penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan

mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui

kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Melalui

wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka

mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian

konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien

dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh pasien. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai

pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Responden juga

berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian

yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan

proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman

maupun pengetahuan. Salah seorang responden berpendapat bahwa

konseling merupakan proses searah, sedangkan konsultasi merupakan

proses dua arah. Berdasarkan hasil wawancara ini terlihat kalau apoteker

belum mengetahui pengertian konseling yang sebenarnya. Namun

demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam

pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling

karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang mungkin lebih

mengetahui dari dokter yang menangani pasien tersebut, tentang obat-

obatan yang sering mereka konsumsi.

Tabel XXXII. Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling


Setiap Hari di Apotek

Selalu menyediakan jam Persentase (100%)


No Jumlah
konseling setiap hari n = 23
1 Ya 20 86,96

2 Tidak 3 13,04

Total 23 100

Tabel XXXII di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan

bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap

harinya di apotek sebesar 86,96%, selebihnya yaitu sebesar 13,04% belum

menyediakan jam konseling setiap hari.

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes,


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan

konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan

pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel

XXXIII berikut.

Tabel XXXIII. Apoteker yang Memberikan Konseling Secara


Berkelanjutan

Memberikan konseling secara Persentase (%)


No Jumlah
berkelanjutan n = 23
1 Ya 15 65,22

2 Tidak 8 34,78

Total 23 100

Tabel XXXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan

konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti

cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya

sebesar 43,48% dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara

berkelanjutan sebesar 56,52%. Penderita penyakit tertentu seperti yang

telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak

sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah

diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian

khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan

konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

penyiapan obat

100%
100.00%91.30% 86.96%

65.22% 65.22%
56.52%
50.00%

0.00%

etiket jelas&dapat dibaca

pengecekan resep sebelum diserahkan

keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat

jam konseling setiap hari

konseling secara berkelanjutan

informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas
yang harus dihindari

Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan

penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase

pelaksanaan di atas 50%, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan

kepada pasien (100%), penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca

(91,30%), adanya jam konseling setiap hari (86,96%), keterlibatan

apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (65,22%), adanya

konseling secara berkelanjutan (65,22%) dan pemberian informasi oleh

apoteker kepada pasien (56,52%).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi

a. Diseminasi informasi kesehatan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam

rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara

aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi

informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,

penyuluhan dan lain-lainnya.

Tabel XXXIV. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi


Informasi Kesehatan

Pernah melakukan diseminasi Persentase (%)


No Jumlah
informasi kesehatan n = 23
1 Ya 15 65,22

2 Tidak 8 34,78

Total 23 100

Tabel XXXIV menunjukkan bahwa apoteker yang pernah melakukan

diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan hanya sebanyak 30,43% dan

69,57% sisanya tidak pernah melakukan diseminasi (penyebaran)

informasi kesehatan.

b. Tindak lanjut terapi

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 setelah

penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan

penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat

melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

(pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien

dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Tabel XXXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi

Melakukan tindak lanjut Persentase (%)


No Jumlah
terapi n = 23
1 Ya 10 43,48

2 Tidak 13 56,52

Total 23 100

Tabel XXXV menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan tindak

lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi

melalui telepon untuk memantau keadaan pasien hanya sebanyak 43,48%,

sedangkan 56,52% sisanya tidak melakukan tindak lanjut terapi. Selain

melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan

kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu

bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna

mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau

pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk

datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi

100.00%

65.22%

50.00% 43.48%

0.00%

diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi

Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut


Terapi

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak

lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh.

Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang telah

dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%,

meliputi diseminasi informasi kesehatan (65,22%) dan yang belum

dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%,

meliputi pelayanan tindak lanjut terapi (43,48%) sehingga perlu

ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

D. Evaluasi Mutu Pelayanan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 indikator yang

digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau

wawancara langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan

survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 21,74%,

sedangkan sebanyak 78,26% apotek tidak pernah melakukan survey mengenai

tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVI berikut.

Tabel XXXVI. Apotek yang Pernah Melakukan Survey

Pernah melakukan survey tingkat Persentase (%)


No Jumlah
kepuasan konsumen n = 23
1 Ya 5 21,74

2 Tidak 18 78,26

Total 23 100

Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung

apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan

evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek

mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah

melakukan survey tersebut, 40% di antaranya melakukan survey dengan

angket dan 60% dengan wawancara.

40%

Angket
Wawancara
60%

Gambar 12. Bentuk Survey


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 8,70% apotek yang

menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) dan

91,30% sisanya tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel XXXVII berikut.

Tabel XXXVII. Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan

Persentase (%)
No Menetapkan lama pelayanan Jumlah
n = 23
1 Ya 2 8,70

2 Tidak 21 91,30

Total 23 100

Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien)

bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien

tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya

adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan

pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam

sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian

waktu.

3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah

ditetapkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 47,83% apotek yang

mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 52,17%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien.

Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVIII berikut.

Tabel XXXVIII. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap

Ada prosedur tertulis dan tetap Persentase (%)


No Jumlah
dalam pelayanan pasien n = 23
1 Ada 11 47,83

2 Tidak ada 12 52,17

Total 23 100

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 prosedur

tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik

dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di

apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek

sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang

tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada

lampiran 8.

4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi

mutu pelayanan

100.00%
47.83%
50.00%
21.74%
8.70%
0.00%
survey tingkat kepuasan konsumen
waktu pelayanan per pasien
prosedur tetap

Gambar 13. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum

dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah

50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar

21,74%, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 8,70% dan untuk

penetapan prosedur tetap sebesar 47,83%, sehingga perlu ditingkatkan

pelaksanaannya.

E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota

Yogyakarta Berdasarkan Tiga Parameter Utama Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh

apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta karena masih terdapat persentase

pelaksanaan di bawah 50% pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, yaitu pengelolaaan sumber daya, pelayanan maupun

evaluasi mutu pelayanan (Gambar 14). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah bagian evaluasi mutu

pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50%

sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

100.00%

50.00%

0.00%
Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan

pengambilan keputusan di apotek (78,26%) papan petunjuk apotek (100%)


penempatan produk yg terpisah (60,87%) ruang tunggu (100%)
tempat display informasi (95,65%) ruang konseling tertutup (17,39%)
ruang racikan (91,30%) keranjang sampah (95,65%)
perencanaan (78,26%) pengadaan (69,19%)
penyimpanan (69,57%) informasi pada w adah baru (28,57%)
pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) penyertaan bukti/faktur penjualan (82,61%)
pencatatan penjualan (95,65%) pencatatan narkotika&psikotropika (100%)
pengarsipan resep (100%) pengisian medication record (39,13%)
persyaratan administratif (95,65%) kesesuaian farmasetik (56,52%)
pertimbangan klinis (47,82%) konsultasi dengan dokter (78,26%)
etiket jelas&dapat dibaca (91,30%) pengecekan resep sebelum diserahkan (100%)
keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (65,22%) jam konseling setiap hari (86,96%)
konseling secara berkelanjutan (65,22%) informasi yg diberikan pada pasien (56,52%)
diseminasi informasi kesehatan (65,22%) tindak lanjut terapi (43,48%)
survey tingkat kepuasan konsumen (21,74%) w aktu pelayanan per pasien (8,70%)
prosedur tetap (47, 83%)

Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa Apoteker

di apotek-apotek di Kota Yogyakarta belum melaksanakan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan masih

terdapatnya persentase pelaksanaan yang kurang dari 50%, yaitu : adanya ruang

konseling tertutup, informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi tanggal

kadaluwarsa dan nomor batch, pengisian medication record, pelaksanaan skrining

resep pertimbangan klinis, pelaksanaan tindak lanjut terapi dan pelaksanaan

evaluasi mutu pelayanan.

B. SARAN

1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon

positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/IX/2004 dengan mengadakan pelatihan, bimbingan,

penyuluhan dan seminar terutama mengenai medication record, pelayanan

residensial, menghindari medication error, manfaat/tujuan ruang konseling

tertutup, adanya jam konseling bagi pasien, pelaksanaan evaluasi mutu

pelayanan apotek sehingga Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta

87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

dapat melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan persepsi dan

pemahaman yang sama dengan adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan

Juknis (Petunjuk Teknis) dari instansi yang terkait.

2. Perlu peningkatan kesadaran Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta

akan pentingnya pemahaman perundang-undangan terutama Keputusan

Menteri mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

3. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada tingkat populasi yang lebih besar

seperti penelitian pada tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengacu pada pelaksanaan Standar

Pelayanan Kefarmasian dengan responden yang berbeda yaitu Apoteker di

Rumah Sakit.

5. Perlu diadakannya wawancara pada penelitian selanjutnya, mengenai alasan

responden untuk tiap jawaban yang diberikan sehingga dapat diketahui latar

belakang sudah dilaksanakan maupun belum dilaksanakannya Standar

Pelayanan Kefarmasian tersebut.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

DAFTAR PUSTAKA

Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta

Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta

Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal


Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek,


Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980


Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965
Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1981a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1981b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan
Apotik, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1981c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka,
Jakarta

Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,


Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1993a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI,
Jakarta

Anonim, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993


Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa
Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996


Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1997a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997


Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1997b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997


Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999


Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002


Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003


Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat


Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta

Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola


Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan
Departemen Kesehatan Republik Indonesua, Jakarta

Harding, dkk, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan,


London
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta

ISFI, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang

Isdaryadi, F. Wisnu., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, 10-11

Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105,
PPM, Yogyakarta

Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-69, Bumi


Aksara, Jakarta.

Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta

Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan


Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Salim, P. dan Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer,
Edisi III, Modern English Press, Jakarta

Sirait, M., 2001, Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Pelayanan Kesehatan


dan Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta

Sevilla, C.G., dkk, 1993, Pengantar Metode Penelitian, diterjemahkan oleh


Alimuddin Tuwu, edisi pertama, 160-163, UI-Press, Jakarta

Sulasmono, 1997, Profesi di Apotek Sekarang dan Masa Depan dengan Analisis
SWOT, Diskusi Kuliah Pengantar Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Trisna, Y., 2007, Mencegah Medication Error, Makalah Seminar Patient Safety
and Drug Information, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta

Wahyuni, B., 2005, Publik Tidak Boleh Ditipu Lagi, Ombudsman, No.II, 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

L.bpim 1. Sunt Pctrg! $ KtrBioftr Plelitirr

UniveEitas Sanard Dhama

ApotkerPengelola
Apotek

Delam ranqka mnyeleeikanjenjang studi S-1, *ya bermaksud


menqadalan pnelldan dengan judui 'Pelaksanaanstanda. Pelayanan
KefarnasiEn dl AooGk Aerdasarkan
Keomenkes RI Nomor
1027/MENKES/SVIV2004 di KotaYoqyakarta",
Sehlbungandenganhal ltu, saya mohon kerelaanBapalrlbu (ntuk
menjawabpertanyaanberikut denganJengkapdan suai denqankondlsJ
yans sebenarnya.semua Inromasr yang Bapali/Ibuberikan akan dijaga
kedhasianny6dmi kepentinqan
ilmiah,
AtasbantuanBapaldlb!sayaucapkanteilma kasih,

NIi4:034114022
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK


BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004
DI KOTA YOGYAKARTA

I. Data Responden
Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar
No Pertanyaan Jawaban

1. Berapakah umur Anda? a. 21-35 tahun

b. 36-50 tahun

c. >50 tahun

2. Apakah posisi Anda di apotek ? a. APA

b. Apoteker Pendamping

c. Apoteker Pengganti

3. Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai a. <1 tahun

Apoteker di apotek yang sekarang? b. 1-5 tahun

c. 6-10 tahun

d. >10 tahun

4. Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain? a. Ya

b. Tidak

5. Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek a. <3 hari

dalam seminggu? b. 3-5 hari

c. 6-7 hari

6. Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek a. <4 jam

dalam satu hari? b. 4-6 jam

c. >6 jam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

II. Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya

Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai

No Pertanyaan YA TIDAK
Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat
1
papan yang tertulis kata apotek?

Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi


2
pasien?

a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa

brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan

(misalnya obat-obat baru)?


3
b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk

mendisplay informasi tersebut (misalnya

penempatan brosur dalam suatu wadah)?

Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk


4
konseling bagi pasien?

Apakah apotek Anda memiliki :

5 a. ruang racikan kering?

b. ruang racikan basah?

Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang


6
tersedia untuk staf?

Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang


7
tersedia untuk pasien?

Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan

farmasi Anda memperhatikan :

8 a. pola penyakit?

b. kemampuan masyarakat?

c. budaya masyarakat?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

1. Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan?

a. PBF

b. Pabrik farmasi

c. Apotek lain

d. Toko obat
9
e. Swalayan

2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu

disertai bukti/faktur pembelian?

3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu

dicatat dalam buku penerimaan?

Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari


pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan
10
psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum,
vaksin)?
1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat

dari wadah asli ke wadah lain?

2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan

pada wadah baru tersebut?

11 a.Produsen (pabrik)

b.Nomor batch

c.Tanggal kadaluarsa

d.Aturan pakai

e.Cara penyimpanan

Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya

obat, kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang


12
terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan

produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

kontrasepsi, popok bayi)?

Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan


13
faktur atau nota penjualan?

Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku


14
penjualan?

Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika

15 selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan

psikotropika?

Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan


16
tanggal dan nomor urut resep?

17 Apakah Anda selalu melakukan medication record?

III. Kuesioner Tentang Pelayanan

Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai


No Pertanyaan YA TIDAK
18 Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi :

1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF

2. KESESUAIAN FARMASETIK :

a. Bentuk sediaan

b. Dosis

c. Potensi

d. Stabilitas

e. Inkompatibilitas

f. Cara pemberian

g. Lama pemberian

3. PERTIMBANGAN KLINIS :

a. Alergi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

b. Efek samping

c. Interaksi

e. Durasi

f. Jumlah obat

Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan

19 dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam

penulisan resep?

Apakah anda selalu melakukan pengecekan

20 kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep

sebelum diserahkan kepada pasien?

Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam


21
penyerahan obat kepada pasien?

Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai:

a. Cara pemakaian obat

b. Cara penyimpanan obat


22
c. Jangka waktu pengobatan

d. Makanan dan minuman yang harus dihindari

e. Aktivitas yang harus dihindari

Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai


23
etiket (tidak jelas/sulit dibaca)?

Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup

perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan


24
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu

berdasarkan persetujuan APA ?

Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari


25
bagi pasien?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara

berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit


26
tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC,

asthma, dan penyakit kronis lainnya?

Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya

27 melalui komunikasi telepon dengan pasien atau

mengunjungi pasien)?

Apakah Anda pernah melakukan diseminasi

(penyebaran) informasi kesehatan (misalnya


28
penyebaran brosur dan poster, melakukan

penyuluhan)?

IV. Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan

Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai

No Pertanyaan YA TIDAK

1. Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat


29
kepuasan konsumen?

2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa:

a.Angket

b.Wawancara

Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu


30
pelayanan maksimal per pasien)?

Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam


31
pelayanan pasien?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker

Lafal Sumpah/Janji Apoteker berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun

1962 pasal 1 :

(1) Sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus

mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau

mengucapkan janji. Ucapan sumpah dimulai dengan, kata-kata Demi Allah

bagi mereka yang beragama Islam, dan sumpah untuk agama lain, pemakaian

kata-kata Demi Allah..disesuaikan dengan kebiasaan agama masing-

masing.

(2) Sumpah/Janji itu berbunyi sebagai berikut :

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan,

terutama dalam bidang kesehatan;

2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan

saya dan keilmuan saya sebagai apoteker;

3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan

kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum

perikemanusiaan;

4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan

martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-

sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan,

kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial;

6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh

keinsyafan.

(Anonim, 1962)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA

Mukadimah

Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya


serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan
dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam
mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya
berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :

BAB I
Kewajiban Umum

Pasal 1 : sumpah/janji
Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Apoteker.

Pasal 2
Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.

Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Pasal 4
Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan
pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

Pasal 5
Didalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian.

Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang
lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi khususnya.

BAB II
Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita

Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarkat dan menghormati hak azasi penderita dan melindungi
mahluk hidup insani.

BAB III
Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat

Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.

Pasal 12
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat
jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam
menunaikan tugasnya.

BAB IV
Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Petugas Kesehatan
Lainnya

Pasal 13
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan
meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat petugas kesehatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

Pasal 14
Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang
dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
sejawat petugas kesehatan lainnya.

BAB V
Penutup

Pasal 15
Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik
Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasian sehari-hari. Jika
seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak
mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan
menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang
menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

Lampiran 7. Hasil Wawancara

(P) : Peneliti

(R) : Responden

Responden 1

P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?

R : medication record itu adalah catatan pengobatan pasien.

P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja?

R : Seharusnya setiap pasien, tapi disini kami baru melakukan pada pasien tertentu

saja kayak yang udah lansia atau yang punya penyakit tertentu yang butuh

dikontrol.

P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?

R : semuanya tentang pasien. Nama pasien, macam-macam obat yang rutin di

pakai, terutama untuk pasien yang lansia, yang punya penyakit seperti TBC itu

harus dikontrol, misalnya dengan di telepon pada akhir bulan untuk mengetahui

perkembangannya.

P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?

R : konseling itu proses tanya jawab antara pasien dengan apoteker.

P : pasien tanya dan anda menjawab?

R : iya.

P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau

berbeda?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

R : kalau konseling itu lebih spesifik, kita memberi tahu mereka tentang

semuanya.

P : maksud Anda prosesnya searah?bagaimana dengan konsultasi?

R : iya. Kalau konsultasi itu dua arah.

Responden 2

P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?

R : medication record itu catatan mengenai data-data tentang pasien, penyakitnya,

pola pengobatannya.

P : setiap pasien? keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?

R : iya, setiap pasien. Ada nama pasien, nomor resep, alamat pasien, alamat

dokter terutama untuk resep yang ada narkotikanya, riwayat penyakit.

P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?

R : konseling itu proses dimana kalau pasien tanya mengenai obat-obatan dan

penyakit.

P : maksud Anda proses tanya jawab?

R : iya. Jika pasien bingung bisa tanya terus kita beri penjelasan.

P : hanya pasien saja yang bertanya dan Anda hanya menjawab?

R : gak juga. Kadang kita juga harus bertanya untuk mengetahui kondisi pasien

yang sebenarnya.

P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau

berbeda?

R : menurut saya konseling dan konsultasi itu sama cuma beda istilah saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

Responden 3

P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record?

R : medication record itu data atau catatan yang memuat data pasien.

P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja?

R : setiap pasien yang datang.

P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record?

R : data pribadi pasien ; nama, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, terus obat yang

dikonsumsi, data dokter, pemberian obat.

P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling?

R : konseling itu penyebaran informasi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang

ditanyakan pasien, penyakit, obat, efek samping.

P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau

berbeda?

R : sama, hanya beda istilah. Menurut saya konsultasi itu proses dari konseling.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan


Konsumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

BIOGRAFI PENULIS

Monica Arum Sukmajati, anak kedua dari pasangan St.

Kasidjan dan R. Sumaryati. Lahir di Palembang, pada

tanggal 5 September 1985. Pendidikan yang telah

ditempuh oleh penulis adalah TK&SD Xaverius 5

Palembang, SMP&SMU Xaverius 1 Palembang dan

melanjutkan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai