Anda di halaman 1dari 107

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP WARGA

SIPIL YANG MEMILIKI SENJATA API SECARA ILLEGAL


DI KOTA TARAKAN KALIMANTAN UTARA

SKRIPSI

OLEH :
A. HASLINDA
17.405010.02

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
FAKULTAS HUKUM
2021
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP WARGA
SIPIL YANG MEMILIKI SENJATA API SECARA ILLEGAL
DI KOTA TARAKAN KALIMANTAN UTARA

SKRIPSI

OLEH :
A. HASLINDA
NPM. 17.405010.02

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum
Universitas Borneo Tarakan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
FAKULTAS HUKUM
2021

i
ii

ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Usaha dan kegagalanlah yang akan membentukmu menuju kata sukses. Teruslah melakukan
apa yang ingin kamu gapai, kamu akan menyesal suatu saat nanti jika tidak melakukannya
ini hari. Dan cintailah dirimu sendiri, jujurlah pada dirimu sendiri, tetaplah setia pada
hatimu, jangan seperti kelompok lain, dan jangan pernah kehilangan siapa dirimu. Karena
hanya kamu yang tau bagaimana cara mencitai dirimu sendiri”

-Penulis-

ILMU SERTA GELAR HASIL DARI SKRIPSI INI PENULIS

PERSEMBAHKAN UNTUK:

❖ (Ayahanda Andi Alimuddin dan Ibunda Ani (Alm))


❖ Saudara (i) ku yang tersayang
❖ Sahabat- sabahatku
❖ Almamater yang kubanggakan

vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini

merupakan karya saya sendiri (ASLI), dan dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di

Institusi Pendidikan manapun, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan/atau diterbitkan oleh orang

lain yang dimuat dalam naskah ini, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam

daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh

tanggung jawab.

Tarakan, 30 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan,

A. HASLINDA
NPM. 17.40501.002

vii
viii
ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa terlimpah dan tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada ummatnya hingga
akhir zaman, Amin.
Penulisan skripsi dengan judul pertanggungjawaban pidana terhadap warga
sipil yang memiliki senjata api secara illegal di ajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana pada program studi ilmu hukum fakultas hukum
universitas borneo tarakan. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua orang tua
penulis, ayah penulis Andi Alimuddin dan ibu penulis Ani (Alm), kakek dan
nenek penulis, paman dan bibi penulis, serta suadara/(i) penulis yang telah
menjadi motivator penulis serta tidak henti-hentinya memberikan doa, semangat
dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
Skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan untuk pengembangan dan kesempurnaan Skripsi ini. Terselesaikannya
Skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, saran, masukan, dari berbagai
pihak yang membantu dan mendorong terselesaikannya Skripsi ini.

Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Adri Patton, M.Si, selaku Rektor Universitas Borneo Tarakan.
2. Bapak Dr. Yahya Ahmad Zein, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Borneo Tarakan.
3. Ibu Inggit Akim, S.H., M.H, selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas
Borneo Tarakan.
4. Bapak Dr. Syafruddin, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
mendidik, membimbing, membantu, memberikan arahan, semangat dan
memotivasi penulis untuk menyelesaikan Skripsi, serta ilmu yang sangat
bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.
5. Bapak Mumaddadah, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
mendidik, membimbing, membantu, memberikan arahan, semangat dan
memotivasi penulis untuk menyelesaikan Skripsi, serta ilmu yang sangat
bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.
6. Ibu Liza Shanaz, S.IP., M HSc., M.H, selaku Dosen Pembimbing Akdemik
yang banyak memberikan motivasi, sumbangan pemikiran sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi ini.
7. Kepada orang tua tercinta, bapak Andi Alimuddin dan ibu Ani (Alm), yang
telah bekerja keras dan setia membantu penulis, terutama saat mengalami
kesulitan dalam hal materil. Namun semangat dan motivasi yang diberikan
sehingga penulis bisa menyelesaikan Skripsi ini.

x
8. Kepada nenek dan kakek penulis, bapak Abdul Salam dan ibu Hj. Andi
Wahdaniya, yang tak pernah lelah memberikan semangat, motivasi, nasihat
yang baik dan doa bagi penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada paman dan bibi penulis, bapak Rahman dan ibu Andi Hartati, yang tak
pernah hentinya mendorong semangat penulis untuk meraih mimpi sang
penulis.
10. Kepada saudara/(i) penulis, kakak perempuan saya Haslina, kakak laki-laki
saya Syafruddin, dan adek perempuan saya Alya Ramadani, yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-Teman Seperjuangan yang berada di satu kosan dengan saya yang
telah senantiasa memberikan dukungan moral bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-Teman Angkatan Genosida, Lokal A 2017 Fakultas Hukum, yang
senantiasa memberikan dukungan moral dan semangat yang tulus terhadap
penulis.
13. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar dan Staf Administrasi Fakultas Hukum yang
telah memberikan ilmunya demi memperluas wawasan penulis dan para
mahasiswa terhadap dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu
hukum.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam
skripsi ini dapat bermanfaat dalam perkembangan hukum kedepannya. Semoga
Allah selalu memberikan rahmat-Nya serta kesuksesan selalu menyertai kita.
Aamiin.

Tarakan, 30 Desember 2021


Penulis

A. HASLINDA

NPM. 17.40501.002

xi
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP WARGA SIPIL YANG
MEMILIKI SENJATA API SECARA ILLEGAL DI KOTA TARAKAN
KALIMANTAN UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini berfokus mencari dan menjawab dua pertanyaan terkait


pertanggungjawaban pidana terhadap warga sipil yang memiliki senjata api secara
illegal di Kota Tarakan Kalimantan Utara. Pertama, bentuk pertanggungjawaban
tindak pidana penyalahgunaan senjata api baik yang menggunakan prosedur
ataupun yang tidak menggunakan prosedur (illegal) bagi warga sipil? Kedua,
hambatan penegekkan hukum bagi warga sipil yang memiliki senjata api secara
illegal? Skripsi ini merupakan penelitian empiris terhadap norma- norma hukum
terkait peraturan perundang- undangan serta putusan pengadilan khususnya terkait
dengan senjata api. Data yang digunakan dalam skripsi ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh dengan mengambil data
langsung pada pihak yang terkait dengan kasus tersebut melalui metode
wawancara terhadap pihak kepolisian kota Tarakan. Data sekunder ialah data yang
diperoleh dari buku, jurnal, artikel, data- data internet, dan kamus. Hasil dari
penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa: Pertama, bentuk pertanggunjawaban
penyalahgunaan senjata api yang memiliki prosedur dapat dikenakan sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan yang peraturang perundang-undangan
berlaku serta penerapan sanksi lainnya terhadap pasal-pasal yang dilanggar.
Bentuk pertanggungjawaban penyalahgunaan senjata api yang tidak memiliki
prosedur (illegal) diatur dalam pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Darurat No. 12
Tahun 1951 tentang mengubah Ordonantieeijdelikjke Bijzondere Starfbepelingen
(Stblm. 1948 No. 17) dan Undang- undang Dahulu No. 8 Tahun 1948. Kedua,
hambatan penegakkan hukum ialah senjata api yang bersifat illegal dan tidak
senantiasa dibawa ke mana-mana serta di tempat-tempat yang mengundang
keramaian dan juga kurangnya pengawasan dari pihak kepolisian terkait
penggunaan senjata api di kalagan warga awam.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban, warga sipil, illegal

xii
CRIMINAL LIABILITY ON CIVILIANS WHO POSSESS FIREARMS
ILLEGALLY AT TARAKAN CITY, NORTH KALIMANTAN

ABSTRAC

This research focuses on searching and answering two questions related to


criminal liability on civilians who possess firearms illegally at Tarakan City,
North Kalimantan. First, criminal liability form of firearms both using a procedure
or not using a procedure (illegal) for civilians? Second, law enforcement obstacle
for civilians who has firearm illegally? This thesis is empirical research on legal
norms related to legislation and court decision, specifically dealing with firearms.
The data used in this thesis consist of primary data and secondary data. Primary
data is data obtained by taking data directly from the party related to the case
through the interview method on Tarakan City Police. Secondary data is data
obtained from books, journals, articles, internet data, and dictionaries. The result
of this research, the author concludes that: First, the form of firearm
misappropriation liability who has the procedure can be subjected to
administrative sanction according to the applicable legislation and the others
sanction implementation on the violated articles. The form of firearm
misappropriation liability that does not have a procedure (illegal) is regulated in
article 1 paragraph (2) of the Emergency Law no. 12 of 1951 regarding
changing Ordonantieeijdelikjke Bijzondere Starfbepelingen (Stblm. 1948 No. 17)
and Law No.8 of 1948. Second, a law enforcement obstacle is a firearm that has
characteristics illegal and not always brought everywhere and in the place that
invites crowd and lack of supervision from the police related to firearms used in
the common people.

Keywords: liability, civilians, illegal

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ........ Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
BERITA ACARA UJIAN SKRIPSI .... Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................... vii
SURAT PERNYATAAN..................... Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
PERBAIKAN SKRIPSI ....................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ xii
ABSTRAC ........................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 12
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 13
E. Sistematika Penulisan .................................................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 16
A. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana ............................................................. 16
1. Pengertian Pidana serta Pengertian Pidana Menurut Para Ahli .............. 16
a) Pengertian Pidana ............................................................................... 16
b) Pengertian Pidana Menurut Para Ahli ................................................ 17
2. Jenis- jenis Pidana ................................................................................... 20
B. Pertanggungjawaban Pidana dan Unsur-unsur Pertanggungjawaban….
Pidana… ...................................................................................................... 21
C. Pengertian Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan ........................................ 22
1. Pengertian Pemidanaan ........................................................................... 22
2. Tujuan Pemidanaan ................................................................................. 24

xiv
D. Pengertian Senjata Api dan Kepemilikan Senjata Api Berdasarkan….
Undang-undang............................................................................................ 25
1. Pengertian Senjata Api ............................................................................ 25
2. Kepemilikan Senjata Api Berdasarkan Undang-undang ........................ 28
E. Pengertian Efektivitas Penegakkan Hukum................................................. 31
F. Pengertian Warga Sipil ................................................................................ 35
G. Pengertian Illegal ......................................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 40
A. Pendekatan Masalah .................................................................................... 40
B. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 40
C. Sumber dan Jenis Data................................................................................. 40
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 41
E. Pengumpulan Bahan Hukum ....................................................................... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 44
A. Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan….
Senjata Api Baik Yang Menggunakan Prosedur Ataupun Yang Tidak….
Menggunakan Prosedur (Illegal) Bagi Warga Sipil .................................... 47
B. Hambatan Penegakkan Hukum Bagi Masyarakat Sipil Yang Memiliki….
Senjata Api Secara Illegal ........................................................................... 59
BAB V PENUTUP................................................................................................ 79
A. Kesimpulan .................................................................................................. 79
B. Saran ............................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 82
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 85
LAMPIRAN .......................................................................................................... 86

xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 .............................................................................................................66
Gambar 1.2 .............................................................................................................67

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan modernisasi tidak hanya dalam dunia

industri dan pengetahuan, tetapi juga dalam bidang hukum. Mengikuti

perkembangan dari sisi hukum, terjadi pula perkembangan angka kriminalitas

yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi peredaran senjata api secara

illegal. Terjadilah beberapa kasus kejahatan, yang menyebabkan trauma bagi

masyarakat sipil yang tidak memiliki senjata untuk bela diri mereka dikarenakan,

para pengguna senjata api tanpa ijin (illegal) tidak segan menghabisi nyawa

korbannya. Maka dari itu hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu,

hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya

hukum. Maka hukum berada diantara dunia nilai-nilai atau ide-ide dengan dunia

kenyataan sehari. Oleh karena hukum bergerak diantara 2 (dua) dunia yang

berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan, maka

hukum sangat saratakan nilai-nilai hendak diwujudkan, maka hukum sangat

terkait eratdenganberbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan

maupun struktur sosial masyarakat di mata hukum tersebut diberlakukan. Apa arti

dari kata Hukum itu sendiri ? Hukum merupakan hal yang paling penting untuk

dipelajari sebelum membahas penerapan hukum itu sendiri. Hukum merupakan

dasar penerapan-penerapan hukum dan merupakan sistem terpenting dalam

pelaksanaan berbagai sistem penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tidak dapat lagi

1
2

di sebut sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan, hukum dapat

disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus

dilaksanakan. Di bawah ini adalah beberapa tafsir hukum bagi para profesional,

antara lain:

Menurut E. Utrecht, hukum adalah seperangkat petunjuk hidup (perintah

atau larangan) yang mengatur perintah warga negara yang harus dipatuhi oleh

anggota masyarakat, yang jika dilanggar dapat mengakibatkan tindakan

pemerintah dari warga Negara itu sendiri.1 Selain itu, Immanuel Kant menyatakan

bahwa hukum adalah seperangkat ketentuan kehendak bebas rakyat untuk

membiasakan diri dengan kehendak bebas orang lain sesuai dengan kaidah

kemerdekaan. 2 Dan sekali lagi, Thomas Hobbes menjelaskan apa itu hukum.

Hukum adalah Dia memiliki kekuatan untuk memerintah dan memaksakan

perintah pada orang lain. 3 Tidak hanya itu, John Austin juga memberikan

pendapatnya tentang apa itu hukum. Hukum adalah aturan yang dibuat untuk

menyebarkan tuntunan kepada makhluk intelektual melalui makhluk intelektual

yang mengaturnya. 4 Selain berbagai pendapat tentang pengertian hukum, dapat

kita simpulkan bahwa hukum adalah norma yang di dalamnya terdapat sanksi.

Hukum sebagai kebutuhan warga negara bagi warga negara untuk memperoleh

keadilan, kedamaian, kepentingan, keamanan hukum, kebahagiaan, kesejahteraan

dan ketentraman. Hukum dapat tertulis atau tidak tertulis, dan hukum tertulis

1
Prof. Chainur Arrasjid, S.H., Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h.
21.
2
Wawan Muhwan Hairi, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 22.
3
Dr. H. Zainal Asikin, S.H., S.U, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h.
10.
4
H. Salim, HS, SH, MS, Perkembangan dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,
h. 22.
3

dikenal memiliki hukum publik dan hukum privat karena dapat mengendalikan

berbagai peristiwa yang terjadi di antara warga negara. Karena hukum diperlukan

bagi warga negara, itu harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang

memenuhi syarat untuk menjaga moralitas dan bertindak secara etis. Lembaga

penegakan hukum nasional yang menganut sistem peradilan perdata (civil law

system) seringkali bertentangan dengan hukum tertulis, sehingga hukum tidak

selalu dapat memenuhi kebutuhan dan perkembangan warganya. Hukum perdata

(civil law) mengatur apa yang telah terjadi pada penduduk, sehingga apa yang

akan datang seringkali tidak diatur. Dalam sistem hukum perdata (civil law),

“code” (undang-undang) adalah ketentuan dan prinsip hukum umum yang

berwibawa, lengkap dan sistematis yang diterbitkan dalam sebuah buku atau

bagian yang disusun secara logis menurut undang-undang yang bersangkutan.

Oleh karena itu, norma-norma hukum perdata (civil law) dianggap sebagai sumber

hukum utama, dan semua sumber hukum lainnya berada di bawah dan dalam

beberapa kasus, biasanya satu-satunya menjadi sumber hukum.5 Demikian pula

ada perbedaan konsep hukum pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Artinya, terlihat seperti ini:

Menurut Roslan Saleh, dia menegaskan jika hukum pidana merupakan

respon terhadap suatu kejahatan dan bersifat suatu reaksi, maka negara berencana

untuk melimpahkannya kepada pelaku kejahatan tersebut atau sang pembuat

delik.6

5
Subiharta, Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan (Legal
Morality in Practical Law as a Virtue), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 3, November
2015, h. 388.
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 81.
4

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu negara dan memberikan landasan dan aturan sebagai

berikut:7

1. Mengetahui tindakan apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang

harus dilarang, dengan ancaman atau sanksi berupa tindak pidana

tertentu terhadap mereka yang melanggar larangan tersebut.

2. Kami menjamin kapan seseorang yang melanggar larangan tersebut

dapat dituntut atau dihukum karena diancam.

3. Jika ada orang yang diduga melanggar larangan, memastikan

bagaimana trik pengenaan pidana itu bisa dilaksanakan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum pidana merumuskannya dalam dua

(2) jenis:8

a. Hukum pidana materil adalah hukum yang memuat perbuatan yang

melanggar hukum serta suatu undang-undang yang disebut kejahatan

dan termasuk perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi.

b. Hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur bagaimana

melaksanakan dan menegakkan hukum pidana materil.

Menurut P A.F. Lamintang, terdapat tiga (3) tujuan pemidanaan ialah:9

a. Perbaiki individu dari penjahat itu sendiri.

b. Untuk memberikan pencegahan/ efek jera kepada penjahat.

c. Membuat penjahat itu tidak lagi melakukan kejahatan lain.

7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 1.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, h.
3.
9
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku Di
Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h. 23.
5

Sebagai negara hukum yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini dapat dilihat dalam uraian Undang-

Undang Dasar 1945. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum

(rule of law), bukan sekedar kekuasaan (power status). Secara hukum,

permasalahan yang timbul dalam kehidupan warga negara dapat diselesaikan

melalui proses peradilan dengan perantara hakim, berdasarkan persyaratan hukum

yang berlaku. Salah satu dari berbagai proses peradilan di Indonesia adalah

hukum pidana. Hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang

terjadi di masyarakat dengan cara membawa pelaku kejahatan ke pengadilan,

menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan, dan membuat calon pelaku

kejahatan lainnya berpikir sebelum melakukan suatu kejahatan.10

Pada hakekatnya masyarakat mau hidup dengan nyaman dan damai,

sehingga banyak warga sipil yang menggunakan cara yang berbeda untuk

melindungi diri. Salah satu upaya warga adalah menyediakan alat pelindung diri

seperti senjata api jenis rakitan. Di era sekarang ini kepemilikan senjata api tidak

hanya dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan polisi, tetapi juga oleh

banyak masyarakat sipil. Parahnya, saat ini tidak hanya orang dewasa saja yang

menggunakan senjata api tetapi anak-anak yang tergolong di bawah umur sudah

bisa menggunakan senjata api jenis rakitan jenis dum-dum atau biasa dikatakan

sebagai peluru yang meledak apabila kena sasaran.

Jenis kejahatan ini menimbulkan ketidak nyamanan bagi masyarakat, yang

pada memuculkan rasa keresahan bagi diri masing-masing. Kejahatan yang terjadi

10
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007,
h. 4.
6

dengan cara ini merupakan akibat dari hilangnya sistem kontrol sosial sebagai

akibat dari perubahan sosial yang terjadi. Perubahan sosial mempengaruhi sistem

kontrol sosial dan berdampak lebih dalam pada penyimpangan dan kejahatan.11

Di sisi lain menurut hukum, kejahatan kadang-kadang disebut sebagai

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Penafsiran kejahatan ini terbatas

pada waktu dan tempat dalam undang-undang, peraturan pemerintah, atau

peraturan lain yang ada, tetapi hal yang baik yang kami amati dengan jelas adalah

orang-orang ini ingin tahu apa yang salah, ada kepastian hukum atau tidak.12

Penjahat memiliki pengertian yang lebih luas jika dilihat hanya dari sudut

pandang hukum, tetapi penjahat mengambil perilaku antisosial dan melanggar

hukum dari sudut pandang keadilan, tetapi ditangkap dan dihukum. Di

pengadilan, beberapa orang tidak ditangkap atau diketahui oleh pihak berwenang

(Polisi) untuk membuat berbagai pernyataan tentang siapa yang disebut penjahat.

Faktanya, sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa pelaku penjahat sebenarnya.13

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan modernisasi, tidak hanya dalam

dunia industri dan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga dalam hal hukum. Kemajuan

dalam dimensi hukum juga dibarengi dengan kemajuan tingkat kejahatan yang

salah satunya dipengaruhi oleh peredaran senjata api secara illegal. Minimnya

pemahaman masyarakat tentang pelarangan illegal dan ketidak patuhan terhadap

peraturan yang ada tentang pengelolaan senjata api belum dilaksanakan dengan

baik. Indonesia sebenarnya adalah negara yang sangat ketat untuk menegakkan

aturan kepemilikan senjata api secara illegal bagi warga sipil. Penyalahgunaan

11
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2010, h. 107.
12
Hari Saherodji, Pokok - Pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980, h. 18.
13
Ibid, h. 25.
7

senjata api di Indonesia pada dasarnya sudah diatur dalam UU Darurat RI No. 12

Tahun 1951 Tentang mengubah “Ordonnantietijke Bijzondere Strafbepalingen”

(Stbl. 1948 No. 17) Dan UU RI Dahulu No. 8 Tahun 1948.

Dalam hal ini bangsa Indonesia sendiri menganut sistem demokrasi. Istilah

demokrasi yang dimaksud di sini adalah pemerintahan atau kekuasaan rakyat oleh

dan untuk rakyat. Namun, praktik demokrasi di berbagai negara di dunia memiliki

karakteristik dan spesifikasi tersendiri, yang umumnya sangat dipengaruhi oleh

keunikan karakteristik warga dalam suatu Negara. 14 Negara Indonesia sendiri

tidak terlepas dari berbagai jenis permasalahan, seperti yang penulis amati dalam

beberapa tahun terakhir, dan meningkatnya jumlah tindak pidana yang disebabkan

oleh pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan jumlah lowongan

pekerjaan hal ini menyebabkan banyak masyarakat Indonesia hidup dalam kondisi

ekonomi rata-rata.15

Awalnya, senjata api hanya digunakan untuk tujuan perang, tetapi kemudian

digunakan juga untuk tujuan lain. Misalnya digunakan sebagai salah satu alat

utama dalam pembangunan pertahanan dengan memberikan fasilitas persenjataan

yang lengkap kepada TNI. Mendukung misi aparat keamanan dalam

penyelenggaraan keamanan, disiplin warga sipil dan penegakan hukum sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti fasilitas untuk

menyelesaikan misi satuan pengamanan/ polisi khusus sebagai fasilitas untuk

kepentingan olahraga dan bahan peledak adalah salah satu ciptaan manusia yang

14
Sonya Airini Batubara, Suganda Kelima Siregar dan Christin Yulia Simatupang, Tinjaun
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Tanpa Hak Oleh Warga Sipil (Putusan
Nomor : 79/PID. B/ 2016/ PN. BLG), Jurnal Hukum Kaidah, Vol. 18, No. 3, 2019, h. 40.
15
Soerjono soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rineka,
Jakarta, 1986, h. 25.
8

tidak berhenti berkembang selama ribuan tahun. Penggunaan senjata api dan

bahan peledak juga semakin berkembang seiring dengan peradaban manusia yang

mengikuti perkembangan zaman.16

Distribusi senjata api di kalangan warga sipil adalah fenomena global.

Kurangnya kontrol atas kepemilikan senjata api baik legal maupun illegal yang

dimiliki oleh warga sipil menjadi salah satu pemicu meningkatnya kejahatan

senjata api di Indonesia. Di Indonesia dapat dikatakan bahwa tingkat distributor

penduduk sipil sangat besar, tetapi sulit untuk menangkap para pelaku transaksi

senjata api illegal. Beberapa penyebab kepemilikan senjata api tidak dapat

dikelola secara tertib adalah karena sulitnya mendeteksi kepemilikan senjata api

secara illegal sehingga pihak berwenang tidak mengetahui secara pasti berapa

banyak senjata api yang beredar di masyarakat.

Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas. Artinya, pelaku

tindak pidana ingin dihukum hanya jika ia melakukan kesalahan dalam melakukan

tindak pidana tersebut. Dalam kehidupan masyarakat sipil, ancaman yang

ditimbulkan oleh tingkat dan dampak kejahatan dari kecacatan dan/atau pekerjaan

yang diterima lebih besar daripada pekerjaan dan jenis lainnya, dan dari berbagai

pekerjaan dan jenis yang memerlukan keamanan lebih tinggi. Misalnya pegawai

petugas kesehatan, pegawai bank pengacara, dan berbagai profesi lainnya,

sebagian dari profesi tersebut memiliki peralatan untuk menggunakan jasa

pengawalan dan melakukan pembelaan diri seperti senjata api, mereka cenderung

melindungi diri dengan melakukan pembelaan diri. Dalam tuntutan profesi

16
Herlin Eka Yusman, Pengawasan dan pengendalian senjata yang beredar Di warga
(kajian paradigma normatif dan interpretatif dalam kriminologi), e-Jurnal Katalogis, Vol. 3, No.
12, Desember 2015, h. 85-95.
9

mengklaim bahwa anda tidak hanya memiliki ancaman kriminal yang cukup

besar. Pada dasarnya, semua manusia berhak untuk melindungi diri dan harta

bendanya self defense dari pertahanan diri dari ancaman pihak lain. Oleh karena

itu, senjata api adalah senjata yang memancarkan satu atau lebih proyektil yang

didorong dengan kecepatan tinggi oleh gas yang dihasilkan oleh pembakaran

propelan. Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai kelanjutan dari tuduhan

obyektif yang terkandung dalam suatu tindak pidana dan dimasukkan secara

subyektif untuk memenuhi ketentuan yang dipidana untuk perbuatannya itu.

Implementasi kebijakan kemampuan senjata api oleh warga sipil di

beberapa negara berbeda: Pertama, mendistribusikan kewenangan kepemilikan

senjata api hanya kepada polisi dan tentara, dan melarang warga sipil menguasai

senjata api di Jepang. Kedua, masih memungkinkan warga sipil tertentu untuk

membawa senjata seperti Indonesia. Ketiga, di Finlandia, kebebasan sipil

digunakan untuk memiliki senjata api. Penyalahgunaan senjata api terhadap warga

sipil yang menjadi korban kejahatan atau kekerasan bersenjata seringkali

menimbulkan pro dan kontra terhadap kemampuan warga sipil untuk membawa

senjata api.

Dengan demikian, hukum itu dibuat dengan tujuan untuk kemakmuran dan

keadilan bagi seluruh warga negara untuk membangun ketertiban dan keamanan,

namun dalam kenyataannya terdapat penyimpangan dari hukum tersebut, baik

direncanakan maupun tidak. Ketika menghadapi situasi ini, tindakan hukum yang

tegas diperlukan dan proses hukum yang tepat sangat diharapkan.


10

Berdasarkan UU RI No. 8 Tahun 1948 Tentang Mencabut Peraturan Dewan

Pertahanan Negara No. 14 Dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran Dan

Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 9 mengatur bahwa pendaftaran dan

izin penggunaan senjata api adalah sebagai berikut:

1. Seseorang yang bukan anggota TNI atau Polisi yang memiliki dan

menggunakan senjata api wajib memiliki izin penggunaan senjata

api menurut sampel yang ditetapkan oleh Kapolri.

2. Lisensi (surat izin) harus dikeluarkan untuk setiap senjata api.

3. Yang berwenang mengeluarkan izin kepemilikan senjata api adalah

Kepala Kepolisian Kerasidenan atau orang yang ditunjuk olehnya.

Dalam Pasal 8 dan 9 Peraturan Komisaris Kepolisian Negara Republik

Indonesia No. 18 Tahun 2015 mengatur tentang persyaratan kepemilikan dan/

atau penggunaan senjata api non-organik oleh Polri/ TNI untuk membela diri.

Orang yang berusia di bawah 24 tahun harus sehat jasmani dan rohani, seperti

yang tertera pada surat keterangan dokter polisi. Surat keterangan dari psikolog

Polri, wawancara dengan kuesioner pemohon, penerbitan kesaksian oleh

ditintelkan kepolisian setempat, wawancara rinci oleh pihak kepolisian, dan

memenuhi persyaratan psikologis serta persyaratan-persyaratan lainya yang

diwajibkan.

Penyalahgunaan senjata api pada warga sipil telah menjadi kajian nasional

dan internasional untuk mengurangi kejadian penyalahgunaan senjata api di

kalangan warga sipil dengan tujuan untuk melakukan kejahatan yang ditakuti

warga sipil lainnya karena kejahatan senjata api selama ini, tetapi karena tingkat
11

pengangguran yang tinggi, salah satu aspek dari tingkat kejahatan ini terus

meningkat, dengan atau tanpa penembakan. Kejahatan yang sering terjadi adalah

perampokan, pencurian, bahkan pelaku pembegalan kendaraan bermotor.

Kejahatan itu juga termasuk melakukan tindak pidana dengan senjata api, dan

terdakwa mengancam korban dan memukul korban secara langsung, sehingga

mengakibatkan luka berat bahkan membunuh korban.

Dalam kehidupan warga sipil saat ini, banyak sekali persoalan yang

melibatkan warga dalam bentuk senjata api illegal atau legal. Penyalahgunaan

senjata api adalah kasus yang sangat umum saat ini. Senjata api bagi warga sipil

biasa (awam) adalah suatu lelucon/ peralatan yang digunakan untuk

menembakkan amunisi atau membela diri, dan akibatnya ketika senjata api

menembakkan dapat menyebabkan cedera serius atau kematian. Dan salah satu

kejahatan yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah penggunaan senjata api.

Arus kejahatan dengan ancaman kekerasan dan senjata api, nyatanya sangat

mengganggu keamanan dan ketertiban warga serta menimbulkan kekhawatiran

bagi masyarakat.

Beberapa insiden di Kota Tarakan kini terkait kasus peyalahgunaan dan

kepemilikan senjata api secara illegal, ialah adanya kerjasama antara pihak

kepolisian dan warga sipil. Di sinilah warga sipil membayar sejumlah uang setiap

tahun kepada polisi yang memasok senjata api dan mendapat untung besar dengan

menjanjikan senjata api ini kepada warga sipil tanpa lisensi (surat ijin)

kepemilikan senjata api dari kepolisian. Disamping itu warga sipil yang tidak

memiliki senjata api merasa ketakutan karena warga yang sudah memiliki senjata
12

api dari polisi seringkali menakut-nakuti mereka bahkan mengancam akan

membunuh mereka, senjata api yang mereka miliki tidak mengikuti prosedur

(persyaratan) kepemilikan senjata api. Selain itu, banyak anak muda tanpa mereka

sadari sudah memiliki senjata api tanpa adanya naungan (didikan) orang tua

mereka tentang risiko di masa depan. Seperti yang terjadi baru-baru ini Intel Kota

Tarakan Kodim menangkap seorang pria, penantangnya mengenakan baju

bergaris dan membawa senjata api. Informasi berita itu terjadi pada 24 Januari

2021. Dari permasalahan inilah peneliti tertarik untuk mengusut kasus-kasus

permasalahan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dalam penulisan ini

permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah :

1. Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana penyalahgunaan senjata api

baik yang menggunakan prosedur ataupun yang tidak menggunakan

prosedur (illegal) bagi warga sipil ?

2. Hambatan penegakkan hukum bagi warga sipil yang memiliki senjata

api secara illegal ?

C. Tujuan Penelitian

1. Ruang Lingkup

Untuk membatasi agar peneliti dan pembahasan menjadi fokus maka

dalam peneliti ini dibatasi dalam ruang lingkup peneliti. Tentang

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan senjata api

illegal oleh warga sipil dan penuntutannya serta tidak menutup


13

kemumgkinan membahas hal- hal Iain yang berhubungan dengan

masalah tersebut.

2. Tujuan Peneliti

a. Untuk mengenali bentuk pertanggungjawaban hukum tindak

pidana penyalahgunaan senjata api baik menggunakan prosedur

maupun yang tidak menggunakan prosedur.

b. Untuk mengetahui hambatan penegakkan hukum terhadap warga

sipil yang mempunyai senjata api secara illegal.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat peneliti ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil Penelitian ini diharapkan bisa berguna untuk pengembangan

ilmu hukum khususnya buat memperluas pengetahuan serta

menaikkan referensi khususnya menimpa hal- hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan hukuman pidana terhadap tindak pidana

kepemilikan senjata api illegal di Indonesia.

b. Untuk mendalami teori- teori yang telah diperoleh selama

menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Borneo

Tarakan serta memberikan landasan untuk peneliti lebih lanjut

mengenai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana

kepemilikan senjata api illegal.


14

2. Manfaat Praktis

Bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk pemerintah khususnya

aparat penegak hukum mudah- mudahan bisa melaksanakan pergantian

paradigma dalam melakukan tugas serta gunanya cocok dengan

pergantian dinamika yang terjalin dalam memenuhi keadilan warga

sehingga bisa melakukan tugas serta gunanya secara handal manusiawi

serta berkeadilan.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 Bab yang terdiri dari beberapa

sub bab sesuai dengan pembahasannya.

BAB I : PENDAHULUAN, Bab ini merupakan bab awal pada penulisan prposal

yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, Pada bab ini berisikan tentang penjabaran

umum mengenai gambaran umum terkait pertanggungjawaban hukum tindak

pidana terhadap warga sipil yang memiliki senjata api secara illegal, pengertian

senjata api secara illegal, warga sipil yang berhak memiliki senjata api,

pengaturan- pengeaturan mengenai kepemilikian senjata api berdasarkan

peraturannya. Serta menjelaskan tentang apa itu Pemidanaan, Evektifitas

Penegakkan Hukum, Warga Sipil, serta Illegal.

BAB III : METODE PENELITIAN, Dalam Bab ini menguraikan beberapa

pendekatakan yang dilakukan dalam penelitian. 1. Pendekatan Masalah, 2.


15

Sumber dan Jenis Data, 3. Pengumpulan bahan Hukum : a. Data sekunder, b. Data

Primer, c. Analisa.

Bab IV : HASIL DAN PEMBAHASAN, a. Bentuk pertanggungjawaban tindak

pidana terhadap penyalahgunaan senjata api baik yang menggunakan prosedur

maupun yang tidak menggunakan prosedur (illegal). b. Hambatan penegakkan

hukum bagi pelaku penyalahgunaan senjata api secara illegal.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, Merupakan Bab terakhir pada penulisan

ini yang berisikan kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana

1. Pengertian Pidana serta Pengertian Pidana Menurut Para Ahli

a) Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straff (Belanda). Pidana didefinisikan sebagai

kejahatan yang hendak dijatuhkan oleh suatu negara kepada satu orang atau lebih

sebagai akibat dari undang-undang (sanksi) atas perbuatan yang melanggar

larangan hukum pidana.17 Dilihat dari undang-undang hukum pidana, khususnya

KUHP, tidak ada penjelasan atau peruntukan pidananya. Istilah pidana merupakan

terjemahan dari hukuman Belanda dan disebut juga “hukuman”. Hukum adalah

seperangkat aturan tertulis atau tidak tertulis untuk tujuan menata pengaturan serta

mengendalikan.

Agar hukum dipatuhi dan ditaati oleh anggota masyarakat, maka harus ada

larangan dan sanksi terhadap pelaku kejahatan. Keuntungannya adalah

melindungi agar pencapaian tujuan hukum bisa tercapai. Pelanggar persyaratan

hukum ini harus bertanggung jawab atas perilaku mereka. Jika seseorang

melakukan suatu tindak pidana, bentuk perbuatannya diformalkan dan diatur

dalam hukum pidana, dan ada ancaman pidana, pidana itu dapat dijatuhkan

kepada orang tersebut.

17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 23-
24.

16
17

b) Pengertian Pidana Menurut Para Ahli

Menurut Van Hammel, pengertian pidana atau straff menurut hukum positif

dewasa ini bersifat khusus yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang untuk

menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab disiplin hukum

untuk seorang pelajar. Itu semata-mata akibat seseorang melanggar sesuatu dan
18
pelanggaran hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Dan menurut

Mulejatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di

negara-negara yang memberikan landasan dan ketentuan sebagai berikut:19

1. Memotivasi agar perbuatan yang dilarang tidak dilakukan dengan ancaman

pidana atau sanksi tertentu terhadap benda siapa yang melanggar larangan

tersebut.

2. Membenarkan kapan dan dalam perihal apa seseorang yang melanggar

larangan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur atau dapat

dipidana dengan pidana penjara.

3. Memastikan dengan cara bagaimana hukuman dijatuhkan jika ada orang

yang diduga melanggar larangan tersebut.

Menurut Simons, pengertian pidana dapat dibagi menjadi dua (2) bagian:20

1. Hukum pidana dalam arti objektif adalah seperangkat larangan dan

kewajiban yang pelanggarannya oleh warga negara lain atau common law

dikaitkan dengan penderitaan yang bersifat khusus berupa sanksi, akibat

hukum, dan masalah hukum. Kondisi yang terkait dengan seperangkat

18
P. A. F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, h. 47.
19
Moeljatno, S.H., M.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 1.
20
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, h. 3.
18

aturan yang mengatur undang-undang, serta penerapan sanksi itu sendiri

diatur.

2. Di sisi lain, hukum pidana secara subyektif terbagi menjadi dua (2).

a. Hak negara dan sarana sanksinya adalah hak yang makna obyektif

dari penafsiran hukum pidana dalam pengertian itu adalah aturan

yang berusaha mencegah kekuasaan negara yang dikenai sanksi

untuk memperoleh kekuasaan dari aturan yang berlaku. Tujuan

penafsiran hukum pidana dalam pengertian ini adalah hukum

pidana dalam arti pengaturan bertujuan untuk menghalangi

kekuasaan dari negara yang menghukum.

b. Hak negara untuk mengaitkan pelanggaran dengan hukuman.

Pengertian hukum pidana dalam arti subjektif disebut juga

iuspuniendi.

Menurut Satochid Kartanegara, pengertian hukum pidana adalah dapat

dilihat dari beberapa sudut ialah:21

1. Hukum pidana dalam arti objektif adalah bahwa berbagai peraturan

memiliki larangan yang mengancam untuk menghukum kejahatan.

2. Hukum pidana dalam arti subjektif adalah seperangkat norma yang

mengatur tentang hak negara untuk menghukum orang yang melakukan

perbuatan yang dilarang.

Dalam pandangan Apeldoorn, penafsiran hukum pidana adalah untuk

menyampaikan bahwa hukum pidana itu berbeda dan bermakna: Hukum pidana

21
Teguh Prasetya, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 2011, h. 7.
19

materil yang mengacu pada perbuatan pidana yang dapat menghukum suatu

perbuatan jika terdiri dari dua (2) bagian, yaitu bagian objektif dan bagian

subjektif. Karena bagian objektifnya adalah suatu perbuatan maupun sikap yang

berlawanan dengan hukum pidana positif sehingga bersifat melawan hukum yang

menyebabkan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaran. Sebaliknya

bagian subjektif adalah kesalahan yang menujuk kepada pelaku agar

dipertanggungjawabkan di depan umum.

Bagi pendapat Tri Andrisman, pidana adalah mereka yang bertindak untuk

memenuhi syarat tertentu dikenakan hukuman yang disebut penderitaan atau

kesengsaraan yang direncanakan. Hukum pidana menuntut hukuman yang mutlak.

Hukum pidana bertujuan sebagai mekanisme pencegahan umum atau khusus

untuk mencegah anggota masyarakat melakukan pelanggaran hukum pidana.22

Untuk memberikan cerminan yang lebih luas dari penafsiran pidana, berikut

beberapa penafsiran pidana dari beberapa pakar hukum pidana dijelaskan di

bawah ini.23

a. Prof. Sudarto S. H, memberitahukan bahwa yang diartikan sebagai kata

pidana ialah kesengsaraan yang disengaja kepada mereka yang

melakukan tindakan yang memenuhi persyaratan tertentu.

b. Prof. Roeslan Saleh, Pidana merupakan respon terhadap kejahatan,

berupa kesengsaraan yang akan dijatuhkan negara kepada pelaku

kejahatan.

22
Tri Andrisman, “Asas-asas dan Aturan umum Hukum Pidana Indonesia”, Unila, Barda
Lampung, 2009, h. 8.
23
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2010, h. 2.
20

c. Ted Honderich, menjelaskan bahwa Punishment is an authority’

sinfliction of penalty (something involving deprivation or distress) on

an offender for an offence. “Hukuman adalah penjatuhan hukum tindak

pidana oleh penguasa (artinya pengambil alihan atau kegelisahan).”

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat sebelumnya, pengertian istilah

pidana adalah sekumpulan norma hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya

berupa klausula larangan dan syarat tambahan bagi pelanggar klausula larangan

tersebut dikenakan sanksi yang hanya bisa dipisahkan oleh Negara.

2. Jenis- jenis Pidana

Dalam KUHP BAB II PIDANA terdapat dalam pasal 10 menyebutkan

jenis- jenis pidana ialah sebagai berikut :

Pidana terdiri atas :

a. Pidana Pokok :

1. Pidana Mati;

2. Pidana Penjara;

3. Pidana Kurungan;

4. Pidana Denda;

5. Pidana Tutupan.

b. Pidana Tambahan:

1. Pencabutan hak- hak tertentu;

2. Perampasan barang- barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim.


21

B. Pertanggungjawaban Pidana dan Unsur-unsur Pertanggungjawaban

Pidana

Permasalahan dalam hukum pidana berkaitan dengan pertanggungjawaban

pidana dan pemidanaan. Peranggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban

orang tersebut atas kejahatan yang mereka lakukan, dan secara tegas, orang

tersebut bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka lakukan.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing dinyatakan sebagai

torekenbaarheid (Belanda), dan criminal responbility maupun criminal lialibility

(Inggris). Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah

seorang terdakwa atau tersangka dapat dimintai pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban pidana menyebabkan orang melakukan tindak pidana. Jika

seorang tidak melakukan kejahatan, maka tidak akan dihukum. Hal ini sejalan

dengan asas hukum pidana bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen

staf zonder schuld). Asas ini tidak ditemukan dalam hukum tertulis Indonesia,

tetapi tidak dalam hukum tertulis Indonesia saat ini. KUHP tidak memberikan

rumusan tentang pertanggungjawaban pidana sampai topik ini dipelajari secara

rinci dari sudut pandang pengetahuan.

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam hal

ini berkaitan dengan kesalahan. Karena pertanggungjawaban pidana adalah

tanggung jawab orang tersebut atas kejahatan yang dilakukannya, dan secara tegas

dikatakan bahwa orang tersebut bertanggung jawab atas kejahatan yang

dilakukannya. Ada hubungan yang erat antara rasa bersalah dan

pertanggungjawaban pidana. Hal ini disebabkan adanya asas tidak dikenakan


22

sanksi, dan dengan tidak adanya kesalahan pertanggungjawaban pidana, terlebih

dahulu harus ada unsur yang harus dipatuhi terlebih dahulu:

1) Perbuatan yang melawan hukum (unsur yang melawan hukum).

2) Jika tidak ada kesalahan, seorang tidak akan dihukum. Hal ini sejalan

dengan asas hukum pidana bahwa tidak dipidana jika tidak ada bersalah

(geen staf zonder schuld).

Seorang pembuat maupun pelaku (faktor kesalahan) yang diyakini dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka yang melakukan tindak pidana

akan dihukum jika melakukan kesalahan. Mereka yang melakukan kesalahan akan

dihukum jika mereka dituduh melakukan tindak pidana.

C. Pengertian Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pidana dapat disebut sidang untuk menentukan sanksi dan untuk

menjatuhkan sanksi hukum pidana. Kata “Pidana” umumnya dipahami sebagai

hukum, sebaliknya “Pemidanaan” dipahami sebagai hukuman. Ada beberapa

komentar tentang teori pemidanaan, yang dapat dibagi menjadi tiga (3) kelompok

utama:

a) Teori Absolut

Dasar dari teori ini adalah pembalasan. Hal tersebut menjadi dasar

pembenaran penjatuhan penderitaan terhadap penjahat dan pelaku kejahatan

dalam bentuk hukuman. Negara berhak penjatuhkan pidana karena pelaku

kejahatan telah menyerang hak dan kepentingan hukum yang dilindungi (individu,

warga atau negara). Oleh karena itu, ia harus dihukum atas apa yang telah
23

dilakukannya (dalam bentuk kejahatan). Ada dua (2) arah untuk pembalasan

pidana.

1. Diperuntukkan untuk penjahatnya (sudut subjektif balas dendam).

2. Tujuannya adalah untuk memuaskan perasaan dendam digolongan

warga.

b) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan didasarkan pada premis bahwa pidana adalah

alat untuk menegakkan ketertiban sosial (hukum) dalam warga. Tujuan suatu

pidana adalah untuk mencegah terjadinya suatu kejahatan guna memelihara

ketertiban dan kesusilaan masyarakat, hingga pidana mempunyai tiga (3) macam

ciri:

1. Bersifat menakut-nakuti (afschikking).

2. Bersifat membetulkan (verbetering/reclasering).

3. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

Sifat pencegahan ada dua (2) yang berbeda, yaitu:

1. Pencegahan umum (general prevention).

2. Pencegahan khusus (special prevention).

c) Teori Gabungan

Teori gabungan ini didasarkan pada teori pembalasan dan teori pertahanan

tata tertib warga. Teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua (2) golongan yaitu:

1. Suatu teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan tidak boleh melebihi batas-batas yang diperlukan dan

pantas untuk memelihara ketertiban sipil.


24

2. Teori majemuk yang mengutamakan perlindungan ketertiban sipil,

tetapi penderitaan yang dipidana tidak boleh lebih buruk dari apa

yang coba dilakukan oleh terpidana.

Pemidanaan dan penjatuhan putusan terjadi tidak hanya melalui proses

peradilan. Proses yang diamanatkan secara hukum cepat, mudah, dan murah.

Dalam proses penuntutan dan penilaian pidana, mereka tidak hanya tunduk pada

sistem dan peraturan, tetapi juga menahan pihak-pihak tertentu seperti terdakwa,

tersangka, penyidik, jaksa penuntut umum, hakim dan penasihat hukum.24

2. Tujuan Pemidanaan

Tujuan yang mau dicapai dari sesuatu pemidanaan pada dasarnya ada tiga

(3) pokok pemikiran ialah :

a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

b) Untuk memunculkan dampak jera untuk pelaku.

c) Untuk membuat penjahat tertentu tidak sanggup melaksanakan

kejahatan lain.

Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah:25

a) Menakut-nakuti orang dan mencegah mereka melakukan kejahatan

secara nakut-nakuti orang atau mengancam orang-orang tertentu yang

telah melakukan kejahatan agar mereka tidak melakukan kejahatan

lagi di kemudian hari.

b) Mengajarkan dan mengoreksi orang-orang yang berbuat jahat agar

menjadi pribadi yang baik sehingga dapat berguna bagi orang banyak.
24
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 34.
25
Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta,
1980, h. 3.
25

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana

perlindungan warga dalam rehabilitasi dan sosialisasi kembali ketaatan terhadap

hukum adat dan aspek psikologis untuk menghapuskan dosa-dosa para pelakunya.

Walaupun pidana adalah suatu nestapa tapi tidak untuk menyedihkan, ditakdirkan

untuk melemahkan atau merendahkan martabat manusia.

D. Pengertian Senjata Api dan Kepemilikan Senjata Api Berdasarkan

Undang-undang

1. Pengertian Senjata Api

Senjata api adalah setiap alat, baik terpasang maupun tidak, yang dapat

dioperasikan atau tidak lengkap, yang dirancang diganti dengan mudah sehingga

dapat menghasilkan proyektil akibat tumbuhnya gas yang dihasilkan dari

penyalaan bahan mudah terbakar pada peralatan tersebut. Peralatan tambahan

yang dirancang dan dimaksudkan untuk instalasi tersebut. Banyak senjata api

illegal digunakan oleh masyarakat umum dan menggunakan senjata api bukan

untuk melindungi diri tetapi digunakan untuk melakukan tindakan kriminal mulai

dari perampokan hingga pembunuhan. Hal ini tentu akan membuat warga resah

karena penjahat yang menggunakan senjata tidak segan-segan menggunakan

senjata api sesuka hati.

Banyaknya kasus perampokan dan pembunuhan dengan menggunakan

senjata api dapat dilihat di beberapa media cetak mulai dari media massa hingga

media online. Apalagi ada beberapa anggota Polri yang meninggal dunia akibat

aksi bunuh diri dengan menggunakan senjata api. Selain itu, negara yang diwakili

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia menguasai kepemilikan senjata api


26

terhadap Polri sendiri dan masyarakat sipil yang berniat memiliki senjata api. Bagi

penduduk sipil untuk memiliki dan menggunakan senjata api, ada tata cara

tertentu dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan

pemberian izin kepemilikan senjata api dalam Pasal 9 disebutkan bahwa setiap

orang yang bukan anggota TNI atau Polri yang memakai senjata api. dan memiliki

senjata api wajib memiliki izin penggunaan senjata api untuk contoh yang

diresmikan oleh Kepala Kepolisian Negara.

Senjata api memiliki berbagai jenis, baik yang digunakan dalam lingkup

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI maupun yang digunakan di luar

lingkup Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI. Senjata api yang

digunakan dalam lingkup Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI adalah

senjata api yang digunakan oleh satuan-satuan tersebut dalam menjalankan

tugasnya. Ada juga jenis sebagai berikut:

a. Revolver model 66 kal. 357

Dari Amerika Serikat, panjang dan berat senjata adalah 241 milimeter

dan 35 ons laras panjang 102 milimeter, jarak tembak 25 meter, isi

magasin 6 peluru.

b. Revolver model 28 kal. 357

Dari Amerika Serikat, panjang dan berat senjata adalah 285 milimeter

dan 4,2 kilogram, panjang laras 152 milimeter, jarak tembak 25

milimeter, isi magasin adalah 6 peluru (silinder).


27

c. Pindad P1 Kal Pistol. 9 mm

Dari Indonesia, panjang dan berat senjata 196 milimeter dan 0,9

kilogram, panjang laras 118 milimeter, jarak tembak 1080 meter.

Majalah itu berisi 13 peluru.

d. Senjata isyarat Rusia kal. 26 mm

Dari Rusia, panjang senjatanya adalah 8 inci, panjang larasnya adalah

45 inci.

e. Pistol Meter AS. 1991 A1 kal. 45 mm

Dari Amerika Serikat, panjang dan berat senjata adalah 469 9 meter dan

101 65 gram, panjang laras 127 milimeter, jarak tembak 1440 meter,

majalah berisi 7 peluru.

Sedangkan senjata api yang digunakan di luar lingkup Tentara Nasional

Indonesia (TNI) dan POLRI adalah senjata api milik perorangan atau instansi

pemerintah yang telah memiliki pesan izin khusus kepemilikan senjata api.

Senjata api yang dapat dimiliki oleh perorangan adalah senjata api untuk latihan

menembak, senjata api untuk mencari dan senjata api untuk koleksi. Ada pula

senjata api yang boleh digunakan di luar lingkup Tentara Nasional Indonesia

(TNI) dan POLRI dibatasi jika senjata api tersebut:

a. Tidak otomatis;

b. Senjata bahu dengan kaliber maksimum 22 atau kaliber lain;

c. Pistol dengan kaliber maksimum 32 atau kaliber lainnya;

d. Senjata Bahu (laras panjang) hanya dengan kaliber 12 GA dan kaliber

22 dengan jumlah maksimal 2 buah per orang;


28

e. Jenis senjata api dengan peluru karet atau gas (IHKSA) tersebut antara

lain: revolver kaliber 22/25/32 dan senapan bahu Shotgun kaliber 12

milimeter;

f. Untuk keperluan bela diri, seseorang hanya boleh memiliki senjata api

genggam jenis revolver kaliber 31/25/22 atau senjata api bahu jenis

shotgun kaliber 12 milimeter dan untuk senjata api (IHKSA) adalah

hunter 006 dan hunter 007 jenis.

2. Kepemilikan Senjata Api Berdasarkan Undang-undang

Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951 Pasal 1 ayat (2) mengatur

tentang pengertian senjata api dan amunisi bahwa semua benda dicantumkan

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan senjata api tahun 1936

(Stb. 1937 No. 170), yang telah diganti dengan peraturan tertanggal 30 Mei 1939

(Stb. No. 278), tetapi dalam penafsiran itu tidak disebutkan bahwa senjata “asli”

itu mempunyai kegunaan sebagai benda purbakala atau benda gaib dan bukan

merupakan senjata yang selalu dapat digunakan atau dibuat sedemikian rupa

sehingga tidak dapat digunakan. Menurut pasal 1 (Ayat 1) Undang-Undang

Senjata Api (LN 1937. No. 170) diganti dengan LN 1939 No. 278) tentang

Undang-Undang tentang senjata api (Pendapatan dan Pembongkaran) 1936 yang

artinya senjata api adalah :

a. Bagian senjata api,

b. Meriam dan penyembur api dan bagiannya,

c. Senjata tekanan senjata udara dan tekanan serta pistol isyarat dan

selanjutnya senjata api tiruan seperti pistol karakteristik bahaya pistol


29

ras revolver bahaya dan revolver ras revolver pistol mati suri dan

revolver kematian revolver suri dan benda-benda seragam lainnya

yang dapat digunakan untuk mencela atau menyetrum serta bagian-

bagian senjata dengan pengertian bahwa senapan angin, senapan

tekanan serta senjata tiruan dan bagian dari senjata hanya dapat dilihat

sebagai senjata api jika tidak benar-benar digunakan sebagai

permainan anak-anak.

Dilansir dari peraturan yang tercantum dalam Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948

tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api yang

dirumuskan sebagai berikut:

“Bahwa setiap orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang
memakai dan memiliki senjata api wajib memiliki izin konsumsi
senjata api misalnya yang diresmikan oleh kepala kepolisian
negara”.

Atas dasar ini, setiap izin yang dikeluarkan untuk kepemilikan atau

penggunaan senjata api (IKHSA) harus ditandatangani langsung oleh Kapolri dan

tidak dapat dilimpahkan kepada pejabat lain seperti Kapolda. Izin kepemilikan

senjata api hanya diberikan kepada pejabat tertentu. Berdasarkan persyaratan UU

No. 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Undang-Undang Senjata Api,

ada 4 golongan yang di dalamnya seseorang berhak atas izin kepemilikan senjata

api, yaitu:

a. Izin kepemilikan senjata api untuk membela diri hanya diberikan

kepada pejabat tertentu. Untuk ketentuannya, mereka harus dipilih

secara selektif. Masing-masing pegawai swasta atau perbankan,


30

pegawai pemerintah Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri dan

pensiunan. Bagi pejabat swasta atau bank masing-masing

diperbolehkan memiliki senjata api: presiden direktur komisaris,

presiden komisaris direktur utama dan direktur keuangan. Untuk setiap

pejabat pemerintah : Menteri MPR/DPR, Pimpinan Sekjen Irjen Dirjen

dan Sekretaris Kabinet serta Gubernur Wakil Gubernur, Sekwilda

Irwilprop Pimpinan DPRD dan anggota DPR/MPR.26

b. Ada pula jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri yang

diperbolehkan memiliki senjata api kecuali perwira besar dan perwira

menengah dengan pangkat terendah Kolonel tetapi memiliki tugas

khusus. Demikian juga untuk pensiunan perwira yang diperbolehkan

hanya perwira besar dan perwira menengah dengan pangkat terakhir

Kolonel yang memiliki jabatan penting di pemerintah/swasta.27

c. Anggota Perbakin (Persatuan Tembak Sasaran dan Perburuan Seluruh

Indonesia), untuk mencari setiap orang diperbolehkan memiliki 8

sampai 10 pucuk. Untuk berburu ini, senjata yang digunakan adalah

senjata laras panjang yang biasa disebut dengan senjata bahu.

Sedangkan untuk cabang menembak, anggota atau atlet tembak

diperbolehkan memiliki atau menyimpan senjata api sesuai dengan

nomor spesialisasinya.

26
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, Garsindo, Jakarta, 2009, h. 302.
27
Ibid, h. 303.
31

d. Warga Negara yang lulus uji kepemilikan senjata api di Kepolisian

Daerah dan disahkan oleh Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian

Republik Indonesia).28

E. Pengertian Efektivitas Penegakkan Hukum

Pada hakikatnya hukum mengandung gagasan atau konsep yang abstrak. Ide

abstrak merupakan harapan dari suatu negara yang ingin dicapai oleh hukum.

Efektivitas mengandung arti keefektifan akibat keberhasilan atau khasiat/

kemanjuran, membahas efektifitas hukum tentu tidak lepas dari menganalisis

karakteristik dua (2) variabel yang terkait, yaitu karakteristik/dimensi objek

sasaran yang digunakan. 29 Ketika berbicara tentang sejauh mana efektifitas

hukum, pertama-tama kita harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum

dipatuhi atau tidak. Jika suatu aturan hukum dipatuhi oleh sebagian besar sasaran

yang dipatuhinya, maka aturan hukum yang dimaksud dikatakan efektif.

Penegakkan hukum dalam arti sempit hanya menyangkut penegakan

peraturan yang formal dan tertulis saja. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam

arti luas dan penegakan aturan dalam arti sempit. Dan untuk menegaskan pada

hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum

bukan oleh orang, istilah sebaliknya the rule by the law, yang di maksudkan

sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat

kekuasaan belaka. Penegakkan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil

yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh

28
Dwi Yulianti dan Sabar Slamet, Pertanggungjawaban hukum penguasaan senjata api
dan amunisi tanpa izin oleh warga sipil, Vol. 3, No. 3, September- Desember 2014, h. 322.
29
Barda Nawawi Areif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bandung, 2013, h.67.
32

para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum

yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin

berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarkat dan

bernegara.30

Penegakkan hukum di indonesia masih memiliki problem yangsering di

tandai dengan ketidakpuasan subjek hukum ketika hukum itu sedang di

operasionalkan pada tahap awal sampai dengan tahap finalisasi hukum itu sendiri,

karena permasalahan penegakan hukum di indonesia masih sangat kental dengan

warna bahwa penegakan hukum itu belum terlaksana, penegakan hukum baru

berada dan berhenti pada penegakan peraturan perundang-undangan belaka atau

berhenti pada pintu masuk peraturan hukum tanpa mau masuk lebih dalam lagi ke

dalam dunia hukum yang sebenarnya.

Bronislaw Malinowski, memaparkan teori efektivitas kontrol sosial atas

hukum yang tercermin dalam 3 (tiga) masalah, yaitu;

1. Dalam masyarakat modern, ketertiban sosial dipelihara antara lain

dengan sistem kontrol sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum;

untuk melaksanakannya, hukum didukung oleh sistem alat-alat

kekuasaan (polisi, pengadilan dan sebagainya) yang diselenggarakan

oleh negara;

2. Dalam masyarakat primitif, alat kekuasaan seperti itu terkadang tidak

ada;

3. Jadi apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum.

30
Bambang waluyo, Penegakan Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta Timur,
2016, h. 9.
33

Bronislaw Manilowski menganalisis efektivitas hukum dalam masyarakat

yang terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu masyarakat modern dan masyarakat

primitif. Masyarakat modern adalah masyarakat yang perekonomiannya bertumpu

pada pasar yang luas, spesialisasi dalam industri, dan pemanfaatan teknologi

maju. Dalam masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat

yang berwenang ditegakkan oleh polisi, pengadilan, dan sebagainya. Masyarakat

primitif adalah masyarakat yang memiliki sistem perekonomian yang sederhana.

Dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat kekuasaan.31

Bahkan tidak hanya berfungsi sebagai kontrol sosial, tetapi juga

menjalankan fungsi rekayasa sosial (social-engi-neering atau instrument of

change). Dengan demikian, efektifitas hukum dapat dilihat baik dari segi fungsi

sosial kontrol maupun fungsinya sebagai alat untuk melakukan perubahan.

Menurut pendapat Soerjono Soekanto (1983), teori yang dapat mempengaruhi

efektifitas hukum dapat dirinci sebagai berikut:32

1. Faktor hukum itu sendiri;

2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum itu berlaku atau

diterapkan;

31
Salim, H. S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Rajawali Press, Jakarta, 2013, h.304-305.
32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h. 8.
34

5. Faktor budaya, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa berdasarkan

prakarsa manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Pandangan lain tentang efektifitas hukum oleh Clerence J. Dias, mengatakan

bahwa;33

An effective legal system may be describe as one in which there exists a high

degree of congruence between legal rule and human conduct. Thus anda effective

legal system will be characterized by minimal disparyti between the formal legal

system and the operativelegal system is secured by (Sistem hukum yang efektif

dapat digambarkan sebagai sistem di mana terdapat tingkat kesesuaian yang tinggi

antara aturan hukum dan perilaku manusia. Dengan demikian, sistem hukum

Anda yang efektif akan ditandai dengan disparitas minimal antara sistem hukum

formal dan sistem hukum operatif yang dijamin. Suatu sistem hukum yang efektif

akan dicirikan oleh kesenjangan yang minimal antara sistem hukum formal dan

sistem hukum operatif yang dijamin oleh):

1. The intelligibility of it legal system (Kejelasan sistem hukum);

2. High level public knowledge of the conten of the legal rules (Tingkat

pengetahuan masyarakat yang tinggi tentang isi aturan hukum);

3. Efficient and effective mobilization of legal rules (Mobilisasi supremasi

hukum yang efisien dan efektif):

a) A commited administration and (Administrasi berkomitmen dan);

33
Clerence J. Dias, Research on Legal Service And Poverty : its Relevance to the Design of
Legal Service Program in Developing Countries, Wash. U. L. Q 147 (1975). P. 150, Jurnal Marcus
Priyo Gunarto, Kriminalisasi dan Penalisasi Dalam Rangka Fungsionalisasi Perda dan Retribusi,
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2011, h. 70.
35

b) Citizen involvement and participation in the mobilization process

(Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses mobilisasi).

4. Dispute sattelment mechanisms that are both easily accessible of the

public and effective in their resolution of disputes and (Mekanisme

penyelesaian sengketa yang mudah diakses oleh masyarakat dan efektif

dalam penyelesaian sengketanya dan);

5. A widely shere perception by individuals of the effectiveness of the legal

rules and institutions (Persepsi individu yang tersebar luas tentang

efektivitas aturan dan institusi hukum).

F. Pengertian Warga Sipil

Istilah warga sipil sering kali dianggap kurang tepat. Penafsiran warga sipil

terkadang bertentangan dengan komunitas militer. Pada masa Orde Baru,

pemikiran seperti itu mendominasi. Warga sipil selalu dibandingkan dengan

kelompok militer. Dikotomi ini telah mereduksi makna sebenarnya dari istilah

Civil Society yang merupakan padanan kata sipil. Istilah sipil sebenarnya hanyalah

salah satu dari beberapa istilah lain dalam mengindonesiakan kata Civil Society.

Selain warga sipil, padanan kata lain yang sering digunakan adalah warga negara

yang beradab atau warga berbudaya, warga negara, dan warga negara sipil.

Warga sipil adalah mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata suatu

milisi atau suatu negara dan tidak ikut serta dalam suasana konflik bersenjata atau

perang militer yang bermusuhan. Sedangkan militer adalah bagian dari warga sipil

yang memiliki kualifikasi militer yang di didik dan dilatih untuk melaksanakan

pertahanan negara secara militer. Sedangkan penduduk sipil bukanlah orang yang
36

dilatih khusus untuk berperang dan tidak berhak memegang senjata api, kecuali

dengan izin tertentu atau di negara-negara yang legal penggunaan senjata api.

Baik warga sipil maupun militer sama-sama warga negara, sehingga hubungan

antara keduanya harus dijaga secara harmonis demi menjaga keamanan dan

ketertiban dalam suatu negara.

Tidak hanya itu, warga sipil juga didefinisikan sebagai masyarakat sipil

(Civil Society) yang merupakan konsep dalam bentuk warga negara yang sering

diperbincangkan hingga saat ini. Arti dan makna dari masyarakat madani (Civil

Society) itu sendiri beragam-ragam. Masyarakat madani (Civil Society) di

Indonesia memiliki banyak nama dimana satu nama hampir sama dengan nama

lainnya. Istilah-istilah tersebut dicetuskan oleh orang-orang yang berbeda seperti

Warga sipil Civilian (Mansour Fakih), Warga kenegaraan Citizens (Franz Magnis

Suseno dan M. Ryaas Rasyid), Wraga madani Civilians (Anwar Ibrahim,

Nurcholis Madjid, dan M. Dawam Rahardjo).34

Begitu pula sebaliknya dalam bahasa asing, civil society disebut dengan

beberapa nama seperti Koinonia Politice (Aristoteles), Societas Civilis (Cicero),

Comonitas Politica, dan Societe Civile (Tocquivile), Civitas Etat (Adam

Ferguson). Konsep civil society merupakan wacana yang telah mengalami proses

panjang. Konsep warga madani (civil society) atau masyarakat sipil merupakan

sebuah bangunan yang lahir dari sejarah perjuangan bangsa Eropa Barat. 35

Artinya, muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama ketika terjadi

transformasi dari warga feodal menjadi warga modern.

34
Suwarni, Pendidikan Kewarganegaraan, Arya Duta, Jakarta, 2011, h. 55.
35
Mochamad Parmudi, Kebangkitan Civil Society Di Indonesia, Fisip UIN Walisongo,
Jurnal at- Taqaddum, Vol. 7, No. 2, November 2015, h. 298.
37

Warga sipil merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris Civil Society

yang diambil dari bahasa latin civilas societas. Secara historis, karya Adam

Ferguson merupakan salah satu cikal bakal penggunaan ekspresi masyarakat sipil,

yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat sipil. Masyrakat sipil memiliki

2 (dua) bidang yang berbeda, yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial

ekonomi yang secara bersamaan diperjuangkan untuk kepentingan warga negara.

Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah kehidupan sosial

yang terorganisir, yang dicirikan oleh kesukarelaan (voluntary), kesembadaan

(self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian yang besar dalam

berurusan dengan negara, serta berkaitan dengan norma atau nilai hukum yang

dianut oleh masyarakat.

Arti lain dari istilah civil society adalah adanya penekanan pada ruang di

mana orang dan kelompok warga saling berhubungan dalam semangat toleransi di

suatu daerah atau negara. Dalam ruang ini, warga berpartisipasi dalam proses

pembuatan kebijakan publik. Tidak hanya itu, ada juga yang menguasai

masyarakat sipil sebagai perkumpulan warga yang beradab dan sukarela yang

hidup dalam suatu tatanan sosial dimana terdapat mobilitas dan kerjasama yang

besar antara seluruh elemen warga.36

Dari berbagai penafsiran yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

masyarakat madani (civil society) diwujudkan ke dalam berbagai organisasi yang

dibuat secara otonom oleh warga negara di luar pengaruh negara. Keberadaan

organisasi-organisasi tersebut memberikan peluang adanya ruang publik yang

36
Suryanto, Pengantar Ilmu Politik, Pustaka Setia, Bandung, 2018, h. 125.
38

memungkinkan mereka untuk memperjuangkan kepentingan tertentu. Bentuk lain

dari masyarakat sipil termasuk organisasi non-pemerintah (LSM), organisasi

sosial-keagamaan, asosiasi, dan kelompok kepentingan lainnya.

G. Pengertian Illegal

Pengertian legalitas yang memiliki kata dasar “Legal” adalah sesuatu yang

sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), legalitas memiliki arti mengenai syarat-syarat atau

keabsahan hukum. Artinya legalitas adalah berbicara tentang suatu perbuatan atau

barang yang diakui keberadaannya selama tidak ada syarat-syarat yang mengatur.

Jika berbicara tentang asas legalitas, bagi KUHP yang dimaksud dengan asas

legalitas adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang pada

hakikatnya suatu perbuatan tidak dapat dianggap pidana kecuali diatur dengan

undang-undang. Kekuatan peraturan perundang-undangan yang ada, atau sesuai

dengan adegium yang berbunyi non obligate lex nisi promulgate diundangkan

atau yang memiliki arti peraturan perundang-undangan yang tidak mengikat

kecuali telah diundangkan.

Dalam Kamus Bahasa Inggris Indonesia Kontemporer (The Contemporary

English Indonesia Dictionary), “illegal” berarti tidak sah, dilarang atau melawan

hukum, serta haram. Dalam Black's Law Dictionary illegal berarti “forbidden by

law, unlawfull” berarti yang dilarang oleh hukum atau melawan hukum.37 Di sisi

lain, pengertian illegalitas berasal dari kata “illegal” yang berarti tidak sah, tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum. Illegal adalah lawan

37
Milla Mudzalifah dan Puti Priyana, Implementasi Regulasi Tindak Pidana Illegal
Logging Terhadap kelestarian Lingkungan Hidup Ditinjau Dalam perspektif Hukum Lingkungan,
Jurnal Ilmu Hukum,Vol. 4, No. 2, Desember 2020, h.144.
39

dari legal. Suatu perbuatan atau barang dapat dikatakan tidak sah apabila

perbuatan atau barang tersebut tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Illegal dalam arti luas bagi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

tidak legal, tanpa hak, tanpa izin, tidak menurut hukum. Gagasan tanpa hak dan

tidak menurut hukum mempunyai wujud yang jelas dalam pemikiran yang

dipelopori oleh L. J. van Apeldoorn, tanpa hak mempunyai terminologi yang

disebut “wederrechtelijk” dalam hukum pidana diartikan bertentangan dengan

hukum in strijd met het rech atau melanggar hak orang lain yang memenuhi

krenking van eens anders recht dan tidak berdasarkan undang-undang niet

steunend op het recht.38 Pada permasalahan kali ini membahas tentang senjata api

illegal dimana kata illegal disini dapat diartikan tidak memiliki izin kepemilikan

dari pihak yang berwenang untuk mengedarkan izin kepemilikan senjata api.

38
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, h. 5.
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian diperlukan untuk mengetahui cara memperoleh data dan

keterangan dari suatu objek yang diteliti. Guna tercapainya dari penelitian ini

maka diupayakan pengumpulan data yang baik dan layak, yang dilakukan

meliputi :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian skrispi ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap fakta-fakta yang berkaitan untuk di teliti,

pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan yuridis Empiris.

B. Lokasi Penelitian

Dalam mendapatkan data dan informasi yang akan mendukung

penelitian ini, maka sepatutnya Penulis melakukan penelitian dengan

memilih lokasi penelitian di Kantor Kepolisian Resor Kota Tarakan Provinsi

Kalimantan Utara.

C. Sumber dan Jenis Data

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan gabungan dari

pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan normatif (normative

approach) terhadap peraturan perundang-undangan, pendekatan perkara hukum

(case law approach) dan pendekatan sejarah hukum (historical approach).

Pendekatan konseptual dilakukan dengan mempelajari asas-asas hukum pidana,

teori pemidanaan, teori pertanggungjawaban pidana dan teori kebijakan hukum

pidana. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mempelajari pola

40
41

pemidanaan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan senjata

api baik dalam bentuk hukum positif maupun dalam bentuk rancangan.

Pendekatan masalah dilakukan dengan mempelajari putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap terkait pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku pemilikan senjata api secara tidak sah yang dilakukan oleh warga

sipil sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan mempelajari sejarah

peraturan mengenai penggunaan senjata api oleh warga sipil.

D. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan secara nyata dengan konsep studi

penelitian sehingga diperlukan proses metode yang baik dan akurat agar dapat

mengumpulkan data yang diperlukan. Maka metode yang dapat digunakan untuk

mendukung data yang baik dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian Literatur (Literature Research)

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan landasan

teoritis dengan mempelajari buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel,

yang berkaitan dengan objek kajian penulis.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dilakukan langsung di lokasi penelitian dengan melakukan

wawancara untuk mengumpulkan data primer pada instansi atau pihak

yang berkaitan langsung dengan penelitian ini

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara

mengumpulkan berbagai data tertulis yang memiliki informasi terkait


42

dengan fenomena yang terjadi sesuai dengan subjek kajian penelitian.

Terkait pertanggungjawaban pidana terhdap warga sipil yang memiliki

senjata api secara illegal.

E. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum primer serta sekunder dengan memakai

referensi lewat berbagai sumber hukum.

1. Data sekunder berbentuk;

a) Bahan Hukum Primer

Dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana atas penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh

warga sipil:

1) Undang-undang Nomor. 12 Tahun 1951 dan;

2) KUHP

b) Bahan Hukum Sekunder

Berupa komentar (Pendapat) dari para ahli teori yang dapat membantu

mengungkap permasalahan dalam penelitian ini yaitu Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan senjata api oleh warga atas putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan komentar

(pendapat) para pakar/ahli hukum terkait pertanggungjawaban pidana penggunaan

senjata api secara tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh warga sipil.
43

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum ini berupa kamus bahasa ensikiopedia serta seluruh bahan

hukum yang bisa mendukung bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder.

2. Data Primer

Data primer diperoleh dengan mengambil data langsung dari pihak-pihak

yang terkait dengan kasus tersebut dan penelitian ini serta metode pencarian

informasi primer dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak Kepolisian

(Polres Kota Tarakan). Wawancara dilakukan dengan menggunakan metode bola

salju, artinya informasi menyampaikan pendapatnya tentang apa yang diteliti,

setelah informasi terkumpul peneliti mengevaluasi informasi yang ada. Informan

yang digunakan terdiri dari hakim, polisi, dan warga sipil yang ikut ambil bagian

dalam isu penyalahgunaan senjata api illegal.

3. Analisis

Setelah bahan hukum terkumpul, dilakukan analisis terhadap pengertian

hukum, norma hukum, dan putusan pengadilan dengan melihat isi dari berbagai

macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api illegal oleh warga sipil.

Analisis isi dilakukan baik terhadap data primer maupun data sekunder dengan

melakukan pelaksanaan, dengan memperhatikan dan melakukan penilaian

terhadap seluruh kebijakan hukum pidana yang terkait dengan

pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil setelah

itu disimpulkan dalam bentuk kesimpulan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Warga sipil yang memiliki senjata api harus mengikuti prosedur yang

ditetapkan. Izin ini harus diikuti dengan prosedur yang tepat dan persetujuan dari

pihak berwenang setelah serangkaian tes, termasuk tes psikologi untuk

mengetahui kondisi orang yang ingin memiliki senjata api, agar nantinya Senjata

Api itu tidak disalah gunakan. Senjata api yang digunakan untuk keperluan olah

raga, warga sipil juga dapat mengajukan permohonan untuk memiliki senjata api

untuk keperluan olah raga, serta dapat mencari sesuai dengan peraturan dan

ketentuan yang berlaku di Indonesia. Pemilik senjata api senantiasa dipantau

penggunaannya oleh pejabat yang berwenang. 39 Dalam hal ini, penduduk sipil

bisa dimaksud untuk memiliki atau menggunakan senjata api secara sah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sesuai dengan

profesi atau profesi pemegang lisensi (izin) senjata api dan penggunaannya, serta

kaliber peluru yang digunakan. Senjata api yang dimiliki oleh warga sipil

umumnya lebih kecil dari senjata api biasa digunakan oleh tim pertahanan

TNI/POLRI. Senjata api digunakan atau ditujukan untuk warga sipil dilumpuhkan

untuk mencegah pembuhunan.

Di bawah sistem hukum umum Indonesia, masyarakat sipil berhak memiliki

atau memahami senjata api. Izin ini diberikan tergantung pada profesi

penggunaannya, dan kebutuhan alat untuk melindungi diri sendiri. Hal ini

39
Bagoes Rendy Syahputra, Pertanggungjawaban Pidana atas Kepemilikian Senjata Api
Tanpa Ijin Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurist-Diction, Vol. 2, No.
6, November 2019, h. 4.

44
45

dikarenakan alasan tertentu, seperti profesi seseorang yang sangat membutuhkan

alat bela diri karena pekerjaan yang dilakukan berdampak menjadi korban. Suatu

kejahatan yang sangat berat, di luar TNI/POLRI, tetapi untuk kepentingan dinas,

orang-orang yang telah dilatih sebelumnya dipromosikan untuk melindungi

barang-barang, bangunan, atau tempat-tempat penting di dalam lembaga atau

industri tersebut. Juga dikenal sebagai unit keamanan industri atau institusional,

yang dapat mengajukan permohonan izin.40 Namun, senjata api yang dipesan oleh

penjaga (security) yang merupakan pemegang izin kepemilikan senjata api hanya

dapat digunakan dalam waktu yang ditentukan ini hanya selama jam kerja, setelah

itu senjata api akan ditempatkan atau disimpan kembali.

Pada dasarnya banyak permasalahan kriminal dalam penggunaan senjata api

seperti pencurian di jalan, yang saat ini menjadi bencana di Indonesia sendiri,

akibat penyalahgunaan kepemilikan senjata api oleh warga sipil yang memiliki

senjata api secara legal maupun illegal. Pencuri beraksi dengan menggunakan

senjata api untuk melukai bahkan membunuh korban. Atau bahkan menyebabkan

pembunuhan senjata api yang terjadi beberapa waktu lalu di Indonesia. Dan

lembaga penegak hukum sering menjadi korban kejahatan senjata api.

Dalam.beberapa kasus kejahatan senjata api di Indonesia, terdakwa tidak segan-

segan atau menembak korban, yang secara langsung berujung pada kematian

korban.

40
Evan Munandar, Suhaimi, dan M. Adli, Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan
dan Penggunaan Senjata Api Tanpa Izin dalam Sisitem Peradilan Pidana (The Tackling Of
Criminal Act On The Illegal Ownership And Use Of Firearms The Criminal Justice System), Syiah
Kuala Law Journal, Vol. 2 (3), Desember 2018, h. 339.
46

Dalam hal kepemilikan senjata di masyarakat sipil, setiap orang harus

memenuhi persyaratan dan mematuhi semua peraturan manajemen mengenai

penggunaan senjata, tetapi jika kepemilikan atau hak kontrol masyarakat sipil atas

senjata bukanlah memenuhi persyaratan atau izin yang diwajibkan oleh hukum

yang berlaku bahkan dalam penggunaan senjata api tidak digunakan dalam tindak

kejahatan atau intimidasi, atau tindak kejahatan lainnya, hak untuk memiliki

senjata itu dianggap illegal karena tidak memenuhi persyaratan kepemilikan

senjata api yang sesuai dengan peraturan yang berlaku terkait perizinan Senjata

Api sendiri. Yang dianggap illegal disini adalah tidak adanya izin kepemilikan

atau penggunaan atau penyimpanan Senjata Api tersebut karena orang atau badan

hukum yang memiliki atau menyimpan dan atau menggunakan Senjata Api

tersebut tidak dibenarkan atau tidak di izinkan oleh undang-undang yang berlaku

maka dari itu harus menyerahkan Senjata Api tersebut kepada pihak yang

berwenang. Di sebabkan telah undang-undang telah secara tegas menjelaskan dan

memberikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau badan hukum

yang ingin mengajukan kepemilikan atau penggunaan Senjata Api dilingkungan

masyarakat sipil di luar TNI/POLRI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Penggunaan Senjata Api,

Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie

Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen (Stbl 1948 No. 17) dan Perppu No. 20

Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang-

Undangan Mengenai Senjata Api. Semua penggunaan dan kepemilikan senjata api

oleh masyarakat sipil ditandai dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi,
47

serta hukum dan peraturan yang berlaku mengenai kepemilikan senjata api apabila

syarat tersebut tidak terpenuhi. 41 Keputusan ini dibuat, tetapi orang biasa atau

masyarakat sipil masih membawa senjata illegal. Pertama-tama, dia harus

bertanggung jawab atas tindakannya di muka peradilan, yaitu pelepasan atau

pengembalian senjata api illegal kepada otoritas dan mempertanggung jawabakan

perbuatannya sesuai dengan peraturan yang belaku di Indonesia.

A. Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan

Senjata Api Baik Yang Menggunakan Prosedur Ataupun Yang Tidak

Menggunakan Prosedur (Illegal) Bagi Warga Sipil

Bentuk pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api yang

prosedur harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan bagaimana orang tersebut

berhubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Jadi harus dilihat lagi bagaimana

seseorang bisa menyalahgunakan senjata api. Ada 2 (dua) jenis bentuk

pertanggungjawaban pidana atas penyalahgunaan senjata api, yaitu :

1. Bentuk Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api

Dan Amunisi Menggunakan Prosedur Menurut Ketentuan Yang Berlaku.

Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/82/II/2004, cara

kepemilikan senjata api dan amunisi harus memenuhi persyaratan-persyaratan

sebagai berikut :

a) Pemohon izin harus memiliki keterampilan menembak minimal

kelas III. Kualifikasi pada kelas III harus bisa berhasil

menggunakan sepuluh peluru dan membidik target dengan poin

41
Anak Agung Ngurah Bayu Ariadi, Pertanggungjawaban atas penyalahgunaan Senjata
Api, 2015, h. 4-5.
48

antara 120 sampai 129 yang dibuktikan dengan sertifikat yang

dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan Menembak yang sudah

mendapat izin Polri dan harus disahkan oleh pejabat Polri yang

ditunjuk.

b) Pemohon lisensi (izin) senjata api diharuskan memenuhi

persyaratan medis dan psikologis tertentu. Secara medis,

pemohon harus sehat jasmani, tidak cacat fisik, yang dapat

mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata

api serta memiliki penglihatan yang normal.

c) Pelamar haruslah orang yang tidak mudah gugup dan panik, tidak

emosional dan tidak cepat marah. Pemenuhan ketentuan ini harus

dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilakukan oleh tim yang

ditunjuk oleh Dinas Psikologi Mabes Polri.

d) Kelayakan, kepentingan, dan pertimbangan keamanan lainnya

dari calon pengguna senjata api harus diperhatikan, agar tidak

terjadi penyimpangan atau membahayakan nyawa orang lain.

e) Pemohon harus berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan

tindak pidana yang dibuktikan dengan SKKB.

f) Pemohon harus lolos seleksi yang dilakukan oleh Kasubdit IPP

dan Pamwassendak.

g) Pemohon harus berusia 21 tahun hingga 65 tahun; dan


49

h) Pemohon juga harus memenuhi persyaratan administrasi dan

memiliki Izin Hak Senjata Api Khusus (IHKSA).

Izin kepemilikan senjata api hanya diberikan kepada pejabat tertentu.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)

Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Menurut Undang-Undang

Senjata Api, ada empat (4) golongan dimana seseorang berhak memperoleh izin

kepemilikan senjata yaitu :

a) Pejabat swata atau bank, mereka yang diperbolehkan memiliki

senjata api, yaitu : presiden direktur, presiden komisaris,

komisaris, direktur utama, dan direktur keuangan. Pejabat

pemerintah, yaitu : Menteri, Ketua MPR/DPR, Sekjen, Irjen,

Dirjen, dan Sekretaris Kabinet. Demikian juga dengan Gubernur,

Wakil Gubernur, Sekwilda, Irwilprop, Ketua DPRD-I dan

Anggota DPR/MPR.

b) Jajaran TNI/Polri, mereka yang diperbolehkan memiliki senjata

api, yaitu : perwira tinggi dan perwira menengah dengan pangkat

serendah-rendahnya Kolonel namun memiliki tugas khusus.

Purnawirawan TNI/Polri, mereka yang diperbolehkan memiliki

senjata api, yaitu : perwira tinggi dan perwira menengah dengan

pangkat terakhir Kolonel yang memiliki jabatanpenting di

Pemerintahan/Swasta.

c) Anggota Perbakin (Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu

Seluruh Indonesia), untuk berburu setiap orang diperkenankan


50

memiliki 8 sampai 10 pucuk. Untuk berburu ini senjata yang

digunakan adalah senjata laras panjang yang biasa disebut dengan

senjata bahu. Sedangkan untuk cabang tembak sasaran, anggota

atau atlit tembak diperbolehkankan memiliki atau menyimpan

senjata api sesuai nomor yang menjadi spesialisasinya.

d) Masyarakat yang lulus tes kepemilikan senjata api di Kepolisian

Daerah dan disetujui oleh Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian

Republik Indonesia).

Terkait dengan penyalahgunaan senjata api yang memiliki prosedur ada

beberapa bentuk pertanggungjawaban yaitu :

1) Sanksi administratif

Sanksi administratif dapat diartikan sebagai sanksi yang dikenakan terhadap

pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat

administratif. Sanksi administratif dapat berupa denda, peringatan tertulis,

pencabutan izin tertentu, dan lain sebagaimana dengan ketentuan yang berlaku

yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian

Izin Pemakaian Senjata Api. Dalam proses mekanisme pencabutan izin

kepemilikan senjata api yang digunakan oleh para pelaku penyalahgunaan senjata

api berdasarkan dari Kapolres menyampaikan bahwa :

a. Pencabutan izin kepemilikan senjata api dilihat dari perbuatan pelaku

penyalahgunaan senjata api serta di buktikan dengan adanya barang

bukti dan surat izin kepemilikan senjata api yang sah.


51

b. Apabila izin kepemilikan senjata api digunakan dengan cara berbuat

semena-mena oleh pelaku terhadap orang lain (korban) akan

ditangkap oleh pihak kepolisian serta dikenakan Pasal 335 KUHP

tentang ancaman yang membahayakan orang lain dengan pidana

penjara paling lama satu (1) tahun atau denda paling banyak empat

ribu lima ratus rupiah.

c. Jika seorang warga sipil yang melakukan penyalahgunaan senjata api

yang sah dan berbuat tindak kejahatan/kriminalitas atas keputusan

pribadi maka dari itu izin kepemilikan senjata api dicabut/dirampas

selama-lamanya.

d. Apabila seorang aparatur negara yang melakukan penyalagunaan

senjata api atas unsur keputusan pribadi maupun perintah atasan, maka

dari itu aparat tersebut akan melalui proses penyelidikan, penyidikan

serta mempertanggungjawabakan perbuatannya dan pencabutan izin

pemakaian senjata api akan di cabut untuk sementara waktu sampai

aparat tersebut kembali bekerja.

e. Pencabutan izin kepemilikan senjata api yang digunakan dalam

melakukan kejahatan akan di cabut oleh pihak-pihak yang berwenang

seperti Mabes Polri yang mengeluarkan izin kepemilikan senjata api.

Penyalahgunaan senjata api ini sudah semakin beredar luas pemakaiannya,

oleh sebab itu agar dapat mengetahui hukuman mengenai penyalahgunaan senjata

api dan lebih berhati- hati lagi dalam menggunakan senjata api. Maka dari itu

terdapat sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi pelaku penyalahgunaan senjata
52

api dapat dilihat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 8

Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api

yang menyatakan :

a. Pasal 13 berbunyi :

Surat izin pemakaian senjata api (termasuk izin sementara) dapat di

cabut oleh pihak yang berhak memberikannya bila senjata api itu salah

dipergunakan, dan senjata api tersebut dapat dirampas.

b. Pasal 14 ayat (1) berbunyi :

(1) Barang siapa dengan sengaja :

a. Tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam Pasal

2, atau

b. Sehabis waktu 16 hari terhitung mulai hari penutupan

pendaftaran mempunyai senjata api tidak dengan izin

tersebut dalam pasal 9.

c. Melanggar langaran tersebut dalam Pasal 3 atau Pasal 4,

dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun dan

atau denda sebanyak-banyaknya lima-belas ribu rupiah

dan senjata apinya dirampas.

2) Proses penjatuhan sanksi pidana sesuai dengan pasal yang dilanggar

a. Apabila seseorang dengan senjaga maupun terang-terang melakukan

kekerasaan/pengeroyokan terhadap orang lain dengan menggunakan

senjata api sehungga mengakibatkan luka-luka, luka berat, serta

kekerasan mengakibatkan maut. Maka akan dikenakan Pasal 170


53

KUHP Ayat (1) dan (2) terkait kekerasan/pengeroyokan pelaku

terhadap korban yang berbunyi :

(2) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga

bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam

bulan.

(3) Yang bersalah diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahu, jika ia

dengan sengaja menghancurkan barang atau kekerasan

yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika

kekerasan mengakibatkan luka berat;

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika

kekerasan mengakibatkan maut.

b. Jika seseorang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dengan

motif pembunuhan menggunakan senjata api yang dimilikinya. Maka

akan dikenakan Pasal 338 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain,


diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun”.

2. Bentuk Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api

Tidak Memakai Prosedur (Illegal)

Bentuk pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan senjata api diatur

dalam Peraturan Senjata Api Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12
54

Tahun 1951 Tentang Mengubah “Ordonnantietijdelikjke Bijzondere

Starfbepalingen” (Stblm. 1948 No. 17) Dan UU Dahulu No. 8 Tahun 1948 yang

berbunyi : Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi

termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat 1 dari

Peraturan Senjata Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en losing) 1936

(Stbl. 1937 No. 170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939

(Stbl. No. 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang

nyata- nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib

(Merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat

terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.

Penyalahgunaan senjata api illegal telah diatur dalam Undang-Undang Darurat

Nomor 12 Tahun 1951. Tidak diatur secara tegas di dalam KUHP, tetapi

menjelaskan bagaimana pelaku tersebut melakukan kejahatan dan akan ditindak

secara tegas bagaimana cara mengatur tindak pidananya dari senjata api yang

dimilikinya secara tidak sah dan proses penjatuhan hukuman (sanksi) yang

diterimanya sesuai dengan putusan hakim.42

Dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenai tindak pidana penggunaan

senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, namun dalam KUHP batasan

seseorang untuk melakukan perbuatan berupa tindak kekerasan ada pada Pasal 49

ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa :

“Barang siapa melaksanakan perbuatan, yang terpaksa


dikerjakannya untuk mempertahankan dirinya ataupun diri

42
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
55

orang lain, mempertahankan kehormatan ataupun harta benda


sendiri ataupun kepunya orang lain, dari serangan yang melawan
hak serta mengancam dengan segera pada saat itu pula, tidak
boleh dihukum”

Berdasarkan peraturan ini, perbuatan berupa tindak kekerasan yang

dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dipidana, melainkan perbuatan kekerasan

yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 49

ayat (1) dapat dihukum. Selain Pasal 49 ayat (1) di atas, batasan untuk melakukan

perbuatan berupa tindak kekerasan juga diatur dalam Pasal 50 KUHP yang

dengan tegas menyatakan bahwa:

“Barang siapa melaksanakan perbuatan guna menjalankan


peraturan undang- undang, tidak boleh dihukum”.

Artinya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan dalam rangka

melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat dipidana, tetapi

apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan untuk melaksanakan suatu peraturan

perundang-undangan, maka pelakunya dapat dipidana. Pengendalian preventif

adalah pengendalian sosial yang dilakukan sebelum terbentuknya suatu

pelanggaran atau berupa “Mengancam Sanksi” atau upaya pencegahan terhadap

terbentuknya penyimpangan norma dan nilai. Jadi, upaya pengendalian sosial

preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan kontrol represif pengendalian

sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud untuk

memulihkan kondisi agar dapat berjalan seperti semula dengan dilakukan tipe

“Menjatuhkan ataupun membebankan sanksi”. Kontrol ini berperan dalam

memulihkan keharmonisan yang selama ini terhambat akibat pelanggaran norma


56

atau sikap menyimpang. Untuk mengembalikan kondisi ke keadaan semula maka

perlu dilakukan restorasi. Jadi, pengendalian di sini bertujuan agar pihak yang

berperilaku menyimpang menyadari akibat dari penyimpangan tersebut, serta agar

ia menaati norma-norma sosial.

Di Indonesia sendiri penerapan hukum terhadap tindak pidana penguasaan

senjata api masih menggunakan peraturan lama, yaitu Undang-Undang Darurat

Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api walaupun dalam penerapan sanksinya

belum relevan, karena peraturan tersebut belum mengatur secara detail mengenai

jenis senjata apa saja yang dikategorikan sebagai senjata organik TNI/Polri yang

tidak boleh dimiliki oleh sipil dan senjata yang bukan merupakan senjata organik

TNI/Polri yang boleh dimiliki oleh sipil, sedangkan Indonesia telah memiliki

peraturan yang mengatur secara khusus senjata non-organik TNI/Polri yaitu dalam

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 telah

mengatur senjata jenis apa saja yang diperbolekan dimiliki untuk kepentingan

olahraga, diantaranya adalah Air Soft Gun. Air Soft Gun merupakan mainan

senjata api yang berukuran 1:1 dengan jenis senjata aslinya. Mainan replika Air

Soft Gun (Senjata tanpa bubuk peledak) mengadopsi beragam jenis senjata-senjata

yang ada didunia, baik dari jenis pistol (revolver), submachinegun, assault rifle,

sniper rifle, shotgun sampai bazooka. Air Soft Gun adalah benda yang bentuk,

sistem kerja, dan/ atau fungsinya menyerupai senjata api yang terbuat dari bahan

plastik dan/atau campuran yang dapat melontarkan Ball Bullet (BB). Air Soft Gun

dikategorikan sebagai senjata olahraga yang boleh dimiliki oleh sipil dengan
57

persyaratan-persyaratan tertentu, akan tetapi peraturan ini juga belum relevan

karena belum memuat sanksi pidana bagi pelanggarnya.

Dalam Jaksa Penuntut Umum mendakwa para pelaku penyalahgunaan

senjata api menggunakan dakwaan tunggal, yakni melanggar Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, yang unsur-

unsurnya ialah :

1. Barang siapa;

2. Tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba

memperoleh, menyerahkan, mencoba menyerahkan, menguasai,

membawa, mempunyai persediaan padanya, atau mempunyai dalam

miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,

mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia senjata api,

amunisi, atau suatu bahan peledak.

Pertanggungjawaban hukuman bagi para pelaku berupa hukuman yang

dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor:

298/PID.B/2015/PN. TRK, telah sesuai dengan sanksi yang tertuang dalam

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, karena

terdakwa telah memenuhi salah satu unsur yang ada dalam rumusan Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 yakni

“Tanpa Hak”, namun kurang sesuai dengan rumusan Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Pertanggungjawaban pelaku

penguasaan senjata api dan amunisi organik TNI/Polri termuat

dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12


58

Tahun 1951: “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat,

menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan, mencoba menyerahkan,

menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya, atau mempunyai dalam

miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau

mengeluarkan dari Indonesia senjata api, amunisi, atau suatu bahan peledak,

dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup

atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh (20) tahun”.

Namun perlu disadari bahwa undang-undang tersebut merupakan produk lama

yang dibuat ketika keadaan Indonesia belum stabil pasca kemerdekaan. Undang-

undang tersebut belum menjelaskan secara rinci jenis senjata apa saja yang

merupakan senjata organik TNI/Polri dan non-organik TNI/Polri dan juga belum

menjelaskan perbedaan sanksi penguasaan senjata organik TNI/Polri dengan

sanksi penguasaan senjata non-organik TNI/Polri.

Sedangkan pertanggungjawaban pelaku penguasaan senjata non-organik

TNI/Polri sendiri belum termuat dalam peraturan yang mengatur secara khusus

tentang senjata non-organik TNI/Polri, yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Pengaturan ini hanya memuat jenis

senjata, persyaratan kepemilikan, prosedur perizinan dan belum memuat sanksi.

Namun tidak tepat jika mengatakan bahwa hakim melakukan penafsiran secara

analogi antara Air Soft Gun (Senjata tanpa bubuk peledak) dengan senjata api,

yang terjadi terkait dengan hal ini adalah perubahan dalam perundang-undangan.
59

B. Hambatan Penegakkan Hukum Bagi Masyarakat Sipil Yang Memiliki

Senjata Api Secara Illegal

Hambatan menurut KBBI adalah halangan atau rintangan, yang di hadapi

pihak kepolisian dalam menegakkan hukum bagi pelaku penyalahgunaan

dikarenakan banyak memiliki problematika yang sangat sulit di hadapi oleh

pemerintah. Menurut penulis, hambatan adalah suatu kendala yang membuat sulit

terlaksananya suatu aturan atau penegakan dalam memberantas suatu perbuatan

yang menyangkut kriminal, maupun secara umum, hambatan pula menjadi daya

tarik agar lebih gesitnya penegak hukum dalam mengatasi hambatan dari proses

penyelidikan, penyidikan hingga sampai seseorang dinyatakan bersalah.

Senjata api adalah senjata yang berbahaya dan sangat mematikan jika

dibandingkan dengan senjata tradisional lainnya, oleh karena itu tidak boleh

dimiliki dan digunakan oleh warga sipil. Beberapa warga berpendapat bahwa

memiliki senjata api bela diri berlisensi resmi hanya akan membuat pemiliknya

bersikap arogan dan sok jagoan. Warga sipil boleh memiliki senjata api sebagai

perlengkapan bela diri, tetapi harus mematuhi syarat dan ketentuan yang sulit

(Tidak mudah).

Kepolisian wilayah Provinsi Kalimantan Utara dalam melakukan/

melaksanakan penegakan hukum terhadap warga sipil yang menyalahgunakan

senjata api memiliki kendala (Hambatan) karena senjata api yang mereka gunakan

illegal dan senjata api tersebut tidak selalu dibawa, dipamerkan atau diperlihatkan

kepada orang lain di tempat umum. Membiarkan warga sipil memiliki senjata api

adalah kesalahan serius bagi penegak hukum, karena mereka ingin memprovokasi
60

penggunaan senjata api secara illegal oleh pihak-pihak yang tidak lulus uji

kepemilikan senjata tetapi berkeinginan untuk memilikinya warga negara amat

majemuk dari sisi manapun baik dari budaya, agama, bahasa, dan tingkat

pendidikan. Karena sangat beragam sehingga selalu ada potensi konflik di antara

mereka meskipun ada hukum positif yang berlaku, meski telah ada ideologi

negara yang mempersatukan, meski telah ada bahasa nasional yang memudahkan

untuk berbicara, padahal bangsa yang majemuk ini dikenal sangat santun. Dalam

realita (kenyataanya) konflik fisik sering terjadi baik karena permasalahan yang

sangat serius atau hanya karena masalah sepele dan sayangnya kepemilikan

senjata api oleh masyarakat sipil hanya akan memperburuk konflik fisik antar

anak bangsa. Serta aspek pemicu penggunaan senjata api secara illegal oleh warga

sipil, terdapat 3 (tiga) aspek dominan yaitu : aspek pertama lemahnya kontrol,

aspek kedua lemahnya ketentuan hukum, dan aspek ketiga kurangnya pemahaman

warga tentang hukum dan bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api

illegal. Namun dari ketiga aspek tersebut, pemaknaan posisi warga sipil dalam

meminimalisir terbentuknya peredaran senjata api illegal, pemahaman warga sipil

sangat diperlukan, karena polisi hanya fasilitator untuk menciptakan kedisiplinan

di masyarakat, dan memiliki banyak keterbatasan, oleh karena itu jika aspek

pemahaman warga terhadap hukum dan bahaya yang ditimbulkan dari

penggunaan senjata api masih kurang.43

Hambatannya yang cenderung bersifat negatif, dikarenakan memperlambat

laju suatu hal dalam melakukan penegakan hukum seringkali ada beberapa hal

43
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
61

yang menjadi penghambat tercapainya penegakan hukum, baik itu hambatan

dalam pelaksanaannya maupun dalam hal pengembangannya. Selain itu,

kepolisian juga memiliki kendala dalam menanggulangi kejahatan dengan

menggunakan senjata api. Banyaknya gejala-gejala yang muncul dari pola

interaksi yang mempengaruhi kepolisian dalam menanggulangi kejahatan-

kejahatan tersebut yaitu :

1. Kurangnya pengawasan pihak kepolisian terhadap perdagangan senjata api

secara pasar gelap dengan harga jual yang murah dan proses yang mudah.

Kurangnya pengawasan pihak kepolisian terhadap perdangan senjata api

gelap, maka banyak masyarakat yang ingin memiliki senjata api, meskipun

ketentuan hukum sudah mengatur kepemilikan persenjataan. Namun disisi lain,

maraknya kepemilikan senjata juga dilihat dari aspek rasa keamanan masyarakat.

Peningkatan kepemilikan juga dipicu oleh rasa aman yang kini sangat sulit

diperoleh masyarakat. Angka kejahatan yang tinggi berakibat tumbuh suburnya

jual-beli senjata api secara illegal warga sipil memang jadi lebih merasa aman dan

percaya diri, namun masyarakat lain justru bisa terganggu keamanannya jika

mereka tidak dapat menahan emosinya dan tidak bisa bertanggung jawab.

Masyarakat memang mendapatkan keuntungan yang besar dengan menjual

senjata api rakitan kepada seseorang. Namun keuntungan pribadi itu tidak sepadan

dengan risiko yang ditimbulkan akibat perdagangan tersebut. Siapa yang bisa

menjamin 100% bahwa senjata api tu digunakan untuk apa nantinya. Seandainya

tidak terlepas dari kenyataan jika senjata-senjata api tersebut menjadi barang

sewaan untuk melakukan teror, perampokan, dan kejahatan lainnya.


62

2. Kurangnya Hukuman Maksimal kepada pemilik senjata api illegal.

Pada dasarnya sanksi yang diancam sesuai dengan Undang-undang Darurat

Nomor. 12 Tahun 1951. Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Barangsiapa, yang

tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,

menyerahkan, atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai

persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,

menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu

senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati

atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-

tingginya 20 (dua puluh) tahun”.

3. Kebutuhan anggaran dana kepolisian yang belum sesuai dengan standar

kebutuhan patroli.

Kurangnya anggaran dana yang dibutuhkan kepolisian dalam melakukan fungsi

patroli untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi pada masyarakat

membuat terhambatnya penanggulangan tersebut.

4. Terbatasnya jumlah personil kepolisian dalam melaksanakan fungsi patrol

kepolisian.

Hambatan yang dialami oleh kepolisian dalam menanggulangi kejahatan-

kejahatan dengan menggunakan ancaman kekerasan maupun senjata api. Secara

bergantiannya kepolisian melakukan patroli di pos-pos tertentu didaerah yang

rawan akan kejahatan membuat terhambatnya kepolisian dalam mengusut secara

tuntas kasus-kasus tindak pidana yang terjadi, bahkan tidak jarang kasus tersebut

tidak terselesaikan secara tuntas.


63

5. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.

Salah satu perwujudan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya adalah

dengan adanya pelaksanaan siskamling (sistem keamanan lingkungan) secara

bergantian. Pelaksanaan siskamling ini telah sangat banyak memberikan bantuan

positif bagi keberhasilan kepolisian, namun pelaksanaan siskamling ini pun masih

terbatas dan hanya terlaksana didaerah-daerah tertentu saja.

6. Kurang aktifnya masyarakat terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di

lingkungan sekitarnya.

Pihak kepolisian merupakan pihak yang paling aktif mengadakan inisiatif

dan komunikasi dengan masyarakat terhadap suatu tindak kejahatan, akan tetapi

tidak sebaliknya dengan masyarakat. Masih takut dan enggannya masyarakat

dalam melaporkan ataupun memberitahukan aparat kepolisian tentang adanya

suatu tindak pidana di lingkungan sekitarnya.

7. Faktor Internal

Hambatan yang dialami kepolisian juga memiliki beberapa faktor yang

memiliki kendala informasi untuk kendala penegakan hukum ini dimulai dari

kurangnya informasi yang diperoleh oleh kepolisian terhadap peredaran senjata

api yang beredar di kalangan masyarakat, kendala sumber daya manusia di

Kepolisian Daerah Kalimantan Utara dalam penyelesaian kasus penyalahgunaan

tindak pidana senjata api melalui satuan Reserse Kriminal masih kurang anggota

dengan keahlian khusus dalam bidang keahlian mendeteksi senjata api, yang

dilakukan hanya mendeteksi dalam kapasitas tindak pidana umum yang dilakukan

dengan senjata api tidak pada peredaran dan pemasukan senjata api yang
64

dilakukan oleh pemasok senjata api dari luar daerah dan kendala legislasi, kendala

legislasi merupakan salah satu kendala yang juga menjadi kendala sangat penting

dalam penegakan hukum penyalahgunaan tindak pidana senjata api.

8. Faktor Eksternal

Faktor Eksternal merupakan penyebab atau hambatan yang terjadi di luar

kepolisian dikarenakan kurangnya peran masyarakat, masyarakat merupakan salah

satu faktor pendukung dari suatu penegakan hukum, jika masayarakat memahami

betul apa yang dikatakan dengan tindak pidana, apa saja yang dilarang dalam

suatu Undang-Undang serta mampu mengimplementasikan nilai kaidah yang

terkandung didalamnya dalam kehidupan tentu permasalahan hukum tidak akan

terjadi.

9. Faktor kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai

yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak

penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan

masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menegakannya. Sikap pelaku

tindak pidana membawa senjata api yang bersikeras bahwa kebiasaan adat mereka

yang harus di dahulukan sehingga pelaku menolak senjata tajam yang mereka

bawa untuk di sita, dan proses penyidikan tindak pidana membawa senjata api,

penyidik sangat kesulitan menentukan jenis-jenis senjata tajam apa saja yang
65

dilarang untuk dibawa karena dalam undang-undang yang mengatur senjata api

tidak dijelaskan secara rinci jenis-jenis senjata api tersebut.44

Upaya penanggulangan tindak pidana dengan penguasaan dan penggunaan

senjata api tanpa hak oleh masyarakat sipil meliputi upaya preventif dan represif.

Ada pula upaya hukum untuk fasilitas penal, yaitu KUHP, Undang-Undang

Darurat Nomor. 12 Tahun 1951 dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor. 8 Tahun 2012 serta kegiatan non penal berupa

pelaksanaan kegiatan pembelajaran sosial bagi masyarakat, peningkatan

kesejahteraan keluarga, serta kegiatan patroli dan monitoring dari aparat

keamanan.

Menanggulangi kejahatan penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil

menurut Saprinah Sadli, kejahatan atau kriminalitas merupakan salah satu bentuk-

bentuk perilaku menyimpang yang selalu hadir dan melekat pada setiap bentuknya

publik (masyarakat); tidak ada masyarakat yang bebas dari kejahatan, perilaku

menyimpang itu adalah ancaman nyata atau ancaman terhadap norma-norma

sosial yang kehidupan atau tatanan sosial yang mendasarinya; dapat menyebabkan

ketegangan-ketegangan individu atau sosial dan merupakan ancaman nyata atau

potensi kelanjutan tatanan sosial.45

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini mempunyai:

wewenang diskresioner, yaitu wewenang untuk bertindak demi kepentingan

umum berdasarkan penilaian diri. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun

44
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
45
Abintoro Prakoso, Kriminologi Dan Hukum Pidana, Laks Bangpres Sindo, Yogyakarta,
2017, h. 175.
66

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polisi adalah segala-galanya

berkaitan dengan fungsi dan kelembagaan kepolisian sesuai dengan peraturan

perundang-undangan perundang-undangan. Polisi diberi tugas untuk menyelidiki

dan menyelidiki kejahatan yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan tujuan dari

Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka langkah-langkahnya dilakukan oleh

pihak kepolisian sehingga terwujudnya tujuan tersebut adalah untuk melakukan

tugas daripada tugas preventif dan represif.46

DATA KASUS PENYALAHGUNAAN SENPI DI POLRES KOTA

TARAKAN BERDASARKAN TAHUN (2015-2020)

Gambar 1.1

Menurut data kasus yang ada dan berhasil terkumpul dari Polres Kota

Tarakan dalam kurun waktu lima (5) tahun terakhir. Dari tahun 2015 sampai 2020

di Kota Tarakan sendiri terdapat beberapa kasus tindak pidana menggunakan

46
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
67

senjata api yaitu pada tahun 2015 terdapat 4 kasus tindak pidana menggunakan

senjata api, dan pada tahun 2016 terdapat terdapat 2 kasus tindak pidana

menggunakan senjata api yang berhasil ditangkap polisi, pada tahun 2017 juga

terdapat 2 kasus tindak pidana penggunaan senjata api oleh warga sipil dengan

motif perampokan, pada tahun 2018 terdapat 5 kasus tindak pidana menggunakan

senjata api yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian karena berbagai motif

kriminal, dan pada tahun 2019 ditemukan 2 kasus pidana penggunaan senjata api

di beberapa rumah warga. Dan menurut data terakhir pada tahun 2020, tidak ada

kasus kejahatan senjata api dan tidak ada laporan yang diterima terkait kejahatan

senjata api. Dan jika dijumlahkan maka, jumlah penyalahguanaan senjata api yang

dilakukan oleh masyarakat sipil kurun waktu 5 tahun adalah 15 kasus. Dan berikut

ini adalah jenis-jenis senjata api yang digunakan para pelaku penyalahgunaan

ssnjata api.

JENIS-JENIS SENJATA API YANG DIGUNAKAN OLEH PARA


PELAKU PENYALAHGUNAAN SENJATA API

Gambar 1.2
68

Dari gambar diatas dapat kita ketahui bahwa jenis senjata api yang sering

digunakan pelaku oleh masyarakat sipil khusunya dalam melakukan kejahatan

yaitu dengan senjata rakitan sebanyak 2 buah dan 3 jenis senjata laras panjang.

Dan bagi aparat terdapat 2 pucuk pistol, 1 model senjata laras panjang serta 1

buah jenis senjata rakitan. Serta Otk (Orang tidak dikenal) disini adalah orang

yang identitasnya atau data diri mereka tidak terdata dalam keluarahan yang

mereka tinggali dengan kata lain mereka tidak memiliki surat domisili dari

kelurahan.

a. Warga Sipil

Dalam kasus penyalahgunaan senjata api kali ini hanya terdapat 1 kasus

yang masuk ke Pengadilan Negeri Kota Tarakan di tahun 2015 dengan Nomor

Perkara : 298/PID.B/2015/PN. TRK. Yang terdaftar pada hari jum’at, 04

september 2015, Klafikasi Perkara: Tindakan Pidana Senjata Apia tau Benda

Tajam, Terdakwa atas nama : Agus Suhartono Als Agus Bin Adrian, Penuntut

Umum atas nama : Ivan Gunawan, S.H, Penuntut Hukum Terdakwa atas nama :

Alfiah, S.H. Dengan dakwaan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951.

Status Putusannya oleh terdakwa bernama Agus Suhartono Als Agus Bin Adrian,

Pada hari/ tanggal : Rabu 07 Oktober 2015, Putusan : Pidana penjara waktu

tertentu (7 Tahun) pidana denda Rp. 1.000.000.000.00, subside penjara (3 Bulan).

Amar Putusannya :

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa AGUS SUHARTONO Alias AGUS Bin

ADRIAN (Alm) tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan


69

bersalah melakukan tindak pidana “Dengan tanpa hak

menyimpan, menerima, memilki senjata api rakitan jenis laras

panjang”.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa AGUS

SUHARTONO Alias Agus Bin ADRIAN (Alm) oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

3. Menetapkan selama terdakwa dalam tahanan dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Menetapkan agar barang bukti berupa;

• 1 (satu) buah pucuk senjata api rakitan jenis laras panjang;

Dirampas untuk Dimusnahkan;

6. Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar biaya

perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

Terdapat juga tuntutan terhadap masyarakat sipil yang memiliki senjata api

secara illegal. Penegakan hukum adalah proses melakukan upaya untuk

menegakkan atau benar-benar berfungsi norma hukum sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Dilihat dari subjeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek

yang luas, dapat juga disebut sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan

semua subjek hukum dalam setiap ikatan hukum. Setiap orang yang

melaksanakan ketentuan hukum normatif atau melaksanakan sesuatu atau tidak

melaksanakan sesuatu berdasarkan norma atau ketentuan hukum yang berlaku,


70

berarti dia sedang melaksanakan atau menegakkan ketentuan hukum tersebut.

Dalam arti sempit, dari segi materi pelajaran, penegakan hukum hanya

dimaksudkan sebagai aparat penegak hukum tertentu untuk menjamin dan

membenarkan penegakan hukum, bila diperlukan aparat penegak hukum

diperbolehkan menggunakan kekuasaan paksaan.

Tuntutan kepada pelaku kepemilikan senjata api illegal sesuai dengan

Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 disebutkan bahwa siapa yang tanpa ijin

memiliki atau menguasai Senjata Api secara illegal maka akan dihukum dengan

hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup dan atau hukuman penjara

paling lama 20 tahun. Tetapi tuntutan itu tidak akan berlaku apabila warga sipil

yang mempunyai senjata api secara illegal tersebut dengan inisiatif serta

keinginannya sendiri tanpa terlebih dulu diketahui oleh pihak yang berwajib

kemudian ia menyerahkan diri serta mengembalikan senjata api tersebut kepada

pihak yang berwajib, maka kepadanya pihak kepolisian hanya akan menerima

laporan tersebut serta melakukan pengecekan terhadap sipil tersebut dan mengenai

asal usul serta kegunaan senjata api tersebut. Tetapi apabila dalam pengecekan

diketahui jika masyarakat sipil tersebut pernah melakukan tindak kejahatan

ataupun pelanggaran pidana dengan memakai senjata api tersebut maka

kepadanya tuntutan itu bakal diberlakukan sesuai prosedur yang ada di pihak

kepolisian kemudian di serahkan ke pengadilan.47

47
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
71

b. Aparat Kepolisian

Terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi

diberlakukan hukum militer, tetapi hukum sipil dan di adili di pengadilan umum.

Tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api harus dilihat apakah

tindakannya tersebut atas perintah atasan atau atas inisiatif polisi itu sendiri. Akan

tetapi walaupun tindakan tersebut atas inisiatif sendiri, atasan tetap dimintai

pertanggungjawaban. Tentang penggunaan kekerasan dan senjata api menyatakan

bahwa penyalahgunaan atau penggunaan kekerasan dan senjata api yang

sewenang-wenang oleh penegak hukum harus dihukum sebagai pelaku tindak

pidana. Laporan dan tinjauan harus dilakukan setelah terjadinya penggunaan

kekerasan dan senjata api. Atasan harus bertanggungjawab atas semua tindakan

anggota polisi yang dibawah kepemimpinannya, jika atasan tersebut mengetahui

atau seharusnya mengetahui terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai

dengan prosedur tetapi tidak mengambil tindakan yang tegas dan jelas.48

c. OTK (Orang Tak Dikenal)

Orang tak dikenal (OTK) adalah pelaku penyalahgunaan senjata api yang

tidak di ketahui titik lokasi tempat tinggal mereka dan secara sengaja menembak/

menyerang para nelayan yang sedang menangkap ikan di laut dan mengakibatkan

luka maupun hilangnya nyawa seseorang akibat penembakan dari OTK tersebut.49

Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa tindakan aparat kepolisian

yang menyalagunakan senjata api merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi

48
Wawancara dengan Bapak Bripka Priyadi, S. H, Satuan Resor dan Kriminal, Kepolisian
Resor Kota Tarakan, Pada senin tanggal 20 September 2021.
49
Wawancara dengan Bapak Aiptu Taryanto, Biro Sumber Daya Manusia, Di Ruangan
Reskrim, Kepolisian Resor Kota Tarakan, Pada Jum’at tanggal 24 September 2021.
72

Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat penegakan

hukum berupa penggunaan ataupun penyalahgunaan senjata api yang tidak sesuai

dengan prosedur kepolisian ialah merusak integritas keseluruhan penegak hukum.

Di Indonesia pelanggaran Hak Asasi Manusia diproses sesuai dengan KUHP.

Mekanisme pertanggungjawaban pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh polisi

adalah:50

1. Ada dua (2) kriteria polisi melakukan pelanggaran Hak Asasi

Manusia, yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut dilakukan

atas tindakan anggota polisi sendiri/bukan atas perintah atasan akan

tetapi atasan dapat ikut bertanggung jawab apabila cukup bukti dan

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan atas perintah atasan.

2. Apabila pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut merupakan tindakan

atas keputusan pribadi anggota, maka yang bertanggung jawab adalah

anggota secara individu, dan harus diketahui legalitas, nesesitas dan

proporsionalitasnya. Kecuali ditemukan bukti bahwa atasan

mengetahui tindakan tersebut tetapi tdak mengambil tindakan

pencegahan, maka atasan juga ikut bertanggung jawab.

3. Jika tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan atas perintah

atasan, maka yang bertanggung jawab adalah atasan tersebut. Anggota

yang melakukan tindakan juga ikut bertanggung jawab setelah diuji

apakah tindakannya sesuai dengan prinsip legalitas, nesesitas, dan

50
Tim Pokja Lemdikat Polri T. A, Buku Panduan Hak Asasi Manusia Dalam Tugas Polri,
Jakrta, 2020, h. 92.
73

proporsionalitas dengan perbuatan petugas yang melanggar Hak Asasi

Manusia.

Dalam mewujudkan atau menanggulangi penyalahgunaan senjata api oleh

masyarakat sipil maupun aparat kepolisian yang sudah di amanatkan dari

peraturan perundang-undangan, maka kami (Pihak Kepolisian) melakukan

berbagai upaya baik penyelidikan, penyidikan, dan pengawasan terhadap senjata

api illegal maupun legal, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana

pengaruh-pengaruh yang timbul dalam masyarakat akibat penyalahgunaan senjata

api, maka Kepolisian Daerah Kalimantan Utara khususnya Polres Kota Tarakan

melakukan upaya sebagai berikut:51

1. Tindakan Represif

Tindakan represif merupakan tindakan nyata yang di lakukan oleh aparat

penegak kepolisian terhadap suatu perbuatan yang telah menyimpang atau

melanggar suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan

adanya tindakan represif dapat diharapkan menghentikan penyimpangan yang

terjadi serta mengurangi perbuatan yang sama di kemudian hari. Adapun upaya

represif (Penindakan) yang di lakukan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Utara

dalam hal ini adalah :

a. Penyelidikan

Penyelidikan di atur dalam pasal 1 butir 5 KUHAP, menjelaskan

bahwa serangkaian tindak penyelidik untuk mencari maupun

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna

51
Wawancara dengan Bapak Aiptu Taryanto, Biro Sumber Daya Manusia, Di Ruangan
Reskrim, Kepolisian Resor Kota Tarakan, Pada Jum’at tanggal 24 September 2021.
74

menentukan dapat tidaknya dilakukan penyilidikan menurut cara

yang di atur dalam undang-undang sedangkan yang dimaksudkan

dengan penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan

penyelidikan (Pasal 1 butir 4 KUHP). Pada Pasal 4 KUHP

disebutkan bahwa setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

adalah penyidik.

b. Penyidikan

Jalannya proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Resor dan

Kriminal Polres Kota Tarakan, terhadap terjadinya suatu peristiwa

yang patut diduga sebagai tindak pidana maka akan segera

melakukan penyidikan yang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 7 ayat

(1) KUHAP. Proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan

senjata api oleh masyarakat ini penyidik Resor dan Kriminal akan

melakukan penyidikan dengan bekerjasama oleh Unit Sat Intelkam

Dalam mengindentifikasi jenis senjata api yang digunakan oleh

pelaku. Jenis dan keterangan tersebut dapat memberikan informasi

tentang peredaran dan bagaimana cara penggunaan senjata api

tersebut. Dan juga akan diketahui dari mana asal senjata api tersebut

didapati oleh pelaku. Proses penyidikan dilakukan terhadap pelaku

hingga berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut

umum serta dilakukan serah terima barang bukti dan tersangka ke

pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap proses penyidikan.


75

Dalam proses penyidikan tersangka yang melakukan kejahatan

dengan menggunakan senjata api akan dikenakan Pasal berlapis

berdasarkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Penangkapan

Menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP dijelaskan bahwasanya

penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat

cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-

Undang. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang

cukup. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas

Kepolisian Daerah Kalimantan Utara dengan memperlihatkan surat

tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah

penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan

menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara

kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa tertangkap

tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah.

d. Melakukan Tindakan Hukum

Tindakan hukuman ini melalui proses terlebih dahulu di pengadilan.

Pengadilan dapat menjerat pelakunya dengan didasarkan pada

Undang-undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951 Lembaran Negara

1951-78 tentang Senjata Api. Kepolisian juga melakukan suatu


76

langkah antisipasi beredarnya senjata api di masyarakat. Penindakan

secara langsung oleh aparat kepolisian dilakukan dengan melakukan

razia selektif ataupun pemeriksaan ditempat-tempat yang padat

penduduknya seperti melakukan razia di jalan raya, di setiap lampu

merah, bahkan ditempat-tempat hiburan sekalipun dilakukan

pemeriksaan. Untuk tempat-tempat hiburan biasanya pemeriksaan

ataupun razia dilakukan oleh petugas keamanan atau satpam yang

telah bertugas disana. Hal ini merupakan suatu bentuk langkah yang

juga dapat membantu kepolisian dalam menanggulangi kejahatan.

2. Tindakan Preventif

Tidak kalah pentingnya dari peranan Kepolisian dalam mengungkap tindak

pidana senjata api yang dilakukan oleh masyarakat sipil ialah apa yang disebut

dengan tugas preventif, yaitu dengan melakukan sistem dan prosedur izin

kepemilikan senjata api yang ketat, melakukan patroli-patroli secara terarah dan

teratur, yaitu dengan melakukan razia pemeriksaan tersebut adalah untuk

memperkecil kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segera bertindak

preventif, untuk mengatasi peredaran senjata api pihak Kepolisian mengadakan

sweeping diberbagai tempat lokasi yang disinyalir tempat transaksi jual beli

senjata api illegal.

Langkah-langkah preventif yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah

Kalimantan Utara dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan senjata api oleh

masyarakat adalah :
77

a. Sistem dan prosedur izin kepemilikan senjata api yang ketat

Pencatatan dan prosedur yang ketat kepolisian juga bekerjasama

dengan perbankin Indonesia dalam pencatatan sipil kepemilikan

senjata api, dengan menggandeng Perbankin disetiap daerah,

wilayah peredaran senjata api setidaknya dapat diawasi diwilayah

masyarakat. Selain itu pastinya hal-hal mengenai jenis dan

klasifikasi senjata api Kepolisian Daerah Kalimantan Utara dapat

melibatkan yang diketahui oleh Perbankin.

b. Patroli

Patroli adalah salah satu kegiatan kepolisian yang dilakukan oleh 2

(dua) orang atau lebih anggota Kepolisian, sebagai usaha dalam

mencegah bertemunya niat dan kesempatan, dengan cara

mendatangi, mengamati/ mengawasi/ memperhatikan situasi dan

kondisi yang diperkirakan akan menimbulkan segala bentuk

kejahatan/gangguan keamanan ketertiban masyarakat yang

melanggar hukum, guna memelihara ketertiban dan menjamin

keamanan umum masyarakat. Dengan menugaskan beberapa

personil dalam operasi patrol polisi juga bekerja sama dengan

masyarakat sebagai pengawasan dan pengaduan tindak pidana yang

terjadi disekitar tempat tinggal masyarakat.

c. Razia

Melakukan kegiatan razia yang dilakukan secara menyeluruh dengan

mendatangi tempat-tempat yang diduga dan terindikasi rawan


78

penyalahgunaan senjata api. Selain itu juga dilokasi yang dicurigai

jalur lintas peredaran senjata api illegal yang masuk kedalam

wilayah Kota Tarakan yang umumnya terletak didaerah pinggiran

kota dan wilayah perlintasan provinsi. Dari kedua tugas tersebut,

maka yang lebih diutamakan adalah tugas preventif (Mencegah),

karena telah merupakan suatu kesimpulan bahwa lebih baik

mencegah timbulnya suatu penyakit, dari pada mengobati penyakit

yang telah timbul, disamping memerlukan biaya yang besar kadang-

kadang sulit untuk mengobati penyakit yang telah mendalam.52

Salah satu cara penanggulangan kejahatan adalah dengan membuat undang-

undang atau peraturan baru yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, sehingga setiap bentuk kejahatan harus dapat

dipertanggungjawabkan dimuka pengadilan, dalam hal ini aparat penegak hukum

akan melakukan tuntutan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan tersebut

kejahatan menurut perbuatan orang tersebut. Penuntutan adalah tindakan penuntut

umum (PU) untuk melimpahkan suatu perkara pidana kepada Pengadilan Negeri

(PN) yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-

undang dengan permintaan untuk diperiksa dan diputus oleh hakim di dalam

persidangan.

52
Wawancara dengan Bapak Aiptu Taryanto, Biro Sumber Daya Manusia, Di Ruangan
Reskrim, Kepolisian Resor Kota Tarakan, Pada Jum’at tanggal 24 September 2021.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bentuk pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api yang

menggunakan prodesur dapat dikenakan sanksi administratif atau sanksi

pidana yang terdapat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) UU No. 8

Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian

Senjata Api, dan proses pencabutan izin kepemilikan senjata api yang di

cabut oleh Mabes Polri terhadap pelaku penyalahgunaan senjata api

serta dikenakan Pasal 335 KHUP tentang ancaman membahayakan

orang lain. Serta penjatuhan sanksi pidana terhadap pasal-pasal yang

dilanggar oleh pelaku penyalahgunaan senjata api yaitu Pasal 170

KUHP Ayat (1) dan (2) tentang kekerasan dan pengeroyokan dan Pasal

338 KUHP yang dimana seseorang dengan senjaga menghilangkan

nyawa orang lain akan dipidana paling lama lima belas tahun penjara.

Serta bentuk pertanggungjawaban pelaku penyalahgunaan senjata api

yang tidak memiliki prosedur (illegal) akan dikenakan pasal yang sama

serta juga dikenakan pasal 1 ayat (2) yang ada didalam UU Darurat No.

12 Tahun 1951 tentang mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere

Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) Dan UU RI Dahulu Nomor 8

Tahun 1948.

79
80

2. Adanya kendala/hambatan bagi aparat penegak hukum dalam

menangani orang yang memiliki senjata api illegal terutama warga

sipil, karena kurangnya pengawasan polisi terhadap perdagangan bebas

senjata api, murahnya harga jual beli senjata api, proses yang tidak

sederhana, tidak ada sanksi yang maksimal bagi pemilik senjata api

illegal, dan pembatasan informasi tentang penegakan hukum.

Hambatannya dimulai dengan kurangnya informasi polisi tentang

senjata api yang beredar di masyarakat. Selain upaya kepolisian untuk

menanggulangi penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil, mereka

juga melakukan tindakan represif, yaitu tindakan nyata yang dilakukan

oleh aparat kepolisian terhadap kejahatan dan tindakan preventif yaitu

sistem dan prosedur perizinan senjata yang ketat, dan patroli rutin.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran yaitu:

1. Ketentuan hukum tentang bentuk sanksi penyalahgunaan senjata api

yang memiliki prosedur dalam penangkapan para pelaku

penyalahgunaan senjata api dan juga harus adanya peraturan

legislation harus dioptimalkan untuk supremasi hukum yang

dirumuskan adalah norma yang fungsinya mengatur tingkah laku atau

perbuatan orang yang dapat melakukan atau melanggar ketentuan

hukum bagi perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat

maupun bernegara.
81

2. Kepolisian harus meningkatkan kualitas mengatasi hambatan distribusi

senjata secara illegal. Meningkatkan sarana dan prasarana dukung kerja

polisi dalam mencegah peredaran senjata api illegal. Lebih memperkuat

pengawasan dan kontrol masyarakat sipil memiliki lisensi untuk

memiliki senjata api secara legal. Memperketat hak kepemilikan dalam

memberikan senjata kepada masyarakat sipil secara legal.


82

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdussalam, Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Restu Agung,
2007, h. 4.
--------------, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2011, h. 23-24.
Andrisman Tri, Asas- Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,
Barda Lampung, Unila, 2009, h. 8.
Arief Nawawi Barda, Muladi, Teori- Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung, Alumni, 2010, h. 2.
--------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bandung, 2013, h.
67.
Arrasjid Chainur, Dasar- Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2000,
h. 21.
Asikin Zainal, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, h. 10.
A.T. Lemmdikat Pokja Tim, Buku Panduan Hak Asasi Manusia Dalam
Tugas Polri, Jakarta, 2020, h. 92.
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, Rajagrafindo Persada,
2002, h. 81.
Hairi Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Pustaka Setia,
2012, h. 22.
HS. Salim, Perkembangan dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2009,
h. 22.
Istanto F Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat
Semesta Dan Hukum Internasional Andi Offset, Yogyakarta, 1992, h.
6.
Lamintang P. A. F, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1997, h. 3.
--------------, Dasar- Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku
Di Indonesia, Bandung, Sinar Baru, 1984, h. 23.
--------------, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico,1984, h. 47.
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Liberty,
Yogyakarta, 2003, h. 3.
Moeljatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, h. 1.
Nurbani Septiana Erlis, H. S. Salim, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis
dan Diseratsi, Jakarta, Rajawali Press, 2013, h. 304-305.
Prasetya Teguh, Hukum Pidana, Yogyakarta, Raja Grafindo Persada, 2011,
h. 7.
Prakoso Arbintoro, Kriminologi Dan Hak Hukum Pidana, Yogyakarta, Laks
Bangpres Sindo, 2017, h. 175.
Prodjodikoro Wirjono, Tindak- Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,
Jakarta, PT. Eresco, 1980, h. 3.
Pudyatmoko Y Sri, Perizinan, Jakarta, Garsindo, 2009, h. 302.
83

Remmelink Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal- Pasal Terpenting


Dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda Dan
Padanannya Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 5.
Saherodji Hari, Pokok - Pokok Kriminologi, Jakarta, Aksara Baru, 1980, h.
18.
Soekanto Soerjono, Faktor- faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, h. 08.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 2010, h. 107.
Suryanto, Pengantar Ilmu Politik, Bandung, Pustaka Setia, 2018, h. 125.
Suwarni, Pendidkan Kewarganegaraan, Jakarta, Arya Duta, 2011, h. 55.
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h.
34.
---------------, Penegakkan Hukum Di Indonesia, Jakarta Timur, Sinar
Grafika Offset, 2016, h. 9.

B. Jurnal
Batubara Sonya Airini, Siregar Suganda Kelima., Christin Yulia
Simatupang., Tinjaun Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan
Senjata Api Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil (Putusan Nomor:
79/PID. B/ 2016/ PN. BLG), Jurnal Hukum Kaidah, Vol. 18, No. 3,
2019.
Dias J. Clerence, Research on Legal Service And Poverty: its Relevance to
the Design of Legal Service Program in Developing Countries, Wash.
U. L. Q 147 (1975). P. 150, Jurnal Marcus Priyo Gunarto,
Kriminalisasi dan Penalisasi Dalam Rangka Fungsionalisasi Perda
dan Retribusi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, 2011.
Mudzalifah Milla, Priyana Puti, Implementasi Regulasi Tindak Pidana
Illegal Logging Terhadap kelestarian Lingkungan Hidup Ditinjau
Dalam perspektif Hukum Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4,
No. 2, Desember 2020.
Munandar Evan, Suhaimi., Adli M., Penanggulangan Tindak Pidana
Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Tanpa Izin dalam Sisitem
Peradilan Pidana (The Tackling Of Criminal Act On The Illegal
Ownership And Use Of Firearms The Criminal Justice System), Syiah
Kuala Law Journal, Vol. 2 (3), Desember 2018.
Parmudi Mochamad, Kebangkitan Civil Society di Indonesia, Finip UIN
Walisongo, Jurnal at- Taqaddum, Vol. 7, No. 2, November 2015.
Subiharta, Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu
Keutamaan (Legal Morality in Practical Law as a Virtue), Jurnal
Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 3, November 2015.
Syahputra Rendy Bagoes, Pertanggungjawaban Pidana atas Kepemilikan
Senjata Api Tanpa Ijin Berdasarkan Perundang-undangan di
Indonesia, Jurist-Dicton, Vol. 2, No. 6, November 2019.
84

Wahyudi Andy, Ismail, Afif Zaid, Proses Penuntutan Tindak Pidana


Kepemilikan Senjata Api Secara Illegal, Jurnal LPPM Universitas
Asahas, Vol. 1, No. 2, Mei 2020.
Yulianti Dwi, Slamet Sabar, Pertanggungjawaban hukum penguasaan
senjata api dan amunisi tanpa izin oleh warga sipil, Vol. 3, No. 3,
September- Desember 2014.
Yusman Herlin Eka., Pengawasan dan pengendalian senjata yang beredar
Di masyarakat (kajian paradigma normatif dan interpretatif dalam
kriminologi), e-Jurnal Katalogis, Vol. 3, No. 12, Desember 2015.

C. Peraturan Perundang- Undangan


Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

D. Hasil Wawancara
Wawancara dengan kepolisian bagian Satuan Resor dan Kriminal,
Mengenaai Bentuk Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Penyalahgunaan Senjata Api Yang Menggunakan Prosedur ataupun
Yang Tidak Menggunakan Prosedur (illegal) bagi Warga Sipil, serta
Tuntutan Terhadap Masyarakat Sipil Yang Memiliki Senjata Api
Secara Ilegal, Hambatan Penegakkan Hukum bagi Warga Sipil Yang
Memiliki Senjata Api Secara Illegal, Senin/ 20 September 2021.
Wawancara dengan kepolisian bagian Biro Sumber Daya Alam Manusia,
Mengenai Hambatan Penegakkan Hukum Terhdap Warga Sipil
Penyalahgunaan Senjata Api Illegal serta Tuntutan Terhadap
Masyarakat Sipil Yang Memiliki Senjata Api Secara Ilegal, Jum’at/24
Septemer 2021.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malaysia pada tanggal 27 juli

1998. Putri dari ayahanda Andi Alimuddin dan Ibunda Nani

(ALM). Penulis adalah anak ke-3 (tiga) dari 4 (empat)

bersaudara. Sekolah Dasar di SDN 279 Carima, Kab. Bone dan

lulus pada tahun 2011, kemudian melanjutkan Sekolah

Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kahu, Kab. Bone dan lulus pada tahun 2014.

Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA

Negeri 1 Kahu, yang dimana sekarang menjadi SMA Negeri 6 Bone, Kec. Kahu,

Kab. Bone, Sulawesi Selatan dan lulus pada tahun 2017. Dan pada tahun yang

sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Borneo Tarakan (UBT) melalui jalur

SNMPTN dan diterima di Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, dan berfokus

pada minatan Hukum Pidana. Pada tahun 2020 penulis pernah melakukan Kuliah

Kerja Nyata (KKN) Mandiri UBT Tanggap Covid-19 di Desa Carima, Kec. Kahu,

Kab. Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Dan pada tahun yang sama penulis juga

melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Kantor Pengadilan Negeri Watampone

1 A Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas

Hukum Universitas Borneo Tarakan. Penulis melaksanakan penelitian yang

berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Warga Sipil Yang Memiliki

Senjata Api Secara Illegal Di Kota Tarakan Kalimantan Utara”.


LAMPIRAN
SURAT KTERANGAN DARI KEPOLISIAN
KARTU BIMBINGAN SKRIPSI

Anda mungkin juga menyukai