Anda di halaman 1dari 18

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang
dipilih sesuai dengan fokus permasalahan penelitian. Kerangka berpikir disusun
berdasarkan studi teoritik dengan proses berpikir deduktif dan studi empirik yang
merupakan hasil studi terdahulu.
Kerangka berpikir dalam penelitian dengan judul “Pengaruh Interaksi
Spasial Terhadap Perkembangan Morfologi Kawasan Permukiman di Desa
Batubulan” yaitu Perkembangan spasial Kota Denpasar merembet ke wilayah
pinggirannya yaitu Desa Batubulan. Sebagai daerah pinggiran kota, Desa
Batubulan memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah lain seperti
perbedaan dari aspek geografis, aspek arahan peraturan daerah, konektivitas,
keberadaan katalisator serta kepadatan bangunan sehingga interaksi spasial yang
terjadi akan berbeda dalam mempengaruhi perkembangan morfologi . Morf ologi
kawasan permukiman di Desa Batubulan dilihat berdasarkan tiga komponen yaitu
penggunaan lahan yang mencermati pemanfaatan lahan kawasan, konektivitas
dalam mengamati titik simpul pergerakan, dan kepadatan bangunan untuk melihat
tren perkembangan kawasan permukiman dari tahun 2002 hingga tahun 2019.
Adapun bagan alur kerangka berpikir dari penelitian ini yaitu dapat dilihat
pada gambar berikut ini.

III-1
III-2

Bagan 3.1 Kerangka Berpikir


Latar Belakang
• Terjadi fenomena perkembangan morfologi Kota Denpasar menuju Desa Batubulan.
• Perkembangan morfologi kawasan permukiman yang masif ke Desa Batubulan rentan memunculkan
kepadatan kawasan permukiman, kemacetan llau lintas, hingga memunculkan kawasan kumuh.
• Morfologi kawasan permukiman di Desa Batubulan terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu
penggunaan lahan, konektivitas dan kepadatan bangunan.
• Perkembangan morfologi kawasan permukiman di Desa Batubulan terjadi karena adanya interaksi spasial,
yaitu fungsi bangunan yang mempengaruhi perkembangan kawasan disekitarnya.
Rumusan Masalah
• Bagaimana morfologi perumahan dan kawasan permukiman di Desa Batubulan ?
• Bagaimana pengaruh interaksi spasial terhadap perkembangan morfologi kawasan permukiman di Desa
Batubulan ?
Tujuan Penelitian
• Untuk mengetahui morfologi perumahan dan kawasan permukiman di Desa Batubulan
• Untuk mengetahui pengaruh interaksi spasial terhadap perkembangan morfologi kawasan permukiman di
Desa Batubulan.

Kajian Teori Kebutuhan Data


1. Teori Morfologi 1. Aspek Fisik, terdiri dari:
a. Komponen morfologi terdiri dari: • Penginderaan Citra Satelit.
• Penggunaan Lahan. • Kondisi Penggunaan Lahan.
• Konektivitas. • Kondisi Jaringan Jalan.
• Kepadatan Bangunan. • Potensi dan Permasalahan.

2. Teori Interaksi Spasial 2. Aspek Non Fisik, terdiri dari:


a. Analisis Urban Katalis. • Data Kependudukan.
b. Analisis Pusat Kegiatan. • RTRW Kabupaten Gianyar th
c. Analisis Faktor Pendorong Pertumbuhan 2012-2032.
Kawasan Permukiman. • Motivasi Pergerakan.

Metode Penelitian Kuantitatif


1. Teknik Overlay Sistem Informasi
Geografis (SIG)
2. Model Gravitasi

Kesimpulan
Interaksi spasial terjadi karena 5 faktor yaitu:
1. Faktor Keterkaitan Ruang
2. Faktor Pertumbuhan Penduduk
3. Faktor Kebijakan Pembangunan Daerah
4. Faktor Kegiatan Pengembang (developer)
5. Faktor Alih Fungsi Lahan
III-3

3.2. Terminologi Teknis


Penelitian tentang perkembangan wilayah pinggiran kota ini dibatasi pada
perkembangan morfologi yang dipengaruhi oleh interaksi spasial. Oleh karenanya,
dirasa perlu memahami terminologi teknis yang berkaitan dengan penelitian
“Pengaruh Interaksi Spasial Terhadap Perkembangan Morfologi Kawasan
Permukiman Di Desa Batubulan”. Tujuan memahami terminologi teknis adalah
memahami dengan jelas konteks apa saja yang akan dibahas nantinya serta
membuka wawasan dan memperoleh gagasan dengan sebuah landasan dalam
berargumentasi secara substantif terkait topik penelitian yang diangkat.
1. Perbedaan Rumah, Perumahan, Permukiman dan Kawasan
Permukiman
Sebelum lebih jauh membahas tentang pengaruh interaksi spasial terhadap
perkembangan morfologi perumahan dan kawasan permukiman di Desa
Batubulan, perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan definisi antara rumah,
perumahan, permukiman dan kawasan permukiman.
a. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat
tinggal yang layak huni.
b. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,
sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah layak
huni. Menurut Kuswartojo (2005) Makna dari perumahan dapat
dikategorikan menjadi perumahan formal dan perumahan informal.
Perumahan formal yakni perumahan yang dibangun dengan suatu
aturan yang jelas dengan suatu pola yang teratur. Sedangkan
perumahan informal adalah akumulasi rumah yang dibangun oleh
keluarga atau individu tanpa mengikuti suatu aturan tertentu.
c. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana,
utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.
III-4

d. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar


kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan
pedesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung hidup
masyarakat.

Gambar 3.1 Ilustrasi Perbedaan Rumah, Perumahan, Permukiman dan


Kawasan Permukiman

Rumah Perumahan Udayana

Kawasan Permukiman Perkotaan Permukiman

Sumber: Google, 2019

2. Wilayah Pinggiran Kota


Wilayah Pinggiran Kota merupakan sebutan sebuah daerah yang secara
administrasi merupakan bagian dari wilayah desa tetapi secara ruang dipengaruhi
antara ruang kekotaan terbangun sekaligus ruang kedesaan. Untuk memperoleh
gambaran yang mendasar mengenai wilayah pinggiran kota, Yunus (2008)
menyatakan bahwa wilayah Peri Urban adalah bayangan masa depan perkotaan,
dimana kenyamanan untuk tinggal lebih baik dari kota karena arah kegiatan
pinggiran kota sebagian besar menuju kekota. Baik buruknya kota di masa depan
III-5

tergantung dari baik buruknya perencanaan yang dilakukan untuk wilayah


pinggiran sebagai wilayah penyangga kota.
Pinggiran kota bisa dikatakan sebagai zona transisi dimana, Rakodi (1999)
dalam Ginting (2010) mendefinisikan kawasan peri urban sebagai “zona transisi
diantara kota (fully urbanised) dengan kawasan yang peruntukannya dominan
lahan pertanian”. Definisi tersebut menyebabkan karateristik wilayah ini adalah
sebuah percampuran penggunaan lahan yang secara ruang memiliki nuansa
kekotaan sekaligus nuansa kedesaan.
Secara morfologi, wilayah pinggiran kota terletak diantara dua wilayah yang
sangat berbeda kondisi lingkungannya, disatu sisi merupakan sebuah lahan
dengan pola penggunaan kota dan di sisi lainnya merupakan sebuah pola lahan
desa yang identik dengan lahan hijau. Perkembangan ruang yang terjadi di
pinggiran kota adalah sangat dipengaruhi oleh pemekaran spasial kota yang secara
gradual dan kontinum mempengaruhi wilayah desa. Pola penggunaan la han
permukiman serta penggunaan lahan untuk sektor perekonomian akan semakin
cepat tumbuh, sedangkan untuk pola penggunaan lahan pertanian akan cenderung
menurun. Untuk mengetahui lebih rinci terkait ilustrasi letak pinggiran kota dapat
dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.2 Ilustrasi Penggambaran Wilayah Pinggiran Kota


1 : Kota
2 : Sub-Kota
3 : Sub-Pinggiran Kota
4 : Pinggiran Kota
5 : Sub-Pinggiran Desa
6 : Desa
1-3 : Wilayah Administrasi Kota
4-6 : Wilayah Administrasi Desa

Sumber: Hadi Sabari Yunus, 2010


III-6

Dilihat dari wilayah administrasinya, lokasi pinggiran kota Denpasar


diantaranya adalah yaitu pada bagian utara terdapat Kelurahan Sempidi dan
Kelurahan Darmasaba, di barat terdapat Kelurahan Dalung, di barat daya terdapat
Kelurahan Kuta, dan di timur terdapat Desa Batubulan. Dari beberapa daerah
pinggiran yang berbatasan langsung dengan kota Denpasar. Wilayah pinggiran
kota yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Desa Batubulan. Secara
administratif, Desa Batubulan berbatasan dengan Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung. Pemilihan lokasi Desa Batubulan didasari oleh peralihan lahan terbangun
dan lahan tidak terbangun di wilayah ini sangat jelas terlihat sehingga perubahan
karakter wilayah sangat mudah diidentifikasi.

Gambar 3.3 Desa Batubulan Sebagai Daerah Pinggiran Kota

Desa Batubulan masuk kedalam wilayah


administrasi Kab. Gianyar yang memiliki
Kabupaten Badung
nilai lahan strategis sebagai lahan untuk
bermukim

Kabupaten Gianyar

Desa Batubulan
Kota Denpasar mengalami
perkembangan spasial menuju
Desa Batubulan

Kota Denpasar
Jalan Raya Batubulan
Komuter (masyarakat yang merupakan akses utama
bertempat tinggal di Desa yang menghubungkan
Batubulan tetapi bekerja di Kota Kab. Gianyar dengan
Denpasar dan Kabupaten Badung) Kota Denpasar.

Sumber: Peta Citra, 2019


III-7

3. Proses Perkembangan Wilayah Pinggiran Kota


Yunus (2010) menyatakan bahwa secara komprehensif proses adalah
perkembangan yang terjadi secara terus-menerus dalam rentetan peristiwa atau
suatu perubahan yang bersifat gradual dan berlansung secara terus menerus
menuju ke hasil akhir atau hasil tertentu.
Pada wilayah pinggiran kota, proses ini berarti perubahan ekspresi
keruangan dalam artian perubahan kenampakan fisikal kedesaan menjadi
kenampakan fisikal kekotaan. Penting diketahui bahwa perkembangan wilayah
pinggiran kota tidak hanya didasari variabel yang berkembang dari dalam radius
wilayah pinggiran kota melainkan juga didasari oleh pengaruh pola perkembangan
kota. Oleh karena itu, untuk mengetahui pola awal yang merembet di wilayah
pinggiran kota perlu membahas sedikit tentang macam-macam Urban Sprawl
yang memiliki 3 bentuk. Bentuk ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.1 Macam-macam Bentuk Perembetan Urban Sprawl

Sumber: Hadi Sabari Yunus, 2010


III-8

Dengan perembetan kekotaan yang terjadi dan meningkatnya kebutuhan


terhadap ruang baru akibat perkembangan spasial mengakibatkan perkembangan
spasial secara horizontal. Proses perkembangan kota secara horizontal adalah
suatu gejala pemekaran ruang yang tersebar secara mendatar. Yaitu dengan cara
peralihan fungsi bangunan menjadi fungsi ekonomi dan juga peralihan deforistasi
untuk lahan yang belum terbangun. Perkembangan keruangan yang terjadi di
wilayah pinggiran kota disebut sebagai gejala perkembangan spasial secara
sentrifugal. Secara sentrifugal berarti proses yang memacu bertambahnya ruang
kota terbangun yang merembet ke arah luar batas administratif menuju daerah
pinggiran kota. Makin kuat faktor penarik yang terdapat di wilayah pinggiran kota
dan faktor pendorong dari wilayah kota maka akan mempercepat proses
kekotaannya. Lebih mendalam membahas tentang faktor tersebut, bahwa terdapat
6 (enam) faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan horizontal sentrifugal
kota yaitu :
a) Faktor aksesibilitas fisik lahan
Adalah tingkat kemudahan suatu lokasi yang dapat dijangkau dari lokasi
lain yang dipengaruhi oleh kuatnya daya tarik fungsi-fungsi kekotaannya.
Dimana, faktor aksebilitas fisik lahan berperan dalam perubahan
pemanfaatan lahan agraris menjadi non agraris. Pengaruh ini
mengakibatkan arus permukiman menuju pada lokasi yang memiliki daya
tarik yang kuat untuk bermukim.

b) Faktor pelayanan umum


Bersifat sebagai faktor penarik dimana semakin banyak jenis pelayanan
umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah maka akan semakin besar
daya tariknya terhadap fungsi-fungsi kekotaan yang menuju ke arah
wilayah tersebut. Faktor ini berperan sebagai frekuensi kegiatan baru pada
suatu wilayah.
III-9

c) Faktor karateristik lahan


Karakteristik lahan sangat berperan sebagai ideal atau tidaknya topografi
sebuah wilayah untuk meningkatkan daya tarik terhadap pergerakan
menuju wilayah tersebut. Selain Karena kondisi topografinya, bentuk
pemanfaatan lahan yang berbeda akan memiliki daya tarik yang berbeda
pula dan pada akhirnya memunculkan karakteristik sebuah wilayah.

d) Faktor karateristik pemilik lahan


Memiliki korelasi kemampuan ekonomi masyarakat terhadap kepemilikan
lahannya. Adanya spekulasi bahwa lokasi sangat menentukan harga
sebuah lahan. Untuk masyarakat dengan status ekonomi menengah
kebawah, mereka akan mencari lahan untuk bermukim yang berada di
pinggiran kota. Ini dikarekanan harga lahan yang jauh lebih murah
ketimbang di kota. Sedangkan untuk masyarakat dengan status ekonomi
yang kuat, mereka akan lebih leluasa memilih lokasi untuk bermukim dan
dapat pula memilih lokasi yang berada di pusat kota.

e) Faktor keberadaan peraturan tentang tata ruang


Peraturan tata ruang memliki pengaruh terhadap intensitas perkembangan
spasial di wilayah pinggiran kota, tergantung dari regulasi tata ruang yang
diterapkan dan tingkat konsistenitasnya. Peraturan yang ada harusnya
membatasi perkembangan dan pembangunan fisikal dikawasan pinggiran
kota dengan delimitasinya terhadap ruang terbuka hijau misalnya.

f) Faktor prakarsa pengembang


Munculnya akselerasi perkembangan permukiman dipinggiran kota, akan
ikut membawa arus investor untuk memanfaatkan wilayah tersebut untuk
membuka bisnisnya. Maraknya perkembangan perumahan misalnya, akan
diikuti oleh pembangunan sarana prasarana berupa fasilitas penunjang
seperti pasar modern, cafe, pusat perbelanjaan, segmen jasa, dan lain
sebagainya.
III-10

3.3. Teori Morfologi


Secara harfiah, morfologi berarti ilmu tentang bentuk. Carmona et al
(2003) dalam Johannes (2014) berpendapat bahwa morfologi adalah studi
mengenai form dan shape dari lingkungan permukiman. Form berarti bentuk
yang dapat diamati dan merupakan satu kesatuan (konfigurasi) dari beberapa
objek. Form terdiri dari unsur yang dapat diamati karakternya dan secara visual
unsur tersebut berada pada konfigurasi yang membentuk lansekap kota. Shape
adalah fitur geometrik atau bentuk eksternal dan outline dari sebuah benda.
Shape menekankan bentuk eksternal dari form, berupa sekumpulan objek yang
terletak diatas permukaan tanah secara vertikal dan horizontal yang membentuk
pola tertentu seperti linier, grid, konsentris, radial, dan lain sebagainya.

Gambar 3.4 Ilustrasi Penggambaran Form dan Shape

Sumber: Johannes, 2014


III-11

Secara umum, morfologi menerapkan adanya skala dan komponen


observasi berupa tingkat kedetailan pengamatan (resolusi). Adapun komponen
dalam analisis morfologi antara lain:
a) Penggunaan Lahan, merupakan komponen yang mempengaruhi rona
fisik kawasan, terutama dalam menentukan pengembangan kawasan
terbangun dan tidak terbangun. Komponen ini sangat menentukan
pola dan arah pertumbuhan kawasan.
b) Konektivitas, sebagai sebuah akses kegiatan pada jaringan jalan
sangat mempengaruhi efisiensi dan efektifitas fungsi kawasan dan
memunculkan mobilitas.
c) Struktur Bangunan, merupakan aspek visual berupa penataan massa
bangunan yang terkait dengan persebaran pada tapak kawasan dan
arsitektur bangunan yang membahas perwujudan fisik ruang dan
bangunan.
d) Pola Plot, ukuran pada plot akan mempengaruhi intensitas
pemanfaatan lahannya sementara sebaran plot akan mempengaruhi
pembentukan jaringan penghubung.

Johannes (2014) menjelaskan secara fungsional dan ekonomi,


pertumbuhan kawasan dipengaruhi oleh guna lahan, bangunan, plot dan jaringan
jalan. Kawasan perkotaan terbetuk dari sistem aktivitas yang secara kompleks
dihubungkan oleh jaringan pergerakan. Interaksi antara aktivitas dengan
pergerakan membuat kawasan perkotaan memiliki nilai ekonomi, yang kemudian
membentuk sebuah pola perkembangan. Komponen-komponen dalam pendekatan
morfologi menunjukkan adanya pembentukan pola berdasarkan ekspresi
keruangan pada sebuah wilayah. Hal ini berkaitan dengan asumsi ekspresi
keruangan bagian kota tidak bisa dipisahkan dengan karakteristik keruangan kota
seluruhnya. Ekspresi keruangan ini memiliki batas fisik kota dengan bentuk
Under Bounded City, dimana batas fisik kota berada diluar batas administrasinya
yaitu terletak pada wilayah pinggiran kota. Bentuk ini memungkinkan munculnya
build up areas, yaitu masalah prioritas pengembangan ruang yang berbeda. Lebih
III-12

lanjut Yunus (2000) mengemukakan beberapa ekspresi keruangan morfologi kota


antara lain, bentuk bujur sangkar, bentuk empat persegi panjang, bentuk kipas,
bentuk bulat, bentuk pita, bentuk gurita, bentuk tidak berpola. Hal ini dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.2 Ekspresi Keruangan dari Morfologi Kota


III-13

Sumber: Hadi Sabari Yunus, 2008

3.4. Teori Interaksi Spasial


Widodo (2006) menyatakan bahwa Interaksi Spasial merupakan wujud
adanya hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya melalui
arus pergerakan yang dapat berupa komunikasi, transportasi dan migrasi.
Pengertian interaksi spasial dapat dipahami karena dari lingkup mikro, pusat dari
fungsi bangunan menjadi magnet/katalisator terhadap bangkitnya fungsi bangunan
pendukung disekitar magnet/katalisator bangkitan tersebut. Sedangkan secara
makro, terdapat konektivitas fungsi bangunan yang menjadi tujuan pergerakan
dari luar batas administratif wilayah tersebut. Sehingga secara mikro interaksi
spasial dapat disebut juga dengan hubungan timbal balik yang saling berpengaruh
antara dua fungsi bangunan atau lebih dalam satu wilayah, yang dapat
menimbulkan pergerakan spasial. Adapun 3 faktor yang mempengaruhi interaksi
spasial yaitu:
III-14

1. Adanya wilayah yang saling melengkapi, yaitu wilayah yang berbeda


sumber daya sehingga terjadi aliran yang sangat besar dan
membangkitkan interaksi spasial yang tinggi;
2. Kesempatan berinteraksi, yaitu kemungkinan perantara yang dapat
menghambat terjadinya interaksi, karena adanya daerah yang
menghambat arus komuditi antar daerah-daerah yang berinteraksi; dan
3. Kemudahan transfer dalam ruang, yaitu fungsi jarak dan waktu yang
diukur dalam biaya dan waktu yang nyata, yang termasuk karakteristik
khusus dari komoditi yang ditransfer, yang dapat terjadi berupa: arus
ekonomi, arus sosial, arus politik dan arus informasi.
Hubungan yang terjadi antar wilayah ini menyebabkan kegiatan suatu
wilayah tidak bisa lepas dari wilayah yang ada di sekitaranya, atau biasa disebut
dengan hubungan timbal balik. Interaksi yang sering terjadi antar suatu wilayah
dan memiliki hubungan timbal balik biasanya terjadi antara wilayah kota dan
desa. Interaksi desa dan kota dapat dilihat dari beralihnya mata pencaharian
masyarakat desa dari agraris ke nonagraris, munculnya penghlaju karena
didukung oleh sarana transportasi yang memadai, perdagangan hasil pertanian dan
industri, dan kemajuan dibidang pendidikan. Interaksi kota dan desa sangat
menentukan pola persebaran masyarakat desa dan kota. Hubungan desa dan kota
dapat ditinjau sebagai berikut: ditinjau dari kepentingan masyarakat kota, interaksi
desa-kota untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan dan bahan dasar industri.
Ditinjau dari masyarakat desa, interaksi desa-kota mendorong masyarakat desa
untuk mencari pekerjaan di kota dan memenuhi kebutuhan f asilitas pelayanan
masyarakat.
Adapun faktor yang memepengaruhi interaksi spasial yaitu urban katalis
dan pola pergerakan spasial.
A. Urban Katalis
Urban Katalis atau disebut juga dengan Katalisator adalah sebuah kutub
perkembangan dimana fungsi bangunannya menarik fungsi bangunan lainnya
untuk mendekat, tumbuh, dan berkembang serta kemudian mengalami interaksi
spasial. Katalisator inilah yang menjadi elemen bangkitan untuk memicu
III-15

perkembangan spasial pada suatu wilayah atau kawasan, tergantung daripada


radius pelayanan katalisator tersebut. Rentetan kemunculan katalisator ini diawali
dari kepadatan permukiman yang memiliki potensi untuk berkembangnya f ungsi
lahan berupa perdagangan dan jasa akibat kebutuhan sosial yang menyertainya.
Dengan adanya kebutuhan tersebut maka munculah sebuah bangkitan awal atau
katalisator utama yang memenuhi kebutuhan sosial dengan radius pelayanan skala
wilayah. Semakin potensial lahan pada sebuah kawasan maka akan memunculkan
bangkitan-bangkitan kecil dengan radius pelayanan yang lebih kecil dari
katalisator utama.

Gambar 3.5 Ilustrasi Urban Katalis

Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2019

Gambar diatas adalah sebuah ilustrasi bagaimana interaksi bangkitan yang


membentuk koridor perdagangan dan jasa. Peran Magnet atau katalisator skala
wilayah sangatlah vital dalam mempengaruhi wilayah sekitarnya. Semakin banyak
magnet/katalisator yang muncul, hal ini menandakan semakin cepat
perkembangan dan pemadatan pada sebuah daerah. Kepadatan permukiman
merupakan faktor utama yang berperan sebagai tarikan untuk memunculkan
bangkitan. Karena munculnya bangkitan berupa katalisator akan selalu diikuti
oleh perkembangan koridor yang disebabkan oleh kepadatan permukiman yang
III-16

terjadi terlebih dahulu. Selain itu, peran akses juga sangat penting dalam
menghubungkan pusat kegiatan dengan daerah sekitarnya. Lahan yang potensial
dan ditunjang oleh akses yang memadai menuju lokasi tersebut mengakibatkan
percepatan pertumbuhan penggunaan lahan.
Katalisator merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan
spasial di Desa Batubulan. Urban Katalis dapat berupa pusat-pusat perbelanjaan,
fasilitas kesehatan, sarana transportasi, dan bangunan -bangunan lainnya yang
memiliki fungsi kuat yang dapat mempengaruhi bangkitan pada sebuah koridor
ataupun kawasan.
B. Pola Pergerakan Spasial
Pergerakan adalah hasil interaksi dari sistem kegiatan dengan sistem
jaringan yang dapat berwujud lalu lintas orang dan barang. Pola pergerakan
spasial adalah pola pergerakan yang dilakukan atas dasar kegiatan perjalanan di
lokasi tertentu dengan memperhatikan kondisi tata guna lahan dari sebuah ruang
atau kawasan. Pergerakan spasial dalam ruang kawasan terdiri dari pola
perjalanan orang dan pola perjalanan barang, dimana kedua komponen ini sangat
bergantung pada sebaran pola tata guna lahan yang ada di sebuah kawasan.
1. Pola Perjalanan Orang
Pola perjalanan orang merupakan pergerakan yang dipengaruhi oleh
aktivitas bekerja dan bermukim. Pola perjalanan ini memiliki sebaran
spasial seperti perkantoran, permukiman, pertokoan, fasilitas kesehatan
dan fasilitas pendidikan.
2. Pola Perjalanan Barang
Pola perjalanan barang merupakan pola perjalanan yang dipengaruhi oleh
aktivitas produksi dan konsumsi dengan ditandai adanya pergerakan
distribusi dari pusat produksi ke lokasi konsumsi. Seperti contohnya di
Desa Batubulan banyak terdapat pusat oleh-oleh dan supermarket.
Distribusi dari gudang atau pusat produksi menuju lokasi oleh-oleh dan
supermarket inilah kemudian menjadi perjalanan barang sehingga
pergerakan yang terjadi memiliki tujuan untuk memindahkan barang.
KAJIAN TEORI
3.5. Konsep Penelitian METODE KUANTITATIF HASIL DAN
▪ Aspek Geografi. ANALITIK PEMBAHASAN
Gambaran Umum ▪ Aspek Kebijakan.
Desa Batubulan ▪ Aspek Kependudukan.
▪ Aspek Orbitasi. TEKNIK ANALISIS : Gambaran Umum
Spasial Desa
1. Teknik Overlay Sistem Batubulan
Informasi Geografis (SIG) K
Proses penyatuan peta untuk E
menghasilkan data yang S
diperlukan dalam menganalisis I
perkembangan morfologi M
PENGARUH INTERAKSI kawasan permukiman di Desa
TEORI MORFOLOGI P
SPASIAL TERHADAP Batubulan.
PERKEMBANGAN Bagaimana morfologi Morfologi kawasan U
MORFOLOGI perumahan dan ▪ Analisis Penggunaan Lahan. 2. Metode Skalogram permukiman di Desa L
PERUMAHAN DAN kawasan permukiman ▪ Analisis Konektivitas. Metode ini bertujuan untuk Batubulan A
KAWASAN di Desa Batubulan ▪ Analisis Kepadatan mengetahui pusat kegiatan di N
PERMUKIMAN DI DESA Bangunan. Desa Batubulan.
BATUBULAN D
3. Model Gravitasi:
A
▪ Menghitung tingkat
interaksi spasial di Desa N
Batubulan.
▪ Semakin tinggi nilai S
Bagaimana pengaruh TEORI INTERAKSI SPASIAL gravitasinya maka Pengaruh interaksi A
interaksi spasial katalisator yang terdapat di spasial terhadap R
terhadap ▪ Analisis Urban Katalis. Desa Batubulan semakin perkembangan A
perkembangan ▪ Analisis Pusat Kegiatan. berpengaruh terhadap morfologi kawasan N
morfologi perumahan ▪ Analisis Interaksi Spasial perkembangan morfologi permukiman di Desa
Dengan Model Gravitasi kawasan permukiman.
dan kawasan Batubulan
Sebagai Pendorong
permukiman di Desa
Pertumbuhan Kawasan
Batubulan Permukiman.

INPUT PROSES OUTPUT


III-17
III-18

3.6. Hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan ilmiah yang dilandasi oleh kajian teoritik
dan merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi. Adapun
hipotesis awal peneliti terhadap penelitian “Pengaruh Interaksi Spasial Terhadap
Perkembangan Morfologi Kawasan Permukiman di Desa Btaubulan” yang akan
dilakukan ialah pola morfologi yang terbentuk adalah berbentuk Gurita atau
mengikuti jalan utama. Hal ini dikarenakan koridor pada jalan Raya Batubulan
terdapat katalisator atau pusat perkembangan seperti pusat-pusat perbelanjaan,
rumah sakit dan terminal yang terkumpul di selatan dekat perbatasan dengan Kota
Denpasar. Setelah mengetahui pola morfologi, kemudian dapat diidentifikasi tiga
batang tubuh morfologi di Desa Batubulan yaitu bagian inti, bagian kerangka, dan
bagian badan morfologi. Ketiga bagian ini dapat menunjukkan rona kawasan inti
dan mana kawasan sebagai penyangga. Interaksi spasial yang terjadi adalah
berupa peran katalisator atau pusat perkembangan berupa pusat-pusat
perbelanjaan, rumah sakit dan terminal, sehingga dengan analisis hubungan antara
pola morfologi serta interaksi spasial didalamnya dapat diketahui perubahan pola
morfologi di Desa Batubulan. Adapun perubahan pola morfologi disebabkan
konektivitas antara pertumbuhan hunian baru dengan kedekatan jaraknya dengan
pusat perkembangan seperti pusat-pusat perbelanjaan, rumah sakit dan term inal
yang ada di Desa Batubulan.

Anda mungkin juga menyukai