Anda di halaman 1dari 149

Pengantar

ALJABAR LINEAR UNTUK FISIKA

Dr. Abd Mujahid Hamdan


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan izin Allah Subhanahu SWT telah hadir di tengah kita buku
Pengantar Aljabar Linear dalam Fisika. Buku ini diharapkan dapat mengisi
kekosongan buku matematika untuk fisika yang terbilang masih sangat sulit
dijumpai di dalam negeri. Buku ini sangat relevan untuk mahasiswa fisika yang
membutuhkan konsep matematika sebagai pengantar pada mata kuliah
Mekanika Kuantum, Elektronika, Komputasi Fisika dan mata kuliah lain yang
membutuhkan konsep-konsep aljabar linear.
Buku yang ada di hadapan anda adalah hasil kolaborasi penulis dengan
sejumlah kontributor yang telah membantu penulisan. Kontributor tersebut
merupakan mahasiswa Pendidikan Fisika UIN Ar-Raniry yang mengambil mata
kuliah Matriks dan Ruang Vektor pada tahun 2019. Kontributor tersebut adalah
Cut Ayuanda Caesarea, Susanti, Uul Selvi Yanti, Dian Rafika, Sara Purnama Sari,
Ade Dea Julianty, Eka Tiara, Hairani Adha, Aqsa Brilianza, Haddin Harahap,
Munadhian Al Haj, Luthfi Putriana, Elly Hartaty, Huswatun Hasanah, May Sarah,
Zakia Hanum dan Nisa Arisma.
Buku ini lebih fresh dengan tampilan menarik dan dilengkapi dengan ratusan
contoh soal dan latihan. Buku juga ditulis dengan sistematis, sehingga sangat
memudahkan bagi pemula. Pada akhirnya kami mengharapkan saran dan
masukan untuk penyempurnaan buku ini.

Tim Penulis
1. Aljabar Matriks
1. PENGANTAR
Pada bagian ini akan dikenalkan sifat-sifat dari sebuah matriks dan operasi aljabarnya.
Selanjutnya akan dikenalkan objek-objek abstrak yang berkaitan dengan matriks.

2. MATRIKS
Matriks adalah susunan bilangan skalar yang disusun secara teratur menurut baris dan
kolom sehingga berbentuk persegi panjang yang dapat dituliskan sebagai:

 a11 a12 ... a1n 


a a22 ... a2n 
A   21
 ... ... ... ... 
 
am1 am2 ... amn 
dengan baris matriks A adalah barisan horizontal sebanyak m yang terdiri dari:

 a11, a12 ,..., a1n  ,  a21, a22 ,..., a2n  , ...,  am1, am2 ,..., amn .
Sementara kolom dari matriks A adalah n kolom bagian vertikal yang terdiri dari:

 a11   a12   a1n 


a   a   
 21  ,  22  ,...,  a2n  .
 ...   ...   ... 
     
am1  am2  amn 
Elemen dari matriks aij disebut sebagai elemen ke-ij yang berada pada baris ke-i dan

kolom ke-j. Sebagian penulisan matriks dapat disederhanakan menjadi:

A  aij 
Sebuah matriks yang memiliki jumlah baris m dan jumlah kolom n juga dapat disebut
sebagai matriks m n. Pasangan bilangan m dan n juga disebut sebagai ukuran matriks.
Dua matriks yaitu A dan B disebut sebagai matriks yang sama, ditulis sebagai A=B, jika
kedua matriks memiliki ukuran yang sama dan besar skalar dan susunan unsur-unsurnya
sama.

Sebuah matriks yang hanya mempunyai satu baris disebut matriks baris atau vektor baris,
dan sebuah matriks yang hanya mempunyai satu kolom disebut matriks kolom atau vektor
kolom. Sebuah matriks yang seluruh anggotanya adalah nol disebut matriks nol dan
biasanya dinotasikan dengan 0.

Contoh 1.1
1) Sebuah susunan bilangan berbentuk persegi

1 4 5 
A 
0 3 2
A adalah matriks 2  3. Dengan baris 1, 4,5 dan  0,3, 2 , sedangkan kolom

matriks tersebut terdiri dari:


1   4  5 
0 ,  3  ,  2 .
     
2) Matriks nol 2  4 ditulis sebagai:
0 0 0 0 
0 .
0 0 0 0 
3) Tentukan x, y, z, dan t jika:
 x  y 2 z  t  3 7 
 x  y z  t   1 5
   
Melalui definisi kesamaan matriks, maka diperoleh persamaan-persamaan:
x  y  3;
x  y  1;
2 z  t  7;
z  t  5.
Dengan memecahkan persamaan-persamaan tersebut maka diperoleh
x = 2, y = 1, z = 4 dan t = 1.
3. PENJUMLAHAN DAN PERKALIAN SKALAR MATRIKS

Bila A  aij  dan B  bij  yang merupakan dua matriks dengan ukuran yang sama,

yakni matriks m n. Penjumlahan dari A dan B ditulis sebagai A  B, dengan matriks


hasil penjumlahannya dituliskan sebagai:

 a11  b11 a12  b12 ... a1n  b1n 


a b a22  b22 ... a2n  b2n 
A  B   21 21
 ... ... ... ... 
 
am1  bm1 am2  bm2 ... amn  bmn 

Perkalian matriks A dengan sebuah bilangan skalar k, dapat dituliskan sebagai kA yang
dituliskan sebagai:

 ka11 ka12 ... ka1n 


 ka ka22 ... ka2n 
kA   21
 ... ... ... ... 
 
kam1 kam2 ... kamn 

Contoh 1.2

1 2 3  4 6 8 
Apabila, A    dan B   .
0 4 5 1 3 7 

Maka:

1  4 2  6 3  8 5 4 11
A B    .
 0  1 4  3 5  7  1 1 2 
3 1 3  2 3 3  3 6 9 
3A    .
 3  0 3  4 3 5  0 12 15
 2 4 6  12 18 24  10 22 18
2 A  3B     .
 0 8 10   3 9 21   3 17 31 

Matriks 2A-3B disebut sebagai kombinasi linear dari A dan B.


Teorema 1.1: Jika terdapat matriks A, B, C yang memiliki ukuran yang sama dan terdapat
bilangan skalar k dan c. Maka,

i.  A  B  C  A   B  C  ,
ii. A  0  0  A  A,

iii. A    A    A  A  0,

iv. A  B  B  A,

v. k  A  B   kA  kB,

vi.  k  c  A  k  cA ,
vii. 1 A  A.

Perhatikan nilai 0 di dalam (ii) dan (iii) mengacu pada matriks nol. Demikian pula,
berdasarkan (i) dan (iv), sebarang jumlah matriks-matriks A1  A2   An tidak
memerlukan tanda kurung, dan penjumlahan tersebut tidak bergantung pada urutan natriks-
matriksnya.

Soal 1.1

1 1 6
1. Jika, A   2 0 12
 
 3 5 3 
Tentukan:
a. Kolom-kolom dan baris-baris dari A.
b. 3A. [5]
2. Jika
 x  y 2z  t   5 4 
 x  y z  t   3 1
   
tentukan x, y, z dan t.[10]
3. Jika
3 1 1 0 2 4 
A   1 0 2  dan B  3 5 1  .
 0 2 3 1 4 1 

Tentukan:
a. A-2B
b. A+3B [5]
4. Buktikan Teorema 1.1 [15].

Perkalian matriks A terhadap B ditulis sebagai AB. Sebuah matriks baris A   ai  dan

matriks kolom B  bi  akan mengalami operasi perkalian berupa

 b1 
b  n
AB   a1 , a2 ,..., an   2   a1b1  a2b2  ...  anbn   ak bk
 ...  k 1
 
bn 

Contoh 1.3

 3
1) 8 2 6 2  8(3)  (2)(2)  6(1)  26
1 

 2
2) 1 1 0 1  1 2   11  0 5  1
5

 4
3) 3 4 1 1   3  4    4 1  13  19
3

Bila A   aik  dan B  bkj  adalah matriks dengan jumlah kolom matriks A sama dengan

baris matriks B atau jika matriks A adalah matriks m  p dan matriks B adalah p  n, maka
hasil kali matriks AB adalah matriks m n. Secara umum ditulis sebagai:
 a11 ... a1 p   b11 ... b1 j ... b1n   c11 ... c1n 

 .

... ...   ... ... ... ... ...   ... ... ... 
 ai1 ... aip   ... ... ... ... ...    ... cij ... 
    
 ... ... ...   ... ... ... ... ...   ... ... ... 
am1
 ... amp  bp1 ... bpj ... bpn  cm1 ... cmn 

dengan

p
cij  ai1b1 j  ai 2b2 j  ...  aipbpj   aik bkj . (1  i  m,1  j  n)
k 1

Hasil kali AB tidak dapat didefinisikan jika A matriks m  p dan B matriks q  n, sedangkan
p  q.

Contoh 1.4

Jika

1 3   2 0 4
A  dan B   .
 2 1 5 2 6

Maka A adalah matriks 2  2 dan B adalah matriks 2  3. Untuk mendapatkan AB, maka

baris 1 3 dikalikan pada masing-masing kolom matriks B,

 2  0   4
5  ,  2 ,  6  .
     

Sehingga diperoleh:

2  15 0  6 4  18 17 6 14


AB    .
   

Selanjutnya baris  2 1 dikalikan dengan kolom-kolom tersebut, sehingga diperoleh:

17 6 14 
AB   .
1 2 14

Teorema 1.2: Jika terdapat matriks A, B, C, terdapat bilangan skalar k maka,


i.  AB C  A BC  hukum asosiatif,
ii. A   B  C   AB  AC hukum distribustif kiri,

iii.  B  C  A  BA  CA hukum distributif kanan,


iv. k  AB    kA B  A  kb  dan

v. 0 A  0, jika 0 adalah mtriks nol.

Soal 1.2

1. Jika terdapat matriks

1 1 1 8 1
A  dan B  2 0 3  ,
0 3   
tentukan AB. [10]
2. Buktikan teorema-teorema 1.2. [15]

4. TRANSPOS MATRIKS
Transpos dari sebuah matriks A ditulis sebagai AT yang merupakan perubahan kolom A

sebagai baris matriksnya. Jika A  aij  adalah matriks m n maka AT  bij  adalah
matriks n  m dengan bij  a ji .

Jadi, jika A  aij  , maka AT  bij  dengan aij = a ji untuk setiap i dan j.
mxn nxm

 a11 a12 a1n   a11 a21 an1 


a a22 
a2 n  a a an 2 
A   A   12 22
21 T
   
   
am1 am 2 amn  a1n a2n anm 

Sebagai contoh,

T 0 3 
 0 1 1  
3 4 0    1 4  .
  1 0 
 
Contoh 1.5

Tentukan transpos dari matriks-matriks berikut

 2
1) A 
5
 1 0
2) B  2 3
 4 2

2 1 0
3) C  1 2 4
0 4 2

Penyelesaian:

1) AT  2 5

1 2 4
2) BT   
0 3 2
2 1 0
3) C  1 2 4
T

0 4 2

Teorema 1.3 Jika A dan B adalah matriks dan k adalah skalar, maka:

i.  A  BT  AT  BT ,
ii. A T T
 A,

iii.  kAT  kAT ,


iv.  ABT  BT AT .
Soal 1.3

1 1   0 8
Jika A    , B  dan k adalah 2, tunjukkan bukti teorema 1.3 melalui
0 2  3 1
operasi-operasi A, B dan k. [10]

5. MATRIKS PERSEGI
Matriks persegi adalah matriks yang jumlah barisnya sama dengan jumlah kolomnya.

Sebuah matriks n  n juga dapat disebut sebagai matriks persegi n. Bila terdapat A  aij 

yang merupakan matriks persegi n, diagonal utama dari A adalah komponen diagonal dari
matriks tersebut, yaitu:

a11 , a22 ,..., ann .

Trace dari A, diitulis sebagai tr  A yang merupakan jumlah dari elemen-elemen

diagonalnya, yang dituliskan sebagai:

tr  A  a11  a22  ...  ann .

Teorema 1.4. Bila A  aij  dan B  bij  adalah matrik persegi n dan k adalah skalar,

maka:

i. tr  A  B   tr  A +tr  B  ,

ii. tr  kA  ktr  A ,

   tr  A ,
iii. tr A
T

iv. tr  AB   tr  BA .

Contoh 1.6

Jika

1 3  1 0 
A  dan B   ,
 2 1 1 4

maka komponen
diagonal A  1, 1 dan tr  A  0

diagonal B  1, 4 dan tr  B   5.

Soal 1.4

1 2 0   0 9 1
Jika A  3 12 2 dan B   3
  8 1 ,
  
1 3 1  1 17 3

Tentukan:

a. Diagonal dan trace dari A dan B. [5]


b. Melalui matriks A dan B buktikan teorema 1.4. [15]

Matriks persegi n disebut sebagai matriks identitas atau matriks satuan jika matriks persegi
tersebut memiliki komponen-komponen diagonal bernilai 1, sedangkan komponen selain
komponen diagonal bernilai 0. Matriks identitas disimbolkan sebagai I yang memenuhi:

AI  IA  A.

Jika k adalah bilangan skalar maka,

 kI  A  k  IA  kA.
Matriks identitas juga dapat dinotasikan dengan fungsi delta kronecker yang didefinisikan
sebagai:

0 jika i  j
 ij 
1 jika i  j

Sehingga matriks identitas didefinisikan sebagai I  ij  .

6. PANGKAT DAN BENTUK POLINOMIAL MATRIKS


Apabila A adalah matriks persegi n, pangat dari A didefinisikan sebagai:
A2  AA, A2  AA, A3  A2 A,..., An1  An A,..., dan A0  I .

Polinomial dalam matriks A juga dapat didefinisikan dengan mengingat bentuk umum dari
polinomial

f  x   a0  a1x  a2 x2  ...  an xn ,

dengan ai adalah bilangan skalar, maka fungsi polinomial f  A dapat dituliskan sebagai:

f  x   a0 I  a1 A  a2 A2  ...  an An .

Contoh 1.7

1 1
Apabila A    . Maka:
3 1

1 1 1 1  4 2
A2     .
3 1 3 1 6 4

Jika f  x   x2  3x  2, maka

4 2 1 1 1 0  5 5
f  A     3  2  .
6 4 3 1 0 1 15 5

Contoh 1.8

1 3 
Diketahui A    . Maka,
2 4

1 3  1 3   7 9
A2      dan
2 4 2 4 6 22 

 7 9 1 3   11 57 
A3  A2 A     
6 22   2 4  38 106

Misal, f ( x)  2 x  4 x  5 , maka,
2
 7 9 1 3  1 0  5 30
f ( A)  2    4  2 4  5 0 1   20 55 
 6 22       

Soal 1.5

1 2 0 
Jika A  3 12 2 .
 
1 3 1 

Tentukanlah: (a) A3; (b) f  A jika f  x   2x2  x  3. [10]

7. MATRIKS YANG TERINVERSI (INVERTIBEL/NON SINGULAR)

Sebuah matrik persegi A disebut invertible atau nonsingular jika terdapat matriks B
sedemikian rupa sehingga,

AB  BA  I ,

dengan I adalah matriks identitas.

Contoh 1.9

 2 5  3 5
Apabila A    dan B    ,maka
 1 3  1 2 

6  5 10  10 1 0
AB    
3  3 5  6  0 1

dan

 6  5 15  15 1 0
BA    .
 2  2 5  6  0 1 
Maka A dan B disebut saling menginversi (inverses).

Apabila A adalah matriks 2  2 , sebut saja

a b 
A .
c d 

Kita akan menemukan A1 dengan memisalkan

 a b   x1 x2  1 0
c d   y 
  1 y2  0 1

atau

ax1  by1 ax2  by2  1 0


 cx  dy cx  dy   0 1
 1 1 2 2  

Maka kita dapat meperoleh persaman-persamaan:

ax1  by1  1; ax2  by2  0 ; cx1  dy1  0 dan cx2  dy2  1.

dengan definisi A  ad  bc yang selanjutnya disebut sebagai determinan, maka:

d c b a
x1  , y1  , x2  , y2  .
A A A A

Berdasarkan hal tersebut maka

1
a b 
1
d A b A  1  d b
A    
d A  A c a 
.
c d  c A

Sifat-sifat matriks invers:

i. Jika A adalah matriks non singular, maka A1 adalah non singular dan
( A1 )1  A
ii. Jika A dan B adalah matriks non singular, maka AB adalah non singular dan
( AB)1  B1 A1
iii. Jika A adalah matriks non singular maka
( AT )1  ( A1 )
Contoh 1.10

 2 3  1 3
Tentukan invers dari A    dan B   .
 4 5  2 6

Dengan demikian A  2  5  3  4  2. Karena A  0, maka matriks A dapat terinversi

(invertible) dan

 5 3
1  5 3 
1
A     2 2
2 4 2   
 2 1

Sementara itu, B  1 6  3  2  6  6  0. Sehingga B  0 yang berarti B tidak memilki

matriks inversi (non invertible).

Soal 1.6

Tentukan invers dari matriks matriks berikut:

 1 1  1 4 
A  dan B    . [10]
 2 4 2 8

8. MATRIKS-MATRIKS RIIL KHUSUS


Matriks Diagonal dan Segitiga Atas
Sebuah matriks persegi D  dij  adalah diagonal jika komponen non diagonalnya adalah

0, dij = 0 untuk i  j dan paling tidak satu komponen pada diagonal pokok aij  0 untuk

i j.
Matriks diagonal juga dapat disimbokan sebagai

D  diag  d11, d22 ,..., dnn  .

Jumlah komponen-komponen diagonal utama suatu matriks kuadrat D disebut trace D


ditulis tr(D) .

tr ( D)  i 1 dij , ,(i  j)
n

 d11 d12 d1n 


d d d2n 
Dnxn   21 22
 
 
dn1 dn 2 dnn 

Sebagai contoh,

4 
1 0 0   
0 2 0 , 3 0  ,  6 
   0 2  1 
0 0 1  
 0

yang merupakan matriks diagonal yang dapat disimbolkan sebagai

diag 1, 2,1 , diag  3, 2 dan diag  4, 6,1,0 .

Sebuah matriks persegi A  aij  disebut sebagai matriks segitiga atas atau segitiga

sederhana jika aij  0 untuk i  j. Sebagai contoh:

b11 b12 b13 


a11 a12  
 0 a  dan  b22 b23  .
 22 
 b33 

Matriks Simetrik, Ortogonal dan Normal

Sebuah matriks disebut simetrik apabila AT  A. Secara equivalen, A  aij  memiliki

komponen simetrik (tercermin melalui sumbu diagonal jika setiap aij  a ji . Sementara itu,
sebuah matriks disebut sebagai skew-simetrik bila AT   A. Secara equivalen aij  a ji

yang membuatr komponen diagonal matriks harus bernilai 0 atau aii  0.

Contoh 1.11

1 2 3  0 2 7
Diketahui matriks A  2 5 9 dan B   2 0 4
 
   
 3 9 6 7 4 0 

Matriks A merupakan matriks simetri karena komponen simetri yang bersesuai adalah sama

atau dengan kata lain AT  A. Matriks B merupakan matriks skew simetri karena
komponen diagonal dari B adalah 0 dan komponen simetrinya saling negatif satu sama lain,

sehingga BT  B.

Sebuah matriks disebut sebagai matriks ortogonal apabila AT  A1 yang berarti
AAT  AT A  I . Sehingga A haruslah matriks persegi dan invertible. Jika A adalah
ortogonal, maka

a1 a2 a3   a1 b1 c1  1 0 0
AA   b1 b2
T
b3  a2 b2 c2   0 1 0  I .
 c1 c2 c3   a3 b3 c3  0 0 1

Hasil kali dari AAT menghasilkan sembilan persamaan berikut:


a12  a22  a32  1,
b1a1  b2 a2  b3a3  0,
c1a1  c2 a2  c3a3  0,
a1b1  b2 a2  a3b3  0,
b12  b22  b32  1,
c1b1  c2b2  c3b3  0,
a1c1  a2c2  a3c3  0,
b1c1  b2c2  b3c3  0,
c12  c22  c32  1.

dari persamaan persamaan tersebut diperlihatkan bahwa sifat ortnormal adalah

0 jika i  j
ui  u j 
1 jika i  j

yang juga merupakan sebagai fungsi delta kronecker.

Contoh 1.12

1 8 4  1 4 8
9 9  9  9 9 9
   
Jika A     dan AT  
4 4 7 8 4 1
 
9 9 9  9 9 9
8 1 4   4 
  4  7
 9 9 9   9 9 9 

1 8 4  1 4 8
9 9  9  9 9 9  1 0 0 
  
1 
AAT      0 1 0
4 4 7 8 4
 
9 9 9  9 9 9 
8 1   0 0 1
 4  4 7 4  
 
 9 9 9   9 9 9 

Karena AAT  I , maka AT  A1 . Jadi, A merupakan matriks ortogonal.

Sebuah matriks disebut sebagai matriks normal apabila

AAT  AT A.

Jika A adalah simetrik, atau skew-simetrik ortogonal maka A adalah normal.


Contoh 1.13

 2 3 5   0 3 4

1) Apabila A  3 6   3 0 5  , C  1 0 0 .
 7  , B   0 0 1
 5 7 8  4 5 0   

i. Matriks A adalah matriks simetri, karena AT  A.

ii. Matriks B adalah skew simetri karena BT  B.


iii. Karena matriks C bukan matriks persegi, maka matriks C bukan simetri juga
bukan skew simetri.

 19 8
9
4
9 

2) Misal A  94 4 7 .
 9 9 
 89 1
9 9
4 

Karena perkalian AAT  I , maka A adalah ortogonal.

6 3
3) Bila A   .
3 6 
Karena AA  A A, maka A adalah normal.
T T

Soal 1.7

1. Tentukan sifat matriks-matriks berikut, apakah simetrik, skew simetrik atau tidak
keduanya.

 5 7 1   0 4 3
0 0 0 
A  7 8 2  , B  4 0 5  , C  
 
0 0 0
. [15]
 1 2 4  3 5 0  

 4 x  2
2. Tentukan nilai x jika B    adalah matriks simetri. [10]
2 x  3 x  1 
3. Tunjukkan mana diantara matriks-matriks berikut yang merupakan matriks normal.
1 1 1
3 4 1 2  
A  , B  2 3  , C  0 1 1 . [15]
 4 3    0 0 1

9. MATRIKS KOMPLEKS
Matriks kompleks adalah matriks yang berisi komponen bilangan kompleks. Bila A adalah
matriks kompleks maka konjugat dari A yang dituliskan sebagai A yang komponen-
komponennya merupakan konjugat dari komponen-komponen A.

Konjugat transpose dari matriks A dinotasikan sebagai AH yang dioperasikan sebagai

AH   A    AT .
T

Contoh 1.14

 1  i 2  6i 4  3i 
Apabila A    . Maka
 2  1i 3  6i 4  2i 

 1  i 2  1i 
A   2  6i 3  6i  .
H

 4  3i 4  2i 

Matriks hermitian adalah sebuah matriks persegi dengan komponen-komponen real pada
diagonal utama dan komponen-komponen konjugat kompleks menempati posisi yang
merupakan cermin pada diagonal utama. Sebuah matriks disebut Hermitian apabila

AH  A.

Sedangkan sebuah matriks disebut skew-Hermitian apabila:

AH   A.

Sebuah matriks disebut unitary apabila

AH A1  A1 AH  I ,
yang terjadi jika

AH  A1.

Sebuah matriks kompleks disebut normal apabila matriks tersebut komutatif terhadap AH,

AAH  AH A.

Contoh 1.15

 2  3i 1 
Diketahui matriks C  
1  2i 
. Tentukan apakah matriks C merupakan matriks
 i
normal?

Penyelesaian:

H
dengan menentukan C C dan CC H .

2  3i 1  H 2  3i 1   2  3i 1   14 4  4i 
CH    , C C = 
1  2i   i 1  2i  4  4i 6 
=
 i 1  2i   i 

 14 4  4i 
dan CC  
H
 . Karena C H C = CC H . Maka matriks kompleks C adalah
4  4i 6 
matriks normal.

Contoh 1.16

Jika terdapat matriks-matriks berikut:

 3 1  2i 4  7i   1 i 1 
   2  3i 1
A  1  2i 4 2i  , B   i 1  i  , C  
i 1  2i 
1 .
4  7i 2i 5  1  i 1  i 0  

i. Karena setiap komponen simetri adalah konjugat simetrinya, maka A adalah Hermitian.
ii. Karena BBH  I maka B adalah unitary.

Karena CC  C C, maka C adalah matriks normal.


H H
iii.
Contoh 1.17
1 1 1 
Tunjukkan bahwa matriks   adalah uniter !
2 i i 

Penyelesaian:

1 1 1  1 1 i 
Misal A  i i  maka A 
H
 
2  2 1 i 

1 1 i  1 1 1 
AH A   .  
2 1 i  2 i i 

1 1 i  1 1 
 
2 1 i  i i 
.

1 2 0
 
2 0 2

1 0 
 I
0 1 

Soal 1.8
1. Tentukan AH pada masing-masing matriks berikut

 3  5i 2  4i 
i. A 
6  7i 1  8i 
 2  3i 5  8i 
ii. A   4 3  7i  . [10]
6  1 5i 
2. Tunjukkan bahwa matriks berikut adalah unitary.

 1  2i 2i

A   2 2i3 3

 13  23i 
. [10]
3
SOAL-SOAL TAMBAHAN

1. Berdasarkan matriks-matriks berikut

3 3 0 9 1 4 8   0 1 1
A  ,B    ,C    ,D   
1 1  4 1  2 5 2 8 1 4

Tentukan:

i. 5A  B
ii. 2C  3D
iii.  AB  C
iv. A2
v. f ( A) jika f ( x)  x2  2
vi. B3
vii.  BAT [40].

2. Apabila A  diag 1, 2, 3 dan B  diag  2,0, 1 . Tentukan

i. AB
ii. f (B) jika f  x   x2  4x 1 . [15]

3. Jika

 7 6 2 x 
A   y z 2 ,
 x 2 5 
tentukan besar x,y, dan z jika A adalah matriks simetri.[10]

4. Jika
 3 x  2i yi 
A  3  2i 0 1  zi  .
 yi 1  xi 1 
Temukan bilangan real dari x, y dan z. [15]

5. Buktikan apakah

1 1  i 1  i 
A 
2 1  i 1  i 
merupakan matriks unitary atau bukan [10].

6. Tunjukkan bahwa
 1 0
A 
1  i i 
adalah matriks normal atau bukan.[10]
n
2. Vektor dalam R dan
n
C , Vektor Spasial
1. PENGANTAR
Pada bagian ini akan dikenalkan bentuk-bentuk vektor abstrak selain vektor spasial atau
vektor dalam besaran-besaran fisika yang umum digunakan. Pembaca sebaiknya
membiasakan diri dengan dasar-dasar sifat dari medan bilangan riil yang dinotasikan
sebagai . Demikian juga dengan sifat-sifat medan bilangan kompleks . Dalam konteks
vektor, bagian-bagian dari bilangan sebuah medan disebut sebagai skalar. Meskipun dalam
bab ini kadang didefinisikan medan dan , namun terkadang operasi ditujukan pada
medan-medan sembarang K.

Misal terdapat delapan siswa dengan berat badan (dalam kg) masing-masing dalam daftar
berikut
34,56,74,23,56,57,45,42
Kita dapat menotasikan daftar berat badan siswa-siswi tersebut ke dalam hanya satu simbol
w, tetapi dengan indeks label yang berbeda
w1 , w2 , w3 , w4 , w5 , w6 , w7 , w8
Notasi dengan indeks tersebut masing-masing mewakili nilai yang ada pada posisi
deretannya, misal w1  34 dan w1  56 dan seterusnya. Maka daftar nilai

w   w1 , w2 , w3 ,..., w8 
yang disebut sebagai vektor. Dalam besaran-besaran fisika seperti temperatur dan kelajuan
hanya terdapat besar dari besaran tersebut. Besaran dengan sifat tersebut disebut sebagai
besaran skalar yang diwakili oleh bilangan skalar. Sementara itu, besaran fisika seperti gaya
dan kecepatan, memiliki besar dan arah. Besaran-besaran tersebut memiliki sebuah acuan
(reference) O, dan disebut sebagai vektor.

Pengertian Vektor

Vektor merupakan sebuah besaran yang memiliki arah. Vektor digambarkan sebagai panah
yang menunjukan arah vektor dan panjang garisnya disebut besar vektor. Dalam
penulisannya, jika vektor berawal dari titik A dan berakhir di titik B bisa ditulis dengan
sebuah huruf kecil yang diatasnya ada tanda garis/panah seperti atau atau juga:

A.B
3
Sekarang kita asumsikan pembaca familiar dengan ruang dimana semua titik diwakili
oleh tripel bilangan skalar yang titik acuannya adalah O. Setiap titik di dalam ruang tersebut
bersifat unik dan diwakili oleh koordinat titik akhir dari vektor tersebut.

Terdapat dua operasi penting dalam vektor, yakni penjumlahan vektor dan perkalian skalar,
yang juga merupakan operasi-operasi vektor dalam fisika.

i. Penjumlahan vektor
Resultan dari penjumlahan vektor u  v dapat diperoleh dengan mencari diagonal

dari kedua vektor tersebut. Jika  a, b, c   


dan a' , b' , c' adalah masing-masing titik
akhir dari u dan v , maka  a  a , b  b , c  c  adalah
' ' '
titik akhir hasil dari

penjumlahan dari kedua vektor tersebut.


ii. Perkalian Skalar
Perkalian ku dari vektor u dengan bilangan rill k. Bila u   a, b, c  maka hasil

kalinya dengan k adalah  ka, kb, kc  .

2. VEKTOR DALAM n

Suatu besaran yg mempunyai besar dan arah, besar dalam hal ini adalah panjang vektor tsb.
Misalkan:
u   2, 1,3

5 
v   3 
 4 
 

u dinyatakan dalam vektor baris dan v dinyatakan dalam vektor kolom.

n
Himpunan n-tupel dari bilangan rill di notasikan sebagai , yang disebut sebagai ruang n.
n
n-tupel tertentu dalam , adalah
u   a1, a2 ,..., an 

yang disebut sebagai sebuah titik atau vektor. Bilangan ai disebut sebagai koordinat,

komponen atau anggota dari u.

Dua vektor yang sama, u dan v ditulis sebagai vektor yang sama dengan u  v jika
keduanya memliki jumlah komponen dan posisi (corresponding) yang sama. Misal
meskipun vektor (1,2,3) dan (2,3,1) memiliki jumlah anggota yang sama, namun kedua
vektor tersebut tidak memiliki anggota yang sama pada posisinya masing-masing, sehingga
kedua vektor tersebut tidaklah sama.

Vektor (0, 0,..., 0) yang memiliki seluruh anggota 0 disebut sebagai vektor 0 yang
dinotasikan sebagai 0.

Contoh 2.1
1) Vektor  2, 5 dan  7,9  adalah vektor dalam 2
. Sedangkan vektor  0,0,0 dan

3, 4,5 adalah vektor dalam 3


.

2) Tentukan nilai x,y,z apabila vektor  x  y, x  y, z 1 adalah vektor yang sama

dengan  4, 2,3 .

Solusi:
Dengan definisi dua vektor yang sama, maka
x  y  4; x  y  2; z 1  3
Dengan memecahkan persamaan tersebut maka x  3, y  1, z  4.

3) Misalkan u  1,3  4, 2 , v   4, 2, 2,1 , w  5, 1, 2,6 adalah vektor-vektor


4
pada .
Solusi:
u, w  5  3  8 12  22 dan u, w  20  2  4  6  24

Perhatikan bahwa 3u  2v   5,13, 16, 4 .

Sehingga: 3u  2v, w  25 13  32  24  18

Vektor Kolom

n
Kadang-kadang vektor dalam ruang n juga ditulis secara vertikal, yang disebut sebagai
vektor kolom. Sebagai contoh,

2
1   
0  dan  3
  1 

3. PENJUMLAHAN VEKTOR DAN PERKALIAN SKALAR

v u
y x

Gambar 1.1 Penjumlahan dua vektor bersift assosiatif

u   a1 , a2 , a3 

v  b1, b2 , b3 

u  v   a1  b1, a2  b2,a3  b3 

z ku

y x

Gambar 1.2 Jumlah vektor dengan negatifnya menghasilkan vektor nol

u   a1 , a2 , a3 

ku   ka1 , ka2 , ka3 

Penjumlahan vektor yang tidak memiliki komponen yang sama tidak didefenisikan.
Penjumlahan vektor dapat diperoleh dari hukum jajar genjang. Vektor negatif atau
pengurangan vektor didefenisikan:
u   1 u

u  v  u   v 

n
Jika terdapat vektor u dan v di dalam yang masing-masing adalah
u   a1, a2 ,..., an  dan v  b1, b2 ,..., bn 
Penjumlahan kedua vektor tersebut adalah:
u  v   a1  b1, a2  b2 ,..., an  bn 
Oleh karena itu, penjumlahan vektor antara vektor yang tidak memiliki jumlah anggota
yang sama tidak dapat didefinisikan.

Sedangkan perkalian skalar u dengan suatu bilangan skalar k


ku  k  a1, a2 ,..., an    ka1, ka2 ,..., kan 
n
Vektor negatif dan pengurangan vektor dalam ditulis sebagai
u   1 u dan u  v  u   v 
Vektor –u disebut sebagai negatif dari u dan u-v disebut sebagai perbedaan antara u dan v.

2
Perkalian Vektor di dengan Skalar

Suatu vektor dapat dikalikan dengan suatu skalar (bilangan real) dan akan menghasilkan

suatu vektor baru. Jika v adalah vektor dan k adalah skalar. Maka perkalian vektor:

k.v

Dengan ketentuan:

i. Jika k  0 , maka vektor k.v searah dengan vektor v

ii. Jika k  0 , maka vektor k.v berlawanan arah dengan vektor v


0
iii. Jika k  0 , maka vektor k.v adalah vektor identitas 0 
0
Contoh 2.2
1) Bila u   2, 4  5 dan v  1, 6,9 . Maka,

u  v   2  1, 4   5 , 5  9  3, 1, 4

7u   7  2 ,7  4  7  5  14, 28, 35

v  11, 6,9   1,6, 9

2) Diketahui u   2, 1,3 dan v   4,3  5 . Tentukan 2u  4v

Solusi:
2u  4v  2  2, 1, 3  4  4,3, 5

  4, 2,6  16,12, 20

  20,10, 14
Teorema 2.1

Untuk vektor-vektor u, v, w di dalam n


dan bilangan-bilangan skalar k,k’ di dalam .

i. u  v   w  u   v  w ,
ii. u  0  u,
iii. u   u   0,
iv. u  v  v  u,
v. k u  v   ku  kv,

vi.  k  k  u  ku  k u,
' '

vii.  kk  u  k  k u  ,
' '

viii. 1u  u

Soal 2.1

1. Tunjukkan dua vektor dari vektor-vektor berikut yang disebut sebagai vektor yang
sama
u1   2,3, 4 u2  3,4,2 u3   2,3,4 u4   4,2,3

dan sebutkan alasannya.[2]

2. Jika
u   2,3, 4 v   2, 3,0 w  8, 3,1
Tentukanlah:
a) u-v
b) 2u+3v-w. [5]
3. Jika
 2 1  9
u  1 , v   2  , w  2
3  6  2 
Tentukanlah:
a) u+2v
b) 2u+v-w. [5]

4. Tentukan nilai x, y dan z jika vektor-vektor berikut memiliki hubungan:

1 1 1   2 
2  x 1  y 2  z 1 [10].
      
 5  1 3  1 

4. PERKALIAN TITIK (DALAM)


n
Jika terdapat vektor u dan v di dalam yang masing-masing adalah

u   a1, a2 ,..., an  dan v  b1, b2 ,..., bn 


Perkalian titik atau perkalian dalam dari vektor u dan v didefinisikan sebagai:
u  v   a1b1, a2b2 ,..., anbn 
Vektor u dan v disebut ortogonal atau tegak lurus apabila u  v  0.

Contoh 2.3
1) Bila u  1, 2,3 v   4,5, 1 w   2,7, 4 . Maka,

u  v  1 4  2 5  3 1  9.


u  w  2 14 12  0.
v  w  8  35  4  39.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa u dan w adalah ortogonal.
2) Bila u  1, 2,3, 4 dan v   6, k , 8, 2 . Berapakah nilai k bila kedua vektor tersebut

adalah ortogonal.
Solusi:
u  v  6  2k  24  8  10  2k  0
maka nilai k adalah 5.
Teorema 2.2

Untuk vektor-vektor u, v, w di dalam n


dan bilangan-bilangan skalar k,k’ di dalam .

i. u  v   w  u  w  v  w,
ii.  ku   v  k u  v  ,
iii. u  v  v  u,
iv. u  v  0, dan u  u  0, jika dan hanya jika u  0.

Norm (Panjang) Sebuah Vektor

n
Panjang suatu vektor u yang bukan nol pada dilambangkan dengan “ u ” di

defenisikan:

u   a1, a2 , a3 ,..., an 

u  a12  a22  a32  ...  an2

Jika vektor u dimana u  1 , maka u disebut vektor satuan. Vektor satuan yang unik yg

searah dengan vektor u adalah u dirimuskan dengan:

u
u
u

n
Norm atau panjang sebuah vektor yang berada pada dinotasikan sebagai u yang

didefinisikan sebagai non negatif akar dari kuadrat u  u. Jika u   a1 , a2 ,..., an  maka

u  u  u  a12  a22  ...  an2 .

Sebuah vektor u disebut sebagai vektor satuan jika u  1 atau u  u  1. Untuk semua
n
bukan vektor nol v di dalam terdapat

1 v
vˆ  v
v v

yang merupakan vektor satuan pada arah yang sama dengan v. Proses untuk menentukan v̂
dari v disebut sebagai normalisasi v.

Contoh 2.4
1) Bila u  1, 2, 4,5,3 . Kita dapat menghitung u  u  u dengan hasil
2

u  1   2   4  5  3  55


2 2 2 2 2 2

maka u  55.

2) Bila v  1, 3, 4,2 dan u   12 , 61 , 65 , 16  . Maka,

9 1 25 1 36
v  1  9  16  4  30 dan w       1 1
36 36 36 36 36
3) Diketahui vektor u   2, 1,3 dan vektor v   4,3, 7 

Tentukan: d  u, v 

Solusi:

u   2, 1,3 v   4,3, 7 

d u, v    2  42   1 32  3   7


2

 4  16  100

 120

Sehingga, w disebut sebagai vektor satuan dan v bukan vektor satuan. Untuk
menormalisasi v dapat dilakukan dengan

v  1 3 4 2 
vˆ  
v  30 30 30 30 
, , ,

yang merupakan vektor satuan yang unik dan memiliki arah yang sama dengan v.

Teorema 2.3 (Schwarz)

Jika terdapat vektor u,v di dalam n


, u v  u v .

Teorema 2.4 (Minkowski)

Jika terdapat vektor u,v di dalam n


, uv  u  v .

Jarak, Sudut dan Proyeksi


Jarak antara vektor u   a1 , a2 ,..., an  dan v   b1 , b2 ,..., bn  dalam n
dinotasikan dan

didefinisikan sebagai

d  u, v   u  v   a1  b1 2   a2  b2 2  ...   an  bn 2
Kita dapat melihat, bahwa definisi tersebut sama dengan definisi yang familiar kita
2 3
gunakan dalam bidang Euclidean atau ruang Euclidean .

Sudut  antara dua vektor u,v yang bukan vektor nol di dalam n
di definisikan
sebagai
u v
cos  
u v
dengan ketidaksamaan Schwarz maka
u v
1  1
u v

yang jika u  v  0 maka   90 yang juga merupakan definisi sifat ortogonal dua
vektor.

Proyeksi sebuah vektor u terhadap vektor v yang bukan vektor nol dinotasikan dan
didefinisikan sebagai
u v
proj  u, v   2
v
v

Contoh 2.5
Bila u  1, 2,3 dan v   2, 4,5 . Maka,

d  u, v   1  22   2  42  3  52  1  36  4  41.


Berdasarkan vektor tersebut juga dapat diperoleh

u  v  2  8 15  9; u  1 4  9  14; v  4 16  25  45


2 2

sehingga
u v 9
cos   .
u v 14 45

Demikian juga
u v 9 2 4 
proj  u, v   v   2, 4,5   , ,1 .
5 5 
2
v 45

Soal 2.2

1. Tentukan u  v untuk vektor-vektor berikut:

u1   2,3, 4 u  3, 4, 2 .[2]


2. Jika
u  5,4,1 v   3, 4,1 w  1, 2,3
Tentukanlah pasangan vektor mana yang merupakan vektor ortogonal dan bukan [5].
3. Tentukan nilai k jika vektor u dan v adalah ortogonal.
(a) u  1, k , 3 dan v   2, 5, 4

(b) u   2,3k , 4,1,5 dan v   6, 1,3,9, 2k  . [5]

4. Tentukan u jika,

(a) u   2,5, 3

(b) u  1, 2, 2 .[5]

5. Lakukan proses normalisasi pada vektor-vektor berikut


(a) u   4, 3

(b) v  1,5,8, 2, 4 .[5]

6. Jika u  1,3, 2 dan v   3, 2, 4 tentukanlah

(a) Sudut  antara u dan v.


(b) proj  u, v  untuk proyeksi u terhadap v.

(c) Jarak d  u, v  antara u dan v.[10]

7. Buktikan
(a) Teorema 2.2.
(b) Teorema 2.3.
(c) Teorema 2.4. [15]
5. VEKTOR SEARAH, BIDANG HIPER, GARIS DAN KURVA PADA
n

Pasangan-pasangan titik antara A  ai  dan B  bi  di dalam n


didefinisikan sebagai vektor

searah atau potongan garis searah dari A yang ditulis sebagai AB. Sebuah vektor,

u  B  A  b1  a1, b2  a2 ,..., bn  an 

dengan besar u memiliki besar dan arah yang sama dengan AB. Kedua vektor digambarkan
dalam Gambar 2.1

Gambar 2.1 Vektor AB memiliki arah dan besar yang sama dengann vektor u.

Bidang Hiper

Sebuah bidang hiper H di dalam n


adalah himpunan titik-titik  x1, x2 ,..., xn  yang

memenuhi persamaan

ax1  ax2  ...  axn  b

dengan u   a1 , a2 ,..., an  adalah koefisien yang tidak nol. Dengan demikian bidang hiper H
2 3
di adalah sebuah garis dan bidang hiper di adalah sebuah bidang. Gambar 2.2
adalalah ruang 3
dengan u ortogonal terhadap potongan garis PQ, dengan P  pi  dan

Q  qi  adalah titik di dalam H.

Bila P  pi  dan Q  qi  adalah titik di dalam H, maka keduanya akan memenuhi persamaan

ap1  ap2  ...  apn  b dan aq1  aq2  ...  aqn  b

misal

v  PQ  Q  P   q1  p1 , q2  p2 ,..., qn  pn  ,

Maka

u  v  a1  q1  p1   a2  q2  p2   ...  an  qn  pn 

  a1q1  a2q2  ...  an qn    a1 p1  a2 p2  ...  an pn   b  b  0

Dengan demikian u dan v bersifat ortogonal sebagaimana klaim sebelumnya.

Gambar 2.2 Vektor PQ ortogonal terhadap vektor u.

Garis

Garis L pada n
yang melewati garis P  b1 , b2 ,..., bn  dan dalam arah vektor bukan nol

u   a1 , a2 ,..., an  yang terdiri dari titik titik X  x1, x2 ,..., xn  yang memenuhi

X  P  tu

atau
 x1  a1t  b1
x  a t  b
 2 2 2

 ...................
 xn  ant  bn

atau

L t    ait  bi 

3
dengan paramater t adalah nilai rill. Garis L di digambarkan pada Gambar 2.3.

3
Gambar 2.3 Garis dalam

n
Kurva di dalam

Sekarang kita ambil interval D pada bilangan rill . Sebuah fungsi kontinyu F : D  n

adalah kurva di dalam n


. Dengan demikian setiap titik t  D yang dipetakan dalam n

ditulis sebagai

F t  :  F1 t  , F2 t  ,..., Fn t 

Derifasi dari kurva ditulis sebagai,

dF  t   dF1  t  dF2 t  dF t  
V t    , ,..., n 
d t   d t  d t  d t  

yang merupakan tangensial dari kurva. Normalisasi V  t  dilakukan dengan

V t 
T
V t 
dengan T adalah vektor satuan tangensial dari kurva.

Contoh 2.6

1) Bila H adalah bidang dalam 3


dalam bentuk 2x  5 y  7z  4. Bila terdapat titik

P 1,1,1 dan Q  5, 4, 2 adalah solusi dari persamaan. Maka,

v  PQ  Q  P  5  1, 4  1, 2  1   4,3,1

vektor u  v   2, 5,7  4,3,1  8 15  7  0

terlihat bahwa u ortogonal terhadap v

2) Tentukan persamaan bidang hiper H pada 4


yang melalui titik P 1,3, 4, 2 dan

bersifat normal terhadap vektor u   4, 2,5,6.

Solusi:
Koefisien yang tidak diketahui dari persamaan H adalah komponen vektor normal u,
dengan persamaan H harus dalam bentuk
4 x1  2 x2  5x3  6 x  k
Dengan melakukan subtitusi ke P ke dalam persamaan, kita memperoleh
4 1  2 3  5  4  6  2  k  10

Sehingga, 4 x1  2 x2  5x3  6 x4  10 adalah persamaan H.

4
3) Tentukan wakilan parameterik dari garis L dalam yang melalui titik
P 1, 2,3, 4 dan searah dengan u  5,6, 7,8.
Solusi:
Dengan melakukan sibtitusi ke dalam persamaan L menghasilkan wakilan parametrik
sebagai berikut:
x1  5t  1, x2  6t  2, x3  7t  3, dan x4  8t  4,
atau ekuivalen dengan
L t   5t 1,6t  2, 7t  3,8t  4
t adalah bilangan bukan nol.

4) Suatu kurva F  t   sin t,cos t, t  pada 3


. Tentukan vektor satuan tangensial T .
Solusi:
Diferensial dari fungsi pemetaan tersebut adalah
V t   cos t,  sin t,1
yang merupakan vektor tangensial dari kurva tersebut. Dengan melakukan
normalisasi V  t  maka dapat diperoleh

V  t   cos2 t  sin 2 t  1  2
2

Maka vektor satuan tangen T adalah


V t   cos t  sin t 1 
T  , , .
V t   2 2
2
2

Soal 2.3

1. Tentukan vektor u yang diidentifikasi memiliki arah yang sama dengan potongan

garis PQ untuk titik-titik berikut:

a) P 1, 2, 4 dan Q  6,1, 5 di dalam 3


.

b) P  2, 2,1,8 dan Q  6,1, 5,3 di dalam 4


. [5]
2. Tentukan persamaan bidang hiper H di dalam 4
yang melalui P  5, 3, 2, 1 dan

diketahui normal terhadap u   2,5, 6, 3 [5]

3. Tentukan persamaan bidang H di dalam 3


yang memuat P 1, 3, 1 dan sejajar

dengan bidang H’ yang ditentukan melalui persamaan 3x  6 y  5z  2. [5]


4
4. Tentukan wakilan paramterik dari garis L di dalam yang melalui
P  2, 1,4, 3 dalam arah yang sama terhadap u  1, 4,6, 4 .[10]

5. 
Apabila C adalah kurva F t   t ,3t  2, t , t  5 di dalam
2 3 2
 4
dengan 0  t  4

. Tentukan vektor satuan tangensial kurva tersebut. [5]

6. VEKTOR SPASIAL 3

3
Vektor di dalam Disebut sebagai vektor spasial. Beberapa notasi yang lazim digunakan
adalah sebagai berikut:

iˆ  1, 0, 0 adalah notasi vektor satuan untuk arah x.


ˆj  0,1,0 adalah notasi vektor satuan untuk arah y

kˆ  0,0,1 adalah notasi vektor satuan untuk arah z.

Maka suatu vektor u   a, b, c di dalam 3


dapat dinyatakan dalam

u   a, b, c  aiˆ  bjˆ  ckˆ

Vektor iˆ, ˆj, kˆ adalah vektor yang ortogonal yang hasil perkalian titik vektor-vektor tersebut
adalah

iˆ  iˆ  ˆj  ˆj  kˆ  kˆ  1, dan iˆ  ˆj  iˆ  kˆ  ˆj  kˆ  0.
Selanjutnya, jika terdapat vektor

u  a1iˆ  a2 ˆj  a3kˆ dan v  b1iˆ  b2 ˆj  b3kˆ


maka

u  v   a1  b1  iˆ   a2  b2  ˆj   a3  b3  kˆ
dan

cv  cb1iˆ  cb2 ˆj  cb3kˆ


dengan c adalah skalar. Sementara itu

u  v  a1b1  a2b2  a3b3 dan u  u  u  a12  a22  a32


Perkalian silang (cross product)

Perkalian silang dinotasikan sebagai u  v. Melalui definisi determinan,

a b a b
 ad  bc dan   bc  ad .
c d c d

dengan a dan d adalah komponen diagonal, sedangkan b dan d adalah komponen


nondiagonal.

u  v   a2b3  a3b2  iˆ   a3b1  a1b3  ˆj   a1b2  a2b1  kˆ

a1 a2 a3 a a a a a a
 iˆ  1 2 3 ˆj  1 2 3 kˆ
b1 b2 b3 b1 b2 b3 b1 b2 b3

Contoh 2.7

1) Diketahui vektor-vektor:

a   2, 2, z  , b   8, y, 5 , c   x, 4 y, 4  , d  (2 x, 22,  z,8)

Jika vektor a tegak lurus dengan b dan vektor c sejajar dengan d maka ( y  z)
Solusi:

Diketahui bahwa vektor a tegak lurus dengan vektor b sehingga a.b  0


 2  8 
 2  y   0
  
 2  5 
  
16  2 y  5z  0
2 y  5z  16.....Persamaan(1)

2) Diketahui vektor c sejajar dengan d sehingga c  a.d


x   2x 
 4 y     22  z 
   
4  8 
   
4  8
1

2
1
4 y  (22  z)
2
8 y  2  22.....Persamaan(2)
dari persamaan (1) dan (2)

diperoleh z  2 dan
y  3z

Maka,
y  z 1

3) Jika vektor a dan b merupakan (a  b).b  12, a  2 dan b  3 maka sudut

antara a dan b
Solusi:

a  2 dan b  3

(a  b).b  12

(a.b)  bb
.  12
2
a . b cos   b  12

2.3cos  32  12
6cos  9  12
1
cos  
2
  60

7. VEKTOR DALAM n
n
Himpunan dari tupel-n bilangan kompleks dinotasikan sebagi disebut sebagai ruang
kompleks-n. Penjumlahan dan perkalian skalarnya mengikuti

 z1, z2 ,..., zn   w1, w2 ,..., wn    z1  w1, z2  w2 ,..., zn  wn 


z  z1, z2 ,..., zn    zz1, zz2 ,..., zzn 
dengan zi, wi, dan z berada pada .
Misal, u   z1 , z2 ,..., zn  dan v   w1 , w2 ,..., wn  di dalam n
. Perkalian dalam dair u dan v
didefinisikan sebagai
u  v   z1w1  z2 w2  ...  zn wn 
Sedangkan norm dari vektor u didefinisikan sebagai

u  u  u  z1 z1  z1 z2  ...  zn zn .

Contoh 2.8
1) Jika terdapat vektor u   2  3i, 4  i,3  5i  dan v  3  4i,5i, 4  2i 

u  v   2  3i 3  4i    4  i 5i   3  5i  4  2i 

  2  3i 3  4i    4  i  5i   3  5i  4  2i   9  19i

u  u  2  3i  4  i  3  5i  64
2 2 2

u  64  8.

Soal 2.4
1. Bila u  2iˆ  4 ˆj  2kˆ ; v  3iˆ  4 ˆj  kˆ dan w  iˆ  ˆj  kˆ. Tentukan,
i. u  v;
ii. u  w;

iii. w . [9]

2. Tentukan persamaan garis dari garis L yang melalui titik P 1, 4,5 dan Q  3,6, 1

.[5]
3. Jika S adalah permukaan xy 2  2 yz  16 di dalam 3
. [10]
ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ
4. Jika u  i  2 j  k dan v  2i  5 j  2k. Tentukan
i. uv
ii. v u
iii. Tunjukkan bahwa v  u  u  v. [15]
5. Terdapat z  3  2i dan z  1  2i. Tentukanlah,
i. zw
ii. zw
iii. z . [15]
3. Ruang Vektor

1. PENGANTAR

Mengapa kita perlu belajar ruang vektor? Kita telah melewati bentuk formal dari vektor
dan matriks. Bentuk-bentuk formal tersebut akan sangat berguna dalam menyelesaikan
masalah-maslaah murni matematika atau fisika. Sekarang, tinjau dua masalah berikut:

Masalah 1. Tentukan dari persamaan-persamaan berikut:

2 x1  2 x2  4 x3  2
3x1  3x2  0 x3  6
0 x1  4 x2  3x3  5
Masalah tersebut juga dapat dituliskan dalam bentuk

 2 2 4  x1   2 
 3 3 0  x    6 
  2   
 0 4 3  x   5 
  3   

juga dapat ditulis kembali menjadi

 2 2  4   2 
x1  3   x2  3   x3  0    6  .
   
 0 4  3   5
       

Sekarang kita tinjau masalah berikutnya.

Masalah 2. Tentukan dari persamaan-persamaan berikut:

x1 sin  t   x2 sin  2 t   x3 sin 3 t   ...  e5it

Masalah 2 merupakan masalah familiar untuk menemukan bentuk energi dari momentum
partikel di dalam kotak. Kita dengan sangat mudah memecahkan Masalah 1, karena dalam
kuliah fisika matematika pembaca telah memperoleh materi aljabar linear. Tapi bagaimana
dengan Masalah 2? Kita tidak mungkin menyelesaikannya dengan teknik yang serupa
dengan pemecahan masalah pada masalah 1. Kabar baiknya, dengan mengidentifikasi jenis
dan sifat dari objek matematika tertentu, seperangkat teorema yang akan kita pelajari dalam
ruang vektor.

Untuk memahami konsep ruang vektor pembaca sebaiknya telah terbiasa dengan dasar-
dasar dalam teori himpunan dan logika matematik. Sepanjang materi ruang vektor, bahasa
dan notasi dalam kedua dasar teori tersebut banyak digunakan. Sebagian pembaca telah
mendapatkan materi matematika pada Kalkulus Dasar dan Fisika Matematika. Konten
kedua mata kuliah tersebut sebagian besar berupa prosedur menyelesaikan bentuk-bentuk
permasalahan. Pembaca diharapkan merubah pandangannya, bahwa belajar matematika
bukanlah hanya mengerjakan seperangkat prosedur penyelesaian masalah.

Sebagai contoh struktur aljabar yang merupakan lapangan yang sering dijumpai yaitu:

i.  R, ,. merupakan himpunan bilangan riil terhadap penjumlahan dan perkalian

bilangan riil.
ii.  , ,. merupakan himpunan bilangan kompleks terhadap penjumlahan dan
perkalian bilangan kompleks.
iii.  , ,. merupakan himpunan bilangan rasional terhadap penjumlahan dan
perkalian bilangan rasional

Berikut adalah simbol atau notasi yang akan banyak digunakan dalam materi ruang vektor

1.  untuk menyatakan keanggotaan.


Misal x  A artinya x adalah anggota dari himpunan A.
2.  untuk mengkuantifikasi secara universal.
Misal b  B artinya untuk setiap b anggota B.
3.  untuk kuantifikasi eksistensial.
Misal c  B artinya terdapat c yang merupakan anggota dari B.

Definisi 1.
Diberikan himpunan tak kosong V Bersama dengan suatu operasi pada V . Diberikan suatu

lapangan (field)  R, ,. . Diberikan suatu operasi skalar: RxV V , himpunan V disebut

ruang vektor atas R terhadap operasi perklaian skalar.


2. RUANG VEKTOR
Definisi 1. Ruang vektor terdiri dari himpuann V yang anggotanya adalah vektor-vektor
pada medan skalar K yang dapat dilakukan operasi
i. Penjumlahan vektor dari u , v  V akan menghasilkan u  v dengan

ii. Perkalian skalar k  K dengan vektor u V akan menghasilkan vektor ku dengan


ku V . dan memenuhi aksioma-aksioma berikut:
 Penjumlahan vektor asosiatif

u  v   w  u   v  w u, v, w V .
 Terdapat vektor 0

Terdapat vektor 0 di dalam V yang memenuhi 0  w  w w V .

 Terdapat sifat negatif.


u V terdapat u yang disebut u negatif dengan sifat u   u   0.
 Sifat asosiatif perkalian

 ab u  a bu  dengan a, b  K dan u V .


 Sifat distributif

 a  b u  au  bu dan a  u  v   au  av a, b  K dan u, v V .

 Sifat unitary
1u  u u V .

Contoh 3.1
n
1) Vektor dalam adalah ruang vektor sebab meenuhi oprasi dan aksioma berikut:
i. Penjumlahan vektor dari

 a1 
a 
u   2
 ... 
 
an 
 b1 
b 
v   2
 ... 
 
bn 
akan menghasilkan
 a1  b1 
a  b 
uv   2 2
 ... 
 
an  bn 
yang u  v  n
.

ii. Perkalian skalar k  K dengan vektor u n


akan menghasilkan vektor ku
dengan ku  n
.

 ka1 
 ka 
ku   2 
 ... 
 
 kan 
 Penjumlahan vektor asosiatif

u  v   w  u   v  w u, v, w  n
.
 Terdapat vektor 0

Terdapat vektor 0 di dalam n


yang memenuhi 0  w  w w n
.

0  b1   0  b1 
0  b2  0  b 
0   , w  maka 0  w  
2
w
...  ...   ... 
     
0 bn  0  bn 

 Terdapat sifat negatif.


u  n
terdapat u yang disebut u negatif dengan sifat u   u   0.

 a1   a1  0
 a  a  0
u   2
, u  2
maka u   u    
 ...   ...  ...
     
an  an  0
 Sifat asosiatif perkalian

 ab u  a bu  dengan k , l  K dan u n


.

 kla1 
kla 
 kl  u  k lu    ...2 
 
klan 
 Sifat distributif

 k  l  u  ku  lu dan k u  v   ku  kv k, l  K dan u, v  n


.

  k  l  a1   ka1   la1 
 
  k  l  a2   ka2  la2 
k  l u      ku  lu
...   ...   ... 
     
 k  l  an  kan  lan 

Sifat unitary

 1u  u u  n
.
 a1 
a 
1u  1  2   u
 ... 
 
 an 
2) 
Himpunan S  x, y, z  3
, x  y  z  1 bukanlah ruang vektor sebab tidak
terdapat vektor nol di dalam himpunan tersebut dan apabila dilakukan operasi
penjumlahan dan perkalian skalar, hasilnya bukanlah bagian dari himpunan tersebut.
Misal, u  1, 1,1 dan v  1,0,0 , jika kedua vektor dijumlahkan akan diperoleh

vektor u  v   2, 1,1 yang bukan anggota himpunan S. Demikian juga dengan

2u   2, 2, 2 juga bukan merupakan anggota himpunan S.

3) Matriks M mn adalah ruang vektor karena memenuhi seluruh oprasi dan aksioma

pada Definisi 1.
4) Polinomial P  x  adalah ruang vektor karena memenuhi seluruh oprasi dan aksioma

pada Definisi 1.
5) Pemetaan f :  adalah ruang vektor karena memenuhi seluruh oprasi dan
aksioma pada Definisi 1.
Soal 3.1
1. Tentukan apakah objek matematik berikut merupakan ruang vektor atau bukan
a. Matriks M 22

b. Himpunan

S  x, y, z  3
x2  y 2  z 2  4 .  [10]
Himpunan A disebut sebagai subhimpunan dari B jika semua anggota himpunan A
ada di dalam himpunan B. Sebagai contoh himpunan titik di dalam lingkaran


C  a, b  2

a 2  b2  1 adalah subhimpunan dari 2
.

Definisi 2. Bila V adalah ruang vektor pada medan F. Subruang dari V adalah non
subhimpunan kosong W dari V yang memenuhi
i. Terdapat vektor nol V di dalam W.

ii. Jika x, y W maka x  y W

iii. Jika x W dan   F maka  x W

Contoh 3.2
1) Ruang vektor V adalah subruang untuk dirinya sendiri.

2) U   x1, x2 , x3 , x4  x1  2x2  2 bukanlah subruang dari 4


. x, y U dengan

x   x1, x2 , x3 , x4  dan y   y1, y2 , y3 , y4  maka x1  2 x2  2 dan y1  2 y2  2 .

Dengan menjumlahkan kedua vektor diperoleh x1  y1  2 x2  2 y2  4 , sehingga

 x  y  U , maka U bukan subruang dari 4


.

3) Di dalam ruang vektor rill 2


himpunan X   x,0 ; x   adalah sebuah

subruang.
Melalui

 x1,0   x2 ,0   x1  x2 ,0


  x,0    x,0
2
terbukti memenuhi definisi subruang dari .
 a  
4) V     2
2a  3b  adalah subruang dari 2
.
 b  
0
i. Subhimpunan V memuat vektor nol   karena 2  0  3 0.
0
a c
ii. Jika terdapat u    dan v    maka
b d 
ac
uv  
b  d 
yang berarti
2  a  c   3b  d 
2a  2c  3b  3d
yang dapat diasumsikan
2a  3b dan 2c  3d
yang juga berada di dalam V.
iii. Jika terdapat bilangan skalar k, maka
 ka 
ku   
 kb 
sehingga 2ka  3kb atau 2a  3b, yang juga di dalam V. Sehinga vektor V
2
adalah subruang dari .

Soal 3.2
4
1. Tentukan apakah subhimpunan dari di bawah ini juga merupakan subruang dari
4
:
i.  x, y, z, t  ; x  1
ii.  x, y, z, t  ; xt  yz
iii.  x, y, z, t  ; x  y, z  t [10]
3
2. Tunjukkan bahwa garis dalam yang tidak melalui pusat koordinat bukan
3
merupakan subruang dari [5]
3 3 3
3. Tunjukkan apakah adalah subruang dari atau merupakan subruang dari
3
. [5]
2 3
4. Apakah adalah subruang dari . [5]
 a  
 
5. Tunjukkan bahwa V   0  a, b   adalah subruang dari
3
. [5]
 
b  
  
 x  
6. Tunjukkan bahwa V    x   bukanlah subruang dari 2
. [5]
 x  1 
Teorema 1. Irisan sejumlah subruang di dalam ruang vektor V juga merupakan subruang di
dalam V.
Apabila terdapat U dan W adalah subruang di dalam ruang vektor V. Maka irisan U W
juga merupakan subruang di dalam V. Misal terdapat u dan v di dalam irisan U W.
Kemudian u, v U dan u, v W. Diketahui U dan W adalah subruang untuk a, b  K,

au  bv U dan au  bv W Sehingga au  bv U W. Dengan demikian U W


adalah subruang dari V.

3. KOMBINASI LINEAR DAN SPAN


Definisi 3. Jika terdapat himpunan vektor v1 , v2 ,..., vk  di dalam ruang vektor V, dan

kemudian terdapat vektor dalam bentuk


v  a1v1  a2v2  ...  ak vk
yang merupakan kombinasi linear dari v1 , v2 ,..., vk . dengan a1 , a2 ,..., ak adalah bilangan-

bilangan skalar.

Contoh 3.3
Apabila v1  1, 2,3 dan v2  1,0, 2 , dengan kombinasi linear dari vektor-vektor

tersebut adalah u   1, 2, 1 . Bilangan skalar dari kombinasi linear tersebut dapat

dituliskan sebagai u  a1v1  a2v2 . Sehingga,

a1  a2  1
2a1  0a2  2
3a1  2a2  1
Untuk menentukan bilangan-bilangan skalar tersebut, dilakukan pemecahan dengan
menuliskan matriks

 1 1 1
 
 20 2 
 3 2 1
 
dengan operasi R2  2 R1 dan R3  3R1 diperoleh,

 1 1 1
 
 0 2 4 
 0 1 2 
 
dengan demikian diperoleh a2  2 dan a1  1.
Definisi 4. Jika terdapat himpunan vektor v1, v2 ,..., vk  di dalam ruang vektor V,

himpunan semua vektor yang merupakan kombinasi linear dari v1 , v2 ,..., vk  yakni,

spanv1, v2 ,..., vk   v V v  a1v1  a2v2  ...  ak vk 

Contoh 3.4
Span v1 , v2  jika v1  1, 2,3 dan v2  1,0, 2 adalah himpunan semua vektor

 x, y, z   3
dengan  x, y, z   a1 1, 2,3  a2 1,0, 2. Dalam sajian dalam bentuk

matriks,

1 1 x
 
2 0 y
3 2 z 
 
melalui operasi aljabar berikut
1
R2  R2  2R1 ; R3  R3  3R1 ; R2  R2 dan R3  R3  R2
2
maka diperoleh, 4x  y  2z  0. Dengan demikian span v1 , v2  adalah

4x  y  2z  0.

Soal 3.3

1. Tunjukkan bahwa u   2,2,6 adalah kombinasi linear dari v1   2, 4, 4 dan

v2  1,1,1 . [5]

Tunjukkan bahwa u   2,1,3 adalah kombinasi linear dari v1  1,1, 2 ,

v2   3, 4,0 dan v3  1,1,1 . [10]

2. Tentukan span v1 , v2  jika v1  1,1,1 dan v2   2, 2, 2 . [10]

3. Tunjukkan bawa vektor satuan iˆ dan ĵ adalah span dari 2


. [10]
4. BEBAS DAN BERGANTUNG LINEAR
Definisi 5. Jika terdapat himpunan vektor v1, v2 ,..., vk  sedemikian rupa sehingga

himpunan semua vektor a1v1  a2v2  ...  ak vk  0 disebut bebas linear jika skalar-skalar

a1 , a2 ,..., ak semuanya adalah nol dan disebut bergantung linear jika tidak semuanya
bernilai nol.

Contoh 3.5

1) Jika terdapat v1  1, 2,3 dan v2  1,0, 2 , dengan

a1 1, 2,3  a2 1,0, 2   0,0,0

 1 1 0 1 1 0
   
 2 0 0  0 1 0
 3 2 0  0 0 0
   
Sehingga a1  a2  0. Maka himpunan vektor tersebut saling bebas linear.
2
2) Jika terdapat himpunan vektor dalam

 1  5 1 
x1    , x2    , x3   
3 6  4
maka

 1 5 1  0


a1    a2    a3     
3 6   4 0
atau

 1 5 1 0   1 5 1 0 
   
 3 6 4 0   0 21 7 0 
Diperoleh bahwa terdapat skalar yang bukan nol, sehingga himpunan tersebut
bergantung linear.

Soal 3.4
1. Tunjukkan bahwa subhimpunan 1,1,0 ,  2,5,3 , 0,1,1 dari 3
adalah

bergantung linear. [5]


3
2. Tunjukkan apakah vektor-vektor satuan dalam bebas linear atau bergantung
linear. [5]
5. BASIS DAN DIMENSI
Definisi 6. Jika V adalah ruang vektor dan S  v1 , v2 ,..., vk  adalah subhimpunan dari V.

S disebut basis untuk V jika,


(i) S merentangkan (span) V.
(ii) S adalah himpunan bebas linear dari V.

Contoh 3.6
1) Vektor satuan iˆ, ˆj dan k̂ adalah basis bagi 3
.

span  3
  v  3

v  a1 1,0,0  a2  0,1,0  a3  0,0,1 .

Dengan
a1 1,0,0  a2  0,1,0  a3  0,0,1   0,0,0

Maka a1  a2  a3  0. Karena vektor-vektor satuan tersebut merupakan span dari


3 3
dan himpunan vektor satuan tersebut bebas linear terhadap .

  1 0 0 1  0 0  1 0 
2) S  a, b, c, d a    , b    ,c    ,d     adalah basis

  0 0  0 0 1 0  0 0 
dari M 22 .

Definisi 7. Dimensi dari sebuah ruang vektor V adalah jumlah vektor dalam sebuah basis.

Contoh 3.7
3
1) Jumlah dimensi dalam adalah 3.

2) Jumlah dimensi dalam M 22   adalah 4.


3) Tentukan dimensi bidang x  2z  0 di dalam 3
.
Solusi umum dari persamaan tersebut adalah

 x  2s

 y  t t, s  
 zs

Dengan  x, y, z    2s, t , s   t  0,1,0  s  2,0,1 . Dengan demikian

v1   0,1,0 dan v2   2,0,1 . Karena v1 , v2  adalah basis, maka dimensi dari
bidang adalah 2.
Soal 3.5
1. Apakah himpunan vektor 1,0,1 ,  2,1, 4 , 0,3,1 adalah basis dari 3
? [10]

2. 
Tunjukkan jumlah dimensi dari garis G  x, y  3
y  2x  [5]

3. Tunjukkan jumlah dimensi M12 [5]


4. Sistem Persamaan Linear

Persamaan linear memiliki cakupan penerapan yang sangat luas. Mulai dari sektor industri,
kedokteran, kesehatan masyarakat, sampai ilmu fisika. Ada banyak masalah sistem fisis yang
modelnya merupakan sistem persamaan linear. Contoh pada masalah rangkaian listrik dan
mekanika yang telah dikerjakan pada Kuis 1.

Persaman linear adalah persamaan dengan variabel-variabel x1 , x2 ,..., xn yang tidak diketahui di

dalam persamaan dalam bentuk standar

a1 x1  a2 x2  ...  an xn  b (4.1)

dengan a1 , a2 ,..., an dan b adalah konstanta. Kontanta ak disebut sebagai koefisien dan b adalah

konstanta persamaan.

Sementara itu, solusi dari persamaan linear adalah daftar nilai yang tidak diketahui yang
memenuhi persamaan linearnya. Sistem persamaan linear dapat diklasifikasikan berdasarkan
solusi dari persamaannya, klasifikasi tersebut adalah:

(i) Tidak konsisten, jika sistem persamaan linear tidak memiliki solusi,
(ii) Unik, jika sistem persamaan linear memiliki solusi yang unik, dan
(iii) Tak hingga, jika sistem persamaan linear memiliki solusi yang tak hingga.
Solusi persamaan linear dilates Adela sebuah daftar yang berisi nilai-nilai variabel-variabel yang
n
tidak diketahui atau secara ekuivalen, sebuah vektor u di dalam k , misalnya:

kn
Dengan mendistribusikan ki ke dalam xi didalam persamaan tersebut adalah

a1k1  a2k2  an kn  b


Pada kasus ini, kita mengatakan bahwa u memenuhi persamaan tersebut.

Catatan: persamaan (3.1) secara tersirat mengasumsikan bahwa variabel-variabel tidak


diketahui memiliki suatu urutan tertentu. Untuk menghindari penggunaan subkrip, kita biasanya
menggunakan x, y, z, t untuk empat variabel tidak diketahui, dan variabel-variabel tersebut
akan memiliki urutan seperti yang disebutkan.
Contoh 4.1

Perhatikan persamaan linear dengan tiga variabel tidak diketahui x, y, z berikut ini:

x  2 y  3z  6
Kita mengetahui bahwa x  5, y  2, z  1 atau vektor u   5,2,1 adalah solusi

persamaan tersebut, sehingga

5  2  2  3 1  6 atau 5  4  3  6 atau 6  6

Dipihak lain, w  1, 2,3 bukanlah solusi persamaan, karena ketika kita

menstribusinya, kita tidak mendapatkan pernyataan benar:

1  2  2  33  6 atau 1 4  9  6 atau 4  6

Contoh 4.2

Tentukan penyelesaian dari sistem persamaan 3x  y  5 dan 2x  3y  8 . Maka dapat


mensubsitusikan menjadi

x  y  5  y  3x  5
2x  3 y  8
2 x  3(3x  5)  8
2 x  9 x  15  8
2 x  9 x  8  15
7 x  7
x 1
y  3x  5
 3(1)  5
 3  5  2
Jadi penyelesaian system persamaan adalah x  1 dan y  2
Contoh 4.3

Dengan menggunakan Hukum Kirchoff 2, tentukan 4 buah sembarang seperti pada


gambar di bawah ini.

Berdasarkan Hukum Kirchoff 2 didapat 4 persamaan yaitu

Loop 1 didapat:

4i1  2i1  4(i1  i2 )  10  0


10i1  4i2  10

Loop 2 didapat:

2i 2  4i2  2(i2  i3)  4(i2  i1 )  0


12i2  2i3  4i1  0

Loop 3 didapat:

4i3  2i3  4(i3  i4 )  2(i3  i2 )  0


12i3  4i4  2i2  0

Loop 4 didapat:

2i4  4i4  10  4(i4  i3 )  0


10i4  4i3  10
Kemudian dibentuk menjadi sistem persamaan linear dari 4 persamaan yang di peroleh
dari Hukum Kirchoff sebagai berikut:

10i1  4i2  0i3  0i4  10


4i1  12i2  2i3  0i4  0
0i1  2i2  12i3  4i4  0
0i1  0i2  4i3  10i4  0

Lalu dari sistem persamaan linear diatas tersebut dirubah kedalam bentuk matriks
diperoleh:

10 4 0 0  i1  10


    
4 12 2 0  . i2    0 
 0 2 12 4 i3   0 
   
 0 0 4 10  i4   10 

Dengan menggunakan konsep sistem persamaan linear dan matriks mendapatkan


i1 , i2 , i3 , i4 , banyak cara menyelesaikan sistem persamaan linear dan matriks tersebut
salah satunya dengan menggunakan metode crammer.

10 4 0 0  i1  10


    
4 12 2 0  . i2    0 
 0 2 12 4 i3   0 
   
 0 0 4 10  i4   10 

10 4 0 0 
 
Maka det ( A)  
4 12 2 0  dengan menggunakan metode minor-kofaktor
 0 2 12 4
 
 0 0 4 10 
diperoleh det ( A)  10416. Lalu mencari det( A1 ) , det( A2 ), det( A3 ), dan det( A4 )

10 4 0 0 
 
det ( A1 )   4 12 2 0   11760
 0 2 12 4
 
 0 0 4 10 

10 4 0 0 
 
det ( A2 )   4 12 2 0   3360
 0 2 12 4
 
 0 0 4 10 
10 4 0 0 
 
det ( A3 )   4 12 2 0   3360
 0 2 12 4
 
 0 0 4 10 

10 4 0 0 
 
det ( A4 )   4 12 2 0   11760
 0 2 12 4
 
 0 0 4 10 

Sehingga I diperoleh

11760
i1   1,129  1,13
10416

Tanda (-) menjadi arus i1 terbalik

3360
i2   0,322  0,32
10416

Tanda (-) menjadi arus i2 terbalik

3360
i3   0,322  0,32
10416

11760
i4   1,129  1,13
10416

Terlihat bahwa i1  i4 dan i2  i3 karena rangkaian simetris. Sekarang menganalisis arus

dalam rangkaian listrik dengan menggunakan Hukum Kirchoff 1. Perhatikan gambar


berikut.
Dari titik H-G-F mengalir arus i1 yaitu: 1,13 A

Dari titik D-E-F mengalir arus i2 yaitu: 1,13 A

Dari titik B-A-H mengalir arus i3 yaitu: 0,32 A

Dari titik B-A-C mengalir arus i4 yaitu: 0,32 A

Bila ke 4 arus ini di gambarkan ke dalam rangkaian didapat:

Maka tegangan tiap resistor dapat dihitung:

VAB  VBC  0,32 A.4  1, 28V


VAH  VCD  0,32 A.2  0,64V
VBI  0,64 A.2  1, 28V
VHI  VID  0,81A.4  3, 24V
VHG  VDB  1,13 A.2  2, 26V
VGF  VFE  1,13 A.4  4,52V
SOAL TAMBAHAN

PROBLEM BASED LEARNING

Tentukan kuat arus pada masing-masing loop tersebut.


1. ESELON MATRIKS
Definisi 4.1.
Matriks A disebut matriks eselon atau dikatakan berbentuk eselon, jika dua syarat berikut
berlaku (dimana elemen bukan-nol utama dari suatu baris pada matriks A adalah elemen
bukan nol pertama pada baris tersebut. Sebuah matriks disebut dalam bentuk baris eselon
apabila:
(i) Baris matriks yang semua komponennya nol berada pada baris paling bawah.
(ii) Setiap komponen bukan nol terdepan (leading) berada pada sebelah kanan dari
komponen bukan nol terdepan baris atasnya. Komponen terdepan (leading) adalah
kolom paling awal pada suatu baris. Misal terdapat komponen kolom 1 dan
komponen kolom 2 pada baris pertama, maka komponen kolom 1 disebut komponen
terdepan terhadap kolom 2 pada baris tersebut.
(iii) Semua komponen kolom di bawah komponen terdepan adalah nol.

Misal, terdapat matriks A,


4 1 3 1 3
0 3 6 9 5 

A  0 0 0 1 7
 
0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 
Maka matriks tersebut disebut sebagai matriks dalam bentuk eselon baris, karena
(i) Baris matriks yang semua komponennya nol berada pada baris paling bawah.
4 1 3 1 3
0 3 6 9 5 

A  0 0 0 1 7
 
0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 
(ii) Setiap komponen bukan nol terdepan (leading) berada pada sebelah kanan dari
komponen bukan nol terdepan baris atasnya.
4 1 3 1 3
0 3 6 9 5 

A  0 0 0 1 7
 
0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 
(iii) Semua komponen kolom di bawah komponen terdepan adalah nol

4 1 3 1 3
0 3 6 9 5 

A  0 0 0 1 7
 
0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 

Contoh 4.4

Jika terdapat matriks sebagai berikut:

0 2 3
C   0 1 2 
1 2 0
 

Jawab:
Langkah ke-1: tukar baris 3 dengan 1

1 2 0
C   0 1 2 
0 2 3
 

Langkah ke-2: -2 baris 2 tambah baris 3

1 2 0 
C   0 1 2 
 0 0 1
 

Contoh 4.5

Jika terdapat matriks

 2 0 4 6 
C   1 1 2 4 
 4 2 0 2
 

Langkah ke-1: tukar baris 3 dengan 1

 4 2 0 2
C  1 1 2 4
 2 0 4 6 
Langkah ke-2: bagi baris 1 dengan 4

 1 1
1 2
0
2
 
C  1 1 2 4
2 0 4 6
 
 
Langkah ke-3: kurangi baris ke 2 dengan baris 1

 1 1
1 2 0 2
 
C  1
1 7
2
 2 2
0 1 4 6 

 

Langkah ke-4: kurangi baris 3 dengan baris 2

 1 1
1 2 0 2
 
C  1
1 7
2
 2 2
0 1 4 5 

 

Langkah ke-5: tukar baris 3 dengan baris 2

 1 1
1 2
0
2
 
C  1 1 4 5
 1 7
0 2 
 2 2

Langkah ke-6: bagi baris 2 dengan -1

 1 1
1 2
0
2
 
C  0 1 4 5
 1 7
0 2 
 2 2
1
Langkah ke-7: kurangi baris 3 dengan ( )
2
 1 1
1 2
0
2
 
C  0 1 4 5
0 0 4 6 
 
 

Langkah ke-8: bagi baris 3 dengan -4

 1 1 
1 2
0
2 
 
C  0 1 4 5 
 1
0 0 1  
 2

Definisi 4.2.
Apabila terdapat sebuah matriks pada medan F, maka dapat dilakukan operasi baris
yang mengikuti operasi-operasi berikut:
(i) Pertukaran baris antara baris ke-i dengan baris ke-j dengan i  j.
(ii) Pergantian baris ke-i dengan baris dengan hasil kali baris ke-dengan bilangan
skalar bukan nol rai dengan r  F.

(iii) Pergantian baris ke-i dengan ai  ra j dengan r  F dan i  j.


Misal, terdapat matriks M,

1 3 1 1 2
M  3 6 1 1 4
1 3 2 7 1 
(i) Pertukaran baris antara baris ke-1dengan baris ke-2.

3 6 1 1 4
M  1 3 1 1 2
1 3 2 7 1 
(ii) Pergantian baris ke-3 dengan baris hasil baris ke-3 dengan 2.

 3 6 1 1 4
M  1 3 1 1 2
2 6 4 14 2
(iii) Pergantian baris ke-2 dengan a2  2a3 .

 3 6 1 1 4
M  3 9 5 15 4
2 6 4 14 2
Proposisi 4.1. Sebuah matriks dapat direduksi menjadi eselon baris melalui serangkaian
operasi baris yang tidak unik.

Contoh 4.6

Jika terdapat matriks,

 1 2 3
C  4 5 6
7 8 9

1 2 3  1 2 3  1 2 3  1 2 3 
R2  4R1 0 3 6 R3  7 R1 0 3 6  R3  2R2 0 3 6  R2 0 1 2
      1 
3
7 8 9  0 6 12 0 0 0  0 0 0

Soal 4.1

Temukan bentuk eselon dari matriks-matriks berikut dengan menunjukkan serangkaian


operasi barisnya.

0 1 1 1 4
 1 4 2 1 
 1 2  1 6 2 0 ;C   3 3 3 1 3 
A  ; B    [15
2 1 2 7 4 9  5 4 7 2 2
   
1 1 9 0 9

2. ELIMINASI GAUSS
Pada mata kuliah Fisika Matematika telah dikenalkan sistem-sistem persamaan linear.
Persamaan linear yang memiliki variabel yang sedikit akan sangat mudah dipecahkan
dengan Metoda Subtitusi. Misal terdapat persamaan

2x  4 y  8
(4.1)
3x  2 y  4.
Persamaan pertama pada 4.1 dikalikan dengan 1 2 sehingga diperoleh,
x  2y  4
(4.2)
3x  2 y  4.
Persamaan pertama pada 4.2 di kali -3 dan dijumlahkan dengan persamaan kedua, sehingga
diperoleh,
x  2y  4
y  1.
Sehingga diperoleh, x  2 dan y  1.
Akan tetapi metoda subtitusi tersebut akan sangat tidak efisien diterapkan pada sistem
dengan persamaan linear yang memiliki variabel yang sangat banyak dan memiliki banyak
persamaan.
Definisi 4.3.
Matriks yang diperluas (augemented) adalah matriks yang terdiri dari koefisien-koefisien
persamaan linear dan ditambah dengan konstanta persamaan.
Misal terdapat persamaan linear
2x  3 y  4z  4
x  3y  z  3
y  2 z  10
maka matriks yang diperluas ditulis sebagai,

2 3 4 4 
 1 3 1 3 
 
 0 1 2 10 
 
atau dapat dituliskan juga sebagai

2 3 4 4 
 
 1 3 1 3 
 0 1 2 10 
 
Definisi 4.4.
Eliminasi Gauss adalah operasi baris pada matriks yang diperluas sedemikian rupa agar
diperoleh matriks dalam bentuk eselon yang memiliki syarat,
(i) Semua komponen diagonal matriks koefisien tak diperluas dari sistem persamaan
linear bernilai 1. Misal untuk matriks diperluas 3×4.

 1 * * *
 0 1 * *
 
 0 0 1 *
 
(ii) Semua komponen segitiga di bawah komponen diagonal adalah 0. Misal untuk
matriks diperluas 3×4.
 1 * * *
 0 1 * *
 
 0 0 1 *
 

Contoh 4.7

Jika terdapat sistem persamaan

2 x  3 y  2 z  3
x yz 0
 x  2 y  3z  1

yang jika ditulis dalam bentuk matriks diperluas akan diperoleh,

 2 3 2 3 
1 1 1 0
 
 1 2 3 1
 

dengan operasi baris,

1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0
R1  R2  2 3 2 3  R2  2R1  0 1 0 3  R2  2 R1  0 1 0 3 
   
 1 2 3 1  1 2 3 1  1 2 3 1
     

1 1 1 0  1 1 1 0  1 1 1 0 
R3  R1  0 1 0 3  R3  3R2  0 1 0 3   R3  0 1 0 3  .
    1 
 0 3 2 1  0 0 2 8  2  0 0 1 4 
     

Sehingga, diperoleh himpunan solusi dari sistem persamaan tersebut adalah 7, 3, 4.

Contoh 4.8

Jika terdapat sistem persamaan

2x  y  z  3
x  y  2z  5
x yz  2
Yang jika ditulis dalam bentuk matriks diperluas diperoleh
2 1 1 3
 
1 1 2 5 
1 1 1 2
 

Dengan operasi baris

 1 1 3  1 1 3  1 1 3
1   1  
2 2 2 2 2 2  1 2 2 2
      1 0 3 2 1 0 3 2
R1    1 5 7  
R 1  R  
1 1 2 5  R2  1R1 0 2 2 2  2 0 1 5 7  R1  R2 0 1 5 7  3 0 1 5 7 
2   1 1 1  
 1
1 
1 1 2 3
0 0 3 3 0 0 1 1 
    2     
1 1 1 2  0 2 2 2  0 2 2 2
     
     

Sehingga, diperoleh himpunan solusi dari sistem persamaan tersebut adalah 2,7,1

Soal 4.2
Tentukanlah solusi dari sistem-sistem persamaan berikut dengan Metoda Eliminasi Gauss.
x yz 2
a. 2 x  y  3z  3
x  y  z  2
yz 0
b. x  3 y  3z  10 [20]
x  y  4 z  8

3. ELIMINASI GAUSS-JORDAN
Definisi 4.5.
Eliminasi Gauss-Jordan adalah metode untuk menyelesaikan system persamaan linear.
Metode tersebut secara sistematis mengubah matriks yang berukuran besar ke dalam bentuk
matriks terinduksi. Eliminasi Gauss-Jordan adalah operasi baris pada matriks yang
diperluas sedemikian rupa agar diperoleh matriks dalam bentuk eselon yang memiliki
syarat:
(i) Semua komponen diagonal matriks koefisien tak diperluas dari sistem persamaan
linear bernilai 1. Misal untuk matriks diperluas 3×4.

 1 0 0 *
 0 1 0 *
 
 0 0 1 *
 
(ii) Semua komponen segitiga dibawah dan diatas komponen diagonal adalah 0. Misal
untuk matriks diperluas 3×4.

 1 0 0 *
 0 1 0 *
 
 0 0 1 *
 

Contoh 4.9

Jika terdapat sistem persamaan seperti pada contoh 4.3, maka dengan meneruskan
operasi Eliminasi Gauss ke Eliminasi Gauss-Jordan

1 1 1 0  1 0 1 3  1 0 0 7 
 0 1 0 3  R  R  0 1 0 3  R  R  0 1 0 3 
  1 2  1 3 
 0 0 1 4   0 0 1 4   0 0 1 4 
     

Sehingga, diperoleh himpunan solusi dari sistem persamaan tersebut adalah 7, 3, 4.

Contoh 4.10

Jika terdapat sistem persamaan dibawah ini operasikan ke Eliminasi Gauss-Jordan

2x  4 y  2z  6
2y  z  2
3x  3z  3

Maka dapat ditulis dengan matriks

2 4 2 6
 
0 2 1 2
3 0 3 3
 

Operasi baris
     
1 2 1 3   1 0 0 1   1 0 0 1
1 2 1         
3 1 2 1 3
R   
1 1   1 
R1    R
2 R3  3R1 0 2 1 2  2 0 1 1  R1  2 R2 0 1 2 1  3 0 1 2 1 
2 
0 2 1 2
3 0 6 0 6 2     3  
3 0 3        
0 6 0 6 0 0 3 0  0 0 1 0 
     
     
1 0 0 1
1  
R2  R3 0 1 0 1
2 
0 0 1 0

Sehingga, diperoleh himpunan solusi dari sistem persamaan tersebut adalah 1,1,0

Soal 4.3
Tentukanlah solusi dari sistem-sistem persamaan berikut dengan Metoda Eliminasi

Gauss-Jordan.

2x  y  z  3
a. x  y  3z  4
x  y  z  2

2x  y  z  4
b. x  3 y  3z  10 [30]
x  y  4 z  8
5.Pemetaan Linear
Pemetaan dapat dianalogikan seperti sebuah “mesin” yang jika dimasukkan (input) dan dapat
menghasilkan keluaran (output). Masukan dan keluaran tersebut adalah anggota himpunan tak
kosong. Himpunan semua anggota semua masukan disebut sebagai domain pemetaan,
sedangkan himpunan semua keluaran tersebut disebut sebagai himpunan target. Pemetaan dari X
ke Y dinotasikan sebagai

f : X Y

Jika terdapat x  X maka pemetaannya ke himpunan target disebut f  x  yang akan

menghasilkan keluaran yang merupakan f  x  Y . Sinonim dari pemetaan adalah fungsi,

meskipun dari banyak literatur fungsi merujuk pada pemetaan terhadap bilangan rill dan
bilangan kompleks.

Contoh 5.1

Misal terdapat pemetaan

f :S H

dengan V adalah ruang vektor. Pemetaan tersebut dilakukan dengan pemetaan derivasi
pada operator momentum,


ih
x

Penjelasan rinci mengenai operator akan dibahas kemudian. Daerah asal adalah
himpunan


 i 
kx

S    x   Ae h 

 

dengan A dan k adalah konstanta. Maka himpunan target tersebut adalah



 i 
kx
 
i 2k
H    x   kAe h  Sehingga keluaran pada pada f (2) adalah kAe h .

 

Definisi 5.1. Pemetaan linear adalah pemetaan f : X Y yang memenuhi dua kondisi, yaitu:

(1) f  v  w  f  v   f  w

(2) f  kv   kf  v 

dengan X dan Y adalah ruang vektor, v, w  X dan k adalah bilangan skalar.

Contoh 5.2

1) Pemetaan f :
2
 3
diberikan oleh,

f  x, y    x  y, x  y, y 
adalah pemetaan linear karena memenuhi dua syarat pemetaan linear.
2) Untuk i  1,..., n yang terpetakan melalui pemetaan pri  x1,..., xn   xi , adalah
pemetaan linear sebab memenuhi dua syarat pemetaan linear.
3) Apabila n1 X  adalah ruang vektor untuk polinomial rill pada derajat n maka

pemetaan diferensial
D: n1 X   n1 X 
adalah pemetaan linear.
4) Integrasi merupakan pemetaan linear, sebab misal terdapat ruang vektor
1 ih 2 x 1 ih 2 x
  e dan    e , maka integrasi memenuhi syarat pemetaan
2 2
linear yaitu,

 1 ih 2 x 1 ih 2 x  1 ih 2 x 1 ih 2 x
(1)   2
e 
2
e dx  
 2
e dx  
2
e dx

1 ih 2 x 1
(2)  2
e dx 
2  eih 2 x dx l
Soal 4.1
1. Tunjukkan bahwa matriks dan diferensial adalah pemetaan linear.

2. Tunjukkan bahwa pemetaan f :


3
 2
berikut adalah pemetaan linear atau
bukan:

 x
 
a. f  y   
x
  
 z  x y  z
 
 x
0
b. f  y    
 z  0
 
Definisi 5.2. Kernel dari pemetaan linear f : X Y adalah himpunan anggota dari vektor
v  X yang jika di petakan akan menghasilkan vektor nol di dalam Y, f (v)  0. Kernel
dinotasikan sebagai Ker  f .

Definisi 5.3. Bayangan dari pemetaan linear f : X Y adalah himpunan anggota dari vektor
W Y dari pemetaan f (v). Bayangan didefinisikan sebagai Ran  f  .

Gambar 5.1. Ilustrasi Kernel dan bayangan atau range/image dari suatu pemetaan.

Definisi 5.5. Kernel suatu pemetaan adalah subruang dari domain.

Definisi 5.6. Dimensi suatu kernel dari suatu pemetaan disebut nulitas dari pemetaan.
Pemetaan singular adalah pemetaan dengan nulitas positif; pemetaan nonsingular adalah
pemetaan yang nulitas nol.
Definisi 5.7. Teorema rank plus nulitas. Jika p  q suatu pemetaan linear, dan V berdimensi-
finit, maka rank  f   nulitas  f   dim  domain 
Definisi 5.8. (Penerapan pada matriks) Bayangan, kernel atau ruang nul, dan nulitas dari suatu
matriks A berordo p  q adalah berturut-turut bayangan, kenel, dan nulitas dari operator

a : R p  R p yang didefinisikan dengan a( x)  A( x) Suatu matriks adalah singular jika


nulitasnya positif, dan non singular jika nulitasnya nol.

Contoh 5.3

1) Misal terdapat pemetaan f :


3
 3
yang merupakan proyeksi vektor v(a, b, c) ke
dalam bidang xy, atau
f  x, y, z    x, y,0

Sehingga dengan demikian Ker  f  adalah sumbu z dan Ran  f  adalah bidang xy.

1 1 2
2) Jika terdapat pemetaan Y  AX  1 2 5  maka bayangan dari
 
1 3 3

1 1 2 2 12 
X   2,0,5 adalah Y  1 2 5 0   27  .
1 3 3 5 17 

3) Bayangan dari pemetaan proyeksi pri : n


 adalah semua anggota di .
Sedangan kernel dari pemetaan tersebut adalah himpunan yang beranggotakan
bilangan 0 dengan jumlah n anggota.

4) Bayangan pemetaan diferensial n 1 adalah himpunan polinomial bilangan rill yang


memiliki dearajat paling besar n 1 . Kernel dari pemetaan tersebut adalah
polinomial yang derivasinya nol, yang berarti polinomial yang berupa konstanta.

5) Jika terdapat pemetaan f :


3
 3
 x  1 0 1 x 
f  y   1 2 1 
 y 
 z  1 0 1 z 
    

Himpunan target direntangkan oleh

 x  1  0   1
f  y   x 1  y  2   z  1
   
z  1  0   1
       

Kernel dapat diperoleh dengan mereduksi baris matriks

1 0 1  1 0 1
1 2 1   0 1 0 
   
1 0 1  0 0 0 
   
Sehingga Ker  f  adalah garis yang direntangkan oleh 1,0,1 .

Soal 4.2
Tunjukkan kernel dari pemetaan f :
2
 2

 x   cos   sin   x 
f  
 y   sin  cos   
 y 

Definisi 5.9. Rank dari sebuah pemetaan adalah jumlah dimensi dari bayangan pemetaan
tersebut.

Definisi 5.10. Nullity dari sebuah pemetaan adalah jumlah dimensi dari kernel pemetaan
tersebut.

Definisi 5.11. Jika S adalah sebarang subruang dari ruang V, dan f :V W Bayangan S oleh f
, ditulis f(S) atau im (S), adalah himpunan { f  v W  v  S}

(i) Misalkan f :V W adalah pemetaan linear. Jika S adalah subruang dari V, maka
f(S) adalah subruang dari W.
(ii) Jika S adalah subruang berdimensi-finit dari domain suatu transformasi linear f , maka
dim f  S   dim  S 

Definisi 5.12. Jika f :V W adalah pemetaan linear, bayangan dari V oleh f disebut bayangan
pemetaan, dan ditandakan dengan im (f).

(i) Jadi im f =f V   { f  v  W  v V }

(ii) Jika pemetaan f :V W linear, maka im (f) adalah subruang dari W.


Definisi 5.13. Rank suatu transformasi linear adalah dimensi bayangannya. Jika bayangan itu
berdimensi-infinit, kita katakan bahwa transformasi itu mempunyai rank infinit. Jadi, jika

T : V V linear, maka rank T   dim  dim T  

(i) Jika f adalah transformasi linear dengan domain bedimensi-finit (ditandakan dengan


dom (f)), maka rank  f   dim dom  f  
(ii) Jika S adalah subruang berdimensi-finit dari domain suatu transformasi linear f , maka
dim f  S   dim  S 

Definisi 5.14. Jika f :V W adalah pemetaan linear, bayangan dari V oleh f disebut
bayangan pemetaan, dan ditandakan dengan im (f). Jadi Im F=f V   { f  v  W  v V }

(i) Jika pemetaan f :V W linear, maka im (f) adalah subruang dari W.


Definisi 5.15 Rank suatu transformasi linear adalah dimensi bayangannya. Jika bayangan itu
berdimensi-infinit, kita katakan bahwa transformasi itu mempunyai rank infinit. Jadi, jika

T : V V linear, maka rank T   dim  Im T   .

(i) Jika f adalah transformasi linear dengan domain bedimensi-finit (ditandakan dengan


dom (f)), maka rank  f   dim dim  f  
(ii) Jika S adalah subruang berdimensi-finit dari domain suatu transformasi linear f , maka

dim f  S   dim  S 

Definisi 5.16. Jika f :V W adalah pemetaan linear, bayangan dari V oleh f disebut
bayangan pemetaan, dan ditandakan dengan im (f). Jadi im  f  =f V   { f v  W  v V }

(i) Jika pemetaan f :V W linear, maka im (f) adalah subruang dari W.


Definisi 5.17. Rank suatu transformasi linear adalah dimensi bayangannya. Jika bayangan itu
berdimensi-infinit, kita katakan bahwa transformasi itu mempunyai rank infinit. Jadi, jika
T : V V linear, maka rank T   dim im T 
(i) Jika f adalah transformasi linear dengan domain bedimensi-finit (ditandakan dengan


dom (f)), maka rank  f   dim dom  f  

Contoh 5.3

1) Jika terdapat pemetaan f : 22  3

a b  a b
f  
 c d  c  d 
Ker  f  adalah

 a a  1 1 0 0 
 c c   a 0 0   c 1 1
     

yang menunjukkan dimensi dari kernel f adalah 2.

2) Jika terdapat pemetaan f :


4
 3
yang didefinisikan sebagai,

f  x, y, z, t    x  y  z  t , 2x  2 y  3z  4t , 3x  3 y  4z  5t 

f 1,0,0,0   1, 2,3


f  0,1,0,0    1, 2, 3
f  0,0,1,0   1,3, 4 
f  0,0,0,1  1, 4,5

Matriks bayangan dari pemetaan tersebut ditulsikan sebagai,

 1 2 3  1 2 3  1 2 3
1 2 3 0 0 0 0 1 1
  
 1 3 4  0 1 1  0 0 0
     
 1 4 5  0 2 2  0 0 0
Karena 1, 2,3 dan  0,1,1 adalah basis dari Im f sehingga dim  Im f   2

dan rank  f   2.

3) Pemetaan derivasi d dx : P3  P3 , adalah pemetaan dari a0  a1x  a2 x2  a3 x3


menuju a1  a2 x  a3 x2 . Bayangan dari pemetaan tersebut adalah

 r, s, t   
r  sx  tx 2 . Dengan demikian, pemetaan adalah rank 3.

4) Misal terdapat pemetaan f :  22  3 yang didefinisikan sebagai,

a b
c d  a  b  2d   cx2  cx3
 


maka ruang bayangan adalah Im  f   r  sx  sx r, s 
2 3
, sehingga rank

pemetaan tersebut adalah 2.

Definisi 5.18. Jika terdapat pemetaan f : X  Y. Jika v  X dan f (v)  c. Persamaan

f (v)  c memiliki himpunan penyelesaian jika dan hanya jika c  Im  f  . Jika penyelesaian
itu ada maka,

(i) f disebut non singular jika hanya terdapat satu himpunan penyelesaian.
(ii) f disebut singular jika terdapat tak hingga himpunan penyelesaian.

Contoh 5.4

Jika terdapat pemetaan f :


2
 2
yang didefinisikan sebagai,

f  x, y    x  y, x  2 y 
maka untuk menemukan kernel dari pemetaan tersebut

 x  y, x  2 y    0,0
yang solusinya hanya x  0 dan y  0. Dengan demikian f adalah pemetaan non
singular.
Contoh 5.5

Diketahui f: 2
 3
tentukan apakah F  x, y    x  y, x  y, 2xy  merupakan
pemetaan linear?

Jawab:

Misal u, v  R ²

u   x₁ , y₁ 
v   x2 , y2 

k skalar

1) F  u  v   F  u   F  v 
 F  x₁ , y₁    x2 , y2  
 F  x₁  x2 , y₁  y2 
  x  x    y  y  ,  x  x    y  y  ,2  x  x . y  y 
₁ 2 ₁ 2 ₁ 2 ₁ 2 ₁ 2 ₁ 2

  x  y    x  y  ,  x  y    x  y  , 2x y  2x y  2x y
₁ ₁ 2 2 ₁ ₁ 2 2 ₁ ₁ 2 2 ₁ 2  2 x2 y₁ 
  x₁  y₁ , x₁  y₁ , 2x₁ y₁    x2  y2 , x2  y2 , 2x2 y2    0 , 0 , 2x₁ y2  2 x2 y₁ 
 F u   F  v 

(Tidak Memenuhi Aksioma 1)


2) F  ku   F k  x₁ , y₁  
 F  kx₁ , ky₁ 
  kx₁  ky₁ , kx₁  ky₁ , 2kx₁ky₁ 
  kx₁  ky₁ , kx₁  ky₁ , 2k ² x₁ y₁ 
 k  x₁  y₁ , x₁  y₁ , 2k ² x₁ y₁ 
 k.F  x₁ , y₁ 
 k.F  u 
(Tidak Memenuhi Aksioma 2)

Contoh 5.6

 tentukan apakah F  x, y, z    2x  y , 5 y  z  merupakan


3 2
Diketahui f :

pemetaan linear?

Jawab:

Misal u, v, w R³

u   x₁ , y₁ , z₁ 
v   x2 , y2 , z2 

k skalar

1) F  u  v   F  u   F  v 
 F   x₁ , y₁ , z₁    x₁ , y₁ , z₁  
 F  x₁  x2 , y₁  y2 , z₁  z2 
 2  x₁  x2    y₁  y2  ,5  y₁  y2    z₁  z2 
 2 x₁  y₁  2 x2  y2 ,5 y₁  z₁  5 y2  z 2
  2 x₁  y₁ ,5 y₁  z₁    2 x2  y2 ,5 y2  z2 
 F u   F  v 
(Memenuhi Aksioma 1)

2) F  ku   k.F  u 
 F  k  x₁ , y₁ , z₁  
 F  kx₁ , ky₁ , kz₁ 
  2kx₁  ky₁ ,5ky₁  kz₁ 
 k  2 x₁  y₁ ,5 y₁  z₁ 
 k.F  u 
(Memenuhi Aksioma 2)

Soal 4.3

 , tentukan apakah F  a, b    2a  6b, a  b  merupakan


2 3
1. Diketahui f :

pemetaan linear?

 , tentukan apakah F  x, y    x  y, x,3 y  merupakan pemetaan


2 3
2. Diketahui f :

linear?

 , tentukan apakah F  x, y, z   (12x  y,4x  z)


3 2
3. Diketahui f :

merupakan pemetaan linear?

a b a b b 
4. Diketahui f : M₂₂  M₂₂ tentukan apakah f   
c d  c c  d 
Dengan a, b, c, d  R merupakan pemetaan linear?
6. Perkalian Dalam Dan
Ortogonal
1. PENGANTAR
n
Pada bagian ini akan dikenalkan perkalian dalam dan ortogonal serta Perkalian Titik , ruang
hasil kali dalam, ruang fungsi F dan sebagainya. Agar dapat lebih bisa mendalami materi
diharapkan agar lebih serius dalam belajar.

2. PERKALIAN TITIK n

Perkalian Titik IR n didefenisikan sebagai: U V , u, u  0


u, v  a1b1  a2b2  ......  anbn
Untuk
T T
U  a1, a2 .....an  .V  b1,b2 .....bn   IR n

Perkalian dalam u, v memenuhi sifat-sifat

a. Linier
au  bv, w  au, w  bv, w
b. Simetris
u, v  v, u
c. Positif
Untuk setiap u,v, dan u  v,w  u,w  v,w jika dan hanya jika U  0

3. RUANG HASIL KALI DALAM


Hasil kali dalam adalah fungsi yang mengaitkan setiap pasangan vektor di ruang vektor V

(misalkan pasangan u dan v, dinotasikan dengan u,v, ) dengan bilangan riil dan memenuhi 4
aksioma, yaitu:

a. Simetris : wi

b. Aditivitas : w
c. Homogenitas : ku,v  k u,v, k skalar

d. Positivitas : u, u  0 dan (u,u  0  u  0)

Ruang vektor yang dilengkapi hasil kali dalam seperti diatas disebut Ruang hasil kali dalam yang
biasa disingkat dengan RHD
Contoh 6.1

Tunjukkan bahwa operasi perkalian titik titik standar di R3 Euclides merupakan hasil kali dalam!
Jawab:
Akan ditunjukkan bahwa perkalian titik standar memenuhi keempat aksioma hasil kali dalam,
yaitu:

Misalkan a  (a1, a2, a3 ), b  (b1,b2,b3 ), c  (c1,c2,c3 ) maka a, b, c  R3

a. Simetris

 a, b  (a.b.)
 (a1b1  a2b2  a3b3 )
 (b1a1  b2 a2  b3a3 )

= b,a . . . . . . .(Terpenuhi)
b. Aditivitas

a  b,c  ((a  b).c)


 ((a1  b1, a2  b2 , a3  b3 ).(c1,c2 , c3 ))
 ((a1c1  b1c1 )  (a2c2  b2c2 )  (a3c3  b3c3 ))
 (a1c1  a2c2  a3c3 )  (b1c1  b2c2  b3c3 )
 (a.c)  (b.c)

 a  c  b, c
c. Homogenitas

ka, b  (ka.b)
 (ka1b1  ka2b2  ka3b3 )
 k (a1b1  a2b2  a3b3 )
 k (a.b)

 k a,b . . . . . . . (Terpenuhi)
d. Positivitas

a, a  (a.a)  (a12  a22  a32 )  0 . . . . . . . . (Terpenuhi) dan . . . . . . . . . (Terpenuhi)


RHD yang memiliki hasil kali dalam berupa perkalian titik standar seperti diatas biasa
disebut RHD Euclides.

4. BASIS ORTHONORMALa
Diketahui V ruang hasil kali dalam dan w1 , w2 ,...., wn adalah vektor-vektor dalam V .

Beberapa definisi penting


a. H  v1 , v2 ,....vn disebut himpunan orthogonal bila setiap vektor dalam V saling

tegak lurus ,yaitu untuk  vi v j  0 dan i, j  1,2,...., n

 
b. G  v1 , v2 ,....vn disebut himpunan orthonormal bila

- G himpunan orthogonal
- Norm dari atau vi , vj  1

1. Metode Gramm-Schimdt
Metode Gramm-Schimdt digunakan untuk merubah suatu himpunan vektor yang bebas linier
menjadi himpunan yang orthonormal, jadi dalam hal ini disyaratkan himpunan yang
ditransformasikan ke himpunan orthonormal adalah himpunan yang bebas linier. Jika yang
akan ditransformasikan adalah himpunan vektor yang merupakan basis dari ruang vektor V
maka metode Gramm-Schimdt akan menghasilkan basis orthonormal untuk V .Sebelum
membahas tentang metode ini, akan dibahas tentang proyeksi orthogonal vektor terhadap
ruang yang dibangun oleh himpunan vektor.

Diketahui k1  k2  ....  kn adalah himpunan vektor yang bebas linier dari ruang vektor V

dengan dimana  n dan merupakan himpunan yang orthonormal. Jika W menyatakan ruang

yang dibangun oleh w1 , w2 ,...., wn maka untuk setiap vektor z1 dalam w , dapat dituliskan

z1  k1 w1  k2 w2  ....  kn wn dengan k1  k2  ....  kn skalar.

Jika u adalah sembarang vektor dalam V , maka tentunya u dapat dituliskan sebagai jumlah

dari dua vektor yang saling tegak lurus misalkan z1 dan z2 , jadi dapat dituliskan. Karena z1

dalam W , maka sebenarnya z1 merupakan proyeksi orthogonal u1 terhadap W , sedangkan

z2 merupakan komponen vektor u yang tegak lurus terhadap W . Jadi untuk menentukan

z1 , maka harus ditentukan nilai k1  k2  ....  kn sedemikian hingga nilai k1 merupakan

panjang proyeksi u terhadap w1, k2 , merupakan panjang proyeksi u terhadap w2 dan

seterusnya sehingga k n merupakan panjang proyeksi u terhadap wn . Proyeksi orthogonal


u terhadap wi adalah proy Wi (u)  u, w1  , dikarenakan w1, w2,..... , wn merupakan vector-
vektor yang orthonormal.

Jadi dapat dituliskan bahwa proyeksi orthogonal ̅ terhadap W adalah: proy

(u)  z  u, w1  u, w1 w1   u, w2  w2  ....  u, wn  wn dengan  w1, w2 ,, wn 


merupakan himpunan orthonormal. Komponen u yang tegak lurus terhadap W adalah

z2  u  ( u, w1  w1   u, w2  w2  ....  u, wn  wn )

2. Perkalian Dalam Basis Orthogonal


Rn : u • v  WU
1 1V1  W2U2V2  WU
3 3V3  ..  WnUnVn

W1, W2 ,W3 ,  , Wn disebut bobot (weight)

Norm
di dalam ruang perkalian dalam tertentu u  u, u½
Jarak
di antara dua titik / vektor u dan v d u, v   u  v
Contoh: Ruang Vektor R 2 dengan perkalian dalam 3u1v1  2u2v2

 Jika u  1, 0 maka u   3

 Jika u  1, 0 dan v  (0, 1) maka d u, v   u  v

 1, –1   5
Sudut antara dua vektor
u, v  u v cos  , di mana  adalah sudut antara u dan v
Sifat orthogonal
Dua vektor u dan v dalam suatu Ruang Perkalian Dalam saling ortogonal jika u, v  0
Himpunan orthogonal
Sebuah himpunan vektor dalam suatu Ruang perkalian Dalam (RPD) disebut ortogonal jika
untuk semua vector u , v di RPD u  v  dipenuhi u, v  0
Contoh 6.2

Ruang Perkalian Dalam R3 dengan Euclidean product

Himpunan vektor H   u  0, 1, 0 , v  1, 0, 1 , w  1, 0, –1  H adalah


himpunan ortogonal sebab

u, v  0

u, w  0

v, w  0

Himpunan ortonormal: Sebuah himpunan vektor ortogonal dalam suatu ruang Perkalian
Dalam (RPD) disebut ortonormal jika untuk semua vektor udi RPD u  1

Contoh 6.3

Ruang Perkalian Dalam: R3 dengan Euclidean product

Himpunan vektor H   u  0, 1, 0 , v  1, 0, 1 , w  1, 0, –1 


Normalisasi H menghasilkan himpunan ortonormal H’  u’, v’, w’
Caranya:
u’  u / u   0,1, 0 
v’  v / v   1/ 2,0,1 / 2 
w’  w / w   1/ 2, 0, –1/ 2 

Proses Gram-Schmidt
Diketahui V adalah RPD dengan basis B  u1, u2 , , un  Dengan proses Gram-Schmidt

basis Bdapat ditransformasi menjadi basis orthogonal B’  v1, v2 , , vn 


Algoritmanya:
V1  u1
V2  u2 – (u2 , v1  / v1 2 )v1
V3  u3 – (u3 , v1  / v1 2) v1 – (u3 , v2  / v2 2)v2 .
Vn  un – (un , v1  / v1 2 ) v1 – (un , v2  / v2 2 ) v2 – . – (un , vn –1 / vn –1 2)vn –1

Definisi:
Diketahui: Ruang Perkalian Dalam V ; W adalah subspace dari V Suatu vektor u V disebut

ortogonal W jika u ortogonal terhadap semua vector di W Himpunan vektor-vektor di V yang


ortogonal W disebut komplemen ortogonal dari W

Notasi: komplemen ortogonal W ditulis W 

Teorema:

Diketahui: Ruang Perkalian Dalam V dengan dimensi berhingga;

Jika W adalah subspace dari V , maka

 W  adalah subspace dari V


 W  W   0
 ( W )  W

3. Proyeksi Orthogonal

Diketahui vektor a dan b adalah vektor-vektor pada ruang yang sama seperti terlihat pada
gambar di bawah ini:

Vektor a disusun dari dua vektor yang saling tegak lurus yaitu w1 dan w2 jadi dapat di tuliskan

a  w1  w2 dari proses pembentukannya w1 juga disebut sebagai sebagai vektor proyeksi

orthogonal a terhadap b karena merupakan hasil proyeksi secara orthogonal vektor a terhadap

b sedangkan w2 disebut sebagai komponen dari a yang tegak lurus terhadap b .


Karena w1 merupakan hasil proyeksi di b maka dapat ditulis w1  kb , nilai k ini menentukan

arah dan panjang dari w1 . Jika sudut antara a dan b adalah tumpul, maka tentukan nilai k akan

negative ini juga berarti arah w1 akan berlawanan dengan arah b

Menghitung w1

Untuk menghitung w1 harus dihitung terlebih dahulu nilai k . Dengan menggunakan aturan hasil

kali titik, diperoleh:

a.b  (w1  w2 ).b

 w1 b1 cos 

 kb b cos0

k b2

a.b
Jadi k  2
b

a.b
w1  kb  dan w2  a  w1
b

a.b
Panjang w1 adalah
b

Contoh 6.4
Diketahui a  (4,1,3) dan b  (4, 2  2)

Tentukan

a. Vektor proyeksi tegak lurus dari a terhadap b


b. Panjang dari vektor proyeksi tersebut!

c. Komponen dari a yang tegak lurus terhadap b


Jawab:

a. Misalkan w1 adalah vektor proyeksi tegaklurus dari a terhadap b , maka

w1  kb sedangkan k  a.b (4.4  1.2  3  2)  12  1


b
2
42  22  (2)2 24 2

1
Jadi w1  (4, 2, 2)  (2,11)
2

a.b 12 3
b. Panjang w1 adalah  
b 24 6

c. Misalkan w2 merupakan komponen dari a yang tegak lurus terhadap b maka

w2  a  w1  (4,1,3)  (2,1, 2)  (2,0, 2)

5. RUANG FUNGSI F a, b

Perkalian dalam fungsi pada F  a, b dengan F  t  dan g  t  pada F  a, b di defenisikan

 f , g   b f t  g t  dt
a
sebagai:

Contoh 6.5
1
Jika terdapat f  (t )  t  3 dan g  t   t dengan perkalian dalam
2
 f , g    f t  g t  dt
0
Maka:
( f , g )   (t 2  3)t dt

  (t 2  3)t dt
1 3
 t 4  t 2 |10
4 2
1 3
 
4 2
7

4
f  f1 f
  (t 6 3t 4  9t 2 )dt
1 3 1
 t 7  t 5  3t 3 0
7 5
1 3
  3
7 5
131

35

131
f 
35
6. RUANG MATRIKS
Perkalian dalam suatu matrik rill m  n di defenisikan sebagai A, B  tr  BT A yang berarti:
m n
A  
21 11
m n
A  A, A  ai
21 11
2

Contoh 6.6

1 0 2 1 1 2 
Sebagai contoh jika terdapat A    ; B  maka:
3 1 4  0 2 3

1 0 
BT  1 2 ;
 2 3

1 0  1  0 0  0 2  0  1 0 0 
  1 0 2
B  1 2 ; 
T
 = 1  6 0  2 2  8    7 2 10
   
 2 3 
3 1 4
2  4 0  3 4  2 11 3 16

tr  Bt A  1  2  16  19

7. SUDUT ANTARA VEKTOR

Sudut antara dua vektor dapat di cari dengan mengunakan persamaan

cos  
 u, v 
u v

Contoh 6.7
Misalkan terdapat vektor u  (1,2,3), v  (1,2,1)

u, v  1  4  3  8

u  1  4  9 = 14

8 8
v  1  4  1 = cos  
14 6 84

Sudut Antara Dua Vektor

Misal OP  a  a1i  a2 j  a3 k maka a  a12  a22  a32

Maka:
a1
 cos   1
a
a2
 cos   m
a
a3
 cos   n
a

8. RUANG PERKALIAN DALAM RUANG


Jika terdapat ruang vektor v pada c dengan u, v  c perkalian dalam dinyatakan sebagai u, v
yang memenuhi sifat
1. Linear
a, u1  bu2 , v  a u1 , v  b u2 v
2. Simetri konjuget
u, v  u, v
3. Positif
u, u  0 dari u, u jika dan hanya jika u  0
Jika terdapat u, v  c
u, kv  kv, u  k  v, u   k  v, u   k u, v

u, v  u t v
u
f , g   f t  g t dt
a

A, B   BH , A BH  BT

9. NOTASI BRA-KET

Bra Transfors konjugat dari Ket


Ket Transfors konjugat dari Bra

U I Bra

IU Ket

u; v  u / v

u/v  u/v 

c1u1  c2u2 / v  c1 u1 / v  c2  u2 / v

Contoh 6.8
 a1   b1 
 
1) a   a2  ; b   b2 

f b  a1  b1  a2  b2

2) f  x   c, x  0, L
l
f g   f   x  g  x  dx
1

 a1   b1 
a  b 
3) a₌; 
2 
b= 
2 
 .....   ..... 
   
 an   bn 


a  a1 , a2  .....an  
 a1 
a 
b  2
 .. 
 
 an 
 b1 
b 
a b   u1  a2  ......an   2   a1  b1  a2b2  .....  an bn
 ... 

7. Invers & Determinan  


 bn 

Matriks
1. PENGANTAR
Pada bagian ini ada beberapa cara untuk menyelesaikan Invers dan determinan matriks akan
dikenalkan sifat-sifat dari determinan. Selanjutnya akan dikenalkan nilai/harga determinan yang
berkaitan dengan determinan matriks. Agar dapat lebih bisa mendalami materi diharapkan agar
lebih serius dalam belajar.

2. INVERS MATRIKS
Matriks persegi A mempunyai invers, jika ada matriks B sedemikian hingga AB  BA  I nn

dengan I matriks identitas. Pada persamaan AB  BA  I nn ' A dan B disebut saling invers.

Berikut ini adalah syarat suatu matriks A mempunyai invers.


(i) Jika A  0 , maka matriks A tidak mempunyai invers. Oleh karena itu, dikatakan matriks

A sebagai matriks singular.


(ii) Jika A  0 , maka matriks A mempunyai invers. Oleh karena itu, dikatakan matriks A

sebagai matriks nonsingular.


d b
Untuk matriks A    berordo 2  2 ini, kita dapat menentukan inversnya sebagai berikut:
 c a
1
A1  .AdjA
det A
1  d b 
  
ad  bc  c a 
Untuk memperoleh invers matriks A berordo 2  2 dilakukan dengan cara:
(i) Pertukaran elemen-elemen pada diagonal utama
(ii) Berikan tanda negatif pada elemen-elemen lainnya
(iii) Bagilah setiap elemen matriks dengan determinanya

Berasarkan uraian diatas dapat dikemukakan sebagai berikut:


(i) Suatu matriks persegi tidak mempunyai invers, jika dan hanya jika matriks itu adalah
matriks singular
(ii) Suatu matriks persegi mempunyai invers, jika dan hanya jika matriks itu adalah matriks
nonsingular.

Untuk menentukan invers suatu matriks dengan ordo 3 3 , kalian harus memahami tentang
matriks matriks minor, kofaktor, dan adjoint.

Matriks Minor

Matriks minor Mij diperoleh dengan cara menghilangkan elemen-elemen pada baris ke-i dan
kolom ke-j matriks A berordo 3  3, sehingga didapat matriks baru dengan 2  2. Determinan dari

matriks tersebut disebut minor dari matriks A, ditulis dengan M ij

 a11 a12 a13 


A   a21 a22 a23 
a a33 
 31 a32
Minor-minor dari matriks A adalah sebagai berikut:

a22 a23 a12 a13 a12 a13


M11  M 21  M 31 
a32 a33 a32 a33 a22 a23

a21 a23 a11 a13 a11 a13


M12  M 22  M 32 
a31 a33 a31 a33 a21 a23

a21 a22 a11 a12 a11 a12


M13  M 23  M 33 
a31 a32 a31 a32 a21 a22

Kofaktor
Kofaktor dari baris ke-i dan kolom ke-j dituliskan dengan Aij. Untuk menentukannya ditentukan
dengan rumus:

Aij  (1)i  j M ij

Kofaktor-kofaktor dari matriks A adalah sebagai berikut:

A11  (1)11 M11  M11

A12  (1)12 M12   M12

A13  (1)13 M13  M13

A21  (1)21 M 21   M 21

A22  (1)22 M 22  M 22

A23  (1)23 M 23   M 23

A31  (1)31 M31  M31

A32  (1)32 M32   M32

A33  (1)33 M33  M33

Adjoint
Misalkan suatu matriks A berordo n  n dengan Aij kofaktor dari matriks A, maka

 A11 A21 ... An1 


A A22 ... An 2 
 12
 . . . . 
Adjoint A (Adj A) =  
 . . . . 
 . . . . 
 
 A1n A2 n ... Anm 
Untuk matriks A berordo 3  3, maka

 A11 A12 A13 



Adj A =  A21 A22 A23 
A A33 
 31 A32
Contoh 7.1

1 3
1) Carilah invers matriks A   
5 2
Penyelesaian

a b 1  C11 C21  1  d b 
A-1 =   x   x 
c d  A  C12 C22  axd  bxc  c a 

 2 3 
 2 3   13 13 
( 1)
1 3 1
5 2 = x = 
  1x2  3x5  5 1   5 1 
 
 13 13 

( 1)
 2 1  3 1
 5 3  
   5 2 

 4 0
2) Carilah invers matriks A =  
 3 5
Penyelesaian

a b 1  C11 C21  1  d b 
A-1 =   x   x  c a 
c d  A  C12 C22  axd  bxc  
 1 
( 1)
 0
 4 0 1  5 0  4
 3 5   3 4   3 1 
  4 x 5  0 x 2  
 
 20 5 
( 1)
 4 0  5 0
 3 5  
   3 4 
Contoh 7.2

1) Teorema Gauss Jordan

 1 0 5
 4 1 3
 
 2 3 5
 
Penyelesaian
( 1)
 1 0 5
 4 1 3
 
 2 3 5
 
Temukan matriks invers menggunakan transformasi elementer, untuk melakukan ini,
tambahkan matriks identitas dengan ukuran yang sama ke kanan

 1 0 5 1 0 0
 
 4 1 3 0 1 0   (4) R2  4  R1  R2
 2 3 5 0 0 1
 
1 0 5 1 0 0
 
 0 1 17 4 1 0   (2) R3  2  R1  R3
 2 3 5 0 0 1
 
1 0 5 1 0 0
 
 0 1 17 4 1 0   (3) R3  3  R2  R3
 0 3 5 2 0 1 
 

 
1 0 5 1 0 0 
 
 0 1 17 4 1 0   (17) R2  (17)  R3  R2
0 0 1 5 3 1 
 
 23 46 46 
   2 15 5 
 1 0 0  46 46 
1 0 5   1 0 0 23
 0 1 0 7 5 17 
 (5) R1  5  R3  R1  0 1 0
7 5 17 
 23 23 46  23 46 46 
0 0 1  0 0 1 
 5 3 1   5 3 1 
 
 23 46 46   23 46 46 

 2 15 5 
( 1)  23 46 46 
 1 0 5  
 4 1 3 7 5 17 
  
 23 46 46 
 2 3 5  
  3 1 
 5
 23 46 46 
2) Teorema Adjugate

 1 0 5
 4 1 3
 
 2 3 5
 

Penyelesaian

 C1,1 C2,1 C3,1 


1 1  
A ( 1)
  C    C1,2 C2,2 C3,2   ?
T

A A  
 C1,3 C2,3 C3,3 
1 0 5
A  4 1 3  46
2 3 5

a11 a12 a13 a11 a12 a13


a21 a22 a23  a11  a22  a33 a21 a22 a23
a31 a32 a33 a31 a32 a33

a11 a12 a13


 a12  a23  a31 a21 a22 a23
a31 a32 a33

a11 a12 a13


 a12  a23  a31 a21 a22 a23
a31 a32 a33
a11 a12 a13
 a13  a21  a32 a21 a22 a23
a31 a32 a33
a11 a12 a13
 a13  a22  a31 a21 a22 a23
a31 a32 a33
a11 a12 a13
 a11  a23  a32 a21 a22 a23
a31 a32 a33
a11 a12 a13
 a12  a21  a33 a21 a22 a23
a31 a32 a33

1 0 5
4 1 3  11 5  0  3  2  5  4  3  2 1 5  3  3 1  5  4  0  46
2 3 5

1 0 5
(11)
C1,1  (1)  4 1 3  1 (1 5  3 3)  4
2 3 5

1 0 5
(1 2)
C1,2  (1)  4 1 3  1 (4  5  3  2)  114  14
2 3 5

1 0 5
(13)
C1,3  (1)  4 1 3  1 (4  3  1 2)  10
2 3 5

1 0 5
(21)
C2,1  (1)  4 1 3  1 (0  5  5  3)  1 (15)  15
2 3 5

1 0 5
C2,2  (1)(22)  4 1 3  1 (1 5  5  2)  5
2 3 5
1 0 5
(23)
C2,3  (1)  4 1 3  1 (1 3  0  2)  1 3  3
2 3 5

1 0 5
(31)
C3,1  (1)  4 1 3  1 (0  3  5 1)  5
2 3 5

1 0 5
(3 2)
C3,2  (1)  4 1 3  1 (1 3  5  4)  1 (17)  17
2 3 5

1 0 5
(33)
C3,3  (1)  4 1 3  1 (11  0  4)  1
2 3 5

 2 15 5 
 46 46 
 4 15 5   23 
7 5 17 
  CT    14 5 17   
1 1
A( 1)
A 46   46 46 
   23 
 10 3 1  3 1 
 5
 23 46 46 
Contoh 7.3

Teorema Gauss Jordan ordo 4  4

Tentukanlah matriks berikut

1 1 1 0
1 0 2 1 

1 1 1 1
 
1 2 1 1

Penyelesaian

( 1)
1 1 1 0
1 0 2 1 
 ?
1 1 1 1
 
1 2 1 1

Temukan matriks invers menggunakan transformasi elementer, untuk melakukan ini,


tambahkan matriks identitas dengan ukuran yang sama ke kanan

1 1 1 01 0 0 0
 
1 0 2 10 1 0 0
 (1) R2  1 R1  R2
1 1 1 10 0 1 0
 
1 2 1 10 0 0 1 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
 0 1 1 1 1 1 0 0
 (1) R3  1 R1  R3
1 1 1 1 0 0 1 0
 
1 2 1 1 0 0 0 1 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
 0 1 1 1 1 1 0 0
 (1) R4  1 R1  R4
0 0 0 1 1 0 1 0
 
1 2 1 1 0 0 0 1 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
 0 1 1 1 1 1 0 0
 (1) R2 / (1)  R2
0 0 0 1 1 0 1 0
 
0 1 0 1 1 0 0 1 
1 1 1 0 1 0 0 0
 
0 1 1 1 1 1 0 0
 (1) R4  1 R2  R4
0 0 0 1 1 0 1 0
 
0 1 0 1 1 0 0 1 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
0 1 1 1 1 1 0 0
R  R3
0 0 0 1 1 0 1 0 4
 
0 0 1 2 2 1 0 1 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
0 1 1 1 1 1 0 0
 (2) R3  2  R4  R3
0 0 1 2 2 1 0 1
 
0 0 0 1 1 0 1 0 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
0 1 1 0 0 1 1 0
 (1) R2  (1)  R3  R2
0 0 1 0 0 1 2 1
 
0 0 0 1 1 0 1 0 

1 1 1 0 1 0 0 0
 
0 1 0 0 0 0 1 1
 (1) R1  1 R3  R1
0 0 1 0 0 1 2 1
 
0 0 0 1 1 0 1 0 

1 1 0 0 1 1 2 1
 
0 1 0 0 0 0 1 1 
 (1) R1 1 R2  R1
0 0 1 0 0 1 2 1 
 
0 0 0 1 1 0 1 0 

1 0 0 0 1 1 3 2 
 
0 1 0 0 0 0 1 1 
0 0 1 0 0 1 2 1 
 
0 0 0 1 1 0 1 0 
( 1)
1 1 1 0  1 1 3 2 
1 0 2 1   0 0 1 1 
  
1 1 1 1  0 1 2 1 
   
1 2 1 1  1 0 1 0 

3) DETERMINAN MATRIKS
Misalkan A matriks bujur sangkar, fungsi determinan A sering dituliskan sebagai determinan

(disingkat det  A atau A ) didefinisikan sebagai jumlah semua hasil kali elementer bertanda

dari A.
Jika A berukuran n x n, maka hasil kali elementer dari matriks A akan berbentuk:

a1P1. a2 P2  anpn dimana p1 p2 . . . . pn merupakan permutasi dari bilangan-bilangan 1,2,, n .


Tanda dari a1 p1.a2 p2 . anpn sendiri ditentukan dari banyaknya bilangan bulat besar yang

1 2  Pn, jika
mendahului bilangan yang lebih kecil (banyaknya invers) pada bilangan PP

banyaknya invers adalah ganjil maka tandanya negatif (-) dan jika sebaliknya tandanya positif
(+).

Contoh 7.4

a b 
Diketahui A   
c d 

Tentukan det  A !
Penyelesaian

Banyaknya permutasi 1,2 (karena A berukuran 2 x2 ) = 2 yaitu 12 dan 21. Pada bilangan 12
akan di dapatkan banyaknya invers  0 sehingga tanda hasil untuk kali elementer a11.a22 adalah

(+), sedangkan untuk hasil kali a12.a21 elementer akan bertanda (-) karena bilangan 21 terdapat

satuan kabulat yang mendahului angka yang lebih kecil. Jadi det
( A)   a11.a22  a12.a21  ad  bc.

Nilai/harga Determinan

Cara menghitung nilai determinan dari suatu matriks adalah suatu hal yang fundamental.
Berikut adalah beberapa cara untuk menetukan nilai determinan berdasarkan derajat matriks:
a. Determinan derajat 2
a c
A = = ab  cd
b d

Contoh 7.4
1 2
A
3 4
 1.4  2.3
 46
 2

b. Determinan derajat 3
i. Metode Sarrus
a d h
B= b f i = a f j  d i c  h b g – h f c  a i g  d b j 
c g j

Metode Sarrus hanya boleh dipakai untuk menghiung determinan derajat 3.

ii. Dengan mencari miniornya (yaitu menghapus satu baris dan satu kolom yang memuat
elemen tersebut).
Jikai + j = genap maka tandanya plus (+)
Jikai + j = ganjil maka tandanya plus (-)
a d h
A= b f i
c g j

Contoh 7.5

Hitung nilai/harga determinan berikut.


1 2 3
A= 4 5 6
7 8 9
1) Dengan metode sarrus

1 2 3
A = | 4 5 6 |  45  84  96 – 105  48  72  0
7 8 9

2) Dengan ekspansi kofaktor

1 2 3
A = |4 5 6|
7 8 9
i. Ekspansi baris ke-1
A  1M11 – 2M12  3M13

5 6 4 6 4 5
=1 2 3
8 9 7 9 7 8

1 45  48   2 36  42  332 – 35


 3 12 – 9
0
ii. Ekspansi baris ke-3
A  7M 31 – 8M 32  9M 33

2 3 1 3 1 2
= 7 8 9
5 6 4 6 4 5

= 7 12 15   2  6 12  9 32 – 35

 21 48  27
0

c. Determinan derajat 4

a b c d
A
 e f g h
i j k l
Sebagai gambaran, jika kita mempunyai determinan derajat 6, dan akan menggunakan
Metode Sarrus, maka di uraikan sebagai berikut:

 Dari determinan derajat 6 dapat diuraikan menjadi 6 determinan derajat 5.


 Dari determinan derajat 5 dapat di uraikan menjadi 5 determinan derajat 4.
 Dari determinan derajat 4 dapat di uraikan menjadi 4 determinan derajat 3.
Sehingga secara umum kita mempunyai determinan derajat n, maka dapat di uraikan
n!
menjadi determinan derajat 3.
3!

Contoh 7.6

Hitung harga determinan

1 0 1 2
1 2 1 3
| A| 
1 1 0 2
2 1 2 0

Penyelesaian

A  a11M11  a12 M12  a13M13 – a14 M14

2 1 3 1 1 3 1 2 3 1 2 1
 1 1 0 2  0 1 0 2   1 1 1 2  2 1 1 0
1 2 0 2 2 0 2 1 0 2 1 2

 (0  2  2  6  (0  8  0) 1(0  8  3  (6  2  0))  2(2  0 1 (2  0  4))


  16  15  18
 17

Menghitung Determinan dengan OBE


Perhatikan beberapa contoh penentuan determinan matriks berikut ini:

1 2
 det  3
0 3
3 0
  5
4 5
1 0 0
 det 4 5 0  45
7 8 9

1 2 3
 0 4 5  24
0 0 6
Secara sederhana, determinan suatu matriks merupakan hasil kali setiap unsur diagonal pada
suatu matriks segetiga (atas atau bawah). Tetapi dalam kenyataannya, tak semua matriks
berbentuk segitiga, sehingga kita dapat menentukan tak semudah menggunakan operasi baris
elementer (OBE), kita akan mencoba merubah suatu matriks segitiga. Secara sederhana,
gambaran proses yang dilakukan adalah sebagaai berikut: Matriks bujur sangkar ~OBE~ matriks
segitiga.

Alasan inilah yang mengharuskan kita mengetahui pengaruh operasi baris elementer terhadap
determinan suatu matriks. Berikut ini adalah pengaruh OBE pada nilai determinan suatu matriks,
yaitu:

a. Jika matriks B berasal dari matriks A dengan satu kali pertukaran baris maka :
Det  B   Det  A

Contoh 7.7

Diketahui bahwa

2 1
Jika A  maka A  3
1 1

Sementara itu, misalkan

1 1
B
2 1

Perhatikan bahwa B merupakan matriks yang berasal dari A dengan menukarkan bari s pertama
dan baris ke-2. Jelas bahwa

det  B   1  2  3   A
b. Jika B berasal dari A dengan perkalian sebuah baris dengan konstanta tak nol k maka det
(B) = k. det (A)

Contoh 7.8

Misalkan,

 2 1  2 1
A  dan B   
 1 1  2 2 

Jelas bahwa | A | 3

Perhatikan bahwa matriks B berasal dari matriks A dengan perkalian dengan 2 pada baris
kedua, maka

B  4 –  2  6

Terlihat bahwa:

B   6  2  3  2 det  A .

c. Jika matriks B berasal dari matriks A dengan perkalian sebuah baris dengan konstanta tak

nol k lalu dijumlahkan pada baris lain maka det  B   det  A

Contoh 7.9

Misalkan,

1 3
A
0 12

Jelas bahwa | A |  12

Perhatikan:

1 3 1 3
  12
2 6 0 12

OBE pada matriks tersebut adalah 2b1  b2


Terlihat bahwa determinan matriks hasil OBE adalah sama dengan determinan matriks asal
sebelum di OBE.

Contoh 7.10

Tentukan determinan matriks berikut:

 2 1 0
A   1 2 1 
 0 1 2
 

Penyelesaian

det  A | A |

2 1 0
1 2 1
0 1 2

1 2 1
  2 1 0 b1     b2
0 1 2

1 2 1
  0 3 2 2b1  b2
0 1 2

1 2 1
 0 1 2 b2    b3
0 3 2

1 2 1
 0 1 2 3b2  b2
0 0 4

Sifat-sifat Determinan
Untuk membantu/mempermudah perhitungan nilai/harga suatu determinan, berikut diberikan
sifat-sifat determinan.
1. Nilai/harga suatu determinan tak berubah jika baris dijadikan kolom atau kolom dijadikan
baris.
A | AT |

Contoh 7.11

2. Jika dalam suatu determinan tedapat suatu baris/kolom yang semua elemenya nol, maka
nilai/harga determinan.

Contoh 7.12
5 9 8
0 0 0 0
6 3 7
(Entri baris ke-2 semuanya nol, sehingga nilai/harga determinan sama dengan nol)

3. Jika dalam suatu determinan 2 baris / 2 kolom yang berurutan ditukar tempatnya / maka
nilai / harga determinan hanya berubah tanda.
a x a a a x
Jika a y a  k , maka a a y  k
a z a a a z

Contoh 7.13

2 4 5 2 5 4
Jika 3 2 9  222, maka 3 9 2  222
5 1 8 5 1 8

(kolom ke-2 ditukar dengan kolom ke-3)

4. Jika dalam suatu determinan terdapat 2 baris atau 2 kolom yang entrinya identik/sama,
maka nilai/harga determinan sama dengan 0.
a x x
a y y 0
a z z

Contoh 7.14

1 0 1 2
1 2 1 3
0
1 1 1 2
2 1 2 0

(Entri kolom ke-2 identik dengan kolom ke-4)

5. Jika setiap elemen suatu baris atau kolom dalam suatu determinan digandakan dengan k ,
maka nilai/harga determinan baru  k kali determinan semula.

a k a a a a
a k a k a a a
a k a a a a

Contoh 7.15

1 3 5 1 1 3 5 1
2 9 10 7 2 9 10 7
 3(5)
8 27 15 8 8 27 15 8
7 15 15 6 7 15 15 6

(Entri kolom ke-2 dibagi 3, dan entri kolom ke-3 dibagi 5)

6. Jika suatu baris atau suatu kolom dalam determinan merupakan kelipatan baris/ kolom
yang lain, maka harga determinan sama dengan nol.

Contoh 7.16

Determinan Hasil Kali Skalar Matriks


Misalkan k 2R serta A dan B adalah dua matriks persegi berukuran n . Kita akan meninjau

sifat-sifat yang mungkin dimiliki oleh det  A , det  B  , dan

 det  kA

 det  A  B 

 det  AB  .
Teorema Jika A adalah matriks persegi berorde n dan k 2R , maka

det  kA  k n det  A n . Bukti jika k  0 , maka kA  0 A  0 . Karena kA  0,


maka kA memiliki baris nol. Akibatnya

det  kA  det  0 A  det  0  0

 0n det  A  kn det  A . Jika k 6  0,

Jika k 0, maka setia kA baris kA dikalikan dengan k. Karena kA memuat n baris, maka

det  kA  k n det  A .

Jumlah Determinan dan Determinan Jumlah Matriks


Determinan Hasil Jumlah Matriks Jika A dan B adalah matriks n , apakah

det  A  B   det  A  det  B  selalu berlaku?

1 1  1 1 
Tidak, pilih A    dan B   
1 2  1 2 

Kita memiliki A  2  1  1 dan B   2 1   3.

 2 2
Akibatnya A  B  2. Perhatikan bahwa A  B   .
2 0

Jadi, det A  B   4   2  det  A  det  B .

Teorema Penting Terkait Determinan


Berikut teorema-teorema penting terkait determinan yang buktinya dapat dilihat di buku teks.

 Teorema Matriks persegi A invertible jika dan hanya jika det  A  0 .

 Teorema Jika A dan B matriks persegi yang berukuran sama, maka


det  AB   det  A det  B  .
 Teorema Jika A invertibel, maka det A 1

1
det  A
Menghitung Determinan Dengan Reduksi Baris
Metode ini digunakan untuk menghindari perhitungan yang panjang dalam penerapan definisi
determinan secara langsung. Determinan suatu matriks dapat dihitung dengan mereduksi matriks
tersebut dalam bentuk eselon baris.
Sifat-sifat matriks eselon baris tereduksi (reduced row-echelon form)
1. Jika baris terdiri tidak seluruhnya dari nol, maka bilangan tak nol pertama dalam baris
tersebut adalah 1. (kita namakan 1 utama)
2. Jika terdapat baris yang seluruhnya nol, maka semua baris seperti ini dikelompokan
bersama-sama dibawah matriks.
3. Dalam sembarang dua baris yang berurutan yang seluruhnya tidak terdiri dari nol, maka 1
utama dalam baris yang lebih rendah terdapat lebih jauh kekanan dari 1 utama dalam baris
yang lebih tinggi.
4. Masing-masing kolom yang mengandung 1 utama mempunyai nol ditempat lain.
8. Analisis Tensor

1. PENGANTAR
Pada bagian ini akan dikenalkan sifat-sifat tensor dan operasi-operasi dasar dengan tensor.

2. TENSOR
Tensor adalah generalisasi dari skalar dan vektor. Skalar adalah tensor orde nol, sedangkan
tensor orde satu menggambarkan suatu vektor. Dalam ruang 3 dimensi, suatu skalar mempunyai

komponen sebanyak 30  1 komponen, sedangkan suatu vektor mempunyai jumlah komponen

sebanyak 31  3 buah komponen. Demikian tensor orde 2 akan mempunyai 3  9 komponen


2

dalam ruang 3 dimensi. Dari tensor orde dua keataslah kita memerlukan analisis yang berbeda
dari skalar dan vektor. Misalnya tensor yang menggambarkan gaya persatuan luas yang dialami
oleh suatu titik pada meterial yang mengalami stress dan strain

 Pxx Pxy Pxz 


 
 Pyx Pyy Pyz 
 Pzx Pzy Pzz 

Misalkan terdapat N buah besaran dalam sistem koornidat { } dan N buah besaran
dalam sistem koordinat lain { } dangan = 1, 2, 3..., N. Jika kedua besaran itu memenuhi
hubungan:
N
x'  v
A'    A
V 1 x
v

Maka disebut sebagai komponen vektor kontravarian atau vektor kontravarian saja, jika ( v
= 0,1,2,3) maka dapat digunakan sumasi Einstein untuk menyederhanakan persamaan tersebut
menjadi

x'  v
A'   A
xv

Misalkan terdapat N buah besaran dalam sistem koordinat { } dan N buah besaran{ }
Dalam sistem koordinat lain { } dangan = 0,1,2,3. Jika kedua besaran itu memenuhi
hubungan.

A1 , A2 ,... AN

Maka disebut sebagai vektor kovarian.

 x p  xr qs
Jika N buah besaran A  q
pr
A dalam sebuah sistem koordinat ( x1, x2 ,...x N )
ax x s

berhubungan dengan N buah besaran-besaran lainnya A1 , A2 ,...AN dalam sistem koordinat lain

( x1, x2 ,...x N ) melalui persamaan-persamaan transformasi

N
xp q
Ap   A p  1,2,...N
q 1 x
q

Yang mana berdasarkan kaidah yang telah disetujui dapat dituliskan sebagai

xp q
Ap  A
xq

Maka besaran-besaran ini disebut sebagai komponen-komponen dari sebuah vektor kontravarian
atau tensor kontravarian rank kesatuatau ordekesatu.

1 2 N 1 2 N
Jika N buah besaran A , A ,... A dalam sebuah sistem koordinat ( x , x ,...x ) berhubungan

dengan N buah besaran lainnya A1 , A2 ,...AN dalam sistem koordinat lain x1 , x2 ,...x N melalui
persamaan-persamaan transformasi :

N
x q
Ap   Aq p  1,2,...N
q 1 xp
x q q
A  pA
p

x

Maka besaran-besaran ini disebut komponen-komponen dari sebuah vektor kovarian atau tensor
kovarian rank kesatu atau orde satu.

Perhatikan bahwa indeks atas dipergunakan untuk menyatakan komponen-komponen


kontravarian sedangkan indeks bawah dipergunakan untuk menunjukkan komponen-komponen
kovarian, perkecualiannya adalah pada notasi untuk koordinat-koordinat.

Dari pada mengatakan sebuah tensor yang komponen-komponennya adalah A p atau Ap . Dalam

hal ini tentu saja tak akan timbul kesalahpahaman.

3. TENSOR-TENSOR KONTRAVARIAN, KOVARIAN DAN TENSOR


CAMPURAN
Jika N 2 buah besaran buah sistem koordinat ( x , x ,...x ) berhubungan dengan N 2 buah
1 2 N

besaran-besaran lainnya A pr dalam sistem koordinat lain ( x1 , x2 ,...x N )melalui persamaan-


persamaan transformasi,

N N
 x r qs
A pr   A p, r  1,2,..., N
s 1 q 1 x
s

 x p  xr qs
A  q s A
pr

ax x

Berdasarkan kaidah yang tersetujui, maka besaran-besaran ini disebut komponen-komponen dari
sebuah tensor rank kedua atau rank dua.

N 2 buah besaran Aqs disebut komponen-komponen dari sebuah tensor rank kedua jika

x q x s
Apr  Aqs
x p x r

Begitupula N 2 buah besaran Asq disebut komponen-komponen dari sebuah tensor campuran rank

kedua jika

p
 x x s q
A  q
p
As
x  x r
r
Delta Kronecker dituliskan kj , didefinisikan oleh

kj  {10

Sebagaimana ditunjukkan oleh notasinya, maka ia adalah sebuah tensor campuran rank kedua.

Tensor dengan rank lebih besar daripada dua dapat didefinisikan dengan mudah. Misalnya,
tensor campuran rank 5, yang kontravarian berorde 3 dan kovarian berorde 2, jika mereka
bertransformasi menurut relasi

 x p  xr  xm  xk  xl qst
A prm
 q s Akl
x x xt  xi  x j
ij

Skalar atau invarian misalkan  sebuah fungsi dari koordinat-koordinat x dan  menyatakan
k

k
harga fungsional dibawah transformasi ke sebuah himpunan koordinat baru x . Maka  disebut
sebuah skalar atau invarian terhadap transformasi koordinat jika    . Sebuah skalar atau
invarian juga disebut sebuah tensor rank nol.

Medan Tensor Jika pada setiap titik dari sebuah daerah dalam ruang berdimensi N terdapat
kaitan rupa sebuah medan vektor atau medan skalar tergantung pada apakah tensornya ber- rank
satu atau nol. Perlu dalam satu sistem koordinat yang khusus tetapi semua himpunan komponen-
komponen yang mungkin dibawah sebarang transformasi koordinat.

Turunan kovarian suatu tensor kontravarian Av diberikan oleh

DAv Av

   
v
A  

A v
Dx x
atau bisa ditulis

D Av   Av  


v
A  

Av

dan

A;v  A,v  


v
A  

Av

dan turunan kovarian untuk Av

Av;  Av,   Av  v A


Sedangkan turunan kovarian untuk tensor campuran Av

Av;  Av,  



A  v Av

Contoh 8.1

Tentukan apakah masing-masing besaran berikut adalah sebuah tensor. Jika demikian, nyatakan
apakah ia kontravarian atau kovarian dan tentukan rank-nya:

k
(a) dx

 ( x1 ,..., x N )
(b)
xk
Penyelesaian

i j 1 x j k
(a) Anggap transformasi koordinatnya x  x ( x ,..., x ) maka dx  k dx . Jadi
j
N

x
k
dengan demikian dx adalah sebuah tensor kontravarian rank satu atau sebuah vektor
kontravarian. Perhatikan bahwa letaknya indeks k telah selesai.

(b) Karena  adalah sebuah fungsi dari x k maka dibawah transformasi koordinat

xk  xk ( x1,..., x N ),  juga sebuah fungsi dari xj sedemikian rupa sehingga

 ( x1 ,..., x N )   ( x1,..., x N ), yakni  adalah sebuah veksor kovarian rank satu atau
sebuah vektor kovarian.

Perhatikan bahwa dalam indeksnya muncul dalam penyebut jadi berperan sebagai sebuah
x k

indeks bawah yang menunjukkan sifat kovariannya. Kita menyebut tensor atau tensor
x k

dengan komponen-komponen . Sebagai gradien dari  , yang ditulis grad  atau  .
x k
Contoh 1.2
x p
Perlihatkan bahwa   qp .
x q

x p
Jika p=q,  1 karena x p  x q
x q

x p
Jika p  q ,  0 karena x p dan x q tak bergantungan
x q

x p
Maka   qp
x q

4. TENSOR-TENSOR SIMETRIK DAN ANTI-SIMETRIK


Sebuah tensor dikatakan simetrik terhadap kedua indeks konvariannya jika komponen-
komponennya tetap tak berubah dalam mempertukarkan kedua indeks tersebut. Jadi jika
Aqsmpr  Aqspmr maka tensornya simetrik dalam m dan p. Jika sebuah tensor simetrik dalam dua
indeks kontravarian sebarang dan dua indeks kovarian sebarang, maka tensornya disebut
simetrik.
Sebuah tensor disebut anti-simetrik terhadap kedua indeks kontravarian atau kovariannya jika
komponen-komponennya berubah tanda dalam mempertukarkan kedua indeks tersebut. Jadi jika
Aqsmpr   Aqspmr maka tensornya anti-simetrik dalam m dan p. Jika sebuah tensor anti-simetrik
terhadap dua indeks kontravarian sebarang dan dua indeks kovarian sebarang, maka tensornya
disebut anti-simetrik.
Tensor kovarian rank dua A v disebut tendor simetri jika komponennya memenuhi

Av  Av
dan disebut antisimetri jika
Av   Av
analog dengan persamaan tersebut, tensor kontravarian Av disebut simetri jika

Av  Av
dan disebut antisimetri jika :

Av   Av

Contoh 1.3
Jika sebuah tensor Astpqr simetrik (anti metrik) terdapat indeks-indeks p dan q dalam salah satu

sistem koordinat, perlihatkan bahwa ia tetap simetrik (anti-simetrik) terhadap p dan q dalam
sebarang sistem koordinat.

Karena hanya indeks- indeks p dan q yang terlibat, maka kita akan membuktikan untuk B pq

Jika B pq simetrik, jadi B pq  B qp , maka

j k j j
x x
jk x x kj
B  p q B pq  q p B qp  B
x x x x
i
Jadi B pq tetap simetrik dalam sistem koordinat x .

Jika B pq anti-simetrik, jadi B pq   Bqp , maka

j k j j
x x
jk x x kj
B  p q B pq   q p B qp   B
x x x x
i
Jadi B pq tetap anti simetrik dalam sistem koordinat x .

Hasil diatas tentu saja berlaku untuk tensor-tensor simetrik (anti-simetrik) lainnya.

5. OPERASI-OPERASI DASAR DENGAN TENSOR


1. Penjumlahan
Jumlah dari dua buah atau lebih tensor yang rank dan jenisnya sama (yakni jumlah indeks-
indeks kontravariannya sama dan jumlah indeks-indeks kovariannya sama) adalah juga

sebuah tensor dengan rank dan jenis yang sama. Jadi jika Aqmp dan Bqmp adalah tensor-tensor,

maka cqmp  Aqmp  Bqmp adalah juga sebuah tensor. Penjumlahan tensor-tensor bersifat

komutatif dan asosiatif.


2. Pengurangan
Selisih dari dua buah tensor yang rank dan jenisnya sama adalah juga sebuah tensor dengan
rank dan jenis yang sama. Jadi jika Aqmp dan Bqmp adalah tensor-tensor, maka

Dqmp  Aqmp  Bqmp adalah juga sebuah tensor.


3. Perkalian Luar
Hasil-hasil dari dua buah tensor adalah sebuah tensor yang ranknya sama dengan jumlah rank
dari keduatensor yang diperkalikan. Perkalian ini yang mana menyangkut perkalian biasa dari
komponen-komponen tensor disebut hasil-kali luar. Misalnya Aqpr Bsm  Cqsprm adalah perkalian

luar dari Aqpr Bsm . Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa tidak semua tensor dapat

dituliskan sebagai suatu hasil-kali dari dua buah tensor dengan rank yang lebih rendah.
Berdasarkan alasan ini, pembagian tensor tidaklah selalu mungkin.
4. Kontraksi
Jika satu indeks kontravarian dan satu indeks kovarian sebuah tensor disamakan, maka
hasilnya menyatakan penjumlahan terhadap kedua indeks yang sama ini sesuai dengan kaidah
penjumlahan. Hasil penjumlahan ini adalah sebuah tensor yang ranknya dua kali lebih rendah
daripada tensor semula. Proses ini disebut kontraksi. Misalnya, pengambilan r  s dalam
tensor rank 5, Aqsmpr menghasilkan Aqrmpr  Bqmp yang adalah sebuah tensor rank 3. Selanjutnya

dengan mengambilkan p  q kita peroleh Bpmp  cm yang adalah sebuah tensor rank 1.

5. Perkalian Dalam
Melalui proses perkalian luar dua buah tensor kemudian diikuti dengan kontraksi, kita peroleh
sebuah tensor baru yang disebut hasil-kali dalam dari tensor-tensor yang diperkalikan.

Prosesnya disebut perkalian dalam. Misalnya, diketahui tensor-tensor Aqmp dan Bstr . Hasil kali

luarnya adalah Aqmp  . Ambilkan q  r , kita peroleh hasil-kali dalam Armp Bstr . Ambilkan

q  r dan p  s , hasil-kali luarnya adalah Aqmp Bptr diperoleh. Perkalian dalam dan luar dari
tensor-tensor bersifat komunitatif dan asosiatif.
6. Hukum hasil-kali
Andaikan tidak diketahui apakah sebuah besaran X adalah sebuah tensor ataukah tidak.
Apabila hasil-kalidalam dari X dengan sebarang tensor adalah juga sebuah tensor, maka X
adalah juga sebuah tensor. Aturan ini disebut hukum hasil-bagi

7. ELEMEN GARIS DAN TENSOR MATRIKS


Dalam koordinat tegak lurus ( x, y, z) , dideferensial panjang busur ds diperoleh dari

ds 2  dx2  dy 2  dz 2 . Dengan melakukan transformasi ke koordinat umum bentuk ini menjadi


3 3
ds 2   g pq du p duq . Ruang-ruang demikian, dinamakan ruan- ruang Euklid berdimensi
p 1 q 1

1 2 N
tiga. Perluasan kedalam ruang berdimensi N dengan koordinat-koordinat ( x , x ,...x ) adalah
langsung. Kita mendefinisikan elemen garis ds dalam ruang ini, oleh bentuk kuadratik berikut,
yang disebut bentuk matriks atau matriks.
N N
ds 2   g pq dx p dx q
p 1 q 1

atau dengan menggunakan kaidah penjumlahan,

ds2  g pq dx p dxq

j k
Dalam hal khusus di mana terdapat transformasi koordinat dari x ke x sedemikian rupa

sehingga bentuk metrik ditransformasikan ke dalam (dx1 )2  (dx2 )2  (dx N )2 atau dxk dxk ,
maka ruangntya disebut ruang euklid berdimensi N . Tetapi, dalam hal yang umum ruangnya
disebut ruang riemann.

Besaran-besaran g pq adalah komponen-komponen dari sebuah tensor rank dua yang disebut

tensor matriks atau tensor fundamental.

Contoh 1.4

Jika ds 2  g jk dx j dxk invarian, perlihatkan bahwa g jk adalah sebuah tensor kovarian rank dua

yang simetrik.

  ds 2 , A j  dx j dan Ak  dxk , maka dari sini diperoleh bahwa g jk dapat dilihat simetrik.

Juga karena ds 2 sebuah invarian.

p q x j p x k q x j p q
g pq d x d x  g jk dx j dx k  g jk p
dx q
d x  g jk p
dx dx
x x x

x j x k
Maka g pq  g jk p q dan g jk adalah sebuah tensor kovarian rank dua yang simetrik,
x x
yang disebuat tensor matriks.

8. TENSOR KONJUGAT ATAU RESIPROKAL


Misalkan g  g pq menyatakan determinan matriks yang elemen-elemennya g pq dan andaikan

g  0 , didefinisikan sebagai
kofaktordarig pq
g pq 
g

Maka g pq adalah sebuah tensor kontravarian simetrik rank dua yang disebut tensor konjugat atau

resiprokal dari g pc , sehingga :

g pq grq   rp

9. TENSOR SEKUTU
Dari sebuah tensor yang diketahui, kita dapat menurunkan tensor- tensor lainnya dengan
menaikkan atau menurunkan indeks-indeksnya. Misalnya, diketahui tensor Apq . Dengan

menaikkan indeks p, kita peroleh tensor A p.q tanda titik menunjukkan tempat semula dari indeks

yang dipindahkan. Dengan menaikkan pula indeks q kita peroleh tensor A....pq Apabila titik

membinggungkan, kita akan mengabaikan tanda-tanda titik; jadi A....pq dapat dituliskan sebagai

A pq . Tensor-tensor yang diturunkan ini dapat diperoleh dengan membentuk hasil-kali dalam dari
pq
tensor yang ditinjau dengan tensor metrik g pq atau konjugatnya g . Jadi misalnya :

A.4p  g rp Arq, Apq  g rp g sq Ars, A.trs  Brq A..pqs

A..qm
n
.tk
 g pk gsn g rm A.qr...stp

Hal ini menjadi jelas jika kita menginterpretasikan perkalian dengan g berarti: ambilkan r  p
rp

(atau p  r ) dalam tensor apapun yang diperkalikannya dan naikkan indeks ini. Begitu pula kita

interpretasikan perkalian dengan grq berarti: ambilkan r  q (atau q  r ) dalam tensor apapun

yang diperkalikannya danturunkan indeks ini.

Semua tensor yang diperoleh dari sebuah tensor tertentu dengan membentuk hasil-kali dalamnya
dengan tensor metrik dan konjugatnyadisebut tensor-tensor sekutu (associated tensors) dari
tensor yang tertentu ini. Misalnya Am dan Am adalah tensor-tensor sekutu, yang pertama adalah

komponen kontravarian dan yang kedua komponen kovarian. Hubungan antara keduanya
diberikan oleh :
Ap  Bpq Aq atau Ap  B pq Aq

Dalam koordinat tegak lurus g pq  1 jika p  q , dan 0 jika g  q , sehingga Ap  A p yang

mana menjelaskan mengapa tidak dibedakan antara komponen-komponen kontravarian dan


kovarian dari sebuah vektor
Jika ds 2  g jk dx j dxk invarian, perlihatkan bahwa g jk adalah sebuah tensor kovarian rank dua

yang simetrik.

  ds 2 , A j  dx j dan Ak  dxk , maka dari sini diperoleh bahwa g jk dapat dilihat simetrik.

Juga karena ds 2 sebuah invarian.

p q x j p x k q x j p q
g pq d x d x  g jk dx j dx k  g jk p
dx q
d x  g jk p
dx dx
x x x

x j x k
Maka g pq  g jk p q dan g jk adalah sebuah tensor kovarian rank dua yang simetrik, yang
x x
disebuat tensor matriks.

Contoh 1.5

Jika Aj  g jk Ak , perlihatkan bahwa Ak  g jk Aj .

Perkalian Aj  g jk Ak dengan g
jq

Maka g jq Aj = g jq g jk Ak   kq Ak  Aq yakni Aq  g jg Aj atau Ak  g jg Aj .

Tensor-tensor rank satu, Aj dan Ak , disebut bersekutu (associated). Mereka menyatakan

komponen-komponen kovarian dan kontravarian dari sebuah vektor.

10. TENSOR MATRIKS


Pembahasan lebih lanjut tentang operasi tensor dalam sistem koordinat untuk sebagian besar
kasus praktiknya akan sulit kecuali ruang koordinat dibatasi untuk kelas ruang tertentu. kesulitan
ini muncul terutama ketika perbedaan tensor ke sumbu koordinat ditinjau oleh masalah yang
terbukti mudah ketika sumbu koordinatnya adalah gerobak persegi panjang. Perbedaan ini
disebabkan oleh kelengkungan yang ada dalam sistem koordinat koordinat dan bukan dalam
koordinat kartesius persegi panjang. Hasil langsung dari itu adalah diferensiasi tensor yang
menghasilkan referensi tambahan bukan dari komponen tensor tetapi dari hubungan yang
melibatkan koordinat itu sendiri. Salah satu contoh yang paling cocok dapat dilihat ketika
percepatan titik dalam koordinat kutub silinder ditulis. Komponen akselerasi yang sesuai dalam
arah dan adalah:

 d 2r  d 
2
d 2 dr d 
 2  r   , r 2 2 , 
 dt  dt  dt dt dt 

sedangkan dalam cartesian persegi panjang mengoordinasikan komponen yang


sesuai adalah:

 d 2x d 2 y d 2z 
 2, 2, 2
 dt dt dt 
Membandingkan pasangan komponen ini menunjukkan bahwa salah untuk mengasumsikan
bahwa komponen akselerasi dalam koordinat umum akan dibentuk:

d 2 x1 d 2 x 2 d 2 x n
( , ,... 2 )
dt 2 dt 2 dt
Seperti dalam kasus sistem kartesius persegi panjang. Jadi tinjauan yang cermat sangat
diperlukan dan prosedur untuk menyelesaikan masalah ini sekarang harus ditentukan.
Langkah pertama adalah dengan membatasi ulasan ke ruangan tertentu yang disebut ruang yang
disebut reimannan. jenis ruang ini ditandai dengan memiliki tensor tingkat kedua, g simetris dan
terhubung ke skalar kuadrat kekuatan ds, menurut persamaan :

Aij  g kl g lj Akl
Peningkatan skalar ds didefinisikan sebagai jarak antara dua titik yang memiliki koordinat dan
dianggap independen secara langsung dengan pemilihan sistem koordinat dalam ruang. contoh
spesifik dari persamaan di atas untuk sistem koordinat tiga dimensi adalah sebagai berikut
(ds)(2)  (dx1 )2  (dx2 )2  (dx3 )2 Cartesian persegi panjang

(ds)(2)  (dx)2  2dxd  cos   (d  )2  (dz)2 Miring


(ds)(2)  (dr )2  r 2 (d )2  (dz)2 Kutub silinder

(ds)( 2)  (dr )2  r 2 (d )  r sin 2  (d )2 Kutub

ds adalah jarak terukur aktual antara titik dan + . Meskipun tidak demikian, tetapi
kuantitas ds masih disebut jarak antar titik. Kurva atau lintasan dalam sistem koordinat nol
dimensi ditentukan oleh persamaan:

xi  xi ( x)
Dengan adalah parameter kurva dan fungsi ( dianggap sebagai kontinu dan dapat
bervariasi hingga tingkat apa pun. Jika nilai parameter kurva dikaitkan dengan dua titik dan
, jarak x dilapisi sepanjang kurva yang diberikan oleh

dx j dx j 1 2
s   ( gij
x2
) dx
x1 dx dx
mungkin juga terjadi bahwa pelafalan di dalam kurung di bawah akar kuadrat dari kuadrat ini
negatif. dengan demikian menyebabkan nilai imajiner dari s dan dalam hal ini adalah normal
untuk menyesuaikan tanda g sepanjang kurva di mana hal ini terjadi untuk mempertahankan nilai
riil dari s. Kemungkinan lain yang tidak ditemukan dalam geometri euclidean adalah jarak antara
dua titik yang mungkin bersifat tetapi titiknya berbeda, tinjau sistem koordinat kartesius persegi
panjang dan kurva yang diwakili oleh titik- titik yang memenuhi persamaan:

x2  
3
x3 
3
Komponen tensor matriks dalam hal ini adalah semua properti kecuali untuk elemen diagonal
yang memiliki nilai satu dan karenanya :

1

 dx1   dx2   dx3  
2 2 2

2

s
x2
       dx
 dx   dx   dx   
x1

  (1  x2 )dx
x2

x1


1
3

3( x2  x1 )  ( x23  x13 ) 
Prosedur yang sama juga digunakan untuk kurva yang lebih rumit dalam sistem koordinat apa
pun, asalkan komponen tensor matriks yang terkait dengan sistem diketahui. Matriks tensor
adalah kunci untuk ini dan masalah lain yang melibatkan sistem koordinat dan tanpa banyak
yang harus dilakukan.

Gambaran penting dari tensor metrik adalah sifat konvergensinya dengan tensor asimetris
contravarian di mana komponennya memenuhi:

gij g ik   jk

Sifat ini berlaku untuk semua tensor simetri kovarian kedua dan begitu juga setiap tensor
kontravarian simetris dapat dikaitkan dengan tensor kovarian simetris melalui persamaan diatas.
Dengan demikian, dua tensor yang terhubung disebut sebagai kohesi satu sama lain. Nilai-nilai
komponen dalam tensor konjugat dapat direpresentasikan sama dengan kofaktor yang sesuai
dalam determinan yang dibentuk oleh tensor, dibagi dengan nilai penentuan itu sendiri. Jadi:

kofaktordalamg gij
g ij 
gij

Hubungan timbal balik adalah

kofaktorg ij dalam gij


g 
ij

gij

Keputusan ini dapat dengan mudah dibuktikan oleh teori determinan dan ini tidak akan
dijelaskan di sini.

Tensor matriks dan tensor-tensornya sekarang dapat digunakan untuk melakukan proses yang
disebut menaikkan dan menurunkan indeks yang ternyata menjadi alat penting dalam analisis
tensor berikutnya. Dimulai dengan tensor kontravarian tahap kedua yang memiliki komponen

Aij , konvergensi tensor konvensional tingkat kedua dapat dibentuk dengan komponen B ij
tertentu yang diberikan oleh

Bij  gik g jl Akl

Serta untuk tensor kovarian tingkat kedua terkait dengan tensor kontravarian yang ditentukan
oleh tahap kedua D

Dij  g ik g jl Ckl

Dengan hubungan ini sekarang dibentuk oleh metric tensor conjugate. Dalam setiap kasus dua
indeks diturunkan atau dinaikkan secara bersamaan tetapi proses ini juga dapat dnilakukan pada
satu indeks. Jadi dari tensor A dapat dibentuk tensor campuran E sekutu dengan menurunkan
salah satu indkes untuk menghasilkan komponen E yanng terhubung dengan A melalui:

Eij  g jk Aik

Proses ini dapat dengan jelas diterapkan pada tingkatan tensor dan juga vektor. Dalam setiap
kasus komponen tensor yang baru dibentuk bergantung pada tensor asli dan isi komponen
komponen ini sama dengan komponen asli.

Tensor atau konjugat matrik juga digunakan untuk menentukan besarnya | | untuk vektor | |.
Untuk vektor kontravensi A besarnya | | diberikan sebagai:
A  g jk Ai A j
2

Tanda untuk tangan kanan disesuaikan untuk menjamin nilai nyata | | untuk vektor kovarian
adalah besarnya ditentukan oleh hubungan yang sesuai menggunakan konjugat tensor matriks.
Dalam setiap kasus besarnya adalah kuantitas skalar dan dengan demikian tidak berubah di
bawah perubahan koordinat koordinat. Besarnya vektor tidak berubah dengan proses
menurunkan atau meningkatkan indeks.

Sudut antara dua vektor juga ditentukan dengan menggunakan tensor matriks atau konjugatnya.
Jika vektor A dan B keduanya contravarian, sudut didefinisikan oleh:

Aib j
cos  gij
A. B

Jika keduanya kovarian:

Ai Aj
cos   g ij
A. B

Dan jika B contravarian dan konvensional, 0 didefinisikan oleh:

Ai B j
cos  
A. B

Dalam kasus koordinat kartesius persegi panjang dari ekspresi untuk besarnya vektor dan sudut
antara dua vektor ini akan menurun menjadi ekspresi umum seperti yang dapat ditunjukkan
melalui penggunaan tensor matriks yang sesuai.

Kondisi elektromagnetik dari dua vektor A dan B dengan    2    2 yaitu bernilai 0.


Dengan kondisi yang diperlukan dan cukup untuk keaslian ini

g ij Ai B j  0

atau

g ij Ai B j  0

atau

Ai Bi  0.

Tensor matriks seperti yang ditunjukkan, memungkinkan banyak hubungan untuk dikembangkan
dan ini adalah fokus utama dalam pengembangan aljabar tensor dalam sistem koordinat umum.
Namun, analisis tensor juga harus mencakup proses diferensial yang sesuai dan di bagian berikut
akan dibahas dalam pengembangan proses ini. Langkah pertama dalam ekspansi ini adalah
memperkenalkan dua simbol baru yang dikenal sebagai simbol Christoffel dan menyelidiki
sifatnya. Setiap simbol adalah fungsi untuk tensor metrik dan akan diperlihatkan nanti bahwa itu
memungkinkan efek kelengkungan ruang koordinat untuk diperhitungkan dalam membedakan
jumlah tensor. Diferensiasi parsial sederhana seperti yang digunakan dalam sistem koordinat
kartesius persegi panjang, tidak menghasilkan komponen yang sejalan dengan tip dalam sistem
koordinat kriptografi simbol christoffel memungkinkan proses diferensiasi dirancang untuk
menghasilkan jumlah tensor dan ketika dimanifestasikan ke sistem koordinat kartesius persegi
panjang berkurang menjadi proses diferensiasi.

11. ASOSIASI TENSOR


Misalkan sebarang tensor campuran pada ruang dimensi –n dengan jenis (k,l) atau dengan
komponen kontravariant rank k dan komponen kovariant l, dimana notasi (k,l)digunakan untuk
menotasikan rank k + l dengan k indeks batas atas dan l indeks batas bawah.
Suatu tensor jenis (k,l) dikatakan indeks naik jika jenis (k,l) diubah ke jenis (k + 1, l-1).
Sedangkan tensor jenis (k,l) dikatakan indeks turun jika jenis (k,l) diubah ke jenis (k - 1, l+1).
Misalkan tensor kovariant Ap dengan jenis (0,1). Jika indeksnya dinaikkan diperoleh tensor A p

dengan jenis (1,0) . Tanda titik memperlihatkan posisi awal yang indeksnya berubah. Agar tidak
menimbulkan kebingungan dalam hal pembacaan indeks, biasanya tanda titik dihilangkan;
sehingga A p menjadi A p .
Perkalian tensor kontravariant dengan tensor metrik diperoleh sebarang tensor kovariant. Contoh:
Ai  gij A j atau Aij  gki glj Akl
Sedangkan perkalian tensor kovariant dengan tensor metrik diperoleh sebarang tensor
kontravariant. Contoh:
Ai  g ij Aj atau Aij  g kl g lj Akl
Seluruh tensor yang dihasilkan dari perkalian dengan tensor metrik disebut dengan associated
tensors.
9. Penerapan Matriks dan Ruang
Vektor dalam bidang Fisika

1. PENGANTAR
Pada bagian ini akan dikenalkan penerapan matriks dan ruang vektor dalam bidang fisika.

2. ANALISIS TENSOR DAN TEORI RELATIVITAS UMUM


Untuk setiap sistem fisis, setiap hukum yang menghubungkan besaran fisis tidak akan
bergantung kepada pemilihan sistem koordinat. Hal ini berarti, persamaan gerak sistem (baik
zarah maupun medan) akan memiliki bentuk yang tetap (tidak berubah) di dalam semua sistem
koordinat. Persamaan yang tidak berubah bentuknya terhadap transformasi koordinat dikatakan
memiliki sifat kovarian terhadap transformasi tersebut. Sifat inilah yang menyebabkan tensor
banyak digunakan untuk menelaah suatu sistem fisis.

Tensor adalah besaran yang merupakan perluasan dari vektor, seperti halnya vektor merupakan
perluasan dari besaran skalar. Tensor memiliki komponen-komponen seperti halnya vektor.
Besaran vektor sangat penting di dalam fisikan karena ia menyatakan objek dengan kaedah-
kaedah yang tetap sama meskipun kerangka acuan yang dipilih berubah-ubah. Perubahan
kerangka acuan memang menyebabkan nilai komponen tensor berubah pula, namun kaedah-
kaedah yang berlaku bagi komponen tensor tetap tidak berubah.

Teori Relativitas Umum adalah salah satu teori fisika modern yang cukup besar peranannya
dalam menerangkan struktur ruang-waktu dan jagad raya. Teori ini adalah teori yang indah,
memiliki daya pikat ramalan terhadap gejala alam yang cukup menarik, namun memiliki
persyaratan matematik berupa analisis tensor. Karena itulah dalam hand out ini akan disajikan
analisis tensor sebagai jembatan untuk memahami teori relativitas umum.

Analisis Ruang Riemann


Pada pasal ini akan diuraikan landasan formalisme matematik hokum gravitasi Einstein. Dimulai
dari penjelasan tentang skalar, vektor, dan tensor, dilanjutkan dengan analisis ruang Riemann,
hingga pada penurunan rumus-rumus tensor.

Skalar, Vektor dan Tensor


Ditinjau sebuah ruang berdimensi N dengan sistem koordinat

(9.1)

Sistem koordinat dalam ruang tersebut dapat ditransformasi menjadi

1 2 N
K  ( x , x ,..., x ) (9.2)

Akan ditinjau tiga perangkat besaran yang memiliki sifat tertentu pada perubahan sistem
koordinat tersebut, yaitu skalar, vektor dan tensor. Misalkan ada sebuah perangkat besaran fisis

yang memiliki nilai V di K dan nilai V di K . Jika

V=V (9.3)

Yaitu V bersifat invarian, maka besaran tersebut dinamakan skalar. Contoh besaran skalar
adalah laju cahaya di ruang-waktu datar vakum dan muatan listrik.

Misalkan terdapat seperangkat N besaran A (  1, 2,...N ) yang nilainya ditentukan oleh N


bilangan. Di K, besaran tersebut memiliki komponen.

( A1 , A2 ,..., AN ) (9.4)

Sedangkan di K dinyatakan sebagai


1 2 N
( A , A ,..., A ) (9.5)

Jika terdapat hubungan

v
N
x N
A    A     x A
V V
(9.6)
 1 x  1

Maka perangkat A = ( A1 , A2 ,..., AN ) adalah vektor kontravarian di . Lambang 

menyatakan  / x .

Analog dengan di atas, jika di perangkat A memiliki komponen

( A1 , A2 ,..., AN ) (9.7)

Sedangkan di K komponennya

( A1, A2 ,..., AN ) (9.8)

Serta berlaku hubungan

v
N
x N
AV    A     x A
V
(9.9)
 1 x  1


Maka A disebut komponen kovarian di K. Lambang  menyatakan  /  x Dari pengertian

di atas, vektor adalah besaran yang lambang komponennya memiliki satu indeks. Jika indeksnya
terletak di atas (bawah) dinamakan vector kontravarian (kovarian).

Tensor merupakan perluasan vektor. Indeks tensor lebih besar dari satu. Banyaknya indeks

disebut rank r dengan jumlah komponen N . Tensor B v , C berturut-turut dinamkana tensor
r

rank−2 kontravarian dan tensor rank−3 kovarian. Karena jumlah rank tensor lebih dari satu maka
dimungkinkan terdapat indeks yang terletak di atas dan di bawah. Tensor seperti ini dinamakan

tensor campuran (mixed tensor) Sebagai contoh D dinamakan tensor rank−3 campuran. Selain

itu dapat pula dikatakan bahwa vektor dan skalar tak lain merupakan tensor rank−1 dan rank−0.

Persamaan transformasi untuk tensor kontravarian serupa dengan bentuk produk (9.2) yaitu:

 v
v N
x x
B     B (9.10)
 ,  1 x x
Demikian pula kaedah transformasi persamaan tensor kontravarian mengikuti produk pers. (9.10)
yaitu:

N
x x 
B v    v
B (9.11)
 ,  1 x x

Sedangkan untuk tensor campuran berlaku kaedah


 N
 x x  
Bv    B (9.12)
 ,  1 x  x
v

Pers. (2.10), (2.11) dan (2.12) dapat dikembangkan untuk tensor dengan peringkat yang lebih
tinggi.

Selanjutnya untuk mempersingkat penulisan akan digunakan kesepakatan penjumlahan Einstein


meliputi indeks berulang yang menyatakan bahwa jika di dalam sebuah bentuk terdapat sepasang
indeks yang sama dengan salah satu terletak di atas dan yang lainnya di bawah, maka
penjumlahan harus dilakukan terhadap bentuk tersebut meliputi jangkauan indeks berulang
tersebut. Jadi dari pers. (2.1) sampai dengan (2.12), tanda Σ tidak perlu dituliskan. Namun jika
bentuk yang memuat indeks berulang tersebut tidak ingin dijumlahkan, hal tersebut harus
ditegaskan secara eksplisit.

Operasi pada Tensor

Operasi yang berlaku pada tensor adalah:

1. Kombinasi linear
Berlaku jika tensor-tensor tersebut memiliki jenis yang sama seperti

  
aA  bB  cC (9.13)
 
Adapun bentuk aA  bB tidak didefinisikan.

2. Perkalian luar
Terhadap dua tensor atau lebih yang memiliki indeks yang berbeda, dapat dilakukan
perkalian luar seperti:
A Bv  C

v (9.14)

3. Kontraksi
Proses menyamakan sepasang atau lebih pasangan indeks kovarian dan kontravarian,
seperti:
 kontraksi ( ,  ) 
C v  C v  Cv (9.15)

Disebut kontraksi meliputi indeks (  ,  ).Proses kontraksi menurunkan rank tensor


sebanyak 2.

4. Perkalian dalam
Proses ini dilakukan terhadap tensor sehingga faktor-faktornya memiliki sepasang indeks
sekutu atau lebih seperti:
A B  C (9.16)

5. Hukum pembagian
Ditinjau kasus berikut. Misalkan C  A B merupakan suatu skalar untuk sembarang

vektor kontravarian A , maka B pasti merupakan suatu vektor kovarian. Sebaliknya

jika C merupakan suatu skalar untuk sembarang vektor kovarian B maka A pasti

merupakan suatu vektor kontravarian. Hal ini dapat diperluas untuk tensor.

Ruang datar dan lengkung

Ditinjau dua buah titik yang berdekatan dalam ruang tiga dimensi yang dinyatakan dengan
koordinat Cartesan. Kedua titik itu masing-masing A( x, y, z) dan B( x  dx, y  dy, z  dz).
Kuadrat jarak antara keduanya adalah

ds 2  dx2  dy 2  dz 2 (9.17)
Jika dilakukan perpindahan ke koordinat silinder melalui transformasi
x   cos, y   sin , z  z (9.18)
maka jaraknya menjadi

ds 2  d  2   2 d 2  dz 2 (9.19)

Melalui transformasi inverse

y
  x2  y 2 ,  arctan , z  z (9.20)
x

pers. (9.19) dapat diubah kembali menjadi pers. (9.17).


Ruang tiga dimensi dimana bentuk ds 2 dapat dikembalikan ke bentuk dx  dy  dz
2 2 2

dinamakan ruang datar atau ruang Euclid. Jika tidak dapat dicari suatu sistem koordinat ( x, y, z)
yang memenuhi pers. (2.17) maka ruang tersebut dinamakan ruang lengkung atau ruang
Riemann.

Bentuk ds 2 untuk ruang datar satu dan dua dimensi berturut-turut adalah dx2 dan dx 2  dy 2 .
Contoh ruang datar untuk dimensi tersebut masing-masing adalah garis lurus dan bidang datar.
Sedangkan contoh ruang lengkung dua dimensi adalah permukaan bola, ellipsoida, paraboloida,
permukaan sadel kuda dan lain-lain.

Contoh ruang datar empat dimensi (3 dimensi ruang berkoordinat x, y, z dan satu dimensi waktu
berkoordinat t) dengan invarian kuadrat elemen garis adalah ruang-waktu Minkowski yang

memiliki bentuk ds 2 adalah

ds 2  dt 2  dx2  dy 2  dz 2 (9.21)

Adapun contoh ruang−waktu lengkung empat dimensi adalah apa yang dinamakan dengan ruang
bermetrik Schwarzschild untuk mana kuadrat elemen garisnya berbentuk

1
 r   r 
ds 2   1  s  dt 2  1  s  dr 2  r 2 (d 2  sin 2  d 2 ) (9.22)
 r  r

Beberapa konsekuensi kelengkungan ruang yang membedakan antara ruang Riemann (ruang
lengkung) dengan ruang Euclid (ruang datar) adalah

1. Jumlah sudut dalam segitiga dengan sisi-sisi segitiga merupakan penghubung terpendek
antara titik sudutnya tidak sama dengan 1800.
2. Perbandingan antara keliling dengan diameter lingkaran ≠ π.
3. Garis penghubung terpendek antara dua titik tidak berbentuk garis lurus melainkan garis
lengkung.
4. Dua garis yang sejajar lokal dapat berpotongan.
5. Penggambaran ruang lengkung di dalam ruang datar memerlukan satu dimensi tambahan.
Karena itu jika ingin digambar, misalnya permukaan bola (3.2 dimensi), diperlukan ruang
datar 3 dimensi.
Ilustrasi antara ruang datar dan ruang lengkung dua dimensi terdapat pada Gambar 9.1.
Gambar 9.1
Ruang datar (kiri) dan ruang lengkung dua dimensi (kanan)

Tensor Matriks

Ditinjau dua buah titik x dan x  dx di dalam ruang sembarang berdimensi N . Kuadrat
jarak antara kedua titik tersebut dinyatakan oleh

ds2  gv dx dxv (9.23)

dengan , v  1,2,..., N dan

 g11 g N1 
g  det g v   
 (9.24)
g g NN 
 N1

3. INFLASI OLEH DUA MEDAN SKALAR DALAM SKALA SUB-PLANCKIAN

Persamaan Friedmann
Standar model yang sekarang digunakan untuk alam semesta adalah model "Hot Big Bang"
atau dikenal "Standar BigBang", yang mana menyatakan bahwa alam semesta telah
mengembang dari keadaan panas dan padat hingga keadaan sekarang yang mendingin dengan
alam semesta mengembang hingga saat ini. Keadaan awal alam semesta yang panas dan padat
tersebut dikenal dengan istilah "BigBang" atau "Singularitas BigBang", dikarenakan pada
keadaan tersebut alam semesta memiliki energi densitas yang tak terhingga. Alam semesta
mengembang yang isotropik dan homogeny dapat dijelaskan melalui metrik Friedman-Lemaitre-
Robertson-Walker atau dikenal FLRW metrik, yakni:

 1  2 2 2 2
ds 2  dt  dr 2  2 
 r d  r sin  d 2 (9.25)
 1  kr 
Dikarenakan FLRW metric memenuhi prinsip kosmologi, maka hanya berlaku pada alam
semesta skala besar. Alam semesta yang mengembang dapat dijelaskan melalui persamaan
Friedmann yang diperoleh dari persamaan medan Einstein dan metrik FLRW. Persamaan Medan
Einstein dapat dituliskan

1
Rv  Rgv  gv  8 GTv (9.26)
2

dengan Rv adalah tensor Ricci, R adalah Ricci skalar, dan g v adalah tensor energi-momentum.

Persamaan ini adalah suatu persamaan yang menyatakan hubungan antara tensor kelengkungan
ruang waktu (tensor Einstein) dan tensor kehadiran massa atau energi dalam ruang waktu. Tensor
Einstein member informasi bahwa ruang waktu lengkung dan tensor energi-momentum member
informasi kehadiran massa atau energi dalam ruang waktu. Jadi persamaan medan Einstein
memperlihatkan bahwa setiap benda bermassa mengakibatkan ruang waktu sekitarnya
melengkung. Tensor energi- momentum pada alam semesta dimodelkan sebagai fluida ideal
dapat dinyatakan:

Tv  (  p)UUv  pgv (9.27)

Dari metrik FLRW dan persamaan medan Einstein diperoleh

8 G
H2   (9.28)
3

Dan

& 4 G
    3 p (9.29)
a 3

Yang mana pers. (9.27) merupakan persamaan Friedmann pertama pada geometri alam semesta
datar dan pers. (9.28) merupakan persamaan Friedmann kedua.

Persamaan Fluida

Pada alam semesta yang mengembang yang dimodelkan sebagai fluida ideal, konservasi energi-
momentum dinyatakan:

T v  T v  vT   0 (9.30)

Dengan tensor energi-momentum kontravarian


 0 0 0 
 0 a 2 (t ) p 0 0 
T v 
0 0 a 2 (t ) p 0 
 
0 0 0 a 2 (t ) p  (9.31)

Pada komponen  0 akan diperoleh:

a&
 &  3    3 p (9.32)
a

Kemudian, didefinisikan parameter keadaan 𝑤

p
w (9.33)

Dari persamaan Fluida dapat diperoleh keterkaitan energi densitas ρ dan faktor skala a terhadap
waktu

  a(1 w) (9.34)

Dari pers. (9.27) dan pers. (9.31) diperoleh keterkaitan factor skala 𝑎 terhadap waktu

a(t )  t 2/3(1 w) (9.35)

untuk ≠ 1. Pada alam semesta yang didominasi materi maka 𝑤 = 1. Sedangkan untuk alam
semesta didominasi radiasi maka 𝑤 = 1.

4. MEKANIKA KUANTUM RELATIVISTIK


Pada bagian ini, akan dicoba upaya perluasan mekanika kuantum nonrelativistik menjadi versi
relativistik. Hal ini dimungkinkan karena spinor Pauli dan persamaan dinamikanya hidup dalam
aljabar Clifford ruang relatif pengamat  0 , yakni Cl ( R3 ), sedangkan spinor Dirac hidup

dalam Cl ( M 4 ). Karena seluruh unsur dalam Cl ( R3 ) dapat dinyatakan sebagai unsur dalam Cl (
M 4 ), maka jelas Cl ( R3 ) ⊆ Cl ( M 4 ), sehingga perluasan ini di mungkinkan ada. Untuk tahap
awal akan diujicobakan persamaan Pauli tanpa A, B dan V (persamaan Schodinger partikel
bebas) serta perluasanya menjadi persamaan Dirac tanpa medan A.
Katakanlah  menyatakan spinor Dirac dan  menyatakan spinor pauli, maka kondisi yang
dinyatakan dalam persamaan
 a0  ja3 
 2 
a  ja1 
  3    a0  ak i k  i b0  bk i k  (9.36)
 b  jb0 
 1 
 b  jb2 

Berdasarkan persamaan

 a0  ja3 
      a0  ak i k (9.37)
 a 
2
ja1 

Dapat dinyatakan sebagai

   i , (9.38)

dengan  menyatakan spinor Pauli tambahan untuk memperluas  menjadi ψ. Untuk


,

kebutuhan perluasan,  hendak ditentukan.


,

1 2
Spinor  dan ψ memenuhi persamaan Schrodinger ti 3     , dan Dirac
2m
 i 3  m 0 yang dapat dirubah menjadi persamaan t i 3   i 3  m 0 0 . Tetapi

karena    i maka akan dipenuhi persamaan


,

ti 3  [i 3  m 0 0 ] – [ 0i’i 3  mi 0’ 0 ] (9.39)

Sekarang,  t pada persamaan Schrodinger dan persamaan terakhir ini memiliki makna yang

sama sehingga jika  merupakan spinor yang dihasilkan melalui persamaan Schrodinger, maka

dapat  ditentukan melalui persamaan


,

1 2
    [i 3  m 0 0 ] – [ 0i’i 3  mi 0’ 0 ]
2m

atau

1 2
   i 3  m 0 0   0i’i 3  mi 0’ 0 (9.40)
2m

Dengan menggunakan beberapa identitas berikut:

 0 k   k  0 , i 0   0i, 0   0 , i k  i k dan  0i  i 0 ,


dapat diperoleh persamaan yang lebih sederhana

1 2
  i 3  m  i 0’i 3  mi’ (9.41)
2m

Dengan menyelesaikan persamaan (9.39), berbekal spinor Pauli yang diselesaikan


1 2
melalui Schrodinger ti 3    , akan dapat spinor Pauli  , sehingga spinor Dirac
2m
   i , yang menjadi perluasannya dapat ditentukan.

5. PENERAPAN VEKTOR EIGEN DAN METODE JACOB DALAM FISIKA


Definisi Nilai dan Vektor Eigen
Salah satu penerapan matriks pada persoalan fisika, dapat dijumpai dalam bentuk persamaan
Ax  lx . Dengan A  ai j adalah matriks bujur sangkar berorde  n  dan  adalah suatu bilangan
(skalar). Untuk solusi trivial x 0 berapapun harga  akan memenuhi, dan biasanya solusi ini
tidak banyak gunanya dalam fisika. Untuk solusi non-trivial yaitu x 0 , harga  yang
memenuhi persamaan tersebut disebut nilai eigen atau nilai karakteristik dari matriks A dan
solusi yang bersesuaian dengan persamaan yang diberikan Ax  lx disebut vektor eigen atau
vektor karakteristik dari A Jika persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk sistem
persamaan yang terpisah, misalnya:

 a11 a12 a13 ... a1n1   x1   x1 


a    
 21 a22 a23 ... a2n 2   x2   x2 
 .  .  . 
     
 .  .  . 
 .  .  . 
    
 an1 an 2 an3 ... ann   xn   xn 

atau

a11 x1  a12 x2  a13 x3  ...  a1n xn   x1


a21 x1  a22 x2  a23 x3  ...  a2 n xn   x2
a31 x1  a32 x2  a33 x3  ...  a3n xn   x3
. (9.42)
.
.
an1 x1  an 2 x2  an3 x3  ...  ann xn   xn
Jika ruas kanan dipindahkan ke ruas kiri, maka persamaannya menjadi:

 a11    x1  a12 x2  a13 x3  ...  a1n xn  0


a21 x1   a22    x2  a23 x3  ...  a2 n xn  0
a31 x1  a32 x2   a33    x3  ...  a3n xn  0
. (9.43)
.
.
an1 x1  an 2 x2  an3 x3  ...   ann    xn  0

Metode Jacob

Salah satu metode untuk memecahkan persoalan nilai dan vektor Eigen adalah metode Jacobi.
Metode ini merupakan metode bentuk diagnolisasi suatu matriks dengan menggunakan sistem
koordinat. Misal ditentukan koordinat dua dimensi sebagai berikut:

A1  x1 cos   x2 sin 
(9.44)
A2  x1 sin   x2 cos 

Persamaan di atas dapat dinyatakan dalam bentuk matriks:

 A1  cos   sin    x1 
 A    sin  cos    x2 
(9.45)
 2 

atau dapat diungkapkan dalam bentuk persamaan secara umum yaitu:

A  Tx (9.46)

cos   sin  
Matriks T  
cos  
memiliki matriks transpose:
 sin 

 cos  sin  
T2  
cos  
(9.47)
  sin 

Pada matriks T persamaan (1.2) dan T T persamaan (1.4) dapat diperlihatkan sifat perkalian
matriks yang disebut matriks diagonal. Matriks ini dapat digunakan untuk persamaan Eigen

T T .T  T.T T  I atau T T  T 1 (9.48)

Gerak Osilasi Sistem Empat Massa dan Lima Pegas


Berikut satu kasus untuk memecahkan persamaan dinamika pada sistem massa dan pegas
seperti gambar dibawah ini

Gambar 9.2
Tinjauan sistem empat massa dan lima pegas

Tinjauan pada setiap titik massa, diperoleh

m1q1   k1  k2  k4  q1  k2 q2  k4 q3   k4  k3  k5  q4  0
m2 q2  k2 q1   k2  k3  q2  k3q3   k2  k5  q4  0
m3q3  k4 q1  k3q2   k3  k4  q3  k5q4  0
m4 q4  k5q4  0

Fungsi anzats yang digunakan adalah

q(t )  ai .e jx (9.49)

Dengan i  1, 2, 3; dan j  bilangan kompleks bernilai 1 ,  adalah simpangan pegas.


Jika fungsi ini dideferensialkan dua kali terhadap waktu maka diperoleh :

q1 (t )  ai .e jx (9.50)

Masukkan hasil diferensial tersebut kemasing- masing tinjuan setiap titik massa, sehingga
dibentuk menjadi:

 2 m1a1   k1  k2  k4  q1  k2 a2  k4 a3   k4  k3  k5  a4  0
 2 m2 a2  k2 a1   k2  k3  a2  k3a3   k2  k5  a4  0
 2 m3a3  k4 a1  k3a2   k3  k4  a3  k5a4  0
 2 m4 a4  k5a4  0

Contoh 9.1
Pada suatu sistem massa dan pegas diatas , akan ditentukan masing-masing nilai konstanta
pegas dan pegas yang digunakan yaitu:

m1 = 10 kg; m2 = 20 kg; m3 = 30 kg; m4 = 40 kg; k1 = 10 kgN/m; k2 = k3 = 20 kgN/m;


k4 = 25 kgN/m dan k5 = 15 kgN/m
Masing-masing nilai di atas disubtitusi kepersamaan tinjauan setiap titik massa:

 210a1  55q1  20a2  25a3  60a4  0


 2 20a2  20a1  40a2  20a3  35a4  0
 2 30a3  25a1  20a2  45a3  15a4  0
 2 40a4  15a4  0

Dari tinjauan tersebut maka dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

2 Aa4  Ba4  0 (9.51)

10 0 0 0 
 0 20 0 0 
Dengan Aa   
 0 0 30 0 
 
 0 0 0 40

 55 20 25 60 
20 40 20 35 
Dan Ba   
 25 20 45 15
 
 0 0 0 15 

Untuk menentukan nilai simpangan pegas, dapat dihitung dengan menggunakan persoalan
nilai dan vektor eigen. Nilai  adalah vektor Eigen.

Anda mungkin juga menyukai