Anda di halaman 1dari 24

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Wilayah Peri – Urban


Istilah wilayah peri urban memiliki makna sifat sebagai suatu wilayah yang berada di
sekitar kota (Yunus, 2008). Istilah ini kemudian sering berkaitan dengan istilah semacam urban
fringe, rural fringe, inner fringe, outer fringe, rural urban, suburb dan sebagainya. Pembahasan
wilayah peri urban ini pertama kali disebut dengan istilah urban fringe oleh Smith (1937) dalam
Yunus (2008), yang digunakan untuk menggambarkan suatu wilayah yang terletak pada lahan-
lahan terbangun tetapi berada di luar batas kota. Akan tetapi pada perkembangan nya istilah
tersebut mengalami perbaikan karena tidak begitu cocok lagi dengan perkembangan di daerah
luar kota.
Hal ini sesuai dengan yang ditemukan Andreas (1942) dalam Yunus (2008) di mana
wilayah pinggiran kota kemudian memiliki karakter yang berbeda, yaitu antara kenampakan
kedesaan (rural) maupun kenampakan kekotaan (urban). Sehingga kemudian istilah urban
fringe dan rural fringe muncul untuk mendeskripsikan wilayah pinggiran kota tersebut. Setelah
itu berbagai penelitian bermunculan terkait wilayah pinggiran kota, yang bertujuan ingin
mengidentifikasi wilayah pinggiran kota. Sehingga dalam hal ini kemudian muncul berbagai
terminologi terkait dengan wilayah pinggiran kota, di antaranya yaitu Schnore (1952) dalam
Yunus (2008) yang memberikan istilah satellites dan suburbs, kemudian Russwurm (1979)
dengan teori nya Regional City yang membedakan antara inner fringe, outer fringe dan urban
shadow. Inner fringe memiliki ciri-ciri dengan yaitu wilayah pinggiran yang lebih di dominasi
oleh konversi lahan, kemudian pada outer fringe wilayah yang lebih nampak sifat kedesaan
nya, sedangkan urban shadow yaitu wilayah yang di tandai sifat kekotaan mulai menyusup atau
hilangnya sifat kekotaan, karena wilayah ini berbatasan langsung dengan real rural area.
Forsyth (2012) kemudian mendefinisikan berbagai sudut pandang terkait dengan suburbs,
secara fisik, fungsional, sosial, proses dan analitis. Adapun untuk lebih mudahnya dapat dilihat
secara fisik melalui dari segi lokasi, suburbs terletak di dalam area metropolitan, tapi berada di
luar pusat kota. Kemudian suburbs juga dapat didefinisikan secara lokasi berada diantara urban
(kota) dan rural (desa). Selain itu, salah satu istilah lain yang juga berkaitan yaitu istilah rural-
urban. Soetomo (2013) menjelaskan bahwa rural-urban adalah suatu bentuk pengembangan
wilayah dengan sifat perkotaan yang berada di pedesaan. Dalam hal ini sifat perkotaan yang

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
muncul berasal dari desa, salah satu contoh adalah konsep agropolitan yang merupakan ciri dari
rural-urban tersebut.
Dari berbagai sudut pandang terkait dengan wilayah pinggiran kota, istilah wilayah peri
urban menjadi istilah yang cukup komprehensif, yang mencakup antara sifat kekotaan dan
pedesaan tanpa adanya luasan tertentu untuk membatasi kondisi wilayah nya. Untuk
memudahkan dalam dasar identifikasi wilayah peri urban, dapat dikenali dengan batas terluar
lahan terbangun suatu kota yang kompak dengan ditandai 100% kenampakan kekotaan atau
pemanfaatan lahan non agraris sampai ke wilayah yang 100% ditandai pemanfaatan lahan
agraris. Diantara sifat real urban land dan real rural land tersebut lah wilayah peri urban
berada, di mana terdapat pencampuran bentuk pemanfaatan lahan kekotaan atau non-agraris
dan agraris.

2.1.1. Definisi Wilayah Peri – Urban.


Kurtz dan Eicher (1958) mengemukakan bahwa wilayah peri urban merupakan suatu
kawasan yang berada di luar perbatasan kota secara resmi (berbatasan langsung). Kemudian
Smith (1937) dalam Pryor (1970) mengemukakan definisi wilayah peri – urban yaitu
wilayah terbangun yang berada di luar batas adminsitratif suatu kota. Kemudian seiring
perkembangannya muncul berbagai macam definisi wilayah peri urban. Johnson (1974)
dalam Adell (1999) mendefisinisikan bahwa wilayah peri urban merupakan wilayah yang
termasuk pada wilayah fungsional perkotaan, di mana perkembangan sub-urban terjadi dan
merupakan zona fungsi-fungsi perkotaan dan pedesaaan bercampur dan membentuk zona
transisi di antara perkotaan dan perdesaaan. Kemudian Yunus (2000) mencoba
mengungkapkan kembali dalam penelitiannya bahwa wilayah peri urban merupakan
wilayah yang berbatasan secara langsung dengan kota, memiliki kepadatan penduduk tinggi
dibanding kepadatan penduduk di sekitarnya.
Dari beberapa ahli tersebut dapat dilihat bahwa adanya kesamaan dalam proses
identifikasi wilayah peri urban, namun masih bersifat parsial dalam mengidentifikasi
wilayah peri urban. Sehingga dalam upaya mengidentifikasi lebih dalam terkait wilayah
peri urban akan dibahas dalam substansi karakteristik wilayah peri urban secara lebih
mendalam.

2.1.2. Karakteristik Wilayah Peri-Urban


Terkait identifikasi secara definitif wilayah peri urban, dapat dilakukan dengan
sintesa beberapa teori untuk mendapatkan wilayah peri urban secara detail, identifikasi
dapat dilakukan dengan mengenali karakteristik wilayah peri urban dengan spasial
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
keruangan, identifikasi ini akan dilakukan dengan pendekatan-pendekatan, seperti
administrasi wilayah, kependudukan, dan penggunaan lahan. Pryor (1970) mendefinisikan
wilayah peri urban yaitu wilayah yang secara administratif berada diluar kekuasaan
(administratif) suatu kota. Memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dari rata-rata
kepadatan penduduk di daerah kedesaan di sekitarnya namun masih lebih rendah dari
kepadatan penduduk di dalam kota, Pryor (1970) juga menambahkan bahwa wilayah peri
urban merupakan wilayah dengan penggunaan lahannya antara aktivitas perkotaan dan
pedesaan yang tercampur. Selaras dengan pendapat Pryor (1970), Douglass (2006)
mendefinisikan wilayah peri urban sebagai zona interaksi atau transisi di mana adanya
aktifitas perkotaan dan pedesaan yang berdampingan. Dalam penelitian nya Kurtz dan
Eicher (1958), Russwurm (1980), Mc.Gee (1997) dan Yunus (2000) mengemukakan
pendapat atas temuan dalam penelitiannya terkait dengan karakteristik wilayah peri urban,
yaitu wilayah atau area transisi dari bentuk pemanfaatan lahan kedesaan menjadi bentuk
pemanfaatan lahan kekotaan yang ditandai dengan dominasi bentuk pemanfaatan lahan non
agraris. Kemudian dalam wilayah peri urban juga merupakan area pinggiran dari batas kota
dengan proporsi 75% bentuk pemanfaatan lahan terbangun dan 25% bentuk pemanfaatan
lahan kedesaaan. Kemudian Pryor (1970) mendetailkan terkait dengan karakteristik wilayah
peri urban yaitu sebagai area dengan konversi lahan pertanian ke non pertanian yang lebih
tinggi dari bagian lain di sekitarnya. Yunus (2008) dan Dickinson (1967) mengemukakan
karakteristik lain terkait dengan wilayah peri urban, yaitu wilayah pinggiran kota secara
langsung yang penduduknya di dominasi oleh pekerjaan dengan mata pencaharian non
agraris dan biasanya bekerja di kota.
Dari beberapa teori tersebut dapat diketahui bahwa adanya beberapa variabel
kesamaan dalam merumuskan karakteristik wilayah peri urban serta pendekatan
identifikasinya. Untuk memudahkan dalam penelitian, maka identifikasi wilayah peri urban
yang akan digunakan dengan identifikasi secara adminsitratif dengan batasan tertentu, agar
memudahkan dalam proses identifikasinya.

2.1.3. Sintesa Karakteristik Wilayah Peri-Urban


Dari berbagai teori terkait dengan karakteristik wilayah peri urban sebelumnya,
ditemukan berbagai kesamaan yang dikemukakan oleh pakar-pakar tersebut, serta
kemiripan dari segi substansi nya, sehingga dalam tahap ini akan disintesa berdasarkan
karakteristik terkait wilayah peri urban, sehingga guna menentukan wilayah peri-urban
selatan Kota Surakarta, lebih nampak karakteristik nya. berikut merupakan tabel sintesis
teori karakteristik wilayah peri – urban.
14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 1. Sintesa Karakteristik Wilayah Peri-Urban

Karakteristik Wilayah Peri - Urban

Smith
Yunus (1937) Kurtz dan Mc Gee Douglass Dickinson Sintesis
Robin Pryor (1970) Russwurm (1980)
(2000,2008) dalam Pryor Eicher (1958) (1997) (2006) (1967)
(1970)

Secara Wilayah yang Wilayah Kawasan yang


administratif berbatasan dengan yang terletak berada di luar
berada diluar kota secara pada lahan perbatasan kota
Wilayah yang
wilayah kekuasaan langsung. lahan resmi
berbatasan langsung
terbangun (berbatasan
(administratif) dengan batas kota.
tetapi berada langsung).
suatu kota di luar batas
kota.

Kepadatan Tinggi nya Kawasan yang


penduduk yang kepadatan penduduk memiliki
lebih tinggi dari dibandingkan kepadatan lebih
rata rata kepadatan kepadatan penduduk rendah dari
penduduk di daerah desa disekitarnya. kota, namun
kedesaan memiliki Wilayah dengan
disekitarnya, kepadatan yang Kepadatan Penduduk
namun masih lebih lebih tinggi tinggi diantara
rendah dari dibandingkan wilayah kedesaaan
kepadatan dengan antar lain nya, namun
penduduk di dalam wilayah masih lebih rendah
kota. pinggiran lain. dari kepadatan
penduduk kota.

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Karakteristik Wilayah Peri - Urban

Smith
Yunus (1937) Kurtz dan Mc Gee Douglass Dickinson Sintesis
Robin Pryor (1970) Russwurm (1980)
(2000,2008) dalam Pryor Eicher (1958) (1997) (2006) (1967)
(1970)

Pencampuran Area pinggiran dari Zona dengan Area transisi dari Wilayah Zona interaksi Wilayah transisi
penggunaan lahan batas kota dengan didalam nya bentuk dengan atau transisi antara perkotaan dan
antara aktivitas proporsi 75% adanya pemanfaatan pencampuran dimana adanya pedesaan dengan
perkotaan dan bentuk pemanfaatan pencampuran lahan kedesaan bentuk bentuk aktifitas dominasi
pedesaaan. lahan terbangun dan struktur lahan menjadi bentuk pemanfaatan perkotaan dan pemanfaatan lahan
25% pemanfaatan kedesaan dan pemanfaatan lahan kedesaan pedesaan yang terbangun.
lahan kedesaaan. lahan kekotaan lahan perkotaan. dan kekotaan. berdampingan
nya. Yang ditandai
dengan dominasi
bentuk
pemanfaatan
lahan non agraris.

Wilayah
Wilayah pinggiran dengan Wilayah di luar batas
perkotaan yang di pekerjaan kota dengan dominasi
dominasi pekerjaan Penduduk
. penduduk mata
dengan mata non petani pencaharian non
pencaharian non dan agraris
agraris. didominasi
bekerja di
kota.

Sumber: Hasil Kajian Pustaka, 2017

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2. Struktur Spasial


2.2.1. Definisi Struktur Spasial
Struktur spasial atau lebih dikenal dengan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
(UU Nomor 26 Tahun 2007).
Bourne (1971) menjelaskan bahwa struktur spasial adalah bagian dari organisasi
keruangan sebuah kota dan mencirikan penggunaan lahan tertentu di suatu kota. Di mana
menurut Bourne (1971) struktur kota nantinya akan selalu berubah seiring dengan
pertumbuhan kota secara sosial-ekonomi, dan membentuk suatu organisasi keruangan
tertentu yang merupakan representasi penggunaan ruang oleh manusia.
Menurut Anas, Arnott & Small (1998) menambahkan bahwa struktur spasial dapat
di identifikasi dari pola distribusi aktivitas manusia di kota. Khususnya mengacu pada pola
yang dapat dilihat dalam distribusi tempat tinggal dan tempat kerja di wilayah metropolitan
dan arus perjalanan yang menghubungkannya satu sama lain.
Dari beberapa pengertian definisi struktur spasial tersebut diatas, secara umum dapat
disimpulkan bahwa struktur spasial adalah suatu bentuk ekspresi keruangan kota yang dapat
diidentifikasi melalui pola distribusi aktivitas manusia, terdiri dari pusat-pusat permukiman,
penggunaan lahan, dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
kegiatan pendukung sosial ekonomi dan secara hirarkis memiliki suatu hubungan
fungsional.

2.2.2. Elemen – Elemen Struktur Spasial


Struktur spasial pada hakikatnya memiliki elemen-elemen yang nantinya akan
membentuk suatu ekspresi keruangan kota. Hermani Slamet (1996) menjelaskan bahwa
elemen struktur spasial yang membentuk keruangan kota meliputi (1) Hirarki Pusat
Pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan dan pusat pemerintahan. (2) Prasarana Jalan
seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal. (3) Rancang Bangun kota seperti
ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, garis langit, kepadatan bangunan dan
sebagainya. Selain itu dalam UU Nomor 26 tahun 2007 pasal 17 juga dijelaskan bahwa
struktur ruang terdiri dari dua hal yaitu, rencana sistem pusat-pusat permukiman dan
rencana sistem jaringan prasarana dan sarana.

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Pendapat lain juga disampaikan oleh Nia K. Pontoh & Iwan Setiawan (2008) bahwa
unsur pembentuk struktur tata ruang kota terdiri dari pusat kegiatan, kawasan fungsional
dan jaringan jalan. Selain itu Wongso (2001) dalam Wiratawan (2017) menambahkan
bahwa perkembangan dan bentuk struktur fisik kota dapat diketahui melalui perubahan
elemen-elemen fisik dan non-fisiknya. Elemen fisik meliputi sarana transportasi, pasar,
pusat pemerintahan, ruang terbuka, pusat peribadatan, tempat permukiman dan sebagainya,
sedangkan elemen non fisik adalah manusia dan segala aktivitasnya.
Sinulingga (2005) juga berpendapat bahwa elemen struktur ruang kota terdiri dari
berbagai macam hal, diantara nya yaitu (1). Kumpulan dari pelayanan jasa seperti sarana
perdagangan, sarana pemerintahan, keuangan, yang cenderung terdistribusi secara
berkelompok dalam pusat pelayanan. (2). Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur)
pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
(3). Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
(4). Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat diatas yaitu pusat pelayanan
jasa, pusat industri manufaktur dan lingkungan permukiman yang saling terintegrasi.
C.D.Harris dan F.L.Ullman (1945) dalam Yunus (2000) mengungkapkan bahwa
struktur spasial suatu kota terbentuk oleh adanya pusat kegiatan. Namun pusat kegiatan
yang ada dalam suatu kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana yang
ditandai oleh satu pusat kegiatan saja (unicentered theory) melainkan terbentuk sebagai
suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut terus menerus dari sejumlah pusat-
pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (multi centered
theory). Dalam teorinya tersebut kemudian C.D.Harris dan F.L.Ullman (1945) kemudian
menuangkan ide nya terkait dengan model struktur spasial sebagai berikut :

Gambar 2. 1. Multiple Nuclei Theory Harris & Ullman (1945)


Sumber: Yunus, 2000
18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa model struktur ruang yang disampaikan Harris
& Ullman (1945) memiliki berbagai pusat kegiatan, yang pertama yaitu CBD, kemudian
Wholesale Light Manufacturing, Daerah Permukiman Klas Rendah, Daerah Permukiman
Klas Menengah, Daerah Permukiman Klas Tinggi, Heavy Manufacturing, Business District
Lainnya, Permukiman di daerah Pinggiran, dan Industri di daerah pinggiran.
Teori klasik lain yang terkait dengan struktur ruang, yaitu teori konsentris milik E.W
Burgess (1925) dan teori sektoral milik Hoyt (1939) di mana kedua teori tersebut
menekankan pada peranan guna lahan yang nantinya membentuk suatu struktur spasial,
dalam penjabaran nya, guna lahan yang di kemukakan oleh Burgess (1925) dalam Yunus
(2000) yaitu terdiri dari (1) Daerah Pusat Kegiatan, (2) Zona Peralihan, (3) Zona
Permukiman Pekerja, (4) Zona Permukiman yang Lebih Baik dan (5) Zona Penglaju. Dari
pengamatannya tersebut Burgess (1925) kemudian menuangkan idenya kedalam sebuah
model struktur ruang sebagai berikut:

Gambar 2. 2. Model Konsentris E.W Burgess (1925)


Sumber: Yunus,2000

Burgess (1925) dalam Yunus (2000) menjelaskan bahwa, struktur ruang kota akan
terdiri dari zona zona konsentris dan masing-masing zona ini akan mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. Hoyt (1939) dalam Yunus
(2000) kemudian menambahkan bahwa struktur ruang, terbentuk karena penggunaan lahan
sektoral, bukan terbentuk teratur secara konsentris. Unit-unit kegiatan yang ada di perkotaan
kemudian membentuk Sektor-Sektor yang sifat nya lebih bebas dan tidak teratur. Namun
dalam teori sektoral Hoyt, DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan teori
konsentris.
Hoyt (1939) dalam Yunus (2000) kemudian menjabarkan bahwa model struktur
ruang memiliki lima sektor, diantara nya yaitu Sektor Pusat Kegiatan Bisnis (CBD) yang
didalam nya terdiri atas bangunan-bangunan kantor, Hotel, Bank, Bioskop, Pasar dan Pusat

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Perbelanjaan. Kemudian Sektor yang kedua yaitu Sektor Kawasan Industri ringan dan
Perdagangan. Sektor yang ketiga yaitu sektor permukiman kumuh atau tempat tinggal
buruh, kemudian sektor keempat yaitu sektor permukiman klas menengah dan sektor kelima
yaitu sektor permukiman klas tinggi. Adapun untuk lebih jelasnya berikut merupakan model
struktur ruang yang di kemukan oleh Hoyt.

Gambar 2. 3. Model Sektoral Hoyt (1939)


Sumber: Yunus,2000

Dalam teori sektor tersebut, Hoyt (1939) dalam Yunus (2000) menjelaskan bahwa
perkembangan kota dipengaruhi oleh faktor ketersediaan jaringan jalan atau aksesibilitas
yang memadai seperti rel kereta atau jalan raya. Dengan hal ini maka sebuah kota seolah-
olah terdiri dari masing-masing sektor yang mengalami perkembangan ke arah luar.
Perbedaan penggunaan lahan yang dikemukan hoyt dengan teori konsentris yaitu adanya
penggunaan lahan industri. Menurut Hoyt (1939) zona industri terletak di sepanjang jalur
transportasi kereta atau jalan raya. Hal ini karena terdapat jalur transportasi atau rute menuju
daerah perkotaan yang menggambarkan mudahnya aksesibilitas. Sehingga pada zona
industri juga berdekatan pada CBD.
Babcock (1932) dalam Yunus (2000) juga mengungkapkan teori nya yang dikenal
dengan teori poros, di mana dalam proses terbentuknya struktur spasial ada peranan jalur
jalur transportasi atau bisa dikatakan sebagai jaringan jalan. Keberadaan poros transportasi
menurut Babcock (1932) akan mengakibatkan distorsi pola konsentris, karena sepanjang
rute transportasi berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi. Daerah yang dilalui transportasi
akan mempunyai perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah-daerah diantara jalur-
jalur transportasi ini. Akibatnya, keruangan yang timbul adalah suatu bentuk persebaran
keruangan yang disebut “star shaped pattern/octopus-like pattern”. Perkembangan zona
zona yang ada pada daerah sepanjang poros transportasi akan terlihat lebih besar dibanding

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan perkembangan daerah-daerah yang terletak diantanya (interstitial area). Adapun
untuk lebih jelas nya berikut merupakan model struktur spasial menurut babcock.

Gambar 2. 4. Star-Shaped Pattern Model, Babcock (1932)


Sumber: Yunus,2000

2.2.3. Sintesa Elemen – Elemen Struktur Spasial


Dari beberapa teori dan literatur di atas dapat diketahui beberapa pengertian terkait
dengan pemahaman struktur spasial dari beberapa ahli, serta penjabaran terkait dengan
elemen-elemen yang membentuk struktur spasial. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa
elemen struktur spasial terdiri dari berbagai macam, baik elemen yang bersifat fisik dan non-
fisik. Kemudian dari penjabaran tersebut diatas, peran jaringan jalan atau transportasi serta
pusat kegiatan memiliki peran utama dalam terbentuknya struktur spasial, kemudian
beberapa elemen lain seperti sarana dan penggunaan lahan yang kemudian secara spesifik
dapat diketahui struktur spasialnya, adapun untuk lebih jelasnya berikut merupakan sintesa
pustaka terkait dengan elemen pembentuk struktur spasial.

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 2. Sintesa Elemen-Elemen Struktur Spasial

Elemen - Elemen Struktur Spasial


Sintesa
UU 26 tahun Nia K.Pontoh dan
Harris & Ulman (1945) Hoyt (1939) dalam Babcock (1932) dalam Burgess (1925) dalam Wongso (2001) dalam Pustaka
Hermani Slamet (1996) Sinullingga (2005) 2007 tentang Iwan Setiawan
dalam Yunus (2000) Yunus (2000) Yunus (2000) Yunus (2000) Wiratawan (2017)
penataan ruang (2008)
Struktur ruang terbentuk oleh
Elemen pembentuk Unsur pembentuk
adanya pusat kegiatan, dalam hal Terdapat pusat kegiatan yang
struktur keruangan Struktur ruang struktur tata
ini pusat kegiatan yang terbentuk terbentuk dari kumpulan industri
yaitu adanya hirarki terbentuk dari ruang kota terdiri Sistem
berkembang dan berintegrasi sekunder (manufaktur)
pusat pelayanan seperti adanya Sistem dari Pusat Pusat
secara terus menerus dari pergudangan dan perdagangan
pusat kota, pusat pusat kegiatan, Kegiatan
sejumlah pusat – pusat kegiatan grosir.
lingkungan dan pusat Permukiman kawasan
yang terpisah satu sama lain
pemerintahan. fungsional
dalam sistem perkotaan.
Adanya peranan jalur Adanya Jaringan transportasi Salah satu
transportasi yang adanya peranan jalur Elemen struktur spasial yang menghubungkan pusat elemen yang
Jaringan jalan
membentuk struktur jalur transportasi atau teridiri dari Prasarana pelayanan jasa, pusat industri membentuk
merupakan unsur Jaringan
ruang seperti jalan raya jaringan jalan pada Jalan seperti jalan manufaktur dan lingkungan struktur ruang
pembentuk Jalan
atau rel reketa api yang proses terbentuknya arteri, jalan kolektor permukiman yang saling adalah
struktur ruang.
menghubungkan sektor struktur spasial dan jalan lokal. terintegrasi yang akan prasarana
– sektor membentuk struktur ruang. jaringan jalan
Struktur ruang terbentuk melalui Penggunaan Lahan Pola Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan sesuai dengan sesuai dengan sektoral Konsentris yang terdiri
karakteristik pusat kegiatannya: akan membentuk dari Zona-Zona akan
1. Pusat Kota/CBD struktur spasial, pola membentuk struktur
2. Pusat Niaga dan Industri penggunaan lahan ruang:
Ringan tersebut diantaranya 1. Daerah Pusat
3. Daerah Permukiman Klas yaitu: Kegiatan
Rendah 1. CBD 2. Zona Peralihan
4. Daerah Permukiman Klas 2. Kawasan Industri 3. Zona Penggunaan
Menengah 3. Kawasan Permukiman Lahan
5. Daerah Permukiman Klas Permukiman Buruh Pekerja
Tinggi 4. Kawasan 4. Zona
6. Pusat Industri Berat Permukiman Permukiman
7. Pusat Perbelanjaan lain di Menengah yang lebih baik
Pinggiran 5. Kawasan 5. Zona Penglaju
8. Pusat Permukiman di Permukiman Tinggi
Pinggiran
9. Pusat Industri di Pinggiran
Struktur kota
Struktur spasial terbentuk
terbentuk berdasarkan
berdasarkan kumpulan dari
elemen fisik seperti
pelayanan jasa seperti sarana Salah satu unsur
sarana transportasi,
perdangangan, pemerintahan, pembentuk
pasar, pusat Sarana
keuangan, yang terdistribusi struktur ruang
pemerintahan, ruang
secara berkelompok dalam pusat yaitu Sarana
terbuka, pusat
pelayanan.
peribadatan dan
lainnya.
Struktur spasial
terbentuk berdasarkan
rancang bangun kota
seperti ketinggian Rancang
bangunan, jarak antar Bangun
bangunan, garis langit,
kepadatan bangunan
dan sebagainya.
Sumber: Hasil Kajian Pustaka,2017

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.3. Harga Lahan


2.3.1. Definisi Harga Lahan
Harga lahan adalah penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal
dalam satuan uang untuk satu satuan luas tertentu pada pasaran lahan (Yunus,2000:89).
Harga lahan digunakan sebagai gambaran atas nilai lahan atau dapat dikatakan harga lahan
mencerminkan nilai lahan, terutama nilai strategis lahan tersebut. Di mana semakin
strategis lokasi lahan maka nilai lahan semakin tinggi.
Sementara itu menurut Darin – Drabkin dalam Yunus (2000) nilai lahan atau land
value adalah suatu penilaian lahan yang didasarkan pada kemampuan secara ekonomis
dalam hubungkannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Darin – Drabkin
(1977) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa:
a. Secara Fisik nilai dan harga lahan tidak dapat turun, tidak terpengaruh oleh faktor
waktu.
b. Tidak dapat dipindahkan.
c. Secara Kuantitas terbatas dan persediaannya tidak dapat ditingkatkan.
d. Tidak hanya digunkan untuk tujuan produksi tapi untuk investasi atau sebagian
dasar simpanan.
Dalam penelitiannya, Alonso (1971) menggunakan istilah harga lahan sebagai
pengganti nilai lahan dalam menganalisis masalah ekonomi lahan perkotaan, di mana
istilah harga lahan dapat mencerminkan nilai pasar atas harga kontrak, harga jual, dan
biaya kepemilikan. Alonso (1971) menekankan bahwa harga lahan yaitu sejumlah uang
yang dibayarkan kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada
periode waktu tertentu, dari definisi tersebut secara spesifik belum menjelaskan mengenai
harga lahan, akan tetapi harga lahan sudah mengkaitkan dengan dimensi pasar sebagai
wahana transaksinya.
Pada dasarnya penentuan harga lahan tidak lepas dari faktor lingkungan, perbedaan
lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam harga
lahan yang bersangkutan secara konkrit, harga lahan ini nantinya semakin meningkat jika
kualitas lingkungan bertambah baik. Meningkatnya harga lahan tidak lepas dari intervensi
pemerintah terhadap lahan, pemerintah menginvestasikan lahan dengan menciptakan
fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan masyarakat, seperti pembangunan jalan,
jaringan listrik, bandara, jaringan drainase, dan sebagainya. Semua fasilitas tersebut yang
menimbulkan kemudahakan dan meningkatkan kepuasan dan tentunya sejalan dengan

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kesedian bagi orang untuk membayar lebih. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang
berlokasi dekat fasilitas umum tersebut akan mengalami peningkatan. Adanya kegiatan
pembangunan, khususnya pembangunan jaringan prasarana tersebut, akan meningkatkan
kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang secara
beriringan akan meningkatkan harga lahan. Selain itu menurut Riza (2005) menjelaskan
bahwa harga sebidang tanah ditentukan oleh jenis kegiatan yang ditempatkan di atasnya
dan terwujud dalam bentuk penggunaan tanah. Kemudian Harga tanah dalam keadaan
sebenarnya dapat di golongkan menjadi harga tanah pemerintah (Government Land Price)
dan Harga Tanah Pasar (Market Land Price).

2.3.2. Kebijakan Harga Lahan


Menurut Imam Soebechi (2012) Untuk menjalankan otonomi daerah pemerintah
daerah memerlukan adanya dana keuangan daerah yang bersumber pada pendapatan asli
daerah dan dari dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah merupakan
subsistem keuangan negara sebagai konsekwensi pelaksanaan asas desentralisasi dan
otonomi daerah yang memberikan kewenangan luas pada pemerintah daerah. Selain itu
Adrian Setedi (2008) menegaskan bahwa daerah otonomi mampu berotonomi salah satu
aspeknya terletak pada kemampuan keuangan daerah, dalam artian yaitu pemerintah
daerah memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali dan mengelola sumber-
sumber keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah, pendapatan asli daerah berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak daerah sebagai penopang terbesar pendapatan asli daerah yang bermanfaat untuk
kelancaran pembangunan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan fungsi pajak itu
sendiri, yakni untuk dana pembiayaan serta belanja daerah dalam rangka menjalankan roda
pemerintahan daerah. Oleh karena dasar tersebut kemudian pemerintah Kabupaten
Sukoharjo menetapkan kebijakan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo No 7
tahun 2011 tantang pajak daerah, di mana dalam Perda tersebut mengatur mengenai NJOP.
Nilai Jual Objek Pajak yang kemudian disingkat NJOP adalah adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. NJOP merupakan unsur penting
dalam penetapan pajak bumi dan bangunan, tanpa diketahui NJOP maka suatu objek pajak
tidak akan terhitung besaran pajak yang terutang. Dengan bergulirnya waktu dan
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kepentingan masyarakat akan NJOP maka manfaat NJOP sangat diperlukan oleh
masyarakat maupun instansi yang mempunyai kepentingan terhadapnya. Misalnya sebagai
acuan pemerintah guna menetapkan besaran ganti rugi lahan atau bangunan milik
masyarakat yang terdampak oleh pembangunan untuk kepentingan umum.
Dalam penelitian David Widianto (2015) Mengacu manfaat NJOP yang juga
diperlukan masyarakat, teryata NJOP untuk bumi dan bangunan juga memiliki banyak
permasalahan, seperti NJOP bumi dan bangunan yang sangat tidak sesuai dengan harga
pasar, sehingga akan berdampak adanya potential loss terhadap pendapatan daerah dari
perpajakan khususnya PBB. NJOP bumi dan bangunan yang belum sesuai dengan harga
pasar dapat ditemukan ketika adanya jual beli tanah di PPAT, di mana harga Riil objek
jual lebih tinggi dari NJOP.
Maria S.W (2001) menjelaskan bahwa karena sifat tanah yang langka dan terbatas,
serta merupakan kebutuhan dasar setiap manusia maka pada hakekatnya masalah tanah
adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan dan pada saat pelaksanaannya tidak selalu
mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua
pihak. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai tarif pelayanan
pertanahan yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 128
Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional yang di
dalamnya tercantum ketentuan mengenai Zona Nilai Tanah. Penetapan Zona nilai tanah ini
merujuk kepada pencegahan dan pengurangan sengketa, perkara dan konflik pertanahan,
melalui peranan ketetentuan Zona Nilai Tanah dalam memberikan penilaian yang adil,
benar dan transparan sehingga akan meminimalisir perkara pertanahan.
Pemerintah Rupublik Indonesia melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN)
berdasarkan PP Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaaan
Negara Bukan Pajak dan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang BPN telah menginisasi
terwujudnya nilai tanah, nilai properti, nilai ekonomi kawasan serta nilai total asset
pertanahan sebagai rujukan nasional untuk mewujudkan fungsi tanah. Salah satu
perwujudan tersebut adalah zona nilai tanah (ZNT). Di mana zona nilai tanah ini sebagai
wadah informasi yang wajar dan akurat guna mengetahui harga lahan suatu wilayah.
Zona Nilai Tanah (ZNT) adalah poligon yang menggambarkan nilai tanah yang
relatif sama dari sekumpulan bidang tanah didalamnya, yang batasannya bisa bersifat
imajiner ataupun nyata sesuai dengan penggunaan tanah dan mempunyai perbedaan nilai
antara satu dengan yang lainnya berdasarkan analisa petugas dengan metode perbandingan

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
harga pasar dan biaya (Peta Nilai Zona Tanah Review, BPN RI, 2012). Menurut Sutaryono
(2012) Mengingat ZNT berbasis nilai pasar, maka ZNT dapat digunakan untuk:
a. Penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan
b. Referensi masyarakat dalam transaksi
c. Penentuan Ganti Rugi
d. Inventori nilai asset publik maupun asset masyarakat
e. Monitoring nilai tanah dan pasar tanah
f. Referensi penetapan NJOP untuk PBB agar lebih adil dan transparan.

Dari beberapa pandangan teori dan kebijakan terkait dengan harga lahan, dengan
mempertimbangkan informasi harga lahan yang wajar, akurat dengan penilaian yang adil,
benar dan transparan serta meminimalisir perkara pertanahan maka dalam penelitian ini
harga lahan yang akan dilakukan dalam penelitian yaitu dengan menggunakan zona nilai
tanah.

2.4 Pengaruh Elemen Struktur Spasial Terhadap Harga Lahan


Northam (1975) menjelaskan bahwa faktor yang berpengaruh atau yang
berkontribusi paling besar dalam pembentukan nilai lahan adalah pusat kegiatan atau
Central Business District (CBD), dalam hal ini, semakin jauh jarak dari Central Business
District (CBD), maka nilai lahannya akan semakin menurun. Selain itu Northam (1975)
juga menemukan bahwa faktor lain yang membuat nilai lahan menjadi tinggi diantara nya:
▪ Jalur Transportasi Utama
▪ Kawasan Perdagangan Utama
▪ Kawasan Industri
▪ Jalan Arteri Melingkar (Radial) meskipun lokasi nya berada di pinggir kota.
Sebelum Northam (1975) R.V. Rateliff (1949) dalam Yunus (2000) terlebih dahulu
menjelaskan mengenai idenya yang berkaitan dengan nilai lahan, Rateliff (1949)
mengungkapkan bahwa pusat kota atau kegiatan, dianggap menjadi suatu tempat yang
memiliki aksesibilitas terbesar. Pada lokasi inilah “centralily-value” (nilai pemusatan) dan
akan menurun secara teratur ke arah luar sampai pada “urban-peripheries”. Sehingga harga
lahan akan tercermin nilai terbesarnya pada pusat kota atau kegiatan. Dalam hal ini, pola
persebaran penggunaan lahan yang efisien juga akan tercipta dengan sendirinya karena
adanya suatu persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi-lokasi yang
diinginkan. Adapun guna mengukur jarak menuju pusat kota, Siswanto (2007)
mengklasifikasikan menjadi empat klasifikasi, diantara nya jarak sangat dekat, jarak dekat,
26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
jarak sedang dan jarak jauh. Adapun untuk lebih jelas nya berikut merupakan klasifikasi
jarak menuju pusat kegiatan atau pusat kota.

Tabel 2. 3. Klasifikasi Jarak Menuju Pusat Kegiatan

Klasifikasi Sangat Dekat Dekat Sedang Jauh


Jarak Ke Pusat >5 Km
<0.5 Km 0.5 s/d 1Km 1 s/d 5 Km
Kegiatan
Sumber: Siswanto (2007)
Djoko Sujarto (1985) menjelaskan bahwa, selain jarak pada CBD atau Pusat kota,
tinggi rendahnya suatu harga lahan dapat juga dipengaruhi oleh berbagai macam hal,
seperti:

▪ Fisik Dasar ▪ Prasarana dan Utilitas Umum


➢ Topografi ➢ Jaringan Jalan
➢ Iklim ➢ Utilitas Umum
➢ Daya dukung
➢ Drainase
▪ Lingkungan ▪ Sarana
➢Pencemaran Air ➢ Pasar/Pertokoan
➢Pencemaran udara ➢ Pendidikan
➢Pencemaran Suara ➢ Peribadatan
➢Kenyamanan Lingkungan ➢ Kesehatan
➢Kebersihan dan Kesehatan ➢ Hiburan
➢ Kepadatan Bangunan dan ➢ Pemerintahan
Penduduk
➢ Kritis Bencana Alam

Menyambung pendapat Djoko Sujarto tersebut diatas, di Indonesia jaringan jalan


memiliki klasifikasi berbagai macam, berdasarkan Pedoman Konstruksi dan Bangunan,
Kemen Pu. Pd T-19-2004-B, jika dilihat dari fungsi maka terdapat enam klasifikasi fungsi
jalan, diantara nya sebagai berikut:

▪ Jalan Arteri Primer


Jalan Arteri Primer yaitu memiliki kriteria dan ciri ciri sebagai berikut, jalan di design
dengan kecepatan rencana paling rendah 60km/jam. Lebar badan jalan paling rendah 11
meter, menghububngkan antar jalan arteri primer luar kota, jalan arteri primer dilengkapi
dengan tempat istirahat setiap jarak 25km. serta di lengkapi dengan median jalan.

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
▪ Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer memiliki kriteria dan ciri ciri sebagai berikut, jalan di desain
dengan keceapatan rencana 40km/jam. Lebar badan jalan paling rendah 9m, jalan
kolektor primer dalam kota merupakan terusan kolektor primer antar kota.
menghubungkan kawasan primer atau jalan arteri primer
▪ Jalan Lokal Primer
Jalan lokal di design dengan kecepatan rencana paling rendah 20km/jam, memiliki
lebar badan jalan paling rendah 6,5m, menghubungkan jalan lokal primer menuju
kawasan primer atau jalan primer lain nya, jalan lokal primer dalam kota juga merupakan
terusan jalan lokal primer luar kota.
▪ Jalan Arteri Sekunder
Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang di design dengan kecepatan rencana paling
rendah 30km/jam, lebar jalan paling rendah 11 m, jalan arteri sekunder menghubungkan
kawasan primer dan kawasan sekunder ke satu, dan menghubungkan kawasan sekunder
kesatu.
▪ Jalan Kolektor Sekunder
Jalan kolektor sekunder memiliki kriteria dan ciri-ciri seperti, menghubungnkan antar
kawasan sekunder kedua, atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder
ketiga, jalan dengan design kecepatan rencana paling rendah 20km/jam, lebar jalan
paling rendah 9 meter.
▪ Jalan Lokal Sekunder
Jalan lokal sekunder yaitu jalan di design berdasarkan kecepatan paling rendah
10km/jam, lebar badan jalan paling rendah 6,5 meter, menghubungkan antar kawasan
sekunder ketiga atau bawahnya dan menghubungkan kawasan permukiman.

Berkaitan dengan jaringan jalan, B.J. Berry (1963) dalam Yunus (2000) menemukan
fakta bahwa adanya pengaruh simpangan jalan terhadap harga lahan, di mana pada setiap
persimpangan jalan memiliki nilai lahan yang lebih tinggi. Persimpangan pada jalan utama
menuju pusat kegiatan atau pusat kota memberikan aksesibilitas yang lebih tinggi,
dibandingkan tempat lain tanpa persimpangan jalan. Hal ini nantinya akan mendorong
timbulnya puncak-puncak kecil (mini peak) dari harga lahan. Namun jika perpotongan
tersebut berada di pusat kota maka ditandai dengan puncak utama (grand peak). Dalam hal
ini Berry (1963) melengkapi pendapat nya dengan visualisasi gambar sebagai berikut:

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2. 5. Distribusi Nila Lahan Berry (1963)


Sumber: Yunus,2000

Dari gambar tersebut di atas, dapat dilihat bahwa setiap perpotongan jalan atau
simpangan, nantinya akan membentuk suatu pola harga lahan, di mana semakin menuju
pusat kegiatan atau pusat kota, maka akan terjadi puncak harga lahan. Puncak utama dalam
hal ini akan terjadi di pusat kota, sedangkan puncak-puncak kecil (mini peak) akan terjadi
disetiap perpotongan menuju pusat kota tersebut. Dalam visualisasi tersebut, Berry
memberikan angka 1 pada gambar untuk menunjukan simpangan jalan di pusat kota,
sehingga akan terbentuk grand peak, namun jika simpangan berada bukan di pusat kota
maka akan muncul mini peak disepanjang jalan menuju pusat kota tersebut. Berkaitan
dengan simpangan jalan, Hariyanto (2004) menjelaskan bahwa simpangan terdiri dari dua
macam, yaitu simpangan sebidang dan simpang tidak sebidang, atau simpangan susun.
Untuk lebih lengkap nya Hariyanto (2004) menjabarkan simpangan sebagai berikut:

▪ Persimpangan Sebidang
a. Persimpangan Sebidang Bercabang 3
b. Persimpangan Sebidang Bercabang 4
c. Persimpangan Sebidang Bercabang Banyak
d. Bundaran
▪ Persimpangan Tidak Sebidang
a. Simpang Susun

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Simpangan Sebidang Bercabang 3 Simpangan Sebidang Bercabang 4

Simpangan Sebidang Bercabang Banyak Bundaran

Gambar 2. 6. Macam-Macam Simpangan Sebidang

Sumber: Hariyanto,2004

Gambar 2. 7. Simpangan Tidak Sebidang

Sumber: Hariyanto,2004

Kemudian Alonso (1971) dalam Yunus (2000) berpendapat bahwa adanya suatu
peningkatan intensitas kepadatan bangunan yang terjadi di pusat kota atau pusat kegiatan.
Hal ini terjadi karena berkaitan dengan “profit orientation”, yaitu untuk memperoleh
keuntungan yang setinggi-tinginya, maka setiap jengkal lahan pada bagian dalam kota yang
mahal tersebut akan digunakan seintensifnya, sehingga akan nampak tingginya kepadatan
bangunan di area tersebut. Adapun hal ini terjadi karena keuntungan utama pada lokasi yang
dekat pusat kota adalah bahwa penghuninya mempunyai kecenderungan untuk menghemat
biaya transport. Sehingga makin kearah dalam kota menunjukan suatu kepadatan bangunan
yang semakin tinggi.

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Purbalangi (2014) mencoba membuktikan apa yang disampaikan oleh Alonso
(1971), dalam penelitiannya tersebut Purbalangi (2014) ingin mengetahui pengaruh dari
harga lahan terhadap intensitas pemanfaatan lahan di koridor jalan Mrg.Sugiopranoto-
Siliwangi Semarang. Pada penelitian tersebut kemudian dibuktikan bahwa adanya suatu
pengaruh dari kepadatan bangunan atau dalam hal ini disebut Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) terhadap harga lahan di koridor Mrg.Sugiopranoto-Siliwangi Semarang. KDB
merupakan rasio perbandingan luas lahan terbangun (land coverage) dengan luas lahan
keseluruhan blok peruntukan, dan biasanya KDB dinyatakan dalam persen (%). Dalam
penelitian Windriarti Hendrojogi (2008) dalam upaya mengetahui KDB (koefisien dasar
bangunan) secara matematis rumus cara menghitung KDB sebagai berikut:

Luas Bangunan
KDB = ____________________ X 100%
Luas Lahan

Pengaturan KDB memiliki tujuan untuk berbagai hal, seperti menjaga


keseimbangan dan kelestarian lingkungan, menciptakan keserasian lingkungan baru dan
lingkungan lama yang sudah tidak terbentuk, menjaga keseimbangan antara bangkitan
kendaraan yang ditimbulkan oleh bangunan dan rencana jaringan jalan. Adapun dalam
upaya tersebut, berdasarkan Kepmen PU No. 640/KPTS /1986 tentang Perencanaan Tata
Ruang Kota diatur mengenai klasifikasi KDB tersebut sebagai berikut:

Tabel 2. 4. Klasifikasi KDB

No Klasifikasi KDB Persentase


1 Sangat Rendah < 5%
2 Rendah 5-20%
3 Sedang 20-50%
4 Tinggi 50-75%
5 Sangat Tinggi >75%
Sumber: Kepmen PU No.640/KPTS/1986

Pearce and Turner (1990) menjelaskan bahwa faktor lain yang juga berpengaruh
dalam nilai lahan yaitu terkait dengan ekseternalitas penggunaan lahan yang bersifat positif
dan negatif, yang dimaksud dengan eskternalitas negatif yaitu suatu kondisi tanah akan
bernilai rendah jika terletak di kawasan rawan bencana, bencana banjir atau dekat dengan
tempat sampah dan jauh dari pusat kegiatan, sehingga pada lahan yang berada dilokasi
tersebut memiliki kecenderungan nilai lahannya rendah. Sedangkan eksternalitas positif
yaitu dekat dengan pusat kegiatan dan bebas banjir maka harga lahan cenderung bernilai
tinggi.

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Di wilayah peri urban selatan kota Surakarta, bencana alam yang sering terjadi yaitu
bencana banjir. Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Banjir adalah
peristiwa atau keadaan terendahnya suatu daerah atau daratan yang disebabkan karena
peningkatan volume air. Hadisusanto (2011) juga menjelaskan bahwa banjir adalah tinggi
muka air yang melebihi normal pada sungai dan biasanya meluap melebihi dinding sungai
dan membuat luapan airnya menggenang pada suatu daerah genangan. Banjir pada suatu
tempat akan berbeda-beda tergantung dari kondisi fisik dan geografis wilayah tersebut.

Adapun untuk mengetahui Resiko Banjir yang melanda wilayah peri urban dapat
digunakan dengan menganalisis resiko berdasarkan Matriks Resiko Banjir.

Tabel 2. 5. Matriks Resiko Bencana Banjir

Kerentanan

Rendah Sedang Tinggi

Rendah Rendah Rendah Sedang


Bahaya

Sedang Rendah Sedang Tinggi

Tinggi Sedang Tinggi Tinggi

Sumber: Musmilin (2016)

Dari beberapa literatur pustaka tersebut yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa
harga lahan dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, baik terkait dengan elemen struktur
spasial dan yang bukan terkait dengan struktur spasial. dalam hal ini peneliti mencoba
melakukan sintesa faktor yang mempengaruhi harga lahan kemudian diklasifikasikan
berdasarkan elemen struktur spasial dari penjabaran literatur di atas. Sehingga akan terlihat
faktor -faktor berpengaruh terhadap harga lahan yang berasal dari struktur spasial maupun
yang tidak. Untuk lebih jelasnya berikut merupakan tabel sintesa pustaka faktor yang
berpengaruh terhadap harga lahan.

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Tabel 2. 6. Sintesa Pustaka Faktor yang berpengaruh terhadap harga lahan.

Elemen Struktur
No Fokus Bahasan Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Positif Faktor – Faktor Yang Berpengaruh Negatif Sumber
Spasial
➢ Pusat Kegiatan atau CBD
Sistem Pusat ➢ Kawasan Perdagangan Utama
Jarak -
Kegiatan ➢ Kawasan Industri Northam
1 (Semakin dekat maka harga lahan semakin tinggi) (1975)

Jaringan Jalan Fungsi Jalan ➢ Jalan Arteri Melingkar (Radial)


➢ Pusat Kota / Kegiatan
(memiliki aksesbilitas terbesar, sehingga harga lahan R.V. Rateliff
Sistem Pusat
2 Jarak cenderung tinggi jika semakin dekat dengan Pusat) - (1949) dalam
Kegiatan
Yunus (2000)
Jaringan Jalan ➢ Prasarana dan Utilitas Umum
Jaringan Jalan -
Sarana (Ketersediaan Jaringan Jalan dan Utilitas Umum)
➢ Sarana (Pasar, Pendidikan, Peribadatan, Kesehatan,
Sarana Sarana -
Hiburan, Pemerintahan) Djoko Sujarto
3
➢ Lingkungan (Kenyamanan Lingkungan, Kebersihan ➢ Lingkungan (Pencemaran Air, Pencemaran (1985)
- -
dan Kesehatan, Kepadatan Bangunan) Udara, Pencemaran Suara, Kritis Bencana Alam)
➢ Fisik Dasar (Topografi, Iklim, Daya Dukung, ➢ Fisik Dasar (Topografi, Iklim, Daya Dukung,
- -
Drainase) Drainase)
➢ Persimpangan Jalan (simpangan jalan utama menuju Berry (1963)
Simpangan
4 Jaringan Jalan pusat kegiatan akan menimbulkan puncak harga - dalam Yunus
Jalan
lahan, mini peak dan grand peak) (2000)
➢ Kepadatan Bangunan (Semakin kearah pusat
Kepadatan
5 Rancang Bangun kegiatan, maka kepadatan semakin meningkat yang - Alonso (1971)
Bangunan
diikuti dengan peningkatan harga lahan)
➢ Kepadatan Bangunan (kepadatan bangunan memiliki
Kepadatan Purbalangi
6 Rancang Bangun pengaruh dengan harga lahan, semakin tinggi -
Bangunan (2014)
kepadatan maka semakin tinggi harga lahan)
➢ Eksternalitas Penggunaan Lahan Positif (Dekat ➢ Eksternalitas Pengggunaan Lahan Negatif
Jarak
dengan Pusat Perekonomian, Bebas Banjir, maka (Dekat dengan Sampah Jauh dari Pusat Kota Pearce and
Eksternalitas
7 Penggunaan Lahan tanah akan bernilai tinggi) atau pusat Perekonomian, Tidak Bebas Banjir Turner
Penggunaan
maka tanah bernilai Rendah dibanding yang 1990:78
Lahan
tidak menerima eksternalitas)
Sumber: Hasil Kajian Pustaka,2017

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dari tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap harga lahan terdapat dari elemen struktur spasial dan yang bukan berasal dari
elemen struktur spasial, sehingga dalam penelitian ini hanya faktor yang berasal dari elemen
struktur spasial yang akan digunakan dalam penelitian.

2.5 Variabel Terpilih


Pada tahap ini akan membahas mengenai variabel yang terpilih yang digunakan dalam
penelitian. Variabel ini didasarkan pada sintesa pustaka sebelumnya, yang kemudian dicari
sintesis terkait dengan substansi maupun data yang akan digunakan dilapangan. Setelah
melakukan sintesa dari elemen struktur spasial maka didapatkan lima variabel yang membentuk
struktur spasial, diantaranya yaitu sistem pusat kegiatan, jaringan jalan, penggunaan lahan,
sarana dan rancang bangun.
Kemudian pada variabel harga lahan, peneliti menggunakan harga lahan berdasarkan zona
nilai tanah (ZNT) hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa zona nilai tanah merupakan
pendekatan pada nilai pasar, sehingga data yang dihasilkan dari zona nilai tanah mendekati
dengan nilai pasar. Selain itu pada zona nilai tanah juga mempertimbangkan informasi harga
lahan yang wajar, akurat dengan penilaian yang adil, benar dan transparan serta meminimalisir
perkara pertanahan sehingga dalam hal ini peneliti menggunakan zona nilai tanah dalam
penelitian.
Variabel yang menjadi penelitian selain harga lahan berdasarkan zona nilai tanah, maka
yang dipilih selanjutnya yaitu variabel struktur spasial yang berpengaruh pada harga lahan.
Berdasarkan literatur tinjauan pustaka, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
harga lahan, namun pada penelitian ini akan didasarkan pada struktur spasial sehingga variabel
lain di luar struktur spasial tidak akan digunakan dalam penelitian ini. Dari Tabel 2.6 dapat
dilihat bahwa elemen struktur spasial memiki fokus bahasan tertentu yang tentunya terkait
dengan elemen struktur spasial. Dari beberapa elemen struktur spasial tersebut dapat dilihat
bahwa fokus bahasan dalam sistem pusat kegiatan adalah variabel jarak, kemudian pada
jaringan jalan, fokus bahasan terbagi menjadi dua yaitu fungsi jalan dan simpangan jalan,
kemudian pada rancang bangun fokus bahasan cenderung menitik beratkan pada unsur
kepadatan bangunan serta pada penggunaan lahan fokus bahasan yaitu resiko banjir dan yang
terahir yaitu sarana.
Oleh karena hal tersebut di atas maka variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini
yaitu, variabel jarak, fungsi jalan, simpangan jalan, kepadatan bangunan, resiko banjir dan
sarana. Adapun untuk lebih jelasnya terkait dengan variabel tersebut berikut tabel variabel
terpilih berdasarkan parameter dan indikatornya.

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2. 7. Variabel Terpilih

Sub Variabel/ Fokus


Variabel Parameter/Indikator Variabel Terpilih Alasan Definisi Operasional Referensi
Bahasan

1. Sangat Dekat Pada variabel sistem pusat kegiatan, fokus bahasan utama
2. Dekat yang menjadi pengaruh terhadap harga lahan yaitu sub Jarak menuju CBD, Kawasan Industri Rateliff (1949), Northam
Sistem Pusat Kegiatan Jarak 1. Jarak
3. Sedang variabel jarak. Sehingga dalam hal ini sub variabel jarak dan Kawasan Perdagangan Sekitar. (1975), Siswanto (2007)
4. Jauh yang akan digunakan dalam penelitian.
Northam (1975), Djoko
1. Arteri Primer Sujarto (1985), UU No 38
2. Kolektor Primer Berdasarkan literatur tinjauan pustaka, variabel jaringan
Tahun 2004, Kepmen PU
3. Lokal Primer jalan yang mempengaruhi harga lahan yaitu sub variabel Fungsi jalan pada jaringan jalan utama
Fungsi Jalan 2. Fungsi Jalan No.640/KPTS/1986,
4. Arteri Sekunder fungsi jalan, sehingga pada sub variabel fungsi jalan yang menuju pusat kota/kegiatan.
Pedoman Konstruksi dan
5. Kolektor Sekunder akan digunakan dalam penelitian.
Bangunan Kemen Pu. Pd T-
Jaringan Jalan 6. Lokal Sekunder 19-2004-B

Sub variabel persimpangan jalan berdasarkan literatur


1. Persimpangan Sebidang memiliki pengaruh terhadap harga lahan, dimana setiap
Persimpangan jalan disepanjang jalan Berry (1963), Hariyanto
Persimpangan Jalan 2. Persimpangan Tidak 3. Persimpangan Jalan persimpangan jalan akan memiliki harga lahan yang lebih
utama menuju pusat kegiatan. (2004)
Sebidang tinggi, sehingga sub variabel persimpangan jalan akan
digunakan dalam variabel penelitian.

Pada variabel penggunaan lahan, fokus bahasan yang


menjadi pengaruh terhadap harga lahan yaitu eksternalitas
Eksternalitas 1. Resiko Rendah Kawasan yang miliki resiko bencana,
4. Eksternalitas Penggunaan lahan yang bersifat positif dan negatif, namun dalam Pearch and turner (1990),
Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan 2. Resiko Sedang dalam hal ini kawasan dengan resiko
Lahan (Resiko Banjir) penelitian ini yang digunakan yaitu eksternalitas lahan Muslimin (2016)
(Resiko Banjir) 3. Resiko Tinggi bencana banjir.
negatif terkait dengan resiko banjir, karena pada
eksternalitas positif sudah terakomodir oleh variabel jarak.

Berdasarkan literatur tinjauan pustaka, variabel sarana


1. Kurang
terkait dengan ketersediaan sarana disuatu area akan
2. Cukup
menjadikan harga lahan di area tersebut bernilai lebih Ketersediaan sarana disetiap blok zona
Sarana - 3. Baik 5. Sarana Djoko Sujarto (1985)
dibandingkan dengan area yang tidak tersedia sarana. nilai tanah.
4. Sangat Baik
Sehingga pada variabel ini akan digunakan dalam
5. Lengkap
penelitian.

Pada variabel rancang bangun, berdasarkan literatur


1. Kepadatan Sangat Rendah tinjauan pustaka, sub variabel kepadatan bangunan Rasio perbandingan luas lahan
2. Kepadatan Rendah William Alonso (1971),
memiliki pengaruh terhadap harga lahan, dimana semakin terbangun (land coverage) dengan
Rancang Bangun Kepadatan Bangunan 3. Kepadatan Sedang 6. Kepadatan Bangunan (KDB) Purbalangi (2014), Kepmen
tinggi harga lahan, maka kepadatan bangunan cenderung luas lahan keseluruhan blok
4. Kepadatan Tinggi PU No. 640/KPTS /1986
tinggi, sehingga dalam hal ini, kepadatan bangunan peruntukan.
5. Kepadatan Sangat Tinggi digunakan dalam penelitian.
Pada variabel harga lahan, yang digunakan yaitu zona nilai
Zona Nilai Tanah 2 tanah, karena pada zona nilai tanah nilai yang digunakan
1. Rupiah/m 7. Harga Lahan ZNT (Zona Harga nominal lahan, dengan satuan PP RI Nomor 128 Tahun
Harga Lahan (ZNT) dilakukan dengan wajar dan akurat serta dengan pendekatan
Nilai Tanah) Rp/m2. 2015 (Mulyono.S,2008:96)
nilai pasar, sehingga dalam penelitian ini harga lahan yang
digunakan yaitu berdasarkan zona nilai tanah.

Sumber: Analisa Penulis,2017

35

Anda mungkin juga menyukai