Anda di halaman 1dari 10

Konseling HIV

Definisi Konseling Adalah suatu proses dengan dialog antara sesorang yang bermasalah
(klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan
memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil
keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut. Semua pemeriksaan HIV harus mengikuti
prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed
consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care
and treatment services) tetap diterapkan dalam pelaksanaannya. Prinsip 5C tersebut diterapkan
pada semua model layanan konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV

Konseling Pra Pemeriksaan Laboratorium HIV Konseling Pra-Pemeriksaan dilaksanakan


pada klien/ pasien yang belum mantap atau pasien yang menolak untuk menjalani pemeriksaan
HIV setelah diberikan informasi pra-pemeriksaan yang cukup.

Konselor dalam konseling pra pemeriksaan membuat keseimbangan antara pemberian


informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Masalah emosi yang menonjol
adalah rasa takut melakukan pemeriksaan HIV karena berbagai alasan termasuk ketidaksiapan
menerima hasil pemeriksaan, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan keluarga.

Ruang lingkup konseling pra-pemeriksaan pada konseling dan VCT adalah:

1. Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos
tentang HlV.

2. Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko.

3. Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HlV.

4. Memberikan pengetahuan implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang


cara menyesuaikan diri dengan status HlV.

5. Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi kejiwaan jika


diperlukan.

6. Meminta informed consent sebelum dilakukan pemeriksaan HIV


7. Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan
pengobatan dan perawatan. Pemberian informasi dasar terkait HIV bertujuan agar klien : 1.
Memahami cara pencegahan, penularan HIV perilaku berisiko. 2. Memahami pentingnya
pemeriksaan HIV 3. Mengurangi rasa khawatir dalam pemeriksaan HIV

Berbagai macam yang menjadi latar belakang dan alasan mengikuti konseling HIV, maka
konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien tersebut dan memfasilitasi kebutuhan
agar proses pemeriksaan HIV dapat memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat
dan produktif.Saat memberi konseling HIV, penting untuk mengetahui pengetahuan pasien
mengenai perbedaan antara HIV (virus) dan AIDS (kondisi klinis) dan untuk mengetahui apakah
mereka paham bahwa pemeriksaan laboratorium antibodi positif menunjukkan infeksi HIV
namun bukan sindrom klinis AIDS.

Dokter harus mengklarifikasi bahwa pemeriksaan laboratorium antibodi dapat positif,


negatif, atau meragukan, dan bahwa risiko pemeriksaan laboratorium antibodi positif palsu atau
negatif palsu sangat rendah. Bagi klien dengan kemungkinan paparan HIV dalam 3 bulan
terakhir, klinisi harus menjelaskan bahwa pemeriksaan laboratorium biasanya positif dalam 1
bulan setelah paparan namun dapat memerlukan 3 bulan sampai menjadi positif (periode
jendela). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium ulang harus direkomendasikan 3 bulan
pasca paparan, jika pemeriksaan laboratorium awal negatif. Jika kecurigaan klinis infeksi HIV
primer tinggi, pemeriksaan laboratorium RNA dapat dikerjakan, yang dapat mendeteksi adanya
virus secepatnya 11 hari pasca paparan.29,30 Sasaran konseling pemeriksaan laboratorium ini
adalah yaitu orang yang positif terinfeksi HIV, gay, waria, lesbian, pekerja seks, pengguna
narkoba psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), pasangan, keluarga, gangguan jiwa,
binaan pemasyarakatan, penyingkapan status, paliatif dan duka cita, gizi, isu gender dalam
konselingif

Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium HIV

Konseling pasca pemeriksaan biasanya diberikan 1-3 minggu kemudian pada kasus
pemeriksaan laboratorium antibodi konvensional dan 20-40 menit kemudian jika yang dikerjakan
adalah pemeriksaan laboratorium HIV cepat. Saat konseling pasca pemeriksaan, klinisi harus
menginformasikan kepada klien mengenai hasil pemeriksaan laboratorium dan interpretasinya,
mendorong untuk menjalani rencana mengurangi risiko yang disesuaikan dengan kondisi pasien
baik yang seropositif maupun seronegatif, serta melakukan follow-up klinis dan psikologis bagi
orang dengan HIV positif yang baru teridentifikasi. Bagi mereka yang HIV seronegatif, klinisi
harus mendorong mereka untuk tetap HIV negatif dan memastikan bahwa klien mengulang
konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV, sesuai waktu paparan terakhir

Kadang klinisi dihadapkan dengan konseling klien mengenai hasil yang meragukan, yang
terjadi pada 10% spesimen EIA reaktif. Hasil pemeriksaan laboratorium HIV yang meragukan
dapat terjadi pada serokonversi HIV akut, dan pada kondisi tidak adanya infeksi HIV. Pada HIV
akut, pita p24 awal muncul pada Western blot yang diikuti oleh pita amplop tambahan (gp41,
gp120, dan gp160) dan kemudian pita HIV lain dalam beberapa minggu selanjutnya. Hal ini
menekankan pentingnya penilaian risiko HIV dengan hati-hati serta follow-up serologis orang
berisiko tinggi dengan hasil Western blot yang meragukan. Jika memungkinkan, pemeriksaan
laboratorium RNA harus digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV akut

Sebagian besar orang dengan Western blot HIV yang meragukan memang tidak terinfeksi
HIV dan memiliki alloantibodi reaksi silang atau autoantibodi. Orang berisiko rendah dapat
diyakinkan mengenai kecilnya kemungkinan terinfeksi dan harus menjalani pemeriksaan
laboratorium ulang dalam 3 dan 6 bulan berikutnya untuk memastikan rendahnya serokonversi.
Wanita hamil dengan Western blot yang meragukan sering cemas mengenai kemaknaan hasil
pemeriksaan laboratorium mereka; klinisi dapat menjelaskan produksi aloantibodi saat hamil dan
11 11 mengerjakan pemeriksaan laboratorium HIV tambahan (misalnya pemeriksaan
laboratorium RNA) untuk memastikan hasil yang meragukan tersebut.

Sementara pentingnya konseling pra dan pasca pemeriksaan laboratorium telah


ditunjukkan, pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan HIV memiliki
keuntungan utama dalam hal diagnosis HIV secara cepat dan rutin. CDC saat ini telah bergeser
ke pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan HIV di semua sektor publik
dan untuk subjek risiko tinggi. WHO menyesuaikan untuk masyarakat dengan epidemi general,
namun terus merekomendaasikan skrining berbasis gejala dan risiko untuk masyarakat dimana
prevalensi HIV pada wanita hamil <1%
Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium jika Hasil Negatif

Bagi mereka yang HIV seronegatif, klinisi harus mendorong mereka untuk tetap HIV
negatif dan memastikan bahwa klien mengulang konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV,
sesuai waktu paparan terakhir

Konseling penyampaian hasil pemeriksaan laboratorium jika hasil negatif :

1. Berikan kesempatan pada pasien untuk merasa lega atau bereaksi positif yang lain.

2. Berikan konseling tentang pentingnya tetap negatif degan cara menggunakan kondom
secara benar dan konsisten atau perilaku seksual yang lebih aman lainnya.

3. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien.

4. Apabila pajanan baru saja terjadi atau pasien termasuk dalam kelompok risiko tinggi,
jelaskan bahwa hasil negatif tersebut dapat berarti tidak terinfeksi HIV atau sudah terinfeksi
namun belum sempat terbentuk antibodi untuk melawan virus (disebut Periode Jendela =
“Window Period”, 3-6 bulan

Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium jika Hasil Positif).

Klinisi yang memberi konseling kepada klien mengenai diagnosis infeksi HIV yang baru
harus memiliki waktu cukup untuk mengatasi kemungkinan gangguan emosional dan
memastikan bahwa klien memiliki kesempatan untuk menanyakan semua pertanyaan serta
mengekspresikan reaksinya terhadap hasil pemeriksaan laboratorium. Jika hasil yang telah
dikonfirmasi positif tidak terduga meskipun riwayat pasien mendukung, serum harus diambil
kembali untuk konfirmasi hasil dan menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium.
Sejumlah klinisi secara rutin mengkonfirmasi hasil seropositif HIV yang baru, mengingat
pentingnya hasil pemeriksaan laboratorium yang positif baik secara klinis dan psikososial.
Klinisi harus kembali memastikan bahwa klien mengerti perbedaan antara infeksi HIV dan
AIDS, mendiskusikan perjalanan alami infeksi HIV dan imunosupresi, serta menekankan potensi
memperlambat progresi penyakit dengan intervensi dini melalui pengawasan teratur terhadap
sistem imun dan viral load, terapi antiretroviral, dan profilaksis terhadap infeksi oportunistik.
Penyedia layanan kesehatan harus berbicara dengan pasien HIV seropositif mengenai rencana
pribadinya untuk menjalani praktik seks yang aman, baik untuk menghindari penularan HIV ke
partner yang seronegatif, menghindari akuisisi infeksi menular seksual (IMS) lain yang secara
teori mampu mempercepat perjalanan penyakit HIV, dan menghindari strain baru yang resisten
terhadap antiretroviral (superinfeksi). Rujukan medis harus dibuat jika follow-up untuk
perawatan HIV tidak tersedia di tempat tersebut dan kebutuhan akan layanan sosial dan
psikologis harus dinilai. Disarankan untuk membuat perjanjian untuk follow-up untuk menilai
ulang kemampuan klien mengatasi hasil positif, mengatasi kekhawatiran klien, dan membahas
konseling partner serta layanan rujukan. Pada kunjungan ini, penyedia layanan kesehatan harus
memastikan reaksi pasien yang terdiagnosis HIV positif terhadap diagnosis tersebut, dan
mendiskusikan lebih dalam mengenai kepentingan dan arti memiliki partner dengan status HIV
yang tidak diketahui ataupun negatif untuk dirujuk dan menjalani konseling dan pemeriksaan
laboratorium HIV, dan untuk partner yang HIV positif, perawatan klinis dan konseling.
Rasionalisasi danmetode konseling dan rujukan untuk partner klien digarisbawahi dalam CDC
Operational Guidelines for Partner Counseling and Referral Services. 29,30 Sebagian besar
negara bagian telah lolos peraturan yang memungkinkan klinisi untuk membuat hasil
pemeriksaan laboratorium positif dalam bentuk peringkat dan memberitahukan hasil
pemeriksaan laboratorium kepada klinisi lain, karena membuka rahasia tersebut berhubungan
dengan perawatan klinis dan pasien telah menandatangani pernyataan untuk merilis informasi
tersebut. Klinis harus familiar dengan hukum yang mengatur kerahasiaan hasil pemeriksaan
laboratorium yang positif dan laporan berbasis nama di negara bagian atau yuridikasi tempat
praktik tersebut dikerjakan. Pada akhir tahun 2007, semua negara bagian Amerika Serikat dan
Washington DC akan mulai mencatat kasus HIV menggunakan sistem pelaporan berbasis nama,
bukan laporan berbasis kode, untuk memperoleh dana terapi dari pihak federal. CDC menolak
sistem berbasis kode setelah mengetahui bahwa hal itu dapat menyebabkan penghitungan ganda
dan sulit dikerjakan oleh penyedia layanan kesehatan. CDC mengumumkan dukungannya untuk
pelaporan kasus HIV berbasis nama pada tahun 1999, dan memperkuat rekomendasi tersebut
untuk memperoleh pendanaan dari Ryan White pada tahun 2005. Meskipun terdapat banyak
kekhawatiran yang mengekspresikan pengaruh dari kewajiban untuk melaporkan kasus dengan
nama, saat ini hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh negatif pemeriksaan
laboratorium HIV atau perilaku mencari perawatan kesehatan.
Konseling penyampaian hasil pemeriksaan laboratorium jika hasil positif

: 1. Jelaskan bahwa pasien tersebut telah terinfeksi

2. Berikan konseling pasca – pemeriksaan laboratorium dan dukungan

3. Tawarkan perawatan berkelanjutan dan rencanakan kunjungan tindak lanjut

4. Berikan nasehat pentingnya melakukan perilaku seks dengan kondom agar tidak
menularkan kepada orang lain dan terhindar dari IMS lain, dan terhindar dari infeksi
virus HIV jenis lain. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien.

5. Berikan saran kepada pria dewasa untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar
nikah, untuk menghindari penularan kepada orang lain. 6. Bila perlu, rujuklah pasien
untuk mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan lebih lanjut, seperti kepada
dukungan sebaya dan layanan khusus untuk kelompk rentan.

Pemeriksaan Laboratorium HIV

Macam Pemeriksaan Laboratorium HIV

Uji diagnostik pertama untuk HIV, yaitu EIA disetujui oleh FDA pada tahun 1985 untuk
skrining darah transfusi supaya suplai darah aman. Dalam 2 tahun berikutnya, klinis konseling
dan pemeriksaan laboratorium HIV yang dibiayai publik didirikan sehingga mereka yang
dicurigai terinfeksi memiliki alternatif ke bank darah untuk diagnosis

Model konseling dikembangkan bersama dengan pemeriksaan HIV untuk


mengakomodasi penundaan pemeriksaan konfirmasi yang dibutuhkan selama 1-2 minggu yaitu
menggunakan pemeriksaan laboratorium Western blot atau immunofluorescence assay (IFA).
Model standar konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV dirancang untuk mencapai empat
tujuan utama:

(1) untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi HIV untuk intervensi klinis;

(2) untuk memberi konseling mengenai penurunan risiko bagi orang yang negatif HIV
yang berisiko terinfeksi HIV dan orang positif HIV yang berisiko menularkan HIV;

(3) untuk memberi rujukan bagi layanan kesehatan dan penanganan kasus untuk
HIVseropositif dan untuk intervensi pencegahan bagi mereka yang berisiko
tinggiterinfeksi HIV; dan

(4) untuk memulai pemberian informasi kepada partner klien yang positif HIV.

Dalam 2 minggu sejak pemeriksaan laboratorium HIV pertama pada tahun 1985, tempat
pemeriksaan yang berganti-ganti dibuat untuk menyediakan tempat bagi orang risiko tinggi
untuk pemeriksaan antibodi HIV selain di bank darah. Seiring waktu, tempat pemeriksaan yang
berganti-ganti berkembang dengan menekankan pada konseling untuk mengurangi risiko.
Setelah laporan pertama pada tahun 1989 mengenai efikasi zidovudin pada pasien terinfeksi HIV
dengan jumlah CD4

WHO dan UNAIDS baru-baru ini merevisi pedoman mereka untuk mengikuti
rekomendasi terbaru. Rekomendasi terbaru berfokus kepada panduan operasional dasar untuk
pemeriksaan laboratorium dan konseling HIV yang diinisiasi oleh penyedia layanan kesehatan
(PITC) di tempat layanan kesehatan. Pemeriksaan laboratorium HIV direkomendasikan sebagai
bagian rutin perawatan medis dengan pendekatan “menyingkirkan” pada kondisi epidemi HIV
secara general dimana prevalensi HIV prenatal >1%. Mereka merekomendasikan tempat klinik
prioritas secara bertahap pada pemeriksaan laboratorium HIV rutin

Tahun 2007 UNAIDS mempublikasikan panduan baru untuk pemeriksaan laboratorium


dan konseling yang disarankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Kerangka
rekomendasi berpusat pada panduan operasional dasar untuk pemeriksaan laboratorium dan
konseling HIV yang disarankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Pemeriksaan
laboratorium HIV disarankan sebagai bagian rutin dari pelayanan kesehatan dengan pendekatan
“opt out” dengan epidemi HIV yang luas. Mereka menyarankan prioritas pada klinik untuk
melakukan pemeriksaan laboratorium HIV rutin.

Pemeriksaan HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan.


Jika pemeriksaan tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka pemeriksaan dapat dilakukan di
laboratorium yang tersedia di fasilitas tersebut, maka pemeriksaan HIV yang digunakan sesuai
dengan pedoman pemeriksaan laboratorium HIV kementerian Kesehatan

Sebaiknya pemeriksaan HIV menggunakan pemeriksaan laboratorium cepat HIV yang


sudah dievaluasi oleh kementerian kesehatan. Pemeriksaan laboratorium cepat yang sesuai
prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta
meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya
serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Pemeriksaan
laboratorium cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan
khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan primer

Pemeriksaan laboratorium ELISA mungkin lebih layak dilakukan di sarana kesehatan


dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan jumlah pasien yang
lebih banyak dan tidak perlu hasil pemeriksaan laboratorium segera (misalnya untuk pasien
rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan.

Pemilihan antara menggunakan pemeriksaan laboratorium cepat HIV atau pemeriksaan


laboratorium ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan pemeriksaan
laboratorium HIV; biaya dan ketersediaan perangkat pemeriksaan laboratorium, reagen dan
peralatan; pengambilan sampel, transportasi, sumber daya manusia (SDM) serta kesediaan pasien
untuk kembali mengambil hasil.

Pemeriksaan laboratorium HIV secara serial adalah apabila pemeriksaan laboratorium


yang pertama memberi hasil non reaktif atau negatif, maka pemeriksaan laboratorium antibodi
akan dilaporkan negatif. Apabila hasil pemeriksaan laboratorium pertama menunjukkan reaktif,
maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium HIV kedua pada sampel yang sama dengan
menggunakan antigen dan / atau dasar pemeriksaan yang berbeda dari yang pertama. Perangkat
pemeriksaan laboratorium yang persis sama namun dijual 23 23 dengan nama yang berbeda tidak
boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil pemeriksaan laboratorium kedua yang
menunjukkan reaktif kembali maka akan di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi
HIV 5% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah kelompok prevalensi
rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan dalam Pedoman Nasional
dianjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan pemeriksaan
laboratorium kedua dianjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah
dan pemeriksaan laboratorium kedua hanya diperlukan bila pemeriksaan laboratorium pertama
memberi hasil reaktif saja.

Monitoring (Viral Load dan CD4) 2.8.2

Monitoring (Viral Load dan CD4) Viral load adalah istilah yang dipergunakan untuk
menunjukkan jumlah virus HIV dalam darah. Viral load diukur melalui pemeriksaan sampel

Jenis pemeriksaan viral load : ada tiga jenis pemeriksaan viral load yang sekarang umum
dipergunakan yaitu : Q-PCR, bDNA dan NASBA. Q-PCR (quantitative polymerase chain
reaction) dikenal dengan Amplicor HIV- l Monitor test, dibuat oleh Roche Molecular Systems.
Sedangkan bDNA (branched-chain DNA, atau quantiplex) dibuat oleh Bayer, dan NASBA
(nucleic acid sequence based amplification) Organon Teknika.darah

Viral load biasanya dinyatakan sebagai jumlah turunan HIV untuk setiap ml darah.
Pemeriksaan laboratorium ini dapat menghitung sampai 1,5 juta turunan virus dan terus
ditingkatkan sensitivitasnya. Pemeriksaan laboratorium bDNA generasi I hanya mampu
mendeteksi paling rendah 10.000 turunan virus, sedangkan generasi ke-2nya mampu mendeteksi
sampai 500 turunan virus. Sekarang ada pemeriksaan laboratorium yang sangat sensitif dapat
mendeteksi sampai kurang dari 5 turunan virus. Namun demikian, menurut Departemen
Kesehatan Amerika, viral load disebut tidak terdeteksi bila kurang dari 50 turunan virus/ml
darah.2

Pemeriksaan CD4+. Sebelum pemeriksaan viral load, pemeriksaan yang biasa


dipergunakan adalah hitung sel T. Hitung sel T dipergunakan pemeriksaan jumlah sel CD4 dan
CD8. Hitung sel T masih tetap penting dan dipergunakan bersama - sama dengan pemeriksaan
viral load
Jumlah sel CD4 memberikan gambaran kasar tentang kesehatan sistem imun. Jumlah sel
CD4 yang normal berkisar antara 500 dan 1600. Sedangkan jumlah sel CD 8 berkisar antara 375
dan 1.100. CD4 menggambarkan kesehatan dari sistem imun pada saat pemeriksaan dan
seberapa kerusakan sistem imun yang terjadi oleh virus tersebut. Jadi, merupakan ukuran tentang
apa yang telah terjadi.2

Untuk menentukan kapan pengobatan pencegahan infeksi oportunistik, patokan dipakai,


bila: CD4 < 200, perlu profilaksis untuk Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), CD4 < 100,
perlu profilaksis untuk toksoplasmosis dan 27 27 kriptokokosis dan CD4 < 75, perlu profilaksis
untuk Mycobacterium avium complex

Beberapa indikasi untuk memulai terapi ARV sesuai CD4 : Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah dapat terapi ARV (ARV -
naive) yaitu CD4 < 350, ODHA dengan gejala klinis dan belum pernah dapat terapi ARV yaitu
stadium klinis 2 bila CD4 < 350 / stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4. Perempuan
hamil dengan HIV yaitu semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan koinfeksi tuberculosis (TB) yang belum pernah
mendapat terapi ARV yaitu mulai terapi berapapun jumlah CD4. Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) dengan koinfeksi Hepatitis B yang belum pernah mendapat terapi ARV yaitu ODHA
dengan koinfeksi hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4.

Anda mungkin juga menyukai