Anda di halaman 1dari 7

MEMFUNGSIKAN LABORATORIUM HUKUM DI FAKULTAS HUKUM

Dalam rangka pemenuhan lulusan yang “siap kerja”

Tjondro Tirtamulia *
Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Pendahuluan
Masuk Perguruan tinggi Calon mahasiswa harus memikirkan pilihan program studi
tertentu karena dirinya perlu meyakini bahwa yang bersangkutan akan mempelajari
hal-hal yang dapat dipergunakan olehnya untuk mencapai cita-citanya.

Saat seorang calon mahasiswa memutuskan untuk mengambil suatu program studi
tertentu, ada baiknya mempelajari terlebih dahulu struktur kurikulum pada program
studi tersebut agar yakin bahwa pilihannya dapat berguna bagi untuk meraih cita-
citanya, sehingga calon harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk
mengembangkan potensi dirinya agar ber-ilmu dan menjadi cakap dalam memasuki
dunia kerja.

Perguruan tinggi merancang kurikulum pada program studi yang merupakan


kompilasi penguasaan keilmuan dan ketrampilan atau kemahiran tertentu yang
dapat memberikan pengalaman dan ketrampilan khusus sebagai soft skill yang
diperlukan untuk mengaplikasikan atau menerapkan ilmunya.

Tahun 1983, merupakan tahun mulai berkembangnya Pendidikan dan Latihan


Kemahiran Hukum sebagai mata kuliah berpendekatan terapan (applied approach)
praktek hukum. Oleh karena itu perjalanan mata kuliah ini tidak akan pernah dapat
dilepaskan dari jenis-jenis kegiatan penelitian (penelitian hukum), analisis hukum,
penalaran hukum, bahkan penulisan hukum.

Refleksi tentang pendidikan tinggi hukum


Perihal menciptakan sarjana hukum dalam tren masa kini, Fakultas Hukum akan
bersaing mendesain bagaimana lulusannya untuk dapat bersaing di dunia kerja.

Pendidikan tinggi hukum di Indonesia mendapatkan sorotan, karena adanya


fenomena meningkatnya permasalahan hukum, disamping keterbatasan
kemampuan lulusan untuk langsung dapat bekerja.

1
Meskipun sebagaimana diketahui kurikulum pendidikan tinggi sebelum tahun 1983
berbeda dengan setelah tahun tersebut. Pergeseran semenjak dimulainya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 017/D/0/1993, Nomor
0325/U/1994, Nomor 232/U/2000, merupakan suatu upaya mengadakan reorientasi
dalam pendidikan hukum pada kurikulum program sarjana secara nasional.

Lulusan fakultas hukum adalah generalis bukan spesialis dalam bidang hukum
tertentu oleh karena itu tidak dikenal adanya penjurusan.

Terlebih lagi “generalis”-nya pendidikan tinggi hukum, karena sarjana hukum harus
menguasai berbagai bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai satu kesatuan sistem hukum, seperti advokat/pengacara/penasehat
hukum ataupun sebagai penasehat hukum perusahaan. Demikian juga dalam
memahami keinginan pangsa pasar kerja, sarjana hukum harus memahami dunia
bisnis dan industri, berdasarkan hukum yang “generalis”. Kedudukan “spesialis” baru
berlaku karena ada tuntutan profesi yang memerlukan pendidikan tersendiri, seperti
notaris, hakim, jaksa.

Dalam bidang pengajaran, peningkatan mutu lulusan fakultas hukum sebenarnya


tidak akan dapat diraih tanpa adanya dukungan calon mahasiswa yang bermutu
(berdasar proses pendidikan di tingkat sekolah menengah) disamping rendahnya
kebiasaan mempersiapkan diri sebelum perkuliahan melalui membaca dan
berdiskusi memiliki dampak yang sangat signifikan.

Penerapan metode pengajaran harus berubah untuk menunjang kekurangan-


kekurangan yang ada pada diri mahasiswa.

Perjalanan keputusan-keputusan ini, seiring dengan tingginya tingkat keluhan


konsumen terhadap lulusan fakultas hukum yang siap pakai dan mumpuni belum
dapat dipenuhi melalui pendidikan hukum, artinya menunjukkan kondisi adanya
lulusan yang tidak “siap pakai” dan “siap kerja”.

Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional mendefinisikan Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.

2
Program pendidikan di pendidikan tinggi mencakup pendidikan akademik (sarjana,
magister, dan doktor), pendidikan profesi/spesialis dan pendidikan vokasi (diploma).

Tiga jenis pendidikan tingggi memiliki perbedaan antara lain:


1. Pendidikan Akademik
Definisi pendidikan akademik adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada
penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
tertentu. Pendidikan Akademik mencakup program pendidikan sarjana (S 1), magister
(S2) dan doktor (S3).
2. Pendidikan Profesi
Pendidikan profesi adalah sistem pendidikan tinggi setelah program pendidikan
sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk menguasai keahlian khusus.
3. Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada
penguasaan keahlian terapan tertentu. Pendidikan vokasi mencakup program
pendidikan diploma I (D1), diploma II (D2), diploma III (D3) dan diploma IV (D4).

Dalam kenyataan ketiga jenis tersebut dapat dijenjangkan melalui “tingkat


kedalaman dan keluasan materi pembelajaran” sebagaimana tercantum dalam pasal
9 ayat (2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi - 2015 dinyatakan pada tabel berikut:
No Lulusan Program Tingkat kedalaman & keluasan materi paling sedikit

1 diploma satu
2 diploma dua
3 diploma tiga
4 diploma empat menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan dan
dan sarjana keterampilan tertentu secara umum dan konsep
teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan
dan keterampilan tersebut secara mendalam.
5 profesi
6 magister
7 doktor

Untuk itulah pendidikan tinggi fakultas hukum – program sarjana S1 memerlukan


pendidikan akademis dengan penguasaan ketrampilan tertentu secara mendalam
untuk memenuhi keinginan “kerja” lulusan dan dunia kerja-nya.

3
Namun, masih banyak mahasiswa yang masih kurang memafaatkan dan memahami
dengan sebenar-benarnya apakah sebenarnya fungsi mata kuliah Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum.

Keberadaan satu kelompok mata kuliah yang disebut sebagai “Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum” sebagai legal professional skills traning program di
fakultas hukum. Untuk hal itu sejak tahun 1993 disarankan adanya Laboratorium
Hukum di setiap fakultas hukum. Kenyataan adakah di setiap fakultas hukum se
Indonesia, jika ada sudahkah berfungsi dengan baik.

Keberadaan mata kuliah Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum memberi bekal
ilmu-ilmu hukum praktis kepada mahasiswa agar mereka terampil dan mahir dalam
bidang hukum, mampu menyampaikan pendapat secara logis dan argumentatif,
mengembangkan minat profesi yang hendak ditekuni, sekaligus mempersiapkan dan
membekali mahasiswa memasuki pasar kerja yang siap pakai.

Kemahiran Hukum dalam Menghadapi Dunia Kerja


Dunia kerja tidak hanya mencakup lingkungan bekerja secara formal, jika dikaitkan
dengan lulusan fakultas hukum (sarjana hukum) maka bekerja merupakan kegiatan
menerapkan ilmu serta keahlian yang dimiliki.

Seorang lulusan yang “siap kerja” adalah siap untuk menerapkan ilmu yang telah
dipelajari, namun demikian tidak jarang lulusan semasa mahasiswa hanya mengejar
Indeks Prestasi dan target kelulusan.

Oleh karena itu tidak cukup dengan Praktik Peradilan Perdata dan Pidana saja,
karena profesi advokat/penasehat hukum/pengacara/konsultan hukum memerlukan
bidang-bidang hukum lainnya untuk praktik litigasi dan non-litigasi yang perlu
dikuasai oleh seorang advokat/penasehat hukum/pengacara/konsultan hukum, atau
Praktik Perdata, Dagang, dan Ketenagakerjaan untuk kegiatan negosiasi, mediasi,
kewirausahaan, penyusunan kontrak-kontrak nasional maupun internasional, atau
bahkan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk seorang
legaldrafter kegiatan penyusunan peraturan perusahaan, seorang aparatur sipil
negara pemerintahan di pusat dan daerah, perangkat pemerintahan desa, anggota
partai politik.

4
Pada prinsipnya menempuh pendidikan hukum seharusnya tidak akan pernah
kekurangan “pekerjaan”, karena yang bersangkutan memiliki berbagai macam
ketrampilan dan pengetahuan dalam masa perkuliahannya.

Sarjana hukum yang siap kerja dituntut untuk memahami dan dapat menerapkan
ilmu hukumnya. Hal ini berarti penguasaan pengetahuan teoritis harus dilengkapi
dengan kemampuan praktis, karena dunia kerja membutuhkan tenaga yang siap
kerja.

Untuk menjawab hal tersebut, dalam penyusunan kurikulum pemerintah


memberlakukan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dalam sistem
kurikulum setiap program studi.

Penyusunan kurikulum dilakukan dengan memperhatikan Peraturan Presiden Nomor


8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi, dan sesuai dengan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang memberikan


pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Lulusan program S1 dalam struktur KKNI menempati level-6, artinya lulusan S1


dituntut untuk menguasai ilmu, baik dari aspek teori dan prosedural, serta mampu
mengambil keputusan yang tepat berdasarkan hasil analisis informasi dan data, dan
mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara
mandiri dan kelompok.

Perguruan tinggi sebagai penghasil sumber daya manusia terdidik wajib


menyesuaikan diri dengan kualifikasi KKNI, sehingga dapat mengukur lulusannya,
apakah lulusan yang dihasilkan memiliki “kemampuan” setara dengan “kemampuan”
(capaian pembelajaran-learning outcomes) yang telah dirumuskan dalam jenjang
kualifikasi KKNI.

Dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi, capaian pembelajaran terdiri dari unsur
sikap, ketrampilan umum, ketrampilan khusus, dan pengetahuan.

5
Unsur sikap dan ketrampilan umum telah dirumuskan secara rinci dan tercantum
dalam lampiran SN-Dikti, sedangkan unsur ketrampilan khusus dan pengetahuan
harus dirumuskan oleh forum program studi sejenis yang merupakan ciri lulusan
program studi tersebut.

Nantinya hasil rumusan capaian pembelajaran lulusan program studi dikirimkan ke


Direktur Belmawa Kemenristekdikti dan setelah melalui kajian tim pakar yang
ditunjuk akan disahkan oleh Menteri.

Tahun 2017, telah terbentuk Asosiasi Laboratorium Hukum Indonesia (ALHI) yang
diprakarsai oleh Universitas Indonesia, bekerja sama dengan puluhan fakultas
hukum universitas negeri dan swasta di Indonesia.

Asosiasi dibentuk sebagai tindak lanjut seminar dan workshop Pengembangan


Laboratorium dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum pada bulan November
2017, di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Penyelenggaraan Pengembangan Laboratorium Fakultas Hukum yang berorientasi


hukum nantinya tidak hanya dipahami sebagai norma tertulis yang kaku, tetapi hidup
dan berkembang seiring dengan dinamika perkembangan kehidupan itu sendiri,
sehingga peserta didik memiliki ketrampilan khusus dan pengetahuan tertentu
sebagai pengalaman yang diperolehnya dalam perkuliahan S 1.

Mungkinkah ALHI ini mampu merumuskan ketrampilan dan pengetahuan yang


harus dikelola oleh forum program studi sejenis yang merupakan ciri lulusan
program studi tersebut untuk meningkatkan mutu laboratorium hukum di fakultas
hukum se-Indonesia?

Atau mampukah merumuskan standar baku pengelolaan mutu yang baik dan
berdampak besar bagi lulusannya dalam melaksanakan profesi hukumnya?

Semoga Asosiasi mampu merumuskan ciri lulusan fakultas hukum.

Penutup
Oleh karenanya dapat disimpulkan, bahwa “Program Studi yang berkualitas karena
kurikulum yang berkualitas”.

6
Kurikulum berkualitas karena bukan hanya ditujukan bagi penguasaan ilmu,
melainkan juga membekali lulusannya dengan keterampilan khusus yang berkaitan
langsung dengan tuntutan dunia kerja.

Akhirkata, mari kita bekerja, kerja dan kerja.

Terima kasih.

=====================

Anda mungkin juga menyukai