Anda di halaman 1dari 3

HUKUM SHALAT WITIR

Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupi kekurangan shalat fardhu dengan shalat-shalat sunnah
dan memerintahkan untuk menjaga dan melaksnakannya secara berkesinambungan. Di antara
shalat sunnah yang diperintahkan untuk dilakukan secara kontinyu, yaitu shalat Witir.

Dijelaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dalam sabdanya:

‫ﻲ اْﻟَﻮْﺗُﺮ أﺧﺮﺟﻪ أﺣﻤﺪ‬


َ ‫ﻫ‬
ِ ‫ﻋَﻠْﻴَﻬﺎ َو‬
َ ‫ﻈﻮا‬
ُ ‫ﺤﺎِﻓ‬
َ ‫ﺻَﻠﺎًة َﻓ‬
َ ‫ﻢ‬
ْ ‫ن اﻟَّﻠَﻪ َزاَدُﻛ‬
َّ ‫ِإ‬

Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut.
Shalat itu ialah Witir. [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalîl, 2/159].

Karenanya, kita perlu mengetahui hukum-hukum seputar shalat Witir ini, agar dapat
mengamalkannya sesuai ajaran dan tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam .

PENGERTIAN SHALAT WITIR

Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ`
hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam.[1]

HUKUM SHALAT WITIR

Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah[2] menurut mayoritas ulama. Hal ini
didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut.

1. Hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

‫ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬. ‫ﻞ ِوْﺗﺮًا‬


ِ ‫ﻢ ِﺑاﻟَّﻠْﻴ‬
ْ ‫َِﺗُﻜ‬ ‫ﺻﻻ‬
َ ‫ﺧَﺮ‬
ِ ‫ﺟَﻌُﻠْﻮا آ‬
ْ ‫لا‬
َ ‫ﻢ ؛ َﻗا‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬
َ ‫ﻲ‬
ِّ ‫ﻦ اﻟَّﻨِﺒ‬
ِ ‫ﻋ‬
َ

Dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau berkata: “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam
hari dengan Witir”. [Muttafaqun ‘alaihi)]

Dalam hadits ini menunjukkan adanya perintah menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat
malam. Ibnu Daqîqi al-‘Iid menyatakan, orang yang mewajibkan shalat witir berdalil dengan
bentuk perintah (dalam hadits ini). Seandainya berpendapat kewajiban witir dalam akhir shalat
malam, maka itu lebih tepat”[3].

2. Hadits Abu Ayyûb al-Anshâri yang berbunyi:

ٍ‫ن ُﻳﻮِﺗَﺮ ِﺑَﺜَﻠﺎث‬ْ ‫ﺐ َأ‬َّ ‫ﺣ‬َ ‫ﻦ َأ‬


ْ ‫ﻞ َوَﻣ‬ ْ ‫ﺲ َﻓْﻠَﻴْﻔَﻌ‬
ٍ ‫ﺨْﻤ‬ َ ‫ن ُﻳﻮِﺗَﺮ ِﺑ‬
ْ ‫ﺐ َأ‬
َّ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻦ َأ‬
ْ ‫ﻢ َﻓَﻤ‬
ٍ ‫ﺴِﻠ‬
ْ ‫ﻞ ُﻣ‬
ِّ ‫ﻋَﻠﻰ ُﻛ‬
َ ‫ﻖ‬
ٌّ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻢ اْﻟِﻮْﺗُﺮ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬
َ ‫ل‬
ُ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫َﻗا‬
ْ‫ﺣَﺪٍة َﻓْﻠَﻴْﻔَﻌﻞ‬ِ ‫ن ُﻳﻮِﺗَﺮ ِﺑَﻮا‬ ْ ‫ﺐ َأ‬
َّ ‫ﺣ‬َ ‫ﻦ َأ‬
ْ ‫ﻞ َوَﻣ‬ْ ‫َﻓْﻠَﻴْﻔَﻌ‬

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: “Shalat Witir wajib bagi setiap muslim. Barang
siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat, maka kerjakanlah; yang ingin berwitir tiga rakaat,
maka kerjkanlah; dan yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!” [HR Abu Dawud, an-
Nasâ`i dan Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâwud, no.
1421].

3. Hadits Abu Bushrah al-Ghifaari yang berbunyi:

ِ‫ﺸﺎء‬
َ ‫ﺻﻻ َِة اْﻟِﻌ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻫﺎ ِﻓْﻴَﻤﺎ َﺑْﻴ‬
َ ‫ﺼُّﻠْﻮ‬
َ ‫ﻲ اْﻟَﻮْﺗُﺮ ؛ َﻓ‬
َ ‫ﻫ‬
ِ ‫ َو‬، ‫ﻋَﻠْﻴَﻬﺎ‬
َ ‫ﻈﻮا‬
ُ ‫ﺤﺎِﻓ‬
َ ‫ﺻَﻠﺎًة َﻓ‬
َ ‫ﻢ‬
ْ ‫ن اﻟَّﻠَﻪ َزاَدُﻛ‬
َّ ‫” ِإ‬: ‫ﻢ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬
َ ‫ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ‬
.‫أﺧﺮﺟﻪ أﺣﻤﺪ‬. ”‫ﺠِﺮ‬ ْ ‫ﺻﻻ َِة اْﻟَﻔ‬ َ ‫ﻰ‬ َ ‫ِإﻟ‬

Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut.
Shalat itu adalah Witir. Maka shalatlah di antara shalat Isya` sampai shalat fajar. [HR Ahmad
dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah, no. 108 (1/221)]

Namun ada juga dalil lain yang memalingkannya dari perintah-perintah dalam dua hadits di atas,
yaitu sebagaimana hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

َ ‫ﺳَّﻠ‬
‫ﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬
َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬
ُ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﺳَّﻨَﻬﺎ َر‬
َ ‫ﺳَّﻨٌﺔ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺼَﻠﺎِة اْﻟَﻤْﻜُﺘﻮَﺑِﺔ َوَﻟِﻜ‬
َّ ‫ﻢ َﻛَﻬْﻴَﺌِﺔ اﻟ‬
ٍ ‫ﺤْﺘ‬
َ ‫ﺲ ِﺑ‬
َ ‫اْﻟِﻮْﺗُﺮ َﻟْﻴ‬

Shalat Witir tidak wajib seperti bentuk shalat wajib, namun ia adalah sunnah yang disunnahkan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam . [HR an-Nasâ`i. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam
Shahîh Sunan an-Nasâ`i, 1/368 dan Shahih al-Jâmi’, no. 7860].

Demikian juga keumuman hadits Thalhah bin Ubaidillâh yang berbunyi:

‫ﺣَّﺘﻰ َدَﻧﺎ َﻓِﺈَذا‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ﺻْﻮِﺗِﻪ َوَﻟﺎ ُﻳْﻔَﻘُﻪ َﻣﺎ َﻳُﻘﻮ‬َ ‫ي‬ ُّ ‫ﺴَﻤُﻊ َدِو‬
ْ ‫س ُﻳ‬
ِ ‫ﺠٍﺪ َﺛﺎِﺋَﺮ اﻟَّﺮْأ‬
ْ ‫ﻞ َﻧ‬ ِ ‫ﻫ‬ْ ‫ﻦ َأ‬
ْ ‫ﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬ِ ‫ﺳﻮ‬ُ ‫ﻞ ِإَﻟﻰ َر‬ٌ ‫ﺟ‬ُ ‫ﺟﺎَء َر‬َ
‫ل َﻟﺎ ِإَّﻟﺎ‬
َ ‫ﻫﺎ َﻗا‬
َ ‫ﻏْﻴُﺮ‬َ ‫ﻲ‬
َّ ‫ﻋَﻠ‬
َ ‫ﻞ‬ْ ‫ﻫ‬
َ ‫ل‬َ ‫ت ِﻓﻲ اْﻟَﻴْﻮِم َواﻟَّﻠْﻴَﻠِﺔ َﻓَﻘا‬ٍ ‫ﺻَﻠَﻮا‬
َ ‫ﺲ‬ ُ ‫ﺧْﻤ‬ َ ‫ﻢ‬َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ﷲ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬
ُ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ﺳَﻠﺎِم َﻓَﻘا‬
ْ ‫ﻦ اْﻟِﺈ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ل‬ُ ‫ﺴَﺄ‬ْ ‫ﻫَﻮ َﻳ‬
ُ
َ‫ﻄَّﻮع‬ َ ‫ن َﺗ‬ْ ‫َأ‬

Seorang dari penduduk Najd mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dalam keadan
rambut kusut, terdengar gema suaranya yang tidak jelas dan tidak dimengerti apa yang
dikatakannya hingga dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah Shallallahu
alaihi wa salllam menjawab: “Shalat lima waktu sehari dan semalam,” lalu ia bertanya lagi:
“Apakah ada yang lainnya atasku?” Beliau n menjawab,”Tidak, kecuali bila engkau mngerjakan
shalat sunnah”.

Kemudian di akhir dialog itu beliau Shallallahu alaihi wa salllam berkata:

َ ‫ﺻَﺪ‬
‫ق‬ َ ‫ن‬
ْ ‫ﺢ ِإ‬
َ ‫َأْﻓَﻠ‬

Beruntunglah ia bila benar. [HR al-Bukhâri].

Demikian juga Nabi Shallallahu alaihi wa salllam selalu mengerjakannya dalam keadaan mukim
dan bepergian, dan menganjurkan manusia mengerjakannya.[4]

Syaikh al-Albâni, setelah menyampaikan hadits Abu Bushrah di atas, beliau rahimahullah
berkata: “Zhâhir perintah dalam sabda beliau Shallallahu alaihi wa salllam : (‫ﻫﺎ‬
َ ‫ﺼُّﻠْﻮ‬
َ ‫)َﻓ‬
menunjukkan kewajiban shalat witir. Dengan dasar ini, madzhab Hanafi berpendapat
menyelisihi mayoritas ulama. Seandainya tidak ada dalam dalil-dalil qath’i, pembatasan shalat-
shalat wajib dalam sehari semalam hanya lima shalat; tentulah pendapat madzhab Hanafi lebih
dekat kepada kebenaran. Oleh karena itu, harus dikatakan, bahwa perintah disini tidak
menunjukkan wajib, bahkan untuk menegaskan kesunnahannya. Berapa banyak perintah-
perintah (syari’at) yang mulia dipalingkan dari kewajiban dengan dalil-dalil yang lebih rendah dari
dalil-dalil qath’i ini. Sehingga mayoritas ulama sepakat (shalat witir) hukumnya sunnah dan tidak
wajib, dan inilah yang benar. Kami nyatakan hal ini dengan mengingatkan dan menasihati untuk
memperhatikan shalat witir dan tidak meremehkannya”.[5]

Syaikhul-Islâm Ibnu Taimiyyah menyatakan di dalam Majmu’ Fatâwâ (23/88): “Witir adalah
sunnah muakkadah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan yang terus-menerus
meninggalkannya, maka ia tertolak persaksiannya”. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai