Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS INDONESIA

SLAVE CONTRACT DALAM INDUSTRI K-POP: APAKAH MEMANG


SEBURUK ITU?

ESAI PENGANTAR KOMBIS & TEKNIS PENULISAN ILMIAH

KEZIA IVANA BERNIKA SEBAYANG


1806213333

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM AKUNTANSI
DEPOK
2019
UNIVERSITAS INDONESIA

SLAVE CONTRACT DALAM INDUSTRI K-POP: APAKAH MEMANG


SEBURUK ITU?

ESAI PENGANTAR KOMBIS & TEKNIS PENULISAN ILMIAH


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh nilai UTS Pengantar Kombis
& Teknis Penulisan Ilmiah

KEZIA IVANA BERNIKA SEBAYANG


1806213333

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM AKUNTANSI
DEPOK
OKTOBER 2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Esai ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber

baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan

dengan benar.

Nama : Kezia Ivana Bernika Sebayang

NPM : 1806213333

Tanda Tangan :

Tanggal : 28 Oktober 2019


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………..ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii

1. ISI……...…………………………………………………………..…………………...1
DAFTAR REFERENSI…………………………………………………………………...6
LAMPIRAN………………………………………………………………………………..8

iii
BAB I

ISI

Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Inggris yang berbunyi ‘there are two sides to
every coin’. Terjemahan literalnya dalam bahasa Indonesia adalah ‘selalu ada dua sisi dari
setiap koin’, yang kurang lebih berarti bahwa selalu ada dua sisi dari segala situasi. Seseorang
tidak akan bisa mendapatkan yang baik tanpa yang buruk. Pemahaman ini bisa diaplikasikan
ke segala situasi, bahkan dalam industri yang terlihat begitu cerah dan menyenangkan, seperti
K-Pop. Para idola dengan berbagai kostum warna-warni, tata panggung yang unik dan megah,
koreografi dan lagu yang adiktif, sampai video-video yang indah. Siapa yang sangka bahwa
kenyataan di belakang panggung dan kamera ternyata tidak seindah itu? Terdapat banyak isu
kontroversial di balik glitz dan glam dunia K-Pop; salah satunya adalah praktik slave contract.
Apakah slave contract itu? Mengapa bisa terjadi? Dan bagaikan peribahasa ‘there are two
sides to every coin’, apakah ada sisi positif yang bisa diambil dari praktik slave contract?
Jawaban-jawaban dari pertanyaan inilah yang akan menjadi bahasan dalam esai ini.

Istilah slave contract mulai banyak dipakai dalam industri K-Pop sejak tiga anggota
dari grup TVXQ (awalnya berisi lima anggota) menuntut agensi yang menaungi mereka
sendiri, SM Entertainment, pada tahun 2009. Dasar tuntutannya adalah agensi yang sangat
membatasi kebebasan mereka dengan menyatakan bahwa seluruh aktivitas grup maupun para
anggotanya dimiliki oleh agensi; mewajibkan mereka mengikuti tuntutan agensi untuk tampil
pada penampilan dan siaran tertentu; dan mengikat mereka untuk berada di agensi tersebut
selama 13 tahun. Dari sini dapat disimpulkan bahwa slave contract adalah kontrak-kontrak
dengan agensi entertainment yang dianggap tidak adil dan tidak menguntungkan bagi para
artis.

Kontrak antara TVXQ dan SM Entertainment yang pertama kali dibuat pada tahun
2004 sesuai pada grafik 1.1 adalah salah satu bentuk slave contract yang memang
dipublikasikan secara publik oleh Korean Ministry of Court Administration setelah tiga
anggota dari grup idol TVXQ menuntut agensi mereka, SM Entertainment. Berdasarkan data

1
2

yang didapat dari grafik 1.1, pembagian keuntungan dari penjualan fisik album secara
domestik bisa dikatakan tidak manusiawi. Untuk penjualan sebanyak 50.000 – 100.000
keping misalnya, agensi mendapat 98% hasilnya dan artis hanya mendapat 2%. Pembagian
profit dalam penjualan digital pun masih bisa dianggap tidak adil, dengan 90% untuk agensi
dan hanya 10% untuk artis tersebut, walaupun 70% dari keuntungan penjualan album fisik
dari mancanegara akan masuk ke kantong artis itu sendiri. Begitu pula dengan keuntungan
dari penjualan lagu-lagu buatan artis tersebut di mancanegara; namun hal ini tidak akan
berarti jika sang artis tidak menulis lagu apa-apa dalam album-albumnya. Dalam kasus ini,
SM Entertainment selalu menyewa komposer dari luar untuk TVXQ.

Apakah kasus TVXQ merupakan kasus slave contract pertama dalam industri K-Pop?
Ternyata tidak. Sebelum kasus TVXQ, pada tahun yang sama pula, seorang member Super
Junior bernama Hangeng sudah menuntut agensi yang sama, SM Entertainment, atas dasar
kontrak yang terlalu mengontrol. Walaupun begitu, kasus TVXQ inilah kasus slave contract
pertama yang memiliki dampak cukup besar dalam industri secara keseluruhan. Hal ini
dibuktikan dengan berlakunya ‘standardized contracts’, sebuah perubahan peraturan kontrak
oleh Korean Fair Trade Commision (KFTC), sejak munculnya kasus TVXQ pada tahun 2009
yang berkata bahwa sebuah kontrak tidak boleh melewati batas berlaku tujuh tahun.

Contoh lain adalah hengkangnya tiga anggota grup EXO, masih dari agensi yang
sama—SM Entertainment. Ketiga anggota tersebut menuntut SM Entertainment dengan
tuntutan yang tidak jauh berbeda dengan yang pernah terjadi pada 2009 lalu. Begitu pula
dengan semua anggota grup B.A.P yang menuntut TS Entertainment pada 2014 dan Kang
Daniel yang menuntut LM Entertainment pada awal tahun 2019 ini. Inti dari semua kasus ini
sama: kontrak yang tidak adil dan mengekang.

Lalu, mengapa agensi terus memberikan slave contract pada para artisnya kendati
banyaknya kasus yang telah terjadi? Alasannya adalah karena agensi, layaknya perusahaan-
perusahaan yang bergerak berdasarkan keuntungan lainnya, membutuhkan uang. Pertama,
membentuk dan mendebutkan suatu grup bukanlah perkara yang murah. Sebuah agensi harus
menginvestasikan sejumlah uang untuk memberikan pelatihan kepada para calon idola—
biasa disebut trainee—sebelum akhirnya memilih trainee-trainee yang paling baik untuk
3

didebutkan. Berdasarkan artikel oleh Herald Economics Korea (2016), biaya yang harus
dikeluarkan sebuah agensi hiburan untuk setiap trainee bisa mencapai 30 juta won per
bulannya. Agensi-agensi kenamaan seperti SM Entertainment, YG Entertainment, Big Hit
Entertainment serta JYP Entertainment biasanya memiliki 20-30 trainee dalam satu periode.
Bahkan, salah seorang staff tim Artist Development YG Entertainment, Yoon-jung Kang
(2018) menyatakan bahwa YG Entertainment mengeluarkan biaya sebesar 100 juta won
untuk setiap traineenya. Dalam YG Entertainment sendiri, seluruh biaya tersebut mencakup
biaya untuk kelas menari, bernyanyi dan berakting; kelas bahasa Inggris dan Jepang; kelas
diskusi; pelatihan kesehatan; sampai biaya transportasi dan makanan sehari-hari.

Setelah memberikan pelatihan sedemikian rupa, agensi pun memilih beberapa trainee
terbaik mereka untuk dibentuk menjadi satu grup dan debut. Hal ini menjadi alasan kedua:
biaya yang harus dikeluarkan agensi untuk mendebutkan satu grup baru. Tabel 1.1
menjelaskan biaya-biaya besar yang perlu dikeluarkan agensi untuk mendebutkan suatu grup.
Ada banyak komponen-komponen yang harus dipersiapkan dalam membentuk suatu grup
baru, mulai dari membeli dan merekam lagu; memproduksi video; pemotretan untuk album
sampai viral marketing dan penampilan di TV. Jika dijumlahkan, biaya-biaya ini mencapai
497 juta won atau sekitar 6 miliar rupiah. Tidak semua agensi memiliki kemampuan untuk
membayar biaya sebanyak ini sehingga akan terdapat perbedaan kualitas hasilnya.

Kualitas yang kurang tersebut akan berdampak bagi nasib grup tersebut ke depannya,
apalagi industri hiburan adalah industri yang susah untuk ditaklukkan. Dari ratusan grup idola
yang debut dalam industri K-Pop, yang berhasil sukses di pasaran dapat dihitung jari. Hanya
ada 16 grup idola K-Pop yang berhasil masuk dalam Melon Chart Top 100 tahun 2018—
situs musik terbesar di Korea Selatan—dengan 37 lagu berbeda. Setengah dari 16 grup ini
berasal dari empat agensi terbesar di Korea Selatan seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya.

Agensi-agensi membebani biaya-biaya yang dikeluarkan pada grup yang diproduksi.


Biaya-biaya tersebut menjadi utang bagi para anggota-anggota grup yang debut, dengan
pengecualian untuk SM Entertainment. Seok-Kyun Kim (2018), mantan manajer dari SM
Entertainment berkata bahwa mereka tidak mengharuskan para idola untuk membayar
4

kembali biaya-biaya pelatihan karena mereka menganggap biaya-biaya tersebut sebagai


investasi. Namun, bayangkan bagaimana susahnya menjadi seorang idola dari grup beragensi
kecil tanpa sumber daya sebaik agensi-agensi besar, dengan kualitas album atau video yang
mungkin tidak sebaik grup-grup lainnya. Agensi-agensi pada umumnya mewajibkan para
anggota grup untuk membayar utang terlebih dahulu sebelum boleh mendapat keuntungan
pribadi. Hal ini dikonfirmasi oleh Solji, anggota grup EXID, lewat siaran Weekly Idol pada
6 Mei 2015. Ia menyatakan bahwa anggota-anggota EXID baru mendapatkan gaji pertama
setelah salah satu lagu mereka, Up & Down, sukses di pasaran di tahun yang sama setelah
debut pada tahun 2012. Inilah alasan ketiga.

Bagaimana pun juga, agensi adalah entitas bisnis yang perlu mendapatkan profit demi
kelangsungannya. Namun, perlu diingat bahwa subjek yang diikat dalam masalah slave
contract ini adalah manusia-manusia biasa dengan hak masing-masing. Para idola berkata
bahwa mereka sering kali menerima pendapatan dengan pembagian yang tidak adil, seperti
contoh-contoh yang telah disebutkan sebelumnya. Padahal biaya-biaya pelatihan yang
dibebankan ke grup tersebut seharusnya menjadi beban yang dikeluarkan oleh agensi itu
sendiri secara sukarela sebagai biaya investasi sebuah perusahaan yang memang bergerak di
bidang idol producing.

Tidak hanya dalam masalah uang. Tuntutan dari para idola juga menyangkut
overworking, yang tentunya sudah melanggar hak mereka sebagai pekerja. Pekerja kantoran
saja memiliki batas kerja tiap harinya dan hari libur. Seorang idola K-Pop harus bekerja setiap
hari sampai subuh, dan di masa-masa istirahat pun mereka tetap harus latihan menari dan
membuat serta merekam lagu untuk comeback berikutnya. Overworking bisa memberikan
dampak fisik negatif kepada idola-idolanya. Selain itu, slave contract juga telah melanggar
hak kebebasan seseorang. Memang benar bahwa agensi harus mengawasi atas apa yang
dilakukan artisnya agar tidak berakibat buruk bagi agensi itu sendiri maupun artisnya sebagai
seorang figur publik, namun seharusnya ada batasan-batasan tertentu yang dibicarakan dari
kedua belah pihak.

Masalah slave contract ini pun sudah masuk dalam perhatian pemerintahan. Salah
satu cara nyata yang telah dilakukan pemerintah Korea Selatan dalam melawan slave
5

contract adalah dengan meregulasikan undang-undang tentang jam kerja anak-anak di bawah
umur 19 tahun, efektif 29 Juli 2014. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa anak-anak
di bawah umur 15 tahun tidak boleh bekerja lebih dari 35 jam per minggu, sementara yang
berumur 15-18 tahun boleh bekerja hingga 40 jam per minggu. Anak-anak di bawah umur
dilarang untuk bekerja dari pukul 10 malam hingga 6 pagi, kecuali atas dasar izin orangtua
atau wali. Contoh lainnya adalah Korean Fair Trade Commision (KFTC) yang melakukan
investigasi atas kontrak-kontrak yang diberikan oleh delapan agensi hiburan dengan aset di
atas 12 miliar won di Korea Selatan yaitu SM Entertainment, YG Entertainment, JYP
Entertainment, Loen Entertainment, FNC Entertainment, Cube Entertainment, Jellyfish
Entertainment, dan DSP Media. KFTC melakukan perubahan pada enam klausa-klausa
kontrak yang dianggap tidak adil, seperti pemberian denda yang berlebihan untuk contract
cancellation dan pemaksaan artis untuk memperbaharui kontrak kembali setelah kontrak
sebelumnya habis masa berlakunya.

Slave contract, meskipun umum dijumpai dalam industri K-Pop, tidak seharusnya
menjadi budaya. Walaupun bertujuan untuk membayar utang (yang bahkan seharusnya tidak
menjadi utang dari awal), slave contract tetap saja melanggar sejumlah hak-hak dasar
manusia. Agensi-agensi harus mencari cara lain untuk tetap mendapatkan keuntungan tanpa
memperlukan artis-artisnya dengan tidak manusiawi. Hak-hak dasar manusia seharusnya
menjadi dasar utama dalam pembuatan kontrak, bukan keuntungan—karena idola yang
dikontrak pun juga manusia yang memiliki hak dan perasaan. Selain itu, agensi seharusnya
sudah memperkirakan biaya-biaya yang akan dikeluarkan dari awal mereka memberikan
kontrak kepada trainee, bahkan dari awal agensi tersebut dibangun.

Pemerintah juga harus terus mengawasi agensi-agensi ini dan merevisi peraturan
yang ada secara berkala. Solusi bagi para idola atau calon-calon idola adalah untuk tidak
langsung tergiur dengan tawaran menjadi trainee dan debut. Mereka harus membaca detail
kontrak yang diberikan dengan sebaik mungkin, jangan sampai ada grey area yang terlewat.
Penting juga bagi para calon idola untuk memilih agensi yang terpercaya seperti empat besar
agensi entertainment Korea (SM, YG, Big Hit dan JYP) dari awal.
6

DAFTAR REFERENSI

3 대 기획사는 무슨... - 스퀘어 카테고리. (2019). Retrieved 13 October 2019, from

https://theqoo.net/square/1132293420

Dal, Y. (2018). An Analysis of the Korean Wave as Transnational Popular Culture: North
American Youth Engage Through Social Media as TV Becomes Obsolete. International
Journal of Communication, 12(2018), 404–422.

Han, S. (2008). Is There a Solution for Slave Contracts?. Retrieved 13 October 2019, from
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/art/2009/08/201_49933.html

Heo, S. (EXID Member). (2015). Weekly Idol [TV programme]. MBC.

Kang, Y. (Artist Development Team). (2008). YG Treasure Box [TV programme]. YG


Treasure Box.

Kim, E. (2010). “아이돌아, 네 인생을 살아라”. Retrieved 13 October 2019, from

http://www.hani.co.kr/arti/SERIES/260/424154.html

Kim, H. (2014). K-pop stars punished by unfair contracts. Retrieved 13 October 2019, from
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/culture/2014/12/135_169279.html

Ko, S. (2016). [신인전쟁②] 아이돌, 연습생부터 데뷔까지 돈과의 전쟁…평균

20 억원의 배팅. Retrieved 13 October 2019, from

https://entertain.naver.com/read?oid=016&aid=0001094730

Lee, H. (2019). South Korean Law to Protect Young K-Pop Stars From Sexualization,
Overwork. Retrieved 13 October 2019, from
https://www.hollywoodreporter.com/news/south-korean-law-protect-young-717098
7

Melon K-Pop Chart 2018. (2018). Retrieved 13 October 2019, from


https://www.melon.com/chart/age/index.htm?chartType=YE&chartGenre=KPOP&cha
rtDate=2018

Messerlin, P., & Shin, W. (2017). The Success of K-Pop: How Big and Why So Fast?. Asian
Journal of Social Science, 45(4-5), 409-439. Retrieved 13 October 2019, from
https://www.researchgate.net/publication/318996586_The_Success_of_K-
pop_How_Big_and_Why_so_Fast

Negus, K. (2015). The South Korean Music Industry: A Literature Review. CREATe Working
Paper Series, Glasgow.

Park, Y. (2019). LM 측 "강다니엘, 계약금 못 받았다며 허위사실로 해지통지" 주장

[공식입장]. Retrieved 13 October 2019, from

https://entertain.naver.com/now/read?oid=117&aid=0003190977

Shin, J. (2017). No More “Slave Contracts” for Aspiring K-Pop Stars. Retrieved 13 October
2019, from http://koreabizwire.com/no-more-slave-contracts-for-aspiring-k-pop-
stars/76919

Sung, S. (2014). Why K-pop idols flee from their groups. Retrieved 13 October 2019, from
http://mengnews.joins.com/view.aspx?aId=2996232

Williamson, L. (2011). The dark side of South Korean pop. Retrieved 13 October 2019, from
https://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13760064
8

Lampiran

Grafik 1.1: istribusi Profit Penjualan Album Antara SM Entertainment dengan Grup
Idol TVXQ Berdasarkan Kontrak Tahun 2004

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Penjualan Penjualan Penjualan Pendapatan Penjualan Penjualan Penjualan
fisik fisik fisik iklan dari digital fisik mancanegara
domestik, domestik, domestik, di free digital mancanegara lagu-lagu
50001 - 100K 100K - 200K atas 200K downloads yang ditulis
keping* keping* keping* oleh artis itu
sendiri

SM Entertainment TVXQ

Sumber: Korean Ministry of Court Administration

Tabel 1.1: Biaya yang Dikeluarkan untuk Mendebutkan Satu Grup Baru*

Komponen-komponen dalam mendebutkan grup baru Biaya (dalam won)


Tiga lagu baru dari komposer 15,000,000
Rekaman lagu 12,000,000
Produksi satu music video 150,000,000
Photoshoot album 20,000,000
Viral marketing 105,000,000
Koreografer 5,000,000
Penampilan di program musik Penari latar 10,000,000
TV Penata rambut dan make-up 10,000,000
Kostum 170,000,000
Sumber: Heungkuk Securities Research Center

Anda mungkin juga menyukai