Anda di halaman 1dari 14

PENGGABUNGAN CITRA SATELIT SPOT XS DENGAN FOTO UDARA

PANKROMATIK
(STUDI KASUS: DAERAH KODYA BANDUNG)

Harintaka1, Christine Noegroho Kartini2

ABSTRACT
There are various methods for image fusion, i.e. RGB to HIS transformation, PCA,
and Brovey. In this research, HIS and Brovey methods are implemented to merge aerial
photograph and SPOT XS image. Firstly, aerial photograph and SPOT XS imagery must
be registered and cut to obtain an identical area in both images. SPOT XS image are
resampled to aerial photograph to get spatial resolution which is equal to aerial
photograph. In order to identify discrepancies between HIS' fused image and Brovey's
fused image, image differencing is needed. And, spectral and radiometric of fused images
are evaluated using digital image classification.
The research shows image fusion of aerial photograph and SPOT XS using both
Brovey and HIS methods create new image that has spatial resolution equal with aerial
photograph and spectral resolution equal with SPOT XS. By visual interpretation, image
fusion using HIS method has better contrast rather than Brovey method. Image
differencing shows there is radiometric discrepancies between fusion using HIS and
Brovey methods. Meanwhile, the digital image classification's result are still not match
with real condition.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diperkirakan sampai saat ini ada puluhan macam satelit sumber daya alam dengan
berbagai jenis dan wahana yang masih beroperasi dan mengirimkan datanya ke
permukaan bumi. Pemilihan jenis citra satelit sumber daya untuk suatu aplikasi tertentu
umumnya mempertimbangkan kemampuanya dari segi resolusi temporal, spasial,
radiometrik, dan spektral, selain dari pertimbangan harga.
Beberapa contoh satelit sumber daya alam adalah: SPOT, Landsat, Adeos Avnir,
Radarsat, IRS, Quick Bird, dan IKONOS. Pada awalnya satelit-satelit tersebut didesain
untuk mengevaluasi sumber daya alam dan lingkungan (natural resources and
environment), tetapi dalam perkembangannya sangat prospektif untuk keperluan
pemetaan. Hal ini ditandai dengan kecenderungan semakin telitinya resolusi spasial dan

1
Harintaka, ST, MT, Staff Pengajar Jurusan Teknik Geodesi FT-UGM. E-Mail: harintaka@yahoo.com
2
Ir. Christine Noegroho Kartini, SU.Pj, Staff Pengajar Jurusan Teknik Geodesi FT-UGM

1
memanfaatkan rentang panjang gelombang yang tidak terbatas pada spektrum gelombang
tampak mata saja.
Sampai saat ini dalam satu wahana satelit belum mungkin untuk menggabungkan
keunggulan resolusi spasial dengan spektral, maka akan sangat strategis bila digunakan
metode penggabungan citra untuk menggabungkan kedua kemampuan tersebut, misalnya
penggabungan citra satelit SPOT XS dengan citra foto udara pankromatik. Jensen (1996)
menyatakan beberapa penelitian yang sudah dilakukan adalah penggabungan citra SPOT
pankromatik dengan SPOT XS, SPOT pankromatik dengan Landsat TM, citra
multispektral dengan citra radar, dan foto udara dengan SPOT XS atau TM. Setiawan dan
Istiyadi (1999) menggabungkan citra Landsat MSS dan JERS-1 SAR untuk keperluan
interpretasi geologi dimana dari citra hasil gabungan dapat diintepretasi 3 satuan
geomorfologi dan 9 unit litologi. Hasil intepretasi geologi tersebut ternyata dapat
meningkatkan pengenalan kenampakan geologi di permukaan bumi. Untuk memperoleh
citra gabungan yang tidak terdistorsi karakteristik spektral obyeknya, Effendi (1995)
sangat menyarankan untuk menerapkan pembobotan yang realistis pada saat penggantian
I (intensitas) dengan citra yang memiliki resolusi spasial paling tinggi.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penggabungan citra satelit SPOT
XS dengan citra foto udara, di mana kedua citra tersebut memiliki resolusi spasial dan
spektral yang berbeda. Citra SPOT XS memiliki 3 buah saluran dan resolusi spasial 20 m,
sedangkan citra foto udara hanya memiliki 1 buah saluran tetapi memiliki resolusi spasial
sekitar 1,27 m.

LANDASAN TEORI
Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Secara umum distorsi radiometrik pada citra satelit sistem optik disebabkan oleh
kondisi atmosfer yang harus ditembus oleh GEM (gelombang elektromagnetik) dari
sumber GEM (Matahari) ke obyek di permukaan bumi dan ke sensor satelit. Adapun
beberapa sumber penyebab distorsi radiometrik antara lain: kondisi atmosfer (pembauran
dan absorbsi), sensor striping, dan pencahayaan Matahari (Pohl, 1996).

2
Koreksi radiometrik diterapkan untuk mereduksi efek distorsi radiometrik yang
menyebabkan kekaburan pada citra. Untuk koreksi radiometrik umumnya diperlukan data
kondisi atmosfer pada saat pencitraan yang disimpan pada header citra satelit. Algoritma
koreksi radiometrik secara detail dapat disimak pada Richards (1986).
Pada dasarnya koreksi geometrik ditujukan untuk mengkoreksi kesalahan wahana
satelit yang bersifat sistematik atau non-sistematik. Koreksi distorsi geometrik yang
bersifat non sistematik membutuhkan beberapa titik kontrol tanah untuk
mentrasformasikan sistem koordinat citra yang masih sembarang ke peta dan umumnya
disebut rektifikasi. Pada saat rektifikasi dari satu sistem koordinat ke sistem koordinat lain
diperlukan persamaan transformasi. Adapun persamaan transformasi yang dapat dipakai,
antara lain: sebangun, affine, atau polinomial. Persamaan yang umum digunakan dan
dapat mengkoreksi kesalahan pergeseran, perbesaran pada skala x dan y adalah persamaan
affine. Rumus transformasi affine dua dimensi adalah (Jensen, 1996; Wolf, 1983):

x' = a0 + a1 x + a 2 y
.................................................................................................(1)
y ' = b0 + b1 x + b2 y
Dalam hal ini:
x', y' = koordinat titik dalam sistem koordinat citra asli
x, y = koordinat titik dalam sistem koordinat peta atau citra hasil
ao,..,a2, b0,..,b2 = parameter transformasi

Tingkat ketelitian rektifikasi diukur dengan besar kesalahan menengah rata-rata


(RMSerror). Semakin kecil besar RMSerror maka semakin teliti hasil rektifikasi. Pada
implementasinya sangat sukar memberikan batasan besar RMSerror maksimal sehingga
cukup diberikan catatan besar RMSerror yang diperoleh. Persamaan untuk menghitung
besar RMSerror adalah:

RMS error = ( x'− x) 2 + ( y '− y ) 2 ..............................................................................(2)


Dalam hal ini:
x', y' = Koordinat titik yang dianggap benar
x, y = Koordinat titik hasil hitungan

Setelah citra ditransformasi dari sistem koordinat sembarang ke sistem koordinat


tertentu, maka diperlukan resampling. Resampling atau interpolasi intensitas (intensity
interpolation) adalah penyadapan derajad kecerahan piksel dari posisinya di citra yang

3
belum terkoreksi geometrik ke posisinya yang baru di citra yang telah terkoreksi
geometrik. Ada 3 macam cara resampling, yaitu: tetangga terdekat (nearest neighbour),
interpolasi bilinear (bilinear interpolation), dan konvolusi kubik (cubic convolution).

Sistem Koordinat Warna dan Transformasinya


Pada penyajian citra dalam sistem warna RGB (Red, Green, Blue), warna
merupakan penjumlahan intensitas dari ke-3 warna tersebut yang dihubungkan dengan
sistem koordinat ruang RGB. Pada Gambar 1 disajikan sistem sumbu salib 3D warna
RGB di mana sumbu X=R, Y=G, dan Z=B. Definisi warna sendiri merupakan resultan
vektor dari RGB (Mastra, 1998).

Gambar 1. Sistem koordinat RGB. Gambar 2. Sistem koordinat HIS.


(Mastra, 1998). (Mastra, 1998).

Sistem warna HIS (hue, saturation, intensity) dalam sistem warna Munsell
digambarkan dalam sistem sumbu silinder, dimana H dinyatakan oleh sudut horizontal, I
dinyatakan oleh sumbu silinder dengan nilai minimum berwarna hitam dan maksimum
berwarna putih, dan S dinyatakan dengan jari-jari silinder. Sistem koordinat warna HIS
disajikan pada Gambar 2. Definisi tentang H, S, dan I adalah (Mastra, 1998):
ƒ H: Istilah yang diberikan atas kombinasi yang jumlahnya tidak terhingga dari
beberapa panjang gelombang yang berbeda. Secara awan disebut warna.
ƒ I: Warna dapat berupa terang dan gelap, intensitas menyatakan "ke-terang-an" dan
"ke-gelap-an" dari warna.
ƒ S: Warna dapat berupa murni atau terkontaminasi, saturasi adalah "ke-murni-an" dari
warna itu sendiri tanpa adanya campuran ke-abu-an dari warna.

Setiap titik pada sistem ruang warna RGB secara unik tergambarkan pada suatu
titik warna di ruang silinder HIS. Warna yang bernilai R=G=B berada pada sumbu
silinder warna dan berwarna hitam putih. Intensitas bergerak keatas dan kebawah dari

4
putih ke hitam, warna sendiri bergerak melingkar sekeliling silinder dari biru- merah-
hujau, dan saturasi bergerak kearah luar silinder sehingga warna semakin tersaturasi.
Citra umumnya disajikan dalam sistem koordinat RGB dan dapat disajikan dalam
sistem warna lainnya dengan menggunakan persamaan transformasi. Tranformasi warna
ini merupakan inti dari penggabungan citra yang memiliki resolusi spektral dan spasial
yang berbeda. Adapun persamaan Transformasi Brovey adalah (Pohl, 1996) :
DN band ⋅ x
DN fusi⋅ x = xDN resolusi _ tinggi .......................................(3)
DN band 1 + DN band 2 + DN band 3
Dalam hal ini:
DNfusi x = Derajad kecerahan citra fusi pada band x, dengan x = 1, 2, atau 3
DNresolusi_tinggi = Derajad kecerahan citra yang memiliki resolusi spasial tertinggi
DNband x = Derajad kecerahan citra pada band x, dengan x = 1, 2, atau 3

Sedangkan Transformasi RGB ke IHS adalah (Pohl, 1996):


 1 1 1 
 
 3 3 3 
I   2   R 
v  = 1 1 −1  v2 
−  x G  , H = tan  v  , dan S = v1 + v2 .....................(4)
2 2
 1  6 6 6  B
 v2    1
 1 1 
 − 0 
 2 2 
Transformasi Balik dari IHS ke RGB adalah (Pohl, 1996):
 1 1 1 
 
 3 6 2 
R 
G  = 1 1 1   I 
−  x v1 ..............................................................................(5)
B  3 6 2  v 
    2
 1 2 
 − 0 
 3 6 

Klasifikasi Digital
Klasifikasi digital dapat didefiniskan sebagai suatu cara untuk mengenali,
menentukan letak, dan mengelompokkan obyek menjadi kelas-kelas tertentu yang
didasarkan kepada kesamaan spektral tiap piksel. Disini harus diperhatikan spectral
signature, yang merupakan karakteristik tanggapan obyek di permukaan bumi terhadap
gelombang elektromagnetik yang diterima oleh sensor satelit. Sebagaimana telah
diketahui bahwa setiap obyek yang berbeda di permukaan bumi (misal: tubuh air dengan

5
vegetasi) akan memberikan response yang berbeda terhadap gelombang elektromagnetik
yang datang kepadanya. Secara garis besar klasifikasi dibagi dalam 2 golongan besar,
klasifikasi terawasi dan tidak terawasi.
Klasifikasi terawasi adalah klasifikasi yang berpedoman pada nilai piksel dari
obyek yang sudah diketahui/ditentukan, sedangkan klasifikasi tidak terawasi merupakan
klasifikasi tanpa menggunakan daerah contoh. Ide dasarnya adalah setiap obyek yang
memiliki nilai spektral yang sama akan mengelompok dalam satu jenis klas klasifikasi.
Hasil klasifikasi ini belum dapat ditentukan secara pasti jenis kelasnya, sehingga
diperlukan validasi dengan data yang sudah ada atau bahkan pengamatan lapangan.
Beberapa contoh algoritma klasifikasi tidak terawasi adalah: Isoclass dan K-means.
Algoritma untuk setiap metode klasifikasi cukup panjang, untuk itu sangat disarankan
untuk melihat pada Jensen (1996), Lillesand and Kiefer (2000), dan Richards (1986).

PELAKSANAAN
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian secara skematis dapat disimak pada
Gambar 3 berikut:

Citra Satelit Peta Topografi Foto Udara


A
SPOT XS

Koreksi ƒ Koreksi Geometrik Citra. Penyiaman foto


Radiometrik ƒ Pemberian Geocoding. udara dengan
ƒ Pemotongan citra SPOT resolusi 600 dpi
dan foto udara.

SPOT XS Resampling SPOT ke Foto Udara


bergeoreferensi Foto Udara bergeoreferensi

Transformasi HIS Image Differencing Transformasi Brovey

A Klasifikasi Klasifikasi A

Analisis Hasil

Gambar 3. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Pada penelitian ini, citra satelit SPOT XS telah terbebas dari distorsi radiometrik
sehingga tidak diperlukan koreksi lagi. Hal ini disebabkan distorsi radiometrik telah
dikoreksi oleh pihak pemilik satelit SPOT. Pada awalnya citra SPOT XS dan foto udara
yang akan digabungkan memiliki orientasi dan cakupan daerah yang berbeda. Untuk
memperoleh cakupan daerah yang sama maka citra SPOT XS dan foto udara harus
dikoreksi geometrik dan dipotong pada daerah yang sama. Faktor yang harus diperhatikan
pada saat melakukan koreksi geometrik adalah pemilihan titik kontrol tanah (TKT).
Patokan utama pada pemilihan TKT adalah pemilihan obyek buatan manusia yang
tergambar secara jelas pada peta dan citra dengan bentuk berupa lengkungan yang tajam
atau berupa perpotongan.
Tingkat ketelitian koreksi geometrik secara keseluruhan diukur dengan harga
RMSerror. Semakin kecil harga RMSerror maka ketelitian geometriknya semakin baik.
RMSerror untuk citra SPOT XS dan foto udara sebesar 43, 4 meter dan 31,18 meter. Nilai
ini diperoleh dengan mengalikan masing-masing harga RMSE citra SPOT XS dan foto
udara, sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dengan resolusi spasialnya. Harga RMSerror
tersebut masih cukup besar, di mana hal ini dapat disebabkan oleh pemilihan algoritma
transformasi yang belum tepat, penentuan TKT yang belum tepat, dan waktu pemotretan
citra satelit dan foto udara yang tidak sama persis.

Tabel 1. Harga Koordinat TKT Pada Citra SPOT XS dan Foto Udara dan RMSE-nya

Harga Koordinat
No. Tanah/Peta Citra SPOT XS Foto Udara
X* Y* x+ y+ RMSE+ x+ y+ RMSE+

1 77175,00 20800,00 86 220 2,47 450 1863 21,08


2 80150,00 21400,00 184 206 3,78 2782 1385 48,52
3 81250,00 21000,00 218 217 0,80 3615 1637 24,40
4 83100,00 20350,00 277 236 1,94 5094 2124 19,43
5 79400,00 16650,00 160 363 0,33 2283 5276 05,58
6 83475,00 19275,00 285 272 2,50 5401 3008 06,75
7 82000,00 17475,00 241 335 2,37 4275 4510 13,90
8 81775,00 18900,00 234 285 1,07 4109 3335 27,97
Total RMSE 2,17 24,55
* +
Keterangan: Satuan meter, Satuan Piksel

7
Selain pemilihan TKT yang harus diperhatikan adalah pemilihan metode
tranformasi koordinat dan resampling. Pada pemilihan transformasi koordinat harus
memperhatikan jumlah TKT yang tersedia, sedangkan pada pemilihan metode resampling
harus memperhatikan kepadatan atau 'isi' dari daerah yang dicakup oleh citra. Pada
penelitian ini digunakan Transformasi Affine dan metode resamplingnya menggunakan
nearest neighbour.
Pada saat resampling, citra satelit SPOT XS dan foto udara sekaligus diberi
geocoding. Geocoding adalah pemberian koordinat dengan sistem proyeksi dan datum
tertentu. Di Indonesia sistem proyeksi peta yang umum digunakan adalah UTM dengan
ellipsoid referensi WGS 84. Fasilitas transformasi dari satu sistem proyeksi, misalnya
LCC ke UTM atau sebaliknya, sudah disediakan oleh perangkat lunak pengolah citra.
Pada penelitian ini citra SPOT XS dan foto udara diberi geocoding dengan sistem
proyeksi LCC.

Penggabungan Citra: Cara Brovey dan HIS


Sebagaimana dinyatakan oleh Effendi (1995), Jensen (1996), dan ENVI (1994),
untuk menggabungkan 2 citra yang mempunyai resolusi spasial yang berbeda maka ke-2
citra tersebut harus memiliki resolusi spasial dan sistem koordinat yang sama. Untuk
mengatasi resolusi spasial SPOT XS yang tidak sama dengan foto udara maka citra SPOT
XS diresampling terhadap foto udara. Untuk memperoleh cakupan daerah yang sama
maka kedua citra tersebut dipotong dengan batas yang sama.
Cara Brovey menggunakan kombinasi matematis citra berwarna dengan citra yang
memiliki resolusi tinggi untuk mempertajam citra berwarna. Setiap saluran pada citra
berwarna dikalikan dengan rasio citra resolusi tinggi dan dibagi dengan penjumlahan
seluruh saluran berwarna, sebagaimana disajikan pada persamaan (3). Gambar 4
menampilkan citra gabungan SPOT XS dengan foto udara dengan cara Brovey.
Transformasi HIS adalah mentransformasi warna RGB menjadi HIS dengan
menggantikan I atau saluran kecerahan (lightness band) dengan citra yang memiliki
resolusi spasial paling tinggi. Persamaan Transformasi dari RGB ke IHS dan sebaliknya
dapat disimak pada persamaan (4) dan (5). Pada Gambar 5 ditampilkan citra gabungan
SPOT XS dengan foto udara dengan cara HIS.

8
Gambar 4. Citra gabungan SPOT XS dan Gambar 5. Citra gabungan SPOT XS dan
foto udara dengan cara Brovey foto udara dengan cara HIS

(a). Cara Brovey (b). Cara HIS


Gambar 6. Histogram Citra Gabungan Cara Brovey dan HIS

Pada Gambar 6 disajikan 2 buah histogram citra gabungan dengan cara Brovey
dan HIS. Histogram citra gabungan cara Brovey dan HIS mempunyai kontras yang baik
dan lebih baik daripada citra asalnya, ini terlihat dari penuhnya nilai radiometrik pada
rentang 0 sampai 255. Jika dicermati lebih lanjut, citra gabungan cara HIS mempunyai
kecerahan yang lebih baik dari citra gabungan cara Brovey. Ini terlihat dari
mengumpulnya nilai derajad kecerahan piksel pada harga sekitar 250. Jika dicermati maka
pada kedua citra gabungan tersebut masih terdapat blok-blok piksel yang sangat kontras

9
(blocky). Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran piksel citra foto udara dan SPOT yang
cukup jauh berbeda.

Image Differencing
Image differencing adalah operasi aritmatika pengurangan harga derajad
kecerahan piksel citra oleh citra lainnya. Operasi ini sangat penting untuk
mengidentifikasi ada tidaknya suatu perubahan. Jika antara 2 citra yang dikurangkan
tersebut sama persis maka citra hasilnya akan berwarna hitam (berharga nol), sebaliknya
jika saling berlawanan maka citra hasil pengurangannya akan berwarna putih.

Gambar 7. Citra Gabungan Cara Brovey Dan Histogramnya Pada Setiap Band

10
Citra gabungan, baik dengan cara Brovey atau HIS, akan menghasilkan warna
komposit RGB yang terdiri dari 3 band. Untuk mengevaluasinya (termasuk operasi
differencing-nya) akan sesuai jika dilakukan pada setiap band. Pada Gambar 7 disajikan
citra gabungan cara Brovey dan grafik histogramnya per band, sedangkan pada Gambar 8
menyajikan citra gabungan cara HIS dan histogramnya per band pula.
Berdasarkan histogramnya, sebagaimana disajikan pada Gambar 7 dan 8, citra
gabungan cara HIS mempunyai kontras yang lebih baik dari citra gabungan cara Brovey
untuk semua band. Hal ini ditunjukkan oleh harga derajad kecerahan pikselnya yang
menyebar pada nila radiometrik 0 sampai 255.

Gambar 8. Citra Gabungan Cara HIS Dan Histogramnya Pada Setiap Band

Pada Gambar 9 disajikan histogram citra hasil differencing antara cara HIS dengan
Brovey untuk semua band 1, 2, dan 3. Terlihat dari histogramnya bahwa perbedaan
maksimal harga piksel berkisar antara 90 sampai 110. Ini menunjukkan bahwa citra

11
gabungan cara HIS dan Brovey tidak saling berlawanan. Jika diperhatikan lebih lanjut
daerah yang berwarna hitam (perbedaan pikselnya nol) jauh lebih banyak daripada yang
berwarna putih. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua citra gabungan tersebut hampir
sama harga radiometrik pikselnya.

(a). Band 1 (b). Band 2 (c). Band 3

Gambar 9. Histogram Hasil Differencing Antara Citra Gabungan HIS Dengan Brovey.

Klasifikasi
Klasifikasi digital digunakan untuk mengevaluasi jenis dan jumlah kelas penutup
lahan yang dapat dikenali dari citra gabungan, baik dengan cara Brovey atau HIS. Pada
penelitian ini, dipergunakan klasifikasi terawasi metode maximum likelihood. Pada
penelitian ini citra gabungan cara Brovey dan HIS diklasifikasikan dalam 7 klas, yaitu:
taman, ruang terbuka, perkantoran, jalan, idustri, pemukiman, dan vegetasi, sebagaimana
disajikan pada Tabel 2. Skema klasifikasi didasarkan pada kondisi citra dan kenampakan
obyek yang ada pada peta topografi acuan. Dari citra terklasifikasi dapat ditentukan
perkiraan letak, distribusi, dan luas setiap klas penutup lahan.
Pengujian beberapa sampel di lapangan menunjukkan bahwa hasil klasifikasi
masih belum menghasilkan informasi tematik yang memuaskan, hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain: kondisi daerah studi yang cukup komplek (beragam) dan
sudah berubah dari saat perekaman citra satelit, pemilihan daerah contoh yang kurang
representatif, dan labelling klas yang belum sesuai.

12
Tabel 2. Kelas dan Luas Daerah Klasifikasi Pada Citra Gabungan.

Luas Daerah Terklasifikasi (Ha)


No Kelas
Cara Brovey Cara IHS
1 Industri 23,480 43,346
2 Jalan 30,532 56,205
3 Pemukiman 77,874 59,930
4 Perkantoran 40,881 15,506
5 Ruang Terbuka 26,221 21,330
6 Taman Kota 50,638 51,356
7 Vegetasi 16,268 18,220
Luas Total 265,894 265,894

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa citra gabungan SPOT XS
dengan foto udara:
1. Memiliki resolusi spasial setara dengan foto udara dan resolusi spektral setara citra
SPOT XS.
2. Secara visual citra gabungan cara HIS memiliki kecerahan yang lebih baik daripada
citra gabungan cara Brovey.
3. Ada sedikit perbedaan nilai derajad kecerahan piksel pada citra gabungan cara
Brovey dengan cara HIS.
4. Hasil klasifikasi dari citra gabungan, baik dengan cara Brovey atau HIS, belum dapat
menunjukkan kondisi yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

Saran
Sebelum melakukan penggabungan citra sangat disarankan untuk meninjau
perbedaan resolusi spasialnya (jangan terlalu besar). Hal ini untuk menghindari efek
blocky. Disarankan pula untuk menggunakan citra satelit pada daerah studi yang tidak
komplek (beragam), misalnya di daerah lahan pertanian, dan saat perekamannya cukup
dekat dengan saat dilakukan pengujian lapangan (menggunakan citra satelit terbaru).

13
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini, terutama Ir. Prijono atas sarannya yang sangat konstruktif.
Penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Fakultas Teknik UGM yang
telah mendanai penelitian ini melalui melalui Anggaran DIKS Tahun Anggaran 2001.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, M., 1995, Analisa Algoritma Terbaik Untuk Proses Penggabungan Data Multi
Sensor, Geomatika, No. 1-2, Jakarta.
ENVI, 1994, ENVI User's Guide: The Environment for Visualizing Images Version 1.1,
Research System, Boulder CO 80301.
Jensen, J. R., 1996, Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing
Perspective, Second Edition, Prentice Hall Inc., New Jersey.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, 4th Edition, John
Wiley and Sons.
Mastra, R., 1998, Pembuatan Foto Berwarna "Artificial True Color" dari Foto Hitam
Putih dengan Konversi HIS, Prosiding FIT, ISI, 4-6 November, Jakarta.
Pohl, C., 1996, Geometric Aspects of Multisensor Image Fusion for Topographic Map
Updating in The Humid Tropics, Ph.D. Dissertation, ITC Publication No. 39, ITC.
Richards, J. A., 1986, Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction, Springer
Verlag.
Setiawan, H. L. dan Istiyadi, J., 1999, Manfaat Citra Gabungan Untuk Analisis Geologi
Awal (Studi Kasus Daerah Sulawesi Selatan), Prosiding PIT Ke-8 Mapin, 6-7
April, Jakarta.
Wolf, P. R., 1983, Elements of Photogrammetry: With Air Photo Interpretation and
Remote Sensing, 2nd Edition, McGraw-Hill Book Company.

14

Anda mungkin juga menyukai