a. Shot
Elemen terkecil dari pembagian keutuhan sebuah film adalah shot. Bagian ini
merupakan sebuah komposisi gambar yang bergerak dari awal hingga akhir tanpa ada
pemotongan atau cutting. Dalam hal ini Peransi menerangkan bahwa shot dapat
dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi, dimulai pada
saat tombol kamera dilepaskan lagi dan film berhenti berjalan di dalam kamera.
(Peransi, 2005 : 10).
Dalam sebuah film cerita atau sandiwara yang utuh, kita bisa melihat bahwa
adegan merupakan pembagian dramatik tanpa ada perpindahan tempat dan atau selang
waktu (Setting Waktu & Tempat) pada kontinuitasnya. Akan tetapi dalam sebuah
perekaman gambar (shooting) maupun penyambungan (editing), kita tidak boleh
hanya menetapkan pembagian dramatisnya saja, melainkan juga kita mesti
memperhitungkan pembagian-pembagian lainnya.
Seperti menetapkan sebuah komposisi gambar dengan berbagai variasi sudut
pandang (Point of View) maupun gerakannya (movement shoot). Apakah itu
merupakan gerakan optical seperti variasi dari “Long Shoot” ke Close Up atau
sebaliknya, juga pada gerakan kamera itu sendiri seperti adanya variasi “panning”,
“Tilt Up” dan “Tilt Down” dan lain sebagainya.
Di saat kita merekam gambar dengan satu kali tekanan tombol kamera mulai
dari “on” sampai dengan “off”, dalam satu peristiwa dan dalam satu setup tertentu,
hal ini merupakan sebuah “shot”. Dengan demikian kita bisa menggaris bawahi,
bahwa setiap shot adalah “satu take” apabila ada beberapa take atau shot tambahan
yang pengambilannya tetap pada peristiwa dan setup yang sama, itu dinamakan “Re
Take” atau pengulangan take. Biasanya hal tersebut disebabkan adanya kesalahan
teknis maupun kesalan dramatis. Namun kalau dalam pengambilan kemudian
setupnya berubah, juga arah pandang atau angle kameranya berpindah pada posisi
yang lain atau dramatiknya pun berubah, maka itu dinamakan “shot baru”.
SHOT 2
SHOT 1 BARU
SHOT SHOT
STATIS DINAMIS
c. Sequence (Sekuens)
Menurut Don Livingstone, Sequence adalah sebuah kesatuan dari aksi yang
terus menerus (continous action), dimana tidak ada selang waktu. Sebuah sequence
kadang-kadang terikat pada batas batas tempat tertentu, tetapi ini tidak satu keharusan
(1969 :10).
Kalau kita bandingkan dengan bentuk drama, sequence dapat dipersamakan
dengan “babak”. Terbentuknya sebuah sequence adalah apabila beberapa scene
disusun secara berarti dan logis. Seperti halnya pada scene, dalam sebuah sequence
mempunyai permulaan, perkembangan dan akhir, sekalipun pada kenyataannya akan
sulit untuk menentukan hal tersebut. Kendatipun demikian, sequence tetap harus
berdiri dalam sebuah susunan scene yang tepat sebagai satu kesatuan aksi yang
kontinyu (terus menerus) dalam keseluruhan filmnya. Ketepatan scene yang
membentukya adalah cukup vital bagi pengaturan kontinuitas filmya.
Sebagai sebuah rangkaian dari scene, sequence bisa berlangsung pada satu
setting atau dalam beberapa setting, tergantung dari jumlah scene yang terkai di
dalamnya. Dengan demikian sebuah sequence ini bisa berlangsung cukup panjang
atau pendek, tapi yang terpenting adalah urutan yang tepat dan runtut dari setiap
scene-nya, hingga bisa melukiskan kejadian yang berlangsung seperti halnya kejadian
yang sesungguhnya. Dalam diagram dibawah ini kita bisa melihat bagaimana
sequence itu terbentuk.
Pada awal-awal sejarah film, sequence hanya diartikan dalam batas-batas yang
sempit, yakni lebih cenderung pada pengertian “episoda” yang poda alurnya tanpa
gangguan perkembangan waktu. Barangkali hal itu bisa dimengerti karena
kecenderungan penggambaran kontinuitasnya terletak pada sikap aksi fisik belaka.
Namun dalam perkembangan belakangan ini, sequence dapat diartikan sebagai sebuah
susunan dari adegan-adegan yang berati menjadi suatu kesatuan yang luas dan
kompleks sifatnya. Keberadaannya berfungsi untuk mengkomunikasikan suatu
peristiwa yang utuh dan bermakna dalam menunjang tema filmnya. Demikian pula
dalam keberadaannya itu tidak terbatasi oleh waktu, bisa berlangsung dalam waktu
yang panjang tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu yang pendek.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini dapat digambarkan melalui diagram, seperti
berikut:
sequence
Keutuhan bentuk sebuah film, jelas merupakan sebentuk lakon penuh dari
awal hingga akhir. Merupakan totalitas dari sekumpulan shot- scene- dan sequence.
Dari keutuhan bentuk ini akan muncul berbagai nilai, antara lain nilai teknis dan nilai
estetis. Dalam nilai teknis, kita bisa melihat bagaimana seorang sutrada, kameraman,
editor, menangani teknis-teknis pengambilan gambar serta penyambungannya.
Sementara dalam nilai-nilai estetis akan muncul tema, sturktur dramatik, karakter dan
irama itu sendiri.
Seorang sutradara dan editor yang baik akan memperhitungkan sekali
pemotongan dan penyambungan transisi pada tiap sequence-nya. Apabila teknik
“cutting” bisa dilaksanakan dengan tepat, maka penonton akan melihat bahwa
sequence merupakan sepotong film yang terus menerus dan penyambungannya boleh
tidak jadi diperhatikan oleh penonton itu, sehingga dengan nyamannya, penonton
akan melihat film yang utuh dari sejumlah sambungan-sambungan yang runtut.
film
teknis estetika
Keutuhan bentuk film merupakan sekumpulan dari sequence dari keutuhanya akan
menghasilkan nilai teknis dan nilai estetis