Anda di halaman 1dari 4

Pertemuan 4

SHOT, SCENE, DAN SEQUENCE FILM


Deskripsi: Perkuliahan ini membahas tentang pengertian shot, scene, dan sequence dalam
sebuah film

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan pembagian elemen-elemen pada


sebuah film video akan terdiri atas shot, scene, dan sequence. Dari masing masing
elemen tersebut akan dibahas berikut ini.

a. Shot
Elemen terkecil dari pembagian keutuhan sebuah film adalah shot. Bagian ini
merupakan sebuah komposisi gambar yang bergerak dari awal hingga akhir tanpa ada
pemotongan atau cutting. Dalam hal ini Peransi menerangkan bahwa shot dapat
dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi, dimulai pada
saat tombol kamera dilepaskan lagi dan film berhenti berjalan di dalam kamera.
(Peransi, 2005 : 10).
Dalam sebuah film cerita atau sandiwara yang utuh, kita bisa melihat bahwa
adegan merupakan pembagian dramatik tanpa ada perpindahan tempat dan atau selang
waktu (Setting Waktu & Tempat) pada kontinuitasnya. Akan tetapi dalam sebuah
perekaman gambar (shooting) maupun penyambungan (editing), kita tidak boleh
hanya menetapkan pembagian dramatisnya saja, melainkan juga kita mesti
memperhitungkan pembagian-pembagian lainnya.
Seperti menetapkan sebuah komposisi gambar dengan berbagai variasi sudut
pandang (Point of View) maupun gerakannya (movement shoot). Apakah itu
merupakan gerakan optical seperti variasi dari “Long Shoot” ke Close Up atau
sebaliknya, juga pada gerakan kamera itu sendiri seperti adanya variasi “panning”,
“Tilt Up” dan “Tilt Down” dan lain sebagainya.
Di saat kita merekam gambar dengan satu kali tekanan tombol kamera mulai
dari “on” sampai dengan “off”, dalam satu peristiwa dan dalam satu setup tertentu,
hal ini merupakan sebuah “shot”. Dengan demikian kita bisa menggaris bawahi,
bahwa setiap shot adalah “satu take” apabila ada beberapa take atau shot tambahan
yang pengambilannya tetap pada peristiwa dan setup yang sama, itu dinamakan “Re
Take” atau pengulangan take. Biasanya hal tersebut disebabkan adanya kesalahan
teknis maupun kesalan dramatis. Namun kalau dalam pengambilan kemudian
setupnya berubah, juga arah pandang atau angle kameranya berpindah pada posisi
yang lain atau dramatiknya pun berubah, maka itu dinamakan “shot baru”.

SHOT 2
SHOT 1 BARU

Mengenai panjang pendeknya sebuah shot akan tergantung kepada lamanya


tombol kamera ditekan posisi on. Tetapi dalam teknik cinematik yang terkait
kebutuhan estetika, panjang sebuah shot akan ditentukan oleh konsep ritme yang
dikehendaki dalam adegan filmya. Secara dramatik, irama film atau naik turunnya
kecepatan sebuah adegan akan ditentukan oleh panjang pendeknya shot, disamping
teknik movement. Imajinasi penonton akan terbawa pada arus kecepatan irama, tatkala
penggarap film menempatkan shot-shot pendek. Sebaliknya, untuk irama yang
mengalun atau memperlambat perjalanan, maka akan dipilih shot-shot yang panjang.
Namun demikian, dalam mengukur teknis shotnya, seorang sutradara dan
kameramen harus pula bisa mengukur kesulitan-kesulitan teknis editorialnya,
sehingga terkadang seorang sutradara pun hanya menawarkan sebuah shot untuk
digarap dengan nuansa yang berbeda dari editornya.
Panjangnya sebuah shot yang ditembak oleh seorang kamerawan di lapangan,
bisa saja kemudian diperpendek oleh seorang editor di tempat kerjanya. Atau di
potong-potong kembali menjadi beberapa shot. Namun sebuah shot yang gerakan
lambat atau “Slow Motion” Tentu saja untuk menentukan pilihan gerak lambat, tidak
bisa sembarangan dipasang sebab harus mengacu pada konsep kebetulan, fungsi dan
maksud.
Untuk memberi warna visual dramatiknya, seorang sutradara akan
menerapkan konsep variasi dengan memperhitungkan berbagai faktor. Tiap shot harus
diperhitungkan kebutuhannya. Pertama-tama ia membutuhkan penempatan sudut
pandang yang baik, bagi penontonnya, tata set serta action dalam alur ceritanya.
Posisi kamera pada suatu tempat untuk merekam sebuah obyek adalah angle.
Adanya pemilihan angle kamera yang baik merupakan pemecahan dari berbagai
problema yang mungkin hanya bisa dicapai melalui suatu analisa cerita yang
mendalam serta berdasarkan pengalaman sehingga pada kenyataannya seperti terlahir
dari intuisi.
Variasi-variasi lainya adalah dengan menempatkan perhitungan size gambar
serta gerakan (movement). Size gambar akan menentukan maksud-maksud tertentu
yang akan membawa kepentingan psikologis penontonnya. Apakah dimaksudkan
untuk memperlihatkan geografis lokasi yang akan dibuat dalam size Long Shot,
ataukah ingin memperlihatkan detail dari karakter obyeknya, sehingga harus
dilakukan pengambilan gambar yang lebih besar, yaitu Close Up atau bahkan Big
Clos Up. Bisa juga dengan mempergunakan gerakan optical akan mendapatkan
kombinasi Size dari keduanya. Apakah itu dimulai dari Long Shot ke Close Up, atau
sebaliknya.
Namun dalam kombinasinya, gerakan atau movement tidak hanya bisa
didapatkan dari gerakan optic, melainkan juga dari gerakan kamera itu sendiri.
Apakah itu gerakan Track In – Track Out-Pan-Tilt dan lain-lain yang akan
disesuaikan dengan kepentingan kesan atau imajinasi psikologisnya. Hal ini akan
mengakibatkan adanya nilai-nilai kedalaman dari film itu sendiri. Kamera Movement
pun dimaksudkan untuk memberi makna”Shot Statis” dan “Shot Dinamis”
Shot Statis bisa diartikan apabila pengambilan take shot, kamera dalam
keadaan diam. Sedangkam shot dinamis adalah shot dengan varian movement kamera,
dan diantaranya ada juga yang mempergunakan kombinasi dari kedua jenis shot itu.

SHOT SHOT
STATIS DINAMIS

SHOT STATIS SHOT DINAMIS


Kamera Statis – baik optik maupun Kamera Dinamis – Secara fisik lensa
fisiknya diam kamera bergerak menyapu (kekiri-
kekanan)
b. Scene
Scene terbentuk karena adanya satu atau sejumlah shot yang peristiwanya
masih dalam satu lingkup suasana. Arah definisinya lebih memberikan gambaran
tentang tempat atau setting, dimana kejadian itu berlangsung. Ungkapan itu
sesungguhnya dipinjam dari sebuah produksi teater, dimana sebuah babak bisa dibagi
Scene, yang masing-masingnya berlangsung pada lokasi yang berbeda. (Biran, 198 :
8).
Scene ini dikenal pula dengan istilah adegan, yang keberadaannya tersusun
atas adanya shot. Namun demikian susunan shot yang ada di dalamnya bukanlah
sembarangan menyusun, melainkan harus memiliki arti yang lebih luas dan utuh. Bisa
mengkomunikasikan suatu aksi (Action) yang lengkap atau suatu pikiran yang utuh.
Dalam sebuah scene juga harus memiliki permulaan, pengembangan dan akhir.
Kendatipun demikian, ada kalanya orang mengatakan, khususnya bila kita
membahas masalah teknik layar, scene bisa dianggap sebagai sepotong film dimana
tidak ada cut atau optical. Kalau melihat pengertian seperti itu, tak ubahnya kita
menganngap bahwa scene adalah shot. Hal tersebut dikarenakan seringkali adanya
sebuah komposisi shot yang tidak berubah. Satu scene dituntaskan pengambilannya
dalam satu shot penuh, artinya dari awal hingga akhir tanpa cut. Kalau demikian
kemudian ada yang mengatakan bahwa sebuah”scene” sama dengan “shot”.
Akan tetapi kita jangan melupakan bahwa untuk menunjukan efek ritme
tertentu, seringkali “scene” ini dipotong-potong menjadi beberapa ”shot”. Untuk hal
ini, kita bisa mendapatkan pengertian kalau “scene” merupakan kumpulan dari “shot”.
Dan kalau kita gabungkan dari keduanya, maka kita bisa mendapatkan sebuah
kesimpulan, bahwa “scene” merupakan sebuah susunan yang berarti dari satu shot
atau lebih.

c. Sequence (Sekuens)
Menurut Don Livingstone, Sequence adalah sebuah kesatuan dari aksi yang
terus menerus (continous action), dimana tidak ada selang waktu. Sebuah sequence
kadang-kadang terikat pada batas batas tempat tertentu, tetapi ini tidak satu keharusan
(1969 :10).
Kalau kita bandingkan dengan bentuk drama, sequence dapat dipersamakan
dengan “babak”. Terbentuknya sebuah sequence adalah apabila beberapa scene
disusun secara berarti dan logis. Seperti halnya pada scene, dalam sebuah sequence
mempunyai permulaan, perkembangan dan akhir, sekalipun pada kenyataannya akan
sulit untuk menentukan hal tersebut. Kendatipun demikian, sequence tetap harus
berdiri dalam sebuah susunan scene yang tepat sebagai satu kesatuan aksi yang
kontinyu (terus menerus) dalam keseluruhan filmnya. Ketepatan scene yang
membentukya adalah cukup vital bagi pengaturan kontinuitas filmya.
Sebagai sebuah rangkaian dari scene, sequence bisa berlangsung pada satu
setting atau dalam beberapa setting, tergantung dari jumlah scene yang terkai di
dalamnya. Dengan demikian sebuah sequence ini bisa berlangsung cukup panjang
atau pendek, tapi yang terpenting adalah urutan yang tepat dan runtut dari setiap
scene-nya, hingga bisa melukiskan kejadian yang berlangsung seperti halnya kejadian
yang sesungguhnya. Dalam diagram dibawah ini kita bisa melihat bagaimana
sequence itu terbentuk.
Pada awal-awal sejarah film, sequence hanya diartikan dalam batas-batas yang
sempit, yakni lebih cenderung pada pengertian “episoda” yang poda alurnya tanpa
gangguan perkembangan waktu. Barangkali hal itu bisa dimengerti karena
kecenderungan penggambaran kontinuitasnya terletak pada sikap aksi fisik belaka.
Namun dalam perkembangan belakangan ini, sequence dapat diartikan sebagai sebuah
susunan dari adegan-adegan yang berati menjadi suatu kesatuan yang luas dan
kompleks sifatnya. Keberadaannya berfungsi untuk mengkomunikasikan suatu
peristiwa yang utuh dan bermakna dalam menunjang tema filmnya. Demikian pula
dalam keberadaannya itu tidak terbatasi oleh waktu, bisa berlangsung dalam waktu
yang panjang tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu yang pendek.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini dapat digambarkan melalui diagram, seperti
berikut:

shot shot shot shot shot shot


Scene Scene

sequence

Sekumpulan shot menjadi scene – sekumpulan scene menjadi sequence

Keutuhan bentuk sebuah film, jelas merupakan sebentuk lakon penuh dari
awal hingga akhir. Merupakan totalitas dari sekumpulan shot- scene- dan sequence.
Dari keutuhan bentuk ini akan muncul berbagai nilai, antara lain nilai teknis dan nilai
estetis. Dalam nilai teknis, kita bisa melihat bagaimana seorang sutrada, kameraman,
editor, menangani teknis-teknis pengambilan gambar serta penyambungannya.
Sementara dalam nilai-nilai estetis akan muncul tema, sturktur dramatik, karakter dan
irama itu sendiri.
Seorang sutradara dan editor yang baik akan memperhitungkan sekali
pemotongan dan penyambungan transisi pada tiap sequence-nya. Apabila teknik
“cutting” bisa dilaksanakan dengan tepat, maka penonton akan melihat bahwa
sequence merupakan sepotong film yang terus menerus dan penyambungannya boleh
tidak jadi diperhatikan oleh penonton itu, sehingga dengan nyamannya, penonton
akan melihat film yang utuh dari sejumlah sambungan-sambungan yang runtut.

sequence sequence sequence

film

teknis estetika

Keutuhan bentuk film merupakan sekumpulan dari sequence dari keutuhanya akan
menghasilkan nilai teknis dan nilai estetis

Anda mungkin juga menyukai