Bab Ii
Bab Ii
id
BAB 2
TINJAUAN TEORI
12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
muncul berasal dari desa, salah satu contoh adalah konsep agropolitan yang merupakan ciri dari
rural-urban tersebut.
Dari berbagai sudut pandang terkait dengan wilayah pinggiran kota, istilah wilayah peri
urban menjadi istilah yang cukup komprehensif, yang mencakup antara sifat kekotaan dan
pedesaan tanpa adanya luasan tertentu untuk membatasi kondisi wilayah nya. Untuk
memudahkan dalam dasar identifikasi wilayah peri urban, dapat dikenali dengan batas terluar
lahan terbangun suatu kota yang kompak dengan ditandai 100% kenampakan kekotaan atau
pemanfaatan lahan non agraris sampai ke wilayah yang 100% ditandai pemanfaatan lahan
agraris. Diantara sifat real urban land dan real rural land tersebut lah wilayah peri urban
berada, di mana terdapat pencampuran bentuk pemanfaatan lahan kekotaan atau non-agraris
dan agraris.
Smith
Yunus (1937) Kurtz dan Mc Gee Douglass Dickinson Sintesis
Robin Pryor (1970) Russwurm (1980)
(2000,2008) dalam Pryor Eicher (1958) (1997) (2006) (1967)
(1970)
15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Karakteristik Wilayah Peri - Urban
Smith
Yunus (1937) Kurtz dan Mc Gee Douglass Dickinson Sintesis
Robin Pryor (1970) Russwurm (1980)
(2000,2008) dalam Pryor Eicher (1958) (1997) (2006) (1967)
(1970)
Pencampuran Area pinggiran dari Zona dengan Area transisi dari Wilayah Zona interaksi Wilayah transisi
penggunaan lahan batas kota dengan didalam nya bentuk dengan atau transisi antara perkotaan dan
antara aktivitas proporsi 75% adanya pemanfaatan pencampuran dimana adanya pedesaan dengan
perkotaan dan bentuk pemanfaatan pencampuran lahan kedesaan bentuk bentuk aktifitas dominasi
pedesaaan. lahan terbangun dan struktur lahan menjadi bentuk pemanfaatan perkotaan dan pemanfaatan lahan
25% pemanfaatan kedesaan dan pemanfaatan lahan kedesaan pedesaan yang terbangun.
lahan kedesaaan. lahan kekotaan lahan perkotaan. dan kekotaan. berdampingan
nya. Yang ditandai
dengan dominasi
bentuk
pemanfaatan
lahan non agraris.
Wilayah
Wilayah pinggiran dengan Wilayah di luar batas
perkotaan yang di pekerjaan kota dengan dominasi
dominasi pekerjaan Penduduk
. penduduk mata
dengan mata non petani pencaharian non
pencaharian non dan agraris
agraris. didominasi
bekerja di
kota.
16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Pendapat lain juga disampaikan oleh Nia K. Pontoh & Iwan Setiawan (2008) bahwa
unsur pembentuk struktur tata ruang kota terdiri dari pusat kegiatan, kawasan fungsional
dan jaringan jalan. Selain itu Wongso (2001) dalam Wiratawan (2017) menambahkan
bahwa perkembangan dan bentuk struktur fisik kota dapat diketahui melalui perubahan
elemen-elemen fisik dan non-fisiknya. Elemen fisik meliputi sarana transportasi, pasar,
pusat pemerintahan, ruang terbuka, pusat peribadatan, tempat permukiman dan sebagainya,
sedangkan elemen non fisik adalah manusia dan segala aktivitasnya.
Sinulingga (2005) juga berpendapat bahwa elemen struktur ruang kota terdiri dari
berbagai macam hal, diantara nya yaitu (1). Kumpulan dari pelayanan jasa seperti sarana
perdagangan, sarana pemerintahan, keuangan, yang cenderung terdistribusi secara
berkelompok dalam pusat pelayanan. (2). Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur)
pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
(3). Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
(4). Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat diatas yaitu pusat pelayanan
jasa, pusat industri manufaktur dan lingkungan permukiman yang saling terintegrasi.
C.D.Harris dan F.L.Ullman (1945) dalam Yunus (2000) mengungkapkan bahwa
struktur spasial suatu kota terbentuk oleh adanya pusat kegiatan. Namun pusat kegiatan
yang ada dalam suatu kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana yang
ditandai oleh satu pusat kegiatan saja (unicentered theory) melainkan terbentuk sebagai
suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut terus menerus dari sejumlah pusat-
pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (multi centered
theory). Dalam teorinya tersebut kemudian C.D.Harris dan F.L.Ullman (1945) kemudian
menuangkan ide nya terkait dengan model struktur spasial sebagai berikut :
Burgess (1925) dalam Yunus (2000) menjelaskan bahwa, struktur ruang kota akan
terdiri dari zona zona konsentris dan masing-masing zona ini akan mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. Hoyt (1939) dalam Yunus
(2000) kemudian menambahkan bahwa struktur ruang, terbentuk karena penggunaan lahan
sektoral, bukan terbentuk teratur secara konsentris. Unit-unit kegiatan yang ada di perkotaan
kemudian membentuk Sektor-Sektor yang sifat nya lebih bebas dan tidak teratur. Namun
dalam teori sektoral Hoyt, DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan teori
konsentris.
Hoyt (1939) dalam Yunus (2000) kemudian menjabarkan bahwa model struktur
ruang memiliki lima sektor, diantara nya yaitu Sektor Pusat Kegiatan Bisnis (CBD) yang
didalam nya terdiri atas bangunan-bangunan kantor, Hotel, Bank, Bioskop, Pasar dan Pusat
19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Perbelanjaan. Kemudian Sektor yang kedua yaitu Sektor Kawasan Industri ringan dan
Perdagangan. Sektor yang ketiga yaitu sektor permukiman kumuh atau tempat tinggal
buruh, kemudian sektor keempat yaitu sektor permukiman klas menengah dan sektor kelima
yaitu sektor permukiman klas tinggi. Adapun untuk lebih jelasnya berikut merupakan model
struktur ruang yang di kemukan oleh Hoyt.
Dalam teori sektor tersebut, Hoyt (1939) dalam Yunus (2000) menjelaskan bahwa
perkembangan kota dipengaruhi oleh faktor ketersediaan jaringan jalan atau aksesibilitas
yang memadai seperti rel kereta atau jalan raya. Dengan hal ini maka sebuah kota seolah-
olah terdiri dari masing-masing sektor yang mengalami perkembangan ke arah luar.
Perbedaan penggunaan lahan yang dikemukan hoyt dengan teori konsentris yaitu adanya
penggunaan lahan industri. Menurut Hoyt (1939) zona industri terletak di sepanjang jalur
transportasi kereta atau jalan raya. Hal ini karena terdapat jalur transportasi atau rute menuju
daerah perkotaan yang menggambarkan mudahnya aksesibilitas. Sehingga pada zona
industri juga berdekatan pada CBD.
Babcock (1932) dalam Yunus (2000) juga mengungkapkan teori nya yang dikenal
dengan teori poros, di mana dalam proses terbentuknya struktur spasial ada peranan jalur
jalur transportasi atau bisa dikatakan sebagai jaringan jalan. Keberadaan poros transportasi
menurut Babcock (1932) akan mengakibatkan distorsi pola konsentris, karena sepanjang
rute transportasi berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi. Daerah yang dilalui transportasi
akan mempunyai perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah-daerah diantara jalur-
jalur transportasi ini. Akibatnya, keruangan yang timbul adalah suatu bentuk persebaran
keruangan yang disebut “star shaped pattern/octopus-like pattern”. Perkembangan zona
zona yang ada pada daerah sepanjang poros transportasi akan terlihat lebih besar dibanding
20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan perkembangan daerah-daerah yang terletak diantanya (interstitial area). Adapun
untuk lebih jelas nya berikut merupakan model struktur spasial menurut babcock.
21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 2. Sintesa Elemen-Elemen Struktur Spasial
22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kesedian bagi orang untuk membayar lebih. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang
berlokasi dekat fasilitas umum tersebut akan mengalami peningkatan. Adanya kegiatan
pembangunan, khususnya pembangunan jaringan prasarana tersebut, akan meningkatkan
kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang secara
beriringan akan meningkatkan harga lahan. Selain itu menurut Riza (2005) menjelaskan
bahwa harga sebidang tanah ditentukan oleh jenis kegiatan yang ditempatkan di atasnya
dan terwujud dalam bentuk penggunaan tanah. Kemudian Harga tanah dalam keadaan
sebenarnya dapat di golongkan menjadi harga tanah pemerintah (Government Land Price)
dan Harga Tanah Pasar (Market Land Price).
25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
harga pasar dan biaya (Peta Nilai Zona Tanah Review, BPN RI, 2012). Menurut Sutaryono
(2012) Mengingat ZNT berbasis nilai pasar, maka ZNT dapat digunakan untuk:
a. Penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan
b. Referensi masyarakat dalam transaksi
c. Penentuan Ganti Rugi
d. Inventori nilai asset publik maupun asset masyarakat
e. Monitoring nilai tanah dan pasar tanah
f. Referensi penetapan NJOP untuk PBB agar lebih adil dan transparan.
Dari beberapa pandangan teori dan kebijakan terkait dengan harga lahan, dengan
mempertimbangkan informasi harga lahan yang wajar, akurat dengan penilaian yang adil,
benar dan transparan serta meminimalisir perkara pertanahan maka dalam penelitian ini
harga lahan yang akan dilakukan dalam penelitian yaitu dengan menggunakan zona nilai
tanah.
27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
▪ Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer memiliki kriteria dan ciri ciri sebagai berikut, jalan di desain
dengan keceapatan rencana 40km/jam. Lebar badan jalan paling rendah 9m, jalan
kolektor primer dalam kota merupakan terusan kolektor primer antar kota.
menghubungkan kawasan primer atau jalan arteri primer
▪ Jalan Lokal Primer
Jalan lokal di design dengan kecepatan rencana paling rendah 20km/jam, memiliki
lebar badan jalan paling rendah 6,5m, menghubungkan jalan lokal primer menuju
kawasan primer atau jalan primer lain nya, jalan lokal primer dalam kota juga merupakan
terusan jalan lokal primer luar kota.
▪ Jalan Arteri Sekunder
Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang di design dengan kecepatan rencana paling
rendah 30km/jam, lebar jalan paling rendah 11 m, jalan arteri sekunder menghubungkan
kawasan primer dan kawasan sekunder ke satu, dan menghubungkan kawasan sekunder
kesatu.
▪ Jalan Kolektor Sekunder
Jalan kolektor sekunder memiliki kriteria dan ciri-ciri seperti, menghubungnkan antar
kawasan sekunder kedua, atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder
ketiga, jalan dengan design kecepatan rencana paling rendah 20km/jam, lebar jalan
paling rendah 9 meter.
▪ Jalan Lokal Sekunder
Jalan lokal sekunder yaitu jalan di design berdasarkan kecepatan paling rendah
10km/jam, lebar badan jalan paling rendah 6,5 meter, menghubungkan antar kawasan
sekunder ketiga atau bawahnya dan menghubungkan kawasan permukiman.
Berkaitan dengan jaringan jalan, B.J. Berry (1963) dalam Yunus (2000) menemukan
fakta bahwa adanya pengaruh simpangan jalan terhadap harga lahan, di mana pada setiap
persimpangan jalan memiliki nilai lahan yang lebih tinggi. Persimpangan pada jalan utama
menuju pusat kegiatan atau pusat kota memberikan aksesibilitas yang lebih tinggi,
dibandingkan tempat lain tanpa persimpangan jalan. Hal ini nantinya akan mendorong
timbulnya puncak-puncak kecil (mini peak) dari harga lahan. Namun jika perpotongan
tersebut berada di pusat kota maka ditandai dengan puncak utama (grand peak). Dalam hal
ini Berry (1963) melengkapi pendapat nya dengan visualisasi gambar sebagai berikut:
28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dari gambar tersebut di atas, dapat dilihat bahwa setiap perpotongan jalan atau
simpangan, nantinya akan membentuk suatu pola harga lahan, di mana semakin menuju
pusat kegiatan atau pusat kota, maka akan terjadi puncak harga lahan. Puncak utama dalam
hal ini akan terjadi di pusat kota, sedangkan puncak-puncak kecil (mini peak) akan terjadi
disetiap perpotongan menuju pusat kota tersebut. Dalam visualisasi tersebut, Berry
memberikan angka 1 pada gambar untuk menunjukan simpangan jalan di pusat kota,
sehingga akan terbentuk grand peak, namun jika simpangan berada bukan di pusat kota
maka akan muncul mini peak disepanjang jalan menuju pusat kota tersebut. Berkaitan
dengan simpangan jalan, Hariyanto (2004) menjelaskan bahwa simpangan terdiri dari dua
macam, yaitu simpangan sebidang dan simpang tidak sebidang, atau simpangan susun.
Untuk lebih lengkap nya Hariyanto (2004) menjabarkan simpangan sebagai berikut:
▪ Persimpangan Sebidang
a. Persimpangan Sebidang Bercabang 3
b. Persimpangan Sebidang Bercabang 4
c. Persimpangan Sebidang Bercabang Banyak
d. Bundaran
▪ Persimpangan Tidak Sebidang
a. Simpang Susun
29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sumber: Hariyanto,2004
Sumber: Hariyanto,2004
Kemudian Alonso (1971) dalam Yunus (2000) berpendapat bahwa adanya suatu
peningkatan intensitas kepadatan bangunan yang terjadi di pusat kota atau pusat kegiatan.
Hal ini terjadi karena berkaitan dengan “profit orientation”, yaitu untuk memperoleh
keuntungan yang setinggi-tinginya, maka setiap jengkal lahan pada bagian dalam kota yang
mahal tersebut akan digunakan seintensifnya, sehingga akan nampak tingginya kepadatan
bangunan di area tersebut. Adapun hal ini terjadi karena keuntungan utama pada lokasi yang
dekat pusat kota adalah bahwa penghuninya mempunyai kecenderungan untuk menghemat
biaya transport. Sehingga makin kearah dalam kota menunjukan suatu kepadatan bangunan
yang semakin tinggi.
30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Purbalangi (2014) mencoba membuktikan apa yang disampaikan oleh Alonso
(1971), dalam penelitiannya tersebut Purbalangi (2014) ingin mengetahui pengaruh dari
harga lahan terhadap intensitas pemanfaatan lahan di koridor jalan Mrg.Sugiopranoto-
Siliwangi Semarang. Pada penelitian tersebut kemudian dibuktikan bahwa adanya suatu
pengaruh dari kepadatan bangunan atau dalam hal ini disebut Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) terhadap harga lahan di koridor Mrg.Sugiopranoto-Siliwangi Semarang. KDB
merupakan rasio perbandingan luas lahan terbangun (land coverage) dengan luas lahan
keseluruhan blok peruntukan, dan biasanya KDB dinyatakan dalam persen (%). Dalam
penelitian Windriarti Hendrojogi (2008) dalam upaya mengetahui KDB (koefisien dasar
bangunan) secara matematis rumus cara menghitung KDB sebagai berikut:
Luas Bangunan
KDB = ____________________ X 100%
Luas Lahan
Pearce and Turner (1990) menjelaskan bahwa faktor lain yang juga berpengaruh
dalam nilai lahan yaitu terkait dengan ekseternalitas penggunaan lahan yang bersifat positif
dan negatif, yang dimaksud dengan eskternalitas negatif yaitu suatu kondisi tanah akan
bernilai rendah jika terletak di kawasan rawan bencana, bencana banjir atau dekat dengan
tempat sampah dan jauh dari pusat kegiatan, sehingga pada lahan yang berada dilokasi
tersebut memiliki kecenderungan nilai lahannya rendah. Sedangkan eksternalitas positif
yaitu dekat dengan pusat kegiatan dan bebas banjir maka harga lahan cenderung bernilai
tinggi.
31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Di wilayah peri urban selatan kota Surakarta, bencana alam yang sering terjadi yaitu
bencana banjir. Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Banjir adalah
peristiwa atau keadaan terendahnya suatu daerah atau daratan yang disebabkan karena
peningkatan volume air. Hadisusanto (2011) juga menjelaskan bahwa banjir adalah tinggi
muka air yang melebihi normal pada sungai dan biasanya meluap melebihi dinding sungai
dan membuat luapan airnya menggenang pada suatu daerah genangan. Banjir pada suatu
tempat akan berbeda-beda tergantung dari kondisi fisik dan geografis wilayah tersebut.
Adapun untuk mengetahui Resiko Banjir yang melanda wilayah peri urban dapat
digunakan dengan menganalisis resiko berdasarkan Matriks Resiko Banjir.
Kerentanan
Dari beberapa literatur pustaka tersebut yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa
harga lahan dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, baik terkait dengan elemen struktur
spasial dan yang bukan terkait dengan struktur spasial. dalam hal ini peneliti mencoba
melakukan sintesa faktor yang mempengaruhi harga lahan kemudian diklasifikasikan
berdasarkan elemen struktur spasial dari penjabaran literatur di atas. Sehingga akan terlihat
faktor -faktor berpengaruh terhadap harga lahan yang berasal dari struktur spasial maupun
yang tidak. Untuk lebih jelasnya berikut merupakan tabel sintesa pustaka faktor yang
berpengaruh terhadap harga lahan.
32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 6. Sintesa Pustaka Faktor yang berpengaruh terhadap harga lahan.
Elemen Struktur
No Fokus Bahasan Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Positif Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Negatif Sumber
Spasial
➢ Pusat Kegiatan atau CBD
Sistem Pusat ➢ Kawasan Perdagangan Utama
Jarak -
Kegiatan ➢ Kawasan Industri Northam
1 (Semakin dekat maka harga lahan semakin tinggi) (1975)
33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dari tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap harga lahan terdapat dari elemen struktur spasial dan yang bukan berasal dari
elemen struktur spasial, sehingga dalam penelitian ini hanya faktor yang berasal dari elemen
struktur spasial yang akan digunakan dalam penelitian.
34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1. Sangat Dekat Pada variabel sistem pusat kegiatan, fokus bahasan utama
2. Dekat yang menjadi pengaruh terhadap harga lahan yaitu sub Jarak menuju CBD, Kawasan Industri Rateliff (1949), Northam
Sistem Pusat Kegiatan Jarak 1. Jarak
3. Sedang variabel jarak. Sehingga dalam hal ini sub variabel jarak dan Kawasan Perdagangan Sekitar. (1975), Siswanto (2007)
4. Jauh yang akan digunakan dalam penelitian.
Northam (1975), Djoko
1. Arteri Primer Sujarto (1985), UU No 38
2. Kolektor Primer Berdasarkan literatur tinjauan pustaka, variabel jaringan
Tahun 2004, Kepmen PU
3. Lokal Primer jalan yang mempengaruhi harga lahan yaitu sub variabel Fungsi jalan pada jaringan jalan utama
Fungsi Jalan 2. Fungsi Jalan No.640/KPTS/1986,
4. Arteri Sekunder fungsi jalan, sehingga pada sub variabel fungsi jalan yang menuju pusat kota/kegiatan.
Pedoman Konstruksi dan
5. Kolektor Sekunder akan digunakan dalam penelitian.
Bangunan Kemen Pu. Pd T-
Jaringan Jalan 6. Lokal Sekunder 19-2004-B
35